Anda di halaman 1dari 10

PRAKTIKUM TEKNOLOGI FARMASI SEDIAAN STERIL

PROGRAM S1 FARMASI
Dosen pengampu : Dr. apt. Herman Widjaja, SSi., MBA, M.Pharm

PERTEMUAN 7 (PG)
TANGGAL : 15 JULI 2023
TOPIK : SEDIAAN INJEKSI NATRIUM SEFOTAKSIM

KELOMPOK 1
ANGGOTA :
1. RAFAEL (2143050012)
2. DIANA NOVITA SARI (1943050043)
3. SAHDA SABILAH LUHTANSA (2143057015)
4. IRENE EPIFANIA SITORUS (2043050007)
5. RINDI YANI (1943050044)

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI SEDIAAN STERIL


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2023
I. JUDUL
Sediaan Injeksi steril Natrium Sefotaksim

II. TUJUAN
Mahasiswa dapat membuat formula pembuatan dan mengevaluasi sediaan injeksi
steril Natrium Sefotaksim

III. PENDAHULUAN
Injeksi merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspense atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikan dengan cara merobek jaringan kulit atau melalui kulit atau selaput lender.
Injeksi dilakukan dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah
obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan sejumlah obat ke dalam
wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda (Anief,2008).
Sediaan steril adalah sediaan yang bebas dari pencemaran mikroba baik
patogen maupun non patogen, vegetatif, maupun non vegetatif dari suatu objek atau
material. Sterilisasi adalah menghilangkan semua bentuk kehidupan, baik bentuk
patogen, nonpatogen, vegetatif, maupun non vegetatif dari suatu objek atau material.
Hal tersebut dapat dicapai melalui beberapa cara penghilangan secara fisika semua
organisme hidup, misalnya melalui penyaringan atau pembunuhan organisme dengan
panas, bahan kimia, atau dengan cara lainnya. Sterilisasi perlu dilakukan untuk
mencegah transmisi penyakit, mencegah pembusukan material oleh mikroorganisme,
dan untuk mencegah kompetisi nutrient dalam media pertumbuhan sehingga
memungkinkan kultur organisme spesifik berbiak untuk keperluan sendiri atau untuk
metabolitnya (Agoes, 2009).
Berbeda dengan sediaan farmasi pada umumnya, produk steril haruslah dibuat
dengan persyaratan khusus, dengan tujuan meniadakan (memperkecil) risiko
kontaminasi mikroba, partikel partikulat, pirogen dan produk interaksi lainnya
(Agoes, 2009). Salah satu bentuk sediaan steril adalah sediaan injeksi. Sediaan injeksi
adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi, atau serbuk yang harus
dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral,
suntikan dengan cara menembus, atau merobek jaringan ke dalam atau melalui kulit
atau selaput lendir (Lukas, 2006).
Pemberian melalui injeksi mempunyai beberapa keuntungan maupun kerugian antara
lain (Groves, 1998; Turco & King, 1979):
Keuntungan pemberian secara injeksi, yaitu:
1. Obat – obat yang rusak atau diinaktifkan oleh system saluran serna atau tidak
diabsorpsi dengan baik untuk memberikan respon memuaskan, dapat diberikan
secara parenteral.
2. Sering digunakan apabila dibutuhkan absorpsi yang segera, seperti pada keadaan
darurat.
3. Pemberian secara parenteral berguna dalam pengobatan pada pasien yang tidak
mau bekerjasama, kehilangan kesadaran atau sebaliknya tidak dapat menerima
obat secara oral.
Kerugian pemberian secara parenteral, yaitu :
1. Apabila obat sudah disuntikkan, maka obat tersebut tidak dapat ditarik kembali.
Hal ini berarti pemusnahan untuk obat yang mempunyai efek tidak baik atau
toksik maupun kelebihan dosis karena ketidakhati – hatian akan sukar dilakukan.
2. Tuntutan sterilitas untuk sediaan parenteral yang sangat ketat.
3. Harganya relatif mahal dan memerlukan tenaga kesehatan khusus yang berwenang
melakukan pengobatan.
4. Adanya resiko toksisitas jaringan dan akan terasa sakit saat penyuntikan serta sulit
untuk memulihkan keadaan apabila terjadi kesalahan. Diperlukan pertimbangan
keuntungan dan kerugian pada penggunaan sediaan injeksi untuk memilih bentuk
sediaan injeksi dalam klinik.

IV. DATA PREFORMULASI


a. Zat Aktif

Natrium Sefotaksim Pemerian : Serbuk hablur putih atau


agak kuning
Kelarutan : Mudah larut dalam air,
sukar larut dalam pelarut organik.
BM : 477,45
pH : <1071> Antara 4,5 dan 6,5;
lakukan penetapan menggunakan
larutan (1 dalam 10).
Khasiat : infeksi bakteri
Inkompatibilitas: inkompatibilitas
dengan larutan alkalin seperti natrium
bikarbonat, diberikan terpisah dengan
aminoglikosida. (Martindale 38th ed,
hal: 244)
Cara sterilisasi : dilakukan secara
aseptis
Penyimpanan : wadah tertutup rapat
Daftar Pustaka :
- Farmakope Indonesia edisi V hal.
1148
- Martindale 38th ed, hal: 244

b. Bahan Tambahan
BKC (Benzalkonium klorida) Pemerian : Gel kental atau potongan
seperti gelatin, putih atau kekuningan.
Biasanya berbau aromatik lemah.
Larutan dalam air berasa pahit, jika
dikocok sangat berbusa dan biasanya
sedikit alkali.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam


air dan dalam etanol; bentuk anhidrat
mudah larut dalam benzen dan agak
sukar larut dalam eter.
Wadah dan Penyimpanan : Dalam
wadah tertutup Rapat (FI V hal 270)

Kegunaan : Surfaktan

Na2HPO4 Pemerian : Natrium fosfat dibasa


anhidrat terjadi sebagai bubuk putih.
Dihidrat terjadi sebagai kristal putih atau
hampir putih, tidak berbau.
Heptahydrate terjadi sebagai kristal
tidak berwarna atau sebagai butiran
putih atau garam berlapis yang
mengembang di udara yang hangat dan
kering. Dodekahidrat terjadi sebagai
kristal yang sangat mekar, tidak
berwarna atau transparan. (HOPE Edisi
6th Hal. 656

BM : -
Kelarutan : Sangat larut dalam air,
lebih-lebih dalam air panas atau
mendidih; praktis tidak larut dalam
etanol (95%). Bahan anhidrat larut 1
dalam 8 bagian air, heptahidrat 1 dalam
4 bagian air, dan dodecahydrate 1 dalam
3 bagian air
Stabilitas : Bentuk anhidrat dari
natrium fosfat dibasa bersifat
higroskopis. Saat dipanaskan hingga
40°C, dodekahidrat akan melebur; pada
100°C ia kehilangan air kristalisasinya;
dan pada panas redup (sekitar 240°C) ia
diubah menjadi pirofosfat, Na4P2O7.
Larutan berair natrium fosfat dibasa
stabil dan dapat
disterilkan dengan autoklaf. (HOPE
Edisi 6th Hal. 657

Inkompatibilitas : Natrium fosfat


dibasa tidak sesuai dengan alkaloid,
antipirin, kloral hidrat, timbal asetat,
pirogalol, resorsinol dan kalsium
glukonat, dan siprofloksasin. Interaksi
antara kalsium dan fosfat, yang
mengarah pada pembentukan endapan
kalsium-fosfat yang tidak larut,
dimungkinkan dalam campuran
parenteral. (HOPE Edisi 6th Hal. 657).
Wadah dan Penyimpanan : Dalam
wadah kedap udara, ditempat yang sejuk
dan kering. (HOPE Edisi 6th Hal. 657).
Kegunaan :Buffering agent (HOPE
Edisi 6th Hal. 656)
Cara Sterilisasi :Panaskan dengan
autoklaf 121°C, selama 15 menit.
Daftar Pustaka :
HOPE Edisi. 6th Hal. 657
NaH2PO4 Pemerian : Natrium fosfat monobasa
mengandung satu atau dua molekul air
hidrasi atau anhidrat. Bentuk terhidrasi
dari natrium fosfat monobasa terjadi
sebagai kristal yang tidak berbau, tidak
berwarna atau putih, sedikit
deliquescent. Bentuk anhidrat terjadi
sebagai bubuk atau butiran kristal putih.
(HOPE Edisi 6th Hal. 659)
BM : -

Kelarutan : -
Stabilitas : Natrium fosfat monobasa
secara kimiawi stabil, meskipun sedikit
deliquescent. Pada pemanasan pada
100°C, dihidrat kehilangan semua air
kristalisasinya. Pada pemanasan lebih
lanjut, ia meleleh dengan dekomposisi
pada 205°C, membentuk natrium
hidrogen pirofosfat, Na2H2P2O7. Pada
250°C meninggalkan residu akhir
natrium metafosfat, NaPO3. Larutan
encer stabil dan dapat disterilkan dengan
autoklaf. (HOPE Edisi 6th Hal. 659)
Incompatibilities : Natrium fosfat
monobasa adalah garam asam dan
karena itu umumnya tidak sesuai dengan
bahan alkalin dan karbonat; larutan
encer natrium fosfat monobasa bersifat
asam dan akan menyebabkan karbonat
berbuih. Natrium fosfat monobasa tidak
boleh diberikan bersamaan dengan
garam aluminium, kalsium, atau
magnesium karena mereka mengikat
fosfat dan dapat mengganggu
penyerapannya dari saluran pencernaan.
Interaksi antara kalsium dan fosfat, yang
mengarah pada pembentukan endapan
kalsium fosfat yang tidak larut,
dimungkinkan dalam campuran
parenteral. (HOPE Edisi 6th Hal. 659)
Wadah dan Penyimpanan : Dalam
wadah kedap udara ditempat yang sejuk
dan kering. (HOPE Edisi 6th Hal. 659)
Kegunaan : Buffering agent (HOPE
Edisi 6th Hal. 659)
Cara Sterilisasi : Panaskan dengan
autoklaf 121°C, selama 15 menit
Daftar Pustaka : HOPE Edisi 6th Hal
659
Nacl Pemerian : Hablur heksahedral tidak
berwarna atau serbuk hablur putih, tidak
berbau, rasa asin.
BM : 58,44
Kelarutan : Larut dalam 2,8 bagian air,
dalam 2,7 bagian air mendidih dan
dalam lebih kurang 10 bagian gliserol P,
sukar larut dalam etanol (95%)
Wadah dan Penyimpanan : Dalam
wadah tertutup baik.
Kegunaan : Sumber ion klorida dan ion
natrium
Daftar Pustaka :
Farmakope Indonesia Edisi. III Hal.
403
Aqua Pro Injeksi Pemerian: Cairan jernih, tidak
berwarna; tidak berbau.
BM : -
Kelarutan : -
Stabilitas : Bercampur dengan banyak
pelarut polar. Keasaman – kebasaan;
ammonium, besi, tembaga, timbal,
kalsium, klorida, nitrat, sulfat, zat
teroksidasi memenuhi syarat yang
tertera pada aqua destilation
Incompatibilities : Dalam formulasi
sediaan, air dapat bereaksi dengan obat
dan bahan tambahan lainnya terurai atau
terhidrolisis. Air juga dapat bereaksi
dengan logam alkali, kalsium dioxid dan
magnesium oxid
Wadah dan Penyimpanan : Dalam
wadah tertutup kedap, jika disimpan
dalam wadah tertutup kapas berlemak
harus digunakan dalam waktu 3 hari
setelahpembuatan.pH ; 5,0-7,0
Kegunaan : Pelatur
Cara sterilisasi : Autoklaf pada suhu
121°C, selama 15 menit
Daftar pustaka :
- Farmakope Indonesia ed III; FI V Hal.
65.
- HOPE Edisi 6th Hal. 63

V. PERMASALAHAN DAN PENYELESAIAN MASALAH


N Permasalahan formula Peyelesaian masalah
o
1.

2.

3.
VI. FORMULA
a. Formulasi Rancangan
R/ Na. Sefotaksim 1 %
Mf. Injeksi steril 100 Ml
S.u.e
Formulasi yang diusulkan :
No. Bahan Jumlah (%) Fungsi
1. Natrium Sefotaksim 1% Zat Aktif
2. BKC 0,1 % Pengawet
3. Na2HPO4 0,14 % Buffering agent
4. NaH2PO4 0,13 % Buffering agent
5. NaCl 0,65 % Pengisotonis
6. Aqua PI Ad 100 Pelarut

VII. PERHITUNGAN ISOTONIS/TONISITAS

VIII. PENIMBANGAN

Penimbangan Bahan :
No. Bahan Bobot Teori Bobot Praktek
1. Natrium Sefotaksim 1%
2. BKC 0,1 %
3. Na2HPO4 0,14 %
4. NaH2PO4 0,13 %
5. NaCl 0,65 %
6. Aqua PI Ad 100

IX. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
Waktu sterilisasi
Nama alat Cara sterilisasi Jumlah Paraf
Mulai Akhir
Pinset Oven, 170o C, 30 2
menit
Spatel logam Oven, 170o C, 30 6
menit
Batang pengaduk Autoklaf, suhu 121oC 5
selama 15 menit
Kaca arloji Oven, 170o C, 30 4
menit
Labu Erlenmeyer Oven, 170o C, 30 1
menit
Pipet tetes Oven, 170o C, 30 4
menit
Karet penutup Oven, 170o C, 30 4
pinset tetes menit
Gelas ukur 10 mL Oven, 170o C, 30 1
menit
Kertas perkamen Oven, 170o C, 30 7
menit
Gelas kimia 50 mL Oven, 170o C, 30 2
menit
Gelas kimia 100 Oven, 170o C, 30 2
mL menit
Buret Autoklaf, suhu 121oC 1
selama 15 menit
Alumunium foil Oven, 170o C, 30 Secukupnya
menit
Termometer - -
Mortir dan stamper Autoklaf, suhu 121oC @2
besar selama 15 menit
Mortir dan stamper Autoklaf, suhu 121oC @1
kecil selama 15 menit

2. Bahan
Waktu sterilisasi
No Nama alat Jumlah Cara sterilisasi Paraf
Mulai Akhir
1 Eritromicyn 101 mg Autoklaf, suhu
121oC selama 15
menit
2 Metil paraben 20,2 mg Autoklaf, suhu
121oC selama 15
menit
3 Propil paraben 2,02 mg Autoklaf, suhu
121oC selama 15
menit
4 BHT 3,03 mg Autoklaf, suhu
121oC selama 15
menit
5 Propilenglikol 505 mg Autoklaf, suhu
121oC selama 15
menit
6 Gliserin 404 mg Autoklaf, suhu
121oC selama 15
menit
7 Paraffin liquidum 404 mg Autoklaf, suhu
121oC selama 15
menit
8 Vaselin flavum ad 10,1 Autoklaf, suhu
gram 121oC selama 15
menit
3. Wadah
Waktu sterilisasi
No Nama alat Jumlah Cara sterilisasi Paraf
Mulai Akhir
1 Tube logam 1 Autoklaf, suhu
121oC selama 15
menit
2 Tutup tube 1 Autoklaf, suhu
121oC selama 15
menit

X. CARA PEMBUATAN
Dalam prosedur harus ada kata” steril contoh : “timbang Nacl yang sudah disterilkan
dalam oven dan masukkan kedalam cawan petri yang telah disterilkan dan tutup
dengan alumunium foil yang sudah disterilkan”

XI. EVALUASI
Evaluasi berdasarkan buku

I. DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.
Jakarta: Departemen Kesehatan Indonesia
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V.
Jakarta: Departemen Kesehatan
Rowe RC, Sheskey PJ dan Quinn ME. Handbook of Pharmaceutical Excipients,
6th
Anief, Moh. 2000. Farmasetika. Yogyakarta : UGM Press.
Indonesia Edisi Ketiga, UI Press : Jakarta edition. London: Pharmaceitical Press;
2009.
Lund, W., 1994, The Pharmaceutical Codex, 12th Ed., Principle and Practice of
Pharmaceutics, The Pharmaceutical Press, London.
II. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai