Anda di halaman 1dari 11

RINGKASAN MATERI KULIAH

“Etika Bisnis, Korporasi dan Stakeholders EksternalKode Etik Profesi


Akuntansi I”

Disusun oleh:

Wahyu Kartika Larasati (216020301111012)

Meilenia Rahma Salisa (2146000139)


Ignatius Sahala Limbong (216020301111014)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PENDIDIKAN MAGISTER AKUNTANSI


MALANG

2021

Business Ethics (Weiss, 2016)

Chapter 4 The Corporation and External Stakeholders

Membuka komunikasi yang baik antara perusahaan dengan stakeholder eksternal seperti bank,
customer, pemegang saham merupakan salah satu cara untuk membentuk hubungan yang sehat.
Dimana dalam hal ini ternyata hubungan yang baik dapat meningkatkan nilai dari perusahaan di
mata publik. Seperti contoh Perusahaan JTX yang terkena skandal hacker samai database
customernya disalahgunakan, perusahaan dalam kurun waktu yang lama akhirnya dapat
mengembalikan kepercayaan publik.

Hubungan baik ini merupakan salah satu bentuk ethics behaviour yang harus selalu dijaga oleh
perusahaan. Ethics behavour sendiri selain diterapkan dalam hal berkomunikasi dengan
stakeholder eksternald dan internal namun juga harus selalu dipegang dalam tiap pengambilan
keputusan. Seperti halnya perusahaan JTX, dimana manajemen membuat keputusan untuk
meminta maaf secara publik, memberi ganti rugi dan memperbaiki sistem.

Chapter 5 Corporate Responsibilities, Consumer Stakeholders, and The Environment

Dalam melakukan pelaporan selain bidang keuangan, perusahaan biasanya memberi tambahan
informasi mengenai sustainability report baik yang berdampak terhadap lingkungan maupun
masyarakat. Susrainability tidak hanya berupa filantropi perusahaan, namun juga program
komunitas, dan lobi politik, tetapi juga aspek desain produk, kebijakan perekrutan, dan
pelaksanaan proyek. Hal tersebut diperlukan untuk memberikan nilai pada perusahaan, dimana
perusahaan tidak hanya dinilai mencari keuntungan saja namun juga menerapkan prinsip triple
botom lines. Keith Davis berpendapat bahwa tanggung jawab sosial perusahaan didasarkan pada
kekuatan sosial, dan bahwa "jika sebuah bisnis memiliki kekuatan, maka hubungan yang adil
menuntut bahwa bisnis juga memikul tanggung jawab atas tindakannya di bidang ini."

Bisnis pada masa ini mendapatkan beberapa tuntutan dari masyarakat, dimana perusahaan tidak
boleh hanya berfokus pada keuntungan, tetapi harus mengadopsi pendekatan yang lebih holistik
untuk melakukan bisnis. Dalam hal tersebut sebenarnya tidak ada yang salah dengan mencari
keuntungan, tetapi agar perusahaan mampu berkembang, sustain, dan dinilai sehat oleh pasar,
maka perusahaan juga harus memberikan keyakinan pada pasar lewat sustainability report.

Chapter 6 The Corporation and Internal Stakeholders

Selain berfokus dengan pihak eksternal, menjaga hubungan dan kestabilan internal juga tidak
boleh dikesampingkan oleh perusahaan. Hal tersebut penting guna mewujudkan tujuan, visi, nilai
dan terlaksanyanya misi untuk mencapai tiga hal tersebut. Memimpin sebuah organisasi dimulai
dengan mengidentifikasi dan menetapkan tujuan dan nilai-nilai etika yang penting bagi
keselarasan internal, efektivitas pasar eksternal, dan tanggung jawab terhadap pemangku
kepentingan.

Chapter 7 Employee Stakeholders and the Corporation

Sistem kompensasi yang sesuai bagi para eksekutif dan profesional merupakan salah satu bentuk
kontrol untuk mengurangi adanya pelanggaran etika. Adanya pelanggaran etika sendiri sudah
diprediksi dalam teori keagenan yang berupa adanya self-interest dari masing-masing pihak dan
kondisi asymetri information yang meningkatkan kesempatan terjadinya pelanggaran etika
tersebut. Sehingga selain kontrol berupa pelaporan yang baik, perusahaan perlu memberikan
kontrol berupa insentif. Insentif ini dinilai dapat menciptakan nilai perusahaan jangka panjang,
dan untuk mendorong partisipasi aktif dalam efektivitas hukum, etika, dan bisnis perusahaan.
Hal tersebut dapat terjadi jika kompensasi diukur berdasarkan kinerja dan keuntungan dari
perusahaan.

Etika adalah salah satu unsur utama dari profesi yang menjadi landasan bagi akuntan dalam
menjalankan kegiatan profesionalnya. Akuntan memiliki tanggung jawab untuk bertindak sesuai
dengan kepentingan publik. Tanggung jawab Akuntan tidak hanya terbatas pada kepentingan
klien individu atau organisasi tempatnya bekerja.
Tiga organisasi profesi akuntan di Indonesia, yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Institut
Akuntan Publik Indonesia (IAPI), dan Institut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI) pada tahun
2020 telah mengeluarkan Kode Etik Akuntan Indonesia yang menjadi panduan etik bagi para
akuntan di Indonesia, baik bagi akuntan yang bekerja di bisnis atau akuntan yang berpraktek
melayani publik. Kode Etik Akuntan Indonesia diadopsi dari Handbook of International Code of
Ethics for Professional Accountants 2018 edition yang diterbitkan oleh International Ethics
Standard Board for Accountants (IESBA) dari International Federation of Accountants (IFAC).

Prof. Dr. Adji Suratman, salah satu anggota penyusun KEAI, perwakilan IAMI ini mengungkapkan
saat sosialisasi KEAI di kalangan akademisi yang dihadiri 324 peserta dari IAI Cabang Jakarta
dan STIE YAI, yang dilakukan secara online video conference, 25 Juni 2020, Kode Etik itu
berlaku efektif per 1 Juli 2020. Sebagai tim penyusun, Adji juga banyak terlibat di berbagai
sosialisasi KEAI seperti di kalangan profesi, yang dihadiri 1.797 peserta dari IAI, IAPI, dan
IAMI, dan PPPK Kemenkeu, berlangsung secara on-line, di Jakarat 18 Mei lalu. Dan sosialisasi
di praktisi bisnis, yang digelar IAMI di hadiri 186 peserta, berlangsung di Jakarta, 13 Juni lalu.

Kode Etik Akuntan Indonesia (KEAI) ini terdiri dari empat bagian, dimana Bagian 1 berisi
kepatuhan terhadap Kode Etik, Prinsip Dasar Etika, dan Kerangka Konseptual. Ini berlaku untuk
seluruh akuntan professional. Bagian 2 mengatur Akuntan yang bekerja di bisnis. Bagian 3 dan
4, berlaku untuk akuntan yang berpraktik melayani publik. “KEAI berlaku efektif per 1 Juli 2020
untuk bagian 1, 2, 3, dan 4A dan 4B. Sedangkan bagian 4A seksi 540, audit dan review laporan
keuangan berlaku efektif per 1 Januari 2022,” terang Adji Suratman.

Terdapat 5 prinsip dasar etik akuntan menurut Kode Etik Akuntan Indonesia seksi 110 yang
wajib dipatuhi oleh akuntan di Indonesia:

Integritas

Integritas yaitu bersikap lugas dan jujur dalam semua hubungan profesional dan bisnis. Integritas
menyiratkan berterus terang dan selalu mengatakan yang sebenarnya. Seorang akuntan dilarang
untuk menyampaikan informasi : 

(a) Berisi kesalahan atau pernyataan yang menyesatkan secara material;

(b) Berisi pernyataan atau informasi yang dibuat secara tidak hati-hati; atau
(c) Terdapat penghilangan atau pengaburan informasi yang seharusnya diungkapkan, sehingga
akan menyesatkan.

Objektivitas

Objektivitas adalah tidak mengompromikan pertimbangan profesional atau bisnis karena adanya
bias, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak semestinya dari pihak lain. Seorang
akuntan tidak boleh melakukan aktivitas profesional jika suatu keadaan atau hubungan terlalu
memengaruhi pertimbangan profesionalnya atas aktivitas tersebut.

Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional

Kompetensi yaitu Mencapai dan mempertahankan pengetahuan dan keahlian profesional pada
level yang disyaratkan untuk memastikan bahwa klien atau organisasi tempatnya bekerja
memperoleh jasa profesional yang kompeten, berdasarkan standar profesional dan standar teknis
terkini serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; sedangkan Kehati-hatian
Profesional artinya Bertindak sungguh-sungguh dan sesuai dengan standar profesional dan
standar teknis yang berlaku.

Kerahasiaan

Kerahasiaan yaitu menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari hasil hubungan profesional
dan bisnis. Dalam menjaga kerahasiaan ini, seorang akuntan harus:

(a) Mewaspadai terhadap kemungkinan pengungkapan yang tidak disengaja, termasuk dalam
lingkungan sosial, dan khususnya kepada rekan bisnis dekat, anggota keluarga inti, atau keluarga
dekat;

(b) Menjaga kerahasiaan informasi di dalam Kantor atau organisasi tempatnya bekerja;

(c) Menjaga kerahasiaan informasi yang diungkapkan oleh calon klien atau organisasi tempatnya
bekerja;

(d) Tidak mengungkapkan informasi rahasia yang diperoleh dari hubungan profesional dan
bisnis di luar Kantor atau organisasi tempatnya bekerja tanpa kewenangan yang memadai dan
spesifik, kecuali jika terdapat hak atau kewajiban hukum atau profesional untuk
mengungkapkannya;
(e) Tidak menggunakan informasi rahasia yang diperoleh dari hubungan profesional dan
hubungan bisnis untuk keuntungan pribadi atau pihak ketiga;

(f) Tidak menggunakan atau mengungkapkan informasi rahasia apapun, baik yang diperoleh atau
diterima sebagai hasil dari hubungan profesional atau bisnis maupun setelah hubungan tersebut
berakhir; dan

(g) Melakukan langkah-langkah yang memadai untuk memastikan bahwa personel yang berada
di bawah pengawasannya, serta individu yang memberi advis dan bantuan profesional, untuk
menghormati kewajiban Anggota guna menjaga kerahasiaan informasi.

Namun demikian, prinsip kerahasiaan dikecuali untuk hal-hal berikut ini :

(a) Pengungkapan disyaratkan oleh hukum, misalnya:

(i) Pembuatan dokumen atau ketentuan lainnya atas bukti dalam proses hukum; atau

(ii) Pengungkapan kepada otoritas publik yang berwenang atas terjadinya indikasi pelanggaran
hukum;

(b) Pengungkapan diizinkan oleh hukum dan diperkenankan oleh klien atau organisasi
tempatnya bekerja; dan

(c) Terdapat kewajiban atau hak profesional untuk mengungkapkan, jika tidak dilarang oleh
hukum:

(i) Untuk mematuhi penelaahan mutu oleh asosiasi profesi;

(ii) Untuk merespons pertanyaan atau investigasi oleh asosiasi profesi atau badan regulator;

(iii) Untuk melindungi kepentingan profesional Anggota dalam proses hukum; atau

(iv) Untuk mematuhi standar profesional dan standar teknis, termasuk persyaratan etika.

Perilaku Profesional

Perilaku Profesional adalah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menghindari
perilaku apapun yang diketahui oleh akuntan mungkin akan mendiskreditkan profesi akuntan. Akuntan
tidak boleh terlibat dalam bisnis, pekerjaan, atau aktivitas apapun yang diketahui merusak atau mungkin
merusak integritas, objektivitas, atau reputasi baik dari profesi, dan hasilnya tidak sesuai dengan prinsip
dasar etikaKODE ETIK GLOBAL (IESBA)

Terdapat lima prinsip dasar etika professional akuntan:

Integritas – bersikap lugas dan jujur dalam semua hal professional dan hubungan bisnis.

Objektivitas – tidak berkompromi dan mudah dipengaruhi oleh konflik kepentingan atau
pengaruh yang tidak semestinya dari yang lain.

Kompetensi Profesional dan Kehati-hatian untuk:

Mencapai dan mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional di tingkat yang


diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pekerja organisasi menerima jasa profesional
yang kompeten berdasarkan standar dan perundang-undangan yang relevan; dan

Bertindak dengan tekun dan sesuai dengan teknik dan standar profesional.

Kerahasiaan – untuk menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari
hubungan profesional dan bisnis.

Profesionalitas – untuk mematuhi hukum dan peraturan yang relevan serta menghindari perilaku
yang dapat mendiskreditkan profesi. akuntan

Seorang akuntan profesional harus mematuhi masing-masing prinsip. Prinsip dasar etika
menetapkan standar perilaku yang diharapkan dari seorang akuntan profesional. Kerangka
konseptual menetapkan pendekatan yang harus diterapkan oleh akuntan untuk membantu dalam
mematuhi prinsip-prinsip dasar tersebut.

Seorang akuntan profesional mungkin menghadapi situasi di mana kepatuhan dengan satu
prinsip dasar bertentangan dengan mematuhi satu atau prinsip-prinsip dasar lainnya. Dalam
situasi seperti itu, akuntan mungkin mempertimbangkan untuk berkonsultasi, secara anonim jika
perlu, dengan:

● Orang lain di dalam perusahaan atau organisasi tempatnya bekerja.

● Pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola.


● Badan profesional.

● Badan pengawas.

● Penasehat hukum.

Namun, konsultasi tersebut tidak membebaskan akuntan dari tanggung jawab untuk
melaksanakan penilaian profesional untuk menyelesaikan konflik kecuali dilarang oleh undang-
undang atau peraturan. Akuntan profesional didorong untuk mendokumentasikan substansi
masalah, perincian setiap diskusi, keputusan yang dibuat, dan alasan untuk keputusan tersebut.

REVIEW JURNAL: A UNIVERSAL CODE OF ETHICS FOR PROFESSIONAL


ACCOUNTANTS: RELIGIOUS RESTRICTIONS.

PENDAHULUAN

Bisnis telah berkembang secara global dan perusahaan multinasional cenderung mendominasi
ekonomi sehingga memperkuat kepercayaan dalam profesi akuntansi di seluruh dunia sangat
penting. Dalam hal ini, internasionalisasi dan harmonisasi profesi akuntansi dan studinya telah
memperoleh peningkatan minat dalam beberapa dekade terakhir. Internasionalisasi profesi
akuntansi membutuhkan konvergensi baik dari segi aspek teknis profesi maupun dalam aspek
pelatihan dan etika. Dalam hal ini, proses harmonisasi juga memusatkan perhatiannya pada
pencapaian konsensus mengenai hal-hal mengenai standar umum perilaku untuk para
profesional. Oleh karena itu, dalam lingkungan pasar global saat ini, kode etik internasional
menerima perhatian yang cukup besar di antara penelitian.

Agama adalah salah satu pengaruh terkuat dalam perilaku individu. Dalam hal ini, keyakinan
agama bisa dikompilasi dalam arti tertentu dalam Kode Etik. Kode etik adalah ekspresi penting
dari nilai-nilai masyarakat dimiliki oleh individu. Di samping itu, agama menawarkan nilai-nilai
etika tertentu untuk masyarakat. Oleh karena itu, hambatan harmonisasi kode etik dapat muncul
dari perbedaan antara nilai moral dan etika yang tercermin dalam kode etik dan nilai-nilai agama
yang dianut oleh individu.

TINJAUAN LITERATUR
Literatur akademis telah mencoba membangun pengaruh agama dalam hasil etika. Ideologi
agama memengaruhi penilaian individu tentang benar dan salah (Rest, 1986). Brammer,
Williams, dan Zinkin (2007, P. 229) menunjukkan bahwa agama yang terorganisir telah berusaha
memainkan peran penting dalam membangun dan menyebarluaskan moral dan etika yang
konsisten dengan doktrin agama yang menawarkan panduan praktis untuk mereka yang terlibat
dalam bisnis mengenai perilaku etis.

Meskipun beberapa ahli etika barat telah mengabaikan tradisi agama dari etika bisnis (Calkins,
2000), semakin banyak literatur telah berusaha untuk mengatasi pengaruh agama dalam etika
bisnis (Epstein, 2002; Graafland, Kaptein, & Schouten, 2006). Bartels (1967, p. 23) yang
mengamati bahwa budaya dan agama berpengaruh pada keputusan bisnis yang berada di luar
ranah ekonomi murni. Hunt dan Vitell (1993) mengusulkan model untuk pengambilan keputusan
etis di mana mereka agama dan karakteristik pribadi memengaruhi persepsi dalam penyelesaian
masalah, alternatif, dan konsekuensinya. Menurut model ini, keberagamaan dapat memengaruhi
serangkaian kemungkinan alternatif yang dirasakan individu untuk menyelesaikan masalah etika.

Literatur akademis telah membahas pengaruh agama pada etika bisnis melalui aliran yang
beragam. Khususnya di bidang etika akuntansi, Keller, K. T. Smith, dan M. S. Smith (2007)
melakukan survei antara mahasiswa akuntansi USA yang mengungkapkan bahwa agama adalah
dasar yang kuat untuk membuat keputusan etis. Ho (2009) menemukan bahwa mahasiswa
akuntansi di Taiwan dengan keyakinan agama mengungkapkan tingkat yang lebih tinggi dari
kemampuan penalaran etis. Namun, agama tidak hanya dapat memengaruhi etika pengambilan
keputusan, tetapi juga dapat memengaruhi perilaku yang diharapkan dari individu. Dalam hal ini,
agama adalah elemen dalam mendefinisikan kode etik. Seperti Graafland et al. (2006, p. 55)
menyarankan, harapan orang terhadap orang lain akan dipengaruhi oleh keyakinan agama
mereka.

Kode Etik IFAC untuk Akuntan Profesional telah dikembangkan dan dikeluarkan oleh
International Dewan Standar Etika Akuntan (IESBA). IESBA adalah badan penetapan standar
independen yang didukung oleh IFAC. Meskipun IESBA menetapkan persyaratan etika untuk
akuntan profesional di seluruh dunia, anggota dewan (IFAC, 2012) sebagian besar ahli dari
negara-negara Anglo-Saxon dan Eropa Barat.
Di negara-negara barat, agama yang dominan adalah Kristen. Kekristenan masih menjadi agama
utama di Barat dan berfungsi sebagai kerangka kerja etis bagi banyak orang dalam kehidupan
pribadi mereka (Kim, Fisher, & McClaman,2009, hal. 116). Secara umum, McMahon (1986),
Calkins (2000, hal. 343) mengklaim bahwa agama Kristen dan Yahudi telah membentuk etika
bisnis Barat melalui pengaruh mereka pada hukum dan budaya. Dengan demikian, pembuat
standar etika mungkin terpengaruh oleh perspektif moral Kristen dan ini,yang tercermin dalam
Kode Etik. Kode Etik mencakup seperangkat nilai dan prinsip yang

harus dipatuhi oleh akuntan profesional dan yang mungkin dipengaruhi oleh landasan agama.
dari:

PEMBAHASAN

Judul dan keseluruhan isi dari penelitian ini cukup menarik, hal ini dikarenakan penulis
mengangkat isu-isu yang masih sangat ramai diperbincangkan hingga saat ini yaitu isu terkait
dengan etika seorang akuntan, bahwa masih maraknya terakhir hingga saat ini masih banyak
sekali pelanggaran-pelanggaran yang terjadi didalam dunia akuntansi. Hal tersebut juga dapat
dipertegas oleh O’Leary dan Cotter (2000) yang mengungkapkan bahwa etika juga merupakan
isu yang akan selalu berada pada garis depan untuk dibahas dalam setiap diskusi yang berkaitan
dengan profesionalisme dalam dunia akuntansi. Selain itu, masih minimnya beberapa literature
yang belum mengamati pengaruh agama terhadap sebuah keputusan pengadopsian kode etik dan
pengembangan atas kode tersebut membuat saya turut mengapresiasi kesungguhan penulis dalam
mengkaji penelitian ini. Secara menyeluruh penggunaan bahasa dan kalimat di penelitian ini
cukup jelas dan mudah untuk dipahami.

Agama-agama besar dunia memiliki moral yang ajaran dan dalam berbagai cara menunjukkan
ketidaksetujuan terhadap tindakan tidak etis. Kebanyakan mereka mengajarkan bahwa Allah
Maha Tahu mengamati tindakan manusia dan meminta tanggungjawab atas tindakan mereka.
Oleh karena itu, adalah logis untuk mengasumsikan bahwa penganut suatu agama akan kurang
toleran terhadap perilaku tidak etis. Disamping melihat bahwa dalam penelitian ini menghasilkan
hubungan yang positif antara agama dan perilaku etis, penelitian empiris lainnya telah gagal
untuk menemukan hubungan kuat positif antara keyakinan agama dan sikap etis. Agle dan Van
Buren (1999) mensurvei 233 mahasiswa MBA dan 68 siswa Executive MBA dan menemukan
bahwa terdapat hubungan yang lemah dan ketidakkonsistenan antara kualitas agama dan sikap
yang menguntungkan terhadap tanggung jawab sosial perusahaan.Selain itu, Brammer et al
(2006) bekerja dari sampel lebih dari 17.000 orang dari lebih dari 20 negara dan mewakili
beberapa agama besar dunia menemukan bahwa tidak preferensi umum mencolok untuk Model
yang lebih luas dari tanggung jawab sosial perusahaan di antara mereka mengekspresikan afiliasi
agama dibandingkan mereka tanpa afiliasi tersebut. Lalu dalam percobaan, Bloodgood et al
(2007) menemukan bahwa siswa sekolah bisnis yang sering menghadiri ibadah jasa cenderung
menipu daripada siswa yang hadir jarang. Kemudian dalam sebuah penelitian menggunakan data
dari lebih dari 63.000 orang dari 44 negara, Parboteeah et al (2007) menemukan bahwa
pengetahuan agama tidak berpengaruh pada kemauan untuk membenarkan perilaku etis
dipertanyakan, komitmen untuk agama dan praktek agama tidak membuat orang kurang bersedia
untuk membenarkan perilaku tersebut. Melihat adanya kontradiktif atas hasil penelitian diatas,
maka saya condong untuk mempercayai dan mendukung bahwa terhadap hubungan positif antara
religiusitas dan perilaku etis. Hal ini dikarenakan mengingat bahwa setiap manusia memiliki
keyakinannya atas kepercayaannya pastilah secara tidak langsung hal itu mempengaruhi setiap
perilakunya. Sebagaimana yang juga dikatakan oleh Ludigdi dan Kamayanti (2012) dengan
adanya konsep ketuhanan, manusia sadar akan peran dan hubungannya dengan Tuhan maka
tindakan etispun tidak dapat terjadi. Selain itu, dukungan ini juga diperkuat oleh penelitian
Parboteeah dan Cullen (2007) yang dilakukan dengan total sampel termasuk tanggapan dari 3111
profesional bisnis, dari setiap dari enam belas sketsa berbagai dilema etika yang diberikan hasil
penelitian tersebut menemukan bahwa agama berpengaruh signifikan terhadap sikap etis
individu. Ditinjau dari metodologi penelitian yang dilakukan oleh penulis, dimana data-data yang
diperoleh memiliki tenggang waktu rehat yang terbilang cukup lama, mengingat bahwa IFAC
terus berkembang dan mengalami penambahan pengadopsi kode etik dan penambahan anggota
maka hal ini mengakibatkan adanya kemungkinan ketidakakuratan data yang diperoleh
sebulumnya dan yang telah direvisi. Kepustakaan yang digunakan oleh peneliti terbilang cukup
relavan dan jelas, hanya saja paper yang dijadikan referensi oleh peneliti terbilang sudah lama
tahun terbitnya dan tidak update. Oleh karenanya, diharapkan dalam penelitian selanjutnya
penulis dapat menambahkan referensi yang lebih up to date.

Anda mungkin juga menyukai