Anda di halaman 1dari 4

Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi

kepentingan pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manejemen harus
mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham. Masalah agensi
antara pemegang saham dengan manajemen perusahaan terjadi dimana manajemen
perusahaan melalui keputusan-keputusannya, berupaya dan bertindak menguntungkan
pihak manajemen perusahaan dan merugikan pemegang saham. Hal ini dapat dihindari atau
diminimalisir dengan cara memonitor kinerja dan keputusan-keputusan manajemen
perusahaan.

-----------------------------------

Masalah keagenan adalah konflik kepentingan yang melekat dalam hubungan apa pun di
mana satu pihak diharapkan bertindak demi kepentingan terbaik pihak lain. Dalam keuangan
perusahaan, masalah keagenan biasanya mengacu pada konflik kepentingan antara
manajemen perusahaan dan pemegang saham perusahaan. Manajer, bertindak sebagai
agen bagi pemegang saham, atau prinsipal, seharusnya membuat keputusan yang akan
memaksimalkan kekayaan pemegang saham meskipun itu adalah kepentingan terbaik
manajer untuk memaksimalkan kekayaan mereka sendiri.
Masalah keagenan muncul selama ada hubungan antara prinsipal dan agen. Agen biasanya
dipekerjakan oleh principal karena tingkat keterampilan yang berbeda, posisi pekerjaan yang
berbeda, atau pembatasan waktu dan akses. Masalah keagenan muncul karena adanya
masalah dengan insentif dan adanya diskresi dalam penyelesaian tugas. Seorang agen
dapat dimotivasi untuk bertindak dengan cara yang tidak menguntungkan bagi prinsipal jika
agen diberikan insentif untuk bertindak dengan cara kurang tepat.

Upaya Meminimalisir Masalah Keagenan


Berikut terdapat beberapa upaya meminimalisir masalah keagenan:

a) Menyamakan kepentingan manajemen.


b) Pengawasan Good corporate governance (GCG).
c) Pemberian reward dan punishment (penghargaan dan hukuman).
d) Menggunakan utang sebagai sumber pendanaan perusahaan.
e) Intervensi langsung oleh pemegang saham.
f) Meningkatkan kepemilikan saham oleh institusi.

Meskipun tidak mungkin untuk menghilangkan masalah keagenan seluruhnya, principal


dapat mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan risiko. Dalam meminimalkan resiko
ini, seringkali principal harus mengeluarkan biaya keagenan (agency cost). Selain itu,
hubungan principal-agent dapat diatur, dan seringkali, dengan kontrak, atau hukum dalam
kasus pengaturan fidusia. Metode lain yang bisa digunakan adalah dengan memberi insentif
kepada agen untuk bertindak lebih sesuai dengan kepentingan terbaik prinsipal. Misalnya,
jika agen diberikan insentif ketika telah penyelesaian proyek yang menguntungkan, atau
menghasilnya cash flow pada tingkat tertentu yang memungkinkan untuk pembagian dividen
lebih tinggi untuk shareholders, atau diberikan target Dividend Payout Ratio (DPR) tertentu,
dan sebagainya. Ada skema insentif jangka pendek dan jangka Panjang ini akan mendorong
manageruntuk tidak bertindak demi kepentingan terbaik prinsipal.
Contoh Kasus : Masalah Keuangan PT Garuda Indonesia Tbk.
Masalah keuangan yang saat ini dihadapi oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA)
disebabkan karena rute penerbangan yang kurang strategis, adanya kesalahan manajemen
masa lalu yang berujung pada aksi dugaan korupsi, ditambah dengan kondisi pandemi
Covid-19. Saat ini perusahaan tengah berupaya untuk memperbaiki struktur biaya (cost
structure) untuk menyehatkan kembali kondisi perusahaan. Pemerintah RI merupakan
pemegang saham mayoritas seri B Garuda Indonesia sebanyak 15,67 miliar unit (60,54%).
Pemegang saham GIAA lainnya adalah PT Trans Airways dengan jumlah kepilikan saham
7,32 miliar unit (28,26%), kemudian masyarakat melalui bursa saham sebanyak 2,9 miliar
unit (11,2%), serta direksi sebanyak 0,00%. Hingga akhir September 2021, Garuda
Indonesia mengalami kerugian US$ 1,66 miliar atau sekitar Rp 23,7 triliun (kurs US$
14.307,1 per dolar AS). Angka tersebut meningkat 54,66% dibanding posisi akhir September
2020 yang sebesar US$ 1,07 miliar. Dengan kerugian tersebut, maka saldo rugi Garuda
semakin membengkak menjadi Rp 70,5 triliun. Dengan kerugian tersebut, aset Garuda
Indonesia menyusut 12,88% menjadi US$ 9,4 miliar atau setara Rp 134,79 triliun pada akhir
September 2021 dibanding posisi Desember 2020 sebesar US$ 10,8 miliar.
Selain itu, pemberian kredit oleh perusahaan leasing secara semena-mena dan harga
sewa pesawat juga dipatok sangat tinggi menyebabkan PT Garuda Indonesia mengalami masa
krisis terpuruk. Menurut Mantan komisaris PT Garuda Indonesia (Peter F Gontha), maskapai
perlu melakukan negosiasi terhadap kredit yang sudah terlanjur diterima. Namun, kebijakan
negosiasi itu justru sempat ditolak oleh para direksi perusahaan. Menurut catatannya, salah satu
biaya sewa pesawat tinggi ada di pesawat Boeing 777. Harga sewa yang diterima Garuda
mencapai US$1,4 juta per bulan atau setara Rp19,84 miliar (kurs Rp14.172 per dolar AS).
Padahal, menurutnya, harga sewa rata-rata di pasar cuma sebesar US$750 ribu per bulan atau
Rp10,62 miliar. Artinya, harga yang diterima Garuda hampir dua kali lipat dari harga pasar.
Selain itu, tersorot jumlah penyewaan pesawat yang terlalu banyak. Salah satunya sewa
pesawat CRJ mencapai 17 unit menganggur dan rugi mencapai ratusan juta.

(Sumber Modul EKMA4213 Manajemen Keuangan Hal 1.10-1.16 dan CNN Indonesia)

Anda mungkin juga menyukai