Anda di halaman 1dari 51

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

PENGARUH PAPARAN BISING KONTINYU KRONIK TERHADAP


CD8+ PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Ali Zainal Abidin


G 0006513

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
commit to user
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Ali Zainal Abidin, G0006513, 2010. Pengaruh Paparan Bising Kontinyu Kronik
terhadap CD8+ pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tujuan Penelitian : Bising merupakan stressor yang berdampak pada psikologis
dan fisiologis tubuh. Paparan bising kontinyu kronik akan lebih berefek negatif. Pada
psikoneuroimunologi manusia, akan berlaku perubahan kadar kortisol darah sehingga
terjadi gangguan sistem imunoseluler. Penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah
ada pengaruh paparan bising kontinyu kronik terhadap CD8+ pada tikus putih.
Metode Penelitian : Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium dengan
rancangan penelitian ‘the post test only control group’ design. 30 ekor tikus putih
(Rattus norvegicus) dipilih secara random dengan kriteria inklusi jantan, galur wistar,
berat badan ± 150-250 gram, dan berumur 2-3 bulan, dibagi dalam 3 kelompok yaitu :
Kelompok I (kontrol), Kelompok II (paparan intensitas 72 dB), dan Kelompok III
(paparan intensitas 90 dB). Tikus putih diadaptasikan selama 7 hari kemudian
kelompok II dan III diberi paparan bising kontinyu (frekuensi 350 Hz) selama 5
jam/hari (16.00-21.00) untuk 21 hari. Setelah 21 hari, 1cc darah diambil secara
intrakardiak (tiap kelompok 9 ekor). Sampel darah ditambah FITC anti-rat CD8+
antibody sebelum dianalisis menggunakan flowcytometry. Data yang diperoleh diuji
dengan uji statistik One-way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji LSD.
Hasil Penelitian : Hasil uji One-way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan
bermakna antara ketiga kelompok yaitu p=0,000 (p<0,05). Pada uji LSD juga
didapatkan perbedaan bermakna antara ketiga kelompok.
Simpulan : Paparan bising kontinyu kronik mempunyai pengaruh
terhadap kadar CD8+ pada tikus putih (Rattus norvegicus).

Kata kunci : bising kontinyu, kronik, kadar CD8+

iii

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Ali Zainal Abidin, G0006513, 2010. The Influence of Chronic Continuous Noise
Exposure to CD8+ in Rat (Rattus norvegicus). Faculty of Medicine, Sebelas
Maret University, Surakarta.
Objective : Noise as a stressor, causes physiological and psychological changes
in human. Chronic continuous noise exposure inflicts more serious complications
especially in psychoneurological aspects of human. This is explained by changes in
cortisol level leading to disturbance in immunocellular system. The purpose of this
study is to determine the influence of chronic continuous noise exposure on CD8+
count in rat.
Methods : This experimental research used ‘post-test only control group’
design. 30 male rats (Rattus norvegicus) were selected randomly. Inclusion criteria
are male, Wistar strain, weighing ± 150-250 gram and 2-3 month age. Subjects then
divided into 3 groups: Group I (control), Group II (72 dB of sound intensity) and
Group III (90 dB of sound intensity). Before experiment begins, subjects undergo 7
days adaptation to laboratory environment. Then, Group II and III were exposed
continuously to 350 Hz noise, 5 hours daily within 21 days. On 22nd day, 1 cc blood
was taken intracardially from 9 samples per group. Then, blood samples were added
with FITC anti-rat CD8+ antibody before analyzed using flowcytometry. Data were
analyzed using One-way ANOVA Test and LSD test.
Results : One-way ANOVA analysis showed significant difference among the
three groups at p=0,000 (p<0,05). LSD analysis also showed significant differences
among groups.
Conclusion : Chronic continuous noise exposure can influence the CD8+ count in
rat (Rattus norvegicus).

Keywords : continuous noise, chronic, CD8+ count

iv

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat, dan
limpahan kasih sayang sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul
“Pengaruh Paparan Bising Kontinyu Kronik terhadap CD8+ pada Tikus Putih (Rattus
norvegicus)”. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H.A.A. Subijanto, dr, MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M.Kes selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Margono, dr., MKK, selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan
bimbingan, saran, serta koreksi bagi penulis.
4. Dr. Hartono, dr., M.Si, selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan
bimbingan, saran, serta koreksi bagi penulis.
5. Enny Ratna Setyawati, drg., selaku Penguji Utama yang telah memberikan
nasihat, saran, dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
6. Yuliana Heri Susilo, dr., selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan
nasihat, saran, dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
7. Ayah dan Ibu yang selalu memberikan dukungan baik material maupun spiritual
setiap waktu dan teman-teman atas motivasinya.
8. Serta semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan
dikarenakan keterbatasan penulis, maka dari itu penulis mengharapkan adanya kritik
dan saran yang bersifat membangun.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
tidak hanya bagi penulis pribadi tetapi juga bagi semua pihak.
Surakarta, September 2010

Penulis

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. v


DAFTAR ISI ................................................................................................ vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR........................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................. 4
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 4
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka .................................................................. 5
1. Bising…........................................................................... 5
2. Limfosit dan sel T CD8+................................................... 12
3. Hubungan antara bising dan CD8+.................................... 16
B. Kerangka Pemikiran ............................................................. 20
C. Hipotesis ............................................................................... 21
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ..................................................................... 22
B. Lokasi Penelitian .................................................................. 22
C. Subjek Penelitian .................................................................. 22
D. Teknik Sampling .................................................................. 22
E. Rancangan Penelitian ............................................................ 23
F. Kerangka Penelitian............................................................... 23
G.Instrumen dan Bahan Penelitian............................................ 24

vi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

H. Cara Kerja.............................................................................. 25
I. Identifikasi Variabel Penelitian............................................. 27
J. Definisi Operasional Variabel............................................... 28
K. Teknik Analisis Data ............................................................ 30
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Sampel............................................................ 31
B. Karakteristik Lokasi Penelitian............................................ 32
C. Hasil Penelitian ..................................................................... 33
D. Analisis Data ........................................................................ 34
BAB V PEMBAHASAN ....................................................................... 37
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ............................................................................... 42
B. Saran ..................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 43
LAMPIRAN

vii

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rata-rata Berat Badan Tikus Putih sebelum Diberi Paparan


(satuan = gram)
Tabel 2. Rata-Rata Kelembaban Ruangan selama Diberi Paparan (satuan =%)
Tabel 3. Rata-Rata Suhu Ruangan selama Diberi Paparan (satuan = celcius)
Tabel 4. Rata-Rata Kadar CD8+ setelah Perlakuan (satuan = %)
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Data dan Homogenitas Varians untuk Kadar
Tabel 6. CD8+
Hasil Uji Normalitas Data dan Homogenitas Varians untuk Kadar
Tabel 7. CD8+ setelah Data Ditransformasi
Tabel 8. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus (satuan = gram)
Tabel 9. Hasil Pengukuran Kelembaban Ruangan (satuan = %)
Tabel 10. Hasil Pengukuran Suhu Ruangan (satuan = celcius)
Tabel 11. Uji Statistik Berat Badan, Kelembaban, dan Suhu
Tabel 12. Hasil Pengukuran Kadar CD8+ (satuan = %)
Uji Statistik dengan One-way ANOVA Kelompok I, Kelompok II, dan
Tabel 13. Kelompok III (p<0,05)
Uji Post Hoc : LSD (Least Significant Difference)

viii

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Boxplot untuk Kadar CD8+ pada Ketiga Kelompok


Gambar 2. Boxplot untuk Kadar CD8+ pada Ketiga Kelompok setelah
Data Ditransformasi.

ix

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Pengukuran Berat Badan, Suhu dan Kelembaban


Lampiran 2. Hasil Uji Statistik Berat Badan, Suhu dan Kelembaban
Lampiran 3. Hasil Pengukuran Kadar CD8+
Lampiran 4. Hasil Uji Prasyarat (Normalitas Data dan Homogenitas
Varians)
Lampiran 5. Hasil Uji Statistik dengan One-way ANOVA dan Uji LSD
Lampiran 6. Boxplot untuk Kadar CD8+ pada Ketiga Kelompok
Lampiran 7. Hasil Bacaan Flowcytometry
Lampiran 8. Foto-foto Penelitian
Lampiran 9. Ethical Clearance

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses modernisasi dan kemajuan baik di bidang sains dan teknologi,

perhutanan, pertanian, perikanan, perindustrian dan penghasilan energi secara

pasti mencipta suatu rentetan perubahan yang saling terkait antara satu sama

lain pada implikasi sosial, ekonomi dan ekologikal. Mesin-mesin besar dan

alat-alat hasil modernisasi ini menimbulkan suara. Suara yang dihasilkan oleh

suatu sumber bunyi kadangkala bagi seseorang atau sebagian orang

merupakan suara yang disenangi, namun bagi beberapa orang lainnya justru

dianggap sangat mengganggu. Secara definisi, suara yang tidak dikehendaki

itu dapat dikatakan sebagai bising (Arifiani, 2004). Dalam definisi yang lebih

tepat, bising adalah apa saja kekuatan bunyi yang bisa memberi dampak

psikologis dan fisiologis yang tidak dikehendaki pada seorang individu,

sehingga bisa mengganggu kualitas aktivitas sosial seperti komunikasi, kerja,

tidur dan rekreasi.

Secara langsung maupun tidak langsung, bising mempunyai dampak

yang signifikan dalam kualitas kehidupan dan kesehatan seseorang (Sutter

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dkk, 1991). Bising yang terjadi dalam jangka waktu yang melampaui batas

adaptasi individu maka berakibat terjadi kondisi stress yang merusak atau

sering disebut distress (Budiman, 2002). Kebisingan yang terus menerus dapat

menyebabkan gangguan sistem endokrin (Budiman, 2002), gangguan sistem

imun (Nevid, 2003), gangguan fisiologis dan psikologis (Roestam, 2004),

gangguan gastrointestinal (Devi, 2009; Fonseca, 2004) dan gangguan

komunikasi (WHO, 1980). Sumber bising yang dikenal pasti antara lain

bising lalu lintas, pesawat udara, rel kereta api, proyek pembangunan,

industri, bising domestik dan produk konsumer (EPA, 1981). Biaya yang

harus ditanggung oleh kebisingan ini adalah amat besar. Misalnya, apabila

terjadi di tempat-tempat bisnis dan pendidikan, maka bising dapat

mengganggu komunikasi yang berakibat menurunnya kualitas bisnis dan

pendidikan. Trauma akustik atau gangguan pendengaran lain yang timbul

akibat bising ditempat kerja, gangguan sistemik yang timbul akibat

kebisingan, penurunan kemampuan kerja, bila dihitung kerugiannya secara

nominal dapat mencapai milyaran rupiah (Arifiani, 2004). Walaupun dampak

bising terhadap kualitas kehidupan manusia dari penelitian sebelumnya

terhitung banyak, penelitian dampaknya terhadap sistem imun pada manusia

jumlahnya adalah masih terbatas dan jarang dibahaskan secara mendalam.

Kebanyakan penelitian dilakukan pada tikus atau mencit karena lebih mudah

diberi perlakuan dan variabel-variabel luar atau pengganggu dapat

dikendalikan dengan prediksi akan memberikan dampak positif maupun


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

negatif pada komponen-komponen sistim imun (Hooi, 2003). Hewan coba

sering dipakai buat penelitian karena lebih praktis, mudah dan murah

berbanding penelitian menggunakan manusia yang rumit, sulit dan kompleks.

Pada sebuah penelitian melibatkan perlakuan stress bising pada mencit

untuk mencari efek akut dan kronisnya pada respon imunitas seluler dan

humoral menunjukkan bahwa pada paparan akut selama 3 hari berlaku

peningkatan respons imun berupa peningkatan kadar kortisol dan proliferasi

limfosit yang signifikan serta peningkatan kadar CD4+. Sementara itu, pada

paparan kronis selama 4 minggu didapatkan penurunan sistem imunitas

berupa penurunan proliferasi limfosit dan penurunan kadar CD4+ secara

signifikan. Kadar CD8+ yang diperoleh pada kedua-dua paparan akut dan

kronis adalah tidak signifikan (Cheng Zheng, 2007). Sedangkan pada

penelitian berbeda yang melibatkan perlakuan stres psikologis pada tikus yang

terinfeksi herpes simplex-1 (HSV-1) laten dan efeknya pada sel T CD8+,

ternyata hasil yang didapatkan adalah reaktivasi infeksi herpes simplex dan

penurunan kapasitas sel T CD8+ sebanyak 65% untuk bereaksi dengan

reaktivasi HSV-1 tersebut (Michael, 2007). Hasil yang diperoleh terkait CD8+

pada kedua penelitian ini adalah kontradiktif, tidak konsisten dan terbatas

sehingga memerlukan penelitian yang lebih lanjut dan mendalam.

Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas, maka penulis ingin

mengetahui dampak bising kontinyu sebagai stressor pada sistem imunitas

tubuh. Penulis mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui “Pengaruh


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Paparan Bising Kontinyu Kronik terhadap CD8+ pada Tikus Putih (Rattus

norvegicus)” yang mana menjadi judul penelitian penulis kali ini.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh paparan bising kontinyu kronik dengan kadar CD8+

pada tikus putih (Rattus norvegicus) ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh paparan bising kontinyu kronik

dengan kadar CD8+ pada tikus putih (Rattus norvegicus).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Untuk mengetahui tentang dampak kesehatan akibat bising kontinyu
terutama pengaruhnya terhadap sistem imun tubuh yaitu pada CD8+.

2. Manfaat Aplikatif

Penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian uji klinis selanjutnya


pada hewan yang tingkatannya lebih tinggi atau pada manusia, serta untuk
mencari efek dan implikasi bising kontinyu terhadap CD8+ pada manusia.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Bising

a. Bunyi

Bunyi adalah suatu sensasi yang dihasilkan oleh getaran

longitudinal molekul-molekul di lingkungan eksternal, yaitu apabila

berlaku fase pemadatan dan penghalusan molekul secara bergantian,

yang mengenai membrana timpani (Ganong, 2005).

Dua karakteristik penting bagi bunyi atau bising adalah

frekuensi dan kekuatan. Frekuensi bunyi adalah hasil jumlah dari

variasi tekanan gelombang bunyi per detik yang dihitung dalam satuan

Hertz (Hz). Kekuatan bunyi atau intensitas adalah arus energi per

satuan luas yang biasanya dinyatakan dalam suatu logaritmis yang

disebut decibel (dB). Rata-rata manusia mampu mendengar antara

frekuensi 20 Hz sehingga 20 kHz (WHO, 1980). Manusia juga dapat

mendengar suara dengan rentang intensitas antara 0 (pelan sekali)

sampai 140 dB (suara tinggi dan menyakitkan) (Gilang dan Rubianto,

2000). Para ahli bersetuju bahwa paparan secara terus menerus pada
5

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bising di atas 85 dBA, lama-kelamaan akan membahayakan

pendengaran. Secara amnya, semakin kuat bunyi, semakin kurang

waktu yang diperlukan untuk mempengaruhi pendengaran.

Untuk mengukur intensitas bunyi digunakan alat Sound Level

Meter. Komponen dasarnya adalah sebuah mikrofon, penguat suara

(amplifier) dengan pengatur frekuensi, dan sebuah layar indikator.

Mekanisme kerjanya apabila alat benda begetar maka akan

menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat

ditangkap oleh alat ini kemudian akan menggerakkan meter penunjuk

(Tigor, 2005).

b. Bising

Bising didefinisikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki

yang merupakan aktivitas alam (bicara, pidato) atau buatan manusia

(bunyi mesin) (Gabriel, 1996). Bising mempunyai dampak merugikan

pada kesejahteraan individu dan populasi (UNEP dan WHO).

Tingkat kebisingan dapat diukur menggunakan alat Sound

Level Meter. Komponen dasarnya adalah sebuah mikrofon, penguat

suara (amplifier) dengan pengatur frekuensi dan sebuah layar

indikator. Mekanisme kerjanya adalah apabila alat benda bergetar

maka akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang

dapat ditangkap oleh alat ini kemudian akan menggerakkan meter

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penunjuk (Tigor, 2005).

Berdasarkan sifatnya, bising dapat dibedakan menjadi

(Roestam, 2004):

1) Bising kontinyu dengan spektrum frekuensi luas (steady state,

wide band noise)

Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam

batas amplitudo kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik

berturut-turut. Misalnya kipas angin, suara dapur, mesin-mesin dan

lain-lain.

2) Bising kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state,

narrow band noise)

Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja

(5.000 Hz, 1.000 Hz atau 4.000 Hz). Misalnya suara gergaji

sirkuler, suara katup gas dan lain-lain.

3) Bising terputus-putus (intermittent noise)

Kebisingan tidak terus menerus melainkan ada periode relatif

tenang. Misalnya suara lalu lintas, suara kapal terbang di lapangan

terbang dan lain-lain.

4) Bising impusif (impact impulsive noise)

Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan

pendengarnya. Misalnya suara ledakan petasan, tembakan, meriam

dan lain-lain.

5) Bising impulsif berulang-ulang

Sama seperti bising impulsif tapi terjadi berulang-ulang.

Misalnya pada mesin tempa di perusahaan.

Berdasarkan frekuensi, tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi

dan tenaga bunyi maka bising dapat dibagi dalam 3 kategori:

1) Audible noise (bising pendengaran)

Bising ini disebabkan oleh frekuensi bunyi antara 31,5 - 8,000

Hz.

2) Occupational noise (bising yang berhubungan dengan pekerjaan)

Bising ini disebabkan oleh bunyi mesin ditempat kerja, bising

dari mesin ketik.

3) Impulse noise (impact noise = bunyi impulsif)

Bising yang terjadi akibat adanya bunyi yang menyentak,

misalnya pukulan palu, misalnya pukulan palu, ledakan meriam

bedil (Gabriel, 1996).

c. Bising kontinyu

Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

batas amplitudo kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-

turut. Misalnya kipas angin, suara dapur, mesin-mesin dan lain-lain

(Roestam, 2004). Pengaruh bising yang ditimbulkan tergantung pada

beberapa faktor, yaitu:

1) Intensitas bising

2) Jenis bising

3) Kerentanan individu/sensitivitas

4) Lama paparan (Hartono, 2007; Suma’mur, 1996)

Dampak bising bagi kesehatan manusia adalah:

1) Gangguan fisiologis

Efek fisiologi kebisingan dapat dibagi menjadi dua, yaitu efek

untuk jangka panjang dan efek untuk jangka pendek. Efek jangka

pendek dapat berupa refleks otot-otot (kontraksi otot), refleks

pernafasan (takipneu), respon kardiovaskuler (peningkatan tekanan

darah) (Karvanen dan Mikhaev, 1996). Efek jangka masa panjang pula

terjadi karena pengaruh hormonal. Terjadi ketidakseimbangan pada

homeostasis tubuh hingga hilangnya keseimbangan simpatis dan

parasimpatis yang secara klinis dapat berupa keluhan psikosomatik

seperti hipertensi dan disritmia jantung (Arifiani, 2004).

WHO melaporkan bahwa dilatasi dan spasme arteri dapat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

disebabkan oleh bising kontinyu dengan intensitas 100 dB serta

terdapat gangguan keseimbangan disebabkan bising dengan intensitas

95-120 dB.

2) Gangguan psikologis

Dampak psikologis akibat bising lingkungan telah lama

dipelajari dalam penelitian epidemiologi di antaranya ketergangguan

(annoyance), kesehatan psikososial dan gangguan psikiatris. Efek

paling utama dari bising telah diteliti dalam penelitian epidemiologi

adalah ketergangguan (annoyance) (Passchier dan Passchier, 2000).

Sedangkan menurut Roestam (2004) gangguan psikologis dapat berasa

tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, cepat marah. Bila

kebisingan diterima terlalu lama dapat menyebabkan penyakit

psikosomatik berupa gastritis, stres, kelelahan dan lain-lain.

3) Gangguan komunikasi

Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect

(bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan

penjelasan suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan

cara berteriak (Roestam, 2004). Gangguan ini bisa menyebabkan

terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya

kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

Gangguan komunikasi secara tidak langsung membahayakan

kesehatan.

4) Gangguan pendengaran

Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena

dapat menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif, mula-mula

efek kebisingan pada pendengaran adalah sementara dan akan segera

pulih kembali bila menghindar dari sumber bising. Namun bila terus

menerus bekerja ditempat bising, daya dengar akan hilang akan

menghilang secara menetap (Roestam, 2004). Kehilangan

pendengaran disebabkan karena bising impulsif spektrum luas dengan

frekuensi 4 KHz (Moller, 2000). Dapat juga terjadi nyeri telinga

tengah dengan intensitas bising 80-90 dB pada telinga yang

mengalami inflamasi (WHO, 1980).

5) Gangguan sistem endokrin

Bising adalah salah satu penyebab stress yang dapat

mempengaruhi tubuh dengan meningkatnya sekresi dari hormon

stress, seperti kortisol, adrenalin dan dopamine (Cheng Zheng, 2007).

Pada stress yang berpanjangan, hypothalamic – pituitary –

adrenocortical axis (HPA aksis) sangat berperan secara humoral

(Budiman, 2002). Dari aspek psikoneurologis menurut konsep Selye,

bising sebagai stressor dapat menyebabkan perubahan fisiologis pada

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

manusia untuk proses adaptasi secara bertahap melalui 3 fase, yaitu:

fase alarmed (berjaga-jaga), fase resistance (resistensi) dan fase

exhaustion (kelelahan) (Putra, 2005). Pada fase alarmed, berlaku

peningkatan corticotrophin releasing factor (CRF) oleh hipotalamus,

yang menyebabkan pelepasan adrenocorticotropic hormon (ACTH).

ACTH kemudian mengaktifkan proses biosintesis dan melepaskan

glukokortikoid terutama kortisol dari korteks adrenal dan adrenalin

serta noradrenalin dari medulla adrenal untuk respon flight or fight.

Setelah fase alarmed ini berada pada kapasitas maksimalnya dan

berlanjut ke fase resistance (resistensi), sistem saraf parasimpatetis

lebih digunakan untuk strategi coping sehingga respon flight or fight

berkurang. Sekiranya fase resistance (resistensi) terlewati dan stress

masih ada, akan berlaku fase exhaustion (kelelahan) yang akhirnya

berdampak negatif pada sistem imun.

2. Limfosit dan Sel T CD8+

a. Limfosit

Sistem imun tubuh manusia penting untuk resistensi terhadap

penyakit, terutama penyakit infeksi. Sistem imun tubuh terdiri atas

sistem imun alamiah atau non-spesifik (innate/natural/native) dan

didapat atau spesifik (adaptive/acquired). Sistem imun spesifik

memiliki kemampuan untuk mengenali benda asing (antigen) dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

kemudian menyingkirkannya dari sistem tubuh untuk mencegah

kerusakan pada tubuh. Sistem imun tubuh spesifik ini utamanya

diperankan oleh sel darah putih (leukosit) yang berperan banyak dalam

menjalankan sistem kekebalan humoral maupun seluler (Siti, 2001).

Fungsi utama sistem imun spesifik seluler adalah pertahanan terhadap

bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan

(kanker) (Baratawidjaya dan Karnen, 2003).

Limfosit, adalah salah satu jenis dari leukosit yang berperan

dalam sistem imun tubuh, baik humoral maupun selular. Lebih

spesifik lagi, limfosit dibagi menjadi 3, yaitu : limfosit T, Limfosit B

dan Natural Killer (NK) Cell. Limfosit T dan sel NK berperan

khususnya dalam reaksi imun seluler, sedangkan Limfosit B berperan

menghasilkan antibodi dalam sistem imun humoral (Leeson dkk,

1996).

Seluruh sel darah termasuk limfosit berasal dari pluripoten

stem sel yang berasal dari sumsum tulang yang kemudian

berdiferensiasi menjadi prolimfosit dan seterusnya berdiferensiasi

menjadi limfosit kecil. Limfosit B mengalami diferensiasi di sumsum

tulang, sedangkan Limfosit T mengalami diferensiasi di timus atas

pengaruh berbagai faktor asal timus. Sebanyak 90-95% dari semua sel

di timus mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan meninggalkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

timus seterusnya masuk ke sirkulasi (Baratawidjaya dan Karnen,

2003).

Limfosit T naif adalah limfosit matang yang belum

berdeferensiasi, belum pernah terpajan dengan antigen. Setelah

terpajan antigen yang diikat major histocompatibility complex (MHC)

yang dipresentasikan antigen presenting cell (APC) atau rangsang

sitokin spesifik akan berkembang menjadi subset limfosit T berupa

CD4+ dan CD8+ dengan fungsi efektor yang berlainan (Baratawidjaya

dan Karnen, 2003).

Sepanjang proses limfopoiesis, sitokin yang merupakan

mediator solubel short-acting banyak memainkan peran penting

seperti regulasi pertumbuhan, aktivasi, dan diferensiasi limfosit.

Antara sitokin yang bertindak sebagai limfokin adalah Interleukin-2

(IL-2), Interleukin-4 (IL-4), Interleukin-12 (IL-12), Interleukin-15 (IL-

15), Transforming Growth Factor-β (TGF-β) (Vinay dkk, 2005).

b. Sel T CD8+

Sel T CD8+ dikenal juga sebagai sel T sitotoksik. Antigen

permukaan sel ini juga dikenali sebagai T8, Leu2, Lyt2 atau OKT8.

CD8 tergolong dalam superfamili immunoglobulin. CD8 adalah

sebuah homodimer ikatan disulfida (disulfide-linked) atau

homomultidimer kepada dua 34 kDa subunit (CD8-α =CD8a=Lyt2,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

Ly2, OX8) atau juga sebagai komplek heterodimer dengan protein lain

dinamakan CD8-β (CD8b=Lyt3, Ly3) (de Totero dkk, 1992). Gen

manusia mengkoding map CD8-α dan CD8-β kepada kromosom 2p12

yang duduk berdekatan antara satu sama lain. Gen ini berhubungan

rapat dengan kluster rantai ringan immunoglobulin kappa (κ) (Giblin

dkk, 1989). Pada permulaannya, progenitor sel T dalam timus tidak

mengekspresi CD8 dan CD4. Proses perkembangannya juga melalui

beberapa tahapan. Timosit yang belum matang mengekspresi CD8 dan

CD4 dan sel ini akan meningkatkan kematangan sel T yaitu CD4+,

CD8- atau CD4-, CD8+ . Sel T yang mampu mengenal pasti MHC

sendiri ini akan dipilih untuk proses pematangan yang dikenali sebagai

seleksi positif. MHC kelas 1 ini akan mengeluarkan sinyal instruksi

untuk mengarahkan diferensisasi kepada jalur CD8.

Dalam sistem imun manusia, sel T CD8+ akan berfungsi

sebagai sel T sitotoksik/suppressor yang berinteraksi dengan molekul

MHC Kelas 1 bersama dengan fragmen antigen yang diproses.

Berbeda dengan sel NK yang juga berfungsi sitotoksik tetapi tidak

memerlukan MHC Kelas 1 untuk bereaksi terhadap antigen

intraseluler (Cooper dkk, 2001). Sel T sitotoksik akan memusnahkan

sel yang lain dengan cara memasukkan perforin ke dalam membran sel

target sehingga menghasilkan porus melalui melalui jalan granzim

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

(granzyme) dimasukkan dan menyebabkan reaksi granule-associated

osmotic lysis pada sel target (sama reaksinya seperti complement

membrane attack complex) atau melalui aktivasi kaspases (caspases)

untuk merangsang apoptosis pada sel target. Respon-respon ini sangat

berguna untuk mengontrol infeksi virus dan juga keganasan (Borrow,

1994). Sel T sitotoksik/suppressor ini juga meregulasi respon imun

yang lain dengan cara melepaskan faktor-faktor solubel yang akan

bertindak ke atas Limfosit B untuk menghasilkan antibodi (Vinay dkk,

2002).

3. Hubungan antara bising dan sel T CD8+

Bising merupakan perubahan lingkungan yang bisa menyebabkan

berlakunya perubahan biologikal akut atau kronis yang signifikan untuk

kesehatan dan secara tepat mempunyai dampak yang jelas terhadap fungsi

imunitas.

Dalam hal ini, bising bertindak sebagai stresor psikologis dan

fisiologis yang akan menyebabkan gangguan hormonal yang memicu

respon perubahan fisiologis dan perilaku untuk memulihkan homeostasis.

Ini meliputi aktivasi hypotalamic-pituitary-adrenal axis (HPA aksis) dan

sistem saraf simpatetis yang menghasilkan Adrenokorticotropin yang

seterusnya mengakibatkan peningkatan sekresi kortisol oleh kelenjar

adrenal (Avitsur, 2006). Kortisol mempunyai efek anti-inflamasi dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

imunosupresif, yaitu dengan menyebabkan atrofi jaringan limfoid pada

seluruh tubuh yang seterusnya mengurangi penghasilan sel T dan antibody

dari jaringan limfoid (Guyton, 2004).

Dengan memodulasi aksis HPA, kortisol dapat menghambat inflamasi

dan mengsupresi sitokin inflamasi dengan cara menginhibisi transkripsi

gen yang mengkode protein yang melibatkan proses inflamasi. Banyak

dari gen ini dikontrol oleh faktor transkripsi Activator Factor 1 (AP- 1)

dan Nuclear Factor κB (NF- κB) (Todd R dkk, 1998).

Efek dari inhibisi faktor transkripsi AP- 1 dan NF- κB antaranya

adalah:

a. Mengurangi eosinofil sirkulasi dan jaringan limfoid, terutama

sel T dengan meredistribusikannya ke kompartemen lain serta

merusakkan imunitas seluler.

b. Mengurangi permeabilitas kapilari dan mengekalkan respon

vaskuler serta menstabilisasi lisosom.

c. Menghambat produksi dan aksi mediator inflamasi seperti

limfokin dan prostaglandin.

d. Menghambat produksi dan aksi interferon oleh limfosit T serta

menghambat produksi IL- 1 dan IL- 6 oleh makrofag.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

e. Menghambat produksi faktor pertumbuhan sel T oleh limfosit

T. Dari penelitian terkini yang dilakukan, didapatkan bahawa

sel-sel limfoid seperti CD8+ dan CD4+ timosit mengalami

apoptosis sebagai respons kepada glukokortikoid. Akan tetapi,

walaupun banyak usaha telah dilakukan untuk memahami

mekanisme ini, hingga kini masih tidak dapat difahami secara

jelas (De Bosscher dkk, 2003).

f. Membalikkan proses aktivasi makrofag dan menghalang aksi

Macrophage Inhibiting Factor (MIF).

g. Mengurangkan produksi prostaglandin dan leukotrien dengan

menghambat aktiviti fosfolipase A2, yang akan memblokir

pelepasan asam arakidonat dari fosfolipid.

h. Menghambat produksi dan efek inflamasi oleh bradikinin,

faktor aktivasi platlet dan serotonin.

(Harrison, 2008).

Seperti yang telah dijelaskan bahwa bising merupakan stressor

fisiologis dan psikologis yang akan menghasilkan kortisol. Dengan ini,

kortisol akan menyebabkan faktor transkripsi gen AP- 1 dan NF- κB

terhambat hingga produksi limfokin dan APC yang mengaktivasi faktor

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

pertumbuhan diferensiasi dan pematangan CD8+ seperti IL- 1, IL- 2, IL- 6,

IL- 8 dan IFN-γ menurun.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

B. Kerangka Pemikiran

Suhu, Radiasi, PAPARAN


Kelembaban BISING Kondisi lingkungan
udara, Cuaca KONTINYU Sosekbud
KRONIK

Stres fisik Stres Psikologis

menghambat Hipotalamus
CRH -
Hipofisis anterior
Mekanisme
Feedback Negatif ACTH -

Korteks adrenal

Kortisol -
menghambat
Reseptor
Glukokortikoid

Respon Imun
Seluler ↓

Ekspresi CD8+ ↓
diteliti :
tidak diteliti :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

C. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah paparan bising kontinyu kronik

dapat mempengaruhi kadar CD8+ pada tikus putih (Rattus norvegicus).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di rumah kaca Laboratorium Sentral MIPA Sub

Biologi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta dan Laboratorium Patologi Klinik,

Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan adalah tikus putih jantan (Rattus

norvegicus), berumur 2-3 bulan dengan berat badan sekitar 150-250 gram

sebanyak 30 ekor.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan random sederhana.

22

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

E. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah the post test only control group design

(Taufiqqurrahman, 2003).

F. Kerangka Penelitian

Sampel K1 HK1 Bandingkan

tikus putih A K2 HK2 dengan uji

(30 ekor) K3 HK3 statistik

Keterangan :
A : Adapatasi selama tujuh hari di dalam Laboratorium Sentral MIPA UNS.

K1 : Kelompok I sebagai kontrol, tidak diberi perlakuan bising.

K2 : Kelompok II diberi paparan kontinyu sebesar 72 dB. Pengaturan bising yang

digunakan adalah 5 jam paparan/hari dalam waktu 21 hari (Cheng Zheng,

2007).

K3 : Kelompok III diberi paparan bising kontinyu sebesar 90 dB. Pengaturan

bising yang digunakan adalah 5 jam paparan/hari dalam waktu 21 hari

(Cheng Zheng, 2007).

HK1: 1cc darah diambil dan dilakukan pemeriksaan flowcytometry.

HK2: 1cc darah diambil dan dilakukan pemeriksaan flowcytometry.

HK3: 1cc darah diambil dan dilakukan pemeriksaan flowcytometry.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

G. Instrumen dan Bahan Penelitian

Instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Sirine elektrik : frekuensi yang digunakan adalah 350 Hz

2. Sound level meter

3. Kandang

4. Timbangan Torbal

5. Spuit

6. Termometer

7. Higrometer

8. Flowcytometry

Bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. 1cc darah tikus putih

2. Makanan hewan percobaan

3. Minuman hewan percobaan

4. Reagen FITC anti-rat CD8+antibody

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

H. Cara Kerja

1. Adaptasi hewan coba

Hewan percobaan diadaptasikan di rumah kaca Laboratorium Sentral

MIPA Biologi UNS selama tujuh hari dengan pemberian makanan dan

minuman. Makanan yang diberikan sebesar 8-25 gram/hari untuk masing-

masing tikus (Jann dan Gerald,2003) dan minuman 15-30 ml per hari. Hewan

percobaan ini ditempatkan dalam kandang dimana tiap kandang terdiri atas 10

ekor tikus.

2. Pelaksanaan Penelitian

Masing-masing hewan coba ditimbang terlebih dahulu kemudian

dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban. Hewan percobaan dibagi

menjadi 3 kelompok, masing-masing terdiri atas 10 ekor tikus putih.

a. Kelompok I : ditempatkan di dalam rumah kaca Laboratorium Sentral

MIPA UNS tapi diletakkan di ruangan yang berbeda,

tanpa diberi paparan bising kontinyu.

b. Kelompok II : ditempatkan di dalam rumah kaca Laboratorium Sentral

MIPA Biologi UNS dengan intensitas bising 72 dB

(Otten, 2004). Pengaturan bising yang digunakan adalah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

5 jam paparan/hari dalam waktu 21 hari (Cheng Zheng,

2007).

c. Kelompok III : ditempatkan di dalam rumah kaca Laboratorium Sentral

MIPA Biologi UNS dengan intensitas bising 90 dB

(Otten, 2004). Pengaturan bising yang digunakan adalah

5 jam paparan/hari dalam waktu 21 hari (Cheng Zheng,

2007).

3. Pengukuran Hasil

Setelah hewan coba diberi perlakuan bising selama 21 hari, masing-

masing tikus dalam tiap kelompok diambil darah sebanyak 1 cc dan dilakukan

pemeriksaan kadar CD8+ menggunakan flowcytometry.

Penyediaan sampel untuk flowcytometry. Teknik yang dilakukan

adalah pengecatan langsung immunofluoresen sel dan darah (Direct

Immunofluorescence Staining of Cells and Blood). Teknik ini digunakan

apabila fluorokrom (molekul flouresen) secara langsung dihubungkan ke

antibodi primer contohnya Phycoerythrin (PE), Fluorescein Isothiocyanate

(FITC) dan konjugat Alexa Fluor.

a. Sampel darah segar digunakan tanpa diencerkan melainkan pada jumlah

sel yang tinggi contoh pada pasien leukemia (EDTA dan heparin adalah

anti-koagulan pilihan).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

b. Ambil dan masukkan 100 µl suspensi sel [1 cc darah segar tikus putih] ke

dalam seberapa banyak tabung uji yang dikehendaki.

c. Masukan antibodi (FITC anti-rat CD8+antibody) pada dilusi yang

direkomendasikan. Campurkan dengan sebaiknya dan inkubasikan pada

suhu kamar selama 30 menit.

d. Kemudian masukkan buffer lisis sel darah merah, 2 ml AbD Serotec’s

Erythrolyse dan campurkan dengan baik. Inkubasikan 10 menit pada suhu

kamar. Sentrifudge pada 400g selama 5 menit dan buang supernatan.

Standar yang benar harus selalu diikuti untuk mendapatkan data

dengan pemeriksaan flowcytometry (Rahman, 2006).

I. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : bising kontinyu kronik

2. Variabel terikat: kadar CD8+

3. Variabel luar:

a. Variabel luar kendali,

Jenis kelamin, umur, berat badan, temperatur, jumlah cahaya, variasi

genetik, jenis makanan dan minuman.

b. Variabel luar tak terkendali,

Kondisi psikologis tikus putih, bising dari dalam laboratorium.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

J. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Paparan bising kontinyu kronik selama 21 hari dengan menggunakan

sumber bunyi yaitu sirine elektrik frekuensi 350Hz (Sarkaki dan Karami,

2004) kemudian intensitasnya diukur dengan Sound Level Meter. Ada tiga

perlakuan yang digunakan dalam percobaan ini :

a. Kelompok I tidak diberi paparan bising yang digunakan sebagai kontrol.

b. Kelompok II diberikan paparan bising intensitas 72 dB (Otten, 2004).

Pengaturan bising yang digunakan adalah 5 jam paparan/hari dalam waktu

21 hari (Cheng Zheng, 2007).

c. Kelompok III diberi paparan bising dengan intensitas 90 dB. Pengaturan

bising yang digunakan adalah 5 jam paparan/hari dalam waktu 21 hari

(Cheng Zheng, 2007)

Skala pengukuran variabel ini adalah skala nominal.

2. Variabel Terikat

Pemeriksaan kadar CD8+ menggunakan alat flowcytometry. Alat

tersebut menggunakan prinsip pencaran cahaya, eksitasi cahaya dan emisi

molekul flourokrom untuk menghasilkan data multi-parameter spesifik dari

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

partikel atau sel dengan ukuran diameter berkisar dari 0.5µm hingga 40 µm.

Hasil pengukuran dinyatakan dalam persen. (Rahman, 2006)

Skala pengukuran variebel ini adalah skala rasio.

3. Variabel luar

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan.

1) Jenis : Tikus putih (Rattus norvegicus)

2) Jenis Kelamin : Jantan

3) Umur : 2-3 bulan

4) Berat badan : 150-250 gram

5) Makanan : BR 1

6) Minuman : air PAM 15-30 ml

b. Variabel luar yang tidak dikendalikan.

1) Kondisi psikologi tikus putih (Rattus norvergicus)

Dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Misalnya kondisi

lingkungan di luar laboratorium yang terlalu ramai.

2) Bising dari luar laboratorium

Sebelum tikus putih mendapat paparan bising mungkin saja

kadar CD8+ sudah mengalami perubahan terlebih dahulu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

K. Teknik Analisis Data Statistik

Data yang diperoleh akan diuji menggunakan uji statistik one-way

ANOVA. Jika terdapat perbedaan yang bermakna , akan dilanjutkan dengan uji

Post hoc. Alat untuk melakukan analisis Post Hoc untuk uji one-way ANOVA

adalah dengan uji LSD (Dahlan , 2008).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Karakteristik Sampel

Penelitian ini dilakukan terhadap tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

galur Wistar yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 150-250 gram

(Lampiran 1).

Tabel 1. Rata-rata berat badan tikus putih sebelum diberi paparan (satuan = gram)

Kelompok Rata-rata BB tikus putih ± SD

Kelompok I (N=9) 205,11 ± 23,40a

Kelompok II (N=9) 185,56 ± 22,97a

Kelompok III (N=9) 210,33 ± 32,81a

Keterangan : Huruf yang sama (a) pada satu kolom menunjukkan tiada perbedaan
yang bermakna antara masing-masing kelompok pada uji One-way
ANOVA

Tabel 1 menunjukkan rata-rata berat badan tikus putih sebesar 205,11 ±

23,40 gram untuk kelompok I, 185,56 ± 22,97 gram untuk kelompok II, dan

210,33 ± 32,81 gram untuk kelompok III. Setelah diuji dengan menggunakan uji

One-way ANOVA (Lampiran 2) didapatkan hasil tidak berbeda secara bermakna

antara kelompok (p>0,05), sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata berat badan

31
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

tikus putih pada masing-masing kelompok adalah sama dan tidak mempengaruhi

hasil penelitian.

B. Karakteristik Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di rumah kaca Laboratorium Sentral MIPA, UNS

pada tanggal 30 Juni 2010 sampai 27 Juli 2010. Kelompok I diletakkan di

ruangan terpisah dari kelompok II dan III yang diberi paparan tetapi masih berada

dalam satu rumah kaca.

Tabel 2. Rata-rata kelembaban ruangan selama paparan (satuan =%)

Kelompok Rata-rata Kelembaban Ruangan ± SD

Kelompok I (N=9) 68,81 ± 5,21a

Kelompok II (N=9) 68,81 ± 5,21a

Kelompok III (N=9) 68,81 ± 5,21a

Keterangan : Huruf yang sama (a) pada satu kolom menunjukkan tiada perbedaan
yang bermakna antara masing-masing kelompok pada uji One-way
ANOVA

Tabel 2 menunjukkan rata-rata kelembaban ruangan sebesar 68,81 ±

5,21% untuk kelompok I, 68,81 ± 5,21% untuk kelompok II, dan 68,81 ± 5,21%

untuk kelompok III. Setelah diuji dengan menggunakan uji One-way ANOVA

(Lampiran 2) didapatkan hasil tidak berbeda secara bermakna antara kelompok

(p>0,05), sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata kelembaban ruangan untuk

masing-masing kelompok adalah sama dan tidak mempengaruhi hasil penelitian.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

Tabel 3. Rata-rata suhu ruangan selama paparan (satuan = celcius)

Kelompok Rata-rata Suhu Ruangan ± SD

Kelompok I (N=9) 27,09 ± 1,30a

Kelompok II (N=9) 27,00 ± 1,39a

Kelompok III (N=9) 27,09 ± 1,30a

Keterangan : Huruf yang sama (a) pada satu kolom menunjukkan tiada perbedaan
yang bermakna antara masing-masing kelompok pada uji One-way
ANOVA

Tabel 3 menunjukkan rata-rata suhu ruangan sebesar 27,09 ± 1,300C

untuk kelompok I, 27,00 ± 1,390C untuk kelompok II, dan 27,09 ± 1,300C untuk

kelompok III. Setelah diuji dengan menggunakan uji One-way ANOVA (Lampiran

2) didapatkan hasil tidak berbeda secara bermakna antara kelompok (p>0,05),

sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata suhu ruangan untuk masing-masing

kelompok adalah sama dan tidak mempengaruhi hasil penelitian.

C. Hasil Penelitian

Sirine elektrik (frekuensi 350 Hz) yang digunakan sebagai sumber bising

diletakkan sedemikian rupa dengan kelompok paparan. Kelompok perlakuan satu

dan dua masing-masing terdiri dari dua kandang dan diletakkan mengapit sirine

elektrik dengan jarak tertentu sehingga didapatkan intensitas bising 72 dB dan 90

dB yang diukur dengan sound level meter.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

Setelah 21 hari, 9 ekor tikus dari tiap kelompok diambil darahnya

sebanyak 1 cc kemudian dianalisis kadar CD8+ dengan menggunakan

flowcytometry di Laboratorium Patologi Klinik, Universitas Gadjah Mada.

Tabel 4. Rata-rata kadar CD8+ setelah perlakuan (satuan = %)

Kelompok Rata-rata kadar CD8+ ± SD

Kelompok I (N=9) 24,13 ± 3,74a

Kelompok II (N=9) 35,44 ± 7,67b

Kelompok III (N=9) 37,01 ± 1,12b

Keterangan : Huruf yang berbeda pada satu kolom menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara masing-masing kelompok pada uji One-way
ANOVA

Tabel 4 menunjukkan rata-rata kadar CD8+ tikus putih sebesar 24,13 ±

3,74 % untuk kelompok I, 35,44 ± 7,67% untuk kelompok II, dan 37,01 ± 1,12%

untuk kelompok III. Setelah diuji dengan menggunakan uji One-way ANOVA

(Lampiran 5) didapatkan hasil berbeda secara bermakna antara kelompok

(p<0,05), sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata kadar CD8+ tikus putih pada

masing-masing kelompok adalah berbeda.

D. Analisis Data

Sebelum dilakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan pengecekan

data secara visual dengan boxplot (Lampiran 6), serta dilakukan uji prasyarat

parametrik One-way ANOVA dengan uji normalitas data (uji Shapiro-Wilk) dan

uji homogenitas varians (uji Levene).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

Tabel 5. Hasil uji normalitas data dan homogenitas varians untuk kadar CD8+

Kelompok Uji Shapiro-Wilk Uji Levene


Kelompok I 0,56
Kelompok II 0,49 0, 03
Kelompok III 0,13

Hasil uji normalitas (Tabel 5) menegaskan bahwa kadar CD8+ mempunyai

distribusi normal karena pada kelompok I, II dan III nilai p>0,05. Manakala nilai

p dari uji Levene sebesar 0,03 menunjukkan bahwa varians antara kelompok

adalah tidak homogen.

Dari hasil uji prasyarat disimpulkan bahwa data kadar CD8+ tidak dapat

dianalisis menggunakan menggunakan uji One-way ANOVA karena salah satu

syarat uji parametrik tidak terpenuhi (Lampiran 4). Hasil uji prasyarat yang

diperoleh dilakukan transformasi data menggunakan bentuk transformasi

1/Square root (CD8+). Hasilnya, data didapati mempunyai distribusi normal dan

varians didapati homogen (Lampiran 4).

Tabel 6. Hasil uji normalitas data dan homogenitas varians untuk kadar CD8+
setelah data ditransformasi.

Kelompok Uji Shapiro-Wilk Uji Levene


Kelompok I 0,92
Kelompok II 0,79 0,12
Kelompok III 0,02

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

Kemudian dilanjutkan dengan uji One-way ANOVA. Hasil yang diperoleh

adalah p=0,000 (p<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat

perbedaan kadar CD8+ antara dua kelompok bermakna secara statistik. Hal ini

juga berarti bahwa hipotesis nihil (H0) ditolak dan hipotesis kerja diterima.

(Lampiran 5).

Untuk mengetahui letak perbedaan antara kelompok. Hasil menunjukkan

bahwa antara kelompok I dengan kelompok II dan kelompok I dengan kelompok

III terdapat perbedaan yang sangat bermakna dengan p=0,01 (p<0,05). Sedangkan

antara kelompok II dengan kelompok III mempunyai perbedaan yang tidak

bermakna dengan p=0,881 (p>0,05) (Lampiran 5). Oleh karena perbandingan

antara kelompok menunjukkan adanya perbedaan kadar CD8+ yang bermakna

secara statistik (p<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa paparan bising kontinyu

kronik memberikan pengaruh sehingga terdapat perbedaan bermakna pada kadar

CD8+ antara tiga kelompok tikus putih (Rattus norvegicus).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian paparan bising kontinyu kronik dilakukan terhadap 3 kelompok

tikus putih, yaitu kelompok I (kontrol), kelompok II (paparan bising kontinyu 72 dB,

5 jam paparan, 21 hari), dan kelompok III (paparan bising kontinyu 90 dB, selama 5

jam paparan, 21 hari). Sebelum penelitian dilakukan berat badan tikus ditimbang.

Selain itu diukur pula kelembaban dan suhu ruang. Hasil uji statistik One-way

ANOVA membuktikan bahwa berat badan hewan uji, suhu dan kelembaban ruangan

sebelum perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05). Hal

ini berarti bahwa faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan dan tidak berpengaruh

terhadap hasil penelitian.

Setelah 21 hari, darah diambil sebanyak 1 cc (9 ekor untuk tiap kelompok)

dan dilakukan analisis dengan menggunakan flowcytometry setelah ditambahkan

dengan FITC anti-rat CD8+antibody . Dari Tabel 4 didapatkan rata-rata kadar CD8+

pada setiap perlakuan untuk kelompok I, kelompok II dan kelompok III. Data

kemudiannya dianalisis dengan menggunakan uji One-way ANOVA, diperoleh hasil

p=0,000 (p<0,05) berarti terdapat perbedaan yang bermakna pada tiap kelompok

37

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

yang diuji yaitu kadar CD8+ antara kelompok kontrol dengan kelompok paparan 72

dB dan 90 dB. Hasil ini menunjukkan bahwa paparan bising kontinyu kronik dapat

mempengaruhi kadar CD8+ tikus putih.

Untuk mengetahui letak perbedaan antara kelompok, maka dilanjutkan

dengan uji LSD. Hasilnya, terdapat perbedaan bermakna antara kelompok I dengan

kelompok II yaitu p=0,011 (p<0,05) dan antara kelompok I dengan kelompok III

p=0,016 (p<0,05). Perbedaan yang tidak bermakna ditemukan antara kelompok II

dengan kelompok III apabila p=0,881 (p>0,05).

Pengaruh bising terhadap kesehatan tergantung pada intensitas bising, tipe

bising, lama paparan dan kerentanan suatu individu (Hartono, 2007; Suma’mur,

1996). Semakin tinggi intensitas suatu bising maka makin berpengaruh pada

kesehatan, begitu juga jenis bising. Bising pada penelitian ini merupakan jenis bising

kontinyu yang ditimbulkan oleh siren elektrik dengan lama paparan 21 hari.

Paparan bising (kontinyu) yang diberikan, memacu tubuh untuk merespon

secara bertahap melalui kondisi stres seperti pada konsep Selye yaitu General

Adaptation Syndrome (GAS) yang dibagi menjadi 3: alarm stage, adaptation stage,

dan exhaustion stage (Putra, 2005). Pada alarm stage, tubuh yang mendapat stress

ringan akan memacu imunitas alami dan adaptif sebagai respon awal (McEwen,

2007). Coping mechanism bisa melalui dua cara yang berbeda yaitu, cara aktif

dengan flight or fight yang mengaktifkan sympathetic adrenal-medullary (SAM)

system dengan sekresi hormone katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) dan cara

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

reaksi pasif yang lebih melibatkan aktivasi hypothalamic pituitary adrenocortical

(HPA) axis dan sekresi glukokortikoid. Jika mekanisme coping bekerja, kondisi yang

timbul akibat stres tadi akan kembali normal.

Apabila stressor terus dipaparkan dan coping mechanisme gagal, tubuh akan

memasuki fase kedua yaitu fase adaptasi atau resistensi (adaptation stage) (McEwen,

2007). Pada tahap ini tubuh (sistem imun) mulai kelelahan, tetapi belum sampai

timbul imunosupresif. Namun jika stresor tetap diberikan terus dalam jangka waktu

tertentu, maka respon yang diberikan tubuh akan jauh berbeda dibanding sebelumnya

(McEwen, 2007). Tubuh akan memasuki exhaustion stage atau chronic stress. Pada

penelitian ini, stres kronik didapatkan dengan memberi paparan bising kontinyu

selama 21 hari, seperti yang dinyatakan Prasher (2009), stres kronik bisa terjadi jika

terpapar dengan bising secara berulang kali.

Apabila tubuh memasuki exhaustion stage atau stres kronik, kortisol

diproduksi melalui kaskade hormonal HPA axis. Berbeda dengan hormon

katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) pada SAM system yang dilepaskan seketika,

hormone glukokortikoid dilepaskan secara berangsur ke dalam sirkulasi darah

(Romero dan Butler, 2007). Ini menyebabkan kortisol darah meningkat sekaligus

mengakibatkan juga tekanan darah, proses glukoneogenesis, dan simpanan lemak

tubuh meningkat. Glukokortikoid mempunyai efek yang meluas dalam menginhibisi

sistem imun dengan cara menghambat sintesa sitokin, menghambat presentasi antigen

pada ekspresi major histocompatibilty complex (MHC), penurunan aktivasi dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

proliferasi sel T, sel B dan makrofag, mengurangi sirkulasi dan kemotaksis limfosit,

menstimulasi atrofi pada timus dan mencetuskan kematian pada sel T dan B imatur

(Romero dan Butler, 2007).

Bersamaan dengan peningkatan kadar kortisol yang kronik akibat dari stres

yang berulang kali, kadar noradrenalin serta efektifitasnya juga didapati meningkat

(Ising, 2000). Menurut Prasher (2009), pada stres kronis yang berlanjutan, sistem

imun tidak lagi sensitif dan merespon pada hormon glukokortikoid.Stres kronik

meningkatkan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) dan kadar CD8+ yang

seterusnya menekan sistem imun. Peningkatan kadar noradrenalin pada stres kronis

ini bukannya sekresi dari medula suprarenal tetapi berasal dari sinap sistem saraf

simpatis yang juga menginervasi organ limfoid yang merupakan tempat limfopoiesis

(Apanius, 1998). Hasil penelitian yang sama didapatkan pada kelompok II dan III

yang mengalami kenaikan kadar yang bermakna jika dibanding dengan kelompok I.

Kelompok II dan III dapat dirumuskan berada dalam fase kelelahan awal (early

exhaustion stage) dari perubahan fisik tikus yang kelihatan lemah dan dari kenaikan

jumlah CD8+. Kenaikan jumlah CD8+ ini menandakan fungsi imun dalam keadaan

stres kronis dan tidak bisa kembali ke tahap normal sebaliknya terjadi kompensasi

dengan memperbanyakkan sel imun (Apanius, 1998). Hal yang sama juga ditemukan

pada penelitian oleh Monjan dan Collector (1977) pada paparan bising intensitas

selama 4 minggu juga mendapatkan peningkatan kadar sel T pada mencit.

Perbedaan yang tidak bermakna antara kelompok II dan kelompok III bisa

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

terjadi karena paparan bising intensitas 72 dB sudah cukup untuk mencetus stres

sehingga berdampak negatif pada psikoneuroimunologi tikus putih. Bising intensitas

> 70 dB bisa menyebabkan gangguan kesehatan seperti hipertensi, penyakit jantung

iskemik, gangguan pendengaran dan gangguan psikososial (Passchier dan Passchier,

2000).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Simpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan

adalah paparan bising kontinyu kronik dapat mempengaruhi kadar CD8+ pada

tikus putih (Rattus norvegicus).

B. Saran

1. Melakukan penelitian lebih lanjut tentang bising kontinyu dengan variasi lama

paparan yang berbeda sehingga dapat diketahui pengaruhnya pada sel

imunokompeten yang lain.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat umum bahwa bising dapat

mempengaruhi proses fisiologi dan patologi pada manusia.

commit42to user

Anda mungkin juga menyukai