Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PARADIGMA ADMINISTRASI NEGARA


“Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok matakul etika administrasi publik”

DOSEN PENGAMPU
Weni Puji Hastuti,S.Sos.M.KP

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2:


Awang Pratama (12070512259)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM


RIAU
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
2022/2023
Kata Pengantar

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 5 November 2022

Penyusun
Daftar Isi

KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..............................................................................................1
C. TUJUAN PENULISAN...............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................2
A. PARADIGMA ADMINISTRASI NEGARA.............................................................2
B. ADMINISTRASI PUBLIK TRADISIONAL/KLASIK ..........................................3
C. MANAJEMEN PUBLIK BARU.................................................................................4
D. PELAYANAN PUBLIK BARU..................................................................................5
BAB III PENUTUP.................................................................................................................9
A. KESIMPULAN...........................................................................................................9
B. SARAN.........................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................10
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Bukan hal baru lagi jika pelayanan publik di indonesia sudah mendapat cap negatif
dikalangan masyarakat. Untuk mendapatkan pelayanan, masyarakat harus melewati rantai
meja birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Kemampuan pelayan publik yang tidak
memadai dan seringkali tidak memahami posisi masyarakat sebagai warga negara sehingga
kadang cenderung meremehkan dan memberikan kualitas pelayanan yang seadanya dan
menciptakan dua zona berbeda dalam memberikan pelayanan, tergantung pada kapasitas
keuangan atau finansial yang dimiliki oleh masyarakat atau orang-orang yang ingin
memperoleh pelayanan. Zona eksklusif bagi yang mampu dan zona standar bagi yang
memiliki kepasitas finansial rendah. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Eko Prasojo
dalam tulisannya yang berjudul “Prahara Birokrasi Publik di Indonesia” dimana ada dua hal
besar yang digaris bawahi yang menyebabkan buruknya kualitas pelayanan publik di
Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kapabilitas/kompetensi dari pelayan publik, yaitu
masalah moral hazards (kehancuran moral) dan lack of competencies (kesenjangan
kompetensi). Penyebabnya baik karena kualitas moral pribadi dari pelayan publik atau
aparatur negara itu sendiri, kelonggaran dalam organisasi yang memungkinkan untuk
terjadinya diskresi yang tidak bertanggung jawab dan juga karena sistem perekrutan pegawai
di Indonesia yang masih diwarnai oleh sistem kekeluargaan (kolusi), suap atau main jalur
belakang sehingga menghasilkan birokrat-birokrat yang tidak tanggap dengan kebutuhan
publik, tidak kompeten, tidak memiliki etika yang bagus dan moral yang rusak. Hal ini juga
didukung oleh budaya di Indonesia yang terlalu permisif dan cenderung membenarkan hal-
hal tersebut.
Lalu bagaimana seharusnya pelayanan publik di Indonesia dapat diperbaiki dan ditingkatkan
untuk dapat melayani publik dengan sebagaimana mestinya? Bagaimana sistem pemerintahan
Indonesia yang desentralistik dapat mempraktekkan pelayanan publik yang berkualitas? Hal
ini akan coba dijawab dengan berbagai perkembangan paradigma dalam pelayanan publik
yang tentu saja merupakan “produk” dari pemikir-pemikir administrasi publik luar terutama
dari benua amerika dan eropa dan Indonesia sebagaimana diketahui belum mampu
menjabarkan sendiri bagaimana seharusnya pelayanan publik yang dapat dipraktekkan dan
cocok dengan budaya di Indonesia dan untuk sekarang ini hanya menjadi follower atau
pengikut dari perkembangan paradigma pelayanan publik tersebut.
B. Rumusan Masalah

1. Perkembangan Administrasi Publik Tradisional / Klasik(Old Public Administration)?


2. Perkembangan Managemen Publik Baru (New Public Management)?
3. Perkembangan Pelayanan Publik Baru (New Public Service)?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mendeskribsikan perkembangan Administrasi Publik Tradisonal/ Klasik (Old
Public Administration.
2. Untuk mendeskribsikan Managemen Publik Baru (New Public Management).
3. Untuk mendeskribsikan pelayanan Publik Baru (New Public Service).

BAB II
Pembahasan
A. PENGERTIAN PARADIGMA

Paradigma adalah corak berpikir seseorang atau sekelompok orang. Karena ilmu
pengetahuan itu sifatnya nisbi, walaupun salah satu persyaratan harus dapat diterima secara
universal. Namun, dalam kurun waktu tertentu tetap memiliki perubahan, termasuk ilmu-ilmu
eksakta sekalipun. Hanya ilmu-ilmu eksakta memang cenderung objek-objek, fakta-fakta, dan
hukum-hukumnya relatif lebih lama untuk tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi serta
pengindriawian manusia, relatif lebih pastindibandingkan ilmu-ilmu sosial.

Ilmu pengetahuan itu memang sangat terbatas kawasan kompetensinya, keterbatasan


pertama adalah bahwa yang disebut kebenaran ilmiah itu malahan bersifat abstrak. Tetapi
mutlak sangat perlu dalam kehidupan ini. Itulah sebabnya dalam revolusi ilmu pengetahuan
tersebut, muncul peran paradigma ilmu pengetahuan.
Thomas S. Khun mengatakan bahwa paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-
nilai, metode-metode, prinsip dasar atau cara memecakan suatu masalah, yang dianut suatu
masyarakat ilmiah pada suatu masa tertentu,

Robert T. Golembiewski menganggap bahwa standar suatu disiplin ilmu dilihat dari
fokus dan lokusnya. Fokus mempersoalkan apa kajian (what of the field) atau cara bagaimana
memecahkan (solution) persoalan. Sedangkan lokus mempersoalkan dimana lokasi (where of
the field) atau medan penerapan suatu ilmu pengetahuan.

Selain dari itu penulis menyuguhkan pula cara melihat posisi ilmu dari objek formal
dan objek materialnya, sebagaimana akan diuraikan nanti.

Nicholas Henry memilah-milah bahwa ada 5 (lima) kelompok corak berpikir para
pakar tentang keberadaan Ilmu .administrasi Publik, yaitu sebagai berikut:

1. Paradigma dikotomi antara politik dan administrasi publik, tokoh-tokohnya Frank J.


Goodnow dan Leonard D. White.

2. Paradigma prinsip-prinsip administrasi, tokoh-tokohnya W.F. Willoughby, L. Gullick


dan L. Urwick.

3. Paradigma kelembagaan, tokoh-tokohnya adalah Charles E. Lindblom, James D.


Thomson, Frederick C. Mosher dan Amitai Etzioni.

4. Paradigma hubungan kemanusiaan, tokoh-tokohnya adalah Rensis Likert, Daniel Katz,


dan Robert Khan.

5. Paradigma pilihan masyarakat umum, tokoh-tokohnya adalah Vincent Ostrom, James


Buchanan, dan Gordon Tullock.

6. Paradigma administrasi publik baru, tokoh-tokohnya adalah Frank Marini dan George
H. Frederickson.

B. Administrasi Publik Tradisional/Klasik (Old Public Administration)


Perkembangan paradigma administrasi publik klasik dimulai ketika awal kelahiran
dari administrasi publik itu sendiri. Administrasi publik klasik sebagaimana yang
dijelaskan oleh Teguh Kurniawan dalam jurnalnya yang berjudul “Pergeseran
Paradigma Administrasi Publik : dari Perilaku Model Klasik ke Good Governance”,
pada masa perkembangan awal, administrasi publik dikenal dengan konsep yang
sangat legalistik, ter-institusionalisasi, dengan berbagai macam aturan yang mengikat,
struktur organisasi yang hirarkis yang kurang memungkinkan adanya koordinasi dari
berbagai fungsi sehingga sangat sentralistik dan betapa besarnya dominasi pemerintah
dalam berbagai hal termasuk pemberian pelayanan publik. Besarnya intervensi
pemerintah pada semua segmen kehidupan masyarakat menjadikan pemerintah
sebagai penguasa tunggal, dimana peraturan atau kebijakan yang dibuat
dimungkinkan untuk diambil alih secara penuh oleh pemerintah tanpa melibatkan
berbagai aktor lainnya seperti perwakilan dari sektor bisnis dan khususnya partisipasi
masyarakat.
Hal ini menimbulkan dampak, dengan besarnya anggaran yang harus dikeluarkan
pemerintah untuk membiayai organisasi pemerintahan yang formasi birokrasinya
cenderung “gemuk” dengan bermacam fungsi yang terlalu boros dan tidak memiliki
tupoksi yang jelas. Terlebih lagi dengan masyarakat yang dihadapkan pada rantai
meja-meja pelayanan yang berbelit dan semakin menjauhkan hubungan masyarakat
dengan pemerintah, seakan-akan terjadi pembatasan yang jelas antara pemerintah dan
masyarakat, dan ini akan membuat pemerintah sulit untuk ditempuh oleh masyarakat.
Tentu saja ini memberatkan masyarakat sebagai pembayar pajak dimana hasil pajak
lebih banyak keluar untuk gaji pegawai dan pembiayaan pemerintah lainnya namun
sedikit untuk layanan terhadap publik.
Secara ringkas, Denhardt dan Denhardt menguraikan karakteristik OPA sebagai
berikut:
· Fokus utama adalah penyediaan pelayanan publik melalui organisasi atau badan
resmi pemerintah.
· Kebijakan publik dan administrasi negara dipahami sebagai penataan dan
implementasi kebijakan yang berfokus pada satu cara terbaik, kebijakan publik dan
administrasi negara sebagai tujuan yang bersifat politik.
· Administrator publik memainkan peranan yang terbatas dalam perumusan
kebijakan publik dan pemerintahan; mereka hanya bertanggung-jawab
mengimplementasikan kebijakan publik.
· Pelayanan publik harus diselenggarakan oleh administrator yang bertanggung-
jawab kepada pejabat politik (elected officials) dan dengan diskresi terbatas.
· Administrator bertanggung-jawab kepada pimpinan pejabat politik (elected
political leaders) yang telah terpilih secara demokratis.
· Program-program publik dilaksanakan melalui organisasi yang hierarkis dengan
kontrol yang ketat oleh pimpinan organisasi.
· Nilai pokok yang dikejar oleh organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas.
· Organisasi publik melaksanakan sistem tertutup sehingga keterlibatan warga
negara dibatasi.
· Peranan administrator publik adalah melaksanakan prinsip-prinsip Planning,
Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting dan Budgetting.
Beberapa poin dalam administrasi publik klasik jika dilihat memiliki persamaan
dengan kondisi pelayanan publik di Indonesia, dimana sistem birokrasi di Indonesia
masih cenderung sulit untuk dijangkau oleh masyarakat karena proses birokrasi yang
lama dan kaku, masih terhirarkis top down, contohnya untuk kasus sistem
desentralistik di Indonesia, pemerintah pusat tetap memiliki kekuasaan eksklusif yang
tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada pemerintah daerah. Pemerintah masih
memegang kontrol yang besar terhadap pemerintah daerah meskipun tidak lagi
sebesar ketika Indonesia menganut sistem pemerintahan sentralistik. Dalam
administrasi publik klasik, organisasi publik lebih memfokuskan pada efisiensi dan
rasionalitas sehingga melupakan sisi humanis dari internal organisasi. Hal inilah yang
kemudian diperbaiki oleh paradigma Adminisrasi Publik Baru (New Public
Administration) yang merupakan karya dari George Frederickson. NPA memang tidak
sepopuler tiga paradigma lainnya dan memang kebanyakan pemikir luar maupun
dalam negeri lebih suka hanya menyebutkan tiga paradigma besar dalam pelayanan
publik. Meskipun tidak populer, paradigma administrasi publik baru ini memberikan
penyegaran dalam sistem birokrasi yang kaku, dimana pegawai diperlakukan seperti
robot untuk mencapai efisiensi dan rasionalitas dari tujuan organisasi tanpa
memperhatikan pada sisi humanis pegawai.
Fokus dari Administrasi Negara Baru meliputi usaha untuk membuat organisasi publik
mampu mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal yang dilaksanakan
dengan pengembangan sistem desentralisasi dan organisasi demokratis yang responsif
dan partisipatif, serta dapat memberikan pelayanan publik secara merata. Karena
administrasi negara mempunyai komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan
dan keadilan (social equity).
C. Managemen Publik Baru (New Public Management)
Paradigma New Public Management muncul pada tahun 1980-an dan masih
berkembang sampai sekarang. Paradigma ini mencoba memperbaiki kinerja
pemerintah yang lamban dalam memberikan pelayanan publik dengan coba
memasukan prinsip atau semangat kewirausahaan seperti yang ada dalam organisasi
sektor privat ke organisasi publik, memberikan sentuhan kompetisi untuk
menghasilkan efektitas, efisiensi dan produktifitas yang tinggi dalam organisasi publik.
Inti dari ajaran NPM dapat diuraikan sebagai berikut:
· Pemerintah diajak untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional dan
menggantikannya dengan perhatian terhadap kinerja atau hasil kerja.
· Pemerintah sebaiknya melepaskan diri dari birokrasi klasik dan membuat situasi dan
kondisi organisasi, pegawai dan para pekerja lebih fleksibel.
· Menetapkan tujuan, target organisasi dan personal lebih jelas sehingga
memungkinkan pengukuran hasil melalui indikator yang jelas.
· Staf senior lebih berkomitmen secara politis dengan pemerintah sehari-hari daripada
netral.
· Fungsi pemerintah adalah memperhatikan pasar, kontrak kerja keluar, yang berarti
pemberian pelayanan tidak selamanya melalui birokrasi, melainkan bisa diberikan oleh
sektor swasta.
· Fungsi pemerintah dikurangi melalui privatisasi.
Indonesia sendiri pada zaman pemerintahan Presiden Megawati pernah memakai atau
menerapkan konsep New Public Management secara radikal dengan melakukan
privatisasi secara besar-besaran namun keberhasilan Amerika, Inggris, Selandia baru
dan negara lainnya yang sukses tidak dapat diikuti oleh Indonesia. Privatisasi pada
sektor strategis (contohnya indosat) dan tanpa pemahaman yang tepat tentang
bagaimana prediksi kedepannya, mengakibatkan privatisasi menjadi tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Selain itu prinsip NPM yang menganggap masyarakat sebagai
costumer tidak bisa dibenarkan, karena dalam UU sendiri sudah dikatakan bahwa
semua masyarakat berhak mendapatkan perlakuan yang sama dari negara tanpa
adanya pemisahan karena kapasitas uang semata.
.

D. Pelayanan Publik Baru (New Public Service)

New Public Service dianggap sebagai usaha kritikan terhadap paradigma Old Public
Administration dan New Public Management yang dirasa belum memberikan dampak
kesejahteraan dan malah menyebarkan ketidak-adilan dalam pemberian pelayanan kepada
masyarakat. Masyarakat harusnya dianggap sebagai warga negara dan bukannya client atau
pemilih seperti dalam paradigma Old Public Administration atau costumer yang diusung oleh
paradigma New Public Management.
Prinsip-prinsip atau asumsi dasar dari Pelayanan Publik Baru (New Public Service) adalah
sebagai berikut :

1. Melayani Warga Negara Bukan Pelanggan (Serves Citizens, Not Costumer) ; melalui
pajak yang mereka bayarkan maka warga negara adalah pemilik sah (legitimate) negara
bukan pelanggan.

2. Mengutamakan Kepentingan Public (Seeks the Public Interest) ; kepentingan publik


seringkali berbeda dan kompleks, tetapi negara berkewajiban untuk memenuhinya. Negara
tidak boleh melempar tanggung-jawabnya kepada pihak lain dalam memenuhi kepentingan
publik.

3. Kewarganegaraan Lebih Berharga atau Bernilai dari Pada Kewirausahaan (Value


Citizenship over Entrepreneurship); kewirausahaan itu penting, tetapi warga negara berada di
atas segala-galanya.

4. Berpikir Strategis dan Bertindak Demokratis (Think Strategically, Act Democratically);


pemerintah harus mampu bertindak cepat dan menggunakan pendekatan dialog dalam
menyelesaikan persoalan publik.

5. Menyadari bahwa Akuntabilitas Tidaklah Mudah(Recognize that Accountability Isn’t


Simple);pertanggungjawaban merupakan proses yang sulit dan terukur sehingga harus
dilakukan dengan metode yang tepat.

6. Melayani dari pada Mengarahkan (Serve Rather than Steer); fungsi utama pemerintah
adalah melayani warga negara bukan mengarahkan.

7. Menghargai Manusia tidah hanya sekedar Produktivitas(Value People, Not just


Productivity);kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas meskipun bertentangan dengan
nilai-nilai produktivitas.

Akar dari berkembangnya paradigma Pelayanan Publik Baru dapat dipahami dari ide
mengenai demokrasi yang pernah dikemukakan oleh Dimock, Dahl dan Waldo, yaitu sebagai
berikut :

1. Teori tentang demokrasi kewarganegaraan; perlunya pelibatan warganegara dalam


pengambilan kebijakan dan pentingnya deliberasi untuk membangun solidaritas dan
komitmen guna menghindari konflik. Hal ini melihatkan bahwa harusnya tidak ada lagi
pembatas yang membuat pemerintah jauh dari warganya. Warga dapat terlibat dalam urusan
pemerintah dan teori ini menimbulkan semangat untuk tidak lagi terpatok pada kepentingan
pribadi sebagai individu melainkan kepentingan bersama sebagai sesama warga Negara.
Administrator akan belajar untuk tidak lagi melihat warga sebagai klien, pemilih atau
pelanggan, melainkan sebagai warga Negara yang memiliki hak dan tanggung jawab yang
sama dalam membangun pemerintahan. Pemerintah dapat berbagi kewenangan, mengurangi
kontrol terhadap masyarakat dan mempercayakan terciptanya kolaborasi yang efektif antara
pemerintah, masyarakat dan bisnis.

2. Model komunitas dan masyarakat sipil; akomodatif terhadap peran masyarakat sipil
dengan membangun social trust, kohesi sosial dan jaringan sosial dalam tata pemerintahan
yang demokratis.

3. Teori organisasi humanis dan administrasi negara baru; administrasi negara harus fokus
pada organisasi yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan (human beings) dan respon
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan isu-isu sosial lainnya.

4. Administrasi negara postmodern; mengutamakan dialog (dirkursus) terhadap teori dalam


memecahkan persoalan publik daripada menggunakan one best way perspective.

Meskipun secara garis besar hanya ada 3 paradigma besar dalam pelayanan publik, namun
ada beberapa akademisi yang menyatakan bahwa governance merupakan salah satu
paradigma dalam pelayanan publik. Dibalik semua urutan paradigma tersebut,“Governance”
atau sekarang lebih dikenal dengan “Good Governance” bisa dikatakan menyempurnakan
konsep-konsep sebelumnya. Jika pada masa-masa sebelumnya kekuasaan dan
penyelenggaraan pemerintah lebih didominasi oleh Negara, maka pada konsep Good
Governance, partisipasi dari aktor bisnis dan masyarakat sangat ditekankan dengan tujuan
agar tercapainya kebijakan pemerintahan yang dapat menyentuh semua aspek kebutuhan
masyarakat baik itu untuk sector privat maupun untuk masyarakat pada umumnya. Interaksi
yang konstruktif dan memadai dari ketiga aktor ini akan memudahkan kerja pemerintah
sehingga pemerintah tidak harus selalu menjadi corong utama dari semua kegiatan.
Pemerintah dapat berfokus pada isu politik dan membenahi masalah hukum, sector privat
akan menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan dan masyarakat dapat menjadi
fasilitator untuk interaksi sosial dan politik yang akan menimbulkan partisipasi masyarakat
dalam aktivitas sosial, ekonomi dan politik. Intinya Good Governance mengharapkan
penyelanggaraan pemerintah tidak hanya didominasi oleh Negara namun sector privat dan
masyarakatpun berhak untuk terjun kedalamnya.
Jika ditilik bisa dibilang tidak satupun dari paradigma diatas adalah yang terbaik, tergantung
dari negara mana yang menerapkannya. Selalu saja ada usaha mengkritisi disetiap paradigma
untuk usaha perbaikan kualitas pelayanan publik. Jika New Public Management berusaha
mengkritisi dominasi pemerintah pada paradigma Old Public Administration yang terlalu
besar dalam pelayanan publik sehingga memerlukan untuk berbagi dengan sector publik dan
menyerahkan pada situasi pasar, maka New Public Service berusaha memanusiakan kembali
pemerintah dengan memastikan bahwa masyarakat dianggap sebagai warga negara dan
bukannya pelanggan sehingga seakan-akan pemerintah tidak terlalu bertanggung jawab
dalam memberikan pelayanan publik pada semua masyarakat. Meski banyak yang
mengasumsikan bahwa paradigma New Public Service jauh lebih mampu untuk menjawab
kebutuhan publik, namun dengan kembali masuknya unsur politik kedalam administrasi
negara, seakan-akan mengulang kembali pembagian paradigma administrasi negara
berdasarkan locus dan focus yang dikemukakan oleh NicholasHenry, dimana seharusnya
sekarang kita sudah berada pada paradigma ke 5, yaitu administrasi negara sebagai
administrasi negara dan bukannya administrasi negara sebagai ilmu politik yang ada ada pada
paradigma ke 3. Hal ini mengindikasikan seperti administrasi negara malah melangkah
kebelakang dan bukannya maju. Namun bagaimanapun padangan terhadap semua paradigma
diatas, tergantung pada bagaimana kesiapan suatu negara untuk mengadopsinya dan
menererapkannya sehingga memberikan perubahan dalam perbaikan kinerja pelayanan
publik.
Untuk kondisi Indonesia saat ini tidak bisa dibilang bahwa Indonesia menganut salah satu
paradigma diatas secara ekstrem, karena untuk kondisi pelayanan yang terhirarkis, legalistic,
dan top down seperti dalam paradigma Old Public Administration masih tetap berlangsung di
Indonesia sampai sekarang ini. Jika dibilang Indonesia sedang menuju Public Service,
praktek privatisasi yang notabene merupakan ide besar dari paradigma New Public
Management-pun masih terus berlangsung. Namun praktek good governance memang sedang
digalakan saat sekarang ini di indonesia untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang
bertanggung jawab dan mengutamakan transpabilitas dalam setiap kegiatan pemerintah
terutama di pemerintahan daerah.
Terlepas dari penggunaan salah satu paradigma diatas sebagai jawaban untuk memperbaiki
kualitas pelayanan publik di Indonesia, tidak bisa diabaikan jika kompetensi dari birokrat
atau aparatur negara sebagai pelayan publik merupakan kunci utama dari keberhasilan
pelayanan publik yang memenuhi kebutuhan publik sekarang ini. Sebagaimana masalah Lack
of Competencies yang dikemukakan oleh Eko Prasojo mengindikasikan bahwa seorang
pejabat publik / pelayan publik tidak hanya harus memiliki satu kompetensi khusus saja yang
menjadi spesialisnya, misalnya kompetensi dalam bidang menajemen publik, kebijakan
publik atau organisasi publik (kompetensi teknis), melainkan harus memiliki setidaknya tiga
kompetensi, yaitu kompetensi teknis, kompetensi etika dan kompetensi kepemimpinan
(triangle competencies). Kompetensi teknis merupakan kompetensi yang menjadi spesialis
dimana pelayan publik ditempatkan, harus mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan
baik internal maupun eksternal organisasi dan juga perkembangan pesat teknologi informasi
dan komunikasi yang mengharuskan pelayan publik berhubungan dengan alat-alat elektronik
dalam penyediaan pelayanan publik. Seringkali birokrat atau aparatur negara senior kurang
mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi sehingga terpaku pada kegiatan-
kegiatan manual yang memperlambat pekerjaan. Kompetensi etika untuk menjamin
terjaganya kualitas pelayanan kepada masyarakat yang menjadi pegangan bagi setiap birokrat
atau pelayan publik dalam memberikan pelayanan sehingga tidak memungkinkan terjadinya
pelanggaran kemanusiaan. Kompetensi ini seringkali dilupakan oleh pelayan publik dan
menimbulkan image negatif birokrasi dimata masyarakat, seharusnya kompetensi etika ini
dapat dijadikan senjata untuk menciptakan hubungan yang erat dengan masyarakat dan
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pelayanan organisasi publik. Dan
kompetensi terakhir dalam Triangle Competencies yaitu kompetensi
kepemimpinan.Kompetensi ini memperlihatkan bagaimana kemampuan seorang individu
dalam organisasi publik dapat menggerakkan/mempengaruhi orang lain dalam organisasi
untuk dapat melakukan sesuatu yang bertujuan untuk pencapaian organisasi. Seringkali
pejabat publik atau birokrat hanya memiliki kompetensi teknis atau etika saja, namun kalah
ketika beradu kehebatan dalam negoisasi atau bargaining.
Selain factor kompetensi dari aparatur negara, organisasi publik sendiri harus mampu
beradaptasi dengan semua perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Berbeda
dengan sector publik, yang memungkinkan untuk memotong prosedur yang dirasa akan
memperlambat kinerja, organisasi publik tidak harus meninggalkan prosedur yang telah ada,
hanya bagaimana memungkinkan untuk membatasi birokrasi untuk terlalu menghambat
menghasilkan kualitas pelayanan yang bagus dan prosedur tetap ada untuk memastikan
sistem pelayanan publik dapat terus berjalan dan akuntabilitas publik terjaga. Dalam sebuah
tulisan yang berjudul A New Public Service Management, diungkapkan ada 10 komponen
kunci yang bertujuan untuk menciptakan sistem kerja yang lebih komprehensif dan
menerapkan strategi dan pendekatan terpadu sekaligus menempatkan prinsip dan nilai ini
pelayanan publik dalam prakteknya yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas organisasi
publik baik untuk tingkat lokal, regional dan nasional.
Mulai dari bagaimana sebuah organisasi publik mampu untuk membangun kebijakan, nilai
dan etos pelayanan publik yang sesuai dengan perkembangan zaman dan harus berdasarkan
realitas dan aspirasi masyarakat, bagaimana organisasi publik dapat membuka peluang bagi
masyarakat untuk dapat berpastisipasi dalam proses pembuatan kebijakan, mengevaluasi
kebijakan, memberikan pelatihan yang memadai bagi pelayan publik, memberikan peluang
bagi kelompok-kelompok minoritas untuk dapat memberikan opini dan masukan kepada
pemerintah agar aspirasi mereka dapat disampaikan dan diakomodir oleh pemerintah. Pada
dasarnya pemerintah atau organisasi publik tidak dapat mengakomodir semua kebutuhan
masyarakat seorang diri,pemerintah harus dapat membangun jaringan kerja dengan
masyarakat maupun pihak swasta, namun hal ini tidak berarti mengurangi peran
negara/pemerintah namun lebih kepada meningkatkan kapasitas pelayanan publik itu sendiri.
Dalam hal sistem pemerintahan Indonesia yang desentralistik, memang tidak mudah untuk
pemerintah dapat menciptakan satu standar yang dapat mengakomodir semua bentuk
pelayanan publik di Indonesia. Namun terkadang pemerintah pusat mengabaikan fakta bahwa
pemerintah daerah merupakan formasi depan yang langsung berhadapan dengan masyarakat,
yang mengetahui bagaimana kondisi riil masyarakat, yang dapat menampung semua aspirasi
masyarakat, jadi agak sangat tidak mungkin untuk pemerintah dapat menetapkan seperti
Standar Pelayanan Minimal (SPM) seperti selama ini. Karena akan berakibat pada ketidak-
adilan dalam pemberian pelayanan. Seperti contohnya, Ujian Akhir Nasional yang menjadi
standar kelulusan setiap siswa di nusantara, hal ini miris karena tidak mungkin untuk
menyamakan opini bahwa setiap daerah di nusantara punya kualitas yang sama dalam bidang
pendidikan. Tidak semua daerah memiliki kapasitas pendidik yang memadai, kapasitas
peralatan sekolah yang cukup, dan kualitas pengajar yang baik seperti di daerah urban.
Terlebih lagi Satndar Pelayanan Minimal terdengar lucu karena bagaimana mungkin setiap
pelayan publik dapat memberikan kualitas pelayanan yang baik jika mereka hanya dituntut
untum memberikan pelayanan yang “minimal” bukan kualitas pelayanan yang maksimal.
Terlepas dari semua hal diatas, Desentralisasi tidak harus menjadi kendala dalam
memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Tinggal bagaimana pemerintah dapat
memahami bahwa setiap daerah memiliki variabilitas yang tidak bisa disamaratakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepemimpinan Kolaboratif adalah pola pikir kepemimpinan yang melibatkan orang banyak
dan menggabungkan ratio, emosi dan semangat dalam proses pemecahan masalah merupakan
salah satu perubahan yang timbul dalam ilmu manajemen, merupakan perubahan drastis pola
pikir kepemimpinan.
Kolaborasi akan semakin terasa bila ikon atau sosok yang menggerakan memang seorang
yang sangat menginspirasi, baik itu karena karyanya atau prestasinya dalam bekerja.
Kolaborasi membuat setiap elemen bergerak dengan energi tanpa batas dan tak kenal ruang-
waktu sehingga akan merasakan sebuah kolaborasi yang dibangun dengan platform kerja
yang terbuka, mampu mendorong karya baru, mampu menghasilkan inovasi baru, dan akan
merasa lebih baik dan menjadi individu yang lebih bermanfaat dengan kolaborasi ini.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini mahasiswa seharusnya lebih bisa mengerti dan paham tentang
perkembangan paradigma administrasi publik.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai