Anda di halaman 1dari 23

MENGANALISIS LEKSIKON YANG TERDAPAT DALAM PERMAINAN

TRADISIONAL SUKU BUGIS

Disusun Oleh :

Alfira Pramudita N1D119001

Sri Rahayu Handayani N1D119105

Kornelia Margaretha Hartiono N1D119075

Wa Ode Vikah Afifa Nuarni N1D119020

Bagus Sauca Awyawaharika N1D119053

Rusmini N1D119097

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERTAS HALU OLEO

KENDARI

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Leksikon adalah keseluruhan leksem yang terdapat pada suatu bahasa. Kajian terhadap
leksikon mencakup apa yang dimaksud dengan kata abstrak leksem, strukturisasi kosakata,
penggunaan dan penyimpanan kata, pembelajaran kata, sejarah dan evolusi kata, hubungan
antarkata, serta proses pembentukan kata pada suatu bahasa. Dalam linguistik, leksikon
adalah koleksi leksem pada suatu bahasa.

Permainan tradisional sering disebut juga dengan permainan rakyat,


merupakan permainan yang tumbuh dan berkembang pada masa lalu terutama tumbuh di
masyarakat pedesaan, permainan tradisionalseperti menjadi magnet tersendiri bagi
masyarakat khususnya anak-anak. Permainan tradisional adalah permainan turun temurun
dari nenek moyang yang umumnya dimainkan anak-anak. Sebagai negara yang kaya akan
budaya, Indonesia ada banyak sekali permainan tradisional. Bisa dikatakan bahwa disetiap
daerah mempunyai permainan tradisional yang menjadi ciri khas daerah tersebut atau biasa
kita kenal dengan istilah kearifan lokal. Namun dengan kehadiran teknologi membuat
warisan berharga ini mulai pudar. Bisa kita lihat bahwa anak-anak sekarang lebih mengenal
game online dan sangat disayangkan ada yang tidak mengenal permainan khas daerahnya
sendiri.

Suku Bugis merupakan kelompok etnik pribumi yang berasal dari provinsi Sulawesi
Selatan, Indonesia. Sejak tahun 1605 banyak orang bugis yang memeluk agama Islam dari
Animisme. Awal Mula Suku Bugis. Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku
Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia
tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Melansir
Mengenal Budaya Suku Bugis karya Kapojos dan Wijaya, Suku Bugis merupakan suku
terbesar yang mendiami Sulawesi Selatan. Masyarakat Suku Bugis tersebar di sejumlah
wilayah, antara lain Kabupaten Bone, Wajo, Soppeng, Sinjai, Bulukumba, Barru, Pare-Pare,
Sidrap, Pinrang, dan Luwu. Orang Bugis berbicara bahasa daerah yang berbeda selain bahasa
Indonesia, yang disebut Bugis (Basa Ugi), dengan beberapa dialek yang berbeda. Bahasa
Bugis termasuk dalam kelompok bahasa Sulawesi Selatan; anggota lainnya termasuk
Makassar, Toraja, Mandar, dan Massenrempulu.
1.2.Rumusan Masalah

1) Bagaimanakah leksikon dalam permainan tradisional Suku Bugis pada masyarakat


Kelurahan Mata, Kecamatan Kendari?
2) Bagaimanakah kelas kata dalam leksikon permainan tradisional Suku Bugis pada
masyarakat Kelurahan Mata, Kecamatan Kendari?

1.3.Tujuan Penelitian

1) Mendeskripsikan leksikon yang terdapat dalam permainan tradisional Suku Bugis


pada masyarakat Kelurahan Mata, Kecamatan Kendari.
2) Menidentifikasi kelas kata dalam leksikon permainan tradisional Suku Bugis pada
masyarakat Kelurahan Mata, Kecamatan Kendari.

1.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang
leksikon-leksikon yang ada pada permainan tradisional, dalam hal ini khususnya mengenai
leksikon-leksikon yang terdapat pada permainan tradisional Suku Bugis pada masyarakat
Kelurahan Mata, Kecamatan Kendari beserta kelas katanya.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Relevan

Munthe, Besar (2019) dengan judul skripsi “Leksikon Permainan Tradisional Batak
Toba: Kajian Ekolinguistik”. Skripsi ini menjelaskan tentang leksikon- leksikon permainan
tradisional bahasa Batak Toba yang ada di Desa Tamba Dolok. Penelitian ini juga
menjelaskan tentang pemahaman masyarakat setempat terhadap leksikon permainan
tradisional tersebut. Dari data yang ditemukan di Desa Tamba Dolok, berdasarkan pada
pembahasan kedua dapat disimpulkan bahwa masyarakat Desa Tamba Dolok sudah mulai
tidak mengenal permainan tradisional Batak Toba dikarenakan pada jaman sekarang tidak
ada lagi yang memainkan permainan tersebut.

Kesuma (2014) dalam tesisnya “Keterancaman Leksikon Lingkungan Dalam Bahasa


Angkola/Mandailing: Kajian Ekolinguistik”mendeskripsikan leksikon lingkungan dalam
bahasa Angkola/Mandailing, mendeskripsikan pemahaman guyub tutur bahasa
Angkola/Mandailing terhadap leksikon lingkungan dan menjelaskan nilai-nilai budaya dan
kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Angkola/Mandailing melalui leksikon lingkungan.
Penelitian tersebut memberikan kontribusi terhadap penelitian ini dalam hal daftar leksikal
persawahan dan perladangan, cara pengumpulan data, dan analisis data.

Rizkyansyah (2015) dalam skripsinya “Leksikon Nomina Dan Verba Bahasa Jawa
Dalam Lingkungan Persawahan Di Tanjung Morawa” membahas leksikon-leksikon yang ada
di lingkungan persawahan dalam bahasa Jawa di Tanjung Morawa dan membahas tentang
pemahaman leksikon nomina dan verba guyub tutur bahasa jawa yang berhubungan dengan
lingkungan persawahan di Tanjung Morawa saat ini. Penelitian ini memberikan kontribusi
terhadap penelitian ini dalam hal teori dan metode penelitian.

Hery, R (2017) dengan judul jurnal “Leksikon Alat dan Aktivitas Bertanam Padi dalam
Bahasa Jawa”. Jurnal ini menganalisis fenomena kebahasaan dalam semua aspeknya dan
kemudian dikaitkan dengan kontruksi kebudayaan dan komponen lainnya dalam bahasa dan
masyarakat itu. Leksikon alat bertanam padi yang digunakan adalah blak, luku, garu,
karokan, dll. Sedangkan untuk leksikon aktivitas meliputi nyebar, nguluku, ngorok, dll.
Penelitian ini belum sepenuhnya tuntas karena hanya ranah alat dan aktivitas bertanam padi
yang menjadi pokok bahasan. Bahasanya juga hanya pada tataran invertarisasi dan
indentifikasi makna dan komponen makna.

Nirmalasari (2016) jurnal.“Berdasarkan pemaparan pada pembahasan di atas, dapat


ditarik beberapa simpulan. Simpulan pertama, khazanah ekoleksikon di lingkungan ke-
kaghati-an terfokus pada tataran leksikonnya terutama sekali leksikon-leksikon yang
berhubungan dengan ekologi atau alam. Ekoleksikon flo- ra berdasarkan data yang diperoleh,
seperti bhontu ‘waru’, bhale ‘daun palma’, kolope ‘gadung’, nanasi ‘nenas hutan’, patu
‘bambu’, ghue ‘rotan’, kowala ‘enau/aren’, lana ‘daun rotan’, bhea ‘pinang’, bumalaka
‘jambu batu’, wulu ‘buluh’ dan ghai/ kaghaabulu ‘kelapa’. Ekoleksikon fauna diperoleh data,
seperti bubu ‘kutu’, dumbi ‘kecoak’, waea ‘kelelawar’, kaghule-ghule ‘ulat’, faa ‘anai-anai’,
wulawo ‘tikus’, sapi‘sapi’, kambera ‘kupu-kupu’, gara ‘sejenis burung hantu’, dan
kooa‘sejenis burung hantu’. Ekoleksikon alam, seperti ghuse ‘hujan’, kawea‘angin’, fiu
‘berhembus bertiup’, kabhawo ‘gunung’, wite‘bumi/tanah’, lani ‘langit’, kalangkari ‘jagung
musim timur, timbu ‘musim timur’, oe ‘air’, gholeo ‘matahari’, wula ‘bulan’, kolipopo
‘bintang’, bhete ‘terbit’, soo‘terbenam’ dan ghindotu ‘tengah hari/ tegak tinggi’. Ekoleksikon
kepercayaan di- peroleh data seperti kotupa ‘ketupat’, ahera ‘akhirat’, gholeo ‘matahari’,
dupa ‘dupa’, dhoa ‘doa’, mate ‘mati/meninggal’, bhatata ‘berniat’, modhi ‘imam’, tutura
‘ritual’ dan ghunteli ‘telur’. Simpulan kedua, satuan-satuan lingual khazanah leksikon ke-
kaghati-an bahasa Muna terfokus pada bentuk dan kategori. Bentuk leksikon berdasarkan
data yang diperoleh, didapat leksikon bentuk tunggal, bentuk kompleks (afiksasi dan
reduplikasi) dan bentuk majemuk. Yang termasuk bentuk tunggal seperti tapu ‘ikat’, bhera
‘patah’, tomba ‘keranjang’, pani ‘sayap’, alo ‘malam’, bhala ‘dosa’, simpi ‘jepit’ dan pughu
‘pohon’. Sedangkan yang termasuk dalam bentuk kompleks terbagi atas ke- lompok leksikon
berafiks seperti bhatende ‘dianjung’, kasaa ‘alat penyeimbang’, fohoro ‘terbangkan’, fekalaa
‘luruskan/ jadikan lurus’; meala ‘mengambil’; pokai ‘saling kait’, setomba ‘satu keranjang’,
piki- owa-hi-ghoo ‘segera ditambahkan talinya’; kalaghoo ‘bawa pergi’, dan didiwi ‘sayati’.
Kelompok kata seperti sala bhate ‘salah bentuk’, kawea bunta ‘ angin di awan’ termasuk
bentuk majemuk. Kelompok kata ulang seperti ule -->ka-ule-ule ‘berputar- putar’, kangia--
>ka-kangi-kangia ‘berputar terus-menerus’. Adapun kategori leksikon- leksikon ke-kaghati-
an tersebut adalah kategori nomina, verba, dan adjektiva. Kategori nomina seperti kalolonda,
punda. Kategori verba seperti kumbu, pulo, timpu, lepesi. Kategori adjektiva diperoleh
leksikon-leksikon seperti malu ‘lembek’, ghosa ‘keras’, todo ‘kencang’, nifi ‘tipis’. Simpulan
ketiga, ungkapan falia ke- kaghati-an itu terkandung kekayaan nilai kearifan lokal dalam
menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, alam, dan sesama makhluk hidup, seperti O
falia nelaa kaindereno, nomangkulepaane ‘pemali rangka tengahnya diambil dari buluh yang
lurus, nanti mudah menukik’; O falia dofofotingkulu rokolopeno, neuleane ‘pemali daun
gadungnya dipasang terbalik, nanti berputar pada waktu terbang.’ Pelestarian kekayaan
leksikon dalam GTBM itu sangat penting, baik untuk keberlanjutan hidup bahasa Muna
maupun kelestarian kaghati dengan tradisi dan budayanya yang di dalamnya tersimpan
makna dan nilai budaya warisan masa lalu sebagai bagian dari jati diri guyub tuturnya,
terutama bagi generasi mudanya.

Rengki Afria dan Dimas Sanjaya (2020 jurnal. Hasil penelitian disimpulakan bahwa
ditemukan leksikon dalam permainan ekal, terdapat 20 kosakata dan 6 gabungan kata. Terdiri
dari 15 nomina, 4 verba, dan 8 adejktiva. Sedangkan pada permainan layangan terdapat 17
kosakata dan 1 kata turunan. Terdiri dari 4 nomina, 9 verba, dan 7 adjektiva. Setelah
dianalisis, ada beberapa kosakata yang sudah ada dalam kehidupan sehari tetapi berbeda
makna dalam permainan tradisional yaitu, batas, buah, bobot, buncit, gondol, mati, kilan, les,
pot, ulur, tangsi, kendor, dan pecian. Lalu beberapa leksikon berdasarkan pelesetan dari
kosakata sebelumnya yaitu, dekok, trek mundur, nyinteng, dan gedek. Dan terakhir leksikon
yang memang digunakan dalam permainan tradisional secara khusus, ekal, epek, kuju, pala
ulo, porces, traju, lego, singgareng, ambat, ambatan, anjung, timpo, gelasan, ceracahan dan
nyate.

Penelitian Laza (2012) yang berjudul “Khazanah Leksikon dan Budaya Keladangan
Masyarakat Tolaki: Kajian Ekolinguistik”. Objek kajiannya berhubungan dengan lingkungan
ladang berupa khazanah leksikon nomina, verba, adjektiva, dan ungkapan yang berhubungan
dengan lingkungan ladang Konawe. Selain itu, dikaji juga perkembangan budaya kaitannya
dengan pelestarian lingkungan. Adapun teori yang digunakan adalah teori ekolinguistik dan
sosiolinguistik yang berfokus pada pergeseran dan pemertahanan bahasa. Dalam
menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif.

Penelitian Tangkas (2013) dengan judul “Khazanah Leksikon kepadian Guyub Tutur
Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian Ekolinguistik”. Penelitian ini mengkaji leksikon
kepadian tahap pratanam, leksikon kepadian tahap tanam, dan leksikon kepadian tahap
pascatanam. Selain itu, dijelaskan juga fungsi dan makna ideologis leksikon kepadian, fungsi
dan makna sosiologis leksikon kepadian, dan fungsi dan makna biologis leksikon kepadian
(Rejistha, 2017).
Penelitian Septevany (2019) yang berjudul “Khazanah Leksikon Kepadian Sawah
Komunitas Tutur Sunda : Kajian Ekolinguistik .Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1)
khazanah leksikon kepadian sawah komunitas tutur Sunda ditemukan dalam beberapa bagian
leksikon, yaitu: nama padi, penanaman benih padi ‘penyemaian’, pengolahan sawah,
penanaman padi, pembersihan padi, perkembangan padi, pembersihan, hama padi, panen padi
dan peralatan kepadian yang digunakan selama proses hingga panen. Pada artikel ini yang
dibahas hanya nama padi, penanaman benih padi ‘penyemaian’ dan pengolahan sawah serta
(2) dinamika budaya masyarakat Sunda terbagi dalam beberapa bagian, yaitu dinamika
budaya kepadian, perubahan budaya kepadian (Septevany, 2019).

Penelitian Maknun (2017) yang berjudul “Representasi Bambu dalam Budaya Bugis:
Kajian Semiotika Budaya”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil
penelitian ini menjelaskan bahwa representasi bambu dalam budaya Bugis beragam
bentuknya. Keragaman bentuk representasi bambu tersebut dapat dibagi dua kelompok, yaitu
(1) berdasarkan nilai budaya secara tradisional; dan (2) berdasarkan nilai budaya
kontemporer (Maknun, 2017).

Supriadi dan Nurjayanti Kaharuddin (2020) yang berjudi “Leksikon Kepadian Pada
Masyarakat Suku Bugis”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat bermacam-macam
bentuk dan kategori leksikon kepadian pada masyarakat Bugis. Khazanah leksikon kepadian
pada masyarakat Bugis yang memenguruhi dinamika leksikon kepadian pada masyarakat
Bugis itu sendiri, yakni terjadi perubahan lingkungan fisik dan sosial; perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi; perubahan sikap mental generasi muda terhadap nilai, norma, dan
sosio kultural yang berlaku dalam masyarakat.

Kadek Ayu Winda Winanda, Ni Made Dhanawaty, Made Sri Satyawati (2019) yang
berjudul “Dinamika Leksikon Flora dan Fauna Bahasa Bali pada Lingkungan Persawahan”.
Hasil analisis data dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, satuan-satuan lingual
khazanah leksikon flora dan fauna di lingkungan persawahan Ubud dilihat berdasarkan
bentuk dapat diklasifikasikan atas leksikon bentuk tunggal dan bentuk kompleks. Bentuk
tunggal, seperti padi, jagung, padang, lindung, bikul. Bentuk kompleks terbagi atas kelompok
leksikon kata ulang dan kata majemuk. Bentuk ulang seperti jali-jali, kapu-kapu, kunang-
kunang, yuyu, sedangkan yang termasuk kata majemuk, seperti padang gajah dan capung
bangkok. Kedua, Leksikon flora dan fauna di lingkungan persawahan Ubud dalam bahasa
Bali mulai dipengaruhi oleh bahasa Indonesia. Pengaruh bahasa Indonesia tersebut terjadi
pada guyub tutur generasi muda yang banyak ditemukan pada leksikon flora, seperti leksikon
ambengan, padang getap, keladi, piduh-piduh, dan ligundi, sedangkan pada leksikon fauna,
seperti pacet, blecing, yuyu, blauk, dan kakul. Guyub tutur generasi muda lebih banyak
mengetahui nama leksikon flora dan fauna dalam bahasa Indonesia daripada bahasa Bali. Hal
tersebut disebabkan oleh rendahnya frekuensi penggunaan bahasa lokal masyarakat Ubud
karena telah dipengaruhi oleh bahasa Indonesia termasuk pengguaan leksikon flora dan fauna
di persawahan. Ketiga, Faktorfaktor penyebab banyaknya leksikonleksikon flora dan fauna
pada lingkungan persawahan di Ubud dipengaruhi oleh bahasa Iandonesia, yaitu perubahan
fisik lingkungan persawahan Ubud, kerusakan ekosistem di persawahan Ubud,
ketakterwarisan leksikon flora dan fauna oleh penutur tua untuk penutur muda di lingkungan
Ubud, dan terjadi perubahan bahasa.

Penelitian Utami (2015) berjudul “Dinamika Khazanah Leksikon Kesungaian pada


Guyub Tutur Bahasa Bali di Bantaran Tukad Badung Denpasar” Dengan menerapkan metode
agih dan teori ekolinguistik ditemukan leksikon komponen biotik dan abiotik sebagai
pembentuk ekosistem di Tukad Badung merupakan seperangkat leksikon yang
merepresentasikan entitas-entitas kesungaian berkategori nomina, baik yang ada di dalam air,
di atas air, maupun di bantaran Tukad Badung. Dari segi bentuk leksikon tersebut terdiri atas
bentung tunggal dan bentuk komplek, sementara dari segi kategori ditemuakan leksikon
berkategori nomina, verba dan adjektiva.

Penelitian Suktiningsih (2016) berjudul “Leksikon Fauna Masyarakat Sunda: Kajian


Ekolinguistik” yang memfokuskan kajian pada bentuk baku “dari makna dan fungsi
penggunaan” leksikon “fauna dalam suatu metafora.” Ditemukan banyak penggunaan
leksikon fauna dalam petuah atau” nasihat “masyarakat Sunda.

Penelitian Santoso (2017) berjudul “Analisis Sosio-EkonoEkolinguistik terhadap


Pemertahanan Leksikon Tanaman Tradisonal untuk Bumbu Masak bagi Mahasiswi di Kota
Semarang”. Dengan menerapkan metode deskriptif analitik dan teori ekolinguistik ditemukan
pemeliharaan leksikon tanaman tradisional untuk memasak rempah-rempah siswa Semarang
rendah. Kecenderungan memasak instan telah menggeser penggunaan bumbu masak
tradisional.

Widarsini (2021) meneliti “Khazanah Leksikon Tradisi Penangkapan Ikan Paus dalam
Novel Suara Samudra Karya Maria Matildis Banda: Kajian Ekolinguistik”. Dengan
menerapkan metode anlsisis deskriptif kualitatif dan teori ekolinguistik, ditenemukan
leksikon tradisi penangkapan ikan paus dapat diklasifikasi atas leksikon biotik dan abiotik,
yang dari segi bentuk terdiri atas kata tunggal dan kata kompleks, bahkan frasa.

Ilham Sandi (2014) dengan judul Pergeseran Bahasa Dalam Permainan Tradisional
Mandailing: Kajian Ekolinguistik. Dalam penelitiannya membahas tentang permainan
tradisional dalam persepektif ekolinguistik. Terjadinya penyusutan pemahaman leksikon pada
Permainan Tradisional Mandailing disebabkan karena faktor internal, yaitu karena anak-anak
pada masa sekarang tidak lagi menggunakan permainan Tradisional Mandailing tersebut dan
dipengaruhi juga faktor eksternal yaitu dengan perkembangan teknologi yang lebih menarik
dari permainan- permainan Tradisional tersebut tergantikan oleh permainan yang
menggunakan teknologi. Oleh sebab itu permainan-permainan Tradisional Mandailing tidak
lagi dipakai atau dimainkan, maka leksikon-leksikon yang ada di dalam permainan tersebut
tidak dipakai lagi dan mulai punah. Dari data yang disajikan ditemukan beberapa leksikon
yang hilang yaitu 6 nomina dan 13verba.

Nurhadijah Gita Priana (2017) dengan judul Ekoleksikon Dalam Permainan Tradisional
Masyarakat Muna. Penelitian tersebut bertujuan mendeskripsikan beberapa leksikon-
leksikon yang berhubungan dengan permainan tradisional, seperti: kalego (permainan dari
tempurung kelapa), pongkuda (kasungki), hule (gasing), pokadudi (kadudi), dan kaghati
(layang- layang). Menariknya dalam penelitian ini, penulis mengkorelasikan dengan
pembelajaran di sekolah. Sehingga capaian yang diharapkan, Pertama, Pengajar dapat
mengetahui Ekoleksikon dalam permainan tradisional masyarakat Muna, sehingga mereka
memiliki potensi dalam proses pembelajaran berlangsung. Kedua, Peserta didik memperoleh
informasi tentang ekoleksikon dalam permainan tradisional masyarakat muna, untuk
meningkatkan kembali kosakata siswa dalam bahasa daerah. Ketiga Hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan ajar di sekolah terutama yang menggunakan bahasa Muna sebagai muatan
lokal.

Jafar (2014) meneliti tentang Penciptaan buku ilustrasi permainan trisisional sebagai
upaya pelestarian warisan budaya lokal. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada 4
macam permainan yang sangat populer saat itu, yaitu Engklek, Dakon, Patil Lele dan Egrang
yang dianggap memiliki nilai terapiutik yang tinggi.

Rosly, (2018) yang menyebutkan bahwa kehadiran leksikon berunsurkan sosio-budaya


dalam Melayu tradisional bukan saja mencerminkan kekayaan leksikon melayi zaman
dahulu, tetapj juga menggambarkan keadaan masyarakat yang kaya dengan ilmu kehidupan
termasuk sastra, teknologi, keberagaman dan lain-lain. Penelitian lain juga menyebutkan
bahwa kepunahan bahasa-bahasa daerah merupakan fenomena yang perlu dicermati dan
disikapi secara serius dan bijak ( Almos et Al., 2017b). Lebih lanjut , Almos, dkk
menjelaskan tidak hanya bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, bahasa Minangkabau
juga dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Kalaupun tidak mengarah pada kepunahan,
bahasa minangkabau sudah mengalami proses perubahan. Perubahan tersebut dapat diamati
pada terjadinya pengurangan kosa kata. Kosa kata klasik, misalanya, telah tergantikan oelh
kosa kata baru dan bahkan hilang sama sekali (Almos et al., 2017a).

Di antara penelitian-penelitian di atas belum ada yang meneliti leksikon yang terdapat
dalam permainan tradisional Suku Bugis, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian ini.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Leksikon

Leksikon adalah koleksi leksem dalam suatu bahasa. Dalam leksikon terdapat kajian
yang meliputi tentang apa yang dimaksud dengan kata, struktur kosakata, pembelajaran kata,
penggunaan dan penyimpanan kata, sejarah dan evolusi kata (etimologi), hubungan antarkata,
serta proses pembentukan kata pada suatu bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari leksikon
dianggap sebagai sinonim kamus atau kosakata. Chaer (2007:5) mengatakan bahwa istilah
leksikon berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “kata”, “ucapan”, atau “cara berbicara”.
Kata leksikon sekerabat dengan leksem, leksikografi, leksikograf, leksikal, dan
sebagainya.Sebaliknya, istilah kosa kata adalah istilah terbaru yang muncul ketika mencari
tentang kata-kata atau istilah Indonesia sebanyak-banyaknya atau lebih banyak lagi.
Selanjutnya,Sibarani(1997:4)sedikit membedakan leksikon dari perbendaharaan kata, yaitu
leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu
bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan
perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu
bahasa.

2.2.2. Ekolinguistik

Ekolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari peran linguistik dalam


permasalahan ekologi dan lingkungan. Teori ekolinguistik memandang bahasa sebagai wadah
yang secara fungsional merekam pengetahuan manusia tentang lingkungan alam sekitarnya
juga lingkungan sosial budaya sebagai tanda adanya relasi dan interaksi mereka dengan alam.
Khazanah kosa kata kata dan ungkapan-ungkapan metaforis yang kaya dan lengkap
mencerminkan serta mereflesikan perbendaharaan pengetahuankomunitas penuturnya tentang
lingkungan ragawinya, sosialnya, gagasan-gagasan mereka juga karakter lingkungan hidup,
dan kebudayaan para pemilik bahasa itu. Pada tahun 1972, Einar Haugen untuk pertama
kalinya memperkenalkan istilah ecology of language . Haugen (dalam Fill dan Muhlhausler
2001:57) mengatakan “ecology of language may be defind as the study of interactions
between any given language and its environment”, artinya ekologi bahasa didefinisikan
sebagai sebuah studi tentang interaksi atau hubungan timbal balik antara bahasa tertentu dan
lingkungannya. Haugen menegaskan bahwa bahasa berada dalam pikiran penggunanya dan
bahasa berfungsi dalam hubungan antar penggunanya satu sama lain dan lingkungan
(lingkungan sosial dan alam).

Haugen (dalam Mbete 2009:11-12) menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan


dengan sepuluh ruang kaji, yaitu:

1) Linguistik historis komparatif, menjadikan bahasa-bahasa kerabat di suatu lingkungan


geografis sebagai fokus kaji untuk menemukan relasi historis genetisnya.
2) Linguistik demografi, mengkaji komunitas bahasa tertentu di suatu kawasan untuk
memerikan kuantitas sumber daya (dan kualitas) penggunaan bahasabahasa beserta
ranah-ranah dan ragam serta registrasinya (sosiolek dan fungsiolek).
3) Sosiolinguistik, yang fokus utama kajiannya atas variasi sistematik antara struktur
bahasa dan stuktur masyarakat penuturnya.
4) Dialinguistik, yang memokuskan kajiannya pada jangkauan dialek-dialek dan bahasa-
bahasa yang digunakan masyarakat bahasa, termasuk di habitat baru, atau kantong
migrasi dengan dinamika ekologinya.
5) Dialektologi, mengkaji dan memetakan variasi-variasi internal sistem bahasa.
6) Filologi, mengkaji dan menjejaki potensi budaya dan tradisi tulisan, prospeknya,
kaitan maknawi dengan kajian dan atau kepudaran budaya, dan tradisi tulisan lokal.
7) Linguistik preskriptif, mengkaji daya hidup bahasa di kawasan tertentu di kawawan
tertentu, pembakuan bahasa tulisan dan bahasa lisan, pembakuan tata bahasa (sebagai
muatan lokal yang memang memerlukan kepastian bahasa baku yang normatif dan
pedagogis).
8) Glotopolitik, mengkaji dan memberdayakan pula wadah, atau lembaga penanganan
masalah-masalah bahasa (secara khusus pada era otonomi daerah, otonomi khusus,
serta pendampingan kantor dan atau balai bahasa).
9) Etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural linguistics)
yang membedah pilih-memilih penggunaan bahasa, cara, gaya, pola pikir dan imajeri
dalam kaitan dengan pola penggunaan bahasa, bahasabahasa ritual, kreasi wacana
iklan yang berbasiskan bahasa lokal.
10) Tipologi, membedah derajat keuniversalan dan keunikan bahasa-bahasa. Berdasarkan
cakupan ekolinguistik di atas, penelitian ini berhubungan erat dengan ekologi sosial
yang membahas sosiolinguistik dan etnolinguistik.

2.2.4. Kearifan Lokal

Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan suatu bangsa
dengan bangsa lainnya. Setiap bagian kebudayaan pasti memiliki nilai-nilai kearifan lokal
didalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Sibarani (2014:114) Kearifan lokal adalah
kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi
budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal adalah nilai budaya
lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau
bijaksana. Sibarani (2014:121) juga menyatakan bahwa kearifan lokal sering dianggap
padanan kata Indigenous Knowledge, yakni kebiasaan, pengetahuan, persepsi, norma, dan
kebudayaan yang dipatuhi bersama suatu masyarakat (lokal) dan hidup turun-temurun.
Kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan
menggunakan segenap akal budi, pikiran, hati, dan pengetahuannya untuk bertindak dan
bersikap terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Jenis-jenis kearifan lokal
menurut Sibarani adalah kesejahteraan, kerja keras, disiplin, pendidikan, kesehatan, gotong
royong, pengelolaan gender, pelestarian dan kreativitas budaya, peduli lingkungan,
kedamaian, kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian
konflik, komitmen, pikiran positif, dan rasa syukur (Sibarani 2014:135). Permainan
tradisional juga termasuk bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu,
dalam beberapa permainan tradisional terkandung kearifan lokal yang bersumber dari nilai-
nilai budaya masyarakat yang memainkan permainan tradisional tersebut.
2.2.3. Permainan Tradisional

Permainan adalah sesuatu yang dimainkan atau yang digunakan untuk bermain.
Tradisional berpegang teguh terhadap kebiasaan turun temurun; sikap dan cara berpikir serta
bertindak dan selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang secara turum
temurun. Jadi arti dari permainan tradisional adalah suatu hal yang berhubungan dengan
bermain yang sifatnya turun temurun atau warisan nenek moyang. Permainan tradisional
sebagian besar berupa permainan anak yang merupakan bagian dari folklore. Permainan
tradisional adalah suatu hasil budaya masyarakat, yang berasal dari jaman yang sangat tua,
yang telah tumbuh dan hidup sampai sekarang, dengan masyarakat pendukungnya yang
terdiri atas tua muda, laki perempuan, kaya miskin, rakyat bagsawan dengan tiada bedanya.
Permainan tradisional bukanlah hanya sekedar alat penghibur hati, sekedar penyegar pikiran,
atau sekedar sarana berolah raga tetapi memiliki latar belakang yang bercorak rekreatif,
kompetitif, paedogogis, magis, dan religis. Permainan tradisonal juga menjadikan orang
bersifat terampil, ulet, cekatan, tangkas, dan lain-lain (Drs. Ahmad Yunus, 1980/1981) jadi
dapa disimpulkan bahwa permainan tradisional adalah suatu permainan warisan dari nenek
moyang yang wajib dan perlu dilestarikan sebagai bagian dari proses perkembangan anak.

Permainan tradisional merupakan salah satu hal yang sangat disukai oleh anak-
anak.Banyak jenis permainan yang sering kali dimainkan oleh anakanak.Permainan
tradisional merupakan satu dari sekian banyak warisan budaya bangsa mulai hilang dan
lambat laun semakin tidak terdeteksi keberadaannya akibat dari globalisasi yang
memunculkan permainan baru yang lebih canggih.Permainan tradisional merupakan salah
satu kearifan lokal bahasa yang saat ini mulai terkikis zaman sehingga mulai sulit untuk
ditemukan.

Permainan tradisional adalah sebuah permainan turun temurun dari nenek moyang
yang di dalamnya mengandung berbagai unsur dan nilai yang memiliki manfaat besar bagi
yang memainkannya. Permainan tradisional adalah salah satu bentuk permainan anak-anak,
yang beredar secara lisan diantara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, dan
diwarisi turun temurun, serta banyak memunyai variasi. Jika dilihat dari akar katanya
permaian tradisional tidak lain adalah kegiatan yang diatur oleh suatu peraturan permainan
yang merupakan pewarisan dari generasi terdahulu yang dilakukan manusia (anak-anak)
dengan tujuan mendapat kegembiraan (Azizah: 2016: 24). Permaian tradisional sudah
tumbuh dan berkembang sejak zaman dahulu, setiap daerah memiliki jenis permainan
tradisional yang berbeda-beda.

Permainan tradisional adalah Permainan yang dilakukan berdasarkan tradisi yang


sudah ada. Kebanyakan permainan ini dilakukan dengan cara kelompok. Kehidupan
masyarakat di masa lalu yang bisa dibilang tidak mengenal dunia telah mengarahkan dan
menuntut mereka pada kegiatan sosial dan kebersamaan yang tinggi. Terlebih kebudayaan
Indonesia pada umumnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Hal ini yang
kemudian mendorong terciptanya jenis permainan tradisional. Sayangnya perkembangan
jaman khususnya perkembangan teknologi yang semakin pesat membuat jenis permainan
tradisional perlahan mulai menghilang. Jarang sekali kita melihat anak-anak jaman sekarang
memainkan permainan tradisional seperti Madanda’, Maccuke, Mabbinta’, Ma’ Bom atau
Ma’ Boi, dan Mappagoli.
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Penelitian lapangan. Yaitu bentuk penelitian yang dilakukan
dengan cara peneliti turun langsung ke lapangan untuk mendapatkan data yang valid
mengenai leksikon dalam permainan Suku Bugis. Khususnya di Kelurahan Mata, Kecamatan
Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian deskriptif kualitatif. Sebuah penelitian yang dimaksudkan untuk mengungkapkan
sebuah fakta empiris secara objektif ilmiah dengan berlandaskan pada logika keilmuan,
prosedur dan didukung oleh metodologi dan teoretis yang kuat sesuai disiplin keilmuan yang
ditekuni. (Mukthar, 2013: 29).

3.2. Data dan Sumber Data

Data berupa leksikon dalam permainan tradisional Suku Bugis, yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah data lisan. Data lisan yang dimaksud adalah tuturan langsung dari
informan berupa istilah-istilah dalam permainan tradisional. Data lisan tersebut kemudian
ditulis langsung oleh peneliti saat proses mencatat data. Sumber data dalam penelitian ini
adalah hasil tuturan dari penutur asli masyarakat Suku Bugis yang bermukim di Kelurahan
Mata, Kecamatan Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sumber data lisan yang diperoleh dari informan. Untuk mendapatkan
data yang respresentatif, informan yang dipilih adalah yang memasuki kriteria berikut :

a. Informan adalah penutur asli Suku Bugis yang ucapannya jelas dan fasih.
b. Informan yang berusia sekitar 10 sampai dengan 60 tahun.
c. Memiliki alat ucap yang masih lengkap
d. Informan tidak cacat berbicara seperti gagap dan sebagainya.
e. Informan bersedia memberikan data yang dibutuhkan oleh peneliti.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini tergolong penelitian lapangan sehingga peneliti dalam mengumpulkan data
langsung kelokasi penelitian. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah
metode cakap dan catat. Metode cakap yaitu cara yang ditempuh data itu adalah berupa
percakapan antara peneliti dengan informan mengandung arti. Sedangkan metode catat yaitu
peneliti mencatat semua kata-kata yang diberikan oleh informan sesuai data yang diinginkan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Teknik observasi (pengamatan) merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang


mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan
ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan, dan perasaan.
2) Teknik wawancara, yaitu peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lebih
bebas dan leluasa tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan
sebelumnya, dengan wawancara percakapan tidak membuat jenuh kedua belah pihak
sehingga informasi yang diperoleh lebih kaya.
3) Teknik catat, yaitu teknik yang digunakan dengan cara mencatat data yang diperoleh
langsung dari lapangan.
4) Teknik rekam, yaitu teknik yang digunakan dengan cara merekam apa yang
disampaikan oleh informan dengan menggunakan hand phone.

3.4. Teknik Analisis Data

Untuk melihat keabsahan data, metode analisis yang digunakan adalah sebagai berikut :

1) Keterpercayaan (Credibility). Penelitian kualitatif dinyatakan absah apabila memiliki


derajat keterpercayaan (credibility). Penelitian berangkat dari data. Data adalah
segalagalanya dalam penelitian. oleh karena itu, data harus benar-benar valid. Ukuran
validitas suatu penelitian terdapat pada alat untuk menjaring data, apakah sudah tepat,
benar, sesuai dan mengukur apa yang seharusnya diukur. Alat untuk menjaring data
penelitian kualitatif terletak pada penelitiannya yang dibantu dengan metode
interview, observasi, dan studi dokumen.
2) Triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. pada luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap dataitu. Teknik triangulasi yang paling banyak
digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Misalnya, triangulasi dengan
sumber.
3) Keteralihan (Transferability). Sebagai persoalan yaag empiris bergantung pada
kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan pengalihan
tersebut seorang peneliti hendaknya hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian
empiris tentang tentang kesamaan konteks. Dengan demikian peneliti bertanggung
jawabuntuk menyediakan data deskriptif secukupnya jika ia ingin membuat keputusan
tentang pengalihan tersebut. Untuk keperluan itu peneliti harus melakukan penelitian
kecil untuk memastikan usaha memverifikasi tersebut.
4) Kebergantungan (dependability). Konsep kebergantungan lebih luas dari pada
realibilitas . hal tersebut disebabkan peninjauan yang dari segi bahwa konsep itu
diperthitungkan segala-galanya yaitu yang ada pada realibilitas itu sendiri ditambah
factor-faktor lainya yang tersangkut.
5) Kriteria Kepastian (confirmability). Objektivitas-subjektivitasnya sesuatu hal
bergantung pada orang seorang, Selain itu masih ada unsure kualitas yang melekat
pada konsep objektivitas itu. Hal itu digali dari pengertian bahwa jika sesuatu itu
objek berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipastikan. Subjektif berarti tidak
dapat dipercaya, atau menceng. Pengertian terakhir inilah yang dijadikan tumpuan
pengalihan pengertian objektivitas-subjektivitas menjadi kepastian.

Kemudian, analisis prosedur pengelolahan data dilakukan dengan tahapan-tahapan yang


mengacu pada pendapat Ratna (2004:53) mengatakan bahwa mula-mula data dideskripsikan
dalam bentuk kata-kata atau kalimat dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya.
Tahapan untuk menganalisis Leksikon dalam permainan tradisional adalah sebagai berikut :

1. Transkripsi rekaman data,yaitu memindahkan data kedalam bentuk tulisan yang


sederhana. Data lisan leksikon permainan tradisional yang diperoleh dipindahkan
kedalam bentuk data tulisan.
2. Penerjemahan data ,pada tahap ini semua data yang sudah dikelompokan langsung
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
3. Klasifikasi data, yaitu semua data yang memenuhi syarat dikumpulkan karakteristik
bentuknya. Analisis, pada tahapan ini peneliti akan menganalisis leksikon yang
terdapat dalam permainan tradisional Suku Bugis.
BAB 4

PEMBAHASAN

4.1. Permainan Tradisional Suku Bugis

Berdasrkan penelitian yang telah dilakukan mengenai leksikon permainan tradisional


Suku Bugis di Kelurahan Mata, Kecamatan Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara ditemukan
sebanyak 5 leksikon permainan tradisional Suku Bugis. Berikut ini akan diuraikan leksikon
permainan tradisional Batak Toba yang ditemukan di daerah penelitian.

Tabel 1.1 Bentuk Leksikon Permainan Tradisional Suku Bugis

No Leksikon Bahasa Indonesia Alat dan Bahan Kegiatan


(Nomina) (Verba)
1. Madanda’ Engklek Palele (Batu) Madempe’
(Melempar)
Garisi’ (Garis) Malai
(Mengambil)
2. Maccukke Indo cukke Maccukke
(Batang pohon (Mengungkit)
sagu besar)
Ana Cukke Mattikkeng
(Batang pohon (Menangkap)
sagu kecil)
Madempe’
(Melempar)
3. Mabbinta’ Lompat Karet Getta (Karet) Luppe’
(Melompat)
Mammini
(Memegang
karet)
4. Ma’ Boi Susun Batu Boi (Bola kecil Madempe’
(Melempar)
Capeng
(Tempurung
kelapa)
5. Mappaguli Permainan Kelereng Kelereng (Baguli) Detti
(Menyentil)
Garis (Garisi’)

4.1.1. Permainan Tradisional Madanda’

Permainan Madanda’ merupakan Salah satu permainan rakyat yang berasal dari Suku
Bugis yang dapat dimainkan oleh dua orang atau lebih. Terdapat beberapa jenis garis
(Garisi’) petak yang biasa digunakan untuk bermain ini, seperti bentuk huruf L, rok, surat,
kipas angin, robot, lemari hingga berbentuk gunung. Cara memainkan permainan ini yaitu
setiap pemain akan melemparkan (Madempe’) batu (Palele) ke kotak yang paling dekat. Lalu,
pemain harus melewati petak tersebut dan tidak boleh menginjak garis dan palele yang telah
dilemparnya. Setelah itu pemain kembali ke garis awal dan mengambil (Malai) palele
tersebut, lalu melanjutkan melempar (Madempe’) ke kotak berikutnya. Namun ketika Palele
yang dilemparkan mendarat di atas garis maka permainan berakhir dan orang lain yang akan
memulai permainan baru.

4.1.2. Maccukke

Maccukke permainan yang bahan atau alatnya yang dipakai terbuat dari batang pohon
sagu yang sudah dikeringkan, permainan ini bertempat dilapangan terbuka yang tidak
berumput untuk area membuat lubang. Para pemain akan mengungkit (Maccukke) tanah
dengan menggunakan alat pengungkit berupa sepotong besar batang pohon sagu kering (Indo
cukke/pattette) dan alat ungkitnya berupa sepotong kecil batang pohon sagu kering (Ana
cukke). Maccukke ini dimainkan secara berkelompok, yaitu satu kelompok dua orang atau
lebih dan dan bisa dimainkan oleh laki-laki maupun perempuan. Terdapat beberapa aturan
seperti kelompok yang melakukan pengungkitan dan kelompok penjaga berhasil menangkap
(Mattikkeng) ana cukke, kemudian indo cukke disimpan di atas lobang yang ada, saat
kelompok penjaga melempar (Madempe’) indo cukke dan berhasil kena, maka kelompok
penjaga akan mendapat poin sesuai aturan yang disepakati.

4.1.3. Mabbinta’

Permainan tradisional ini menggunakan karet (Getta) yang disambung satu persatu
hingga panjang atau menggunakan tali. Permainan ini dimainkan secara kelompok dan
membutuhkan dua orang lebih untuk memegang karet (Mammini) dan memainkannya. Hal
yang dilakukan untuk bermain lompat karet adalah pertama karet ditaruh dari paling bawah,
kemudian pemain lainnya akan lompat melewati karet itu dengan cara melompatinya
(Luppe’) dan seterusnya hingga karet sampai di atas kepala. Selain menyenangkan tentunya
permainan lompat karet ini mampu membantu menguatkan organ-organ tubuh anak, seperti
tangan dan kaki. 
4.1.4. Ma’ Boi atau Ma' Bom
Permainan Ma’ Boi atau Ma' Bom dilakukan dengan cara melempar (Madempe’)
susunan batu (bisa juga pecahan lempengan genteng atau tempurung kelapa "Capeng")
dengan menggunakan bola kecil (Boi). Jika lemparan itu membuat tumpukan roboh, maka
penjaga harus mengambil boi dan melemparnya ke pemain lawan yang sedang berusaha
menyusun batu. Meski terlihat mudah, permainan ini memerlukan konsentrasi sebab pemain
harus melempar dan mengenai target termasuk susunan batu atau lawan, kadang angin juga
berpengaruh pada gagal dan berhasilnya lemparan.

4.1.5. Mappaguli
Permainan ini dilakukan dengan meletakkan beberapa butir kelereng (Baguli) dalam
lingkaran (Garisi’). Lalu semua anak berdiri dengan jarak satu meter dari lingkaran tersebut
atau berada di belakang sebuah garis, kemudian secara bergantian harus menyentil (Detti)
baguli lainnya agar kumpulan kelereng di garisi’ keluar. Anak yang kelerengnya paling jauh
dari lingkaran akan bermain lebih dulu dan memakai kelereng yang ada di luar lingkaran
sebagai penyerang untuk memukul kelereng lain yang masih ada di dalam lingkaran. Jika
berhasil, pemain akan mengambil dan boleh menyimpan kelereng yang berhasil disentilnya
(Detti).
BAB 5

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pada permainan tradisional yang mana objek dari penelitian
ini adalah leksikon dari penelitian itu sendiri dapat di tarik beberapa kesimpulan berdasarkan
subjek dari permainan tradisional yang diangkat oleh peneliti adalah leksikon permainan
tradisional yang terdapat di Kelurahan Mata terdiri atas 5 leksikon permainan, dari 5 leksikon
tersebut terdapat dua khazanah leksikon permainan di Kelurahan Mata, yaitu khazanah
leksikon alat dan bahan yang digunakan dan khazanah leksikon kegiatan dalam permainan
tradisional. Khazanah leksikon permainan tradisional Suku Bugia terdiri atas 5 leksikon,
sedangkan khazanah leksikon alat dan bahan yang digunakan dalam permainan tradisional
terdiri atas 9 leksikon, dan leksikon kegiatan terdiri atas 7 leksikon. Leksikon-leksikon
tersebut diujikan pada tiga kelompok usia, yaitu kelompok usia I (10-20 tahun), kelompok
usia II (21-45 tahun), dan kelompok usia III (lebih dari 46 tahun). Dari data yang ditemukan
di Kelurahan Mata, disimpulkan bahwa masyarakat Kelurahan Mata sudah mulai tidak
mengenal permainan tradisional Suku Bugis dikarenakan pada jaman sekarang sudah jarang
ditemukan orang yang memainkan permainan tersebut.

5.2. Saran

Dengan adanya penelitian ini diharapkan pembaca dapat lebi menyadari betapa
pentingnya melestarikan permainan-permainan tradisional yang ada agar tidak punah, karena
permaina-permainan ini merupakan ciri khas dari masing-masing daerah dan suku di
Indonesia. Permainan tradisional juga termasuk dalam kekayaan budaya yang seharusnya
dijaga dengan baik oleh seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Jafar, Aljuk, dkk. 2014. Penciptaan buku ilustrasi permainan trisisional sebagai upaya
pelestarian warisan budaya lokal. Jurnal Art Nouveaw, 3(1), 56-64.

Lasa. 2012. Khazanah Leksiko dan Budaya Keladangan Masyarakat Tolaki: Kajian

Ekolinguistik. Tesis. PPS. Universitas Halu Oleo. Kendari.

Lubis, Sahdi Ilham. 2014. Pergeseran Bahasa Dalam Permainan Tradisional Masyarakat
Mandailing; Kajian Ekolingustik. Jurnal. Universitas Sumatera Utara.

Marafad, Sidu La Ode. 2016. Ekoleksikon Ke-Kaghati-an Bahasa Muna. Jurnal. Universitas
Halu Oleo.

Munthe, Besar. 2019. Leksikon Permainan Tradisional Batak Toba : Kajian Ekolinguistik.
Universitas Sumatera Utara.

Priana, Nurhadijah Gita. 2017. Ekoleksikon dalam Permainan Tradisional Masyarakat Muna.
Jurnal Bastra Vol.1 No.4.

Subiyanto, Agus. 2010. Ekolinguistik : Model Analisis dan Penerapannya. Universitas


Diponegoro.

Supriadi, Nurjayanti Kaharuddin. 2020. Leksikon Kepadian Pada Masyarakat Suku Bugis.
Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia. Vol.5 No.5.

Winanda, Kadek Ayu Winda, Ni Made Dhanawaty, Made Sri Satyawati. 2019. Dinamika
Leksikon Flora dan Fauna Bahasa Bali pada Lingkungan Persawahan. Jurnal Vol.26.2.
Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai