TEORI : 3
KELOMPOK 5
Rambu Konda Anggung Praing (191 338 73A)
Wilujeng Sulistyorini
Kharisma Alfiani
Annisa Nofita Ashriyani
Andrew Manuhara
Maria Kusumawati
Amrina Malahati
FAKULTAS FARMASI
Universitas Setia Budi
Surakarta
2015
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan
berkat sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentangoptimalisasi penandaan
99m
Tc-
Penulis
Daftar Isi
Halaman
KATAPENGANTAR..........................................................................................1
DAFTAR ISI ......................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................3
A. Latar Belakang...............................................................................3
B. Permasalahan.................................................................................3
C. Tujuan penulisan.3
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................4
BAB III PENUTUP ...
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi baik berupa bakteri, virus maupun fungi di dalam
tubuh cukup sulit dilacak dan memiliki gejala yang hampir mirip.Untuk dapat membedakan
antara infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau fungi, ataupun inflamasi steril. Candida
albicans merupakan penyebab kasus infeksi fungi pathogen sebanyak 50-70%. Candida albicans
yang menyerang paru-paru, darah, jaringan otak, ginjal, dan saluran pencernaan.Infeksi
umumnya terjadi tanpa gejala tertentu, danpenyebarannya begitu cepat dengan indikasi yang
tidak jelas. Jika penyebab infeksi dapat ditentukan dengan pasti, maka pengobatan yang harus
dilakukan selanjutnya akan lebih efektif dan memberikan hasil kesembuhan yang lebih baik.
Diagnosis secara dini, cepat danspesifik merupakan suatu langkah penting dan kritis
terhadap keberhasilan pengobatan infeksi. Namun, hingga saat ini belum ada metode diagnosis
dini yang cepat danakurat untuk infeksi yang disebabkan oleh C. Albicans , terutama terhadap
infeksi di bagian organ dalam (deep seated infection). Hai inilah yang menjadi latar belakang
adanya
penelitian
tentang
optimalisasi
penandaan
99m
Tc-DTPA-ketokonazol
sebagai
radiofarmaka untuk deteksi infeksi fungi. Pada bab selanjutnya akan membahas mengenai
penelitian yang telah dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Definisi radiofarmaka?
2. Penggunaan radiofarmaka ?
3. Bagaimana optimalisasi penandaan
99m
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari radiofarmaka dan penggunaannya
2. Mengetahui dan memahami penggunaan radiofarmaka
3. Dapat menjelaskan mengenai optimalisasi penandaan
sebagai radiofarmaka untuk deteksi infeksi fungi.
99m
Tc-DTPA-ketokonazol
BAB II
PEMBAHASAN
Radiofarmaka adalah senyawa kimia yang mengandung atom radioaktif dalam
strukturnya dan digunakan untuk diagnosis atau terapi. Dengan kata lain, radiofarmaka
merupakan obat radioaktif. Sediaan radiofarmaka dibuat dalam berbagai bentuk kimia dan fisika
yang diberikan dengan berbagai rute pemberian untuk memberikan efek radioaktif pada target
bagian tubuh tertentu. Beberapa contoh rute pemberian: per oral (kapsul dan larutan), intravena,
intraperitoneal, intrapleural, intratekal, inhalasi, instilasi melalui tetes mata, kateter urin, kateter
intraperitoneal dan shunt.
Radiofarmaka terdiri dari dua komponen yaitu komponen pembawa materi dan
komponen radioaktif. Komponen pembawa materi akan membawa bahan radioaktif ke organ
tubuh tertentu yang dapat ditempati atau dapat menangkap pembawa materi tersebut, sehingga
bahan radioaktif akan berada di organ tersebut dan menjadi sumber radiasi. Ada berbagai cara
dalam menempatkan radiofarmaka ke dalam organ tubuh. Beberapa penempatan yang sudah
diketahui mekanismenya adalah:
1. Proses Fagositosis
Bila pembawa materi adalah mikro koloid yang dapat ditandai dengan Tc-99m, In-113m,
atau Au-198, maka radiofarmaka akan difagositosit oleh system Retikuloendotelia (RES)
tubuh setelah disuntikkan intravena. Radiofarmaka ini dimanfaatkan untuk membuat
skaninghati, limpa, sumsum tulang dan juga membuat skening kelenjar getah bening
regional bila diberikan secara subkutan.
2. Transportasi aktif
Secara aktif sel-sel organ tubuh memindahkan radiofarmaka ini dr plasma darah ke dlm
organ utk selanjutnya ikut metabolisme tubuh/dikeluarkan dr tubuh.
Contoh I-131 Hippuran diekskresi oleh sel tubulus sehingga dapat dipakai untuk
memeriksa fungsi ginjal pada Renogram, Tc-99m IDA dan I-131 Rose Bengal oleh sel
poligonal hati ditransfer dari darah untuk diekskresi ke usus halus lewat saluran empedu.
3. Penghalang kapiler
Apabila pembawa materi adalah makrokoloid yg disuntikkan IV akan menjadi
penghalang kapiler di Paru, misal Tc-99m-makrokoloid dimanfaatkan membuat scanning
perfusi paru untuk mendeteksi emboli paru.
4. Pertukaran Difusi
Pembawa materi yang telah ditandai radioaktif akan saling bertukar tempat dengan
senyawa yang sama dari organ tubuh. Contoh Polifosfat bertanda Tc-99m akan bertukar
tempat dengan senyawa polifosfat tulang.
5. Kompartemental
Bila radiofarmaka berada pada organ tubuh yang diperiksa dalam waktu lama. Misal pada
Scanning jantung dengan Tc-99m Sn eritrosit.
6. Pengasingan Sel
Sel darah merah yang ditandai oleh Cr-51 dan dipanaskan 50 derajad Celcius selama 1
menit bila dimasukkan kembali ke tubuh pasien secara IV akan segera diasingkan ke
limpa dan merupakan radiofarmaka untuk scanning limpa.
Bentuk fisika dan kimiawi sediaan radiofarmaka dapat berupa unsur (Xenon 133, krypton
81m), ion sederhana (iodida, pertechnetate), molekul kecil yang diberi label radioaktif,
makromolekul yang diberi label radioaktif, partikel yang diberi label radioaktif, sel yang diberi
label radioaktif.
Prosedur imaging memberikan informasi diagnosa atas dasar pola distribusi
keradioaktifan di dalam tubuh. Dua kajian utama dalam pemberian informasi imaging dalam
tubuh dari radiofarmaka adalah:
a)
b)
dan letak organ atau adanya lesi yang menempati ruang, dan dalam beberapa kasus
mengenai fungsi relatif. Pola distribusi radiofarmaka dalam suatu organ bervariasi dan
tergantung organ yang diamati dan ada atau tidak adanya penyakit.
Adapun tiga jenis pengamatan yang dilakukan melalui imaging atau pencitraan adalah:
Citra (image) dalam bentuk hot spots atau adanya keradioaktifan yang merata
(uniform) disebabkan radiofarmaka terkonsentrasi dengan mudah di dalam organ yang sehat atau
normal, sedangkan jaringan berpenyakit menolak atau mengeluarkan radiofarmaka tersebut dan
lesion
muncul
dalam
bentuk
citra
yang
cold
spots.
Misalnya, pada penatahan (scanning) liver dengan partikel koloid bertanda radioaktif ; setelah
partikel koloid tersebut diinjeksikan, partikel berakumulasi pada sel-sel phagocytosis yang
terdapat di liver. Bila tumor atau lesi lain berada di dalam liver, maka sel-sel yang melokalisasi
koloid radioaktif akan digantikannya.
Citra (image) dalam bentuk hot spots atau adanya keradioaktifan yang merata
(uniform) disebabkan radiofarmaka terkonsentrasi dengan mudah di dalam organ berpenyakit
atau lesion, sedangkan jaringan yang sehat atau normal menolak atau mengeluarkan
radiofarmaka
tersebut
sehingga
citra
muncul
sebagai
cold
spots.
Misalnya, penatahan otak dengan menggunakan radiofarmaka yang ditolak oleh `blood-brainbarrier`. Bila otak tersebut berpenyakit sehingga `blood-brain-barrier` menjadi rusak, maka
radiofarmaka dapat meninggalkan ruang vascular dan selanjutnya terlokalisasi didalam lesi.
Organ normal bisa mengakumulasikan radiofarmaka, tetapi jaringan berpenyakit mampu
mengakumulasikannya baik pada tingkat yang lebih tinggi lagi bila fungsi organ berlebihan atau
meningkat, maupun pada tingkat yang lebih rendah dari pada organ normal apabila fungsi organ
menurun. Misalnya, dalam pencitraan kelenjar thyroid (thyroid gland) dengan menggunakan
iodium radioaktif. Kelenjar thyroid dengan mudah mengakumulasikan radiofarmaka iodium-131
melalui fungsi normal, tetapi kelenjar yang sakit dengan jaringan thyroid yang hyperfunction
atau hypofunction akan menunjukkan konsentrasi radioiodium-131 yang meningkat atau
menurun.
Mengukur fungsi suatu organ atau system didasarkan atas absorpsi, pengenceran
(dilution), pemekatan, atau ekskresi keradioaktifan setelah pemberian radiofarmaka ini yang
disebut dengan telaah radiofarmasi secara in vivo. Radiofarmaka sendiri harus tidak
mempengaruhi, dalam cara apapun, fungsi sistim organ yang sedang diukur. Cara ini tidak
memerlukan pencitraan, tetapi analisis dan interpretasi didasarkan atas pencacahan
keradioaktifan yang muncul baik secara langsung dari organ-organ yang berada di dalam tubuh
atau dari cuplikan darah atau urin yang dicacah secara in vitro.
Beberapa contoh telaah secara in vivo yakni Telaah uptake iodium radioaktif untuk
mengkaji fungsi kelenjar thyroid sebagaimana ditentukan dengan pengukuran eksternal
prosentase dosis radioidium yang diambil oleh kelenjar vs. waktu. Dapat juga dengan penentuan
volum darah keseluruhan dengan mengukur pengenceran dari sejumlah tertentu sel darah merah
bertanda 51Cr yang diinjeksikan secara intravena dalam suatu volum sel merah. Ataupun
pengkajian tak langsung absorpsi vitamin B12 dari gastrointestinal tract dengan mengukur fraksi
vitamin B12 bertanda 57Co yang diberikan secara oral yang diekskresikan di dalam urin dalam
perioda waktu tertentu (Schilling test).
Dua faktor utama berkaitan dengan pengukuran radiasi:
1. Ionisasi materi oleh radiasi
2. Energi radiasi yang diserap (absorbsi) oleh materi
Kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan konsekuensi biologis akibat interaksi
radiasi dengan tubuh manusia. Tetapi berat ringannya paparan radiasi tergantung dari berapa
banyak energi diserap, makin banyak energy yang terserap maka semakin berbahaya paparan
radiasi tersebut dan bagamana energi terdistribusi di dalam bahan penyerap. Jenis radiasi berbeda
bisa mendepositkan jumlah energi yang sama di dalam jaringan yang sama, tetapi pola
distribusinya bisa berbeda.
Kerusakan radiasi akan lebih besar terhadap sel-sel jaringan jika energi radiasi 100 erg
yang diserap terkosentrasi dibagian terkecil dari 1 gram jaringan dari pada jika 100 erg energi
didepositkan secara merata di seluruh 1 gram jaringan. RBE (Relative Biologic Effectiveness)
merupakan ukuran yang digunakan untuk menjelaskan derajat efek biologis yang dihasilkan oleh
jenis radiasi yang berbeda dengan dosis terserap yang sama. RBE adalah dosis radiasi sinar x dan
g dalam Rad yang diperlukan untuk menghasilkan efek biologis tertentu dibagi dengan dosis
radiasi dalam Rad setiap radiasi pengionisasi yang diperlukan untuk menghasilkan efek biologis
yang sama.
RBE tergantung dari besarnya LET (Linear Energy Transfer) radiasi tertentu. Lebih besar LET
makin tinggi efek biologis dari radiasi tertentu yang diserap. Energi yang diserap dalam jarak
yang pendek akan menyebakan lebih banyak injury yang diterima bila dibandingkan dengan
energi yang diserap dalam jarak yang jauh.
Beberapa radiasi bisa menghasilkan lebih banyak ionisasi per panjang lintasan yang
dilalui. Radiasi demikian dikatakan memiliki ionisasi spesifik yang tinggi dan karena itu akan
mendepositkan energi yang lebih banyak dalam panjang lintasan yang sama, artinya radiasi.
memiliki LET yang tinggi. Misalnya, 0.05 rad radiasi a di dalam jaringan menghasilkan efek
biologis yang sama seperti yang ditunjukkan oleh 1 rad radiasi sinar-x atau g, maka RBE radiasi
a adalah 20.
Bila 1 rad radiasi b menghasilkan efek biologis yang sama dengan 1 rad radiasi sinar-x
atau g, maka RBE radiasi b adalah 1.
Dalam proteksi radiasi akan memudahkan untuk menjumlahkan kontribusi dosis dari tipe
radiasi berbeda, kemudian digunakan suatu `modifier` sebagai faktor kualitas radiasi (Q) yang
berhubungan dengan tipe dan energi radiasi serta LET nya.
Dalam radiofarmasi dan kedokteran nuklir, paparan radiasi eksternal (external exposure)
yang menjadi perhatian utama adalah yang berkaitan dengan pemancaran sinar-g dan sinar-x,
karena kemampuannya untuk menembus jaringan dan menyebabkan ionisasi.
Lain halnya dengan radiasi partikel, paparan eksternalnya terhadap tubuh sedikit
memberikan efek berbahaya, karena partikel b dan a mudah diserap oleh udara atau oleh
beberapa mm lapisan kulit. Meskipun demikian, beberapa pemancar b energi tinggi, seperti 32P
(1.7 MeV), 90Y (2.28 MeV), dan 89Sr (1.46 MeV) dapat memiliki ancaman eksternal karena
jangkauannya (range) di udara maupun jaringan cukup tinggi.
99m
Tc-DTPA-
99m
efek sterik yang dimiliki oleh masing-masing atom donor electron.Pada percobaan ini digunakan
ko-ligan dietilen triamin pentaasetat (DTPA) sehingga reaksi dapat terjadi. Ko- ligan inilah yang
menjadi bifunctional agent antara atom
99m
khelat, atomTc akan terikat pada atom N dan beberapa atom O yang terdapat di dalam molekul
DTPA.
Mekanisme kerja Ketokonazol mirip dengan mikonazol dan meliputi banyak fungi
pathogen (ragi, dermatofit, termasuk Pityrosporon ovale). Zat ini digunakan pada infeksi jamur
sistemis yang parah dan kronis, secara local pada ketombe hebat. Namun, tidak efektif terhadap
infeksi oleh Aspergillus. Resorpsinya dari lambung-usus praktis lengkap pada pH di bawah 3.
Dalam hati zat ini dirombak menjadi metabolit tak aktif; eksresinya terutama melalui empedu
dan tinja.
Efek sampingnya adalah gangguan alat cerna (mual, muntah, diare), nyeri kepala, pusingpusing, dan gatal-gatal. Yang lebih serius adalah sifat hepatotoksisitasnya, karena mengakibatkan
hepatitis pada 1 per 2.000-10.000 pasien, terutama bila digunakan lebih dari 14 hari. Pada dosis
tinggi (lebih dari 600 mg seharinya), dapat menghambat sintesa hormone testosterone, yang
mengakibatkan terganggunya produksi sperma dan impotensi. Wanita hamil dan yang menyusui
tidak dianjurkan menggunakan obat ini, karena, data mengenai efek teratogennya masih
memuaskan.
Dalam penandaan
99m
penentuan kondisi optimal dengan membuat variasi pada beberapa parameter, meliputi pH
penandaan, jumlah ligan, koligan dan reduktor serta waktu inkubasi.Efisiensi penandaan
99m
Tc
penandaan denganradionuklida 99mTc adalah pH. Faktor pH berperan penting dalam kestabilan
senyawa bertanda.
Pada penelitian ini, diperoleh kondisi optimal penandaan pada pH 3,5 (pH akhir 4,5)
dengan kemurnian radiokimia sebesar 97,770,33%. Pada pH > 4,5 kemurnian radiokimia
menjadi turun < 95% dan pada pH akhir di atas 5,25, larutan menjadi keruh. Hal ini menandakan
bahwa pada pH tinggi, terjadi pembentukan TcO2 yang lebih banyak dan senyawa ketokonazol
yang tidak larut. Keuntungan lain yang didapat pada pH yang rendah, Sn(II) yang terbentuk
bersifat reduktor, sedangkan pada kondisi basa Sn membentuk ion Sn(OH)3 - yang tidak bersifat
reduktor, sehingga proses reduksi Tc (VII) untuk mencapai bilangan oksidasi yang lebih rendah
menjadi lebih sukar terbentuk (Tc(IV)) .
Faktor lain yang perlu diperhatikan pada saat penandaan ketokonazol dengan
radionuklida
99m
99m/99Tc
-perteknetat yang
terkandung di dalam eluat hasil darigenerator.Jumlah Sn(II) optimal yang diambil untuk
percobaan selanjutnya sebanyak 37,5 g, karena pada nilai yang lebih tinggi dari 50 g, jumlah
DTPA yang terkandung di dalam larutan stok Sn DTPA terlalu besar dan menghasilkan pengotor
99m
99m
Tc-DTPA-ketokonazol yang
99m
jumlah SnCl2.
Jumlah ligan yang tidak optimal akan menyebabkan jumlah pengotor naik dan efisiensi
penandaan turun. Seperti terlihat pada Gambar 4, semakin besar jumlah ligan, kemurnian
radiokimia menjadi semakin kecil.Hal ini disebabkan ikatan ligan dengan ko-ligan berada pada
perbandingan mol yang optimal untuk menghasilkan kemurnian radiokimia yang tinggi. Pada
penandaan ketokonazol dengan radionuklida
99m
ketokonazol untuk jumlah DTPA yang tetap, akan menghasilkan penurunan kemurnian
radiokimia.
Dari hasil yang didapat pada Gambar 5, diketahui bahwa secara umum, untuk dapat
berikatan dengan 1 atom Tc, diperlukan 1 molekul DTPA sebagai jembatan penghubung antara
Tc dengan ketokonazol.
Pengaruh waktu inkubasi (5 s/d 30 menit) pada temperatur ruangan terhadap efisiensi
penandaan
99m
bahwa pertambahan waktu inkubasi tidak mengakibatkan perbedaan hasil yang signifikan, yaitu
masih berada pada kemurnian radiokimia 97,370,79%.
Dari hasil percobaan yang diperlihatkan pada Gambar 7, didapatkan bahwa puncak yang
terdeteksi berbeda antara ketiga senyawa tersebut. Senyawa Na 99mTcO4 bergerak paling jauh
menuju anoda, hal inimenunjukkan bahwa muatan (99mTcO4) - hasil ionisasi lebih negatif
dibandingkan dengan kedua senyawa lain. Senyawa
tidak bergerak sejauh Na99mTcO4.
99m
Pada penelitian ini dilakukan juga uji coba uptake in-vivo pada hewan percobaan mencit
yang diinduksi C. albicans untuk mengetahui akumulasi senyawa 99mTc- DTPA-ketokonazol
pada organ yang terinfeksi C. albicans (T) dengan organ yang tidak terinfeksi (NT). Hasil
pengamatan menunjukkan perbedaan uptake yang cukup besar antara organ yang terinfeksi
dengan organ yang tidak terinfeksi dengan rasio (T/NT) sebesar 3,160,04 (n=5) setelah 2 jam
injeksi. Hasil pencitraan diharapkan dapat membedakan antara organ terinfeksi C.albicans
dengan organ yang normal seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Penggunaan Radiofarmaka
Radiofarmaka merupakan suatu senyawa antara bahan non-radioaktif (farmaka) dengan
bahan radioaktif (radionuklida). Farmaka yang biasanya dipilih adalah zat yang apabila
dimasukan ke dalam tubuh melalui suntikan atau mulut akan mengikuti proses metabolisme
normal tanpa mengganggu fungsi normal organ yang akan diteliti. Berbagai radiofarmaka
memberikan kesempatan untuk mempelajari struktur dan melokalisasi antigen menggunakan
antibody bertanda, reseptor, system enzim dan hormonal, lokalisasi infeksi, inflamasi dan deteksi
dini kanker. Pencitraan tidak hanya didasarkan pada kelainan tingkat organ atau seluler tapi juga
molecular. Pengembangan radiofarmaka untuk pengobatan juga dirasakan semakin berkembang.
Pemanfaatan radiofarmaka dalam bidang kedokteran dapat digunakan untuk diagnostik
in-vivo, in-vitro dan terapi. Dalam pelayanan diagnostik in-vivo, penderita akan mendapat
radiofarmaka, yaitu gabungan antara radionuklida dengan bahan farmaka lain yang diberikan
melalui suntikan atau melalui mulut (per-oral). Melalui teknik ini fisiologi dan patofisiologi
organ atau sistem dalam tubuh dapat dievaluasi. Sedangkan diagnostik in-vitro adalah metoda
diagnostik menggunakan radionuklida untuk menentukan berbagai kadar zat tertentu dalam
tubuh, misalnya kadar hormon, petanda tumor dan lain-lain dalam darah, urin atau air liur
penderita. Dengan demikian pada diagnostik in-vitro penderita tidak mendapat paparan radiasi
sama sekali. Terapi beberapa penyakit tertentu sudah dapat dilakukan dengan menggunakan
radionuklida atau lebih dikenal dengan terapi radiasi interna.
Contoh
Xenon 133 (133Xe),
krypton 81m (81mKr)
131 I (odida),
99m
TcO4 (pertechnetate)
Unsur
Ion sederhana
131
99m
125
111
Partikel berlabel
radioaktif
Sel berlabel radioaktif
99m
Tc-sulfur colloid
99m
Tc-macroaggregated albumin
51
Cr-or 99mTc-eritrosit
51
In-or 99mTc-leukosit
Bentuk Sediaan
Kapsul dan Larutan
Larutan, dispersi koloid, suspensi
Larutan
Gas dan Aerosol
Larutan steril
Bentuk Sediaan
Penggunaan
Dosis lazim
(Dewasaa)
Rute
pemberianb
Karbon C11
Karbon monoksida
60-100 mCi
Inhalasi
Karbon C11
Injeksi Flumazenil
20-30 mCi
Intravena
Karbon C 14
Urea
1 Ci
Oral
Kromium Cr 51
Injeksi natrium
kromat
10-80 Ci
Intravena
Diagnosis
infeksiHelicobacter pylori
Pelabelan sel darah merah
(Red Blood Cells, RBCs)
untuk pengukuran volume
dan waktu hidup sel darah
serta penyerapan limfa
Kobalt Co 57
Kapsul
sianokobalamin
0.5 Ci
Oral
Fluor F 18
Injeksi natrium
fluorida
Pencitraan tulang
10 mCi
Intravena
Galium Ga 67
8-10 mCi
Intravena
Injeksi kapromab
pendetid
5 mCi
Intravena
Dosis
individual;
tidak lebih
dari 75 cGy
seluruh tubuh
Intravena
Indium In 111
Iodin I 131
Tositumomab
Nitrogen N 13
Injeksi amonia
10-20 mCi
Intravena
Oksigen O 15
Injeksi air
Perfusi jantung
30-100 mCi
Intravena
Fosfor P 32
Injeksi natrium
fosfat
Polisitemia
1-8 mCi
Intravena
Rubidium Rb
82
Injeksi Rubidium
klorida
30-60 mCi
Intravena
1.0 mCi/kg
Intravena
4 mCi
Intravena
20 mCi
Intravena
20 mCi
Intravena
20-30 mCi
Intravena
Samarium Sm
153
Injeksi leksidronam
Stronsium Sr 89
Injeksi stronsium
klorida
Teknetium Tc
99m
Injeksi albumin
Teknetium Tc
99m
Injeksi bisisat
Teknetium Tc
99m
Injeksi oksidronat
GFR (kuantitatif)
Teknetium Tc
99m
3 mCi
Injeksi pentetat
Teknetium Tc
99m
Injeksi tetrofosmin
Thallium Tl 201
Injeksi thallus
klorida
Xenon Xe 133
Xenon
Renogram (diuretik)
Intravena
10 mCi
8-40 mCi
3-4 mCi
Intravena
Intravena
Pencitraan paratiroid
2 mCi
10-20 mCi
BAB III
PENUTUP
Inhalasi
99m
Tc-DTPA-ketokonazol sebagai
99m
Tc-DTPA-
ketokonazol telah berhasil dilakukan dengan kemurnian radiokimia sebesar 97,77 % 0,33 %
padajumlah ketokonazol sebanyak2 mg; DTPA 1,125 mg; reduktor SnCl2.2H2O 3,75 g; pH 4,5
dan waktu inkubasi 5 menit. Uji uptakein-vivo 99mTc-DTPA-ketokonazol pada mencit yang
diinfeksi dengan C. albicans, menunjukkan rasio uptake pada organ terinfeksi terhadap organ
yang tidak terinfeksi (T/NT) sebesar 3,160,04 (n=5) setelah 2 jam injeksi.
DAFTAR PUSTAKA
Arendrup MC. Epidemiology of invasive candidiasis. Curr Opin Crit Care 2010;16(5):
44552.
Gompelmann D, Heussel CP, Schuhmann M, Herth FJ. The role of diagnostic imaging in
the management of invasive fungal diseases: report from an interactive workshop. Mycoses
2011;54 Suppl 1: 2731.
Zolle I. Technetium-99m pharmaceuticals: preparation and quality control in nuclear
medicine. Berlin Heidelberg: Springer; 2007.