Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ILMU USAHA TANI


LAHAN GADAI

OLEH: KELOMPOK 4
1. SETIYORINI (0210310018)
2. ERNA ADIANTIKA (0210310017)
3. NURAINI (0210310016)
4. MUHAMAD ALI (0210310015)
5. HERNINGSIH (0210310020)
6. AYIP (0210310028)
7. ARYA YUDA K (0220311025)

FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN AGRIBISNIS
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-NYA saya dapat menyelesaikan Makalah“Ilmu Usaha Tani ”
dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu.
Adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah sebagai Tugas Kelompok
yang akan dipresentasikan di depan kelas. Kami mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini
(Dosen pengampu mata kuliah Ilmu Usaha Tani. Saya menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan oleh sebab itu kritik dan saran dari berbagai
pihak yang sifatnya membangun sangat diharapkan, agar dapat bermanfaat untuk
pembuatan makalah-makalah selanjutnya.

Mataram, November 2022

Penulis
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kehidupan manusia syarat dengan transaksi ekonomi dan bisnis, dalam
rangka memperoleh uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal yang biasa
dialakukan, salah satunya dengan cara gadai. Gadai secara umum berupa transaksi
peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa perhiasan (emas,
perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape, video), kendaraan
(sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor
kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai.
Setiap transaksi sebaiknya menciptakan keuntungan untuk kedua belah pihak.
Sebelum terjadi transaksi ekonomi seperti gadai, tentu harus tercipta kesepakatan
yang memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak yang melakukan
transaksi.
Fakta yang muncul di masyarakat yaitu mayoritas penduduk di Indonesia
hidup dan bermukim di daerah pedesaan dan menggantungkan hidup mereka
disektor pertanian dan perkebunan. Pelaksanaan gadai merupakan salah satu
kegiatan yang sangat penting dan sering digunakan dalam kehidupan masyarakat,
meskipun masyarakat Indonesia mayoritas adalah umat Islam tetapi pada
umumnya pemahaman mereka tentang bermuamalah yang sesuai dengan ekonomi
Islam masih sangat minim. Hal ini dikarenakan adanya adat/kebiasaan yang
berlaku pada masyarakat setempat.
Penggadaian tidak terlepas dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui
lebih dalam mengenai penggadaian dijelaskan sebagai berikut .Selain daripada itu,
keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka
untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja
kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan syari’at
gadai. Para ulama’ berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk
riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang
yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang
melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Oleh
karena dalam makalah ini akan dibahas mengenai gadai lahan dan hukum gadai
lahan dalam islam yang disertai contoh kasus.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah definisi gadai?.
2. Apakah Syarat dan rukun gadai lahan menurut islam?.
3. Bagaimana penyelesaian contoh kasus gadai lahan?.

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi gadai.
2. Untuk mengetahui syarat dan hukum gadai lahan menurut islam.
3. Untuk mengetahui cara penyelesaian contoh kasus gadai lahan.
BAB II. ISI

2.1. Definisi Gadai


Gadai menurut bahasa berarti menggadaikan, merungguhkan atau jaminan
(borg). Sedangkan menurut istilah adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan
atau penguat dalam utang piutang. Barang boleh dijual kalau utang tidak dapat
dibayar, hanya penjual ini hendaklah dengan keadilan (dengan harga yang berlaku
waktu itu).

Menurut bahasa Arab gadai/ ar-rahn (‫ )الرهن‬berarti al-stubut dan al-habs


yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (‫)الرهن‬
adalah terkurung atau terjerat.
            Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1. Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.
2. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan
hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau
mengambil sebagian benda itu.
3. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat
kepercayaan dalam hutang-piutang.
4. Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’
sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu
seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :
1. Menurut ulama Syafi’iyah:
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar
ketika berhalangan dalam membayar hutang.
2. Menurut ulama Hanabilah :
Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang
ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu membayar) hutangnya kepada
pemberi pinjaman.
2.2. Syarat dan Rukun Gadai Menurut Islam
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa
rukun, antara lain yaitu:
1. Akad dan ijab Kabul
2. Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai
(murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu
mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah
adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis,
tetapi tidak disyaratkan harus baligh.
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan
jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus
dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan
boleh dijadikan barang gadai”
4. Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
a) Dapat diperjual belikan
b) Bermanfaat
c) Jelas
d) Milik rahin
e) Bisa diserahkan
f) Tidak bersatu dengan harta lain
g) Dipegang oleh rahin
h) Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila
memenuhi empat syarat, yaitu:
1) Orangnya sudah dewasa.
2) Berpikiran sehat.
3) Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan
barang gadaian itu  dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
4) Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas,
berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga
( surat tanah atau surat rumah).
Pendapat lain mengenai rukun gadai yaitu menurut Abd al-Rahman al-
Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang diakadkan), Shighat (akad gadai).
Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil mengnai rukun gadai beserta
pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga bagian:
1. Orang yang menggadaikan

Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang


menggadaikan adalah mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang.
Washi (orang yang dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk
kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya manakala tindakan tersebut
untuk melunasi hutang dan memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh
imam Malik.

Menurut Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan


yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan
dirinya dengan cara mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan.
Menurut Sahnun, jika seseorang menerima gadai karena harta yang dihutangkan
maka hal itu tidak boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan
pendapat yang sama.

Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh


menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak
ada pendapat yang tegas dari Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya
karena hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya
itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang terkenal ia tidak boleh
menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.

2. Akad gadai

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan
memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa
digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti
mushaf. Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai
dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli.
Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah
jatuh tempo.

Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu
boleh, seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah
layak dipetik, maka menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang
sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari
Syafi’i ada dua pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh
tempo, maka buah tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu
Hamid, pendapat yang paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik
menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang
sudah dicetak, itu boleh.

Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang yang


digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang
gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai
adalah ikrar penggadaian bahwa barang gadaian harus berada di tangan penerima
gadaian. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima
barang tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang dirampas barangnya
itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada di tangannya.
Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas itu
dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas
barangnya itu menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan
perampas, sebelum ia menerima barang itu.

Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang
itu tetap berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas
menerima kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih
pendapat tentang penggadaian bagian barang dari milik bersama. Menurut Abu
Hanifah tidak boleh, tetapi menurut Malik dan Syafi’i boleh.

3. Barang yang digadaikan

Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan
untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli
mata uang itu harus tunai. Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai.
Begitu pula modal salam, meski pun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.

Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada
barang pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu
menjelaskan posisi utang piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu
transaksi pesanan.

Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang,


ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda,
serta pada tindak penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti
al-Ma’mumah dan al-Jaifah.

Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan


dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan.
Gadai juga di bolehkan pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa
sesudah bekerja, bukan sebelumnya. Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas
kawin tetapi tidak boleh pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak.

Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang


digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang
hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap
tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan
sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga,
barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi,
baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan
madzab Maliki.

2.3. Contoh Kasus

Praktek gadai di Desa Juruan Daya melibatkan dua pihak yaitu pihak
pemberi gadai dan pihak yang menerima gadai. Barang-barang yang digadaikan
umumnya barang-barang yang bernilai tinggi dan menguntungkan, terutama
berupa sawah. Karena para penerima gadai tidak mau jika barang yang dijadikan
jaminan tidak menguntungkan bagi mereka.
Gambar 3: Skema Gadai Tanah Di Desa Juruan Daya, Kecamatan Batuputih,
Kabupaten Sumenep

Adapun Mekanisme gadai sawah yang terjadi di Desa Juruan Daya


Batuputih Sumenep Madura antara lain: Taksiran tanah gadai, negosiasi dan
kontrak. Taksiran Tanah Gadai Taksiran tanah gadai merupakan salah satu bentuk
mekanisme dalam praktek gadai sawah hal ini sebagai bentuk untuk menentukan
besarnya pinjaman yang akan diberikan oleh pihak penerima gadai kepada
penggadai. Sebelum terjadi kesepakatan transaksi gadai, pihak pemberi gadai
terlebih dahulu memberitahu besarnya uang yang akan dipinjam dan menawarkan
barang yang akan dijadikan barang jaminan (berupa sawah) kepada si penerima
gadai. Kemudian si penerima gadai menaksir luas lahan (sawah) dengan sejumlah
uang, biasanya sebelum terjadi kesepakatan terlebih dahulu terdapat negosiasi
berupa tawar menawar antara pihak penggadai dengan penerima gadai hal ini
terkait dengan penentuan besarnya jumlah pinjaman yang akan diterima oleh
pihak penggadai dari penerima gadai, akan tetapi secara umum kesepakatan
terjadi terkait besarnya pinjaman uang yang diberikan kepada penggadai
ditentukan dari harga separuh dari nilai taksiran sawah yang akan digadaikan.
Misalnya harga sawah ditaksir sebesar RP. 7.000.000 maka besaran pinjaman
yang akan diterima oleh penggadai maksimal sebesar Rp. 3.500.000. hal ini
seperti pada kutipan wawancara berikut: “Ya biasana roa engkok ngabas loassa
tanana ban etaksir mon engkok argana nah roa dakkik olle enjaman dari engkok
saparo dari arga taksirannya”. Bapak Asjuki (Seperti biasa, saya melihat dulu luas
tanah yang mau digadaikan kemudian ditaksir harganya dan diberikan pinjaman
separuh dari harga taksiran tersebut).

Jumlah pinjaman yang ditentukan melalui taksiran tersebut tidak


selamanya hal itu berlaku, karena faktor lain juga sangat menentukan yaitu berupa
negosiasi, pinjaman kadang lebih besar dan kadang lebih kecil dari nilai taksiran
tersebut. Negosiasi Mekanisme yang selanjutnya setelah pihak penerima gadai
melakukan taksiran harga sawah tersebut dan menentukan berapa besarnya
pinjaman yang akan diberikan kepada pihak penggadai maka terjadi negosiasi
untuk mencapai kesepakatan jumlah pinjaman yang akan diterima oleh pihak
penggadai. Akan tetapi umumnya dalam negosiasi tersebut berjalan lancar, tanpa
adanya tawar menawar yang berjalan panjang hal ini karena sudah menjadi
kebiasaan disetiap transaksi gadai sawah dimana besarnya pinjaman rata-rata
separuh dari nilai taksiran harga sawah. “Aberik argeh sekakdimmah argenah
paneka sparoh derih arge jual tana kasakabbina milana dari paneka oreng se
ngalak gedien tanah aberik enjeman obeng dari akad se ampon ejeleni”. Pak
Aspu’a (Memberi pinjaman separuh dari harga jual tanah yang sudah ditaksir oleh
pihak penerima gadai kemudian memberikan pinjaman sesuai dengan akad yang
dijalani). Jadi dalam negosiasi ini tidak begitu mendapat kendala dalam mencapai
sebuah kesepakatan karena praktek seperti ini bukanlah praktek yang baru
sehingga masing masing (pihak penggadai dan penerima gadai) sama-sama
mengerti dan dapat menaksir sendiri berapa pinjaman yang akan dipinjamkan dan
yang akan didapatkan.

Kontrak / Akad Gadai yang merupakan salah satu bentuk muamalah


tentunya harus memperjelas akad dari proses transaksi yang terjadi akad yang
dimaksud bisa berupa lama gadai dan atau akad terkait pemanfaatan barang gadai
yang berupa sawah tersebut. Dalam kesepakatan yang terjadi ternyata kontrak atau
akad yang dilakukan oleh kedua pihak itu tidak jelas, dimana jangka pinjaman
uang atau gadai sawah tersebut tidak jelas berakhir berapa bulan atau tahun. Hal
ini seperti yang disampaikan oleh salah satu pihak penggadai Bapak Aspu’a
bahwa : “Tak pasteh nak, paleng sampek kauleh kellar nebbus ben jengkana tak
tanto”. Bapak Aspu’a (Tidak menentu nak, kira-kira jangka gadai sampai saya
bisa bayar).

Proses Penyerahan Barang Gadai Proses penyerahan barang gadai adalah


penyerahan barang gadai (sawah) oleh si pemberi gadai kepada si penerima gadai
setelah terjadinya akad gadai. Proses penyerahan barang jaminan (sawah) ini
terjadi setelah ada kesepakatan kedua belah pihak. Baru kemudian sawah yang
dijadikan jaminan dalam transaksi gadai tersebut diserahkan kepada si penerima
gadai sebagai jaminannya. Penyerahan barang jaminan hanya sekedar ucapan
yang disampaikan langsung oleh si penggadai kepada si penerima gadai dengan
ucapan si penggadai “saya gadaikan sawah di wilayah A dengan luas sekian”. Dan
sipenerima gadai membalas dengan mengucapkan “saya terima gadai sawahnya”.
Dengan tidak menyertakan saksi atau catatan-catatan yang berkaiatan dengan
penyerahan barang gadai.

Setelah berlangsung lama gadai tersebut biasanya muncul berbagai


masalah diantanya:

1. Pembagian hasil dari pemenfaatan barang jaminan. Masalah ini muncul karena
hasil dari pengelolaan sawah sebagai barang jaminan tidak dibagi rata menurut si
penggadai. Bahkan si penggadai terkadang tidak diberi sedikitpun dari hasil
keuntungan pengelolaan sawah oleh si penerima gadai. Hal tersebut muncul,
karena menurut si penerima gadai bahwa si penggadai tidak memiliki hak atas
sawah yang dijadikan jaminan. Sehingga pemanfaatan sawah sepenuhya hak si
penerima gadai dan hasil dari pengelolaanpun sepenuhnya milik si penerima
gadai.

2. Berlarut-larutnya gadai Hal ini muncul karena ketidak jelasan jangka gadai
yang ditetapkan ketika akad. Biasanya, lamanya sebuah gadai itu karena si
penggdai tidak mampu mengembalikan hutangnya sementara yang menerima
gadai sedang membutuhkan uang sehingga menagihnya dan bermaksud
mengembalikan sawah yang dijadikan jamninan dan meminta kembali uang
pinjamannya, biasanya terjadi cekcok diantara kedua belah pihak.
Status Hukum Gadai Sawah Proses bermuamalah dapat dianggap sah,
apabila memenuhi rukun dan syarat yang terkandung dan menjadi pedoman aturan
dalam pelaksanaannya. Apabila tidak memenuhi rukun dan syarat serta prinsip
dasar bermuamalah dalam Islam, maka praktek muamalah tersebut dapat dianggap
tidak sah dalam hukum Islam. Terkait dengan praktek gadai sawah di Desa Juruan
Daya, maka ada beberapa permasalahan yang menjadi acuan dalam mencari
kedudukan hukum Islam terhadap praktek gadai yang dilaksanakan di Desa Desa
Juruan Daya, di antaranya sebagai berikut.

Proses muamalah (kegiatan ekonomi) harus mempertemukan pihak-pihak


yang melakukan akad gadai, baik secara langsung (bertatap muka) maupun
melalui media bantu (via alat komunikasi) atas dasar sudah saling kenal. Pada
lingkup akad gadai, harus ada ucapan ijab qabul yang pada intinya pernyataan
serah terima dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Pada praktek gadai di
Desa Juruan Daya, antara pihak yang menggadaikan dengan pihak penerima gadai
telah saling bertemu dan memberikan pernyataan saling serah terima, dengan
mengucapkan kata-kata ”saya gadaikan sawah ini” dan si penerima gadai
mengucapkan ”saya terima gadainya”.

Selain itu, barang yang dijadikan jaminan dalam praktek gadai di Desa
Juruan Daya juga jelas. Namun, pada saat penyerahan barang jaminan belum ada
kejelasan antara penggadai dan penerima gadai mengenai pengelolaan atau
pemeliharaan barang jaminan. Karena dengan tidak adanya kejelasan hal tersebut
akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Dalam hukum Islam, akad
haruslah jelas isi, jenis, serta tujuan dari pengadaan akad. Apabila tidak ada
kejelasan mengenai akad diantara kedua belah pihak yang nantinya dapat
menimbulkan kekecewaan salah satu pihak, maka hal itu dapat membuat akad
menjadi cacat dan tidak sah dalam hukum Islam. Jadi, dalam kajian hukum Islam,
harus ada kejelasan diantara penerima gadai dan penggadai.

Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa praktek gadai yang dilakukan
oleh masyarakat di Desa Juruan Daya sudah memenuhi syarat dan rukun gadai.
Namun, ada beberapa hal yang perlu dibenahi seperti pengelolaan barang jaminan
dan pembagian hasil barang jaminan. Karena dengan ketidak jelasan hal tersebut,
pada akhirnya timbul prasangka bahwa salah satu pihak merasa diuntungkan atau
dirugikan. Pemanfaatan Barang Jaminan Salah satu syarat yang berkaitan dengan
marhun (barang yang digadaikan) adalah penggadai punya hak kuasa atas barang
yang digadaikan. Artinya, penggadai berhak memanfaatan barang gadai yang
diberikan kepada penerima gadai.

Secara umum jelas sekali bahwa barang gadai yang diberikan oleh si
penggadai kepada si penerima gadai bukan merupakan milik pribadi si penerima
gadai, namun hanyalah barang titipan. Seperti telah disebutkan bahwa, syarat
barang yang digadaikan ada kejelasan hak kuasa atas pihak yang menggadaikan.
Pernyataan ini secara otomatis menjelaskan bahwasanya syarat barang yang akan
digadaikan bukanlah hak milik namun harus jelas hak kuasa atas barang tersebut.
Dalam istilah lain, berdasarkan pernyataan tersebut, seseorang boleh
menggadaikan atau menyewakan barang milik orang lain asalkan sudah ada hak
kuasa yang diberikan oleh pemilik asli barang kepada seseorang tersebut. Akad
gadai sawah di Desa Juruan Daya belum ada kejelasan mengenai pengelolaan
barang jaminan dan pembagian hasil pengelolaan barang jaminan. Apalagi hasil
dari pengelolaan barang jaminan yang dilakukan oleh si penerima gadai diambil
seluruhnya, tanpa memberikan bagian kepada penggadai, yang seharusnya
penerima gadai hanya mengambil secukupnya atas keuntungan dari pengelolaan
tersebut sesuai dengan biaya yang dikeluarkan penerima gadai dalam mengelola
barang jaminan tersebut.
BAB III. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:


1. Gadai atau rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang
yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”,
rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila
sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam
meminajam, titipan dan qirad.
2. Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan
(borg). Syarat gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang
akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad, barang yang dapat
dijadikan jaminan. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang
digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang
hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum
tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan
imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal
ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran
yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat
ini mirip dengan madzab Maliki.
3. Praktik gadai dalam islam memiliki tujuan saling menolong dan memperoleh
keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA

Hendi Suhendi.2005. Fiqih Muamalah, Cet.I, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Rahmat Syafei. 2006. Fiqih Muamalah, Pustaka Setia. Bandung.

Adrian Sutedi.2011. Hukum Gadai Syariah.Cet.I, Alfabeta. Bandung.

Munir. 2014. Praktek Gadai Sawah Dan Implikasi Sosial Ekonomi (Studi Kasus
Di Desa Juruan Daya Kecamatan Batuputih Kabupaten Sumenep Madura).
Skripsi: Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya. Malang

Anda mungkin juga menyukai