Anda di halaman 1dari 34

KONSEP FAKTOR PEMBATAS DAN KISARAN TOLERANSI

DALAM DUNIA PETERNAKAN DAN KONSERVASI HEWAN

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekologi dan Managemen


Lingkungan Yang diampu oleh:
Prof. Ir. Dr. Suhadi, M.Si

Oleh: Offering B 2022


Kelompok VII

Adelina Rosidi 220341801932


Annisa Firmandanur Sinta 220341802528
Rena Silvia Agustina 220341802042
Imroatul Murodatusy 220341802228

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN BIOLOGI
OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah Landasan dan Problematika Pendidikan
Sains Biologi dengan judul “Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi
dalam Dunia Peternakan dan Konservasi Hewan” tepat pada waktunya.
Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya
kepada Bapak Prof. Ir.Dr. Suhadi, M.Si. selaku dosen pengampuh mata kuliah
ekologi dan manageman lingkungan yang telah banyak membantu dan
membimbing dalam banyak hal sehingga tugas makalah ini dapat selesai dengan
baik.
Meskipun pemikiran dan pengetahuan yang penulis miliki telah
sepenuhnya penulis kerahkan dalam penyelesaian makalah ekologi dan
manageman lingkungan ini. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Malang, November 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUA N

A. Latar Belakang
Lingkungan adalah sistem kompleks yang dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup dan merupakan ruang tiga
dimensi, dimana makhluk hidupnya sendiri merupakan salah satu bagiannya.
Lingkungan bersifat dinamis yang berubah setiap saat. Perubahan yang terjadi
dari faktor lingkungan akan mempengaruhi makhluk hidup dan respon makhluk
hidup terhadap faktor tersebut yang akan berbeda-beda menurut skala ruang dan
waktu, serta kondisi makhluk hidup tersebut.
Faktor-faktor lingkungan sebagai faktor pembatas ternyata tidak saja berperan
sebagai faktor pembatas minimum tetapi terdapat pula faktor pembatas
maksimum. Bagi hewan tertentu misalnya faktor lingkungan seperti suhu udara
atau kadar garam (salinitas) yang terlalu rendah/sedikit atau terlalu tinggi/banyak
dapat mempengaruhi berbagai proses fisiologinya. Faktor-faktor lingkungan
tersebut dinyatakan penting jika dalam keadaan minimum, maksimum atau
optimum sangat berpengaruh terhadap proses kehidupan hewan menurut batas-
batas toleransi tumbuhannya.
Pengaruh faktor-faktor lingkungan dan kisarannya untuk hewan yang satu dan
yang lain berbeda-beda menurut habitat dan waktu yang berlainan. Tetapi pada
dasarnya secara alami kehidupannya dibatasi oleh: jumlah dan variabilitas unsur-
unsur faktor lingkungan tertentu (seperti nutrien dan faktor fisik, misalnya suhu
udara) sebagai kebutuhan minimum, dan batas toleransi tumbuhan terhadap faktor
atau sejumlah faktor lingkungan tersebut. Aplikasi faktor pembatas dan kisaran
toleransi salah satunya dapat diterapkan dalam bidang peternakan dan konservasi
hewan. Faktanya sekarang, pengelola bidang peternakan belum memahami
pentingnya faktor pembatas dan kisaran toleransi hewan yang diternakkan,
padahal ini mempengaruhi hasil produksi. Selain itu pengelola konservasi hewan
langka banyak yang belum memahami konsep faktor pembatas dan kisaran
toleransi dari hewan yang dikonservasinya. Faktanya di lapangan seringkali
pengelola buka ahli di bidang ekologi hewan, contoh di KBS, akhirnya tujuan dari
konservasi itu tidak tercapai dan mengarahkan hewan ke arah kepunahan karena
salah pengelolaan.
Berdasarkan beberapa hal yang telah dipaparkan tersebut maka penting
disusun makalah yang berjudul “Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran
Toleransi dalam Dunia Peternakan dan Konservasi Hewan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan beberapa masalah
berikut:
1. Apakah yang dimaksud konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi?
2. Bagaimana aplikasi konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam
dunia peternakan?
3. Bagaimana aplikasi konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam
dunia konservasi hewan?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penyusunan makalah berdasarkan rumusan masalah diatas adalah:
1. Mendeskripsikan konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi.
2. Menjelaskan aplikasi konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam
dunia peternakan.
3. Menjelaskan aplikasi konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam
dunia konservasi hewan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Faktor Pembatas


1. Pengertian Faktor Pembatas
Faktor pembatas adalah faktor-faktor fisika dan kimia (komponen abiotik)
yang menentukan apakah organisme (komponen biotik) dapat hidup dan
berkembang dalam suatu ekosistem. Jadi istilah faktor pembatas digunakan
bagi organisme untuk menentukan daya adaptasinya terhadap faktor fisika dan
kimia lingkungan. Faktor pembatas di antaranya adalah temperatur, cahaya,
air, gas atmosfer, mineral, arus dan tekanan, tanah, dan api. Masing-masing
organisme mempunyai kisaran kepekaan terhadap faktor pembatas.
Faktor pembatas tersebut dapat dianggap sebagai selektor organisme yang
mampu bertahan dan hidup pada suatu wilayah. Sehingga seringkali didapati
adanya organisme-organisme tertentu yang mendiami suatu wilayah
tertentu.pula. Organisme ini disebut sebagai indikator biologi (indikator
ekologi) pada wilayah tersebut. Misalnya, pada gurun pasir di mana
ketersediaan air merupakan faktor pembatas bagi kelangsungan hidup
organisme yang ada di wilayah tersebut, sehingga hanya makhluk hidup
tertentu yang mampu bertahan hidup, seperti tanaman jenis kaktus yang
berfungsi sebagai indikator ekologi.
2. Lingkungan sebagai Faktor Pembatas
Suatu faktor lingkungan sering menentukan organisme yang akan
ditemukan pada suatu daerah. Karena suatu faktor lingkungan sering
menentukan organisme yang akan ditemukan pada suatu daerah, maka
sebaliknya dapat ditentukan keadaan lingkungan fisik dari organisme yang
ditemukan pada suatu daerah. Apabila organisme berada pada suatu kondisi
lingkungan yang mendekati batas kisaran toleransinya, maka organisme akan
mengalami keadaan tekanan (stress) fisiologis. Sebagai contoh, hewan yang
didedahkan pada suhu ekstrim rendah akan menunjukkan kondisi kritis berupa
hipotermia, sedang pada suhu ekstrim tinggi akan mengakibatkan gejala
hipertemia. Apabila kondisi lingkungan suhu yang mendekati batas-batas
kisaran toleransi hewan itu berlangsung lama dan tidak segera berubah
menjadi baik, maka hewan akan mati. Setiap kondisi faktor lingkungan yang
besarnya atau intensitasnya mendekati atas kisaran toleransi organisme, akan
beroperasi sebagai faktor pembatas, yang berperan dalam menetukan
kesintasan organisme.
Beberapa faktor lingkungan yang sering menjadi faktor pembatas bagi
organisme secara umum adalah:
a. Cahaya Matahari
Cahaya Matahari merupakan faktor lingkungan yang sangat penting,
karena sebagai sumber energiutama bagi seluruh ekosistem. Struktur dan
fungsi dari suatu ekosistem sangat ditentukan oleh radiasimatahariyang
sampai pada ekosistem tersebut. Cahaya matahari, baik dalam jumlah
sedikit maupunbanyak dapat menjadi faktor pembatas bagi organisme
tertentu.
b. Suhu
Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat berperan langsung maupun
tidak langsung terhadap suatu organisme. Suhu berperan dalam
mengontrol proses-proses metabolisme dalam tubuh sertaberpengaruh
terhadap faktor-faktor lainnya terutama suplai air.
c. Air
Air merupakan faktor lingkungan yang sangat penting, karena semua
organisme hidup memerlukan air.Air dalam biosfer ini jumlahnya terbatas
dan dapat berubah-ubah karena proses sirkulasinya. Siklus airdibumi
sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air tawar pada setiap ekosistem
pada akhirnya akanmenentukan jumlah keragaman organisme yang dapat
hidup dalam ekosistem tersebut.
d. Ketinggian Tempat
Ketinggian suatu tempat diukur mulai dari permukaan air laut. Semakin
tinggi suatu tempat, keragamangas-gas udara semakin rendah sehingga
suhu suhu udara semakin rendah.
e. Kuat arus
Kuat arus dalam suatu perairan sungai sangat menentukan kondisi substrat
dasar sungai, suhu air, kadar oksigen, dan kemampuan organisme untuk
mempertahankan posisinya diperairan tersebut. Semakin kuat arus air,
semakin berat organisme dalam mempertahankan posisinya
3. Azaz-Azaz Faktor Pembatas
a. Hukum Minimum Liebig
Hukum minimum pertama kali disampaikan oleh Justus Liebig pada
tahun 1840 sehingga dikenal dengan sebutan Hukum Minimum Liebig.
Hukum Liebig menyatakan “Pertumbuhan tanaman tergantung kepada zat
atau senyawa yang berada dalam keadaan minimum”. Hukum tersebut
kurang dapat diterapkan di bawah “keadaan sementara” karena pengaruh
dari banyak bahan yang sangat cepat berubah. Berikut ini kelemahan-
kelemahan hukum Liebig yaitu
 Hukum minimum Liebig menekankan pandangan untuk kondisi sumber
daya pada jumlah minimumnya.
 Tidak mempertimbangkan faktor lainnya seperti suhu dan cahaya.
 Tidak memperhitungkan interaksi berbagai unsur hara dan faktor-faktor
lingkungan.
 Hukum ini berlaku hanya dalam kondisi keseimbangan yangdinamis
atau steady state.
Peneliti-peneliti selanjutnya menyimpulkan bahwa hukum
minimum Liebig terkadang tidak berlaku sepenuhnya pada tumbuhan,
yang terkadang disebut juga sebagai kelemahan hukum minimum Liebig.
Terkait dengan hal ini, maka tumbuhan sebenarnya tidak hanya memiliki
faktor pertumbuhan pada kondisi minimum saja, namun juga ketika faktor
tersebut berada dalam jumlah yang berlebih (Odum, 1975; Setiadi dan
Tjondronegoro, 1989). Salah satu contoh yang dapat diambil dari studi
kontemporer untuk hal ini adalah Streck (2004). Peneliti tersebut
merangkum hasil penelitian bahwa terdapat batas minimum dan
maksimum pada pengaruh suhu terhadap vernalisasi Triticum aestivum,
tingkat perkecambahan biji jagung (Zea mays) dan kemunculan daun serta
pemanjangan daun Saintpaulia ionantha
Taylor (1934) mengembangkan pernyataan Liebig dengan
menambahkan faktor temperatur dan faktor waktu. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa penerapan Hukum Leibig ini baru dapat berlaku
dalam sistem yang berada dalam keadaan mantap, yaitu ketika arus energi
dan materi yang masuk ke dalam ekosistem seimbang dengan arus
keluarnya. Misalnya, pada suatu danau tersedia unsur-unsur esensial
(faktor pembatas) yang cukup bagi organisme tanaman air seperti cahaya,
nitrogen, air dengan kadar CO2 terlarut, maka produktivitas tanaman air
tersebut sebanding dengan kadar CO2 yang tersedia yang berasal dari hasil
proses peguraian bahan organik. Apabila pada suatu waktu terjadi angin
ribut yang cukup kencang maka kadar CO2 akan berubah, demikian pula
dengan keberadaan unsur-unsur lain, sehingga dalam keadaan ini tingkat
produktivitas tidak lagi hanya tergantung oleh kadar CO2 saja, akan tetapi
juga disebabkan oleh unsur-unsur lain yang keseimbangannya juga
berubah.
Pertimbangan lain yang juga berkaitan dengan Hukum Liebig
adalah adanya faktor interaksi. Pada konsentrasi atau ketersediaan suatu
unsur tertentu dapat pula mempengaruhi kecepatan penggunaan zat-zat
lain. Kadang-kadang organisme tertentu mampu untuk mengganti unsur
atau senyawa yang dibutuhkan dengan unsur atau senyawa lain yang
hampir sama struktur kimianya apabila unsur atau senyawa pokok yang
diperlukan tidak ada. Misalnya suatu organisme kerang-kerangan
(Mollusca) membutuhkan kalsium (Ca) bagi pertumbuhan kulitnya, tetapi
ketersediaan unsur ini cukup langka sedangkan unsur strontium (Sr) cukup
banyak tersedia. Mollusca (kerangkerangan) mampu untuk menggantikan
kebutuhan kalsiumnya dengan memanfaatkan Strontium bagi
perkembangan sebagian kulitnya. Hal ini dikarenakan unsur Kalsium dan
Srontium memiliki kemiripan sifat unsur, yakni sama-sama berada pada
golongan IIA pada Sistem Periodik Modern, sehingga kelangkaan Kalsium
dapat tergantikan dengan banyaknya unsur Strontium. Contoh lainnya,
pada beberapa jenis tanaman yang membutuhkan sedikit unsur seng (Zn),
sehingga apabila unsur seng kurang mencukupi maka kebutuhan seng
dapat dipenuhi dengan tersedianya sinar matahari yang cukup.
4. Azaz Kisaran Toleransi
a. Hukum Toleransi Shelford
Keberadaan dan keberhasilan suatu organisme tergantung kepada
kelengkapan dari keaadaan yang kompleks. Kegagalan atau musnahnya
organisme dapat dikendalikan oleh kekurangan atau kelebihan secara
kualitatif atau kuantitaf dari salah satu faktor yang mendekati batas
toleransi organisme tersebut. Faktor pembatas sebetulnya melibatkan
keadaan kurang atau lebih misalnya temperatur, cahaya dan pH yang
terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat merupakan faktor pembatas.
Organisme mempunyai batas maksimum dan minimum ekologi, yaitu
mempunyai kisaran toleransi dan ini merupakan konsep hukum toleransi
dari Shelford.
Pengetahuan mengenai batas toleransi dari suatu organisme sangat
membantu dalam memperkirakan kemampuan daya hidup suatu organisme
apabila berada dalam suatu keadaan tertentu. Berikut ini asas-asas dalam
Hukum Toleransi Shelford:
1) Organisme dapat mempunyai toleransi yang luas untuk suatu faktor,
dan sempit untuk faktor yang lain.
2) Organisme-organisme dengan kisaran toleransi yang luas untuk semua
faktor akan memiliki penyebaran populasi yang paling luas.
3) Keadaan tidak optimum oleh suatu faktor dapat mempengaruhi
toleransi terhadap faktor lain. Misalnya dalam keadaan jumlah unsur
N2 rendah maka tanaman akan lebih peka terhadap kekeringan
sehingga lebih banyak membutuhkan air untuk dapat bertahan hidup.
4) Seringkali ditemukan organisme di alam banyak yang hidup dalam
keadaan tidak optimum dan biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor
sekaligus. Misalnya tanaman anggrek tropis akan tumbuh lebih baik
pada lingkungan yang memperoleh cahaya secara langsung dari
matahari asalkan temperatur tetap dingin. Anggrek tropis biasanya
dapat tumbuh subur di tempat-tempat yang teduh karena tidak tahan
efek panas akibat cahaya matahari.
5) Umumnya pada periode reproduktif, tumbuhan berbiji, telur-telur,
embrio kecambah, larva dan anakan mempunyai toleransi yang sempit
terhadap faktor fisik. Misalnya ketam biru dewasa dapat mentolerir air
payau atau air tawar yang mengandung khlorine tinggi, akan tetapi
larvanya tidak dapat hidup di perairan tersebut karena tidak akan
berkembang dengan baik di lingkungan tersebut.
Batas toleransi suatu organisme dapat dinyatakan dengan memakai
beberapa istilah yang umum dipakai untuk menyatakan suatu keadaan,
seperti awalan steno yang berarti sempit dan eury yang berarti lebar/luas.
Berikut ini istilah-istilah yang digunakan dalam merepresentasikan faktor
pembatas:
1) Stenothermal-Eurythermal adalah istilah yang dipergunakan untuk
menyatakan batas toleransi temperatur atau suhu.
2) Stenohydric-Euryhydric adalah istilah yang dipergunakan untuk
menyatakan batas toleransi air.
3) Stenohaline-Euryhaline adalah istilah yang dipergunakan untuk
menyatakan batas toleransi kadar garam.
4) Stenophagus-Euryphagus adalah istilah yang dipergunakan untuk
menyatakan batas toleransi makanan.
5) Stenocious-Eurycious adalah istilah yang dipergunakan untuk
menyatakan batas toleransi pemilihan habitat.
Sebagai contoh penggunaan istilah-istilah di atas adalah kasus pada
telur ikan Salmon (Salvelinus sp) di alam yang dapat berkembang dalam
kisaran suhu antar 0- 120 C, namun perkembangan optimumnya terjadi
pada suhu 40 C. Telur katak (Rana pipiens) di alam dapat berkembang
dalam kisaran suhu antara 0-300 C dan perkembangan optimum terjadi
pada suhu 220 C. Perkembangan telur ikan Salmon (Salvelinus sp)
termasuk kategori Stenothermal, sedangkan perkembangan telur katak
(Rana pipiens) termasuk Eurythermal.
Contoh lainnya adalah ikan sardin atau lemuru (Sardinops melanostica) di laut
lepas yang hidup dengan kadar garam tinggi, dibandingkan dengan ikan ketang-
ketang (Scatophagus argus) di muara (kadar garam sedang), dan ikan tawes
(Puntius javanicus) di perairan tawar (kadar garam rendah). Ikan lemuru termasuk
kategori stenohaline (polyhaline), ikan ketang-ketang termasuk euryhaline,
sedangkan ikan tawes termasuk stenohaline (oligohaline).
 Faktor Pembatas
Pada keadaan yang kritis, bahan pendukung kehidupan suatu organisme yang
tersedia dalam jumlah minimum bertindak sebagai faktor pembatas. Kehadiran
dan keberhasilan suatu organisme atau golongan organisme-organisme tergantung
pada keadaan yang kompleks. Keadaan manapun yang mendekati atau melampaui
batas-batas toleransi dinamakan sebagai faktor pembatas. Hukum minimum
Leibig memaparkan bahwa untuk dapat bertahan di dalam keadaan tertentu, suatu
organisme harus memiliki bahan-bahan yang penting yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan berkembangbiak. Keperluan ini bervariasi antara jenis dengan
keadaan. Di bawah keadaan mantab, bahan penting yang tersedia dalam jumlah
paling dekat mendekati minimum yang diperlukan akan cenderung merupakan
pembatas (Odum, 1996).
Organisme-organisme dikendalikan alam, oleh (1) jumlah dan keragaman
material dimana terdapat suatu kebutuhan minimum dan faktor-faktor fisik yang
gawat dan (2) batas-batas toleransi organismenya sendiri terhadap keadaan
tersebut dan komponen-komponen lingkungan lainnya. Jika suatu organisme
mempunyai batas toleransi yang lebar untuk suatu faktor yang relatif mantap dan
dalam jumlah yang sedang dalam lingkungannya, faktor itu tidak mungkin
membatasi. Sebaliknya apabila suatu organisme diketahui mempunyai batas-batas
toleransi tertentu untuk suatu faktor yang beragam dalam lingkungan maka faktor
itu pantas mendapat pengkajian yang cermat karena mungkin membatasi (Odum,
1996).
 Kisaran Toleransi
Setiap makhluk hidup terdedah pada berbagai faktor lingkungan abiotik yang
selalu dinamis atau berubah-ubah baik dalam skala ruang (bervariasi di setiap
tempat) maupun skala waktu (berfluktuasi). Oleh karena itu setiap organisme
harus mampu beradaptasi untuk menghadapi kondisi faktor lingkungan abiotik.
Hewan tidak mungkin hidup pada kisaran faktor abiotik yang seluas- luasnya.
Pada prinsipnya masing-masing hewan memiliki kisaran toleransi tertentu
terhadap semua semua faktor lingkungan. Organisme hanya dapat hidup dalam
kondisi lingkungan yang dapat ditoleransinya. Menurut hukum toleransi Shelford,
“setiap organisme mempunyai kisaran minimum dan maksimum toleransi ekologi
terdapat suatu faktor lingkungannya. Kisaran maksimum ini yang disebut batas
atas sedangkan kisaran minimum ini yang disebut batas bawah (Dharmawan, dkk,
2004).
Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi faktor lingkunan yang
mendekati batas kisaran toleransinya, maka organisme akan mengalami keadaan
stress fisiologis. Sebagai contoh, hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim
rendah akan menunjukkan kondisi kritis berupa hipotermia, sedang pada suhu
ekstrim tinggi akan mengakibatkan gejala hipertemia. Apabila kondisi lingkungan
suhu yang mendekati batas-batas kisaran toleransi hewan itu berlangsung lama
dan tidak segera berubah menjadi baik, maka hewan itu akan mati. Setiap kondisi
faktor lingkungan yang besarannya atau intensitasnya mendekati batas kisaran
toleransi organisme, akan beroperasi faktor pembatas yang. berperan sngat
menentukan kelulusan hidup organism. Pada gambar 2.1 berikut akan dijelaskan
tentang gambaran diagram hubungan antara aktivitas suatu hewan dengan suatu
kondisi lingkungannya. (Dharmawan, 2004).
Gambar. Diagram hubungan antara aktivitas suatu hewan dengan suatu
kondisi lingkungannya. sumber: (Ibkar-Kramadibrata, 1992, dalam
Dharmawan, 2004.
Pada gambar diatas dalam kisaran optimum (a) kinerja hewan maksimal,
b-c = batas-batas kondisi sekitar kisaran optimumyang diperlukan untuk
berkembang biak, d-e = batas-batas kondisi untuk pertumbuhan, f-g = batas
kelulusan hidup. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa persyaratan
kondisi lingkungan untuk terjadinya perkembangbiakan harus lebih baik dari pada
untuk pertumbuhan dan persyaratan kondisi untuk pertumbuhan masih lwbih baik
dari pada untuk kelulu-hidupan semata.
Dalam menentukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan tidaklah
mudah. Setiap organisme terdedah sekaligus pada sejumlah faktor lingkungan,
oleh adanya suatu interaksi faktor maka suatu faktor lingkungan dapat mengubah
efek faktor lingkungan lainnya. Misalnya suatu individu hewan akan merasakan
dampak efek suhu tinggi yang lebih keras apabila kelembaban udara yang relatif
rendah. Dengan demikian hewan akan lebih tahan terhadap suhu tinggi apabila
udara kering dibanding dengan pada kondisi udara yang lembab (Odum, 1993).
Dalam laboratorium juga sangat sulit untuk menentukan batas-batas kisaran
toleransi hewan terhadap sesuatu faktor lingkungan. Penyebabnya ialah sulit
untuk menentukan secara tepat kapan hewan tersebut akan mati. Cara yang biasa
dilakukan ialah dengan memperhitungkan adanya variasi individual. Batas- batas
kisaran toleransi itu ditentukan atas dasar terjadinya kematian pada 50% dari
jumlah individu setelah didedahkan pada suatu kondisi faktor lingkungan selama
rentang waktu tertentu. Untuk kondisi suhu, misalnya ditentukan LT50–24 jam
atau LT50 – 48 jam (LT= Lethal Themperature). Untuk konsentrasi suatu zat
dalam lingkungan biasanya ditentukan dengan LC50 – X jam ( LC= Lethal
Concentration; X dapat 24, 48, 72 atau 96 jam) dan untuk sesuatu dosis ditentukan
LD50 – X Jam (Dharmawan, 2004).
Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berbagai
jenis hewan berbeda-beda. Ada hewan yang kisarannya lebar (euri) dan ada
hewan yang sempit (steno). (Dharmawan, 2004). Demikian pula halnya suatu
jenis hewan tertentu dapat berbeda-beda kisaran toleransinya terhadap berbagai
faktor lingkungan yang berbada-beda. kisaran toleransinya terhadap berbagai
faktor lingkungan yang berbeda-beda. Misalnya hewan tersebut bersifat
stenohidris dan oligohidris (kisaran toleransi terhadap kadar air sempit dan pada
rentangan rendah, tetapi euritermal (kisaran toleransi terhadap rentangan suhu
lebar). Jenis-jenis hewan yang kisaran toleransinya untuk banyak faktor lebar,
biasanya mempunyai daerah penyebaran yang relative luas. (Dharmawan, 2004)

Gambar. Diagramkisaran toleransi Terhadap suatu faktor lingkungan yang


lebar (euri-) dan yang sempit (steno-) baik pada intensitas rendah (oligo-)
atau tinggi (poli-).
Kisaran toleransi ditentukan secara herediter, namun demikian dapat
mengalami perubahan oleh terjadinya proses aklimatisasi (di alam) atau aklimasi
(di lab). Aklimatisasi adalah usaha manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap
kondisi faktor lingkungan di habitat buatan yang baru. Aklimasi adalah usaha
yang dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi suatu faktor
lingkungan tertentu dalam laboratorium.
Konsep kisaran toleransi, faktor pembatas maupun preferendum
diterapkan di bidang-bidang pertanian, peternakan, kesehatan, konservasi dan
lain-lain. Hal ini dilakukan dengan harapan kinerja biologi hewan, pertumbuhan
dan reproduksi dapat maksimum dan untuk kondisi hewan yang merugikan
kondisi lingkungan biasanya dibuat yang sebaliknya. Setiap hewan memiliki
kisaran toleransi yang bervariasi maka kehadiran di suatu habitat sangat
ditentukan oleh kondisi dari faktor lingkungan di tempat tersebut. Kehadiran dan
kinerja populasi hewan di suatu tempat menggambarkan tentang kondisi faktor-
faktor lingkungan di tempat tersebut.
B. Faktor-Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Hewan
Sangat banyak macam dari faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh,
baik secara aktual maupun secara potensial, mempengaruhi kehidupan hewan.
Beberapa faktor lingkungan tersebut antara lain suhu, air dan kelembaban,
cahaya matahari, gas-gas atmosfer, arus dan tekanan, garam-garam mineral,
dan pencemar.
1. Suhu
Suhu merupakan faktor lingkungan yang paling mudah diukur dan sering
kali beroperasi sebagai faktor pembatas yang segera dapat direspon.
Variabilitas suhu mempunyai arti ekologis. Fluktuasi suhu 10-200C dengan
rata-rata 150C tidak sama pengaruhnya terhadap hewan dibandingkan dengan
lingkungan yang bersuhu konstan 150C.
2. Air dan Kelembaban
Bagi hewan di lingkungan daratan air dapat menjadi faktor pembatas
penting. Bagi daerah tropika, kedudukan air dan kelembaban sama pentingnya
seperti cahaya, fotoperiodisme, dan ritme suhu beriklim sedang dan daerah-
daerah dingin. Kelembaban mempunyai peranan penting dalam mengubah
efek dari suhu. Dalam lingkungan daratan terjadi interaksi antara suhu dan
kelembaban yang sangat erat, sehingga suhu-kelembaban dianggap
sebagaibagian yang sangat penting dari kondisi cuaca dan iklim. karena itu
kedua fakor lingkungan itu hampir selalu diukur. Efek membatasi dari faktor
suhu biasanya mencolok bila kondisi kelembaban ekstrim tinggi atau ekstrim
rendah. Demikian pula sebalikny, efek dari faktor kelembaban akan mencolok
bila kondisi suhu ekstrim tinggi atau ekstrim rendah.
3. Cahaya Matahari
Cahaya matahari akan memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan
hewan. Aspek yang berpengaruh secara ekologis dari cahaya matahari adalah
aspek intensitas, kualitas, kuantitas, dan lamanya penyinaran.
4. Gas - Gas Atmosfer
Dalam lingkungan aquatik, gas-gas atmosfer konsentrasinya lebih variabel
sehingga penting peranannya bagi faktor pembatas. Atmosfir sangat penting
peranannya bagi kehidupan di bumi karena dapat menapis energy panas yang
tinggi atau berbagai sinar dengan gelombang yang membahayakan tubuh
makhluk hidup seperti sinar ultraviolet.
5. Arus dan Tekanan
Dalam lingkungan perairan, arus dan tekanan sangat berperan secara
langsung sebagai salah satu faktor pembatas bagi jenis-jenis hewan yang tidak
teradaptasi untuk menghadapi faktor arus. Selain itu, arus juga dapat
mempengaruhi kelarutan gas-gas dan garam dalam air.

6. Garam - Garam Mineral


Pengaruh garam-garam mineral yang terdapat di lingkungan hewan pada
umumnya terjadi secara langsung karena fungsinya sebagai bagian dari
makanan yang dimakan hewan-hewan itu.
7. Zat - Zat Pencemar
Pencemar sebagai hasil sampingan aktivitas manusia sering bersifat toksik
bagi hewan dan mengganggu proses kehidupan hewan

C. Aplikasi Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi dalam Dunia


Peternakan
Menurut Dharmawan, ddk. (2004), kisaran toleransi ditentukan secara
herediter, tetapi dapat mengalami perubahan akibat usaha yang dilakukan
manusia untuk menyesuaiakn hewan terhadap lingkungan di alam
(aklimatisasi) atau di laboratorium (aklimasi). Oleh karena itu sebelum
perlakuan atau penelitian dilakukan terhadap suatu hewan sampel maka harus
dilakukan aklimatisasi agar hewan sampel terbiasa dengan kondisi barunya
sehingga tidak mempengaruhi varibel penelitian.
Peternakan adalah salah satu kegiatan untuk mengembangbiakkan dan
membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dan hasil dari
kegiatan tersebut.Berternak dapat dilakukan disuatu lokasi yang sebenarnya
bukan sebagai habitat dari hewan ternak tersebut, sehingga untuk menjaga
agar hewan ternak dapat hidup dengan baik maka peternak harus mampu
mengkodisikan lingkungan ternaknya agar sesuai dengan kebutuhan hewan
ternak (kondisi preferendumnya).
Untuk membuat hewan ternak berada pada kondisi preferendumnya, maka
peternak harus mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi komponen
kondisi preferendum hewan ternak tersebut. Hal ini dikarenakan jika faktor-
faktor yang menjadi komponen penentu kondisi preferendum ternak tidak
memenuhi kebutuhan ternak maka akan menyebabkan kematian. Dalam
ekologi faktor-faktor tersebut dikenal dengan istilah faktor pembatas.Pada
setiap faktor pembatas yang berperngaruh terhadap kelangsungan hidup
hewan ternak terdapat kisaran toleransi, dimana hewan ternak masih dapat
hidup pada kisaran toleransi tersebut.Kisaran toleransi itu memiliki rentangan
ekstrim maksimum dan ekstrim minimum seperti yang telah dijelaskan pada
bagian sebelumnya. Sehingga peternak harus mampu mengatur sedemikian
rupa sehingga situasi dan kondisi lingkungan hewan ternak masih berada
dalam batas-batas kisaran toleransinya. Berikut ini contoh alikasi konsep
faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam peternakan itik petelur dan
peternakan ikan salmon.
1. Peternakan Itik Petelur
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan itik
petelur antara lain sebagai berikut:
a. Suhu
Dalam dunia peternakan suhu memegang peranan sangat penting
sebagai faktor pembatas. Misalnya pada peternakan itik, untuk itik usia 1
minggu kondisi suhu kandang ±32oC, itik usia 2 minggu ±27oC, dan itik
usia 3 minggu ±21oC. Jika suhu dalam kandang itik tidak sesuai dengan
kebutuhannya maka akan terjadi pola tingkah laku yang terkadang bisa
membahayakan, misalnya jika suhu terlalu dingin maka anak itik akan
bergerombol dan salingtumpang tindih sehingga itik yang tertindih dapat
mati. Untuk melihat suhu (panas) yang baik untuk anak itik dapat dilihat
dari penyebaran anak itik di bawah alat pemanas dalam lingkaran triplek
(pelingkar), seperti gambar di bawah ini.

Gambar Kemungkinan keadaan suhu udara pada alat pemanas; (A) suhu
terlalu dingin, (B) suhu terlalu panas, (C) suhu ideal.
b. Kelembapan
Dalam dunia peternakan kelembapan juga memegang peranan
penting.Dalam peternakan itik, kelembapan yang terlalu tinggi dapat
mengakibatkan itik rentan terserang penyakit karena dalam kondisi lembab
jamur dan bakteri sangat mudah untuk tumbuh dan berkembangbiak.Itik
pada masa pertumbuhan (5-22 minggu) tidak dipelihara dalam pelingkar
(inkubator) tapi sudah menyebar ke seluruh ruangan kandang yang sudah
diberi alas litter (kulit padi, jerami kering, serbuk gergaji, dll). Penggunan
pasir dan kapur sebagai campuran alas lantai kandang sangat dianjurkan
karena pasir tidak mudah menggumpal dan mampu menyerap air (basah)
sehingga dapat mengurangi kelembapan, kelembapan yang dibutuhkan 60-
65%. Kapur juga berfungsi meredakan kadar amoniak yang disebabkan
oleh kotoran itik. Campuran pasir, kapur, kulit padi, atau yang lainnya
dengan perbandingan 1:2:5 dan tebal ±20 cm.
c. Pakan
Energi yang diperlukan oleh hewan ternak untuk tumbuh dan
berkembang berasal dari nutrisi makanan.Pada ternak itik, pemberian grit
yang mengandung Calsium dan Fosfor sangat penting, apalagi untuk itik
yang sedang giat berproduksi telur.Itik membutukkan Calsium dan Fosfor
untuk pembentukan kulit telur. Apabila itik mengalami kekurangan
Calsium dan Fosfor dari makanannya, itik akan mengalami kelumpuhan.
Kandungan protein dan kalsium dengan jumlah cukup mampu
dimanfatkan sebagai campuran upun itik petelur untuk menghasilkan telur
yang berkualitas.Kualitas itu diantaranya cangkang telur yang terlihat
kokoh, dan keras, warna kuning telur yang semakin kuning, rasa yang
nikmat, dan kandungan gizi yang bagus. Selain bertambahnya kualitas,
dan kuantitas, penggunaan kepiting sawah ataupun ekstraksinya mampu
membuat unggas semakin sehat, dan masa bertelurnya menjadi lebih lama.
d. Cahaya
Kandang itik mendapatkan sinar matahari yang cukup, kandang
sebaiknya menghadap ke timur.Penerangan cahaya lampu untuk itik yang
sedang produksi sangat penting artinya terutama pada malam hari untuk
meningkatkan keseimbangan penyerapan vitamin D. cahaya matahari
dapat dikondisikan dengan cara menggantinya dengan lampu penerangan.
Dengan penerangan yang mencukupi, kedewasaan kelamin dan kantong
telur, kandungan telur dan pembentukan kulit telur bisa berlangsung
sempurna dan keseimbangan kebutuhan akan calsium dan vitamin D
terpenuhi.

Gambar. Kondisi kandang dan penerangan bibit itik


Menurut zakariya (2010), syarat–syarat untuk penggunaan lampu
penerang untuk itik:
 Intensitas cahaya penerangan lampu paling sedikit 15 Watt untuk 10
meter persegi, bagi itik menjelang produksi.
 Untuk itik pada masa produksi (bertelur) intensitas cahaya penerangan
lampu paling sedikit 30 watt untuk 10 meter persegi.
 Pada umur 20–23 minggu, pemberian cahaya lampu mulai pukul 18.00
sampai dengan pukul 19.00 WIB.
 Pada umur 24-27 minggu, pemberian cahaya lampu mulai pukul 18.00
sampai dengan pukul 21.00 WIB.
 Pada umur 28 minggu ke atas, pemberian cahaya lampu mulai pukul
18.00 sampai dengan 23.00 WIB.

2. Aplikasi Dalam Peternakan Ikan Salmon/Trout


Pisces (Ikan) merupakan superkelas dari subfilum Vertebrata yang
memiliki keanekaragaman sangat besar (Sukiya. 2005). Ikan adalah
anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin) yang hidup di air dan
bernapas dengan insang. Ikan merupakan kelompok vertebrata yang paling
beraneka ragam dengan jumlah spesies lebih dari 27,000 di seluruh dunia
(Fujaya,1999 dalam Dhamadi. 2009).
Secara keseluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air,
seperti vertebrata poikiloterm lain suhu tubuhnya bersifat ektotermik,
artinya suhu tubuh sangat tergantung atas suhu lingkungan (Sukiya.2005).
Salah satu ikan yang sedang banyak dibudidayakan dan memiliki
permintaan pasar yang sangat tinggi adalah ikan salmon/trout.

(1) (2)
Gambar. (1) Salmon Coklat dan (2) Salmon Pelangi

Salah satu spesies salmon yang sering diternakkan adalah salmon coklat
(Salmo trutta) dan Salmon Pelangi (Ochorynchus mykiss). Pada jurnal Molony
(2001) yang berjudul “Environmental requirements and tolerances of Rainbow
trout (Oncorhynchus mykiss) and Brown trout (Salmo trutta) with special
reference to Western Australia” Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam menternakkan ikan salmon, diantaranya:
a. Aliran sungai: aliran sungai pada akhir musim panas merupakan aliran
sungai yang cukup deras yang kurang baik untuk pertumbuhan ikan
salmon. Aliran sungai yang baik untuk pertumbuhan ikan salmon adalah
55% per rata-rata aliran sungai pertahun.
b. Variasi laju aliran sungai: perkembangan salmon yang baik adalah dengan
menggunakan laju air sungai yang tetap, variasi laju air sungai yang
berubah- rubah akan menyebabkan tidak maksimalnya pertumbuhan
salmon.
c. Kecepatan air: kepadatan populasi salmon tertinggi adalah pada kecepatan
aliran air sebesar 45,6 – 76,0 cm/detik walaupun salmon masih bisa
mentoleransi kecepatan air hingga 156-321 cm/detik.
d. Adanya penutup (cover): penutup yang dimaksud merupakan daerah
berlindung untuk salmon beristirahat atau melindungi diri dari predator.
Daerah yang ideal untuk salmon adalah daerah dengan jumlah penutup 55%
dari lebar sungai. Salmon masih bisa toleran terhadap sungai yang masih
memiliki 10% penutup.
e. Lebar sungai: lebar sungai akan mempengaruhi laju air sungai, salmon
mampu mentoleransi lebar minimal sungai 0,6 m sampai lebar maksimal
46m. Salmon akan hidup dan berkembang biak secara maksimal pada
kisaran lebar maksimum dan minimum tersebut.
f. Tingkat erosi sungai: salmon dapat hidup pada tingkatan erosi sungai
sebesar 0 – 9% lebih dari itu salmon tidak mampu berkembang dengan
maksimal.
g. Substrat dalam sungai: substrat disini adalah adanya vegetasi air (makro
alga dan lumut), semakin berlimpah makro alga maupun lumut semakin
banyak jumlah salmon.
h. Konsentrasi Nitrat – Nitrogen (NO – N): salmon mampu hidup pada
konsentrasi nitrat 0,15-0,25 mg/L. Kisaran minimum konsentrasi Nitrat-
Nitrogen adalah 0,001 mg/L dan kisaran maksimum 2,0 mg/L.
i. Suhu: suhu terbaik untuk salmon adalah 12,6-18,6 oC. Kisaran minimum
adalah 6 oC dan maksimum adalah 26,4 Oc.

D. Aplikasi Konsep Faktor Pembatas dan Kisaran Toleransi dalam Dunia


Konservasi Hewan
Setiap hewan memiliki kisaran toleransi yang bervariasi, maka kehadiran
di suatu habitat sangat ditentukan oleh kondisi dari faktor lingkungan di
tempat tersebut.Kehadiran dan kinerja populasi hewan di suatu tempat
menggambarkan tentang kondisi faktor-faktor lingkungan di tempat tersebut.
Ketika faktor-faktor lingkungan tidak lagi mendukung/sesuai dengan
kebutuhan hewan, maka memungkinkan hewan bermigrasi untuk mencari
tempat hidup lain yang sesuai. Tetapi jika tidak menemukan tempat hidup lain
maka kemungkinan terburuk adalah hewan tersebut akan mati. Jika hal ini
terus berkelanjurtan maka kepunahan akan mengancam keberadaan hewan
terse but, sehingga perlu diadakan upaya konservasi untuk melestarikan
hewan tersebut.
Kawasan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya. Penetapan kawasan konservasi merupakan
implementasi strategi konservasi ekosistem dan strategi konservasi in-situ
yang diarahkan sebagai fungsi pokok perlindungan dan pelestarian alam.
Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi. Adapun kawasan pelestarian alam didefinisikan
sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan
yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan dan
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar (Permenhut,
2013).
Berikut ini adalah contoh aplikasi faktor pembatas dan kisaran toleransi
pada konservasi beberapa hewan langka di Indonesia, yaitu badak jawa dan
orang utan Sumatera.
1. Konservasi Badak Jawa
Badak jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) merupakan spesies
paling langka di antara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga
dikategorikan sebagai endangered atau terancam dalam daftar Red List Data
Book yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature
and Natural Resources (IUCN) pada tahun 1978. Badak jawa mendapat
prioritas utama untuk diselamatkan dari ancaman kepunahan. Selain itu, badak
jawa juga terdaftar dalam Apendiks I Convention on International Trade in
Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) pada tahun 1978
sebagai jenis yang jumlahnya sangat sedikit di alam dan dikhawatirkan akan
punah.

Gambar. Badak Jawa

Penyebaran badak jawa di dunia terbatas, seperti di Indonesia, Vietnam


dan kemungkinan terdapat juga di Laos dan Kamboja. Di Indonesia, badak
jawa hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan
populasi relatif kecil, yaitu sekitar 59-69 ekor (TNUK 2007). Di Vietnam,
populasi badak jawa hanya terdapat di Taman Nasional Cat Tien dan
diperkirakan tersisa 2-8 ekor yang bertahan hidup. Jumlah populasi badak
jawa yang sedikit dan hanya terdapat di satu areal memiliki resiko kepunahan
yang tinggi. Oleh karena itu, upaya untuk menjamin kelestarian populasi
badak jawa dalam jangka panjang merupakan salah satu prioritas program
konservasi badak jawa di Indonesia.
Penyebaran badak jawa di dunia terbatas, seperti di Indonesia, Vietnam
dan kemungkinan terdapat juga di Laos dan Kamboja. Di Indonesia, badak
jawa hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan
populasi relatif kecil, yaitu sekitar 59-69 ekor (TNUK 2007). Di Vietnam,
populasi badak jawa hanya terdapat di Taman Nasional Cat Tien dan
diperkirakan tersisa 2-8 ekor yang bertahan hidup. Jumlah populasi badak
jawa yang sedikit dan hanya terdapat di satu areal memiliki resiko kepunahan
yang tinggi. Oleh karena itu, upaya untuk menjamin kelestarian populasi
badak jawa dalam jangka panjang merupakan salah satu prioritas program
konservasi badak jawa di Indonesia.
Keberadaan badak jawa di TNUK cenderung terkonsentrasi di
Semenanjung Ujung Kulon. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua
bagian ruang di TNUK menjadi habitat terpilih bagi badak jawa. Penyebaran
badak jawa di TNUK pada umumnya berada di daerah bagian selatan
Semenanjung Ujung Kulon, yaitu daerah Cibandawoh, Cikeusik, Citadahan,
dan Cibunar. Pada bagian utara semenanjung, penyebaran badak jawa terdapat
di daerah Cigenter, Cikarang, Tanjung Balagadigi, Nyiur, Citelanca, dan
Citerjun.
Habitat terpilih mampu menyediakan seluruh kebutuhan hidup badak jawa
untuk menjamin kelestarian populasi serta memiliki frekuensi penggunaan
yang tinggi. Kebutuhan hidup bagi badak jawa terdiri atas makanan, air, udara
bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak, berkubang, dan
mengasuh anak. Untuk menjamin kelestarian populasi badak jawa maka
habitat terpilih harus memiliki kualitas tinggi dan kuantitas yang mencukupi.
Menurut Rahmat (2008) dalam penelitiannya, beberapa hal yang menjadi
faktor pembatas kehidupan badak jawa, yaitu.
a. Ketinggian Tempat
Ketinggian tempat pada lokasi blok pengamatan Citadahan, Cikeusik,
Cibandawoh, Cigenter, Tanjung Tereleng, Karang Ranjang, Cijungkulon,
Citelang, dan Lereng Gunung Payung berkisar 0-225 m dpl. Ketinggian
tempat merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat
mempengaruhi kehidupan badak jawa karena badak jawa cenderung
menempati daerah yang relatif datar.
b. Kelerengan Tempat
Sebagian besar lokasi unit contoh penelitian di wilayah Semenanjung
Ujung Kulon mempunyai kelerengan yang rendah yaitu 0-8% kecuali pada
unit contoh yang berada di lereng Gunung Payung yang mempunyai
kelerengan 25- 45%. Semua jejak badak yang ditemukan berada pada daerah
yang mempunyai kelerengan 0-8% sedangkan pada lereng Gunung Payung
tidak ditemukan. Dengan demikian, badak jawa cenderung terkonsentrasi pada
daerah-daerah yang relatif landai dengan kemiringan berkisar 0-8%.
c. Tanah
Badak jawa cenderung mendatangi daerah-daerah yang memiliki pH tanah
yang rendah. Hal ini diduga karena tanah-tanah yang memiliki pH rendah
lebih banyak ditumbuhi dengan tumbuhan bawah, semak belukar, dan
arealnya cenderung terbuka. Daerah yang relatif terbuka akan mendapat
peluang terjadinya pencucian tanah akibat hujan lebih tinggi sehingga akan
mengandung pH tanah yang lebih rendah.
d. Jenis Vegetasi Pakan
Tumbuhan pakan merupakan salah satu komponen biotik dari habitat
badak jawa yang sangat penting bagi kehidupan badak jawa. Hal ini
menyebabkan tumbuhan pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi
pertumbuhan populasi badak jawa. Terdapat 150 jenis tumbuhan pakan badak
jawa di TNUK. Jenis-jenis hijauan pakan yang disukai oleh badak jawa, yaitu
Cente, Sulungkar, Lampeni, Areuy kawao, Bangban, Kedondong, Waru,
Kiendog, Kukuheulang, Rotan steel, Jeunjung Kulit, Segel, dan Sirih hutan.
e. Garam Mineral
Badak jawa sangat membutuhkan garam mineral dalam kehidupannya.
Badak jawa juga membutuhkan garam mineral khususnya sodium, unsur yang
langka terdapat dalam tanaman. Pada umumnya satwa liar mempunyai pola
tertentu untuk memenuhi kekurangan mineral. Selain itu, pada musim
kemarau kebutuhan sodium (Na) semakin meningkat (banyak diperlukan
dalam proses pencernaan makanan) sehingga banyak satwa liar yang pergi ke
wilayah-wilayah yang mudah untuk mendapatkan sodium.
Kehadiran badak jawa pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh faktor
fisik dan biotik habitat itu sendiri. Komponen habitat yang paling dominan
mempengaruhi frekuensi kehadiran badak jawa pada suatu habitat yang
disukai adalah kandungan garam mineral (salinitas) dan pH tanah.
Karakteristik areal di TNUK yang disukai oleh badak jawa mempunyai ciri
nilai kandungan garam mineral sumber-sumber air berkisar 0,25-0,35%, nilai
pH tanah berkisar 4,3-5,45, jarak dari pantai berkisar 0-600 m, daerah datar
rendah dengan ketinggian berkisar 0-25 m dpl, daerah yang relatif landai
dengan kemiringan berkisar 0-8%, suhu udara berkisar 26,5- 30oC, dan
kelembapan udara 86,5-95% (Rahmat, 2008).

2. Konservasi Orangutan Sumatera

Gambar. Orangutan Sumatera


Orangutan sumatera dan orangutan kalimantan adalah dua jenis
satwa primata yang menjadi bagian penting dari kekayaan
keanekaragaman hayati kita, dan merupakan satu-satunya kera besar yang
hidup di Asia, sementara tiga kerabatnya yaitu gorila, chimpanze, dan
bonobo hidup di benua Afrika. Orangutan dianggap sebagai suatu ‘flagship
species’ yang menjadi suatu simbol untuk meningkatkan kesadaran
konservasi serta menggalang partisipasi semua pihak dalam aksi
konservasi.Kelestarian orangutan di habitatnya juga menjamin kelestarian
hutan dan kelestarian makhluk hidup lainnya.Dari sisi ilmu pengetahuan,
orangutan juga sangat menarik, karena mereka menghadirkan suatu cabang
dari evolusi kera besar yang berbeda dengan garis turunan kera besar
Afrika.
Orangutan Sumatera (Pongo abelii) merupakan kera besar endemik
Pulau Sumatera yang terancam punah karena hutan yang menjadi
habitatnya telah rusak dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan
kebakaran.Selain itu penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh
tingginya perburuan orangutan.Kondisi ini menyebabkan orangutan berada
di ambang kepunahan, serta menjadi langka dan akhirnya dilindungi. Di
tingkat nasional orangutan dilindungi keberadaannya oleh UU No.5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Flora dan Fauna Indonesia.
Konservasi dapat dilakukan di dalam habitat asli (insitu) atau diluar
habitat asli (eksitu).Untuk konservasi eksitu, makalingkungan perlu
disesuaikan dengan habitas asli si hewan sehingga hewan terse but tetap
dapat hidup sebagaimana mestinya.Salah satu contoh aplikasi faktor
pembatas dan kisaran toleransi dalam konservasi eksitu orangutan yang
dilakukan di kebun binatang Surabaya.
Kondisi preferendum orangutan yang dipengaruhi oleh faktor fisik
lingkungan sebenarnya tidahlah jauh berbeda dengan manusia.Seperti
factor suhu, kelembapan, cahaya matahari, makanan, dan kebutuhan
air.Tetapi habitat orangutan adalah di hutan, dimana banyak tumbuhan dan
pohon-pohon dimana orang utan bisa aktif bergerak, bergelantungan,
berinteraksi dengan orangutan lain, dan mencari makan.
Pada konservasi eksitu kebersihan kandang harus tetap terjaga, agar
kenyamanan dan kesehatan hewan tetap terjaga.Pada kandang terbuka,
ditanam pohon buah sehingga melatih orangutan untuk mengambil
makanan dari atas pohon, sehingga perilaku orangutan bisa lebih aktif.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka kesimpulan dari
makalah ini sebagai berikut.
1. Keadaan manapun yang mendekati atau melampaui batas-batas toleransi
dinamakan sebagai faktor pembatas. Pada prinsipnya masing-masing
hewan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap semua faktor
lingkungan. Organisme hanya dapat hidup dalam kondisi lingkungan yang
dapat ditoleransinya. Kisaran toleransi merupakan kemampuan hewan
mentoleransi atau beradaptasi dengan kisaran minimum dan maksimun
suatu keadaan lingkungan.
2. Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi lingkungan yang
mendekati bataskisaran toleransinya, maka organisme akan mengalami
keadaan tekanan (stress) fisiologis.Sebagai contoh, hewan yang
didedahkan pada suhu ekstrim rendah akan menunjukkan kondisikritis
berupa hipotermia, sedang pada suhu ekstrim tinggi akan mengakibatkan
gejalahipertemia. Apabila kondisi lingkungan suhu yang mendekati batas-
batas kisaran toleransi hewan itu berlangsung lama dan tidak segera
berubah menjadi baik, maka hewan akan mati. Kehadiran atau
keberhasilan suatu organisme/ kelompok organisme tergantung
kepadakomples keadaan. Kadaan yang mendekati atau melampaui batas-
batas toleransi dinamakansebagai yang membatasi (faktor pembatas).
3. Salah satu aplikasi dari konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi dapat
diterapkan pada peternakan itik petelur dan ikan salmon. Dimana peternak
harus mengkondisikan segala faktor yang dapat berperan sebagai faktor
pembatas dalam kisaran toleransi hewan ternak sehingga tersedia kondisi
preferendum untuk hewan ternak tersebut.
4. Konsep faktor pembatas dan kisaran toleransi juga dapat diterapkan dalam
bidang konservasi misalnya konservasi badak jawa dan orangutan
Sumatera.
B. Saran
Sebagai ahli atau seseorang yang ingin mengembangkan usaha di bidang
peternakan sebaiknya mengetahui dan memahami faktor pembatas dan kisaran
toleransi hewan yang akan dikembangbiakan, harapannya hasil produksi dari
peternakan tersebut dapat tercapai maksimal, dan sebagai ahli konservasi
hewan langka atau pengelola taman satwa sebaiknya mengetahui dan
memahami faktor pembatas dan kisaran toleransi hewan yang akan
dikonservasi, harapannya tujuan dari konservasi benar-benar dapat
menyelamatkan hewan tersebut dan mampu memberikan kenyamanan bagi
hewan sesuai dengan karakteristik masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

Dharmawan, dkk, 2004.Ekologi Hewan. Jurusan Biologi FMIPA Universitas


Negeri Malang.

Molony. B. 2001. Environmental requirements and tolerances of Rainbow trout


(Oncorhynchus mykiss) and Brown trout (Salmo trutta) with special
reference to Western Australia. Fisheries Research Division.

Odum, E. P. (1975). Ecology Ecology, the link between the natural and the social
sciences (Modern biology series). New York, USA: Holt, Rinehart and
Winston.

Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi, Edisi Ketiga. Yogyakarta: Universitas.


Gajah Mada Press.

Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi, Edisi Ketiga. Yogyakarta: Universitas


Gajah Mada Press.

Permenhut. 2013. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa (Spizaetus
bertelsi) Tahun 2013-2022. Jakarta: Menhut.

Prasetyo, Redi Joko. 2011. Faktor Pembatas Ekosistem. (Online),


http://www.inforedia.com/2010/03/faktor-pembatas-ekosistem.html.
diakses tanggal 14 Februari 2015).

Rahmat, U. M. 2008. Analisis Preferensi Habitat Badak jawa (Rhinoceros


sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Artikel
Ilmiah JMHT Vol. XIV (3): 115-124.

Setiadi, D., & Tjondronegoro, P. D. (1989). Dasar-dasar ekologi. Bogor,


Indonesia: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.

Streck, N. A. (2004). A temperature response function for modeling leaf growth


and development of the African violet (Saintpaulia ionantha Wendl.).
Ciência Rural, 34(1), 55-62.

Taylor, W.P. 1934. Significance of Extreme or Intermittent Conditions in


Distribution of Species and Management of Natural Resources, with A
Restatement of Liebig’s Law of the Minimum. Ecology, 15:274-379.

Zakariya, Abu Zaenal dan M. A. Yusran. 2010. Pengkajian Penggunaan Fermented


Mother Liquors (FML) pada Ransum Itik Petelur. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Timur, Jl. Raya Karang Ploso Km. 4, Kotak Pos
188 Malang 65101.

Anda mungkin juga menyukai