Anda di halaman 1dari 66

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepada kami sehingga makalah yang
berjudul Akad dan Konsekuensinya bagian 2 (dua) ini dapat terselesaikan dalam
rangka memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pengantar Ushul Fiqh di Program
Studi Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam Semester satu Fakultas Pendidikan
Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia.

Melihat kejadian dan fakta yang ada di sekitar tentang permasalahan


yang ada dalam kegiatan ekonomi yang melibatkan banyak orang, memang selalu
berkaitan dengan hal kaidah akad dan konsekuensinya. Oleh karena itu, kami
mencoba menjelaskan bagaimana keberlangsungan akad dalam penerapan
bermuamalah.

Baik dalam pembuatan maupun penyusunan laporan makalah ini adalah


untuk menumbuh-kembangkan wawasan pengetahuan kita maupun para pembaca
untuk lebih mengetahui bagaimana keadaan atau gambaran tentang sebuah
pengalaman yang bahwasannya belum kita ketahui sebelumnya, dan untuk
pembelajaran dalam pembuatan atau penyusunan suatu makalah demi
kemampuan masa depan yang lebih baik lagi.

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada:


1. Dosen-dosen yang terlibat dalam Mata Kuliah Ushul Fiqh
2. Teman-teman sekalian yang ada di kelas A Prodi Ilmu Ekonomi dan
Keuangan Islam

Mengingat peribahasa “Tak ada gading yang tak retak”, makalah ini
bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan, baik
dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu,
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bisa memberikan
manfaat bagi kami dan bagi pembaca. Amin.

Bandung, Desember 2013

Tim Penyusun
Daftar Isi

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penulisan Makalah

BAB II PEMBAHASAN

1. Seputar Jual-Beli
2. Ijaroh
3. Hutang

BAB III PENUTUP

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Banyak masyarakat masih belum paham tentang konsep akad yang


sesungguhnya. Akad yang tidak kalah pentingnya dengan suatu perjanjian yang
seharusnya selalu ada pada setiap bentuk hubungan sesame manusia. Dalam hal
ini, sering kita dengar istilah muamalah yang pada hakikatnya yaitu hubungan
yang terjadi antarmanusia. Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu-ilmu Islam
tetap berlaku dalam segala situasi. Ilmu-ilmu Islam yang universal tetap berlaku
untuk kebutuhan seluruh umat manusianya. Ilmu Islam bukan hanya diberlakukan
di Negara Islam, bahkan Negara yang mayoritas non-Islam sudah menerapkan
dan memberlakukan hukum Islam.

Hukum Islam memudahkan manusia untuk melakukan amalan atau perbuatan


yang menjadi keseharian kehidupannya. Namun, dikarenakan masih terdapat
orang-orang yang belum memahami akan implementasi hukum Islam tersebut.
Maka dari itu, manusia dituntut untuk bisa lebih memahami hakikat hukum Islam
tersebut. Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, masih
awam terhadap pengetahuan hukum Islam. Amalan atau perbuatan manusia
berlandaskan pada hukum syara’ yang sudah terjamin keabsahannya. Amalan atau
perbuatan manusia termasuk termasuk dalam ibadah. Ibadah terdiri dari ibadah
hablumminallah dan hablumminannas. Pembahasan yang akan diperinci lagi
dalam makalah ini yaitu ibadah terhadap sesama manusia, yaitu hablumminannas.
Kepemahaman akan ibadah sesama manusia, termasuk ibadah muamalah.
Muamalah mencangkup perbuatan transaksi jual beli, kerjasama dalam
melakukan usaha, dsb. Namun, melihat kekurangpahaman akan hukum Islam
yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan ini kajian yang dibahas oleh kami yaitu
berkaitan dengan konsep akad dan konsekuensinya dalam kehidupan ekonomi
Indonesia. Konsep akad ini sebelumnya sudah dijelaskan oleh kelompok dua.
Akan tetapi, untuk menambah pengetahuan dan mengasah ilmu tentang konsep
akad, maka kelompok tiga membahasnya lagi dengan lingkup yang lebih luas.

2. Rumusan Masalah
- Apa pengertian konsep akad dan konsekuensinya ?
- Apa saja perbuatan yang berkaitan dengan konsep akad dan
konsekuensinya?
- Apa hukum syara yang berlaku terhadap amalah muamalah?

1
- Apa saja dampak atau akibat dari akad yang dilakukan tidak sesuai dengan
hukum syara?
- Apa studi kasus yang berkaitan dengan konsep akad dan konsekuensinya?

3. Tujuan Penulisan Makalah


- Untuk mengetahui pengertian konsep akad dan konsekuensinya ;
- Untuk mengetahui perbuatan yang berkaitan dengan konsep akad dan
konsekuensinya ;
- Untuk mengetahui hukum syara yang berlaku terhadap amalah muamalah;
- Untuk mengetahui dampak atau akibat dari akad yang dilakukan tidak
sesuai dengan hukum syara ;
- Untuk membahas studi kasus yang berkaitan dengan konsep akad dan
konsekuensinya (2).

2
BAB II

PEMBAHASAN

SEPUTAR JUAL – BELI

1. Pengertian Jual Beli


Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al-ba’i yang berarti menjual,
mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal alba’i dalam bahasa
Arab terkadang digunakan untuk pengertian kebalikannya,yakni kata asy-
syira’(beli).Dengan demikian, kata al-ba’i berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti
beli.Menurut bahasa, jual beli adalah“menukarkan sesuatu dengan sesuatu" atau
“mengganti sesuatu dengan sesuatu”.1

Beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu
perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di
antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’dan disepakati2

2. Dasar Hukum Jual Beli


Hukum asal jual beli adalah boleh,sesuai dengan surat al baqarah ayat 275,

”Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa jual beli itu mubah(boleh) dan
riba itu haram.Tapi kita tidak bisa sembarang menjual dan beli suatu barang.Peraturan
atau hukum jual-beli dalam Islam ditetapkan sebagai berikut:3

1
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
2
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
3
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

3
a. Dibenarkan jual-beli yang tidak berbentuk riba.4
b. Dalam jual-beli perlu ada ijab-qabul (tanda terima) yang diucapkan
dengan lisan/perkataan dan boleh dengan hati masing-masing.
c. Dilarang memperjual-belikan darah, bangkai, hasil pencurian, harta
waqaf, milik umum, minuman keras, babi, barang najis, barang yang
tidak ada harganya dan barang yang tidak ada pemiliknya.
d. Akad jual-beli harus dilaksanakan dalam satu majelis, dapat diterima
(taslim) dan dapat dipegang (qabadh).
e. Dalam jual-beli dibenarkan adanya hak meneruskan atau membatalkan
pembelian suatu barang (khiyar) jika misalnya terdapat cacat (aib)
f. Dalam jual-beli tersebut harus dilaksanakan oleh orang yang berakal
sedangkan pada anak kecil dibenarkan pada benda-benda yang tidak
bernilai tinggi, kecuali jika mereka telah dewasa.5
g. Jika barang tersebut ditimbang atau diukur maka timbangan atau
ukuranya tertentu dan diketahui.
h. Larangan menawar tawaran orang lain atau menjual sesuatu yang sudah
dibeli orang lain.
i. Larangan menimbun barang pada saat masyarakat banyak memerlukan
barang tersebut.
j. Larangan jual-beli ke arah yang bermaksiat kepada Allah misalnya
menjual patung untuk disembah.6
k. Larangan jual-beli yang mengarah pada unsur paksaan.
l. Dalam jual-beli harus terlihat jelas bendanya tetapi, dibolehkan dengan
melihat contoh barangnya

4
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
5
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
6
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

4
3. Rukun Jual Beli
Rukun jual beli itu ada tiga yaitu:7
a. Akad (penjual dan pembeli)
b. Siqhad (lafal ijab dan kabul)
c. Ma’qud(benda yang dijadikan obyek jual-beli)

4. Syarat – syarat Jual – Beli


a. Orang yang melakukan jual beli8
Syarat – syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah
Berakal dan Baligh.Karena dianggap belum mampu mengendalikan
harta nya.
b. Sigat atau ucapan ijab kabul.9
Ulama berbeda pendapat soal ijab kabul.Menurut Ulama Syafi’i,ijab
kabul harus di ucapkan.Menurut Iman Malik,Ijab kabul bisa sah tanpa
diucapkan,yang penting dipahami.
Ada juga yang memperbolehkan dengan cara aqab bin al
mu’athah.yaitu pembeli mengambil barang dan memberikan bayaran
nya kepada penjual tanpa ijab dan kabul.
c. Barang yang di perjual belikan10
Barang yang di perjual belikan harus memenuhi syarat – syarat yang
diharuskan, antara lain:
1. Zatnya harus suci
2. Bisa dimanfaatkan
Semua benda ditundukkan bagi manusia untuk ada manfaatnya

7
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
8
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
9
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
10
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

5
3. Kepemilikan pihak yang berakada atas barang11

َ‫ْس ِع ْندَك‬
َ ‫اَل تَبِ ْع َما لَي‬

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.”


(HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu
Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim
bin ‘Ied Al Hilaly)

1) Barang itu hendaklah diketahui oleh penjual dan pembeli


dengan jelas, baik zatnya, bentuknya dan kadarnya maupun
sifat – sifatnya.12
2) Jangan ditaklikan,yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal
lain.Contoh,jika ibu ku pergi akan kujual tv ini padamu.13
3) Tidak dibatasi waktunya,seperti perkataan “aku jual printer ini
padamu selama satu bulan”.Maka jual beli seperti itu tidak
sah,karena jual beli merupakan salah satu sebab kepemilikan
secara penuh
4) Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat dan jelas kapan
waktunya.
5) Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan
cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ْال ُم ْسلِ ُم أَ ُخو ْال ُم ْسلِ ِم اَل يَ ِحلُّ لِ ُم ْسلِ ٍم بَا َع ِم ْن أَ ِخي ِه بَ ْيعًا فِي ِه َعيْبٌ ِإاَّل بَيَّنَهُ لَه‬

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.


Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan

11
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
12
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
13
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

6
yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim,
melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR.
Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi
V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

ُ ‫ َو ْال َم ْك ُر َو ْال ِخدَا‬، ‫ْس ِمنَّا‬


ِ َّ‫ع فِي الن‬
‫ار‬ َ ‫َم ْن َغ َّشنَا فَلَي‬

“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia


bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya
tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam
Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189;
dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)

Legalitas Jual-Beli Salam

Legalitas jual beli salam ditetapkan dengan al Kitab dan as-Sunnah14

Pertama : Ibn Abbas ra. berkata, “Aku bersaksi bahwa salaf yang dijamin
sampai tempo tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam KitabNya.”
Kemudian ia membaca firman Allah SWT15 :

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian berumalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya (QS al Baqarah :
282)

Kedua : Imam al Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw.
Pernah bersabda16 :

14
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
15
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
16
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

7
“man ashlafa falyuslif fii kaylim ma’luumiw wawazanim ma’luumin ila ajalim
ma’luum”

Siapa saja yang melakukan salaf (pesanan), hendaklah dalam takaran dan
timbangan yang jelas sampai tempo yang jelas.

Ketiga: Abdurrahman bin Abi Abza dan Abdullah bin Abi Awfa berkata :
kami pernah mendapatkan ghaniimah bersama Rasulullah saw. Dan dating kepada
kami hasil tumbuh-tumbuhan Syam. Lalu kami memesan kepada mereka gandum,
jewawut dan kismis sampai tempo tertentu. Ditanyakan, “Apakah memiliki kebun
ataukah tidak?” Ia berkata, “Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka.”17

Seluruh hadits tersebut merupakan dalil atas kebolehan salam.

Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan dalam Salam18

Salam merupakan jual beli barang yang belum dimiliki dan jual beli barang
yang belum sempurna dimiliki. Kedua transaksi itu dilarang. Salam telah
dikecualikan dengan hal itu dengan nash yang mengkhususkan larangan itu pada
selainnya. Oleh karena itu, sesuatu yang boleh dilakukan salam harus dinyatakan oleh
nash. Kebolehan salam pada semua komoditi yang ditakar dan ditimbang, karena hal
itu telah ditetapkan dari hadits Ibn Abbas. Ia berkata : rasululllah saw. Pernah
bersabda :

Siapa saja yang melakukan salaf (pesanan), hendaklah dalam takaran dan
timbangan yang jelas sampai tempo yang jelas.

Hadis ini menunjukkan bahwa harta yang boleh dilakukan salam adalah yang
ditakar dan ditimbang. Adapun kebolehan salam pada komoditi yang dihitung telah
disepakati dalam ijmak Sahabat bahwa salam pada makanan adalah boleh. Ijmak ini
telah dinukil oleh Ibn al Mundzir dan diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dari
Syu’bah, dari Muhammad Ibn Abdullah bin Abu Mujalid : Abdullah bin Syadad

17
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
18
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

8
berbeda pendapat dengan Abu Burdah dalam masalah salaf, lalu keduanya
mengutusku kepada Ibn Abi Awfa ra, maka ia berkata :

”innaa kunna nuslifu ‘ala ‘ahdir rosuuli shollallahu ‘alaihi wasallama wa


abii bakri wa umari fiil hinthoti wasysya’iiri wazzabiiti wattamri”

Sesungguhnya kami melakukan salaf pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar
dan Umar pada komoditi gandum, jewawut, dan kurma.

Hadis ini menunjukkan bahwa salam pada komoditi makanan adalah boleh.
Makanan itu termasuk komoditi yang ditakar dan ditimbang atau dihitung. Karena itu
hukumnya berkaitan dengan bagaimana makanan itu diukur; baik dengan takaran,
timbangan atau hitungan. Hal itu sebagaimana keterkaitan serah terim dengan barang
yang memang membutuhkan serah terima (supaya sempurna transaksinya).19

Jadi, salam terkait dengan keberadaan makanan sebai komoditi yang ditakar,
ditimbang dan dihitung. Hadis ini menyatakan kebolehan salam pada komoditi yang
ditakar dan ditimbang dan tidak menyebutkan yang dihitung. Adapun ijmak
menunjukkan kebolehan salam pada makanan, membuat komoditi yang dihitung
termasuk dalam kebolehan dilakukan salam.20

Syarat-syarat salam

1. barang yang dipesan (al muslam fih)


1) Sesuatu yang dipesan itu harus terdeskripsi, yakni ditentukan
spesifikasinya. Juga harus ditentukan takaran dan timbangannya, seperti
kaleng yang memiliki ukuran tertentu, gallon, liter, kotak dan sebagainya.
Intinya takaran dan timbangan itu harus diketahui dengan jelas.21
2) Komoditi yang dipesan itu harus jelas jenisnya, juga jenis yang ditakar
dan ditimbang, termasuk harus diketahui jenis yang dihitung.22

19
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
20
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
21
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
22
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

9
3) Jual belinya harus sampai tempo tertentu.
Tempo merupakan syarat sahnya salam. Jika kontan dan tidak
ditentukan temponya, tidak bisa disebut salam. Penentuan tempo
menggunakan penetapan waktu yang jelas, misalnya satu bulan, satu
tahun, enam bulan atau sampai tanggal sekian. Kata tempo merupakan
kata yang memiliki makna tertentu dan dipergunakan sesuai dengan istilah
suatu kaum atas maknanya.23
2. Harga barang yang dipesan (ra’s al-maal)
1) Harga barang harus jelas24
2) Harga pembayaran harus diserahkan secara kontan di majelis akad25. Jika
penjual dan pembeli berpisah sebelum serah terima harga seluruhnya
maka transaksi salam itu batal seluruhnya. Sebab, pemesanan (taslif)
dalam bahasa Arab yang dengannya kita diseur oleh rasulullah saw.
Maknanya adalah memberikan sesuatu pada sesuatu, yaitu menyerahkan
harta secara kontan dan barang diambil kemudian. Jadi, siapa yang tidak
menyerahkan harga atau pembayaran yang dia pesan maka artinya ia tidak
memesan sesuatu pun. Penerimaan harga oleh penjual dan pembeli
merupakan syarat sah salam. Adapun adanya barang yang dijual ketika
dilakukan ketika jual beli, maka itu bukan merupakan syarat. Salam boleh
dilakukan pada barang yang sudah ada maupun belum ada ketika
transaksi. Hal itu, karena Nabi saw. tiba di Madinah, masyarakat
melakukan salam pada buah-buahan untuk satu atau dua tahun. Jelas
bahwa buah-buahan tidak bisa bertahan tetap ada selama itu.
3) Wajib tidak ada ghabn faahisy (selisih harga yang tidak wajar)26

23
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
24
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
25
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
26
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

10
Harga wajib sesuai dengan harga pasar pada saat transaksi jual beli,
karena salam adalah jual beli. Ghabn faahisy haram terjadi pada semua
bentuk jual beli, termasuk jual beli salam, sebagi mana ghabn faahisy
haram pada pertukaran dengan harga secara kontan.

Terjadinya Ghabn Pada Salam

Jika terjadi ghabn pada salam, maka hukumnya sama seperti hukum ghabn
pada semua bentuk jual beli, yaitu orang yang dicurangi memiliki hak khiyar
(memilih) . jika dia mau, dia boleh memfasakhnya (meneruskan jual belinya). Ia tidak
boleh mengambil selisih antara harga barang yang sebenarnya dengan harga
pembelian dia. Hak khiyar tersebut berlaku apabila memnuhi dua syarat yaitu :27

1.Tidak adanya pengetahuan harga pasar pada saat akad.

2.Adanya tanmbahan atau kekurangan yang tidak wajar, yang secara umum tidak ada
orang yang melakukan kecurangan semisal itu.

Tempat Penyerahan Barang yang Dipesan

Tidak adanya penyebutan tempat penyerahan barang yang dipesan tidak akan
menghalangi dilangsungkannya akad salam, karena penyebutan tempat itu bukan
syarat terjadinya salam. Seandainya penyebutan tempat itu merupakan syarat, maka
Rasulullah akan menyebutkannya seagaimana beliau menyebutkan takaran,
timbangan dan tempo. Adapan masalah tempat penyerahat barang, maka hal tersebut
merupakan syarat yang telah disepakati. Jka tidak ditentukan, maka tempat
penyerahan tersebut adalah tempat terjadinya akad. Namun jika terjadi di laut, maka
tempat penyerahan barang harus disebutkan.28

Tidak Boleh Mengambi Selain Barang yang Dipesan Sebagai Kompensasi

Apabila pada saat jatuh tempo dan barang yang dipesan tidak ada, maka pihak
yang memesan tidak boleh mengambil dalam bentuk uang. Karena biasanya akan
27
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
28
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

11
lebih banyak dari harga yang ia bayar di awal. Pada saat itu ia mengambil harta
(uang) sebagai kompensasi sehingga kelebihan tersebut merupakan riba. Jika ia
mengambil barang lain sebagai pengganti barang yang ia pesan sebelumnya, itu
berarti ia telah melangsungkan akad baru. jadi dia menjual barang yang dipesannya
dengan barang lain. Dengan begitu dia telah melangsungkan dua jual beli dalam satu
jual beli. Keduanya, yaitu mengambil nilai barang dalam bentuk uang atau barang
alin hukumnya adalah haram . Karenanya Nabi saw melarang pihak yang memesan
mengalihkan barang yang dipesan ke barang yang lain.29 Sabda Rasulullah :

”Siapa saja yang melakukan salaf pada sesuatu maka janganlah mensyaratkan kepada
penjual selain penunaian barang yang ia pesan” (H.R Ibn Umar r.a)

Menjual Barang yang Bukan Milik Seseorang

Tidak boleh seorang pun menjual sesuatu yang belum ia miliki dan belum ada
dalam kekuasaannya. Sebab suatu akad tidak akan terakadkan satu rukun tidak
terpenuhi seperti tidak adanya obyek akad. Hakim bin Hizan berkata “Ya Rasulullah,
seseorang datang kepadaku dan bertanya kepadaku tentang jual beli sesuatu yang
belum aku miliki kemudian aku membelinya ke pasar. 30 Rasulullah saw kemudian
bersabda ‘janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu.”

Adapun apa yang diluar kemampuan kita untuk menyerahkannya maka itu
termasuk jual beli gharar yang dilarang oleh Rasulullah karena bisa menyebabkan
terjadinya perselisihan. Dalam hadist:

“janganlah kalian membeli ikan yang masih ada didalam air karena sesungguhnya itu
adalah gharar”

Rasulullah juga melarang dharbah al-ghaish seperti jual beli burung yang
dinilai tidak bisa kembali kedalam sangkarnya dan jual beli hewan yang tersesat.

29
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
30
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

12
Rasulullah saw juga melarang jual beli sesuatu yang belum diserah-terimakan.
Rasulullah pernah bersabda “Jika engkau membeli sesuatu maka janganlah engkau
menjual hingga engkau memegangnya (diserah terimakan kepadamu)”

Barang yang diperjualbelikan ada dua jenis. Yang pertama adalah barang yang
kepemilikannya bisa sempurna tanpa serah-terima. Seperti rumah, tanah, hewan dan
semua jenis barang yang tidak termasuk komoditi yang ditakar, ditimbang dan
dihitung. Dalam hal ini, penjual boleh menjual barang sebelum ia menerimanya.
Sebab dengan terjadinya akad jual beli dan dengan terjadinya ijab qabul maka jual
beli itu telah sempurna baik barang itu telah diserahterimakan ataupun belum. Hal
tersebut telah dijelaskan dalam hadist sahih.31

Ibn Umar meriwayatkan bahwa ia berada diatas unta miliknya. Lalu


Rasulullah bersabda kepada Umar “Juallah kepadaku”. Umar menjawab “unta itu
milikmu ya Rasulullah” kemudian Rasul bersabda “Unta itu untukmu, ya Abdullah
bin Umar. Karena itu, perbuatlah terhadapnya sesuai dengan keinginanmu”.
Transaksi pada barang yang dijual itu terjadi dalam bentuk hibah dan dilakukan
sebelum serah terima. Hal itu menunjukkan telah sempurnanya kepemilikan atas
barang yang dijual itu sebelum serah terima, juga menunjukkan bolehnya menjual
barang tersebut karena kepemilikan penjual atasnya telah sempurna.32

Jenis kedua adalah jenis barang yang tidak sempurna kepemilikannya kecuali
dengan serah terima. Barang itu adalah barang yang dihitung, ditakar dsn ditimbang.
Jika barang yang dijual rusak sebelum adanya serah terima, maka kerusakan barang
ditanggung oleh penjual. Rasulullah saw bersabda “siapa saja yang membeli
makanan, hendaknya jangan menjualnya hingga diserahkan kepadanya. Ibn Umar ra.
Berkata “kami pernah membeli makanan dari pedagang yang menunggang hewan
dengan pembelian dalam jumlah besar.33 Lalu Rasulullah saw. Melarang kami untuk
menjualnya hingga kami memindahkannya dari tempatnya”

31
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
32
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
33
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

13
Hadist tersebut menunjukkan bahwa barang yang dijual itu berada dalam
tanggungan si penjual.seandainya sudah masuk dibawah tanggungan si pembeli,
maka ia boleh menjualnya dan melakukan tasharruf atasnya sebagaimana setelah
serah terima. Larangan itu dilekatkan pada komoditi yang ditakar, ditimbang dan
dihitung. Dengan demikian larangan itu mencakup larangan menjuala semua
komoditi yang ditakar, ditimbang atau dihitung sebelum serah terima.34

Rasulullah bersabda, “jika engkau membeli sesuatu maka janganlah engkau


menjualnya hingga engkau memegangnya”

Serah terima yang dianggap sah secara syar’i berbeda-beda sesuai dengan
barangnya. Jika barang itu termasuk barang yang ditakar atau ditimbang, maka serah
terimanya dilakukan dengan cara menakarnya atau menimbangnya. Jabir ra.
Menuturkan bahwa Utsman pernah berkata “aku pernah membeli kurma dari marga
yahudi yang disebut Banu Qainuqa’ dan hal tersebut sampai kepada Nabi saw. dan
beliau kemudian bersabda ’utsman, jika engkau membeli maka mintalah ditakar dan
jika engkau menjual maka takarlah’35

Serah terima (al-qabdh) boleh terjadi sebelum atau sesudah pembayaran


harga, karena penyerahan barang merupakan konsekuensi dari akad.36

Jual Barang Impor

34
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
35
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
36
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

14
Membeli barang dari luar negeri (impor) hukumnya sah apabila si pedagang
langsung pergi sendiri dan membeli sendiri barangnya. Begitu juga jika ia membeli
melalui wakilnya, telepon, surat atau sarana-sarana legal lain dengan syarat ia melihat
fisik barangnya atau mengetahui spesifikasi dari barang tersebut. 37

Adapun asuransi haram bagi kaum muslim karena akad asuransi termasuk
akad yang secara syar’i adalah batil. Adapun jika yang beakad asuransi tersebut tidak
berasal dari pihak pedagang tetapi dari pihak kedua yang non muslim maka tidak ada
dosa bagi pedagang tersebut.38

Lembaga-Lembaga Keuangan dan Jual Beli Barang yang Bukan Miliknya

Kadangkala seseorang meminta dari lembaga-lembaga seperti bank syariah


agar membelikannya rumah, mobil atau perlengkapan. Padahal bank tersebut tidak
memilikinya. Namun si pembeli tidak mempunyai uang untuk membeli barang
tersebut. Kemudian bank tersebut membelikannya dan si pembeli membayar kepada
bank dengan angsuran dan ada tambahan biaya sebagai kompensasi dari harga
asalnya. Telah kita ketahui bahwa setiap aktivitas perdagangan itu mungkin untung
atau rugi. Tetapi dalam hal ini bank akan selalu untung. Dan klaim bank-bank itu
bahwa mereka membeli barang sesuai dengan hukum syariah yang difatwakan oleh
Syaikh Abdul Hamid as-Sa’ih adalah tidak benar. 39

Lembaga-lembaga tersebut dalam transaksinya menyalahi hukum syariah


pada aspek-aspek berikut:

1.Menjual sesuatu yang bukan miliknya.40

2.Jual beli itu mungkin untung ataupun rugi. Tetapi lembaga-lembaga tersebut selalu
untung dan tidak rugi.41

37
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
38
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
39
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
40
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
41
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

15
3.Orang yang menyuruh membeli memiliki hak khiyar secara syar’i setelah barang itu
tiba. Tetapi dalam transaksi dengan bank-bank itu pihak yang menyuruh membeli
tidak memiliki pilihan. Sebaliknya ia terikat (wajib) untuk mengambil barang
tersebut.42

4.Bank-bank itu melakukan perbuatan haram dengan menempatkan harta dai bank-
bank ribawi dan mengambil bunganya.43

5.Kemampuan untuk Menyerahkan Barang yang Dijual

Sesuatu yang menjadi objek akad wajib mampu untuk diserahkan baik secara
fisik ataupun secara syar’i. Seandainya tidak bisa diserahkan seperti jual beli sesuatu
yang hilang maka jual beli itu tidak sah. Seandainya seseorang mennjual ikan yang
masih di dalam air atau burung yang masih di udara kepada orang lain, maka jual beli
itu tidak sah karena tidak ada penyerahan barang secara fisik.44

Jual Beli Hutang

Hutang kadang dijuala kepada orang yang berhutang dan kadang dijual
kepada orang lain. Jual beli hutang kepada orang yang berhutang dalam bentuk uang
adalah sah dengan syarat hutangnya sama dengan jumlah dan uangnnya jika hutang
itu berupa harga. Sebab kelebihan dalam hal itu adalah riba. Juga dengan syarat
waktu pembayarannya kontan. jika si A membeli seratus buah baju dari seorang
pedagang dan ia telah membayar harganya, sementara pedagang itu belum
menyerahkan baju tersebut dan masih berada dalam tanggungannya, lalu si A ingin
menjualnya, apabila si A ingin menjual baju itu kepada pedagangnya lagi maka jual
beli itu adalah sah karena baju itu masih berada ditangan pedagang tersebut.Adapun
jika si A ingin menjual baju itu kepada orang lain, maka jual belinya tidak sah,
kecuali setelah ia menerima baju tersebut karena baju itu termasuk barang bergerak.45

42
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
43
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
44
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
45
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

16
Barang yang Dijual dan Harga Harus Jelas

Ketidakjelasan barang yang dijual atau harga kadang bisa memnyebabkan


akadnya menjadi batil atau fasad. Kejelasan barang yang dijual bisa diperoleh melalui
salah satu dari dua perkara atau keduanya sekaligus. Pertama, dicapai dengan
penglihatan. Penjual atau pmbeli melihat langsung fisik dari barang yang akan dijual
dan ridha terhadapnya maka jual beli tersebut sah. Apabila pedagang
menyembunyikan cacat yang terdapat pada barang maka jual beli itu tidak sah kecuali
dengan adanya keridhaan dari pembeli setelah mengetahui kecacatannya tersebut.46

Kedua, bisa direalisasikan dengan ukuran dan spesifikasinya jika barang


tersebut tidak dilihat (tidak ada ditempat).47

Jual Beli Partai Besar

Maksudnya adalah jual beli dengan melihat barang tetapi tidak diketahui
ukurannya secara rinci. Jual beli semacam ini sudah dikenal pada masa Rasulullah.
Penjual dan pembeli pada saat itu melangsungkan akad terhadap barang yang dilihat
tetapi tidak diketahui ukurannya kecuali dinilai atau diperkirakan oleh orang yang
sudah ahli. Mereka bisa dipercaya dan sedikit sekali melakukan kekeliruan.
Seandainya terdapat gharar maka itu dinilai kecil dan masih bisa ditoleransi.48

Melihat barang itu sudah cukup bagi keabsahan jual beli. Apabila pembeli
telah melihat barang itu dan transaksinya dilakukan setelah janjgka waktu tertentu,
apabila dalam jangka waktku tersebut barang tidak mengalami perubahan maka jual
belinya sah. Tapi apabila dalam jangka waktu tersebut terdapat kerusakan, maka jual
beli itu tidak sah.49

Jual Beli Berdasarkan Spesifikasi

46
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
47
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
48
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
49
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

17
Jika berlangsung transaksi (akad) atas barang yang dijual dan barang itu tidak
ada di majelis akad, juga tidak dideskripsikan maka pembeli memiliki khiyar
(pilihan) pada saat melihat barang. Sesuai sabda Nabi Muhammad saw.: “barang
siapa yang membeli sesuatu, sedangkan ia tidak melihatnya, maka ia memiliki khiyar
(pilihan) ketika melihatnya.”50

Adapun jika barang yang dijual dideskripsikan kepada pembeli, kemudian ia


menemukan barang sesuai deskripsi tetapi ia memilih untuk meninggalkan barang itu
maka ia harus membayar kepada penjual sejumlah tertentu beruoa kerugian
mendatangkan barang itu jika penjual telah mengeluarkan biaya atas jual beli
tersebut.51

Jual Beli Berdasarkan Deskripsi:

Pertama, jual beli barang tertentu. Apabila barang (objek) yang diperjual
belikan hilang, maka akadnya pun akan hilang (batal).52

Kedua, jual beli sesuatu yang dideskripsikan tetapi tidak tertentu. Contohnya
apabila sseorang menjual sapi dan mendeskripsikan sifat-sifatnya seperti deskripsi
pesanan. Lalu kemudian sapi yang ia berikan tidak sesuai dengan yang dideskripsikan
maka akad itu tidak fasad. Sebab akad itu terjadi kepada selain sapi tersebut sehingga
akadnya tidak akan batal dengan diembalikannya sapi tersebut. Tetapi ssi penjual
wajib mendatangkan barang yang sesuai dengan yang di deskripsikannya.53

Dalam hal ini jelas pembeli memiliki khiyar atas barang tersebut apabila
terjadi kerusakan pada barang yang dibelinya.

Jual Beli Barang yang Tidak Jelas

50
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
51
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
52
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
53
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

18
Barang yang dijual wajib bersifat jelas bagi kedua pihak yang berakad dengan
pengetahuan yang menafikan ketidakjelasan. Ketidakjelasan (al-jahalah) bisa terjadi
54
pada fisik barang yang dijual, jenisnya atau macamnya.

Hukum Ketidakjelasan Fisik

1.Apabila seseorang menjual seekor kambing diantara kambing-kambingnya tetapi ia


tidak menentukan kambing yang ia jual maka hukum jual belinya adalah fasad. Jika
sudah ditentukan, maka hukum jual belinya menjadi sah.55

2.Andai seseorang membeli pakaian diantara dua atau tiga pakaian yang ada maka
jual beli itu fasad sampai ia menentukan pakaian mana yang akan ia beli.56

3.Jika seseorang menjual tiga buah semangka dari himpunan semangka yang
berjumlah lebih dari seratus buah maka jual beli itu adalah fasad. Tetapi jika tiga
buah yang dijual itu disisihkan maka jual beli itu boleh.57

4.Andai seseorang menjual sekelompok domba kecuali seekor domba tetapi tidak
ditentukan maka jual beli itu fasad. 58

Jual Beli dengan Sampel

Jika barang yang diakadkan sama bagian-bagiannya atau unitnya maka cukup
dengan melihat satu saja dari barang tersebut. Jual beli dengan sampel itu sah59.
54
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
55
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
56
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
57
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
58
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
59
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

19
Adapun jika masing-masing barang satuannya tidak sama maka tidak cukup
dengan melihat sebagiannya saja. Seperti pada jual beli hewan atau rumah.
Seandainya seseorang membeli satu kelompok domba seluruhnya maka ia memiliki
khiyar pada saat melihat kelompok domba itu.

Pilihan Saat Melihat Barang dalam Jual Beli Barang yang Tidak Ada di
Tempat

Telah ditetapkan adanya hak khiyar pada saat melihat barnag dalam jual beli
barang yang tidak ada ditempat. Hak itu adalah milik pembeli, bukan milik penjual.
Sebab jika barang yang dijual tidak jelas jenis atau macamnya maka jual belinya
adalah batil. Adappun jika jenis atau macamnya jelas tetapi si pembeli tidak melihat
barangnya, maka si pembeli mempunyai hak khiyar pada saat melihatnya untuk
menolak atau mengambilnya.60

Hak pilihan tidak menjadi milik penjual karena beberapa hal berikut:61

1.Sempurnanya keridhaan penjual didasarkan pada pengetahuan dia terhadap apa


yang menjadi miliknya, bukan apa yang keluar dari kepemilikannya.

2.Pemberian hak pilihan kepada penjual, akan menggugurkan hukum syariah yang
telah ditetapkan oleh nash, yaitu danya hak bagi pembeli.

3.Syarat bergantung pada pilihan sehingga tidak ditetapkan karena yang lain.

4.Hak pilihan menjadi milik pembeli bukan milik penjual, merupakan ijma.

Semua itu jika harganya kontan. Jika berupa barter maka hak khiyar menjadi
milik kedua belah pihak apabila barang kedua tidak ada ditempat

Jual Beli Buah-buahan yang Masih di Pohon

Menjaminkan pohon untuk dua tahun atau leih adalah jual beli barang yang
belum ada karena buah itu belum ada. Jual beli sesuatu yang belum ada adalah tidak
60
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
61
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

20
boleh karena merupakan jual beli gharar dan hukumnya haram sesuai dengan apa
yang diriwayatkan dari Abu Huarairah ra. “Rasulullah telah melarang bay’ al-hishah
dan jual beli gharar” 62

Jual beli semacam ini diharamkan karena:63

1. Termasuk bagian dari gharar


2. Menjual barang yang bukan milik anda.
3. Merupakan jual beli salam yang dilarang.

Adapun menjaminkan buah tanaman yang kelihatan buahnya maka itu adalah jual
beli yang sudah ada dipohon. Karena buah itu ada dan sudah menjadi milik si penjual.
Serta tidak termasuk jual beli salam yang ditentukan. Karena itu merupakan jual beli
kontan dan bukakn jual beli salam. Oleh karena itu hukumnya berbeda dengan hukum
menjaminkan buah untuk sua atau tiga tahun.64

Buah yang belum matang tidak boleh dijual sebelum buah tersebuut matang dan
dapat dimakan. Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Jabir ra.

“Nabi saw. telah melarang menjual buah hingga masak”

“sesungguhnya nabi melarang jual beli buah hingga mulai kelayakannya”

“Nabi saw. telah melarang jual beli hingga matang. Dintanyakan, “Apa matang itu?”
Beliau bersabda, “memerah dan menguning dan di antaranya bisa dimakan.”

Berdasarkan hadist diatas, maka menjaminkan buah yang sudah mulai bisa
dimakan adalah boleh. Sebaliknya, tidak boleh jika belum bisa dimakan.

Berdasarkan hal itu, yang dimaksud dengan mulai layak dalam semua jenis
buah adalah tampak kelayakannya untuk dimakan. Itu ditunjukkan oleh hadist Ibn

62
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
63
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
64
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

21
Abbas ra. “Rasulullah saw telah melarang menjual kurma hingga orang bisa
memakannya atau kurma itu bisa dimakan”65

Maksud menjual buah yang masih dipohon itu adalah menjaminkakn pohon,
karena menjual buah yang masih dipohon dibatasi dengan tampaknya kelayakan buah
itu untuk dimakan, yaitu tampaknya sesuatu yang menunjukkan buah itu mulai
masak.66

Yang dimaksud kelayakan pada buah adalah bukan semua buah mulai layak
karena itu adalah hal mustahil. Namun yang dimaksud adalah kelayakan buah satu
jenis buah. Seperti satu jenis apel di sebagian pohon mulai layak, maka boleh menjual
satu jenis apel itu diseluruh kebun. Hadits menyatakan: ”rasulullah saw melarang
untuk menjual kurma hingga matang dan untuk menjual bulir hingga memutiih dan
aman dari cacat”67

Jadi hukum itu bergantung pada mulainya kelayakan setiap jenis tanpa
memperhatikan jenis lainnya. Frasa “mulai layak” yang dinyatakan didalam hadits
tentang jenis dan macam yang sama maka berlaku untuk seluruh buah (jenis itu),
bagaimanapun sedikitnya. Apalagi fakta bahwa buah-buahan itu matangnya terjadi
secara berturut-turut (tidak serentak). Dari sini jelas bahawa tidak boleh menjaminkan
pohon apapun, yaitu menjual buah pohon apapun sebelum tampak kelayakan
buahnya.68

Keharaman memnjual buah yang masih di pohon sebelum tampak


kelayakannya dinyatakan secara mutlak. Oleh karena itu keharaman tersebut tidak
dibatasi. Baik disyaratkan memotongnya atau tidak, ia tetap haram. Hanya saja, jika
penjual mensyaratkan kepada pembeli maka syarat tersebut fasad karena menafikan
ketentuan akad. Adapun jjika pembeli menunda pemotongan buah itu maka harus
dilihat apakah dengan penundaan tersebut akan menyebabkan madarat maka pembeli

65
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
66
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
67
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
68
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

22
harus memotongnya. Tetapi jika tidak berpengauh maka pembeli tidak dipaksa untuk
memetiknya.69

Hadits yang diriwayatkan dari Ubaidah bin ash-Shamit yang menyatakan:


“sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan bahwa buah kurma itu adalah milik
orang yang menyerbukkannya kecuali pembeli mensyaratkannya” 70

Hadits ini menyatakan bahawa siapa saja yang menjual pohon kurma dan
sedang berbuah hasil penyerbukan sebelumnya maka buah itu tidak termasuk dalam
jual beli dan menjadi hak penjual. Namun apabbila penyerbukannya merupakan
penyerbukan buatan maka termasuk didalam jual beli dan menjadi milik pembeli.Atas
dasar itu, pohon kurma sebelum penyerbukan mengikuti pohonnya, sementara setelah
penyerbukan maka penyerbukan tidak mengikuti hukum pohonnya.71

Semua pohon selain kurma, buahnya ikut didalam penjualan pohonnya dan
mengikuti pohonnya jika belum tampak kelayakannya. Jika sudah tampak
kelayakannya maka buah itu tidak termasuk dalam pohonnya kecuali disebutkan
dalam akadnya. Apabila pohonnya dijual lalu datang angin yang merontokkandan
merusak buahnya maka tidak ada kewajiban apapun bagi penjual karena jual belinya
telah sempurna dan tidak terdapat nash yang menjelaskan adanya bagian bagi
pembeli. Sedangkan apabila buah yang dijual dipohonnya dan diterpa angin sehingga
buahnya rontok dan rusak maka penjual wajib memotong harga buah yang rontok
atau rusak tersebut.72Hal itu karena hadits yang diriwayatkan Jabir bahwa Rasulullah
pernah bersabda: “siapa saja yang menjual buah lalu terkena gangguan cuaca buruk
sehingga menjadikannya rusak maka janganlah ia mengambil sesuatu pun dari harta
saudaranya. Atas dasar apa seseorang iantara kalian mengambil harta saudaranya?

JUAL BELI YANG MENGANDUNG RIBA,JUDI DAN PENIPUAN


69
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
70
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
71
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
72
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

23
1. Jual Beli Mengandung Riba

A. Defenisi Riba

Menurut bahasa riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :


1.      Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu
yang dihutangkan.73
2.      Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan
harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3.      Berlebih atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah :
“Bumi jadi subur dan  gembur”. (Al-Haj: 5)
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut AlMali  ialah :
“akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui
perimbangannya menurut ukuran syar, ketika berakad atau dengan mengakhirkan
tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.
Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba
adalah penambahan-penambahan yang disyariatkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji
pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.74
B.     Dasar Hukum Diharamkannya Riba
Larangan riba muncul dalam Al-Quran pada empat kali penurunan
wahyu/tahapan yang berbeda-beda.
Wahyu Yang pertama, (Ar-Rum : 39) diturunkan di Mekah, menegaskan
bahwa bunga akan menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan, sedangkan
sedekah akan meningkatkannya berlipat ganda.

Wahyu Pertama Diturunkannya Larangan Riba (Ar Rum : 39)

73
Hendi,Suhendi,Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT RajaGarafindo Persada  2005)
74
Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara : 2004)

24
َ €ِ‫ هَ هللاِ فَأُوْ الَئ‬€ْ‫اس فَالَ يَرْ بُوا ِعن َد هللاِ َو َمآ َءاتَ ْيتُم ِّمن زَ َكا ٍة تُ ِري ُدونَ َوج‬
‫ك‬ ِ َّ‫َو َمآ َءاتَ ْيتُم ِّمن ِّربًا لِيَرْ بُوا فِي أَ ْم َوا ِل الن‬
َ‫هُ ُم ْال ُمضْ ِعفُون‬ 

Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya). (QS. AR Rum: 39)
As-Shabuni (2003) menjelaskan menurut zhahirnya tidak isyarat yang
menunjukkan diharamkannya riba itu. Tetapi yang ada hanya isyarat akan kemurkaan
Allah terhadap riba itu, di mana dinyatakan “Riba itu tidak ada pahalanya disisi
Allah” Jadi dengan demikian, ayat ini baru berbentuk “Peringatan untuk supaya
berhenti dari perbuatan riba (mau’izhah salbiyah)”.75
Wahyu yang Kedua, (An-Nisa : 161), diturunkan pada masa permulaan
periode Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba, seirama dengan larangannya
pada kitab-kitab terdahulu. Pada tahap kedua ini, Al-Quran mensejajarkan orang yang
mengambil riba dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak
benar dan mengancam kedua pihak dengan siksa Allah yang amat pedih.
Wahyu Kedua  Diturunkannya Larangan Riba (An Nisa : 161)

‫افِ ِرينَ ِم ْنهُ ْم‬€€€€€€‫ ْدنَا لِ ْل َك‬€€€€€€َ‫ ِل َوأَ ْعت‬€€€€€€‫اط‬


ِ َ‫اس بِ ْالب‬
ِ َّ‫ َوا َل الن‬€€€€€€€‫هُ َوأَ ْكلِ ِه ْم أَ ْم‬€€€€€€‫ ْدنُهُوا َع ْن‬€€€€€€َ‫ ِذ ِه ُم الرِّ بَا َوق‬€€€€€€€‫َوأَ ْخ‬
‫ َع َذابًا أَلِي ًما‬ 

Artinya : Dan disebabkan mereka memakan riba padahal sesungguhnya


mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka telah memakan harta benda
orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir
diantara itu siksa yang pedih. (QS. An Nisa : 161).
Ash-Shabuni (2003) menjelaskan ayat ini merupakan pelajaran yang
dikisahkan Allah kepada kita tentang perilaku Yahudi yang dilarang memakan riba,
75
Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara : 2004)

25
tetapi justru mereka memakannya, bahkan menghalalkannya. Maka akibat dari semua
itu mereka ini mendapat laknat dan kemurkaan dari Allah.76
 Jadi larangan riba di sini baru berbentuk isyarat, bukan dengan terang-
terangan. Sebab ini adalah kisah Yahudi yang bukan merupakan dalil qath’i, bahwa
riba itu diharamkan atas orang-orang Islam. Ini sama dengan larangan arak dalam
periode kedua, yaitu : “Mereka bertanya kepadamu tentang arak dan judi, maka
jawablah : bahwa pada keduanya itu ada dosa yang besar, di samping juga banyak
manfaatnya bagi manusia”. (2:219). Larangan di sini berbentuk isyarat, bukan dengan
terang-terangan. 
Wahyu yang ketiga, (Ali-Imran : 130-131), diturunkan kira-kira tahun kedua
atau ketiga hijriyah, menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka
menghendaki kesejahteraan yang diinginkan (dalam pengertian Islam yang
sebenarnya).
Wahyu yang keempat,(Al-Baqarah : 275-281), diturunkan menjelang
selesainya misi Rasulullah SAW, mengutuk keras mereka yang mengambil riba,
menegaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum
muslimin agar menghapuskan seluruh utang piutang yang mengandung riba,
menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengikhlaskan kepada
peminjam yang mengalami kesulitan.
Artinya  : (275) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (276) Allah

76
Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara : 2004)

26
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (277) Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (278) Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (279) Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (280) Dan jika
(orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui. (281) Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi
pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian
masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah
dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).( QS. Al-Baqarah
: 275-281)
Dalam ayat ini Ash-Shabuni (2003) memastikan bahwa riba itu telah
diharamkan secara menyeluruh (kulliy), di mana pada periode ini Al-Quran sudah
tidak lagi membedakan banyak dan sedikit. Dan ini adalah merupakan ayat yang
terakhir turunnya, yang berarti merupakan syariat yang terakhir pula. Yaitu firman
Allah yang mengatakan : “Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan
tinggalkanlah apa yang masih tersisa dari riba…” (Al-Baqarah : 278) 77
Ayat-ayat ini merupakan tahap terakhir tentang diharamkannya riba, sama
dengan tahap terakhir tentang diharamkannya arak, dan merupakan larangan yang
tegas : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan undian,
adalah najis yang berasal dari perbuatan syetan. Oleh karena itu jauhilah dia supaya
kamu berutang.” (Al-Maidah : 93)

77
Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara : 2004)

27
C.    Klasifikasi Riba
Riba terdiri dari 5 macam :
1.      Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah menurut Wahbah Al-Zuhaily adalah penambahan harga atas
barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau penamabahan ‘ain
(barang kontan) atas dain (harga utang) terhadap berbeda jenis yang ditimbang atau
di takar atau terhadap barang sejenis yang tidak ditakar atau ditimbang.78

Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama
sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas.
Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’
(riba jual beli).
Contohnya:
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi
riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba
yaitu fadhl dan nasi`ah.
Barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang),
kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ َوا ٍء‬€ ‫ َوا ًء بِ َس‬€ ‫ ٍل َس‬€‫ح ِم ْثالً بِ ِم ْث‬


ِ ‫ض ِة َو ْالبُرُّ بِ ْالبُ ِّر َوال َّش ِع ْي ُر بِال َّش ِعي ِْر َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َو ْال ِم ْل ُح بِ ْال ِم ْل‬
َّ ِ‫ضةُ بِ ْالف‬
َّ ِ‫ب َو ْالف‬
ِ َ‫ال َّذهَبُ بِال َّذه‬
‫ت هَ ِذ ِه ْاألَجْ نَاسُ فَبِ ْيعُوا َك ْيفَ ِش ْئتُ ْم إِ َذا َكانَ يَدًا بِيَ ٍد‬ ْ َ‫اختَلَف‬ْ ‫يَدًا بِيَ ٍد فَإ ِ َذا‬
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan
sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal

78
Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara : 2004)

28
(tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda,
maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan (kontan).”

2.      Riba Fadhal
Definisinya adalah Berlebih salah satu dari dua pertukaran yang
diperjualbelikan. Bila yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya pada
barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar,
dan berlebihan ukurannya paa barang-barang yang diukur79
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab
riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa
keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan
dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
a.       Hadits ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim:

‫بِالدِّرْ هَ َمي ِْن‬ ‫الدِّرْ هَ َم‬ َ‫ َوال‬ ‫بِال ِّد ْينَا َري ِْن‬ ‫ال ِّد ْينَا َر‬ ‫تَبِ ْيعُوا‬ َ‫ال‬
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham
dengan dua dirham.”

b.      Abu Said Al-Khudri meriwayatkan, bahwa nabi saw., bersabda :


“Janganlah kamu menjual satu dihram dua dihram, sesungguhnya aku
menakuti kamu berbuat riba”.
Dengan demikian pelarangan riba fadhal karena beliau takut kalau mereka
berbuat riba nasi’ah.
Hadits menyebut pengharaman untuk enam jenis barang yang kaitannya
dengan riba: yaitu Emas, Perak, Gandum, Jawawut, Kurma dan Garam.
3.      Riba Qardli

79
Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah,Pena Pundi Aksara : (jakarta:2004)

29
Yaitu utang dengan syarat ada keuntungan bagi  yang memberi  utang. Riba
Qardli sama dengan riba Fadhal, hanya saja riba fadhal kelebihannya terjadi ketika
Qardli berkaitan dengan waktu yang diundurkan.80
4.      Riba Yad
Berpisah dari tempat akad sebelum timbang terima. Ibnu qayyim menyatakan
dilarang berpisah dalam perkara tukar menukar sebelum ada timbang terima. Menurut
Sulaiman Rasyid, dua orang yang bertukar barang atau jual beli berpisah sebelum
timbang terima disebut riba yad. Menurut Ibnu Qayyim, perpisahan dua orang yang
melakukan jual beli sebelum serah terima mengakibatkan perbuatan tersebut menjadi
riba.81
5.      Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi
pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:82
a.       Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau
tambah nominalnya dengan mundurnya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh
tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri
saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian
seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

َ ‫ ُم‬ ‫أَضْ َعافًا‬ ‫ال ِّربَا‬ ‫تَأْ ُكلُوا‬ َ‫ال‬ ‫آ َمنُوا‬  َ‫الَّ ِذ ْين‬ ‫أَيُّهَا‬ ‫يَا‬


ً‫ضا َعفَة‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan


berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b.     Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad
80
Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara : 2004)
81
Lihat catatan kaki no.8
82
Lihat catatan kaki no.8

30
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal
akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran
Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat
tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan
sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah
“menganakkan uang.” Wallahul musta’an
D.    Jual Beli yang Termasuk Riba
1.      Menjual hewan dengan daging
Sabda Rasulullah:
“ Dari Sa’id bin Musayab, bahwa sesungguhnya Nabi saw melarang tukar
menukar daging dengan binatang”. (HR Malik di dalam Al Muwatha).
Jumuhur ulama berpendapat: binatang yang dapat dimakan tidak boleh
diperjualbelikan dengan dagingnya. Maka tidak boleh menjual sapi yang sudah
dipotong dengan sapi yang masih hidup yang dimaksudkan untuk dimakan, berdalil
kepada hadits yang diriwayatkan oleh Said bin Al Musayyab, bahwa rasulullah saw
mencegah menjual binatang dengan daging. (Riwayat Imam Malik dalam Al-
Muwattha’ dari Said secara mursal yang mempunyai beberapa saksi).83
2.      Jual beli Buah basah dengan yang kering
Jual beli buah basah dengan yang kering tidak dibolehkan kecuali untuk
penduduk‘araya  yaitu mereka yang miskin yang  tidak memiliki pohon kurma.
Mereka ini harus membeli kurma basah untuk dapat memakan di pohon yang masih
ditangkainya dengan menukarkan dengan kurma kering.
Imam malik dan Abu Daud meriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa
Nabi saw, pernah ditanya mengenai jual beli kurma basah dan kurma kering. Beliau
lalu menjawab :
“Apakah ruthab (kurma basah) akan mengurangi jika telah kering?” Orang
itu menjawab: “Ya”. Rasulullah kemudian mencegahnya.

83
Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah,Pena Pundi Aksara : (jakarta:2004)

31
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar, berkata: Rasulullah
mencegahnya muzaabanah, artinya: seseorang menjual buah hasil kebunnya – jika
pohon kurma – dengan kurma kering secara takar. Jika ia adalah anggur, dijual
dengan anggur kering secara taka, dan jika hasil pertanian, dijual dengan pangan
jadi secara takar pula. Semua itu dicegah oleh beliau karena termasuk riba.
Dalam hadits dikatakan:
“Dan dalam satu lafal (dikatakan): (Nabi saw) melarang menjual buah-
buahan dengan tamar dan ia bersabda:”itu adalah riba, itu adalah muzabanah”.
Tetapi Nabi saw memberi keringanan dalam jual beli secara ‘ariyah, yaitu satu atau
dua pohon kurma yang diambil oleh keluarga rumah dalam keadaan kering padahal
mereka makan dalam keadaan kemampo. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)
3.      Jual beli “Ayyinah
Jual beli ini dilarang oleh Rasulullah karena termasuk riba, sekalipun
berbentuk jual beli. Karena, orang yang membutuhkan uang untuk membeli suatu
barang dengan harga tertentu dengan pembayaran waktu tertentu. Kemudian barang
itu ia jual kembali kepada orang yang tadi menjual padanya dengan pembayaran
langsung yang lebih kecil. Dengan demikian perbedaanya hanyalah keuntungan
berupa uang yang dapat ia peroleh dengan cepat.84
Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa Nabi saw, bersabda :
“jika manusia sudah menjadi (kikir) lantaran uang dinar dan dihram, mereka
melakukan jual beli dengan cara ‘ayyinah dan mereka telah mengikuti buntut sapi,
mereka meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah menurunkan bala kepada
mereka. Dia tidak mencabut bala tersebut sebelum mereka kembali keada agama
mereka”.
Al Aliyah binti Aifa binSyarahbil mengatakan: Aku dan Ibunya (Zaid bin
Arqam) pernah masuk ke rumah Aisyah r.a maka ibunya Zaid bin Arqam berkata:
“ Sesungguhnya aku telah menjual budak dari Zaid bin Arqam dengan harga
800 dirham dengan cara nasi’ah (penangguhan pembayaran), kemudian aku beli lagi
dengan harga 600 dirham dengan pembayaran tunai”. Aisyah kemudian

84
Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah,Pena Pundi Aksara : (jakarta:2004)

32
berkata :”Alangkah buruknya caramu menjual, dan alangkah buruknya caramu
membeli. Sampaikanlah kepada Zaid bin Arqam, bahwa cara demikian telah
membatalkan (ma’na) jihadnya bersama Rasulullah saw, kecuali jika ia bertaubat”.
(dikeluarkan oleh Malik dan Ad Daruquthnie).

2. Jual Beli Mengandung Gharar


A. Definisi Gharar
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathr  yang artinya
pertaruhan. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah
yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah). Sedangkan menurut Syaikh as-Sa’di, al-
gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan).
Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Sehingga dari penjelasan ini, dapat
diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang
mengandung ketidakjelasan/ketidakpastian, pertaruhan, atau perjudian (Al-Sunnah,
2006). 85
Kesimpulannya, dalam transaksi yang mengandung eleman gharar, semua
atau salah satu pihak yang terlibat tidak mengetahui apa yang ia dapat dari transaksi
tersebut. Singkatnya, gharar muncul ketika objek suatu transaksi tidak ada (non
existence), atau dikenal dalam istilah fikih sebagai bai' ma'dum, tidak dapat dihantar
(non deliverable), tidak dapat diperoleh atau tidak jelas atau dikenal dalam istilah
fikih dengan bai' majhul. Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah
penting, kerana banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan
dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan: “Larangan jual
beli gharar merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh kerana itu Imam
Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis
ini sangat banyak, tidak terhitung (Al-Sunnah, 2006).
85
 Al-Sunnah, (2006), "Mengenal Jual Beli Gharar", Edisi 04, Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Solo. Diakses melalui internet pada tanggal 2
Desember 2013

33
B. Dalil-Dalil Pengharaman Gharar
Gharar diharamkan dalam syariat Islam berdasarkan Al-Quran dan sabda
Rasulullah S.A.W. Dalam Al-Quran, pengharaman gharar tersirat secara tidak
langsung dalam ayat-ayat yang melarang memakan harta orang lain dengan cara batil,
seperti tersebut dalam firman-Nya di Surat Al-Baqorah ayat 188 86

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui ( Al-Quran:2;188).

Pengharaman gharar sangat jelas dalam sabda Rasulullah S.A.W dari sahabat
Abu Hurairah yang berbunyi:
‫سلَّ َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه َو‬
َ ِ‫نَ َهى رسو ُل هللا‬
“Rasulullah S.A.W melarang jual beli gharar” (Hadis Riwayat Muslim).

Disamping itu pengharamannya dikuatkan oleh hadis dari Ibnu ‘Umar


radhiyallahu ‘anhuma:
‫ ِة‬VVVVVVVVVVVVَ‫ ِل ا ْل َحبَل‬VVVVVVVVVVVVَ‫ع َحب‬VVVVVVVVVVVV
ِ ‫لَّ َم عَنْ بَ ْي‬VVVVVVVVVVVV‫س‬
َ ‫ ِه َو‬VVVVVVVVVVVVِ‫ ِه َو َعلَى آل‬VVVVVVVVVVVV‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬VVVVVVVVVVVV‫ص‬
َ ‫نَ َهى النَّبِ ُّي‬
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari menjual anak dari
anak yang berada dalam perut onta” (Muttafaqun Alaih).

Larangan ini tentunya karena ada gharar dalam muammalat seperti itu. tidak
diketahui dalam perut Unta ini jantan atau betina, hidup atau mati, kembar atau tidak
dan berapa jumlah anaknya kelak.

86
Al-Sunnah, (2006), "Mengenal Jual Beli Gharar", Edisi 04, Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Solo. Diakses melalui internet pada tanggal 2
Desember 2013

34
Alasan pelarangan jual beli gharar menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
selain karena memakan harta orang lain dengan cara batil seperti disebutkan dalam
surat Al-Baqarah 188 diatas, juga merupakan transaksi yang mengandung unsur judi,
seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah- buahan sebelum
tampak buahnya, dan jual beli hashah. Inilah alasan kenapa unsur gharar dan maysir
(perjudian) tidak bisa dipisahkan dalam sebuah transaksi.87

C. Hikmah Pengharaman Gharar


Diantara hikmah larangan jual beli gharar adalah adanya pertaruhan yang bisa
menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan (tidak ada sikap saling
ridho). Maksudnya, bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada pihak lain (Al-
Sunnah, 2006). Imam Malik dalam bukunya Muwatta telah menggambarkan konsep
gharar dengan memberikan contoh orang yang telah kehilangan untanya seharga
(misalnya) lima puluh dinar. Seseorang lainnya menawarkan untuk membeli unta
pelarian tersebut sebanyak dua puluh dinar. Jika pembeli menemukannya, penjual
kehilangan tiga puluh dinar. Namun, jika unta tidak ditemukan pembeli kehilangan
dua puluh dinar. Ringkasnya, ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari
pengharaman gharar (Suharto & Hidayat, 2009)88
1. Gharar dapat mengakibatkan penindasan atau ketidakadilan dan hilangnya
properti untuk satu atau bahkan kedua belah pihak.
2. Gharar dapat melanggar aturan kesepakatan bersama (saling ridho).
3. Gharar bisa membuat salah satu atau semua pihak yang terlibat dalam
transaksi menanggung resiko bisnis yang semestinya bisa dihindari.
4. Gharar bisa menimbulkan perselisihan diantara pihak yang terlibat di masa
yang akan datang.

D. Jenis-Jenis Gharar
87
Al-Sunnah, (2006), "Mengenal Jual Beli Gharar", Edisi 04, Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Solo. Diakses melalui internet pada tanggal 2
Desember 2013
88
Lihat catatan kaki no.15

35
Para Ulama membagi gharar kepada dua jenis (Suharto & Hidayat, 2009)89
1. Gharar ringan (Al-gharar Al-yasir): Ketidakpastian yang tidak dapat dihindari
karena ia berkaitan dengan objek. Jenis gharar ini tidak menyebabkan
kerusakan berat pada salah satu pihak. Gharar ini tidak akan mempengaruhi
keabsahan kontrak. Sebagai contoh: Membeli buah yang tertutup seperti
durian (Ibn Yusof, 2009)
2. Gharar berat(Al-gharar Al-fahish/Al-kabir): Ketidakpastian yang terkait
dengan informasi penting yang berhubungan dengan kontrak yang diperlukan
untuk membantu para pihak dalam pengambilan keputusan apakah akan
masuk ke dalam kontrak atau tidak. Jenis gharar inilah yang dilarang syariat
Islam. Sebagai contoh: Membeli makanan di restoran tanpa mengethui harga
makanan tersebut sehingga ketika menerima bil si pembeli merasa dirugikan
dengan harga yang tinggi (Ibn Yusof, 2009).

Imam An-Nawawi dan Ibnul Qayyim menyatakan “Tidak semua gharar menjadi
sebab pengharaman jual beli. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin
dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Sebagai
contoh gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pembelian rumah beserta pondasinya
walaupun hakikat pondasinya tidak diketahui, membeli hewan yang sedang
mengandung. Demikian juga gharar yang ada dalam hammam (pemandian) adalah
gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Menurut ijma’,
semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama menukilkan ijma tentang
bolehnya barang-barang yang mengandung gharar yang ringan (Al-Sunnah, 2006).
Ibnul Qayyim juga mengatakan : Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang
banyak/berat, yang mungkin dapat dilepas darinya (Al-Sunnah, 2006).

89
Al-Sunnah, (2006), "Mengenal Jual Beli Gharar", Edisi 04, Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Solo. Diakses melalui internet pada tanggal 2
Desember 2013

36
Sebagai catatan penting, gharar menyebabkan suatu transaksi menjadi batil hanya
pada kontrak pertukaran (aqad mu’awadhah). Artinya, gharar yang terdapat pada
kontrak selain mu'a wadhah seperti dalam kontrak tabarru' dimaafkan. Hal ini penting
dipahami karena pada dasarnya kedua kontrak diatas memiliki perbedaan yang nyata.
90

Kontrak tabarru' adalah kontrak yang melibatkan transfer hak milik kepada
pemilik baru tanpa biaya atau kompensasi seperti hibah, sumbangan kebajikan,
derma, wasiat, dan wakaf (Noor & Zakaria, 2010). Sementara, Kontrak mu'awadhah
merujuk pada kontrak yang melibatkan konversi dua nilai atau kompensasi. Terlihat
disini pada mu'awadhah kedua pihak sama-sama mengorbankan sesuatu untuk
bertransaksi, sementara dalam tabarru' hanya satu pihak yang mengorbankan sesuatu.
91

3. Jual Beli Mengandung Maisir


A. Definsi Maisir
Secara bahasa Maisir bisa dimaknakan gampang/mudah. Secara istilah,
Maisir adalah setiap Mu’amalah yang orang masuk kedalamnya dan dia mungkin rugi
dan mungkin beruntung. Ini defenisi Maisir dalam istilah ulama, walaupun sebagian
orang mengartikan Maisir ini ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian sempit,
yaitu judi. Judi adalah salah satu bentuk Maisir sebab seseorang masuk kedalamnya
mungkin menang dan mungkin kalah, mungkin untung dan mungkin rugi. Karena itu

90
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
91
Al-Sunnah, (2006), "Mengenal Jual Beli Gharar", Edisi 04, Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Solo. Diakses melalui internet pada tanggal 2
Desember 2013

37
sangatlah sempit dan kurang tepat bila Maisir diartikan dengan judi (Abu Muawiah,
2008).92

Kalimat “mungkin rugi dan mungkin untung”, juga ada dalam Mu’amalat jual
beli, sebab orang yang berdagang mungkin untung mungkin rugi. Namun Mu’amalat
jual beli ini berbeda dengan Maisir, seorang pedagang bila mengeluarkan uang maka
ia memperoleh barang dan dengan barang itu ia bermu’amalat untuk meraih
keuntungan walaupun mungkin ia mendapat kerugian, tapi Maisir, begitu seseorang
mengeluarkan uang maka mungkin ia rugi atau tidak dapat apapun dan mungkin ia
beruntung (Abu Muawiah, 2008).

B. Dalil-Dalil Pengharaman Maisir


Dalil-dalil pengharaman maisir terdapat di Al-Quran dan Hadis Rasulullah
S.A.W. Dalam Al-Quran pengharaman maisir selalu bersamaan dengan pengharaman
khamar (minuman keras). Salah satunya dalam Surat Al-Maidah ayat 90-91 Allah
SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan (Al-Quran:5;90)93

Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan


kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu) (Al-Quran:5;91)

Disamping itu, maisir juga diharamkan melalui sabda Rasulullah S.A.W dari
sahabat Abu Hurarirah R.A:

92
Abu Muawiah, (2008), "Tidak Boleh Ada Maisir", Meniti Jejak Al-Salaf-Al-
Saleh. Diakses melalui pada tanggal 2 Desember 2013.
93
Lihat catatan kaki no. 8

38
‫ق بِش َْي ٍء‬ َ َ‫احبِ ِه تَ َعا َل أُقَا ِم ْر َك فَ ْليَت‬
ْ ‫ص َّد‬ ِ ‫ص‬َ ِ‫َمنْ قَا َل ل‬

Siapa yang berkata kapada temannya: “kemarilah saya berqimar denganmu”, maka
hendaknya ia bershodaqah (Muttafaqun alaih).

Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maisir, dan menurut sebagian
ulama lain qimar hanya pada mu’amalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan.
Dan hadits di atas menunjukan haramnya qimar/maisir dan ajakan melakukannya
dikenakan kaffarah (denda) dengan bershodaqoh. Dan tidak ada perselisihan pendapat
di kalangan para ‘ulama tentang haramnya maisir.94

C. Perbedaan antara Gharar dan Maisir


Dalam membandingkan definisi gharar dan definisi maisir secara istilah
nampak ada bentuk kemiripan. Kalimat maisir dan qimar lebih khusus dari gharar
sebab tidaklah diragukan bahwa maisir dan qimar itu adalah gharar. Karena itu para
ulama setiap maisir adalah gharar dan tidak setiap gharar adalah maisir. Contoh :
Menjual pohon yang belum jelas hasilnya adalah gharar tapi tidak bisa di golongkan
maisir (Abu Muawiah, 2008).95

D. CONTOH JUAL BELI GHARAR DAN MAISIR


Unsur gharar ada di asuransi konvensional pada saat pemegang polis
(policyholder) membayar premi. Pemegang polis membayar premi kepada perusahaan
asuransi sebagai harga untuk kompensasi terhadap kerugian finansial yang diberikan
oleh perusahaan asuransi atas terjadinya tragedi yang tak terduga dan spesifik

94
Abu Muawiah, (2008), "Tidak Boleh Ada Maisir", Meniti Jejak Al-Salaf-Al-
Saleh. Diakses melalui www.al-atsariyah.com pada tanggal 2 Desember 2013.
95
IbnYusof (2009), "Elemen Al-ghararDalamTransaksiUmat Islam:
PandanganFiqhi", fiqhmuamalah.com. Diaksesmelalui internet padatanggal 1
Desember 2013.

39
(Hidayat, 2010). Artinya, dalam asuransi pemegang polis tidak memiliki kejelasan
apakah dia akan medapatkan kompensasi dan kapan dia akan mendapatkannya.96

Akibatnya, ada tingkat ambiguitas atau ketidakpastian yang tinggi dalam


kontrak asuransi. Seumpama, tidak ada yang terjadi sampai dengan jatuh tempo polis,
pemegang polis akan kehilangan sebahagian atau seluruh premi yang telah mereka
bayar tanpa mendapatkan suatu nilai tukar (counter value). Sebaliknya, jika terjadi
kerugian, pemegang polis menerima kompensasi dalam jumlah yang lebih besar dari
apa yang mereka bayar (Hidayat, 2010). Jelas, hal ini memenuhi kriteria gharar
sekaligus maisir karena kontrak yang digunakan adalah kontrak mu'awadhah
(pertukaran).

Namun, hal ini bukan berarti Islam menentang konsep asuransi. Karena
praktek konsep asuransi juga dapat ditemukan dalam kehidupan Nabi Muhammad
S.A.W yaitu dalam pelaksanaan sistem aqila. Aqila adalah jenis asuransi sosial suku
Arab di mana jika ada anggota suku terbunuh oleh anggota suku lain, pewaris korban
akan dibayar uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara dekat dari jalur
ayah si pembunuh (Hidayat, 2010). Jenis lain dari asuransi sosial dalam masyarakat
Islam dahulu dapat ditemukan dalam konsep fidyah (tebusan). Fidyah dibayar oleh
istri atau suami, keluarga, suku atau teman untuk membebaskan seorang tawanan dari
musuh. Selain itu, nabi juga mendorong masyarakat untuk mengurus orang miskin,
janda dan orang miskin.

Praktek asuransi sosial diatas telah menciptakan sebuah masyarakat mandiri di


Madinah dan di seluruh dunia Muslim selama berabad-abad. Praktek diatas juga
merupakan bukti bahwa Islam tidak keberatan dengan konsep asuransi. Namun,

96
IbnYusof (2009), "Elemen Al-ghararDalamTransaksiUmat Islam:
PandanganFiqhi", fiqhmuamalah.com. Diaksesmelalui internet padatanggal 2
Desember 2013.

40
sangat jarang praktek-praktek tersebut dan jenis asuransi sosial lainnya terdapat
dalam masyarakat saat ini. Hal diatas juga menunjukkan penolakan ulama terhadap
praktek asuransi konvensional bukan konsep asuransi itu sendiri (Hidayat, 2010).

Saat ini praktek asuransi ssebagian besar dikelola oleh perusahaan saham
gabungan (joint stock company) yang tujuan utamanya adalah untuk memaksimalkan
kekayaan pemegang saham. Disamping itu, praktek asuransi konvensional juga
mengandung unsur-unsur riba, maysir (judi), gharar (ketidakjelasan) yang
menentang Syariah. Dengan adanya unsur-unsur dalam praktek asuransi
konvensional, banyak fatwa yang dirilis oleh para ahli hukum Islam (ulama) yang
mengharamkan praktek asuransi konvensional.97

MACAM-MACAM JUAL-BELI

Dua Jual Beli Dalam Satu Jual Beli ( ‫ن فِي بَ ْي َع ٍة‬€ِ ‫) بَ ْي َعتَ ْي‬
Para fuqaha berbeda pendapat tentang tafsir dua jual-beli dalam satu jual-beli
dalam beberapa tafsir berikut :98
a. Dikumpulkannya di dalam jual-beli antara yang kontan dan dengan tempo.
Dalam sistem jual-beli ini, apabila pembeli berkata “Saya terima’
dan tidak menentukan salah satu dari keduanya (dari kedua jual-beli itu)
maka jual beli yang demikian tidak sah.99

97
IbnYusof (2009), "Elemen Al-ghararDalamTransaksiUmat Islam:
PandanganFiqhi", fiqhmuamalah.com. Diaksesmelalui internet padatanggal2
Desember 2013.

98
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
99
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

41
Hal itu karena tidak diketahui apakah akadnya terjadi pada harga
pertama atau kedua yang bersifat gharar. Namun, seandainya pembeli
menentukan satu di antara jual-beli itu, misalnya dengan mengatakan, “Aku
beli dengan harga pertama sesuai dengan yang ditawarkan “ maka jual-beli
tersebut sah.100
b. Dihimpunnya dua jual-beli dengan syarat.
Jual-beli dengan bentuk seperti ini bersifat ghyr munjaz (tidak
implementatif). Sehingga jual-beli ini tidak sah.101
c. Jual-beli dengan wasilah riba.
Jual-beli seperti ini sama hal nya dengan jual-beli dengan
memberikan waktu bagi si pembeli dengan cara ber tempo, dan harga
temponya lebih besar dari harga aslinya seandainya si pembeli membeli
secara kontan, ini jelas transaksi yang mengandung riba’, karena setiap
hutang yang menghasilkan keuntungan adalah riba’.102
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya
berkata ;
< ‫سلَّ َم َمنْ َبا َع بَ ْي َعتَ ْي ِن ِفي َب ْي َعة‬ َ ‫>قَا َل النَّبِ ُّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
Rasulullah telah melarang dua jual-beli dalam satu jual-beli.
( dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (3/533 no. 1231) dan at-Tirmidzi
mengatakan hadits ini Hadis hasan Shahih )

Dua Transaksi Dalam Satu Transaksi


1. Dua Syarat dalam Satu Jual-Beli.
Hukumnya sama dengan hukum dua jual-beli di dalam satu jual-beli
( ‫ن فِي بَ ْي َع ٍة‬€ِ ‫) بَ ْي َعتَ ْي‬.103
2. Salaf dan Jual-beli

100
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
101
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
102
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
103
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

42
Kadangkala salaf artinya adalah hutang dan kadangkala artinya
salam (memesan). Beberapa bentuknya:
a. Seseorang berhutang kepada orang lain satu karung beras, kemudian ia
menawarnya untuk ia beli dengan harga lebih kecil dari nilainya. Dalam
hal ini, selisihnya adalah riba. 104
b. Penjual berkata kepada pembeli, “aku menjual alat ini seratus dinar
dengan tempo satu bulan dan aku memesan (salaf) kepadamu seratus
dinar untuk sepuluh karung gandum untuk satu tahun.” Hal itu
dilakukan sebelum ia menyerahterimakan uang seratus dinar itu. Jual
beli ini menyalahi syarat-syarat salam. Sebab, di antara syarat salam
adalah menyerahkan harga di majelis akad.105
3. Jual-beli dan Syarat
Terdapat beberapa bentuk yang di bolehkan dan sebagian lainnya
adalah batil dan dilarang di dalam hadis. Bentuk-bentuknya adalah :
a. Salah satu pihak yang berakad mensyaratkan akad lain seperti salaf,
jual-beli, atau ijarah. Syarat ini menjadikan akad jual-beli tersebut batil
karena adanya larangan Rasul akan jual beli dalam satu jual beli.106

b. Syarat dalam jual beli yang menafikan konsekuensinya. Misal, penjual


mensyaratkan agar pembeli tidak menjual barang yang di perjualbelikan
itu agar tidak menghibahkannya. Dalam hal ini, yang batil hanya
syaratnya saja, sementara jual-belinya sah.107

4. Jual-beli sperma hewan pejantan


Ibn Umar ra. Berkata :
Rasulullah saw. Telah melarang menjual sperma (keturunan)
hewan pejantan.

104
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
105
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
106
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
107
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

43
Jual beli ini batil karena larangan Nabi saw. Ditujukan terhadap
keturunan (sperma) hewan jantan. Keturunan (sperma) hewan jantan adalah
barang yang diperjual belikan dan ia adalah salah satu rukun jual beli.
Larangan atas akad atau salah satu rukun jual beli itu menyebabkan hal ini
batil.108
Namun, di perbolehkan memberi pemilik hewan pejantan itu hadiah
atas hewan pejantannya yang telah mengawini hewan betina kita. Hal itu
sesuai dengan yang diriwayatkan dari Anas ra. Bahwa Nabi saw. Pernah
bersabda :
“Jika sebagai bentuk penghormatan maka tidak apa-apa.”
5. Jual-Beli at Tawliyah
Bay’ at Tawliyah adalah pemindahan kepemilikan. Maksudnya
adalah pemindahan harta yang dimilik oleh seseorang dengan akad awal
tanpa ada tambahan keuntungan. Pembeli membeli harta itu dengan harga
yang sama dengan harga beli pemiliknya sebelumnya tanpa ada penambhan
dan pengurangan harga.109 Jual beli ini secara syar’i boleh. Said bin al-
Musayyab dari Nabi saw. Pernah bersabda :
“At-Tawliyah, pembatalan, dan syarikah sama saja, tidak ada
masalah.”

6. Jual-Beli Murabahah
Jual beli murabahah adalah seorang menjual barang dengan harga
beli dia sebelumnya disertai dengan tambahan keuntungan yang dia sepakati
dengan pembeli. Jual-beli ini harus memenuhi beberapa syarat sah sebagai
berikut :110
a. Harga awal haruslah jelas bagi pembeli kedua.
b. Keuntungan harus jelas karena keuntungan itu adalah bagian dari harga.
c. Harga awal harus termasuk harga yang memiliki padanan.
108
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
109
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
110
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

44
d. Harga awal hendaknya bukan merupakan kompensasi yang sama
termasuk harta riba, karena tambahan keuntungan pada kondisi itu
menjadi riba.
e. Akad pertama haruslah jelas.
Harga awal adalah harga yang harus di bayar pembeli pada saat
akad.
7. Jual-Beli al-Wadhi’ah
Jual beli ini adalah seseorang menjual barangnya dengan harga lebih
renda daripada harga belinya. Jual beli ini sedikit mirip dengan jual beli
murabahah . Jual beli ini secara syar’i adalah boleh.111
8. Jual-Beli al-Wafa’
Jual beli ini adalah sesorang yang sedang membutuhkan uang
menjual properti, dengan ketentuan, kapan ia bisa membayar harganya
maka properti itu dia minta kembali. Syarat ini saja sudah cukup untuk
menjadikan akad ini batil. Sebab bentuk transaksi ini dalam jual beli
merupakan bentuk aguan.112 Dalam kondisi ini tidak halal bagi murtahin
(penerima agunan) mengambil manfaat dari sesuatu yang dia agunkan.
9. Jual-Beli ats-Tsunya
Seseorang boleh menjual barang dan mengecualikan sebagian
darinya secara jelas. Misalnya, Ia menjual pohon dan mengecualikan satu
pohon di antaranya.113
Jabir ra. Bertutur :
“Rasulullah saw. Telah melarang jual beli muhaqalah, muzabanah,
dan ats-tsunya;kecuali diketahui dengan jelas.”
10. Jual-Beli al-Mudhthar
Maksudnya adalah seseorang terpaksa menjual apa yang ada di
tangannya karena hutang yang menjadi kewajibannya atau karena keperluan
tertentu. Ia menjual apa yang ia miliki dengan harga yang lebih rendah dari
111
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
112
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
113
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

45
nilainya.114 Jual-beli seperti ini boleh namun disertai ketidaksukaan. Hal itu
karena hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. Menyatakan :
“Nabi saw. Telah melarang jual-beli terpaksa (bay’ al-mudhtar),
jual beli gharar dan jual beli buah sebelum diketahui.”
11. Jual-Beli al-Iqalah (Pembatalan).
Siapa saja yang membeli sesuatu, kemudian tampak ia tidak
membutuhkan sesuatu itu, atau seseorang menjual sesuatu, kemudian
tampak bahwa ia membutuhkannya,maka bagi masing-masing pihak bisa
meminta pembatalan akad.115 Abu Dawud dan Ibn Majah meriwayatkan
hadis dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. Pernah bersabda ;
“Siapa saja yang membatalkan jual-beli dengan seseorang Muslim
maka Allah memaafkannya”

12. Jual-Beli at-Talji’ah


Jual-beli dengan maksud berpura-pura karena si penjual takut ada
orang zalim yang menginginkan barangnya dan ia berinisiatif untuk
berpura-pura menjual barangnya tersebut ke pembeli yang telah bersepakat
untuk transaksi pura-pura ini. Ketika keadaan kembali aman, si penjual bisa
mengambil kembali barangnya tersebut, jika si pembeli tidak mau
mengembalikan maka si pembeli berdosa di hadapan Allah karena akad
formalistik (pura-pura) hakikatnya batil.116
13. Upah selama Hidup
Bersifat fasad atau batil.
Salah satu contohnya, jual-beli dengan jumlah angsuran, baik
bulanan atau tahunan, tidak jelas karena jumlahnya dikaitkan dengan umur

114
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
115
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
116
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

46
si penjual;sementara usia seseorang tidak ada yang mengetahui kecuali
Allah swt.117

Bukan Jual-Beli, Tetapi Terkait dengan Jual-Beli

1. Penimbunan (Ihtikaar)
Penimbunan secara syar’i dilarang. Penimbunan hukumnya haram.
Hal itu karena adanya larangan yang tegas tentangnya di dalam pernyataan
hadis secara gamblang.118 Diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Said
bin al-Musayyab dari Umar bin Abdullah al-‘Adawi, bahwa Nabi saw.
Pernah bersabda :
“Tidaklah menimbun kecuali orang yang berbuat salah.”
(At-Tirmidzi berkata : “Hadis ma’mar hadis
hasan shahih.”)
Orang yang menimbun (al-muhtakir) adalah orang yang
mengumpulkan baranguntuk menunggu harganya naik hingga ia bisa
menjualnya dengan harga mahal sehingga penduduk negeri itu menjadi sulit
untuk membelinya.119
2. Pematokan Harga
Allah swt. menetapkan bahwa setiap orang berhak menjual
barangnyadengan harga yang ia sukai. Rasulullah bersabda :
“Jual-beli itu tidak lain hanyalah dengan sama-sama ridha”
Akan tetapi, ketika negara berkeinginan mematok harga atas
masyarakat, maka Allah mengharamkan negara mematok harga tertentu atas
barang-barang dan memaksa masyarakat untuk menjual dengan harga yang
dipatok itu. Oleh karena itu, datanglah larangan terhadap pematokan
harga.120

117
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
118
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
119
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
120
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

47
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah : seseorang pernah datang dengan
Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga.” Rasul saw.
Menjawab ;
“Akan tetapi Allahlah Yang menurunkan dan menaikkan
harga.”
( Dikeluaarkan oleh Abu Dawud di dalam sunan-nya (9/319),
Ahmad di Musnad-nya (3/337). Al-Hafizh berkata al-Talkhish (3/14) :
“Diriwayatkan oleh ath-Thabrani di al-Awsath dan perawinya perawi
sahih.” )

48
JENIS JENIS KHIYAR

A. Khiyar dan Akad

Akad Ada Empat Bentuk

Bentuk pertama : akad mengikat yang dituju adalah kompensasi seperti akad
jual – beli, ijarah dan akad – akad yang semakna. Akad ini ada dua jenis :121

1. Akad yang di dalamnya ditetapkan adanya dua jenis khiyar : khiyar majelis
dan khiyar syarat. Ini terjadi pada jual – beli yang tidak disyaratkan
didalamnya ada serah terima di majelis, juga pada shulh dengan makna jual –
beli, hibah dengan kompensasi dan ijarah di bawah jaminan.
2. Akad yang didalamnya disyaratkan adanya serah – terima di majelis.

Bentuk kedua : akad mengikat yang didalamnya tidak dituju diperolehnya


kompensasi, seperti pernikahan dan khulu’. Didalamnya tidak terdapat khiyar. Begitu
juga wakaf dan hibah tanpa kompensasi.122

Bentuk ketiga : akad mengikat dari satu pihak dan hibah tanpa pohak lain,
seperti akad rahn (agunan). Akad rahn mengikat bagi ar rahin (yang mengagunkan)
dan bersifat boleh bagi al murtahin (yang menerima agunan). Di dalamnya tidak
terdapat khiyar. Demikian juga penjamin dan penanggung; keduanya tidak memiliki
khiyar karena keduanya masuk disebabkan oleh keridhaan dan keinginannya.123

Bentuk keempat : akad boleh dari sisi kedua pihak. Misal : syarikah,
mudharabah, ja’alah, wakalah, wadhi’ah, dan wasiat. Akad – akad ini di dalamnya
tidak terdapat khiyar. Hal itu karena kebolehannya dan kemungkinan pembatalannya
dengan asal penetapannya. Kaedahnya adalah, “Siapa saja yang keridhaannya tidak
dijadikan patokan maka tidak ada khiyar baginya.”124

Jenis – jenis khiyar


121
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
122
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
123
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
124
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

49
1. Khiyar majelis.

As Sunnah menetapkan bahwa kedua pihak yang berjual – beli memiliki


khiyar (pilihan) dalam melangsungkan atau membatalkan akad jual – beli selama
keduanya masih berada di majelis yang sama (belum terpisah) . khiyar merupakan
hak yang ditetapkan untuk kedua belah pihak. Jika terjadi ijab dan qabul dari
penjual dan pembeli, dan akadnya telah sempurna, maka masing – masing pihak
memiliki hak untuk mempertahankan akad atau menghapusnya selama masih
berada di satu majelis.125

2. Khiyar syarat.

Khiyar syarat adalah salah satu pihak yang berakad membeli sesuatu dengan
ketentuan ia memiliki khiyar selama jangka waktu yang jelas. Selama jangka
waktu tersebut, jika ia menginginkan, ia bisa melaksanakan jual – beli itu atau
membatalkannya. Syarat ini boleh bagi kedua pihak yang berakad secara bersama
– sama, juga boleh bagi salah satu pihak saja jika ia mempersyaratkannya. 126 Hal
itu sesuai dengan riwayat dari Ibn Umar bahwa Nabi saw. Pernah bersabda :

“masing – masing dari dua orang yang berjual beli tidak ada jual beli bagi
keduanya hingga keduanya berpisah, kecuali jual beli dengan khiyar.”

3. Khiyar karena cacat

Haram bagi seseorang menjual barang yang memiliki cacat tanpa ia jelaskan
kepada pembeli. Cacat mewajibkan adanya khiyar. Begitu juga setiap apa saja
yang menyebabkan berkurangnya nilai dan harga di dalam tradisi para
pedagang.127

Jual beli yang disertai dengan adanya cacat

125
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
126
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
127
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

50
Kapan saja telah sempurna akad dan pembeli mengetahui adanya cacat maka
akad jual beli tersebut mengikat dan tidak ada khiyar bagi pembeli karena ia telah
rela. Adapun jika pembeli tidak mengetahui adanya cacat itu dan baru mengetahuinya
seteah akad maka akad itu sah tetapi tidak bersifat mengikat. Pembeli memiliki khiyar
antara mengembalikan barang yang dia beli dan mengambil kembali harga yang telah
ia bayarkan kepada penjual; kecuali jika ia rela dengan jual – beli itu atau terdapat
sesuatu yang menunjukan kerelaannya, seperti ia menawarkan barang yang ia beli itu
untuk dijual, atau ia memanfaatkannya atau ia melakukan tasharruf lainnya terhadap
barang itu.128

Perselisihan antara penjual dan pembeli

Jika penjual dan pembeli berselisih tentang siapa yang tertimpa cacat disertai
dengan adanya kemungkinan dan tidak ada bukti bagi masing – masing maka
perkataan yang diterima adalah perkataan penjual disertai dengan sumpahnya.
Pembeli berhak mengembalikan barang yang dijual itu juga dengan disertai
sumpahnya. Akhirnya keduanya sama – sama megembalikan jual – beli keduanya.129

Kewajiban Sesuai dengan Jaminan

Jika akad dibatalkan dan barang yang dijual belikan itu memiiki manfaat yang
terjadi selama jangka waktu saat barang itu berada di tangan pembeli, maka manfaat
itu menjadi hak pembeli selama manfaat itu tak lahir sebelum pembeli menguasai
barang itu.130

4. Khiyar at tadlis dalam jual beli

128
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
129
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
130
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

51
Jika penjual mengelabui pembeli sehingga menjadikan harganya bertambah
maka hal itu haram baginya. Dalam hal ini, pembeli memiliki khiyar itu
ditetapkan menjadi miliknya segera (langsung).131 Keharaman itu karena adanya
penipuan dan pengelabuan. Rasul saw. Pernah bersabda :

“siapa saja yang menipu bukanlah termasuk golongan kami”

Jika tadlis (penipuan) itu dilakukan oleh penjual tanpa kesengajaan maka
keharamannya tidak ada. Meski begitu, tetap ada khiyar bagi pembeli untuk
menolak kerugian darinya.132

A. Khiyar al ghabn al fahisy (khiyar al mustarsil)

Khiyar al ghabn al fahisy (khiyar al mustarsil) kadangkala menjadi hak


penjual dan kadangkala menjadi hak pembeli. Kadangkala seseorang membeli
barang seharga 5 dinar padahal barang tersebut sebenarnya hanya bernilai 3
dinar. Jika seseorang menjual atau membeli dan dia ditipu maka ia memiliki
khiyar untuk menarik diri dari jual – beli dan membatalkan akad. Hak itu
dengan syarat ia tidak mengetahui harga barang dan tawar menawar tidak
berlangsung secara baik.133
B. Khiyar ar ru’yah
Kadangkala orang menjual barang, hewan atau kendaraannya;
sementara barang tersebut tidak ada di tempat akad. Kemudian jika pembeli
melihatnya, ia tidak ada hasrat untuk membelinya. Maka supaya ia tidak
mendapatkan kerugian akibat akad itu, Asy – Syari’ menetapkan adanya
khiyar dalam melanjutkan akad atau menghapusnya.134 Makhul meriwayatkan
bahwa nabi saw. Pernah bersadba :

131
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
132
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
133
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
134
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

52
“ siapa saja yang membeli sesuatu dan ia belum melihatnya maka ia
memiliki khiyar jika melihatnya ; jika ingin, ia boleh mengambilnya; jika
ingin ia pun boleh meninggalkannya”.

C. Khiyar at Ta’yin

Maknanya, seseorang membeli sejumlah barang yang berbeda nilainya


dari sekumpulan barang yang jumlahnya lebih daripada yang ia beli; atau ia
membeli satu dari sekumpulan barang yang berbeda nilainya. Dalam hal ini, ia
diberi khiyar at ta’yin untuk menentukan barang yang ia kehendaki.135

Kondisi barang sebelum, sesudah serah terima dan selama masa khiyar

Rusaknya barang yang dijual sebelum serah – terima136

Jika barang rusak seluruhnya atau sebagiannya sebelum serah terima


karena perbuatan pembeli maka jual beli tersebut tida fasakh (batal) dan
akadnya tetap seperti sedia kala. Pembeli wajib membayar harga secara
keseluruhan karena ia yang menyebabkan barang tersebut rusak.

Rusaknya Barang Setelah Serah Terima137

jika barang rusak setelah serah terima maka itu termasuk tanggung
jawab pembeli dan ia terikat untuk membayar harganya kepada penjual jika
tidak ada khiyar bagi penjual. Jika terdapat khiyar untuk penjual maka
pembeli terikat untuk membayar nilainya atau mengembalikan barang yang
semisal . nilai barang itu adalah harganya di pasar. Harga itu bisa naik dan
turun. Harga yang disepakati pada saat akad tidak bisa bertambah atau
berkurang. Barang yang semisal adalah barang yang menyerupai barang yang

135
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
136
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
137
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

53
rusak itu jika barang itu termasuk arang yang didasarkan pada zatnya dan
bukan didasarkan pada nilainya.

Pemindahan kepemilikan selama jangka waktu khiyar 138


Jika akad itu diadakan dan memnuhi rukun – rukun dan syarat – syarat
syahnya maka harus dilihat : jika barang yang dijual itu barang yang ditakar,
ditimbang atau dihitung, seperti hewan atau properti, maka kepemilikannya
berpindah semata – mata setelah diakadkan akad jual belinya, selama tidak
ada penghalang yang menghalangi untuk diserahterimakan, baik berupa
khiyar bagi keduanya (penjual dan pembeli) atau bagi salah satu dari
keduanya. Akan tetapi, akad itu tidak bersifat mengikat bagi orang yang
memiliki khiyar.

Tambahan dalam Barang Selama Jangka Waktu Khiyar


Tambahan di dalam barang yang dijual itu ada dua jenis : tambahan
yang berkaitan dan tambahan yang terpisah. Jika akad dibatalkan maka barang
dikembalikan kepada penjual. Sebaliknya, jika akad tetap dilanjutkan maka
barang itu milik pembeli.

Tasharruf Terhadap Barang yang Dijual Selama Jangka Waktu


Khiyar139

Hal itu tidak akan lepas dari apakah pembeli telah menerima barang
yang dijual itu atau ia belum menerimanya. Jika ia telah menerimanya dan ia
melakukan tasharruf atasnya dengan tasharruf yang memindahkan
kepemilikan seperti jual beli, hibah; atau memandaatkannya seperti
penyewaan; atau menahannya seperti agunan; sementara khiyar adalah
milihnya- maka tasharrufnya itu sah, sementara khiyarnya batal. Jika ia
menjualnya dengan mendaoat keuntungan maka keuntungan itu adalah milik

138
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
139
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

54
IJARAH
Ijarah berasal dari kata al-ajru. Secara bahasa, al-ajru di dunia adalah
kompensasi, al-ajru di akhirat adalah pahala. Secara istilah syariah Ijarah adalah akad
atas manfaat/jasa dengan suatu kompensasi. Manfaat tersebut bisa terealisasi pada benda
(sewa rumah) ataupun pada tenaga manusia (sewa pembantu/buruh/insinyur).

Pihak yang menyewakan sesuatu (pemilik rumah) disebut mu’ajir. Orang yang
membayar upah kepada pemilik rumah/kepada insinyur disebut musta’jir. Sesuatu yang
diakadkan (menjadi obyek akad Ijarah) adalah manfaat disebut ma’jur. Pihak yang
mengerahkan tenaganya disebut ajir. Sesuatu yang dibayarkan sebagai kompensasi atas
manfaat itu disebut ajr[an] atau ujrah. Ketika akad Ijarah terjadi secara sempurna maka
ditetapkan hak kepemilikan musta’jir atas manfaat yang di akadkan dan ditetapkan
kepemilikan mu’ajir terhadap ujrah karena akad Ijarah adalah akad pertukaran (‘aqd
mu’awadhah).

Pensyariatan Ijarah

Allah SWT berfirman :

Jika mereka menyusukan (anak-anak) kalian untuk kalian maka


berikanlah kepada mereka upahnya (QS Ath-Thalaq [65]:6)

Rukun-rukun Ijarah140

1. Ijab dan qabul dengan lafal Ijarah/sewa atau dengan yang maknanya sama
2. Dua pihak yang berakad. Keduanya disyaratkan memiliki kelayakan
melangsungkan akad, yaitu keduanya harus berakal
3. Obyek yang diakadkan harus bisa dimanfaatkan.

140
As-Sabatin, Yusuf. Bisnis Islami. (Bogor : Al Azhar, 2011). Perihal. 323

55
Syarat-Syarat Sah Ijarah

1. Adanya kerelaan kedua pihak. Seandainya salah satu dipaksa atas Ijarah itu maka
akadnya tidak sah. Allah SWT berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS. An-Nisa’
[4]:29)
2. Pengetahuan akan manfaat yang diakadkan dengan pengetahuan yang
menghilangkan perselisihan. Pengetahuan itu bisa diperoleh dengan melihat
benda yang ingin disewa atau dengan deskripsi, atau dengan spesifikasi;
penjelasan jangka waktu Ijarah (satu bulan, satu tahun, dll); dan penjelasan
pekerjaan yang diminta.
3. Pekerjaan yang diakadkan haruslah berada dalam batas kemampuan untuk
dipenuhi hakikatnya secara syar’i. Properti milik bersama yang mungkin dibagi
manfaatnya maka sah dilakukanIjarah didalamnya.
4. Manfaat tersebut haruslah manfaat yang mubah (boleh), bukan haram dan bukan
pula wajib. Tidak sah Ijarah akan kemaksiatan. Tidak boleh Ijarah untuk
membawa khamr bagi orang yang membelinya atau orang yang memerasnya.
Tidak boleh Ijarah untuk membawakan babi atau bangkai 141. Tidak boleh pula
Ijarah atas pekerjaan yang termasuk aktivitas ribawi 142.

Dengan demikian, aktivitas yang haram dilakukan, haram pula dikontrak kerjakan
atau menjadi pekerja di dalamnya. Seorang muslim boleh mempekerjakan orang kafir. Ia
juga boleh bekerja kepada orang kafir. Orang kafir boleh bekerja kepada orang Muslim
dan boleh juga mempekerjakan orang Muslim. Juga boleh melakukan Ijarah atas seluruh

141
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (3/589)
142
Dikeluarkan oleh Muslim di Shahih-nya (3/1218)

56
bentuk manfaat yang tidak ada larangan atasnya, baik terdapat nash yang menyatakan
kebolehannya ataupun tidak ada.

Ta’lim (Pengajaran)

Seseorang boleh mempekerjakan seorang pengajar untuk mengajari anak-


anaknya atau orang yang ia kehendaki untuk mendapat pengajaran, terutama pengajaran
Al-Quran.

Diriwayatkan dari Nabi SAW, beliau pernah bersabda :

>>ِ ‫ق َما أَ َخ ْذ تُ ْم َعلَ ْي ِه أَجْ رًا ِكتَا بُ هَّللا‬


َّ ‫<< اِ َّن اَ َح‬
Sesungguhnya yang paling pantas untuk kalian ambil upah atasnya
adalah (mengajarkan Kitabullah)143.

Pengobatan

Upah seorang dokter hukumnya boleh karena merupakan manfaat/jasa yang


mungkin untuk didapatkan oleh musta’jir. Akan tetapi, tidak boleh melakukan Ijarah atas
kesembuhan karena itu berarti bekerja atas sesuatu yang tidak jelas.

Manfaat yang Umum

Setiap manfaat/jasa yang manfaatnya bukan terbatas untuk individu, tetapi untuk
masyarakat dan masyarakat yang membutuhkan manfaat itu, maka manfaat tersebut
termasuk bagian dari kemaslahatan umum yang wajib disediakan oleh Baitul Mal bagi
seluruh masyarakat. Contoh : penguasa mempekerjakan seorang qadhi untuk
memutuskan perkara ditengah masyarakat dengan gaji bulanan; penguasa
mempekerjakan para pegawai sebagai direktorat negara.

Ajir Khash dan Ajir Musytarak

Jika akad dinyatakan atas manfaat pekerjaan, maka obyek akadnya adalah
manfaat yang dihasilkan dari pekerjaan, pekerja tersebut adalah al-ajir al-khash. Dan jika

143
Dikeluarkan oleh al-Bukhari secara maushul di kitab ath-thib (Fath al-Bari, 10/198)

57
akad Ijarah itu dinyatakan atas manfaat seseorang, maka obyek yang diakadkan adalah
manfaat/jasa seseorang itu, pekerja itu disebut al-ajir al-musytarak atau al-ajir al-‘am.

Pembatasan (Penentuan) Pekerjaan

Di dalam Ijarahal-ajir (kontrak kerja) harus ada pembatasan (penentuan)


pekerjaan, jangka waktu, upah dan tenaga. Juga harus ada penjelasan tentang jenis
pekerjaannya agar menghilangkan ketidakjelasan (kemajhulan), dan penentuan upah
pekerja. Juga harus ada pembatasan tenaga yang harus dikerahkan oleh pekerja 144, tapi
karena tenaga itu tidak mungkin ditentukan dengan ukuran yang hakiki maka penentuan
waktu kerja adalah standar paling mendekati untuk menentukan kadar tenaga dalam satu
hari.

Jenis Pekerjaan

Semua pekerjaan yang halal boleh dilakukan Ijarah di dalamnya (perdagangan,


pertanian, industri, pelayanan, perwakilan (wakalah)). Jika seseorang telah menerima
suatu pekerjaan lalu ia mensubkontrakkan pekerjaan itu kepada orang lain dengan upah
lebih kecil dan ia mengambil untung selisihnya maka hukumnya boleh, baik ia membantu
pihak kedua itu dengan sesuatu ataupun tidak.

Upah Pekerjaan

Kompensasi Ijarah itu boleh berupa uang dan boleh berupa kompensasi selain
uang, baik berupa barang ataupun jasa, dengan syarat harus jelas. Jika kompensasi itu
tidak jelas (majhul) maka Ijarah itu tidak sah, dan upah itu harus sudah fix disepakati
sebelum memulai pekerjaan145, makruh mempekerjakan pekerja sebelum dipastikan
upahnya.

Tenaga yang Dikerahkan dalam Pekerjaan

Akad di dalam Ijarah al-ajir (kontrak kerja) terjadi atas manfaat tenaga/jasa yang
dicurahkan, tenaga itu sendiri tidak menjadi standar manfaat/jasa. Sebab jika tenaga

144
Dikeluarkan oleh al-Bukhari di Shahih-nya (Fath al-Bari, 13/251)
145
Diriwayatkan oleh Ibn Abiy Syaibah (6/303)

58
menjadi standar niscaya upah tukang batu lebih besar daripada upah insinyur, padahal
faktanya adalah sebaliknya. Jadi, tenaga sama sekali tidak dijadikan acuan.

Persyaratan Penyegeraan dan Penundaan Upah

َ ‫<< أُ ْعطُ ْوااأْل َ ِخ ْي َرأَجْ َرهُ قَ ْب َل اَ ْن يَ ِج‬


>>ُ‫ف ُعرْ قُه‬
Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya 146.

Wajib Dibayarkannya Upah

1. Dengan selesainya pekerjaan


2. Terpenuhinya manfaat
3. Dengan dimungkinkannya memanfaatkan manfaat/jasa jika jangka waktu yang di
dalamnya dimungkinkan mengambil manfaat/jasa itu telah berlalu
4. Secara riil disegerakan atau kesepakatan kedua pihak untuk disegerakan meski
pekerjaan atau manfaatnya belum dipenuhi

146
Diriwayatkan oleh Ibn Majah di Sunan-nya

59
AL-QARDH (HUTANG)

Definisi

Al-qardh (hutang) adalah harta yang diberikan kreditor (pemberi hutang)


kepada debitor (yang berhutang) untuk dikembalikan kepadanya sama dengan yang
diberikan pada saat debitor mampu mengembalikannya. Secara bahasa makna asalnya
adalah al-qath'u (memutus). Harta yang diambil oleh debitor disebut hutang (al-
qardh) karena kreditor memotongnya dari harta miliknya.147

Pensyariatannya

Al-Qardh merupakan salah satu aktivitas taqarrub kepada Allah SWT karena
di dalamnya terdapat unsur kelembutan dan kasih sayang kepada manusia,
mempermudah urusan dan meringankan beban kesulitan mereka.148

Akad Hutang

Akad hutang merupakan akad pemindahan kepemilikan. Jadi, akad hutang itu
tidak sempurna, kecuali dilakukan oleh orang yang boleh melakukan tasharruf. Akad
tersebut tidak terealisasi kecuali dengan adanya ijab dan qabul, seperti halnya akad
jual-beli. Debitor (orang yang meminjam) boleh mengembalikan dengan harta yang
semisal atau fisik barang harta itu sendiri selama belum berubah dengan adanya
tambahan atau pengurangan. Jika telah berubah maka wajib dikembalikan dengan
harta yang semisal. Akad hutang termasuk akad yang tidak sempurna kecuali dengan
adanya serah-terima.149

147
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
148
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
149
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

60
Sesuatu yang Sah untuk Dihutang

Boleh menghutang pakaian dan hewan. Terdapat di dalam hadis dari Abu
Rafi', bahwa Rasulullah saw. pernah menghutang seekor anak unta, lalu datang
kepada Beliau unta zakat. Abu Rafi' berkata: Beliau menyuruhku untuk
mengembalikan anak unta laki-laki itu. Aku berkata, "Sesungguhnya aku tidak
menemukan di dalam unta ini kecuali ia adalah unta pilihan." Nabi saw. bersabda:
"Berikan kepadanya. Sesungguhnya di antara manusia yang paling baik adalah yang
paling baik pengembalian hutangnya."150

Boleh juga menghutang harta yang ditakar atau ditimbang atau barang yang
menjadi komoditas perdagangan.

Setiap hutang yang memberikan manfaat adalah riba. Yang diinginkan dari
akad hutang tidak lain adalah kelemahlembutan kepada manusia, membantu mereka
atas berbagai urusan hidup dan mempermudah sarana-sarana kehidupan. Akad hutang
tidak dimaksudkan sebagai sarana untuk mendapat penghasilan, juga bukan
dimaksudkan sebagai cara melakukan eksploitasi. Atas dasar itu, debitor tidak boleh
mengembalikan kepada kreditor kecuali yang dia hutangi atau yang semisalnya.

Penyegeraan Pembayaran Hutang Sebelum Meninggal

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada


Rasulullah saw. tentang saudaranya yang meninggal dan memiliki tanggungan
hutang. Rasulullah saw. bersabda: "Dia tertahan dengan hutangnya. Karena itu, lunasi
hutangnya." Orang itu berkata: "Ya Rasulullah, telah aku lunasi kecuali dua dinar.
Seorang wanita mengklaimnya, namun ia tidak memiliki bukti." Nabi saw. bersabda:
"Berikan kepadanya sesungguhnya ia berhak."151

150
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
151
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

61
Orang Kaya Memperlambat Pembayaran Hutang Merupakan Kezaliman

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda: "Orang kaya
memperlambat pembayaran hutang merupakan kezaliman. Jika salah seorang di
antara kalian ditawari hawalah terhadap orang kaya maka hendaknya ia terima."152

Sunnah Memberi Tangguh kepada Orang yang Kesulitan153

Allah SWT berfirman: "Jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu lebih baik bagi kalian jika kalian tahu." (QS al-Baqarah [2]: 280)

Menggugurkan dan Mempercepat

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa tatkala Nabi saw. memerintahkan


pengusiran Bani Nadhir, orang dari mereka mendatangi Beliau. Orang itu berkata:
"Ya Nabi Allah, sesungguhnya engkau memerintahkan untuk mengusir kami,
sementara kami masih memiliki piutang yang menjadi tanggungan orang-orang dan
belum lunas." Nabi saw. bersabda: "Gugurkan hutang itu dan bergegaslah kalian."154

Maknanya, "Gugurkanlah hutang milik kalian," dengan makna lain,


"Kurangilah hutang yang menjadi milik (hak) kalian, ambillah sisanya dan
bergegaslah kalian keluar." Maksudnya, bukanlah agar mereka mengurangi hutang
milik mereka sebagai kompensasi pelunasan yang dilakukan para debitor sebelum
waktu jatuh temponya. Sebab, seandainya maknanya demikian, niscaya itu mirip
dengan apa yang dilakukan oleh para pedagang saat ini. Mereka menjual secara
kredit. Kemudian mereka memikat para debitor;siapa yang membayar angsuran
sebelum waktu jatuh temponya, mereka akan mengurangi nisbah tertentu dari dari

152
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
153
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.
154
As-Sabatin , Yusuf. (2011) Bisnis Islami. Bogor: Al Azhar.

62
hutang orang itu. Ini merupakan riba nasi'ah. Adapun kejadian di dalam hadis
tersebut merupakan kejadian yang bersifat khusus dan tidak bisa dijadikan dasar
melakukan qiyas.

63
Daftar Pustaka

Hendi,Suhendi,Fiqih Muamalah, (Jakarta:PT RajaGarafindo Persada  2005)


Http//wikipedia.com
 Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara : 2004)
 Http//wikipedia.com
[5] Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara,2004)
 Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah,Pena Pundi Aksara : (jakarta: Pena Pundi
Aksara,2004)
 Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah, (jakarta: Pena Pundi Aksara ,2004)
 Ghufran, Masadi, Fiqih Muamalah Konstektual,  PT RajaGarfindo Persada :
( Jakarta : 2002)
 Sayyid, Sabiq,Fiqih Sunnah,Pena Pundi Aksara : (jakarta:2004)
 Hendi,Suhendi,Fiqih Muamalah,PT RajaGarafindo Persada : (Jakarta 2005)

Anda mungkin juga menyukai