Anda di halaman 1dari 4

Nama : Diana Novita Sari

Npm : 1943050043
Resume Radio Farmasi (BAB 18 RADIOFARMAKA)
Radiofarmaka adalah senyawa kimia yang mengandung atom radioaktif dalam strukturnya dan
digunakan untuk diagnosis atau terapi. Dengan kata lain, radiofarmaka merupakan obat radioaktif.
Sediaan radiofarmaka dibuat dalam berbagai bentuk kimia dan fisik yang diberikan dengan berbagai rute
pemberian untuk memberikan efek radioaktif pada target bagian tubuh tertentu. Beberapa contoh rute
pemberian: per oral (kapsul dan larutan), intravena, intraperitoneal, intrapleural, intratekal, inhalasi,
instilasi melalui tetes mata, kateter urin,  kateter intraperitoneal dan shunts.

A. Kedokteran Nuklir
Radiofarmaka dimanfaatkan dalam berbagai jenis pemeriksaan dalam kedokteran nuklir. Pemeriksaan
tersebut terbagi menjadi 3 kategori:
1. Pemeriksaan untuk pencitraan
Pemeriksaan ini memberikan informasi untuk tujuan diagnostik dan dilakukan dengan memeriksa
pola distribusi radioaktif dalam tubuh.
2. Pemeriksaan fungsi tubuh secara in vivo
Pemeriksaan fungsi tubuh secara in vivo bertujuan untuk mengukur fungsi organ tubuh atau
sistem fisiologis tubuh berdasarkan absorpsi, pengenceran, konsentrasi, bahan radioaktif dalam
tubuh atau ekskresi bahan radioaktif dari tubuh setelah pemberian radiofarmaka.
3. Pemeriksaan untuk tujuan terapetik
Pemeriksaan ini bertujuan untuk keperluan penyembuhan, atau terapi paliatif. Mekanisme kerja
umumnya berupa absorpsi radiasi beta untuk menghancurkan jaringan yang terkena penyakit.

B. Penggunaan Radiofarmaka
Jumlah bahan radioaktif yang diberikan pada pasien dalam kedokteran nuklir, disebut juga sebagai
dosis, umumnya dinyatakan dalam ukuran millicuries (mCi, atau 10-3 Ci). Satu Curie (Ci) setara dengan
3,7 x 1010 disintegrasi (kerusakan atom) per detik. Dalam satuan Unit International, kekuatan bahan
radioaktif diukur dalam satuan becquerels (Bq). Satu Bq setara dengan 1 disintegrasi per detik; sehingga,
1 mCi = 37 MBq. Jumlah radiasi yang diabsorbsi oleh jaringan tubuh disebut dosis radiasi dan dinyatakan
dengan satuan rad (dosis radiasi yang diabsorbsi). Satu rad setara dengan 100 ergs energi yang diabsorbsi
oleh 1 gram jaringan. Satuan Unit Internasional (IU) dosis yang diabsorbsi, Gray (Gy), setara dengan 1
joule energi yang diabsorbsi oleh 1 kg jaringan (1 Gy = 100 rad).

C. Radiofarmaka untuk Diagnosis dan Terapi


Teknik deteksi radiofarmaka dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro. In vivo adalah teknik
deteksi dengan cara radiofarmaka diinjeksikan ke dalam tubuh pasien kemudian dilakukan pencitraan
terhadap tubuh pasien. Sedangkan In vitro  adalah teknik deteksi dilakukan di luar tubuh, sampel berupa
darah pasien yang diambil kemudian di tes menggunakan kit Radioimmunoassay (RIA) dengan prinsip
immunologi.
D. FARMASI NUKLIR
Sebagai sediaan farmasi yang berbahaya, radiofarmaka perlu penanganan khusus dalam proses
pengadaan, penyiapan, penyimpanan dan pendistribusian, terutama untuk pemberian ke pasien dalam
lingkungan fasilitas kedokteran nuklir.
Teknik penanganan
Teknik farmasi nuklir dibagi menjadi dua kategori yaitu:
1. Teknik protektif
Teknik protektif mencegah atau meminimalisasi kontaminasi radioaktif dan paparan radiasi yang
tidak perlu.
2. Teknik aseptic
Teknik aseptik mencegah atau meminimalisasi kemungkinan kontaminasi mikroba pada larutan
steril dan peralatan.
Pemanfaatan radionuklida dilakukan untuk tujuan diagnosis atau terapi beberapa gangguan penyakit pada
otak, kelenjar tiroid, jantung, paru-paru, hati, limpa dan sistem pencernaan, ginjal dan tulang.

a. OTAK
Radiofarmaka untuk pemeriksaan organ pada sistem saraf pusat (SSP) dibagi menjadi lima kelompok
utama yaitu:
1.  Nondiffusible tracers
    Merupakan senyawa yang pertama kali digunakan untuk pencitraan otak. Kelompok ini secara umum
mempunyai karakteristik sebagai senyawa hidrofilik terionisasi dengan mekanisme lokalisasi pada lesi
otak yang tidak spesifik. Umumnya, senyawa dalam kelompok ini tidak dapat memasuki otak melalui
sawar darah otak (Blood-brain barrier, BBB) utuh. Namun, pada kondisi dimana sawar darah otak
terganggu oleh kondisi patologi, senyawa ini meninggalkan ruang vaskuler dan terkonsentrasi pada
lesi. 
    Senyawa yang termasuk pada kelompok ini diantaranya 99mTc-natrium perteknetat, 99m Tc-pentetat
(99mTc-DTPA), 99mTc-gluseptat (99mTc-GH), dan senyawa untuk digunakan pada metoda positron
emission tomography (PET) yaitu 82Rb-rubidium klorida.
2.  Diffusible tracers
    Kelompok ini mempunyai kapasitas untuk memasuki otak normal melalui sawar darah otak (Blood-
brain barrier, BBB) utuh. Hal ini mungkin karena senyawa ini merupakan kompleks lipofilik netral
yang berdifusi secara pasif melalui sel endotelial kapiler otak.
    Senyawa yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah 99mTc eksametazim (99mTc-HMPAO)
dan 99mTc-bisitat (99mTc-ECD).
3.  Penanda metabolisme
    Merupakan agen yang terlokalisasi pada area otak yang berhubungan dengan aktivitas metabolik dan
hipermetabolik. Penanda metabolik yang utama digunakan dalam pencitraan PET adalah 18F-
fluodeoksiglukosa (18F-FDG).
4.  Radiofarmaka untuk pemeriksaan larutan serebrospinal
    Radiofarmaka yang digunakan untuk pemeriksaan ruang larutan serebospinal ini meliputi senyawa
yang tetap ada pada ruang larutan serebospinal setelah injeksi lumbar diberikan. Senyawa ini digunakan
untuk mengevaluasi distribusi dan pergerakan larutan serebospinal pada berbagai tahapan penyakit.
Sebagai contoh hidrosefalus secara rutin diperiksa dengan menggunakan 111In-pentetat (111In-DTPA).
5.  Radiofarmaka untuk pencitraan reseptor otak
    Radiofarmaka untuk pencitraan reseptor otak terutama digunakan untuk penelitian.  Komponen
reseptor avid yang diberi label 99mTc dan radionuklida lainnya sedang dikembangkan.

b. TIROID
Radionuklida pada kelenjar tiroid digunakan untuk menilai fungsi kelenjar tiroid dengan
pemeriksaan radioactive iodine uptake (RAIU), dalam pengobatan hipertiroidisme dan kanker tiroid,
dan pencitraan untuk mendeteksi penyakit dalam kelenjar tiroid dan deteksi adanya metastasis tiroid
dengan memindai seluruh tubuh.
Pemeriksaan yang lazim digunakan dalam kedokteran nuklir untuk mengevaluasi pasien yang diduga
mengalami gangguan tiroid adalah pemeriksaan RAIU, pemindaian kelenjar tiroid, dan terapi radioiodin.
 
c. JANTUNG

Pemeriksaan kedokteran nuklir klinis, sekarang ini pada umumnya menggunakan metoda Single-
Photon Emission Computed (SPECT) dan metoda Positron Emission Tomography (PET). Radiofarmaka
yang digunakan untuk memeriksa penyakit jantung terdiri dari empat kelompok utama yaitu (1) bahan
perfusi untuk memeriksa aliran darah arteri koroner dan iskemik, (2) bahan pengumpul darah untuk
memeriksa fungsi jantung, (3) bahan untuk memeriksa infark miokard, dan (4) bahan metabolisme untuk
menilai viabilitas miokard.

d. PARU-PARU
Radiofarmaka untuk pencitraan paru-paru dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, bahan perfusi
paru, dan bahan ventilasi paru.
Pencitraan untuk melihat fungsi paru-paru dalam kedokteran nuklir dilakukan untuk mengevaluasi fungsi
ventilasi dan perfusi paru. Fungsi ini dapat dilihat dengan melakukan inspirasi gas inert seperti
Xenon 133Xe atau aeorosol berlabel radioaktif seperti 99mTc-DTPA. Indikasi pencitraan ventilasi dan
perfusi paru terutama untuk pemeriksaan pasien yang diduga mengalami embolisme paru akut.

e. HATI, LIMPA, DAN SISTEM SALURAN CERNA


Sekarang ini, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Computed Tomography (CT)
dan ultrasound lazim dipakai untuk memeriksa anatomi hati, sistem hepatobilier dan limpa. Namun,
pencitraan dengan menggunakan radionuklida memberikan lebih banyak informasi mengenai fisiologi
dan fungsi organ-organ tersebut.

f. GINJAL
Metode scintigraphy telah dikembangkan untuk menilai fungsi glomerolus dan tubulus ginjal, untuk
mendeteksi keberadaan tumor atau kista, dan juga untuk mengukur fungsi relatif antara kedua ginjal kiri
dan kanan. Selain itu, scintigraphy ginjal berperan penting dalam evaluasi perfusi ginjal, fungsi ginjal,
dan pada kasus tertentu juga berperan untuk melihat abnormalitas anatomi. Pencitraan menggunakan
radionuklida dapat memberikan kombinasi informasi anatomi dan fisiologi ginjal.

g. TULANG
Pencitraan tulang dilakukan untuk berbagai tujuan, diantaranya untuk pemeriksaan penyakit
metastase, infeksi, dan luka trauma. Keunggulan dari pencitraan tulang adalah sensitivitasnya yang tinggi,
sehingga dimanfaatkan untuk menilai lesi patologis pada tulang pada tahap awal timbulnya
penyakit. Kelemahan pencitraan tulang adalah tidak dapat mendeteksi jenis patologi tulang.

Anda mungkin juga menyukai