DOSEN PENGAMPU
Weni Puji Hastuti,S.Sos.M.KP
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..............................................................................................1
C. TUJUAN PENULISAN...............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................2
A. PARADIGMA ADMINISTRASI NEGARA.............................................................2
B. ADMINISTRASI PUBLIK TRADISIONAL/KLASIK ..........................................3
C. MANAJEMEN PUBLIK BARU.................................................................................4
D. PELAYANAN PUBLIK BARU..................................................................................5
BAB III PENUTUP.................................................................................................................9
A. KESIMPULAN...........................................................................................................9
B. SARAN.........................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................10
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Bukan hal baru lagi jika pelayanan publik di indonesia sudah mendapat cap negatif
dikalangan masyarakat. Untuk mendapatkan pelayanan, masyarakat harus melewati rantai
meja birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Kemampuan pelayan publik yang tidak
memadai dan seringkali tidak memahami posisi masyarakat sebagai warga negara sehingga
kadang cenderung meremehkan dan memberikan kualitas pelayanan yang seadanya dan
menciptakan dua zona berbeda dalam memberikan pelayanan, tergantung pada kapasitas
keuangan atau finansial yang dimiliki oleh masyarakat atau orang-orang yang ingin
memperoleh pelayanan. Zona eksklusif bagi yang mampu dan zona standar bagi yang
memiliki kepasitas finansial rendah. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Eko Prasojo
dalam tulisannya yang berjudul “Prahara Birokrasi Publik di Indonesia” dimana ada dua hal
besar yang digaris bawahi yang menyebabkan buruknya kualitas pelayanan publik di
Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kapabilitas/kompetensi dari pelayan publik, yaitu
masalah moral hazards (kehancuran moral) dan lack of competencies (kesenjangan
kompetensi). Penyebabnya baik karena kualitas moral pribadi dari pelayan publik atau
aparatur negara itu sendiri, kelonggaran dalam organisasi yang memungkinkan untuk
terjadinya diskresi yang tidak bertanggung jawab dan juga karena sistem perekrutan pegawai
di Indonesia yang masih diwarnai oleh sistem kekeluargaan (kolusi), suap atau main jalur
belakang sehingga menghasilkan birokrat-birokrat yang tidak tanggap dengan kebutuhan
publik, tidak kompeten, tidak memiliki etika yang bagus dan moral yang rusak. Hal ini juga
didukung oleh budaya di Indonesia yang terlalu permisif dan cenderung membenarkan hal-
hal tersebut.
Lalu bagaimana seharusnya pelayanan publik di Indonesia dapat diperbaiki dan ditingkatkan
untuk dapat melayani publik dengan sebagaimana mestinya? Bagaimana sistem pemerintahan
Indonesia yang desentralistik dapat mempraktekkan pelayanan publik yang berkualitas? Hal
ini akan coba dijawab dengan berbagai perkembangan paradigma dalam pelayanan publik
yang tentu saja merupakan “produk” dari pemikir-pemikir administrasi publik luar terutama
dari benua amerika dan eropa dan Indonesia sebagaimana diketahui belum mampu
menjabarkan sendiri bagaimana seharusnya pelayanan publik yang dapat dipraktekkan dan
cocok dengan budaya di Indonesia dan untuk sekarang ini hanya menjadi follower atau
pengikut dari perkembangan paradigma pelayanan publik tersebut.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mendeskribsikan perkembangan Administrasi Publik Tradisonal/ Klasik (Old
Public Administration.
2. Untuk mendeskribsikan Managemen Publik Baru (New Public Management).
3. Untuk mendeskribsikan pelayanan Publik Baru (New Public Service).
BAB II
Pembahasan
A. PENGERTIAN PARADIGMA
Paradigma adalah corak berpikir seseorang atau sekelompok orang. Karena ilmu
pengetahuan itu sifatnya nisbi, walaupun salah satu persyaratan harus dapat diterima secara
universal. Namun, dalam kurun waktu tertentu tetap memiliki perubahan, termasuk ilmu-ilmu
eksakta sekalipun. Hanya ilmu-ilmu eksakta memang cenderung objek-objek, fakta-fakta, dan
hukum-hukumnya relatif lebih lama untuk tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi serta
pengindriawian manusia, relatif lebih pastindibandingkan ilmu-ilmu sosial.
Robert T. Golembiewski menganggap bahwa standar suatu disiplin ilmu dilihat dari
fokus dan lokusnya. Fokus mempersoalkan apa kajian (what of the field) atau cara bagaimana
memecahkan (solution) persoalan. Sedangkan lokus mempersoalkan dimana lokasi (where of
the field) atau medan penerapan suatu ilmu pengetahuan.
Selain dari itu penulis menyuguhkan pula cara melihat posisi ilmu dari objek formal
dan objek materialnya, sebagaimana akan diuraikan nanti.
Nicholas Henry memilah-milah bahwa ada 5 (lima) kelompok corak berpikir para
pakar tentang keberadaan Ilmu .administrasi Publik, yaitu sebagai berikut:
6. Paradigma administrasi publik baru, tokoh-tokohnya adalah Frank Marini dan George
H. Frederickson.
New Public Service dianggap sebagai usaha kritikan terhadap paradigma Old Public
Administration dan New Public Management yang dirasa belum memberikan dampak
kesejahteraan dan malah menyebarkan ketidak-adilan dalam pemberian pelayanan kepada
masyarakat. Masyarakat harusnya dianggap sebagai warga negara dan bukannya client atau
pemilih seperti dalam paradigma Old Public Administration atau costumer yang diusung oleh
paradigma New Public Management.
Prinsip-prinsip atau asumsi dasar dari Pelayanan Publik Baru (New Public Service) adalah
sebagai berikut :
1. Melayani Warga Negara Bukan Pelanggan (Serves Citizens, Not Costumer) ; melalui
pajak yang mereka bayarkan maka warga negara adalah pemilik sah (legitimate) negara
bukan pelanggan.
6. Melayani dari pada Mengarahkan (Serve Rather than Steer); fungsi utama pemerintah
adalah melayani warga negara bukan mengarahkan.
Akar dari berkembangnya paradigma Pelayanan Publik Baru dapat dipahami dari ide
mengenai demokrasi yang pernah dikemukakan oleh Dimock, Dahl dan Waldo, yaitu sebagai
berikut :
2. Model komunitas dan masyarakat sipil; akomodatif terhadap peran masyarakat sipil
dengan membangun social trust, kohesi sosial dan jaringan sosial dalam tata pemerintahan
yang demokratis.
3. Teori organisasi humanis dan administrasi negara baru; administrasi negara harus fokus
pada organisasi yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan (human beings) dan respon
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan isu-isu sosial lainnya.
Meskipun secara garis besar hanya ada 3 paradigma besar dalam pelayanan publik, namun
ada beberapa akademisi yang menyatakan bahwa governance merupakan salah satu
paradigma dalam pelayanan publik. Dibalik semua urutan paradigma tersebut,“Governance”
atau sekarang lebih dikenal dengan “Good Governance” bisa dikatakan menyempurnakan
konsep-konsep sebelumnya. Jika pada masa-masa sebelumnya kekuasaan dan
penyelenggaraan pemerintah lebih didominasi oleh Negara, maka pada konsep Good
Governance, partisipasi dari aktor bisnis dan masyarakat sangat ditekankan dengan tujuan
agar tercapainya kebijakan pemerintahan yang dapat menyentuh semua aspek kebutuhan
masyarakat baik itu untuk sector privat maupun untuk masyarakat pada umumnya. Interaksi
yang konstruktif dan memadai dari ketiga aktor ini akan memudahkan kerja pemerintah
sehingga pemerintah tidak harus selalu menjadi corong utama dari semua kegiatan.
Pemerintah dapat berfokus pada isu politik dan membenahi masalah hukum, sector privat
akan menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan dan masyarakat dapat menjadi
fasilitator untuk interaksi sosial dan politik yang akan menimbulkan partisipasi masyarakat
dalam aktivitas sosial, ekonomi dan politik. Intinya Good Governance mengharapkan
penyelanggaraan pemerintah tidak hanya didominasi oleh Negara namun sector privat dan
masyarakatpun berhak untuk terjun kedalamnya.
Jika ditilik bisa dibilang tidak satupun dari paradigma diatas adalah yang terbaik, tergantung
dari negara mana yang menerapkannya. Selalu saja ada usaha mengkritisi disetiap paradigma
untuk usaha perbaikan kualitas pelayanan publik. Jika New Public Management berusaha
mengkritisi dominasi pemerintah pada paradigma Old Public Administration yang terlalu
besar dalam pelayanan publik sehingga memerlukan untuk berbagi dengan sector publik dan
menyerahkan pada situasi pasar, maka New Public Service berusaha memanusiakan kembali
pemerintah dengan memastikan bahwa masyarakat dianggap sebagai warga negara dan
bukannya pelanggan sehingga seakan-akan pemerintah tidak terlalu bertanggung jawab
dalam memberikan pelayanan publik pada semua masyarakat. Meski banyak yang
mengasumsikan bahwa paradigma New Public Service jauh lebih mampu untuk menjawab
kebutuhan publik, namun dengan kembali masuknya unsur politik kedalam administrasi
negara, seakan-akan mengulang kembali pembagian paradigma administrasi negara
berdasarkan locus dan focus yang dikemukakan oleh NicholasHenry, dimana seharusnya
sekarang kita sudah berada pada paradigma ke 5, yaitu administrasi negara sebagai
administrasi negara dan bukannya administrasi negara sebagai ilmu politik yang ada ada pada
paradigma ke 3. Hal ini mengindikasikan seperti administrasi negara malah melangkah
kebelakang dan bukannya maju. Namun bagaimanapun padangan terhadap semua paradigma
diatas, tergantung pada bagaimana kesiapan suatu negara untuk mengadopsinya dan
menererapkannya sehingga memberikan perubahan dalam perbaikan kinerja pelayanan
publik.
Untuk kondisi Indonesia saat ini tidak bisa dibilang bahwa Indonesia menganut salah satu
paradigma diatas secara ekstrem, karena untuk kondisi pelayanan yang terhirarkis, legalistic,
dan top down seperti dalam paradigma Old Public Administration masih tetap berlangsung di
Indonesia sampai sekarang ini. Jika dibilang Indonesia sedang menuju Public Service,
praktek privatisasi yang notabene merupakan ide besar dari paradigma New Public
Management-pun masih terus berlangsung. Namun praktek good governance memang sedang
digalakan saat sekarang ini di indonesia untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang
bertanggung jawab dan mengutamakan transpabilitas dalam setiap kegiatan pemerintah
terutama di pemerintahan daerah.
Terlepas dari penggunaan salah satu paradigma diatas sebagai jawaban untuk memperbaiki
kualitas pelayanan publik di Indonesia, tidak bisa diabaikan jika kompetensi dari birokrat
atau aparatur negara sebagai pelayan publik merupakan kunci utama dari keberhasilan
pelayanan publik yang memenuhi kebutuhan publik sekarang ini. Sebagaimana masalah Lack
of Competencies yang dikemukakan oleh Eko Prasojo mengindikasikan bahwa seorang
pejabat publik / pelayan publik tidak hanya harus memiliki satu kompetensi khusus saja yang
menjadi spesialisnya, misalnya kompetensi dalam bidang menajemen publik, kebijakan
publik atau organisasi publik (kompetensi teknis), melainkan harus memiliki setidaknya tiga
kompetensi, yaitu kompetensi teknis, kompetensi etika dan kompetensi kepemimpinan
(triangle competencies). Kompetensi teknis merupakan kompetensi yang menjadi spesialis
dimana pelayan publik ditempatkan, harus mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan
baik internal maupun eksternal organisasi dan juga perkembangan pesat teknologi informasi
dan komunikasi yang mengharuskan pelayan publik berhubungan dengan alat-alat elektronik
dalam penyediaan pelayanan publik. Seringkali birokrat atau aparatur negara senior kurang
mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi sehingga terpaku pada kegiatan-
kegiatan manual yang memperlambat pekerjaan. Kompetensi etika untuk menjamin
terjaganya kualitas pelayanan kepada masyarakat yang menjadi pegangan bagi setiap birokrat
atau pelayan publik dalam memberikan pelayanan sehingga tidak memungkinkan terjadinya
pelanggaran kemanusiaan. Kompetensi ini seringkali dilupakan oleh pelayan publik dan
menimbulkan image negatif birokrasi dimata masyarakat, seharusnya kompetensi etika ini
dapat dijadikan senjata untuk menciptakan hubungan yang erat dengan masyarakat dan
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pelayanan organisasi publik. Dan
kompetensi terakhir dalam Triangle Competencies yaitu kompetensi
kepemimpinan.Kompetensi ini memperlihatkan bagaimana kemampuan seorang individu
dalam organisasi publik dapat menggerakkan/mempengaruhi orang lain dalam organisasi
untuk dapat melakukan sesuatu yang bertujuan untuk pencapaian organisasi. Seringkali
pejabat publik atau birokrat hanya memiliki kompetensi teknis atau etika saja, namun kalah
ketika beradu kehebatan dalam negoisasi atau bargaining.
Selain factor kompetensi dari aparatur negara, organisasi publik sendiri harus mampu
beradaptasi dengan semua perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Berbeda
dengan sector publik, yang memungkinkan untuk memotong prosedur yang dirasa akan
memperlambat kinerja, organisasi publik tidak harus meninggalkan prosedur yang telah ada,
hanya bagaimana memungkinkan untuk membatasi birokrasi untuk terlalu menghambat
menghasilkan kualitas pelayanan yang bagus dan prosedur tetap ada untuk memastikan
sistem pelayanan publik dapat terus berjalan dan akuntabilitas publik terjaga. Dalam sebuah
tulisan yang berjudul A New Public Service Management, diungkapkan ada 10 komponen
kunci yang bertujuan untuk menciptakan sistem kerja yang lebih komprehensif dan
menerapkan strategi dan pendekatan terpadu sekaligus menempatkan prinsip dan nilai ini
pelayanan publik dalam prakteknya yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas organisasi
publik baik untuk tingkat lokal, regional dan nasional.
Mulai dari bagaimana sebuah organisasi publik mampu untuk membangun kebijakan, nilai
dan etos pelayanan publik yang sesuai dengan perkembangan zaman dan harus berdasarkan
realitas dan aspirasi masyarakat, bagaimana organisasi publik dapat membuka peluang bagi
masyarakat untuk dapat berpastisipasi dalam proses pembuatan kebijakan, mengevaluasi
kebijakan, memberikan pelatihan yang memadai bagi pelayan publik, memberikan peluang
bagi kelompok-kelompok minoritas untuk dapat memberikan opini dan masukan kepada
pemerintah agar aspirasi mereka dapat disampaikan dan diakomodir oleh pemerintah. Pada
dasarnya pemerintah atau organisasi publik tidak dapat mengakomodir semua kebutuhan
masyarakat seorang diri,pemerintah harus dapat membangun jaringan kerja dengan
masyarakat maupun pihak swasta, namun hal ini tidak berarti mengurangi peran
negara/pemerintah namun lebih kepada meningkatkan kapasitas pelayanan publik itu sendiri.
Dalam hal sistem pemerintahan Indonesia yang desentralistik, memang tidak mudah untuk
pemerintah dapat menciptakan satu standar yang dapat mengakomodir semua bentuk
pelayanan publik di Indonesia. Namun terkadang pemerintah pusat mengabaikan fakta bahwa
pemerintah daerah merupakan formasi depan yang langsung berhadapan dengan masyarakat,
yang mengetahui bagaimana kondisi riil masyarakat, yang dapat menampung semua aspirasi
masyarakat, jadi agak sangat tidak mungkin untuk pemerintah dapat menetapkan seperti
Standar Pelayanan Minimal (SPM) seperti selama ini. Karena akan berakibat pada ketidak-
adilan dalam pemberian pelayanan. Seperti contohnya, Ujian Akhir Nasional yang menjadi
standar kelulusan setiap siswa di nusantara, hal ini miris karena tidak mungkin untuk
menyamakan opini bahwa setiap daerah di nusantara punya kualitas yang sama dalam bidang
pendidikan. Tidak semua daerah memiliki kapasitas pendidik yang memadai, kapasitas
peralatan sekolah yang cukup, dan kualitas pengajar yang baik seperti di daerah urban.
Terlebih lagi Satndar Pelayanan Minimal terdengar lucu karena bagaimana mungkin setiap
pelayan publik dapat memberikan kualitas pelayanan yang baik jika mereka hanya dituntut
untum memberikan pelayanan yang “minimal” bukan kualitas pelayanan yang maksimal.
Terlepas dari semua hal diatas, Desentralisasi tidak harus menjadi kendala dalam
memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Tinggal bagaimana pemerintah dapat
memahami bahwa setiap daerah memiliki variabilitas yang tidak bisa disamaratakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepemimpinan Kolaboratif adalah pola pikir kepemimpinan yang melibatkan orang banyak
dan menggabungkan ratio, emosi dan semangat dalam proses pemecahan masalah merupakan
salah satu perubahan yang timbul dalam ilmu manajemen, merupakan perubahan drastis pola
pikir kepemimpinan.
Kolaborasi akan semakin terasa bila ikon atau sosok yang menggerakan memang seorang
yang sangat menginspirasi, baik itu karena karyanya atau prestasinya dalam bekerja.
Kolaborasi membuat setiap elemen bergerak dengan energi tanpa batas dan tak kenal ruang-
waktu sehingga akan merasakan sebuah kolaborasi yang dibangun dengan platform kerja
yang terbuka, mampu mendorong karya baru, mampu menghasilkan inovasi baru, dan akan
merasa lebih baik dan menjadi individu yang lebih bermanfaat dengan kolaborasi ini.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini mahasiswa seharusnya lebih bisa mengerti dan paham tentang
perkembangan paradigma administrasi publik.
DAFTAR PUSTAKA