xi
Abstract
This research focused on the history of Balinese language development. The
three main issues of concern were (1) the development of lexicon as the historical
picture of Balinese language development, (2) the change of lexicon as
phonological evolution, and (3) the development of lexicon cultural meaning in the
history of Balinese language development. These three problems were found based
on language data empirically derived from ancient Balinese inscriptions texts,
Balinese language literary works, modern Balinese texts, and oral language data as
a representation of the use of living language today. To solve the three problems
related to the study of the diachronic language of Balinese, it applied the theory of
comparative historical linguistics as the main theory and a number of supporting
theories which were the generative phonology, semiotic, and ecolinguistic theory.
The analysis of the first problem showed that the development of lexicons as
the treasures traced from the Proto Austronesian (PAN) form. It provided the
historical picture in Balinese language development. The PAN's etymon
inheritance reflected the Balinese identity as part of the Austronesian language,
with various other language influenced in Balinese language development history.
The Old Balinese language showed the inheritance of the PAN etymon and lexical
influenced from Sanskrit and Old Javanese. Meanwhile, the Modern Balinese
language showed the inheritance of the Kuna language, influenced from Sanskrit,
Old Javanese, and Balinese. In its development, the Modern Balinese language
showed the inheritance of PAN etymon with major influenced from Sanskrit, Old
Javanese (including Middle Javanese), Malay, and a number of other foreign
languages.
The analysis of the second problem showed that the lexicon of the Balinese
language had changed over a long period of time, evolving naturally from the early
form to the final form, through variations, adaptations, natural selection, and the
characteristic of heredity as phonological evolution. The phonological evolution of
lexicons in the history of Balinese language development found in this study
included (1) sound eruption: apheresis, syncope, haplology; (2) The addition of
sounds: epenthesis or anaptyksis, prothesis, paragoge; (3) metathesis, (4) unusual
sound changes, (5) vowel and consonant changes.
The analysis of the third issue showed that the Balinese lexicons
experienced the change in form as well as the development of cultural meaning.
The development of the lexicon's cultural significance in this study was found in
relation to the lexicon of wind directions, season, floral, and fauna. The Balinese
culture that came from Hindu believing seemed to be an important factor in the
development of meaning previously embedded by the lexicon. The Balinese
lexicon in its developmental history was also endorsed for cultural symbols and
Hindu religion. Thus, the meaning conceived of the lexicon was progressing.
xii
DAFTAR ISI
xiii
2.3.3 Teori Ekolinguistik .............................................................................43
2.3.4. Teori Semiotik ....................................................................................45
2.4 Model Penelitian .................................................................................51
xiv
5.2.4 Perubahan-Perubahan Bunyi Tidak Biasa ..........................................265
5.2.5 Perubahan Vokal ................................................................................269
5.2.5.1 Penguatan Vokal .................................................................................269
5.2.5.2 Pelemahan Vokal ................................................................................271
5.2.6 Perubahan Konsonan ..........................................................................272
5.2.6.1 Perubahan Bunyi Alveolar .................................................................272
5.2.6.2 Perubahan Bunyi Alveo-Palatal..........................................................276
5.2.6.3 Perubahan Bunyi Velar .......................................................................278
5.2.6.4. Perubahan Bunyi Semivokal ..............................................................278
5.2.6.5 Perubahan Bunyi Bilabial ...................................................................280
xv
BAB I
PENDAHULUAN
bahasa dapat dipandang dari perspektif aksidensia sebagai sesuatu yang rentan
perubahan dalam dimensi ruang dan waktu sebagai ciri bahasa yang hidup. Aliran
2002: 292). Linguistik diakronis yang mempersoalkan relasi bahasa dengan waktu
yang ditemukan itu dapat diabstraksikan dalam bentuk silsilah sehingga fakta-
fakta kebahasaan yang tersirat di balik hubungan tersebut dapat dijadikan dasar
1
Doktrin ini tampaknya selaras dengan pandangan filosofis pemikir-pemikir filsafat zaman
Yunani Kuna, yaitu Thales, Anaximandros, dan Anaximenes yang menyatakan segala sesuatu
yang ada di alam semesta ini adalah senantiasa berubah. Demikian pula Herakleitos meletakkan
dasar ontologis pemikirannya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia itu senantiasa ‘sedang
menjadi’, dan doktrinnya yang terkenal adalah ‘panta rei’ artinya semuanya senantiasa mengalir,
segalanya senantiasa berubah (Kaelan, 2002: 293).
1
2
Nusantara menetapkan bahasa Bali sebagai bagian dari rumpun besar bahasa
Austronesia. Sebagai bagian dari bahasa Austronesia, secara internal bahasa Bali
sejak tahun 882 Masehi2, walaupun sebelumnya terdapat pula prasasti yang ditulis
dengan menggunakan bahasa Sanskerta (Hindhu Kuna)3 yang terbit sekitar abad
VIII (Gorris, 1984: 3). Temuan data kebahasaan lainnya yang terbukti
menggunakan bahasa Bali Kuna adalah sebuah prasasti yang diperkirakan terbit
pada abad IX di daerah Blanjong, Sanur. Prasasti itu menyebutkan seorang raja
hal yang paling penting diceritakan di sini, ialah prasasti sampai pada masa itu,
terus memakai bahasa Bali Kuna yang asli. Ada juga beberapa buah prasasti raja
suami istri tersebut yang masih ditulis memakai bahasa Bali Kuna, tetapi prasasti
yang lain dari baginda mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Maka sejak itulah,
2
Prasasti tersebut menggunakan angka tahun, namun tidak menyebutkan nama raja.
3
Gorris (1984: 3) menyebutkan prasasti tersebut ditulis di atas stupa-stupa yang terbuat dari tanah
liat. Bahasa yang digunakan untuk menuliskan mantra Buddha Tataghata itu secara keseluruhan
adalah bahasa Sanskerta. Dengan demikian, sebelum penggunaan bahasa Bali Kuna, sudah ada
aktivitas penggunaan bahasa Sanskerta khususnya dalam mantra-mantra.
3
bahasa Bali Kuna terus-menerus tiada terpakai lagi dalam prasasti, melainkan
yang terpakai hanya bahasa Jawa Kuna.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahasa Bali Kuna sempat tergeser
lebih banyak digunakan dalam prasasti-prasasti Bali adalah bahasa Jawa Kuna4.
2004: 212). Periodisasi perkembangan yang cukup penting juga terjadi pada masa
pemerintahan kerajaan Gelgel karena pada masa itu pengaruh kosakata bahasa
Jawa banyak diserap dalam bahasa Bali. Demikian seterusnya, penutur bahasa
Bali yang tidak bisa menutup diri pada pengaruh bahasa luar, sampai awal abad
bahasa Bali mampu bertahan dalam pusaran waktu. Kemampuan bertahan bahasa
terjadi. Kebertahanan bahasa Bali secara historis penting ditinjau lebih khusus
4
Bahasa Jawa Kuna dalam tradisi masyarakat Bali juga disebut dengan istilah bahasa Kawi. Hal
ini didasarkan atas kenyataan bahwa bahasa tersebut memang lebih banyak digunakan dalam
karya-karya sastra atau kekawian.
5
Hal ini terefleksi dalam teks-teks karya sastra Cokorda Denpasar, salah satunya adalah geguritan
Nengah Jimbaran (Sancaya, 2000: 212). Karya sastra Nengah Jimbaran menurut Darma Putra
(2013) merupakan karya sastra yang memberikan pembaharuan/inovasi linguistik yang
monumental dalam sejarah perkembangan karya-karya sastra Bali. Karya sastra ini sekaligus
menunjukkan bertemunya tradisi dan modernitas dalam karya sastra Bali, sebab konvensi yang
digunakan masih tetap mempertahankan tradisi, sementara bahasanya memakai bahasa Melayu.
4
dengan eksistensi bahasa Bali dalam matra waktu, yaitu (1) perkembangan
evolusi fonologis leksikon dalam sejarah perkembangan bahasa Bali, dan (3)
dengan ruang hidup bahasa Bali pada tatanan ekologi budaya Bali.
etimon Proto Austronesia (seterusnya disingkat etimon PAN) dalam bahasa Bali
Kuna, bahasa Bali Tengahan, dan bahasa Bali Modern dapat dijadikan landasan
leksikon yang terwaris dari PAN mencerminkan identitas bahasa Bali sebagai
bagian dari rumpun Austronesia. Oleh sebab itulah, penelitian ini menjejaki
perkembangan leksikon berbasis etimon PAN pada bahasa Bali Kuna, bahasa Bali
Tengahan, dan bahasa Bali Modern yang secara lebih khusus ditinjau dengan
etimon PAN pada kosakata dasar, akan tampak pula pengaruh leksikon bahasa
lain dalam bahasa Bali. Dengan gambaran identitas dan pengaruh bahasa lain itu,
yang hidup hingga saat ini, eksistensi dan dinamika kehidupan bahasa dalam suatu
memiliki relasi yang erat dengan proses sejarah dalam bingkai waktu sesuai
5
fonologi terjadi secara teratur, terkondisi, dan juga secara tidak teratur (Jeffers dan
Lehiste, 1979: 12). Konstruksi dan fitur-fitur gramatikal, baik morfologi maupun
sintaksis membutuhkan waktu relatif lebih lama untuk bisa berubah. Sementara
itu, perubahan pada tataran leksikon lebih cepat terjadi jika dibandingkan dengan
satuan kebahasaan lainnya (Mbete, 2002: 105). Itulah sebabnya, perubahan dalam
saksama dengan membandingkan data bahasa dalam dua masa yang relatif lebih
yang juga mengalami perubahan. Leksikon bahasa Bali Kuna, demikian pula
makna budaya dalam bahasa Bali Modern. Seperangkat fakta empiris yang dapat
evolusi fonologis, misalnya dapat dilihat dari leksikon yang mengacu pada sistem
arah mata angin sebagai orientasi ekologi masyarakat Bali. Pada bahasa Bali Kuna
terdapat leksikon /kəlod/ ‘selatan’, /karuh/ ‘barat’, /kaŋin/ ‘timur’, /kadya/ ‘utara’,
retensif dalam sejarah perkembangan bahasa Bali seperti leksikon /kaŋin/ ‘timur’
dan /kəlod/ ‘selatan’. Dugaan tersebut disebabkan karena dalam bahasa Bali
Modern kata itu masih diwarisi dan digunakan untuk menunjuk arah timur dan
secara fonologis seperti kata /karuh/ ‘barat’, dan /kadya/ ‘utara’. Perubahan itu
didasarkan pada kenyataan bahwa dalam bahasa Bali Modern terwaris leksikon
evolusi fonologis, misalnya terlihat dari kata yang mengacu pada jenis kelamin.
Pada bahasa Bali Kuna terdapat leksikon /maruhani/ ‘laki-laki’ dan /luhur/
‘wanita’, seperti yang terlihat pada Prasasti Serai AII berikut ini.
Pada kutipan prasasti di atas, terlihat leksikon bahasa Bali Kuna yang
mengacu pada jenis kelamin laki-laki /maruhani/ dan perempuan /luhur/. Leksikon
Modern, sejumlah prasasti seperti Manik Liu BI dan Manik Liu CII menyebutkan
perubahan hanya mengalami satu tahapan yakni menjadi kata /luh/ ‘perempuan’
bahasa Bali adalah perubahan dan perkembangan makna. Pada bahasa Bali Kuna
leksikon yang mengacu pada kata melihat secara umum adalah /ton/. Sementara
itu, pada bahasa Bali Modern diwarisi leksikon dengan bentuk /ton/ dan /not/.
Perkembangan bentuk leksikon dari bahasa Bali Kuna sampai pada bahasa Bali
Modern tersebut tampak berimplikasi pada perubahan makna. Hal ini disebabkan
karena pada bahasa Bali Kuna leksikon /ton/ bermakna umum serta dapat
digunakan dalam pelbagai konteks situasi tuturan, sementara pada bahasa Bali
Modern penggunaan leksikon tersebut menjadi memiliki nilai rasa yang khusus.
Maksudnya, dalam bahasa Bali Modern leksikon /ton/ bermakna halus, sedangkan
Pada bahasa Bali Kuna juga terdapat leksikon /tadah/ dengan makna ‘makan’
yang diasumsikan terwaris dalam bahasa Bali Modern dengan bentuk /tadah/ dan
8
/təda/. Pada bahasa Bali Kuna leksikon /tadah/ bermakna ‘makan’ dapat
digunakan dalam semua situasi tuturan. Sementara itu, pada bahasa Bali Modern
makna leksikon /tadah/ menjadi lebih khusus dan leksikon /təda/ bermakna halus
untuk binatang. Perubahan makna lainnya juga dapat dilihat pada leksikon /purih/
yang dalam bahasa Bali Kuna bermakna ‘puri, istana, dan pura’, sementara makna
yang terwaris pada bahasa Bali Modern hanya ‘puri dan istana’. Pada bahasa Bali
Kuna terdapat leksikon /tasik/ yang bermakna ‘laut dan lautan’, sedangkan makna
yang ditemukan pada bahasa Bali Modern adalah ‘garam’. Leksikon /lod/ pada
bahasa Bali Kuna bermakna ‘selatan dan laut’, sementara yang terwaris pada
bahasa Bali Modern hanya ‘arah selatan’. Terdapat pula leksikon /ser/ pada
bahasa Bali Kuna yang bermakna ‘jabatan atau seh’ yang pada bahasa Bali
Modern leksikon tersebut bermakna ‘jabatan khusus yang mengurus saluran air’.
menjadi simbol-simbol yang khas, selaras dengan ekologi Bali sebagai ruang
hidup bahasa Bali. Hal ini misalnya dapat dilihat pada leksikon tentang flora
/hudan/ ‘itik’ bahasa Bali Kuna yang dalam perkembangannya digantikan oleh
suci. Demikian pula leksikon /candana/ ‘cendana’ dalam bahasa Bali Kuna, yang
9
leksikon dalam bahasa Bali yang menjadi fokus telaah penelitian ini merupakan
fenomena yang perlu mendapatkan perhatian dalam studi sejarah bahasa Bali.
Dinamika sejarah yang panjang meliputi bahasa Bali Kuna, bahasa Bali
pergeseran suatu bahasa, faktor penyebabnya secara umum dipilah menjadi dua
yakni faktor linguistik dan faktor sosial budaya manusia sebagai penutur bahasa
Sebagai suku terbuka, masyarakat Bali banyak berinteraksi dengan suku dan
bangsa lainnya sehingga bahasa dan budaya mereka bersentuhan satu sama lain.
bahasa memiliki relasi yang erat dengan pergeseran dan perubahan sosial budaya
terjadi pada bahasa Bali juga merefleksikan hubungan antara perubahan bahasa
dengan perubahan sosial budaya yang terjadi pada kehidupan masyarakat Bali
1.2 Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, masalah yang menjadi fokus
Bali?
Tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus. Kedua hal tersebut secara lebih rinci dijelaskan di bawah ini.
masa ke masa. Periodisasi sejarah yang panjang dalam bahasa Bali tidak saja
bahasa lainnya yang telah menjadi bagian bahasa Bali. Menggali perubahan
tutur bahasa Bali dalam mengadopsi serta mengadaptasi bahasa-bahasa luar dalam
Tujuan khusus penelitian ini dapat dibagi menjadi tiga sesuai dengan rumusan
Penelitian ini dapat memberikan dua manfaat, baik teoretis maupun praktis.
perubahan bahasa dalam konteks sejarah. Dari sisi pengembangan kajian terhadap
mengkaji gejala perubahan bahasa Bali dalam satuan yang lebih luas seperti
12
morfologi dan sintaksis yang sampai sejauh ini belum banyak dilakukan. Dengan
perkembangan bahasa Bali serta gejala perubahan bahasa secara diakronis. Aspek
lapisannya tidak saja penting dimaknai dalam konteks masa lalu, tetapi berkaitan
pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika sejarah bahasa Bali, pada saat
yang bersamaan penelitian ini dapat pula dimanfaatkan sebagai referensi terkait
dengan strategi perencanaan dan pemertahanan bahasa Bali di masa depan sebagai