Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Medis


1. Anatomi sistem pencernaan
Saluran pencernaan berawal di rongga mulut, dan berlanjut
ke esofagus dan lambung. Makanan disimpan sementara di
lambung sampai disalurkan ke usus halus. Usus halus dibagi
menjadi tiga bagian, duodenum, jejunum, dan ileum. Pencernaan
dan penyerapan makanan berlangsung terutama di usus halus.
Dari usus halus, makanan disalurkan ke usus besar yang terdiri
dari kolon dan rektum. Organ-organ tambahan sistem ini meliputi
hati, pankreas, kandung empedu, dan apendiks. (Elizabeth J.
Corwin 2001, hal. 510)
Seluruh saluran pencernaan terdiri dari beberapa lapisan
jaringan : lapisan mukosa (untuk fungsi sekresi) yang terletak
paling dalam, lapisan jaringan ikat submukosa, lapisan otot polos
sirkular dan longitudinal, dan suatu membran mukosa yang terletak
paling luar yang disebut lapisan peritoneum/adventisial. Lapisan-
lapisan ini dihubungkan satu sama lain secara fisik dan melalui
hubungan-hubungan saraf. (Elizabeth J. Corwin 2001, hal. 510)
Gambar 1. Saluran Pencernaan (Putz R. & Pabs R. 2000)
2. Pengertian
Dyspepsia didefinisikan sebagai bentuk rasa yang tidak enak
yang berkaitan dengan abdomen. (Suyono Slamet, dkk. 2001. hal
170)
Dyspepsia adalah nyeri perut bagian atas atau rasa tidak
nyaman yang sifatnya episodik atau persisten dan sering
berhubungan dengan sendawa, kembung, rasa terbakar di ulu hati,
mual dan muntah. (Bazaldua, O. V. dan Schneider, F. D. 1999)
Dyspepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang
terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap
atau mengalami kekambuhan. (Arif Mansjoer 2002, hal. 488)
Dyspepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang
terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau
cepat kenyang, sendawa. (Sarwono Waspadji 2001, hal. 153)

3. Etiologi
Banyak masalah yang mengenai semua saluran cerna yang
dapat menyebabkan dyspepsia, maka dyspepsia dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Dyspepsia organik
Yaitu dyspepsia yang diketahui secara pasti adanya kelainan
pada saluran pencernaan bagian atas, juga pada organ perut
dalam bagian atas sebagai penyebabnya.
Dyspepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi
banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Istilah
dyspepsia organik baru dapat dipakai bila penyebabnya sudah
jelas.
Yang tergolong sebagai penyebab dyspepsia organik menurut
Sujono Hadi (1995 : 154 – 156)
1) Dyspepsia tukak (ulcer-like dyspepsia)
Keluhan penderita yang sering diajukan ialah rasa nyeri di
ulu hati. Berkurang atau bertambah rasa nyeri ada
hubungannya dengan makanan, pada tengah malam sering
terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati. Hanya
dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat
menentukan adanya tukak dinding lambung atau
duodenum.
2) Dyspepsia bukan tukak
Mempunyai keluhan yang mirip dengan dyspepsia tukak,
biasa ditemukan pada gastritis, duodenitis, tetapi pada
pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan tanda-tanda tukak.
3) Refluks gastroesofageal
Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa
panas di dada dan regurgitasi masam, terutama setelah
makan. Bila seseorang mempunyai keluhan tersebut diatas
disertai keluhan sindroma dyspepsia lainnya maka dapat
disebut dyspepsia refluks gastroesofageal.
4) Penyakit saluran empedu
Sindroma dyspepsia ini biasa ditemukan pada penyakit
saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas
atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu
kanan.
5) Karsinoma (lambung, kolon, pankreas)
Sering menimbulkan keluhan sindrom dyspepsia. Keluhan
yang sering diajukan yaitu rasa nyeri diperut, keluhan
bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia, dan
berat badan menurun.
6) Pankreatitis
Rasa nyeri timbul mendadak, yang menjalar ke punggung.
Perut dirasa makin tegang dan kembung. Disamping itu
keluhan lain dari sindroma dyspepsia juga ada.
7) Sindroma malabsorpsi
Pada penderita ini disamping mempunyai keluhan rasa nyeri
perut, anoreksia, sering flatus, kembung, keluhan utama
lainnya yang mencolok ialah timbulnya diare profus yang
berlendir.
8) Dyspepsia akibat obat-obatan
Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit
atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa
mual dan muntah, misalnya golongan obat NSAID (non
steroidal anti inflamatory drugs), teofilin, digitalis, antibiotik
oral (terutama eritromisin), alkohol dan lain-lain. Oleh
karena itu, perlu ditanyakan macam obat yang diminum.
9) Gangguan metabolisme
Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi
pengosongan lambung yang lambat, sehingga timbul
keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang.
10) Penyakit lain
Penyakit jantung iskemik, sering memberi keluhan perut
kembung, perasaan lekas kenyang. Penderita infark
miokard dinding inferior juga sering memberi keluhan rasa
sakit perut diatas, mual, kembung, kadang-kadang
penderita angina mempunyai keluhan menyerupai refluks
gastroesofageal.
b. Dyspepsia fungsional atau dyspepsia non-organik
Yaitu dyspepsia sebagai adanya kelainan/gangguan fungsi dari
saluran pencernaan bagian atas. dyspepsia fungsional disebut
sebagai dyspepsia non-ulkus (DNU) yang belum diketahui
penyebabnya. Termasuk dyspepsia fungsional, adalah
dyspepsia dismotilitas (dismotility like dyspepsia).
Pada dyspepsia dismotilitas umumnya terjadi gangguan
motilitas, diantaranya waktu pengosongan lambung lambat.
Kelainan psikis, stress, dan faktor lingkungan juga dapat
menimbulkan dyspepsia fungsional. Hal ini dapat dijelaskan
kembali faal saluran cerna pada proses pencernaan yang ada
pengaruhnya dari nervus fagus. Nervus fagus tidak hanya
merangsang sel parietal secara langsung, tetapi memungkinnya
efek dari antral gastrin dan rangsangan lain dari sel parietal.
Dengan melihat, mencium bau atau membayangkan sesuatu
makanan saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak
mengandung HCl dan pepsin. Hal ini terjadi secara reflektoris
oleh karena pengaruh nervus fagus. (Sujono Hadi 1995, hal.
156 – 157)

4. Patofisiologi
Proses munculnya dyspepsia pada suatu kasus nyata
berbeda, hal ini dikarenakan banyaknya penyebab yang
menunjukkan perbedaan pula pada setiap munculnya sindrom
yang memiliki karakteristik gejala/keluhan tersendiri, antara lain
meliputi : intensitas nyeri, durasi dan region nyeri, waktu dan
lamanya serangan nyeri dan beberapa gejala/keluhan lainnya yang
sangat bervariasi ada hubungannya dengan proses masing-masing
penyakit sebagai penyebab.
Bagan 2. Path way pada klien dengan Dispepsia

Dispepsia organik :
- AINSD Dispepsia fungsional :
- Ulkus peptik kronik - Faktor lingkungan
- Gastritis, dll - Dismotilitas
- Psikologi labil, dll

Kelainan/kerusakan Pengosongan bolus


organ SCBA SCBA lambat

Kerusakan ujung-ujung Regurgitasi, emosi,


syaraf SCBA kembung, rasa penuh

Nyeri

Stimulasi kontraksi Stimulasi syaraf Diaprosis


antrium pilorus parasimpatik
(lambung)

Penurunan vital sign

Mual Penurunan fungsi


Muntah mekanik SCBA
Gangguan sirkulasi

Inefektif pencernaan Kelemahan & syok


makanan

Resiko cedera
Asupan cairan & nutrisi
menurun

Berat badan menurun Daya tahan tubuh


menurun

Resiko dehidrasi Resiko infeksi

Sumber : Dirangkum dari patofisiologi menurut Sujino Hadi (1995), Sarwono Waspadji
(1998, dan 2001), Arif Mansjoer (2002)
Secara umum keluhan dyspepsia yang muncul dipengaruhi
oleh beberapa faktor di bawah ini :
a. Diet dan lingkungan
Berbagai jenis makanan tertentu banyak ditemukan sebagai hal
yang mencetuskan timbulnya serangan dyspepsia, antara lain :
buah-buahan, asinan, kopi, alkohol, makanan berlemak dan
lain-lain. Namun pada kenyataannya sulit untuk dibuktikan
bahwa faktor tersebut berlaku untuk setiap orang.
b. Sekresi cairan asam lambung
Berkaitan dengan munculnya keluhan dyspepsia, asam
lambung dan pepsin sebagai faktor agresif yang korosif diduga
merupakan salah satu penyebabnya di saat tiga faktor
pelindung lambung, yaitu : mukus lambung (gastrin dan
sekretin), bikarbonas mukosa dan prostaglandin mikrosirkulasi
(PGE2) menurun sekresinya. Hal ini dapat kita tinjau kembali
bahwasanya pengaturan sekresi cairan asam lambung terjadi
melalui tiga fase, yaitu :
1) Fase sefalik
Dimana sekresi asam lambung terjadi walaupun makanan
belum masuk lambung. Hal ini terjadi akibat dari melihat,
mencium, memikirkan atau merasakan makanan pada saat
itu. Neurologik yang menyebabkan fase sefalik berasal dari
korteks serebri atau pada pusat pengaturan nafsu makan,
impuls eferen kemudian dihantarkan melalui nervus vagus
ke lambung, sehingga kelenjar gastrik dirangsang untuk
mensekresi asam.
2) Fase gastrik
Dimulai bila makanan telah mencapai antrium pilarus
(lambung). Hormon gastrin dikeluarkan dari antrium dan
kemudian dibawa oleh cairan darah ke kelenjar gastrik
menyebabkan sekresi yang merupakan stimulasi utama
terhadap sekresi asam lambung.
3) Fase intestinal
Terjadi bila makanan masuk duodenum dan menyebabkan
lambung mensekresi getah lambung dalam jumlah sedikit.
c. Fungsi motorik lambung (motilitas)
Gangguan fungsi motorik lambung banyak dilaporkan sebagai
dasar terjadinya dyspepsia. Terdapat perlambatan
pengosongan lambung untuk makanan padat dan gangguan
koordinasi antroduodenal dan hipomotilitas belum diketahui
jelas, mungkin hormonal, stress, atau lainnya.
d. Psikologi
Diduga kuat gangguan kejiwaan : emosional yang labil
berpengaruh pada efektivitas saluran cerna terutama saluran
cerna bagian atas (SCBA). Hal ini dikarenakan adanya
perubahan pada makan akibat larut pada masalah pribadi atau
penyempitan area pikir yang tertuju pada permasalahan pribadi,
keputus asaan, stress, gelisah/cemas, takut, panik, dan
sebagainya dapat mempengaruhi peningkatan asam lambung
dan pepsin sebagai respon sekunder terhadap peningkatan
sistem kardio-vaskuler pengaruh dari non-adrenalin dan renin
angiotensin.
e. Diagnosis banding
Diagnosis banding /nyeri/ketidaknyamanan abdomen atas
menurut Arif Mansjoer 2002, hal. 488 adalah :
1. Dyspepsia organik
a) Ulkus peptik kronik (ulkus ventrikuli, ulkus duodeni)
b) Gastro-oesophagosal reflux disease (GORD), dengan
atau tanpa esofagitis
c) Obat : OAINS (obat anti inflamasi non steroid), aspirin
d) Kolelitiasis simtomatik
e) Pankreatitis kronik
f) Gangguan metabolik (uremia, hiperkalsemia,
gastroparesis, DM)
g) Keganasan (gaster, pankreas, kolon)
h) Nyeri dinding perut
2. Dyspepsia fungsional/non-organik
a) Disfungsi sensorik-motorik gastroduodenum
b) Gastroparesis isiopatik/hipomalititas antrum
c) Disritmia gaster
d) Hipersensitivitas gaster/duodenum
e) Faktor psikososial
f) Gastritis H. pylori
g) Idiopatik
Patofisiologi di bawah ini diuraikan secara sepintas
berdasarkan atas faktor penyebab/penyakit sebagai proses
pemicu munculnya gejala/keluhan dyspepsia.
1) Ulkus peptik kronik (ulkus ventrikuli, ulkus duodeni)
Munculnya sindrom dyspepsia diakibatkan karena adanya
makanan (bolus) yang masuk ke dalam lambung yang
menimbulkan rangsangan mekanis dan menyebabkan
dikeluarkannya gastrin (hormon polipeptida yang dihasilkan
oleh antrium lambung), sehingga merangsang hebat
produksi asam lambung dan sedikit pepsin. Asam dan
pepsin mengkorosif dinding mukosa lambung yang terluka
dan dapat mengenai serabut syaraf yang merespon nyeri.
Disamping itu gastrin juga merangsang motilitas lambung,
sehingga peristaltik meningkat dan menambah rasa nyeri
yang cukup hebat hingga pada akhirnya akan menstimulasi
rasa mual dan muntah.
2) Gastro-oesophageal reflux disease (GORD)
Adanya hubungan dengan hernia hiatus (HH) pada 50-60 %
penderita GORD dan sekitar 90 % penderita esofagitis
disertai dengan HH. Kantong hernia hiatus (HH)
mengganggu fungsi dari pada sfingter esofagus bagian
distal (SED) terutama pada waktu mengejan dan pada saat
makan, sehingga menurunkan tekanan SED dibawah 6
mmHg (normal), sehingga terjadi rangsangan nyeri pada
dinding mukosa, keadaan demikian ini akan menimbulkan
rasa mual dan nyeri.
3) Obat OAINS (obat anti inflamasi non steroid), aspirin
Obat anti inflamasi non steroid (antibiotika) dan aspirin
secara langsung mengakibatkan iritasi pada dinding mukosa
lambung (bersifat asam dan korosif).
4) Kolelitiasis simtomatik
Adanya batu yang pindah ke duktus sistikus menyebabkan
obstruksi, sehingga timbul iritasi kimia dari mukosa empedu
yang menstimulasi nyeri (bisa berupa nyeri kolik) dan
perasaan penuh di epigastrium.
5) Pankreatitis kronik
Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke
punggung. Perut dirasa makin tegang dan kembung.
Disamping itu keluhan lain dari sindroma dyspepsia juga
ada.
6) Gangguan metabolik : gastroparesis DM
Hiperglikemia kronik sering disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal keadaan ini akan
menimbulkan berbagai komplikasi, dan salah satunya yaitu
neuropati, sebagai akibatnya termasuk munculnya keadaan
gastroparesis, yaitu kelemahan/kelumpuhan otot-otot
lambung yang menimbulkan gangguan motilitas, seperti
waktu pengosongan bolus lambat, abnormalitas mioelektrik
lambung yang biasanya sangat sensitif terhadap produksi
asam lambung. Semua keadaan tersebut menyebabkan
munculnya keluhan dyspepsia.
7) Keganasan (gaster, pankreas, kolon)
Keganasan (gaster, pankreas, kolon) sering menimbulkan
keluhan sindroma dyspepsia. Keluhan yang sering diajukan
yaitu rasa nyeri di perut, keluhan bertambah berkaitan
dengan makanan, anoreksia, dan berat badan menurun.
8) Faktor psikososial
Keadaan emosional yang labil dapat mempengaruhi
timbulnya keluhan dyspepsia. Hal ini disebabkan karena
stress memicu produksi hormon renin-angiotensin yang
pada akhirnya merangsang peningkatan curah jantung
(COP). Sehingga timbul keadaan hiperaktivitas sistem
kardio-vaskuler yang akan merangsang terhadap
peningkatan berlebih asam lambung yang sering disertai
mual. Di lain pihak, banyak keadaan stress juga
mengakibatkan malas makan karena larut dalam masalah
atau lupa waktu makan akibat penyempitan area pikir.
Dinding mukosa lambung akan sangat sensitif terhadap
produk asam dan sedikit pepsin yang korosif dan pada
keadaan tingkat stress tertentu serta dalam waktu lama
tertentu. Keadaan ini dapat menyebabkan korosif berlanjut
yang mengarah pada lesi/ulkus dinding mukosa lambung.
5. Manifestasi klinis
Dibawah ini diuraikan secara sepintas gambaran/manifestasi
klinis sindrom dyspepsia pada beberapa penyakit sebagai
penyebabnya.
a. Ulkus peptik kronik
Karakteristik gejala/keluhan yaitu :
1) Nyeri di daerah epigastrium pada garis tengah (mid
sternum) atau agak ke sebelah kiri.
2) Cenderung terjadi antara 0,5 – 3 jam sesudah makan, yang
terobati dengan makanan, antasid, muntah dan sering
membangunkan penderita pada waktu malam.
b. Gastro-oesophageal reflux disease (GORD)
1) Rasa nyeri (panas) di daerah retrosternal (nyeri ulu hati). Di
daerah sub retrosternal (epigastrium) dan kadang menjadi
lebih buruk pada beberapa keadaan posisi;
berbaring/tiduran, membongkokkan tubuh dan setelah
makan dan dirasakan sepanjang hari.
2) Mual sering disusul dengan muntah-muntah (reflux isi/cairan
lambung) dan dapat masuk ke dalam paru-paru.
3) Adanya disfagia (sebagai gejala penyerta).
c. Obat-obatan; OAINS, aspirin
Karakteristik gejala/keluhan yang ditimbulkan kurang lebih
sama dengan karakteristik gejala/keluhan pada ulkus peptik
kronik, karena OAINS, aspirin bersifat korosif terhadap dinding
mukosa lambung yang mengakibatkan terjadinya tukak.
d. Kolelitiasis simtomatik
Karakteristik gejala/keluhan yang dirasakan penderita, antara
lain :
1) Terdapatnya gejala seperti perasaan penuh di epigastrium.
2) Disertai demam.
e. Pankreatitis kronik
Karakteristik gejala keluhan yang dirasakan penderita, antara
lain :
1) Biasanya mengeluh nyeri perut bagian atas, nyeri dapat
bersifat kolik yang kemudian menetap dengan eksaserbasi
yang tidak tetap datangnya.
2) Lokasi rasa nyeri di daerah epigastrium yang menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
3) Rasa nyeri sering disertai dengan mual-mual dan muntah.
4) Kadang-kadang disertai menggigil dan takhikardi yang
biasanya diiringi dengan sesak nafas sebagai sebab
bertambahnya gas di dalam perut yang menekan ke atas.
5) Gambaran nyeri perut kadang hanya samar-samar, yaitu
berupa rasa tidak enak atau nyeri yang tidak khas di perut
bagian atas.
f. Karsinoma lambung
Karakteristik gejala/keluhan yang dirasakan oleh penderita,
yaitu :
1) Perasaan tidak enak di perut bagian atas, dan terasa lekas
kenyang, kadang terasa panas, pedih atau seperti rasa
nyeri dicubit-cubit.
2) Semua keluhan tersebut dirasakan sudah berbulan-bulan
lamanya atau bertahun-tahun. Kemudian disusul nafsu
makan menurun (anoreksia), berat badan menurun.
3) Beberapa penderita merasakan adanya benjolan di perut
atas yang nyeri tekan, sebagai pembeda dari sekian banyak
gejala dyspepsia oleh penyakit lain.
4) Beberapa mengeluh waktu defekasi bentuk tinja lembek,
berwarna hitam pekat (adanya perforasi) yang mengarah
pada anemis.
5) Pada stadium dini kebanyakan gejala/keluhan penderita
mirip dengan keluhan gastritis kronis atau ulkus peptik.
Menurut Mansjoer (2002 : 488) klasifikasi klinis praktis didasarkan
atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dyspepsia menjadi
tiga tipe :
a. Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia),
dengan gejala :
1) Adanya nyeri epigastrium yang terlokalisasi dan bersifat
dominan dan disertai nyeri pada malam hari (nocturnal-pain)
2) Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
3) Nyeri saat lapar
4) Nyeri bersifat episodik
b. Dyspepsia dengan keluhan/gejala seperti (dysmotility-like
dyspepsia), dengan gejala :
1) Mudah kenyang
2) Perut cepat terasa penuh saat makan
3) Mual
4) Muntah
5) Rasa tak nyaman bertambah saat makan
c. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di
atas)
Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga
bulan.
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Sarwono Waspadji (2001 : 166) untuk menegakkan
diagnosa sispepsia, sangat diperlukan data anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik yang akurat disertai pemeriksaan penunjang
diagnosatik untuk mengeksklusi penyakit organik/struktural.
Adanya keluhan tambahan yang mengancam (alarm symptom).
Seperti adanya penurunan berat badan, anemia, kesulitan menelan
(dysfagia), perdarahan, dugaan obstruksi SCBA dan lain-lain,
mengharuskan kita melakukan eksplorasi diagnostik secepatnya.
Dalam hal ini pemeriksaan esofago-gastro-duodenoskopi
memegang peranan penting disamping pemeriksaan radiologi.
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik pada kasus
dispepsia yang dilakukan antara lain :
a. Laboratorium
Lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan penyebab
organik lainnya seperti antara lain pankreatitis kronik, diabetes
melitus, dan sebagainya.
Pemeriksaan laboratorium dimaksud meliputi pemeriksaan
darah, urine dan tinja secara rutin. Dari hasil pemeriksaan
darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi.
Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak berarti kemungkinan menderita
malabsorpsi.
b. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)
Merupakan pemeriksaan beku emas, selain sebagai diagnostik
sekaligus terapeutik. Yang perlu diperhatikan ada tidaknya
kelainan di esofagus, lambung dan duodenum. Dimana di
tempat tersebut diperhatikan warna mukosa, lesi, tumor jinak
atau ganas dan kelainan-kelainan lainnya.
c. Manometri esofago-gastro-duodenum
Sampai saat ini merupakan sarana penunjang diagnostik yang
banyak dikembangkan. Dapat ditemukan kelainan manometrik
berupa gangguan-gangguan fase III migrating motor komplex.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa sampai saat ini dispepsia
fungsional merupakan gangguan pengosongan lambung.
d. Sidikan abdomen
Juga dipakai sebagai pemeriksaan untuk mengeksklusi
penyebab organik.
e. Radiologi
Pemeriksaan dengan menggunakan OMD dengan kontras
ganda untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan organik
anatomi.
f. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang
invasif, akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk
membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit. Apalagi
alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan
setiap saat dan pada kondisi pasien yang berat pun dapat
dimanfaatkan.
Pemanfaatan alat USG pada sindrom dispepsia terutama bila
ada dugaan kearah kelainan pada traktus billiaris, pankreas,
kelainan pada tiroid juga terhadap dugaan tumor di esofagus,
lambung dan duodenum.
g. Scintigrafi
Diperlukan untuk pemeriksaan waktu pengosongan lambung,
mengetahui (motilitas lambung). Pada dispepsia fungsional
terdapat pertambahan pengosongan lambung berkisar 30 – 40
% kasus.
h. Patologi anatomi (PA)
Untuk pemeriksaan sediaan sel mukosa yang diduga adanya
tumor baik ganas maupun jinak dengan memperhatikan pola
pertumbuhan dan perkembangan pembelahan sel melalui
biakan khusus.
Dan tambahan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan, antara lain :
i. Kulturmikroorganisme (MO jaringan)
j. CLO (rapid urea test)

7. Penatalaksanaan
Pengelolaan penderita dengan sindroma dispepsia secara
garis besar pada umumnya sama. Penderita yang mempunyai
keluhan ringan umumnya sama. Penderita yang mempunyai
keluhan ringan umumnya dapat dilakukan dengan berobat
jalan,sedangkan yang mempunyai keluhan berat dengan atau
tanpa komplikasi sebaiknya dirawat di rumah sakit.
Pengobatan dispepsia umumnya dimulai dengan
pengobatan simptomatik. Pengobatan kausal dapat segera
diberikan bila diagnosa akhir sudah dapat ditegakkan. Secara
umum pengobatannya adalah modifikasi pola hidup termasuk
pengaturan diet dan aktivitas serta segala sesuatu yang dapat
menstimulasi munculnya gejala/keluhan, pengobatan medis dan
yang terpenting juga adalah pemberian penjelasan pada penderita
untuk dapat mengenali keadaan-keadaan yang berpotensial
mencetuskan serangan dispepsia.
Penatalaksanaan yang bisa diberikan antara lain :
a. Terapi dietik
Diet merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya
yang dipakai ialah cara pemberian diet seperti yang diajukan
oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippy diit. Sekarang lebih
dikenal dengan diet lambung yang sudah disesuaikan dengan
masyarakat Indonesia. Dasar diet tersebut adalah makanan
dengan porsi yang sedikit tetapi sering, makanan rendah lemak
dan banyak mengandung susu (low fat) untuk menetralkan
asam lambung. Bentuk makanan bisa berupa bubur saring, nasi
lembek yang mudah dicerna disesuaikan dengan efektivitas
keadaan lambung klien, bahan makanan yang tidak
merangsang dan kemungkinan dapat menetralisir asam
lambung (HCl) serta tetap menjaga efektivitas lambung.
Hindarkan makanan yang dapat menstimulasi, mencetuskan
dan memperberat kondisi saluran pencernaan, seperti : sambal
(pedas), masam, pahit, kopi, alkohol, bahan makanan yang
banyak mengandung bawang, merica, kulit ari yang tajam dan
lain-lain.
b. Medikamentosa
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu
1) Antasida 20 – 150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan
menetralisir sekresi asam lambung. Komposisi obat yang
biasa terdapat dalam jenis antasid antara lain : Na
bikarbonat, Al (OH)3 (yaitu sering dipakai dalam bentuk
tablet atau sebagai suspensi untuk mengurangi nyeri), Mg
(OH)2 (menetralkan asam lambung), Mg trisiklat
(menetralisir asam lambung). Pemakaian obat ini sebaiknya
jangan diberikan terus-menerus, sifatnya hanya simptomatis
untuk mengurangi rasa nyeri. Mg trisiklat dapat dipakai
dalam waktu lebih lama, juga berkasiat sebagai adsorben,
sehingga bersifat nontoksik. Namun dalam dosis besar akan
menyebabkan diare karena terbentuknya senyawa MgCl 2.
2) Antikolinergik
Piranzepin adalah contoh obat yang agak selektif
dibandingkan obat-obat yang lain, bekerja sebagai anti
reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam
lambung sekitar 28 – 43 %, juga memiliki efek sitoprotektif.
3) Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati
dispepsia organik seperti tukak peptik, obat yang termasuk
golongan ini adalah simetidin, roksatidin, ranitidin, dan
famotidin. Untuk selanjutnya dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 1. Golongan Obat Antogonis Reseptor H2

Cara,waktu
No Obat Indikasi Dosis dan lama Efek samping
pemberian
1 2 3 4 5 6
1 Simetidin - Tukak 3 x 200 Selama 4 - Penekanan
peptik mg, minggu eritropoesis,
akut dan ditambah sampai
kronik 200 mg pensitopenia
- Gastritis sebelum Lanjutan, atau neutro
kronik tidur 200 setiap penia
dengan mg malam - Gangguan
hipersekr SSP seperti
esi HCl konfusi
mental,
somnolen,
letargi,
halusinasi
- Gangguan
endokrin
yaitu
impotensi,
ginekomastia
2 Roksatidin Gastritis 75 mg/hari, Oral,
akut dan disesuaika malam
kronik, n dengan hari,
dengan bersihan selama 1
daya kreainin minggu
selektif
reseptor H2
6 kali lebih
baik dari
pada
simetidin,
setara
ranitidin

3 Ranitidin Dispepsia 2 x 150 mg


akut dan lanjutan :
kronik, 1 x 150 mg
khususnya
tukak
duodenum
aktif
Sumber : Arif Mansjoer 1999, hal. 491
4) Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
sesuai dengan namanya, golongan obat ini mengatur
sekresi asam lambung pada stadium akhir, sehingga proses
sekresi asam lambung terhambat. Obat-obatan yang masuk
golongan PPI, antara lain : omeperazol, lansuprazol, dan
pantoprazol. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 2. Golongan Obat Penghambat Pompa Proton
No Obat Indikasi Dosis Pemberian Efek
samping
1 2 3 4 5 6
1 Omeperazol Tukak peptik 1 x 20 Setiap Sakit
mg/hari pagi, kepala,
selama 1 – nausea,
2 minggu, diare,
oral mabuk,
lemas,
nyeri
epigastrik,
banyak
gas
Tukak 1 x 20 – 50 Selama 2 –
duodenum mg/hari 4 minggu,
oral

2 Lansoprazol Tukak peptik 1 x 30 4 minggu,


mg/hari oral

3 Pantoprazol Tukak peptik, 1 x 40 Oral


inhibitor mg/hari
pompa proton
ireversibel
Sumber : Arif Mansjoer 1999, hal. 491
5) Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE) dan
enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan
sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi
meningkatkan sekresi prostaglandin endogen, yang
selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan
produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat
mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sebagai site
protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi
mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
6) Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dispepsia fungsional (dispepsia gangguan motilitas) dan
refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).
7) Psikoterapi
Khususnya pada sindrom dispepsia non-organik terutama
untuk mengurangi atau menghilangkan gejala/keluhan pada
dispepsia yang disertai dengan gangguan kejiwaan dalam
bentuk anxietas.

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data
dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Iyer et al., 1996).
Pengkajian secara sistemik meliputi kegiatan:
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data yaitu pengumpulan informasi yang
sistematik dan mempunyai tujuan meliputi identitas klien,
riwayat keperawatan, pengkajian fisik, analisa data, diagnosa
keperawatan, perencanaan dan implementasi keperawatan.
1) Identitas klien, meliputi nama (inisial), umur, status
perkawinan, pekerjaan, agama, pendidikan, suku bangsa,
bahasa yang digunakan, alamat rumah, sumber biaya,
tanggal masuk rumah sakit .
2) Riwayat keperawatan, merupakan informasi tentang
keadaan kesehatan klien. Mengingat banyaknya penyebab
dan karakteristik (variasi) munculnya dispepsia, maka
secara umum yang sering ditemukan dan yang perlu dikaji
antara lain menurut Sujono Hadi (1995), Sarwono Waspadji
(1998 dan 2001), dam Arif Mansjoer (2002) :
a) Riwayat kesehatan sekarang, merupakan informasi
sejak timbulnya keluhan utama sampai klien dirawat di
rumah sakit
(1) Adanya nyeri perut bagian atas seperti lokasi nyeri,
beberapa karakteristik yang perlu dikaji :
(a) Nyeri di daerah epigastrium pada garis mid
sternum atau agak ke sebelah kanan kiri pada
ulkus peptik kronik
(b) Rasa nyeri (panas) di daerah retrosternal (nyeri
ulu hati), sub retrosternal (epigastrium) pada
GORD
(c) Tidak jelas/tidak khas dan hanya berupa rasa
tidak enak pada perut atas, biasanya pada
pankreatitis kronik
(2) Mual, yang tanpa atau disertai dengan muntah
(a) Seringnya frekuensi mual dan muntah
(b) Muntahan apakah bercampur darah, lendir,
makanan yang telah ditelan, banyaknya
muntahan dan lamanya muntah
b) Riwayat kesehatan masa lalu, merupakan informasi
tentang status kesehatan klien pada masa lalu, biasanya
ditemukan adanya riwayat penyakit yang menjadi
pemicu munculnya sindrom dispepsia, misalnya
prankreatitis kronik, diabetes melitus, dan lain-lain.
(1) Riwayat pemakaian obat/riwayat pengobatan masa
lalu
(a) Kemungkinan tidak disiplin terhadap terapi
(b) Kemungkinan kegagalan/efek samping dari
regimen pengobatan, seperti akibat pemasangan
NGT yang lama atau efek samping obat tertentu
(2) Riwayat alergi
(a) Apakah oleh makanan (misalnya : aflatoksin pada
kacang, sianida pada singkong, dan lain-lain)
(b) Oleh obat-obatan tertentu, misalnya : antalgin,
ampisilin, dan lain-lain.
c) Riwayat psikososial dan spiritual
(1) Respon psikososial
(a) Kemungkinan kecemasan (anxietas) akibat
nyeri/sakit, terhadap kegagalan regimen
pengobatan
(b) Kemungkinan adanya perasaan selalu ada
rangsangan mual dan muntah (nervus vomiting)
(c) Kemungkinan pembatasan makan karena takut
nyeri setelah makan
(2) Integritas ego
(a) Kemungkinan adanya stress lama, kegagalan
dan lain-lain
(b) Perasaan tidak berdaya/pasrah
(c) Masalah keuangan
(3) Integritas sosial
(a) Perubahan pola kebiasaan dalam rumah tangga,
tanggung jawab, perubahan kapasitas fisik untuk
melaksanakan peran (post power illness)
(b) Adanya kemungkinan ketergantungan
pemenuhan kebutuhan diri (Activity Daily Living)
(4) Aspek spiritual, meliputi keyakinan terhadap agama
dan ketaatan menjalankan ibadah di rumah maupun
di rumah sakit
d) Pola kebiasaan sehari-hari sebelum sakit
(1) Pola makan tidak teratur
(2) Mengkonsumsi makanan/minuman yang bersifat
iritan, misalnya: makanan pedas, masam, alkohol,
kopi, tembakau, dan lain-lain.
(3) Kurang tidur malam (begadang)
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan atau pengkajian fisik dalam keperawatan
dipergunakan untuk memperoleh data objektif dari riwayat
keperawatan klien. Pemeriksaan fisik dilaksanakan bersamaan
dengan wawancara. Fokus pengkajian fisik yang dilakukan
perawat adalah pada kemampuan fungsional klien. Ada 4 teknik
dalam pemeriksaan fisik (IPPA): inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi (Bates, 1991)
1) Vital sign
a) Tekanan darah : meningkat atau menurun sebagai
respon syaraf simpatik/parasimpatik, oleh perdarahan
dalam (perforasi SCBA) yang dapat mengarah pada
syok
b) Denyut nadi : frekuensi cepat/lambat dengan amplitudo
kuat/lemah
c) Suhu tubuh : turun atau meningkat (panas) sebagai
respon kemungkinan adanya infeksi
d) Respirasi : dangkal dan cepat atau sebaliknya
2) Raut muka
a) Kemungkinan nampak pucat atau justru memerah
menahan nyeri hebat/kolik
b) Kemungkinan nampak gelisah dan berkeringat dingin
c) Ekspresi wajah terhadap nyeri (skala 0 – 10)
3) Abdomen
a) Adanya nyeri tekan positif (+)
b) Kemungkinan adanya massa tumor pada palpasi
c) Perut kembung
d) Peningkatan peristaltik usus sebagai respon nyeri
(normal = 12 – 24 x/mnt)
e) Kemungkinan adanya ketegangan otot-otot abdomen
(depent muscularis abdominal) sebagai respon terhadap
nyeri
f) Hilangnya lemak subcutan
g) Keadaan turgor kulit kurang baik/jelek
4) Fisik secara umum
a) Posisi tubuh : tungkai dan paha fleksi, meletakkan
tangan di sela-sela paha, posisi tidur tidak teratur dan
gelisah
b) Diaporesis/badan berkeringat dingin
c) Kelelahan otot akibat nyeri, kelelahan dan kelemahan
5) Pola aktivitas istirahat
a) Kesulitan tidur terutama malam hari
b) Jam tidur total dalam sehari berkurang (normal : ± 8
jam/hari)
6) Pola makan dan minum
a) Kehilangan nafsu makan (anoreksia) oleh nyeri atau
proses penyakit
b) Kemungkinan tidak dapat mencerna makanan dan
menelan (disfagia)
c) Penurunan berat badan (berat badan ideal menurut
Bocca = [TB–100 – 10 %
c. Analisa data
Analisa merupakan pengelompokkan data-data klien atau
keadaan tertentu dimana klien mengalami permasalahan
kesehatan atau keperawatan berdasarkan kriteria
permasalahannya (Gordon,1992)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola)
dari individu atau kelompok dimana rerawat dapat mengidentifikasi
dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status
kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah.
(Capernito, 2000).
Berdasarkan fenomena yang muncul dari sekian banyak keluhan
sindrom dispepsia, secara umum diagnosa keperawatan yang
sering dijumpai, yaitu :
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, berhubungan
dengan :
1) Anoreksia, mual, muntah dan nyeri lambung setelah makan
2) Penurunan motilitas saluran serna bagian atas
3) Kerusakan saluran cerna atas sekunder akibat pankreastitis,
ulkus peptik kronik, tumor reflux gastro-oesophageal
disease, iritasi asam kuat dan lain-lain.
4) Pola makan yang tidak teratur akibat stress dan lingkungan
b. Gangguan rasa nyaman : nyeri, mual dan muntah,
berhubungan dengan :
1) Iritiasi mukosa lambung
2) Peningkatan asam lambung berlebih
3) Masuknya makanan kedalam lambung
4) Tertekannya ujung-ujung serabut saraf oleh tumor, reflux
(GORD), dan lain-lain.
c. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan :
1) Haus, diaforesis, mual, dan sering muntah
2) Menurunnya motivasi untuk minum cairan akibat depresi,
keletihan dan nyeri
d. Cemas berhubungan dengan :
1) Kurang informasi
2) Inadekuat informasi
3) Kurangnya motivasi mencari informasi
4) Sulitnya mencari sumber informasi
5) Seringnya mengalami kekambuhan sebagai akibat pola
hidup yang merugikan
e. Kelelahan, kelemahan fisik berhubungan dengan :
1) Kurangnya intake kalori
3. Perencanaan dan implementasi
a. Perencanaan
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk
mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah
yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Tahap ini
dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan
menyimpulkan rencana dokumentasi (Iyer, Taptich &
Bernocchi-Losey, 1996)
1) Diagnosa keperawatan I
Intervensi adalah tahap tindakan yang ditujukan untuk
mengurangi, mencegah dan mengatasi masalah klien.
a) Kaji penyebab kurangnya nafsu makan
b) Monitor intake dan output makanan
c) Timbang berat badan setiap hari
d) Kaji pola makanan yang disenangi klien atau yang dapat
dihabisi klien
e) Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil tapi sering
f) Anjurkan klien memakan makanannya dalam keadaan
hangat
g) Libatkan keluarga klien pada perencanaan makanan
klien sesuai dengan indikasi
h) Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet
lambung II
i) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian infus D
5% 20 tts/mnt, dan therapy injeksi dan obat-obatan
Rasional :
a) Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keinginan klien
untuk makan dan untuk memudahkan dalam melakukan
tindakan selanjutnya
b) Untuk mengetahui tingkat perkembangan asupan
volume nutrisi klien
c) Untuk mengetahui/mengontrol nutrisi yang masuk dan
membantu dalam pemberian pengobatan selanjutnya
d) Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari
kebutuhan terapeutik dan untuk
memudahkan/membantu klien dan keluarga dalam
mengembangkan perencanaan makanan
e) Agar kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dan untuk
menghindari rasa penuh pada lambung
f) Mencegah terjadinya mual dan menambah nafsu makan
klien
g) Meningkatkan rasa keterlibatan keluarga, memberikan
informasi kepada keluarga untuk memahami kebutuhan
nutrisi klien dan menambah masukan nutrisi klien
h) Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian
diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi klien
i) Therapy yang tepat membantu dalam proses
kesembuhan klien
2) Diagnosa keperawatan II
Intervensi :
a) Kaji penyebab, intensitas/tingkat nyeri
b) Komunikasikan dengan klien kapan nyeri itu datang dan
berapa lama
c) Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran
d) Bantu klien menemukan posisi yang nyaman
e) Alihkan perhatian klien dari rasa nyeri dengan teknik
distraksi dengan memperhatikan hal-hal lain, misalnya :
membaca buku cerita, mendengarkan musik, dan lain-
lain dan ajarkan klien teknik relaksasi nafas dalam
f) Anjurkan klien agar tidak terlalu banyak melakukan
aktivitasnya/ membatasi aktivitasnya
g) Modifikasi dan pertahankan lingkungan yang tenang
tanpa stress
h) Berikan pendidikan kesehatan pada klien dan keluarga
mengenai diet makanan lunak dan mudah dicerna
i) Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet
makanan lunak yang mudah dicerna
j) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat
antibiotik dan analgesik
Rasional :
a) Berguna dalam mengevaluasi tingkat nyeri, lokasi dan
faktor pencetus nyeri dan pilihan therapy yang baik
b) Berguna dalam mengetahui sejauh mana rasa nyeri
yang dialami klien
c) Nyeri tiba-tiba dan hebat mencetuskan ketakutan,
gelisah dan emosi klien
d) Agar nyeri dapat berkurang dan klien dapat rileks
sehingga mempengaruhi kemampuan klien untuk tidur
e) Mengurangi ketegangan otot, yang akan mengurangi
intensitas nyeri dan meningkatkan kemampuan koping
f) Dapat memberikan kenyamanan dan dapat mengurangi
rasa nyeri yang dialami klien
g) Membantu mengurangi rasa nyeri dan membuat klien
rileks
h) Makanan lunak (misalnya bubur) dan mudah dicerna
dapat mengurangi rasa nyeri dan membantu
meringankan kerja usus karena selama sakit fungsi
pencernaan masih belum mampu mencerna makanan
terutama yang tinggi serat.
i) Membantu mengurangi rasa nyeri dan meringankan
kerja usus
j) Berguna dalam mengurangi rasa nyeri dan memberikan
kenyamanan bagi klien
3) Diagnosa keperawatan III
Intervensi :
a) Pantau intake-output cairan, terutama jumlah produk
urin/jam
b) Anjurkan klien untuk banyak minum minimal ± 1500 –
2500 ml/hari atau ± 8 – 10 gelas/hari
c) Pantau pemberian cairan parenteral lancar sesuai
kebutuhan
d) Anjurkan klien untuk sering minum susu
e) Berikan minuman yang disukai klien selama tidak
bertentangan dengan program diet penyakit
Rasional :
a) Memberikan perkiraan kebutuhan cairan pengganti,
fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang diberikan
b) Mempertahankan stabilitas sistem sirkulasi dan produk
urine/jam
c) Agar kebutuhan cairan klien dapat terpenuhi sehingga
mencegah resiko terjadinya dehidrasi
d) Bermanfaat juga untuk menetralkan asam lambung
sehingga mengurangi rasa nyeri
e) Meningkatkan keinginan klien untuk minum, sehingga
dapat meningkatkan asupan volume cairan
4) Diagnosa keperawatan IV
Intervensi :
a) Kaji persepsi klien dan keluarga terhadap penyakit dan
penyebabnya
b) Berikan penjelasan-penjelasan yang menambah
pengetahuan klien dan keluarga disaat melakukan
tindakan
c) Berikan penkes tentang penyakit yang diderita klien
berdasarkan pada kesepakatan kontrak dan waktu yang
dikehendaki oleh klien dan keluarga
d) Lakukan diskusi dengan klien dan keluarga terhadap
masalah-masalah yang dihadapi klien dan keluarga yang
merupakan faktor penghambat dalam pencapaian
informasi yang diinginkan
Rasional :
a) Mengetahui tingkat wawasan, motivasi klien untuk
lebih /jauh membahas tentang penyakit dyspepsia
b) Agar klien dan keluarga dapat mengerti atau mengetahui
tentang penyakit yang diderita dan klien dapat menjaga
kesehatannya dengan baik supaya kekambuhan
penyakit tidak terulang lagi
c) Agar klien dan keluarga mendapatkan informasi yang
lebih jelas mengenai penyakit yang diderita oleh klien
d) Agar kekambuhan penyakit tidak terjadi/mencegah
insiden kekambuhan
5) Diagnosa V
Intervensi :
a) Diskusikan dengan klien kebutuhan akan aktivitas dan
identifikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan
b) Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang
cukup/tanpa diganggu
c) Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah
sebelum/sesudah melakukan aktivitas
d) Libatkan keluarga dalam pemberian tambahan
nutrisi/diet makanan yang banyak mengandung kalori,
misalnya : telur, ikan laut, tahu, tempe, dan lain-lain
e) Bantu klien/libatkan keluarga klien dalam pemenuhan
aktivitas sehari-hari klien yang tidak dapat/tidak mampu
dilakukan klien secara mandiri, misalnya : BAB, BAK,
dan personal hygiene
Rasional :
a) Berguna dalam mengevaluasi kelelahan yang dialami
klien
b) Mencegah kelelahan yang berlebihan dan
mempermudah ruang gerak klien
c) Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi
secara fisiologis
d) Untuk menambah sumber tenaga bagi klien dan
memudahkan klien dalam melakukan aktivitasnya
sehari-hari
e) Agar kebutuhan aktivitas klien terpenuhi dan klien tidak
cepat lelah
b. Implementasi
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang spesifik (Iyer, 1996). Tahap implementasi
dimulai dari setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan
untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh
karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah
kesehatan klien.
4. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanannya sudah berhasil
dicapai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor
”kealpaan” yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa data,
perencanaan dan pelaksanaan tindakan (Ignatavicius & Bayne,
1994).
a. Diagnosa 1 : Klien mampu menghabiskan setiap porsi
makanan yang disajikan oleh rumah sakit dan
mampu melaksanakan program diet yang
ditetapkan
Berat badan normal kembali
b. Diagnosa 2 : Rasa nyeri berkurang/hilang dan klien
menunjukkan kooperatif dan toleransi terhadap
nyerinya
c. Diagnosa 3 : Klien mampu menghabiskan/minum air rata-rata
± 1500 – 2500 ml/hari atau 8 – 10 gelas/hari
Tidak ada tanda-tanda kekurangan cairan : tidak
dehidrasi (turgor kulit baik), produk urine < 30
ml/jam
d. Diagnosa 4 : Klien dan keluarga mampu mengidentifikasi dan
menyampaikan masalah-masalah, kekurangan
dalam dirinya yang berhubungan dengan
kekurangan informasi tentang penyakit klien
Klien dapat memahami penjelasan dan penkes
yang diberikan dan mampu menjawab melalui
evaluasi pertanyaan
Klien dapat mengidentifikasi pola hidup yang
merugikan bagi dirinya selama ini dan mau
merubah perilaku
e. Diagnosa 5 : Segala aktivitas klien dapat dilakukan secara
mandiri dengan bantuan minimal

Anda mungkin juga menyukai