Anda di halaman 1dari 108

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

A DENGAN POST
CRANIATOMY ec FRAKTUR PARIETAL DI RUANG
DAHLIA A RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH TARAKAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

OLEH :
MAWAR RIANTI
1740702063

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2020
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. A DENGAN POST
CRANIATOMY ec FRAKTUR PARIETAL DI RUANG
DAHLIA A RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH TARAKAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

OLEH:
MAWAR RIANTI
1740702063

Laporan Tugas Akhir


sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Ahli Madya Keperawatan
pada
Universitas Borneo Tarakan

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2020
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Salam sejahtera untuk kita semua, segala puji dan syukur penulis panjatkan
pada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa menyertai kita dan melimpahkan
berkatnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
laporan tugas akhir ini dengan judul: “Asuhan Keperawatan pada dengan Post
Craniatomy ec Fraktur Parietal di ruang Dahlia A Rumah Sakit Umum Tarakan
Provinsi Kalimantan Utara”.
Dalam menyusun laporan tugas akhir ini penulis menyadari masih banyak
mengalami kesulitan dan hambatan, tetapi berkat bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak laporan tugas akhir ini dapat penulis selesaikan. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih banyak kepada:
1. Prof. Dr. Drs. Adri Patton, M.Si, selaku Rektor Universitas Borneo
Tarakan.
2. Dr. Muhammad Hasbi Hasyim, selaku Direktur Rumah Sakit Umum
Daerah Tarakan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengaplikasikan ilmu saya.
3. Sulidah, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Borneo Tarakan yang telah memberikan motivasi selama
penulis mengikuti perkuliahan di Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Borneo Tarakan.
4. Maria Imaculata Ose, S.Kep.Ns.,M.Kep selaku Sekretaris Jurusan
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Borneo Tarakan yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat mengikuti
Ujian Akhir Program ini sampai selesai.
5. Alfianur, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Jurusan Keperawatan Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Borneo Tarakan dan selaku pembimbing
akademik saya yang telah membimbing, memberi saran dan masukan,
yang tiada henti- hentinya dan memberikan kesempatan kepada saya
untuk dapat mengikuti Ujian Akhir Program ini sampai dengan selesai.

v
6. Hendy Lesmana, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku pembimbing I dan penguji III
yang telah membimbing, dan memberi saran dan masukan yang tiada
henti-hentinya dan memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti
Ujian Akhir Program dan Laporan Tugas Akhir ini sampai dengan
selesai.
7. Najihah, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku pembimbing II yang telah banyak
memberikan bimbingan, saran dan masukan yang tidak henti-hentinya,
serta semangat yang diberikan kepada saya dalam Ujian Akhir Program
dan penyusunan Laporan Tugas Akhir ini.
8. Paridah, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku penguji I yang telah membimbing,
dan memberi masukan kepada saya, yang tiada henti-hentinya memberi
semangat serta nasihat kepada saya.
9. Ahmat Pujianto, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku penguji II saya, yang telah
memberikan pengajaran arti dari seorang perawat, arti dari hidup setelah
menyelesaikan perkuliahan, yang tidak pernah berhenti untuk
memberikan saya nasihat dan pengajaran.
10. Bapak/ibu dosen dan staf Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Borneo Tarakan (terima kasih atas dukungan, bantuan, dan
bimbingannya selama ini).
11. Klien Tn. A yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam
memberikan informasi yang saya butuhkan serta semangat yang diberikan
dari klien dan keluarga.
12. Norhayati Andris selaku wali saya yang tiada henti-hentinya memberi
doa dan dukungan kepada saya selama ini baik dalam mengikuti program
perkuliahan sampai dengan selesai dan dalam penyusunan Laporan Tugas
Akhir ini.
13. Sindy Ngau dan Agusyanti Laway selaku orangtua terkasih saya yang
tiada henti-hentinya mendoakan dan memberikan motivasi selama masa
perkuliahan dan penyususnan Laporan Tugas Akhir ini.
14. Hernawaty Sindy dan Hendri Supriyono Sindy selaku kakak saya yang
tiada hentinya memberi dukungan, saran dan motivasi kepada saya dalam

vi
mengikuti program perkuliahan maupun penyusunan Laporan Tugas
Akhir.
15. Asky Rizal Toding yang tiada henti-hentinya selalu memberikan motivasi
dan membantu dalam proses penyusunan Laporan Tugas Akhir ini.
16. Teruntuk teman dan sahabat saya baik itu teman seperjuangan
Departemen Keperawatan Medikal Bedah, senior -senior, dan
teman mahasiswa Jurusan Keperawatan yang telah membantu saya
dan memberi dukungan kepada saya dalam mengikuti program
perkuliahan maupun dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih belum sempurna
dan masih banyak membutuhkan perbaikan, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran.
Semoga laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi masyarakat pada
umumnya dan khususnya bagi perawat dalam usaha meningkatkan pelayanan
kesehatan sesuai dengan standar profesi keperawatan.

Tarakan, 06 Agustus 2020

Mawar Rianti

vii
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. A DENGAN POST CRANIATOMY ec
FRAKTUR PARIETAL DI RUANG DAHLIA A RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH TARAKAN

Abstrak

Cedera kepala merupakan penyebab kematian terbesar, diperkirakan


100.000 orang meninggal setiap tahunnya. Indonesia di tahun 2018 memiliki
9,2% proporsi cedera yang akan mengakibatkan kegiatan sehari-hari terganggu,
sedangkan untuk proporsi cedera kepala pada tahun 2018 di Indonesia adalah
11,9%. Prevelensi cedera kepala yang terjadi di Kalimantan Utara berada di
urutan ke 13 dalam proporsi cedera kepala 14,7% pada tahun 2018. Berdasarkan
prevalensi tersebut, maka penulis tertarik mengambil kasus cedera kepala sebagai
laporan tugas akhir. Penulis menggunakan metode deskriptif, tipe studi kasus
dengan pendekatan proses keperawatan dengan tahapan pengkajian, diagnosis
keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Tujuan umum laporan
tugas akhir ini adalah mendapatkan pengalaman nyata asuhan keperawatan
yang dilakukan secara holistik dan komprehensif. Subjek penelitian adalah Tn. A
dengan Post Craniatomy ec Fraktur Parietal di Ruang Perawatan Dahlia A
Rumah Sakit Umum Tarakan Provinsi Kalimantan Utara pada tanggal 17 Juli
2020 sampai dengan tanggal 19 Juli 2020. Hasil penelitian didapatkan enam
diagnosa keperawatan yang ditegakkan pada Tn. A, yaitu risiko perfusi serebral
tidak efektif, risiko infeksi, gangguan mobilitas fisik, nyeri akut, gangguan pola
tidur dan risiko cedera. Kesimpulan, penulis mendapatkan kesenjangan yang
terdapat antara teori dan kasus pada Tn. A dimulai dari pengkajian terdapat enam
kesenjangan, pada diagnosa terdapat lima kesenjangan, intervensi harus
disesuaikan dengan kondisi dan sarana prasarana. Evaluasi hasil yang didapatkan
dari enam diagnosa keperawatan, lima yang teratasi dan satu tidak teratasi.

Kata Kunci: Asuhan Keperawatan cedera kepala, post craniatomy, fraktur


parietal, studi kasus cedera kepala

viii
ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i


PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 2
1.3 Metode Penulisan .......................................................................................................... 3
1.4 Sistematika Penulisan.................................................................................................... 4
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Medis ..................................................................................................... 6
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan ............................................................................. 14
BAB 3 LAPORAN KASUS
3.1 Pengkajian ..................................................................................................................... 33
3.2 Diagnosis Keperawatan ................................................................................................. 64
3.3 Perencanaan Keperawatan ............................................................................................ 64
3.4 Implementasi Keperawatan ........................................................................................... 67
3.5 Evaluasi ......................................................................................................................... 73
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian ..................................................................................................................... 77
4.2 Diagnosis Keperawatan................................................................................................. 82
4.3 Intervensi ....................................................................................................................... 85
4.4 Implementasi ................................................................................................................ 88
4.5 Evaluasi ......................................................................................................................... 88
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 90

x
5.2 Saran.............................................................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 93
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xi
DAFTAR SINGKATAN

BAB : Buang Air Besar


BAK : Buang Air Kecil
CRT : Capilary Refiel Time
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
GCS : Glassgow Coma Scale
Hb : Hemoglobin
HPA : Hypothalamus, Pituitary, danAdrenal
Ht : Hematokrit
ICS : Intra Costa Space
IPPA : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, danAuskultasi
IV : Intra Vena
MAP : Mean Arterial Presure
MCH : Mean Corpuscular Hemoglobin
MCHC : Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration
MCV : Mean Corpuscular Volume
N : Nervus
Na, K, Cl : Natrium, Kalium, Clorida
RND : Relaksasi Napas Dalam
RR : Respirasi Rate
S1 : Suara satu
S2 : Suara dua
S3 : Suara tiga
SDKI : Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
TB : Tinggi badan
BB : Berat badan
UL : Urine Lengkap
WHO : World Health Organization
KDM : Kebutuhan Dasar Manusia

xii
Ec : Et Causa
Tn : Tuan
NaCL : Natrium Clorida
USG : Ultra Sono Grafi
MRI : Magnetic Resonance Imaging
EEG : Elektro Ensefalo Graf
BAER : Brainsteam Auditory Evoked Response
PET : Positron Emission Tomography
CSF : Cerebro Spinal Fluid
ABGs : Artery Blood Gases Analys

xiii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural
dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Bararah, 2013). Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer,
2011). Cedera kepala merupakan suatu trauma atau ruda paksa yang mengenai
struktur kepala yang dapat menimbulkan gangguan fungsional jaringan otak atau
menimbaulkan kelainan struktural (Sastrodiningrat, 2014).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2010), cedera kepala
merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari
luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi
kognitif maupun fungsi fisik. Di Indonesia ditahun 2018 memiliki 9,2% proporsi
cedera yang akan mengakibatkan kegiatan sehari-hari terganggu, dan untuk laki-
laki jumlah prevalensi cedera lebih besar dari perempuan yaitu 11% sedangkan
perempuan 7,4%. Perkotaan lebih besar terjadi cedera dibandingkan di
perdesaan. proporsi bagian tubuh yang terkena cedera pada kepala yaitu
11,9% setelah anggota gerak bawah dan anggota gerak atas. Proporsi kecacatan
fisik permanen akibat dari cedera ialah 9,2% bekas luka yang mengganggu
kenyamanan. Proporsi cedera kepala di Indonesia pada tahun 2018 adalah 11,9%
(Riskesdas, 2018). Prevalensi cedera yang menganggu kegiatan sehari-hari di
Provinsi Kalimantan Utara ialah sebesar 6,9%. Provinsi Kalimantan Utara
mendapat urutan ke 13 dalam proporsi cedera kepala di tahun 2018 dengan
14,7% (Riskesdas, 2018). Cedera kepala ini merupakan salah satu masalah atau
kasus yang sering terjadi di dan menyebabkan kematian bila mana tidak
ditindaklanjuti dengan benar dan cepat. Kasus ini dapat dikatakan sebagai kasus
yang berbahaya dan dapat mengancam nyawa. Untuk itu kita harus melakukan

1
penanganan dan tindakan yang sudah sesua dengan SOP dan bekerja sama antar
tenaga kesehatan.
Tindakan pengobatan terhadap Fraktur Parietal dapat dilakukan dengan
cara operasi. Operasi fraktur parietal dilakukan dengan cara pembedahan
craniatomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala)
dengan maksud untuk mengetahui kerusakan otak (Brown, 2013). Operasi
craniatomy dilakukan untuk pengangkatan tumor pada otak, untuk
menghilangkan bekuan darah (hematoma), untuk mengendalikan perdarahan dari
pembuluh darah lemah bocor (aneurisma serebral), untuk menguras abses otak,
untuk mengurangi tekanan dalam tengkorak, untuk melakukan biopsi, atau untuk
memeriksa otak, dikutip dari Smeltzer dan Barre (2010), pada pasien post operasi
kraniatomi membutuhkan perawatan yang lebih intensif untuk mengurangi
komplikasi akibat pembedahan. Komplikasi pasca bedah yang sering terjadi yaitu
pengangkatan tekanan intrakranial, perdarahan, syok, hipovolemik, ketidak
seimbangan cairan dan elektrolit, infeksi dan kejang.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menguraikan pelaksanaan
Asuhan Keperawatan pada klien Tn. A dengan Post Craniatomy ec Fraktur
Parietal di ruang perawatan Dahlia A Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan
Provinsi Kalimantan Utara.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran nyata dan mengeksplorasi tentang penerapan dan
pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Post Craniatomy ec
Fraktur Parietal di ruang perawatan Dahlia A Rumah Sakit Umum Tarakan
Provinsi Kalimantan Utara, dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan secara holistic dan komprehensif.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Melaksanakan proses keperawatan pada Tn. A dengan Post Craniatomy
ec Fraktur Parietal di ruang perawatan Dahlia A Rumah Sakit Umum
Tarakan Provinsi Kalimantan Utara.

2
1.2.2.2 Membandingkan antara teori dan praktik Asuhan Keperawatan pada Tn.
A dengan Post Craniatomy ec Fraktur Parietal di ruang perawatan Dahlia
A Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Provinsi Kalimantan Utara.
1.2.2.3 Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam
melaksanakan proses keperawatan pada Tn. A dengan Post Craniatomy ec
Fraktur Parietal di ruang perawatan Dahlia A Rumah Sakit Umum Daerah
Tarakan Provinsi Kalimantan Utara.
1.3 Metode Penulisan
Penyusunan laporan tugas akhir ini penulis menggunakan metode deskriptif
dengan metode kasus, yaitu metode ilmiah yang menggambarkan keadaan yang
sedang terjadi, dan semua kegiatan hanya memusatkan perhatian pada satu kasus
secara intensif, dimulai dari pengumpulan data, analisa data, merumuskan
masalah, intervensi dan implementasi serta evaluasi yang telah dilakukan
dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Data-data yang terhimpun dalam
laporan tugas akhir ini diperoleh dengan cara:
1.3.1 Pengamatan/Observasi
Mengamati perilaku dan keadaan klien untuk memperoleh data tentang
masalah kesehatan dan keperawatan klien.
1.3.2 Wawancara
Data yang didapatkan dari pasien dan orang terdekat lainnya melalui
percakapan dan pengamatan. Data dapat dikumpulkan selama satu periode
kontak atau lebih dan harus mencakup semua data yang relevan. Teknik
pengumpulan data ini dilakukan dengan cara tanya jawab langsung dengan klien
dan keluarga atau orang tertentu yang mengetahui pasti keadaan klien, sehingga
dapat diperoleh data yang akurat.
1.3.3 Pemeriksaan Fisik Head to Toe
Menurut Walid (2016), pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan
empat tahapan yaitu:
1.3.3.1 Inspeksi: Proses observasi yang dilakukan dengan cara melihat.
Inspeksi digunakan untuk mendeteksi tanda-tanda fisik yang berhubungan
dengan status fisik. Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh meliputi: Ukuran

3
tubuh, warna, bentuk, posisi, simetris, luka, perubahan yang terjadi pada kulit,
dan kelainan anatomi.
1.3.3.2 Palpasi: Suatu bentuk pemeriksaan dengan cara perabaan. Tangan dan
jari- jari adalah instrument yang sensitif untuk merasakan adanya suatu
perubahan yang terjadi pada tubuh. Palpasi digunakan untuk
mengumpulkan data tentang temperatur, turgor, bentuk dan ukuran, massa,
kelembapan, vibrasi, dan tekstur.
1.3.3.3 Perkusi: Metode pemeriksaan dengan cara mengetuk. Tujuannya
adalah untuk menentukan batas-batas organ atau bagian tubuh dengan cara
merasakan vibrasi yang ditimbulkan akibat adanya gerakan yang diberikan
kebawah jaringan. Dengan perkusi kita membedakan apa yang ada dibawah
jaringan (udara, cairan, atau zat padat).
1.3.3.4 Auskultasi: Metode pemeriksaan dengan cara mendengar yang dibantu
dengan stetoskop. Tujuannya adalah untuk mendengar bunyi jantung, suara
napas, bunyi usus, denyut jantung, dan tekanan darah.
1.3.4 Pemeriksaan Penunjang: Data diperoleh dari dokumentasi yang terdapat
pada catatan perawat dan catatan tim kesehatan lainnya yang berhubungan dengan
kasus klien. Contohnya: CT-Scan, Laboratorium, rekam jantung, USG, dan lain-
lain.
1.3.5 Studi Literature: Dapat berupa buku-buku, jurnal ilmiah, dan sumber lain
yang berhubungan dengan judul serta permasalahan dalam laporan tugas akhir ini.
1.4 Sistematika Penulisan
Secara sistematis laporan tugas akhir ini dibagi menjadi lima bab, yaitu:
Bab Satu Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan,
ruang lingkup, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab Dua Landasan Teori, yang terbagi menjadi dua bahasan yang pertama
yaitu konsep dasar penyakit yang terdiri dari definisi, anatomi fisiologi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostik,
penatalaksanaan, dan komplikasi, dan yang kedua yaitu Asuhan Keperawatan
yang terdiri dari pengkajian, penyimpangan KDM, diagnosis keperawatan,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

4
Bab Tiga Tinjauan Kasus, yang terdiri dari pengkajian, penyimpangan
KDM, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Bab Empat Pembahasan, yang berisi perbandingan atau perbedaan antara
proses keperawatan secara teoritis dengan aplikasi nyata dilapangan, dengan
kesenjangan tesebut nantinya akan dibahas berdasarkan hasil pengkajian,
diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
Bab Lima Penutup, berisi kesimpulan dari seluruh penulisan laporan tugas
akhir ini dan saran yang ditunjukkan untuk perbaikan selanjutnya.

5
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Medis


2.1.1 Definisi
Menurut Price dan Wilson (2014), Cedera kepala adalah gangguan
traumatik pada daerah kepala yang mengganggu fungsi otak dan menyebabkan
terputusnya kontinuitas jaringan kepala yang biasanya disebabkan oleh trauma
keras. Sedangkan menurut Batticaca (2012), Trauma atau cedera kepala juga
dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma
baik trauma tumpul maupun tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya
substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragik serta edema
serebral disekitar jaringan otak. Berdasarkan kondisi cederanya trauma kepala
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1) Cedera Kepala Ringan (GCS : 14-15)
Cedera kepala ringan didefinisikan sebagai trauma kepala dengan status
mental dan neurologi pada pemeriksaan awal normal, dan tidak adanya fraktur
tulang kepala pada pemeriksaan fisik. Hasil pemeriksaan, pada keadaan ini dapat
disertai kehilangan kesadaran <1 menit, kejang singkat setelah trauma, muntah,
sakit kepala dan lesu.
2) Cedera Kepala Sedang (GCS: 13-9)
Cedera kepala sedang didefinisikan sebagai kehilangan atau penurunan
kesadaran untuk beberapa waktu, disertai luka mengenai kejadian tersebut.
Keadaan seperti ini timbul karena adanya gangguan fungsi sel saraf otak.
3) Cedera Kepala Berat (GCS: ≤ 8)
Cedera kepala berat didefinisikan sebagai kehilangan kesadaran dalam
waktu lama kira-kira 5-10 menit. Kemudian ditemui ada luka atau memar,
perdarahan dari hidung atau keluarnya cairan dari telinga, kejang dan bengkak.
Pada cedera kepala berat, perdarahan yang terjadi bukan hanya dikulit saja, tapi
sudah kedalam otak atau tenggorokan. Dianggap berat bila kemudian kejang atau

6
bahkan kelumpuhan (accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk
dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan pada faktor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Rendi &
Margaret, 2012).
2.1 .2 Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang
terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung dan cedera sekunder
yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi,
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea/hipotensi sistemik. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2015).
Menurut Ginsberg (2013), cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, jatuh, trauma benda tumpul, kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga,
kecelakaan olahraga, trauma tembak dan pecahan bom.
Sedangkan menurut Barre (2010), penyebab dari cedera kepala yaitu :
1) Pukulan langsung
Menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan atau pada sisi yang
berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai
dinding yang berlawanan.
2) Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang
menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak. Rotasi yang hebat juga
menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak
menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
3) Tabrakan/kecelakaan lalu lintas
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama
pada anak-anak dengan tengkorak yang elastis).

7
4) Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara
otomatis menekan otak.
2.1.4 Patofisiologi
Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma
tulang belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non
mekanik. Kepala dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang
keras. Tempat yang langsung terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan
dampak atau impact. Dampak yang dapat terjadi, yaitu: indentasi, fraktur linear,
fraktur stelatum, fraktur impresi, atau bahkan hanya edema atau perdarahan
subkutan saja. Fraktur yang paling ringan ialah fraktur linear, jika gaya
destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau fraktur impresi
(Mardjono & Sidharta, 2010).
Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis
karena trauma langsung, hematom yang menekan pada saraf otak, traksi terhadap
saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi, atau kompresi serebral traumatik
akut yang secara sekunder menekan pada batang otak, pada trauma kapitis dapat
terjadi komosio, yaitu pingsan sejenak dengan atau tanpa amnesia retrograd.
Tanda-tanda kelainan neurologik apapun tidak terdapat pada penderita tersebut,
sedangkan kemungkinan lain yang terjadi adalah penurunan kesadaran untuk
waktu yang lama. Derajat kesadaran tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse
ascending reticular system. Lintasan tersebut bisa tidak berfungsi sementara
tanpa mengalami kerusakan yang irreversibel. Batang otak yang pada ujung
rostral bersambung dengan medula spinalis mudah terbentang dan teregang
waktu kepala bergerak secara cepat dan mendadak. Gerakan cepat dan mendadak
itu disebut akselerasi. Peregangan menurut poros batak otak ini dapat
menimbulkan blokade reversibel pada lintasan retikularis asendens difus,
sehingga selama itu otak tidak mendapat input aferen, yang berarti bahwa
kesadaran menurun sampai derajat yang terendah (Mardjono & Sidharta, 2010).

8
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh
kontusio serebri, laserasio serebri, perdarahan subdural, perdarahan epidural, atau
perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya destruktif
trauma. Mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah disebutkan
sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang mendadak (akselerasi). Selain itu,
terdapat penghentian akselerasi secara mendadak (deakselerasi), pada waktu
akselerasi berlangsung, terjadi akselerasi tengkorang ke arah impact dan
penggeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah impact. Adanya
akselerasi tersebut menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya
kompresi yang destruktif, yang akhirnya akan menimbulkan terjadinya lesi
kontusio. Lesi kontusio dapat berupa perdarahan pada permukaan otak yang
berbentuk titik-tik besar dan kecil tanpa kerusakan duramater. Lesi kontusio
dibawah impact disebut lesi kontusio coup sedangkan lesi di seberang impact
disebut lesi kontusio countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu lesi yang
berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta,
2010).
2.1.5 Manifestasi Klinik
Menurut Reisner (2016), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di
atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga),
periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar
dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah
pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah,
gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri,
letargik. Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah
perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung menurun,
hipertensi, depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial,
terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas (Reisner, 2016).

9
Menurut Batticaca (2018), manifestasi klinis dari cedera kepala meliputi
gangguan kesadaran, perubahan tanda-tanda vital, abnormalias pupil, gangguan
penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, sakit kepala, vertigo,
gangguan pergerakan, kejang dan syok akibat multisystem, pada cedera kepala
kerusakan terbesar terjadi di otak bagian lobus frontal dan temporalis.
Keduanya adalah pusat emosi, memori, mental, kepribadian, kemampuan
merespon. Bila terganggu, maka penderita mudah lupa, bingung, dan emosi labil.
Menurut Anurogo dan Usman (2014), pada kejadian cedera kepala ringan,
penderita mengalami hilang kesadaran, hilang ingatan setelah kejadian traumatis,
gangguan kesadaran. Tanda gejala lainnya seperti vertigo, mual, muntah, sakit
kepala, bingung penderita dapat juga merasakan nyeri kepala, mudah lupa,
mudah lelah, lamban, gangguan keseimbangaan, amat peka terhadap
rangsangan sinar dan suara, pada cedera sedang, tanda gejalanya tidak selalu
bisa dikenali misalnya misalnya gangguan konsentrasi, nyeri kepala, pening,
mudah lupa, mengantuk, dan pada cedera kepala berat, terjadi kontisio otak (sel-
sel otak mati, lalu terjadi pendarahan) dan peningkatan tekanan intrakranial, yang
mengakibatkan terganggunya pusat-pusat pengaturan organ-organ vital,
gangguan pernafasan, hemodinamik, kardiovaskuler, dan kesadaran, pada cedera
kepala berat jugaterjadi DAI (diffuse axonal injury) adalah penyebab utama
penurunan kesadaran. Iskemia terjadi akibat menurunnya pengiriman oksigen ke
jaringan otak. Pendarahan menekan jaringan otak dan mengakibatkan suplai
oksigen menurun.
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Anurogo dan Usman (2014) serta Rendi dan Margaret (2012),
pemeriksaan penunjang pada cedera kepala memiliki beberapa pemeriksaan dan
juga proses pembedahan Craniatomy, itu semua meliputi beberapa pemeriksaan
yaitu :
1) CT scan kepala adalah standar baku dalam penatalaksanaan cedera
kepala. Pemeriksaan tersebut untuk memastikan adanya patah tulang,
pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak.

10
2) Pemeriksaan darah lengkap, gula darah sewaktu, ureum kreatinin, analisis
gas darah dan elektrolit.
3) Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah komponen
penting pada penilaian dan penatalaksanan cedera (Anurogo & Usman, 2014).
4) MRI (Magnetic resonance imaging): digunakan sama seperti CT-Scan
dengan atau tanpa kontras radioaktif. Serebral angiography: menunjukan
anomalia sirkulasi serebral, seperti perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perubahan dan trauma.
5) Serial EEG (Elektroensefalograf): dapat melihat perkembangan gelombang
yang patologis.
6) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
strukturgaris (perdarahan/edema), fragmen tulang.
7) BAER (Brainsteam Auditory Evoked Response): mengoreksi batas fungsi
corteks dan otak kecil.
8) PET (Positron Emission Tomography): mendeteksi perubahan aktivitas
metabolisme otak.
9) CSF (Cerebrospinal fluid), lumbalis pungsi: dapat dilakukan jika diduga
terjadi perdarahan subarachnoid.
10) ABGs (Artery Blood Gases Analysis): mendeteksi keberadaan ventilasi
atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
11) Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial.
12) Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
2.1.6. Pendekatan Bedah
Ultrasonografi telah menjadi standar pemantauan bedah saraf selama
beberapa tahun, karena dapat membedakan lesi abnormal dari jaringan otak
normal dan edema, jaringan abnormal yang tersisia juga dapat diidentifikasi
sebelum penutupan, frameless stereotaxy adalah sebuah sistem navigasi
intraoperatif yang digunakan untuk menghasilkan gambaran tumor tiga dimensi.

11
CT-Scan atau MRI dilakukan sebelum pembedaan dan kulit kepala diberi tanda
(standar perbandingan). Diperkirakan bahwa prosedur ini meningkatkan
keamanan dan keefektifan bedah dengan mengurangi ukuran Craniatomy,
meminimalkan manipulasi otak, dan memaksimalkan reseksi tumor. Pemetaan
kortikal digunakan untuk masa di area elokuen otak. Somatosensory evoked
potensial (SSEP) direkam selama pembedahan di bawah pengaruh anastesi untuk
mengkaji hubungan antara stip motorik dan lesi yang akan direseksi. Rangsangan
kortikal langsung memberi tahu letak korteks sensori motorik dan juga
digunakan untuk meminimalkan defisit neurologis dan memaksimalkan
pengangkatan tumor. Beberapa kasus, kendali kejang yang lebih baik juga
dicapai dengan prosedur ini. Rangsang kortikal langsung membutuhkan anastesi
lokal dan pasien akan sadar selama sebagian besar prosedur. Craniatomy telah
dilengkapi dengan pemakian mikroskop, kaca pembesar operasi, retraktor
otomatis, bor kecepatan tinggi. Struktur intrakranial dapat menjadi pendekatan
melalui lubang bor, yang adalah lubang sirkular yang dibuat ditengkorak baik
melalui drill tangan atau kraniatom automatik (yang mempunyai sistem kendali
sendiri untuk menghentikan drill ketika tulang ditembus). Lubang bor dibuat
untuk eksplorasi atau diagnosis. Lubang ini juga suatu cara evakuasi hematoma
intrakranial atau abses dan untuk membuat flap tulang di dalam tengkorak dan
memungkinkan akses pada vetrikel untuk tujuan dekompresi, ventrikulografi atau
prosedur pirau (shunting).
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala menurut Adams (2010), meliputi:
Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala
berat dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis
1) (Saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian).
Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status vegetatif.
2) Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid
dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya
kecil dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi
bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.

12
3) Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid
dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya
kecil dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi
bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.
4) Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang
awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama,
fraktur depresi kranium dan hematom intrakranial.
5) Hematom subdural kronik.
6) Sindrom pasca concusio: nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi
dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi
akibat cederavestibular (konkusi labirintin)
2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut Barre (2002), jalur arteri dan jalur tekanan vena sentral (CVP)
dapat dipasang untuk memantau tekanan darah dan mengukur CVP. Pasien
mungkin atau tidak diintubasi dan mendapat terapi oksigen tambahan.
1) Mengurangi edema serebral
Terapi medikasi untuk mengurangi edema serebral meliputi pemberian
manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area
otak (dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini kemudian diekskresikan melalui
diuresis osmoltik. Deksametason dapat diberikan melalui intravena setiap 6 jam
selama 24 jam sampai 72 jam, selanjutnya dosisya dikurangi secara bertahap.
2) Meredakan nyeri dan mencegah kejang
Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu di atas 37,5°C dan
untuk nyeri sering kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah kraniatomy,
biasanya sebagai akibat saraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama
pembedahan. Kodein, diberikan melalui parenteral, biasanya cukup untuk
menghilangkan sakit kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin, diazepam)
diresepkan untuk pasien yang telah menjalani kraniatomy supratentorial, karena
risiko tinggi epilepsi setelah prosedur bedah neuro supratentorial. Kadar serum
dipantau untuk mempertahankan medikasi dalam rentang terapeutik.
3) Memantau TIK (Tekanan Intra Kranial)

13
Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase, sering dipasang pada pasien
yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Kateter
disambungkan ke sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan
melalui pulsasi cairan dalam selang. TIK dapat dikaji dengan menyusun sistem
dengan sambungan stopkok. Perawatan diperlukan untuk menjamin bahwa
sistem tersebut kencang pada semua sambungan dan bahwa stopkok ada pada
posisi yang tepat untuk menghindari drainase cairan serebrospinal, yang dapat
mengakibatkan kolaps ventrikel bila cairan terlalu banyak dikeluarkan. Kateter
diangkat ketika tekanan ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberitahu
bila kapan pun kateter tampak tersumbat.
2.2 Konsep Dasar Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Menurut Doenges, Moorhouse, dan Geissler (2014) pengkajian adalah data
yang dikumpulkan melalui wawancara pengumpulan riwayat kesehatan,
pengkajian fisik, pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, serta review catatan
sebelumnya. Adapun data dasar pengkajian pada klien trauma kranioserebral,
yaitu:
2.2.1.1 Aktivitas/Istirahat
Gejala: Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda: Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia cara
berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) orthopedi,
kehilangan tonus otot, otot spastic.
2.2.1.2 Sirkulasi
Gejala: Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
2.2.1.3 Integritas Ego
Gejala: Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda: Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan
impulsive.

14
2.2.1.4 Eliminasi
Gejala: Inkontinesia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
2.2.1.5 Makanan/Cairan
Gejala: Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda: Muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk, air liur
keluar, disfagia).
2.2.1.6 Neurosensori
Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas,
gangguan pengecapan.
Tanda: Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubaha status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori), perubahan pupil (respons terhadap cahaya,
simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti, kehilangan pengideraan
(seperti pengecapan, penciuman, dan pendengaran), wajah tidak simetri,
genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau
lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur (dekortikasi dan deserebrasi),
kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
2.2.1.7 Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda: Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
2.2.1.8 Pernapasan
Tanda: Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi),
napas berbunyi (stridor, tersedak, ronki), mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
2.2.1.9 Keamanan
Gejala: Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda: Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan. Kulit: laserasi, abrasi, perubahan
warna seperti “racoon eyes”, tanda batle disekitar telinga (merupakan tanda

15
adanya trauma), adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS),
gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara
umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
2.2.1.10 Interaksi Sosial
Tanda: Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang, disartria, anomia.
2.2.1.11 Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala: Penggunan alkohol/obat lain.
Pertimbangan: DRG menunjukka rerata lama dirawata: 12 hari
Rencana pemulangan: Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi,
transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas
rumah tangga, perubahan tata ruang atau penempatan fasilitas lainnya dirumah.
2.2.1.12 Pemeriksaan Diagnostik
1) CT Scan (tanpa/dengan kontras): mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik,
menetukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan: pemeriksaan
berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin tidak
terdeteksi dalam 24-72 jam pascatrauma.
2) MRI (Magnetic resonance imaging): Sama dengan CT Scan dengan/tanpa
menggunakan kontras.
3) Angiografi Serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
4) EEG (Elektroensefalograf): Untuk memperlihatkan keberadaan atau
berkembangnya gelombang patologis.
5) Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (kerena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
6) BAER (Brain Auditory Evoked Respons): Menentukan fungsi korteks dan
batang otak.
7) PET (Positron Emission Tomography): Menunjukkan perubahan aktivitas
metabolisme pada otak.
8) Pungsi Lumbal, CSS: Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subrakhnoid.

16
9) GDA (Gas Darah Arteri): Mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK (Tekanan Intra Kranial).
10) Kimia/elektrolit darah: Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam meningkatkan TIK (Perubahan Intra Kranial) atau perubahan mental.
11) Pemeriksaan tokiskologi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran.
12) Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat
terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
2.2.2 Diagnosis Keperawatan
Diagnosis Keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan,
mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respons terhadap masalah aktual dan
risiko tinggi. Label diagnosis keperawatan member format untuk
mengekspresikan bagian identifikasi masalah dari proses keperawatan (Doenges,
2014).
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap pengalaman
atau respon individu, keluarga, atau komunitas pada masalah kesehatan,
pada risiko masalah kesehatan atau pada proses kehidupan. Diagnosis
keperawatan merupakan bagian viral dalam menentukan asuhan keperawatan
yang sesuai untuk membantu klien mencapai kesehatan yang optimal. Mengingat
pentingnya diagnosis keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan, maka
dibutuhkan standar diagnosis keperawatan yang dapat diterapkan secara nasional
di Indonesia dengan mengacu pada standar diagnosis internasional yang telah
dibakukan sebelumnya (SDKI, 2017).
Berdasarkan (SDKI, 2014), diagnosis keperawatan yang muncul pada
klien dengan Trauma Kranioserebral adalah:
1) Resiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan (kebanormalan
maasa protrombin dan/atau massa tromboplastin parsial; penurunan kerja
ventrikel kiri, ateroklerosis aorta; diseksi arteri; fibtilasi atrium; sitenosis
kasotis; miksoma atrium; aneurisma serebri; koagulopati seperti aneima sel
sabit; dilatasi kardiopati; koagulasi intravaskuler diseminata; embolisme;
cedera kepala; hiperkolesteromia; hipertensi; endokarsitis infeksi; katup

17
prostetik mekanik; stenonis mitral; neoplasma otak; infark miokard akut;
sindrom sick sinus; penyalahgunaan zat; terapi tombolitik; dan efek samping
tindakan seperti tindakan operasi bypass).
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan (depresi pusat pernapasan;
hambatan upaya napas seperti nyeri saat bernapas, dna kelemahan otot
pernapasan; deformitas dinding dada; deformitas tulang dada; gangguan
neuromuskular; gangguan neurogis; imaturitas neurologis; penurunan energi;
obesitas; posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru; sindrom
hipoventilasi; kerusakan inerfasi diafragma/kerusan saraf C5 ke atas; cedera
pada medula spinalis; efek agen farmakologis; dan kecemasan).
3) Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan (gangguan penglihatan;
gangguan pendengaran; gangguan penghidu, gangguan perabaan,
hipoksia serebral; penyalahgunaan zat; usai lanjut; dan pemajanan
toksin lingkungan)
4) Waham berhubungan dengan (faktor biologis, kelainan genetil/keturunan,
kelainan neurologis misalnya gangguan sistem limbik, gangguan ganglia
basalis, dan tumor otak atau cedera kepala; faktor psikodinamik misalnya
isolasi sosial dan hipersensitif; maladaptasi; dan stres yang berlebihan).
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan (kerusakan integritas struktur
tulang; perubahan metabolisme; ketidakbugaran fisik; penurunan kendali
otot; penurunan massa otot; penurunan kekuatan otot; keterlambatan
perkembangan; kekakuan sendi; kontraktur; malnutrisi; gangguan
muskuloskelel; gangguan neuromuskular; indeks massa tubuh diatas
persentil ke-75 sesuai usia; efek agen farmakologis; program pembatasan
gerak; nyeri; kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik; kecemasan;
gangguan kognitif; keengganan melakukanpergerakan dan gangguan
sesnsoripersepsi).
6) Risiko infeksi dibbuktikan dengan (penyakit kronis misalnya diabetes
melitus; efek prosedur invasif; malnutrisi; peningkatan paparan organisme
patogen lingkungan; ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer seperti
gangguan peristaltik, gangguan integritas kulit, perubahan sekresi pH,

18
penurunan kerja siliaris, ketuban pecah lama, ketuban pecah sebelum
waktunya, merokok, dan statis cairan tubuh; ketidakadekuatan pertahanan
tubuh sekunder seperti penurunan hemoglobin, imununosupresi, leukopenia,
supresi respon inflamasi, dan vaksinasi tidak adekuat).
7) Risiko defisit nutrisi dibuktikan dengan (ketidakmampuan menelan
makanan; ketidakmampuan mencerna makanan; ketidakmampuan
mengabsorbsi nutrien; peningkatan kebutuhan metabolisme; faktor ekonomis
misalnya, finansial tidak mencukupi; dan faktor psikologis seperti, stres,
keengganan untuk makan).
8) Kesiapan peningkatan koping keluarga dibuktikan dengan tanda gejala
mayor dan minor (mayor: anggota keluarga menetapkan tujuan untuk
meningkatkan gaya hidup sehat dan anggota keluarga menetapkan sasaran
untuk meningkatkan kesehatan; minor: anggota keluarga
mengidentifikasikan pengalaman yang mengoptimalkan kesejahteraa,
anggota keluarga berupaya menjelaskan dampak krisis terhadap
perkembangan dan anggota keluarga mengungkapkan minat dalam membuat
kontak dengan orang lain yang engalami sitiasi yang sama).
9) Defisit pengetahuan berhubungan dengan (keterbatasan kognitif; ganguan
fungsi kognitif; kekeliruan mengikuti anjuran; kurang terpapar informasi;
kurang minat dalam belajar; kurang mampu mengingat dan ketidakmampuan
menemukan sumber informasi).
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang
diharapkan dari pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.
Tindakan/intervensi keperawatan dipilih untuk membantu pasien dalam mencapai
hasil pasien yang diharapakan dan tujuan pemulangan. Harapannya adalah bahwa
perilaku yang dipreskripsikan akan menguntungkan pasien dan keluarga
dalam cara yang dapat diprediksi, yang berhubungan dengan masalah yang
diidentifikasi dan tujuan yang telah dipilih. Intervensi ini mempunyai maksud
mengindividualkan perawatan dengan memenuhi kebutuhan spesifik pasien serta
harus menyertakan kekuatan-kekuatan pasien yang telah diidentikasi bila

19
memungkinkan. Intervensi keperawatan harus spesifik dan dinyatakan dengan
jelas, dimulai dengan kata kerja aksi. Kualifikasi seperti bagaimana, kapan, di
mana, frekuensi, dan besarnya memberikan isi dari aktivitas yang direncanakan
(Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2014).
Intervensi keperawatan merupakan tahap ketiga dari proses keperawatan
yang dimulai setelah data-data yang terkumpul sudah dianalisa, dari
diagnosis keperawatan yang disusun di atas, berikut rencana keperawatan yang
dilakukan pada klien dengan Trauma Kraniaserebral berdasarkam diagnosis yang
telah ditentukan adalah sebagai berikut (SIKI & SLKI, 2018):
2.2.3.1 Resiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan (kebanormalan
maasa protrombin dan/atau massa tromboplastin parsial; penurunan kerja
ventrikel kiri, ateroklerosis aorta; diseksi arteri; fibtilasi atrium; sitenosis
kasotis; miksoma atrium; aneurisma serebri; koagulopati seperti aneima
sel sabit; dilatasi kardiopati; koagulasi intravaskuler diseminata;
embolisme; cedera kepala; hiperkolesteromia; hipertensi; endokarsitis
infeksi; katup prostetik mekanik; stenonis mitral; neoplasma otak; infark
miokard akut; sindrom sick sinus; penyalahgunaan zat; terapi tombolitik;
dan efek samping tindakan seperti tindakan operasi bypass).
Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka perfusi jaringan
meningkat dengan kriteria hasil:
1) Tingkat kesadaran meningkat
2) Kognitif meningkat
3) Sakit kepala menurun
4) Gelisah menurun
5) Kecemasan menurun
6) Agitasi menurun
7) Demam menurun
8) Tekanan arteri rata-rata membaik
9) Tekanan intrakranial membaik
10) Tekanan darah sistolik membaik
11) Tekanan darah diastolic membaik

20
12) Refleks napas membaik
Intervensi keperawatan:
1) Observasi
(1) Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. lesi, gangguan
metabolisme, edema serebral).
Rasional: Untuk mengetahui peningkatan TIK
(2) Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. tekanan darah
meningkat, tekanan nadi melebar, bradikardi, pola napas ireguler,
kesadaran menurun).
Rasional: Untuk mengetahui potensial peningkatan TIK
(3) Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
Rasional: Menghitung tekanan rata-rata arteri, menggambarkan
perfusi rata-rata dari peredaran darah sistemik untuk menjamin
perfusi otak, perfusi arteri koronaria dan perfusi ginjal tetap
terjaga
(4) Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika perlu
Rasional: CVP adalah kateter poliethylene dari vena tepi sehingga
ujungnya berada di dalam atrium kanan atau muara vena cava,
CVP sangat berarti pada penderita yang mengalami shock
(5) Monitor PAWP, jika perlu
Rasional: pengukuran PAWP diperoleh dengan megembangkan
balon secara perlahan dengan 1.5 ml udara sabil mengamati
penelusuran tekanan lumen distal. Saat garis menjadi terjepit
penelusuran mengubah bentuk dan amplitudo. Ketika penelusuran
berubah dari arteri ke atrium, kateter dijeput dan PAWP diukur
pada akhir ekspirasi. PAWP meningkat pada kegagalan ventrikel
kiri dan temponade perikardial, dan bila menurun berarti ppsien
mengalami hipovilemik
(6) Monitor PAP, jika perlu
Rasional: mengukur tekanan arteri pulmonal
(7) Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia

21
Rasional: pemantauan tekanan intracranial digunakan dalam
merawat pasien cedera kepala parah dengan metode pengukuran
klinis yang tersedia saat ini bersifat invasif dan menggunakan
berbagai sistem transduser
(8) Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
Rasional: agar dapat mendeteksi secara dini peningkatan tekanan
intrakranial
(9) Monitor gelombang ICP
Rasional: gelombang tekanan intrakranial dilakukan agar dapat
memantau peningkatan tekanan intrakranial
(10) Monitor status pernapasan
Rasional: pemantauan sesak napas atau henti napas
(11) Monitor inteke dan output cairan
Rasional: untuk mengetahui adanya tanda-tanda dehidrasi dan
mencegah syock hipovolemik
(12) Monitor cairan serebro-spinalis (mis. warna konsistensitas)
Rasional: untuk mengetahui cairan yang keluar dari kepala
2) Terapeutik
(1) Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang
tenang
Rasional: agar klien tidak mengalami depresi dimana bila terjadi
depresi maka tekanan darah akan naik saat tekanan darah naik
maka jantung memompa begitu cepat ke seluruh tubuh dan
menekan otak yang menyebabkan tekanan itrakranial
(2) Berikan posisi semi fowler
Rasional: memberika posisi nyaman bagi klien
(3) Hindari manuver vaisava
Rasional: bila ekspirasi paksa dengan menutup bibir dan menutup
hidung dapat maningkatkan TIK, manuver vaisava dilakukan bila
telinga berdenging
(4) Cegah terjadinya kejang

22
Rasional: kejang dapat meningkatkan TIK sehingga terjadi shock
(5) Hindari penggunaan PEEP
Rasional:
(6) Hindari pemberian cairan IV hipotonik
Rasional: dimana bila terjadi pemberian cairan phi cairan kurang
dari plasma darah atau biasa disebut hipotonik apalagi melalui
intravena maka akan menyebabkan net aliran pelarut air dari
cairan ke plasma darah akibatnya menggebung dan dapat pecah
terjadi peningkatan TIK
(7) Atur ventilator agar PaCO2 optimal
Rasional: dimana bila PaCO2 meningkat terjadi vasodilatasi
pembuluh darah vaskuler, dan bila menurun menyebabkan
vasokontriksi. PaCO2 dipertahankan dalam rentang 20-30 mmHg.
Bila hiperventilasi berlebihan maka ditakutkan akan terjadi iskemi
cerebral oleh karena vasokontriksi cerebral yang hebat dan
meningkatkan TIK
(8) Pertahankan suhu normal
Rasional: suhu tubuh yang normal tidak membuat cara kerja otak
menjadi berat dan tubuh akan rileks dengan suhu yang normal
3) Kolaborasi
(1) Kolaborasi sedasi dan anti konvulsan, jika perlu
Rasional: Sebagai terapi anti kejang
(2) Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
Rasional: Sebagai terapi untuk menghambat reabsorpsi air dan
natrium dan meningkatkan osmolaritas darah dan jantung
(3) Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
Rasional: Sebagai terapi bila mana terjadi permasalahan pada
sistem pencernaan
2.2.3.2 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan (depresi pusat pernapasan;
hambatan upaya napas seperti nyeri saat bernapas, dna kelemahan otot
pernapasan; deformitas dinding dada; deformitas tulang dada; gangguan

23
neuromuskular; gangguan neurogis; imaturitas neurologis; penurunan
energi; obesitas; posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru; sindrom
hipoventilasi; kerusakan inerfasi diafragma/kerusan saraf C5 ke atas;
cedera pada medula spinalis; efek agen farmakologis; dan kecemasan).
Setelah dilakukan tindakan intervensi keperawatan maka pola napas
membaik dengan kriteria hasil:
1) Dispnea menurun
2) Penggunaan otot bantu napas menurun
3) Otopnea menurun
4) Pernapasan pursed-lid menurun
5) Pernapasan cuping hidung menurun
6) Frekuensi napas membaik
7) Ekskursi membaik
8) Ventilasi semenit membaik
9) Kapasitas vitas membaik
10) Kedalaman napas membaik
11) Diameter toraks anterior-posterior membaik
12) Tekanan ekspirasi membaik
13) Tekanan inspirasi membaik
14) Pemanjangan fase ekspirasi menurun
Intervensi keperawatan:
1) Observasi
(1) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman dan usaha napas)
Rasional: memantau tanda-tanda sesak napas
(2) Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing,
ronki kering)
Rasional: dapat dilakukan tidak lanjut bila terjadi bunyi napas
tambahan
(3) Monitor sputum (jumlah. Warna dan aroma)
Rasional: dicurgai adanya TB paru

24
2) Terapeutik
(1) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt and chin-lift
(jau-trust jika curiga trauma servikal)
Rasional: untuk melakukan aman pasien
(2) Posisikan semi fowler atau fowler
Rasional: memberikan posisi nyaman pada klien agar tidak sesak
(3) Berikan air hangat
Rasional: menghilangkan dahaga dan membantu proses pemulihan
(4) Lakukan fioterapi dada, jika perlu
Rasional: membantu mengeluarkan dahag yang berlebihan
(5) Lakukan pengisapann lendir (suction) kurang dari 15 detik
Rasional: pengisapan yang lama dapat menyebabkan hypokxia
(6) Lakukan hipoksigenasi sebelum pengisapan endotrakeal
Rasional: agar tidak terjadi hipoksia dalam melakukan suction
(7) Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
Rasional: dapat bernapas tanpa ada sumbatan pada jalan napas
(8) Berikan oksigen, jika perlu
Rasional: oksigen diberikan bila terjadi sesak napas agar
membantu napas normal
3) Edukasi
(1) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
Rasional: mempertahankan kenutuhan cairan dalam tubuh
(2) Ajarkan batuk efektif
Rasional: mencegah atau menurunkan atelektasis
4) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu
Rasional: bronkodilator sebagai pengencer dahak dan oksigen
memberi kemudahan klien dalam bernapas
2.2.3.3 Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan (gangguan
penglihatan; gangguan pendengaran; gangguan penghidu,

25
gangguan perabaan, hipoksia serebral; penyalahgunaan zat; usai
lanjut; dan pemajanan toksin lingkungan).
Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka persepsi sensori
membaik dengan kriteria hasil:
1) Verbalisasi mendengar bisikan menurun
2) Verbalisasi melihat bayangan menurun
3) Verbalisasi rasakan sesuatu melalui indra perabaan menurun
4) Verbalisasi rasakan sesuatu melalui indra penciuman menurun
5) Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra pengecapan
menurun
6) Distorsi sensori menurun
7) Perilaku halusinasi menurun\
8) Menarik diri menurun
9) Melamun menurun
10) Curiga menurun
11) Mondar-mandir menurun
12) Respon sesuai stimulus membaik
13) Orientasi membaik
Intervensi keperawatan;
1) Observasi
(1) Monitor prilaku yang mengidentifikasi halusinasi
Rasional: memantau fungsi serebral bagian atas biasanya
terpengaruh lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi,
oksigenasi, kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-
kadang
(2) Monitor dan sesuaikan tingkat aktivitas dan stimulus lingkungan
Rasional: menurunkan ansietas, respon emosi yang
berlebihan/bingung yang berhubungsn dengan sesnsorik yang
berlebihan
(3) Monitor isi halusinasi (mis. kekerasan atau membahayakan diri)

26
Rasional: supaya perawat dapat menegakkan intervensi dengan
benar
2) Terapeutik
(1) Pertahankan lingkungan yang aman
Rasional: dapat dipastikan klien aman bila halusinasi datang
(2) Lakukan tindakan keselamatan ketika tidak dapat mengontrol
prilaku (mis. limit setting, pembatasan wilayah, pengekangan
fisik, seklusi)
Rasional: supaya saat klien mengamuk maka perawat maupun
klien tidak ada yang terluka
(3) Diskusikan perasaan dan respon terhadap halusinasi
Rasional: mengetahui bagaimana respon bila halusinasi datang
dan dapat membangun hubungan saling percaya dengan klien
(4) Hindari perbebatan validasi halusinasi
Rasional: orang yang mengalami gangguan jiwa apapun pasti
tidak akan terima bahkan marah bila kita menyanggah atau
berdebat tentang halusinasi yang dialamiya
3) Edukasi
(1) Anjurkan memonitor sendiri situasi terjadinya halusinasi
Rasional: klien dapat mengenal dan membedakan mana halusinasi
dan mana kenyataan
(2) Anjurkan bicara pada orang yang dipercayai untuk memberikan
dukungan dan umpan balik korektif terhadap halusinasi
Rasional: agar klien tidak berfokus pada halusinasi
(3) Anjurkan melakukan distraksi (mis. mendengarkan musik,
melakukan aktivitas dan teknik relaksasi)
Rasional: klien dapat mengalihkan halusinasi dan dapat
mengontrol halusinasi
(4) Ajarkan pasien dan keluarga pasien tentang mengontrol halusinasi
Rasional: memahami dengan benar tentang halusinasi
4) Kolaborasi

27
(1) Kolaborasi pemberian obat antipsikotik dan antiansietas, jika
perlu
Rasional: pendekatan yang dilakukan dapat menciptakan rencana
penatalaksanaan integritas yang didasarkan kombinasi atau
ketidakmampuan secara individu yang unik dengan berfokus pada
peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif dan keterampilan
aktual
2.2.3.4 Waham berhubungan dengan (faktor biologis, kelainan
genetil/keturunan, kelainan neurologis misalnya gangguan sistem limbik,
gangguan ganglia basalis, dan tumor otak atau cedera kepala; faktor
psikodinamik misalnya isolasi sosial dan hipersensitif; maladaptasi; dan
stres yang berlebihan).
Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka status orientasi membaik
dengan kriteria hasil:
1) Produktivitas meningkat
2) Verbalisasi waham menurun
3) Prilaku waham menurun
4) Khawatir menurun
5) Curiga menurun
6) Sikap bermusuhan menurun
7) Tegang menurun
8) Menarik diri menurun
9) Prilaku sesuai realitas membaik
10) Isi pikir sesuai realita membaik
11) Pembicaraan membaik
12) Konsentrasi membaik
13) Pola tidur membaik
14) Kemampuan mengambil keputusan membaik
15) Proses pikir membaik
16) Perawatan diri membaik
Intervensi keperawatan:

28
1) Observasi
(1) Monitor waham yang membahayakan diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
Rasional: memantau untuk mengambil tindakan sebelum terjadi
kejadian
(2) Monitor efek terapeutik dan efek samping obat
Rasional: memantau dengan seksama apa saja yang sudah
dikonsumsi dan efek dari obat yang dikonsumsi
2) Terapeutik
(1) Bina hubungan interpersonal saling percaya
Rasional: supaya klien mampu nyaman
(2) Tunjukkan sikap tidak menghakimi secara konsisten
Rasional: memberika keadilan dalam artian saat melakukan
tindakan tidak langsung membantah atau menyanggah melainkan
mengambil keputusan dengan diskusi
(3) Diskusikan waham dengan berfokuskan pada perasaan yang
mendasar waham
Rasional: mengetahui sebenarnya jenis waham apa yang sedang
dialami
(4) Hindari perdebatan tentang keyakinan yang keliru, nyatakan
keraguan sesuai dengan fakta
Rasional: menyatukan pemikiran dan tidak terjadi perkelahian
(5) Hindari gagasan yang memperkuat waham
Rasional: supaya waham yang dialami tidak diingatnya kembali
melainkan membantu untuk berpikir yang sesuai fakta
(6) Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman
Rasional: memberikan ketenangan bagi klien
(7) Berikan aktivitas rekreasi dan pengalihan sesuai kebutuhan
Rasional: pengalihan waham agar tidak kambuh dan perlahan
berprilaku dan berpikir secara normal/fakta

29
(8) Lakukan intervensi pengontrolan prilaku waham (mis. limit
setting pembatasan wilayah, pengekangan fisik atau seklusi)
Rasional: pengamanan aman diri dan aman klien
3) Edukasi
(1) Anjurkan mengungkapkan dan memvalidasi waham (uji realistas)
dengan orang yang dipercaya (pemberi asuhan/keluarga)
Rasional: membantu mengembalikan proses pikir yang salah
(2) Anjurkan melakukan rutinitas harian secara konsisten
Rasional: untuk mengalihkan waham
(3) Latih manajemen setres
Rasional: manajemen stres adalan dimana kemampuan pengguna
sumber daya (pikiran) secara efektif untuk mengatassi gangguan
atau kekacauan menntal dan emosional yang muncul
karenatangggapan atau respon, atau bisa dikatakan memperbaiki
diri kualitas hidup individu itu agar lebih baik
(4) Jelaskan tentang waham serta penyakit terkait (mis. delirium,
skizofrenia, atau depresi) cara mengatasi dan obat uang diberikan
Rasional: memahami tentang waham
4) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian obat, sesuai indikas
Rasional: membantu mengurangi proses pikir yang salah oleh
penyakit bawaan seperti skizofrenia
2.2.3.5 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan (kerusakan integritas
struktur tulang; perubahan metabolisme; ketidakbugaran fisik; penurunan
kendali otot; penurunan massa otot; penurunan kekuatan otot;
keterlambatan perkembangan; kekakuan sendi; kontraktur; malnutrisi;
gangguan muskuloskelel; gangguan neuromuskular; indeks massa tubuh
diatas persentil ke-75 sesuai usia; efek agen farmakologis; program
pembatasan gerak; nyeri; kurang terpapar informasi tentang aktivitas
fisik; kecemasan; gangguan kognitif; keengganan melakukanpergerakan
dan gangguan sesnsoripersepsi).

30
Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka mobilitas fisik meningkat
dengan kriteria hasil:
1) Pergerakan ektremitas meningkat
2) Kekuatan otot meningkat
3) Rentang gerak meningkat meningkat (ROM)
4) Nyeri menurun
5) Kecemasan menurun
6) Kaku sendi menurun
7) Gerakan tidak terkoordinasi menurun
8) Gerakan terbatas menurun
9) Kelemahan fisik menurun
Intervensi keperawatan yang dilakukan:
1) Observasi
(1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
Rasional: nyeri dapat menyebabkan gangguan dalam mobilisasi
(2) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Rasional: mengidentifikasi kemungknan kerusakan secara
fungsional dan mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan
(3) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum melakukan
mobilisasi
Rasional: memantau agar tidak terjadi kelelahan yang berlebihan
pada klien
(4) Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Rasional: dapat menilai perkembangan dalam mobilisasi sehari-
hari
2) Terapeutik
(1) Fasilitasi aktiviras mobilisasi dengan alat bantu (mis. Pagar tempat
tidur)
Rasional: memudahkan klien dalam melakukan pergerakan atau
mobilisasi miring kiri dan miring kanan
(2) Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu

31
Rasional: membantu klien mobilisasi mandiri
(3) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
Rasional: selain klien sediri peran dari keluarga pun dangat di
butuhkan oleh klien untuk memotivasi, membantu dan
meningkatkan mobilisasi dengan cepat
3) Edukasi
(1) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
Rasional: perubahan posisi yang teratur dapat meningkatkan
sirkulasi pada seluruh tubuh
(2) Anjurkan untuk melakukan mobilisasi dini
Rasional: proses penyembuhan yang lambat sering kali menyertai
trauma kepala, keterlibatan klien dalam perencanaan dan
keberhasilan dalam intervensi
(3) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. duduk di
tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, dan pindah dari tempat
tidur ke kursi)
Rasional: melakukan perpindahan posisi dengan perlahan dapat
membantu melatih otot dengan perlahan untuk kuat dalam
melakukan aktivitas
2.2.3.6 Risiko infeksi dibuktikan dengan (penyakit kronis misalnya diabetes
melitus; efek prosedur invasif; malnutrisi; peningkatan paparan organisme
patogen lingkungan; ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer seperti
gangguan peristaltik, gangguan integritas kulit, perubahan sekresi pH,
penurunan kerja siliaris, ketuban pecah lama, ketuban pecah sebelum
waktunya, merokok, dan statis cairan tubuh; ketidakadekuatan pertahanan
tubuh sekunder seperti penurunan hemoglobin, imununosupresi,
leukopenia, supresi respon inflamasi, dan vaksinasi tidak adekuat).
Setelah dilakukan intervesi keperawatan maka tingkat infeksi menurun
dengan kriteria hasil:

32
1) Kebersihan tangan meningkat
2) Kebersihan badan meningkat
3) Demam menurun
4) Kemerahan menurun
5) Nyeri berkurang
6) Bengkak menurun
7) Vesikel menurun
8) Cairan berbau busuk menurun
9) Sputum berwarna hijau menurun
10) Drainase purulen menurun
11) Pyuria menurun
12) Periode malaise menurun
13) Periode menggigil menurun
14) Letargi menurun
15) Gangguan kognitif menurun
16) Kadar sel darah putih menurun
17) Kultur darah membaik
18) Kultur urin membaik
19) Kultur sputum membaik
20) Kultur area luka membaik
21) Kultur feses membaik
22) Nafsu makan membaik
Intervensi keperawatan yang dilakukan:
1) Observasi
(1) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Rasional: mencegah terjadinya infeksi
2) Terapeutik
(1) Batasi jumlah pengunjung
Rasional: bila banyak pengunjung yang datang dapat membuat
udara pengap dan bakteri senang dengan daerah yang lembab
(2) Berikan perawatan kulit pada area edema

33
Rasional: edema merupakan salah satu tanda-tanda infeksi
(3) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan kontak dengan
pasien atau lingkungan pasien
Rasional: dengan mencuci tangan maka kita dapat menjaga
kebersihan luka
(4) Pertahankan tiknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
Rasional: aseptik dapat membunuh bakteri
3) Edukasi
(1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Rasional: mampu mencegah terjadinya infeksi
(2) Ajarkan etika batuk
Rasional: bila percikan dahak terkena ke luka maka akan
menyebabkan penambahan bakteri baru pada luka dapat
menyebabkann infeksi
(3) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
Rasional: dapat mengidentifikasi bila terjadi infeksi
(4) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Rasional: orang yang mengalami malnutrisi sangat rentan terjadi
infeksi karena sistem imun yang menurun
(5) Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Rasional: tidak terjadi dehidrasi
4) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
Rasional: imunisasi dapat meningkatkan sistem imun, dimana
imun yang lemah dapat berisiko terjadi infeksi
2.2.3.7 Risiko defisit nutrisi dibuktikan dengan (ketidakmampuan menelan
makanan; ketidakmampuan mencerna makanan; ketidakmampuan
mengabsorbsi nutrien; peningkatan kebutuhan metabolisme; faktor
ekonomis misalnya, finansial tidak mencukupi; dan faktor psikologis
seperti, stres, keengganan untuk makan).

34
Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka status nutrisi
membaik dengan kriteria hasi:
1) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat
2) Kekuatan otot mengunyah meningkat
3) Kekuatan otot menelan
4) Serum albumin meningkat
5) Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi
6) Pengetahuan tentang pilihan makanan yang sehat meningkat
7) Pengetahuan tentang pilihan minuman yang sehat meningkat
8) Pengetahuan tentang stansar asupan nurisi yang tepat meningkat
9) Penyiapann dan penyimpanan makanan yang aman
10) Penyiapan dan penyimpanan minuman yang maan
11) Sikap terhadap makanan/minuman sesuai dengan tujuan kesehatan
12) Perasaan cepat kenyang menurun
13) Nyeri abdomen menurun
14) Sariawan menurun
15) Rambut rontok menurun
16) Diare menurun
17) Berat badan membaik
18) Indeks masa tubuh (IMT) membaik
19) Frekuensi makan membaik
20) Nafsu makan mambaik
21) Bising usus membaik
22) Tebal lipatan kulit meningkat
Intervensi keperawatan yang dilakukan:
1) Observasi
(1) Monitor asupan dan keluarnya makanan dan cairan serta
kebutuhan kalori
Rasional: memantau asupan kebutuhan kalori tubuh
2) Terapeutik
(1) Timbang berat badan secara rutin

35
Rasional: bila berat badan berlebihan ataupun kurang dari IMT
tidak baik
(2) Diskusi prilaku makan dan jumlah aktivitas fisik (termasuk
olahraga) yang sesuai
Rasional: ketika kita seuka dengan sesuatu pasti kta akan
melakukannya dengan rutinn dan benar
(3) Lakukan kontrak prilaku (mis. target berat badan dan tanggung
jawab perilaku)
Rasional: adanya capaian yang akan di tuju selama melakukan diet
(4) Dampingi ke kamar mandi untuk pengamatan prilaku
memuntahkan kembali makanan
Rasional: memantau prilaku yang tidak benar dalam
meningkatkan nutrisi
(5) Berikan penguatan positif terhadap keberhasilan target dan
perubahan perilaku
Rasioanl: klien akan merasa senag dan ingin mencapai target
tersebut
(6) Berikan konsekuensi jika tidak mencapai target sesuai kontrak
Rasional: jika sesuatu diberikan konsekuensi maka otomatis tidak
akan melakukan hal tersebut dan berusaha mencapai target
(7) Rencanakan program pengobatan untuk perawatan di rumah (mis.
medis atau konseling)
Rasional: mungkin dengan hal ini klien lebih nyaman dan lebih
bisa terbuka dalam melakukan konseling mengenai hal yg tidak
disukai dan yang disukai
3) Edukasi
(1) Anjurkan membuat catatan harian tentang dan situasi pemicu
pengeluaran makanan (mis. pengeluaran yang disengajakan,
muntah, aktivitas berlebihan)

36
Rasional: supaya klien mudah mengingat yang membuat dirinya
tidak nafsu makan dan memudahkan klien untuk menghindari hal
tersebut
(2) Ajarkan pengaturan diet yang tepat
Rasional: pengaturan diet yang tepat dapat bila dilakukan dengan
rutin datau disiplin maka akan mencapai target yang sudah
ditetapkan dari awal
(3) Ajarkan keterampilan koping untuk penyelesaian masalah perilaku
makan
Rasional: koping yang buruk mempengaruhi pola makan
seseorang
4) Kolaborasi
(1) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat badan, kebutuhan
kalori dan pilihan makanan
Rasional: ahli gizi lebih memahami mengenai seberapa kalori,
protein dan sebagainya yang dibutuhkan oleh tubuh
2.2.3.8 Kesiapan peningkatan koping keluarga dibuktikan dengan tanda gejala
mayor dan minor (mayor: anggota keluarga menetapkan tujuan untuk
meningkatkan gaya hidup sehat dan anggota keluarga menetapkan
sasaran untuk meningkatkan kesehatan; minor: anggota keluarga
mengidentifikasikan pengalaman yang mengoptimalkan kesejahteraa,
anggota keluarga berupaya menjelaskan dampak krisis terhadap
perkembangan dan anggota keluarga mengungkapkan minat dalam
membuat kontak dengan orang lain yang engalami sitiasi yang sama).
Setelah dilakukan tindakan keperawatan maka status koping keluarga
membaik dengan kriteria hasil:
1) Keputusan terhadap prilaku bantuan anggota keluarga lain meningkat
2) Keterpaparan informasi meningkat
3) Perasaan diabaikan menurun
4) Kekhawatiran tentang anggota keluarga menurun
5) Perilaku mengapaikan anggota keluarga menurun

37
6) Komitmen pada perawatan/pengobatan meningkat
7) Komunikasi antara anggota keluarga meningkat
8) Perasaan tertekan (depresi) menurun
9) Perilaku menyerang (agresi) menurun
10) Perilaku penghasutan menurun
11) Gejala psikosomatis menurun
12) Perilaku menolak perawatan menurun
13) Perilaku bermusuhan menurun
14) Perilaku individualistik menurun
15) Ketergantungan pada anggota keluarga lein menurun
16) Perilaku overprotektif menurun
17) Toleransi membaik
18) Perilaku bertujuan membaik
19) Perilaku sehat membaik
Intevensi keperawtaan yang dilakukan:
1) Observasi
(1) Identifikasi respons emosional terhadap kondisi saat ini
Rasional: emosi yang berlebihan merupakan tanda seseorang tidak
siap untuk menerima hal yang terjadi pada diri atau pada situasi
yang dihadapi
(2) Identifikasi beban prognosis secara psikologis
Rasional: mencari atau mencatat beberapa beban yang mungkin
dapat membuat keluarga klien merasa sangat tertekan
(3) Identifikasi pemahaman tentang keputusan perawatan setelah
pulang
Rasional: memastikan bahwa keluarga mampu atau tidak dalam
menerima keadaan yang dialami saat ini
(4) Identifikasi kesesuaian antara harapan pasien, keluarga, dan
tenaga kesehatan
Rasional: ketidaksesuaian harapan yang tidak sesuai akan
menyebabkan ketidaksiapan dalam menghadapi permasalahan

38
2) Terapeutik
(1) Dengarkan masalah, perasaan dan pertanyaan keluarga
Rasional: memahami bagaimana perasaan yang dialami keluarga
klien saat ini
(2) Terima nila-nilai keluarga dengan cara yang tidak menghakimi
Rasional: percaya dan dan lapang dada melakukan yang benar
dalam aturan keluarga
(3) Diskusikan rencana medis dan perawatan
Rasional: menemukan titik tengah bila ada permasalah atau hal
yang tidak dipahami sehingga tidak perprasangka buruk tanpa
mengetahui keaadan yang sebenarnya
(4) Fasilitasi pengungkapan perasaan antara pasien dan keluarga
pasien atau anggota keluarga lainnya
Rasional: bantu klien dalam mengungkapkan perasaan tanpa
menyinggung perasaan keluarga untuk memudahkan komunikasi
(5) Fasilitasi pengambilan keputusan dalam merencanakan perawatan
jangka pajang, jika perlu
Rasional: memberikan pilihan dan penjelasan bila klien dan
keluarga bingung dalam menentukan masa perawatan yang akan
dijalankan
(6) Fasilitasi anggota keluarga dalam mengidentifikasi dan
menyelesaikan konflik nilai
Rasional: membantu menemukan titik tengah dari permasalahan
(7) Fasilitasi pemenuhan kebutuhan dasar keluarga (mis. tempat
tinggal, makanan, pakaian)
Rasional: memberikan rasa nyaman pada keluarga klien
(8) Fasilitasi anggota keluarga melalui proses kematian dan berduka,
jika perlu
Rasional: memberikan dukungan daan motivasi serta membantu
dalam proses pemakaman

39
(9) Fasilitasi memperoleh pengetahuan, keterampilan dan peralatan
yang diperlukan untuk mempertahankan keputusan perawatan
pasien
Rasional: agar keluarga mengetahui apa saja perkembangan yang
terjadi selama masa perawatan
(10) Bersikap sebagai pengganti keluarga untuk meningkatkan pasien
dan/atau jika keluarga tidak dapat memberikan pengawasan
Rasional: memberikan situasi yang nyaman
(11) Hargai dan dukung mekanisme koping adaptif yang digunakan
Rasional: menerima, menghargai dan memberikan motivasi
pendapat yang diutarakan
(12) Berikan kesempatan berkunjung bagi anggota keluarga
Rasional: dimana bila rasa yang sangat berat dirasakan maka
pertemuanlah yang diharapkan dapat mencairkan suasana hati
3) Edukasi
(1) Informasikan kemajuan pasien secara berkala
Rasional: berusaha meyakinkan keluarga pasien tentang keadaan
selama masa perawatan
(2) Informasikan fasilitas perawatan kesehatan anggota keluarga
Rasional: untuk memberikan perasaan yang tenang kepada
keluarga
4) Kolaborasi
(1) Rujuk untuk terapi keluarga, jika perlu
Rasional: terapi keluarga merupan konseling atau binaan yang
diberikan oleh ahli psikologi untuk memberikan masukan dan
keluarga akan percaya dan memahami serta menerima hal tersebut
dengan perlahan
2.2.3.9 Defisit pengetahuan berhubungan dengan (keterbatasan kognitif; ganguan
fungsi kognitif; kekeliruan mengikuti anjuran; kurang terpapar informasi;
kurang minat dalam belajar; kurang mampu mengingat dan
ketidakmampuan menemukan sumber informasi).

40
Setelah dilakukan tindakan keperawatan maka tingkat pengetahuan
meningkat dengan kriteria hasil:
1) Perilaku sesuai anjuran meningkat
2) Verbalisasi minat dalam belajar meningkat
3) Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topik meningkat
4) Kemampuan menggambarkan pengalaman sebelumnya yang sesuai
dengan topik
5) Perilaku sesuai dengan pengetahuan
6) Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi menurun
7) Persepsi yang keliru terhadap masalah menurun
8) Menjalankanpemeriksaan yang tidak tepat menurun
9) Perilaku membaik
Intervensi yang dilakukan:
1) Observasi
(1) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
Rasional: untuk mengetahui apakah klien dan keluarga mau
menerima dan siap untuk menerima informasi yang akan
disampaikan
(2) Identifikasi faktor-faktor yang maningkatkan dan menurunkan
motivasi perilaku hidup bersih dan sehat
Rasional: mencatat hal-hal memicu meningkatkan pola hidup
sehat
2) Terapeutik
(1) Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
Rasional: memudahkan dalammendapatkan informasi mengenai
kesehatan
(2) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
Rasional: mendisiplinkan dalam hidup sehat
(3) Berikan kesempatan untuk bertanya

41
Rasional: memberikan kesempatan bila ada yang tidak dimengerti
dapat ditanyakan dalam artian memberikan waktu untuk
berdiskusi
3) Edukasi
(1) Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan
Rasional: menjelaskan masalah kesehatan yang terjadi
menggunakan bahasa yang sederhana
(2) Jelaskan perilaku hidup besih dan sehat
Rasional: perilaku hidup bersih dan sehat adalah dimana
keterkaitan dari pengetahuan, sikap, kebiasaan berpikir secara
rasional mengenai kesehatan
(3) Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat
Rasional: berpikir kritis dalam menanggapi pola hidup bersih
sehat yang benar dan menarapkan pola hidup sehat
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan dari intervensi untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tahap implemenstasi dimulai setelah rencana intervensi disusun
dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu, rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor untuk mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan yang mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan
memfasilitasi koping (Nursalam, 2011).
Kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai dengan
rencana keperawatan, maka perawat harus mempunyai kemampuan kognitif
(intelektual), kemampuan dalam hubungan interpersonal, dan keterampilan dalam
melakukan tindakan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada
kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan
(Supratti, 2016).

42
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau
perilaku yang dapat diamati dan dipantau untuk menentukan apakah hasil sudah
tercapai atau belum dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Doenges,
2014). Evaluasi dibagi menjadi dua yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan
setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif dilakukan
dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan tujuan umum yang
telah ditentukan (Nurjanah, 2013).

43
BAB 3
LAPORAN KASUS

Penulis menguraikan laporan pada bab ini mengenai pelaksanaan Asuhan


Keperawatan pada Tn. A dengan diagnosa medis Post Craniatomy ec
Fraktur Parietal yang dirawat di Ruang Dahlia A Rumah Sakit Umum Daerah
Tarakan dari tanggal 17 Juli 2020 sampai 19 Juli 2020. Pada pelaksanaan asuhan
keperawatan dimulai dari pengkajian, rumusan diagnosis, perencanaan tindakan,
pelaksanaan dan evaluasi.
3.1 Pengkajian
Tahap pengkajian ini penulis mengumpulkan data dari klien, keluarga
klien, perawat ruangan, dokter dan catatan medik Tn. A dengan Post Craniatomy
ec Fraktur Parietal yang dirawat di ruang Dahlia A Rumah Sakit Umum Daerah
Tarakan serta dengan melakukan pemriksaan fisik langsung pada Tn. A maupun
observasi langsung pada tanggal 17 Juli 2020 pukul 09.30 WITA.
3.1.1 Identitas Klien
Klien bernama Tn. A di rawat di ruang Perawatan Dahlia A pada tanggal
16 Juli 2020 pada pukul 13.05 WITA, klien lahir di Long Peso pada tanggal
18 Maret 1955. Klien berumur 65 tahun. Jenis kelamin Laki-laki. Alamat rumah
klien di Long Peso. Status perkawinan sudah menikah, agama kristen protestan,
klien berasal dari suku Dayak Kenyah/Indonesia. Pendidikan klien SD. Klien
bekerja sebagai petani. Klien dirawat dengan diagnosa medis Post Craniatomy
ec Fraktur Parietal, dengan Nomor Rekam Medis 889xxx.
3.1.2 Riwayat Keperawatan
3.1.2.1 Keluhan Utama
Nyeri pada kepala area post craniatomy
3.1.2.2 Riwayat Keluhan Utama
Saat dilakukan pengkajian terdapat nyeri kepala pada area post craniatomy,
nyeri dapat berkurang bila posisi baring setengah duduk dan tidak melakukan

44
aktivitas yang berat, nyeri dapat bertambah bila klien melakukan aktivitas yang
berat, kemudian nyeri yang dirasakan klien seperti ditusuk-tusuk dengan skala
nyeri 4 (sedang), nyeri yang dirasakan klien hilang timbul, lama nyeri ± 10 menit.
3.1.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengatakan jatuh dari atap rumah karena sedang memperbaiki atap
rumah yang bocor, lalu dibawa ke Rumah Sakit Daerah Tanjung Selor karena
mengeluh sakit perut dan sakit dada, namun tidak ada perubahan, setelah itu klien
dirujuk dan dibawa ke RSUD Kota Tarakan karena fasilas kesehatan yang ada di
rumah sakit sebelumnya kurang memadahi. Dilakukan pemeriksaan lanjutan oleh
dokter, klien di diagnosa fraktur parietal dan dirawat di ruang Dahlia A pada
tanggal 16 Juli 2020 pada puku 13.05 WITA. Klien mengatakan sulit dalam
berjalan karena klien merasa lemas, dengan terlihatnya dibantu oleh istrinya untuk
bergerak, klien hanya bisa berbaring saja, klien mengalami kesulitan dalam
istirahat-tidur karena lingkungan di tempat rawat inap bising, terlihat mengantuk
dan sering menguap. Klien juga mengatakan nyeri setelah operasi post
craniatomy pada tanggal 16 Juli 2020, dan terlihat terpasang perban di daerah
parietal dan terlihat terpasang drain, klien terlihat meringis menahan rasa
nyerinya. Pada saat pengkajian 17 Juli 2020 jumlah drain 300 cc.
3.1.2.4 Riwayat Penyakit Masa Lalu
Klien mengatakan sering sakit gigi dan sakit kepala waktu muda, dan juga
mengatakan sering batuk saat masih muda dikarenakan sering merokok namun
sekarang sudah tidak merokok lagi, juga mengatakan tidak pernah diimunisasi,
klien juga mengatakan mempunyai alergi makanan yaitu udang, klien sering
terjatuh bahkan kaki klien pernah terkena parang waktu bekerja di ladang dan
berburu, klien mengatakan belum pernah di operasi sebelumnya. Klien pernah
dirawat di Rumah Sakit Tanjung Selor pada tanggal 5 Juli 2020 akibat jatuh
dari atap dan mengeluh sakit dada dan sakit pada bagian perut. Klien mengatakan
mengkonsumsi obat sakit kepala apabila sakit kepalanya timbul.

45
3.1.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan tidak memiliki penyakit faktor turunan seperti diabetes melitus, maupun hipertensi. Orang tua klien
meninggal dikarenakan faktor usia. Keluarga klien juga tidak memiliki riwayat penyakit menular dan penyakit tidak menular lainnya.

Genogram Keluarga

x X x X x X x X

x X x x x X X X ? x ? ? x X x

65 63 61 59 56 61 69 57 55

X X X X X

KETERANGAN:
Laki-laki = Perempuan = Sudah meniinggal = X Tidak diketahui = ? Pasien = Garis keturunan = Tinggal
serumah =
Bagan 3.1 Genogram Pasien pada Tiga Generasi

46
3.1.3 Data Psiko-Sosial Ekonomi
Klien mengatakan peran klien dalam keluarga ialah sebagai suami, ayah,
dan kakek, dalam masyarakat klien memiliki peran sebagai ketua BPD (Badan
Pengurus Daerah) di Long Peso. Pada saat sebelum sakit klien memiliki teman
dekat, klien juga mengatakan sebelum sakit klien tetap meminta bantuan pada
keluarga namun mengutamakan Tuhan Yesus Kristus sebagai penolong dalam
setiap kesulitan, klien juga mengatakan ikut dalam kegiatan kerja bakti ataupun
yang lainnya, klien mengatakan menggunakann BPJS. Pada saat sakit klien
mengatakan tidak bisa melakukan kegiatan apapun, klien mengatakan hanya
meminta bantuan kepada Tuhan setelah itu kepada sanak saudara, klien
mengatakan tidak memilki masalah keuangan, selama masuk RS klien
menggunakan BPJS.
3.1.4 Data Spiritual
Klien mengatakan beragama kristen protestan, klien mengatakan hubungan
klien dengan penciptanya itu baik, karena tanpa Tuhan kita tidak seperti ini, sakit
ataupun sehat harus disyukuri, sebelum sakit klien mengatakan sering mengikuti
ibadah, klien juga memiliki peran digereja sebagai Badan Pengurus Jemaat,
namun saat sakit klien hanya bisa berbaring tapi tidak pernah lupa untuk
berdoa dan setiap sebelum tidur dan bangun tidur di pagi hari klien dan istri
sering kali melakukan doa atau renungan pagi.
3.1.5 Pola Kebiasaan Sehari-Hari
3.1.5.1 Nutrisi (Makan-minum)
1) Sebelum Sakit
Klien mengatakan makan 3x sehari, klien mengatakan tidak ada program
diet dan tidak kesulitan dalam makan, klien mengatakan selera makan meningkat,
jenis makanan klien yaitu sayur dan terkadang dengan ayam/ikan/daging, klien
mengatakan porsi makannya 1 piring penuh, klien mengatakan suka dengan
semua makanan kecuali udang karena alergi dengan makanan tersebut. Klien
mengatakan minum sebanyak 1,5 liter karena klien bekerja di ladang dengan
porsi minum 1 gelas sedang dan terkadang diselingi minum teh dan kopi, klien
juga mengatakan tidak ada kesulitan minum.

47
2) Saat Sakit
Klien mengatakan makan bubur putih dengan sedikit sayuran dalam 3x
sehari, klien mengatakan tidak ada kesulitan menelan, selera makan baik, klien
mengatakan memiliki makanan pantangan yaitu udang. Klien mengatakan
minum 4x sehari dengan aqua gelas dengan takaran 240 ml dan klien juga
diberikan susu entramix 200 ml dalam sehari, klien juga mengatakan tidak ada
kesulitan menelan.
3.1.5.2 Cairan
1) Sebelum Sakit
Klien mengatakan sering minum air mineral sebanyak 1.5 liter dalam 1
hari.
2) Saat Sakit
Klien terlihat terpasang cairan NaCL 0,9% dengan jumlah cairan
melalui intravena 20 tetes x 60 x 24 : 20 = 1.440 cc. Terdapat drain dikepala yang
keluar saat dilakukan pengkajian sebanyak 300 cc. Klien mengatakan minum
secukupnya saat haus saja ± 240 cc setiap sekali minum, klien makan 2 dalam
sehari.
Balance Cairan: intake - output
Intake = air (Minum & makan) + air metabolisme + IV
= 240 + (5 x 60/24) + 1.440
= 240 + 12,5 + 1.440
= 1.692,5
Output = IWL + SWL (urine + BAB + drain)
= (60/15) + (1.200 + 300)
= 4 + 1.500
= 1.504
Balance Cairan= Intake – Output
= 1.692,5 – 1.504
= 188,5

48
Jadi, kesimpulan yang didapatkan pada kasus Tn. A tidak mengalami kekurangan
volume cairan ataupun kelebihan volume cairan dimana rentang normal Balance
Cairan 0-500 cc/hari.
3.1.5.3 Eliminasi Urine dan Eliminasi Alvi
1) Eliminasi Urine
(1) Sebelum Sakit
Klien mengatakan BAK 5x sehari, tidak ada kesulitan dalam BAK dan klien
mengatakan urine berwarna kuning jernih, klien mengatakan setelah BAK klien
merasa nyaman, klien mengatakan tidak ada kesulitan untuk BAK, klien
mengatakan mencium bau dari urinenya.
(2) Saat Sakit
Klien terlihat terpasang kateter dengan urine ditampung di urine bag
dengan jumlah urine 500 cc/5 jam, urine klien berwarna kuning, urine klien
berbau pesing.
2) Eliminasi Alvi
(1) Sebelum Sakit
Klien mengatakan BAB 2x sehari dan klien mengatakan terkadang feses
yang dikeluarkan keras, klien mengatakan konsistensi feses klien padat, klien
mengatakan warna feses cokelat, klien juga mengatakan tidak menggunkan obat
pencahar.
(2) Saat Sakit
Klien mengatakan belum ada BAB selama dirawat diruangan pada tanggal
16 Juli 2020 sampai dengan tanggal 17 Juli 2020 saat dilakukan pengkajian.
3.1.5.4 Istirahat dan Tidur
1) Sebelum Sakit
Klien mengatakan tidur malam pada jam 20.00 sampai dengan 05.00 karena
akan pergi berladang dan terkadang bangun dimalam hari untuk BAK,
klien mengatakan tidak mengalami insomnia, utuk tidur siang klien mengatakan
tidur pada jam 12.00 sampai dengan 01.00 dan juga terbagun terkadang karena
panas, klien mengatakan tidak ada kesulitan tidur.

49
2) Saat sakit
Klien mengatakan tidur malam tidak menentu, terkadang pukul 22.00
sampai dengan 00.00 dan klien selalu terbangun pada saat pemberian obat,
setelah itu klien tidur kembali pada pukul 02.00 sampai dengan 03.30 klien
mrngatakan kembali terbangun karena mendengar suara-suara, kualitas tidur klien
terganggu. Pada siang hari klien mengatakan tidur siang pada pukul 12.00
sampai dengan 13.30 dan terbangun karena bising, klien terlihat mengantuk dan
menguap.
3.1.5.5 Aktivitas dan Gerak
Tabel 3.1 Aktivitas dan Gerak
Kemampuan Perawatan Diri Sebelum Sakit Saat Sakit
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
Makan/minum
Berpakaian

Mandi

Mobilisasi di tempat tidur

Berpindah

Ambulansi/ROM
Keterangan = 0 : Mandiri, 1 : alat bantu, 2 : dibantu orang lain, 3 : dibantu orang
lain dan alat bantu, 4 : ketergantungan total
Kesimpulan: Sebelum sakit klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri dengan
mandiri, sedangkan saat sakit dan dirawat di ruang Dahlia A klien melakukan
perawatan diri dengan cara dibantu istri klien, disebabkan klien terpasang drain.
3.1.5.6 Personal Hygiene
1) Mandi
(1) Sebelum Sakit
Klien mengatakan mandi 3x sehari karena berladang, klien mengatakan
mandi dengan menggunakan sabun, dan klien mengatakan bersih saat setelah
mandi.

50
(2) Saat Sakit
Klien mengatakan tidak bisa mandi, karena klien tidak bisa kekamar
mandi klien hanya diseka saja setiap pagi dan sore.
2) Cuci Rambut
(1) Sebelum Sakit
Klien mengatakan cuci rambut 2x dalam seminggu, klien mengatakan cuci
rambut dengan menggunakan shampoo, klien mengatakan rambutnya bersih.
(2) Saat Sakit
Klien mengatakan belum bisa cuci rambut disebabkan klien terpasang
drain di kepala klien.
3) Gunting Kuku
(1) Sebelum Sakit
Klien mengatakan gunting kuku pada saat kuku klien terlihat panjang.
(2) Saat Sakit
Klien mengatakan kukunya tidak panjang, karena sebelum di operasi
sudah di gunting.
4) Gosok Gigi
(1) Sebelum Sakit
Klien mengatakan sikat gigi setiap mandi, klien mengatakan gosok gigi
dengan menggunakan pasta gigi dan sikat gigi.
(2) Saat Sakit
Selama sakit klien hanya gosok gigi 1x sehari saat bangun tidur.
3.1.6 Pemeriksaan Fisik
3.1.6.1 Keadaan umum klien: Klien tampak sakit sedang
3.1.7.2 Tanda-tanda Vital
1) Kesadaran: Composmentis
Glasgow Coma Scale (GCS): Motorik: 6, bicara (verbal): 5, pembukaan
mata: 4. Total GCS = 15.
2) Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Sistol +2× Diastol 130 + (2× 70 ) 130 + 140
MAP = = = = 90 mmHg
3 3 3

51
Dengan kesimpulan MAP dalam rentang normal 90 mmHg dimana MAP
normal untuk dewasa adalah 70 mmHg sampai dengan 90 mmHg
3) Nadi : 83 x/menit
4) Suhu : 35,9 °C
5) Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit
6) Antropometri :
(1) Tinggi Badan: 160 cm
(2) Berat Badan: 60 kg
IMT = Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)
60 kg
1,6 m x 1,6 m
60 kg
2,56 cm
23,43
Dengan kesimpulan klien memiliki berat badan ideal 23,43 dimana rentang IMT
ideal 18.5-24.9 untuk dewasa.
3.1.7 Pemeriksaan Sistemik
3.1.7.1 Kepala
Bentuk kepala klien normochepal, terlihat simetris kiri dan kanan, klien
terlihat terpasang drain, terlihat 9 jahitan didaerah operasi dan perban dikepala
klien, jumlah cairan pada saat pengkajian tanggal 17 Juli 2020 yaitu 300 cc
cairan yang keluar berwarna merah pekat bercampur warna kuning dan kental,
penyebaran rambut klien tidak merata, klien juga mengatakan sakit kepala setelah
pasca operasi dan klien terlihat menggunakan bantal dengan posisi 30°.
3.1.7.2 Mata
Ukuran pupil klien 2 mm, isokor. Tidak terdapat nyeri tekan pada saat
palpasi, penyebaran bulu mata dan alis merata kiri dan kanan, fungsi penglihatan
klien hanya mampu membaca buku <30 cm, hasil pemeriksaan visus mata
menggunakan snellen chart yaitu klien mampu melihat dengan 2/6, konjungtiva
tidak pucat, tidak terdapat tanda-tanda radang, klien juga mengatakan tidak
menggunakan kacamata ataupun lensa kontak. Jadi kondisi klien saat ini yaitu

52
mata klien mengalami masalah rabun jauh namun klien tidak mau menggunkan
kacamata karena biaya pembuatan kacamata dan klien mengganggap bahwa
dirinya masih mampu berjalan tanpa menggunakan kacamata atau lensa kontak
lainnya.
3.1.7.3 Hidung
Klien mengatakan tidak ada alergi debu, membrane mukosa berwarna
merah muda, tidak terdapat secret maupun silia dan polip. Fungsi penciuman klien
baik, tidak terdapat trauma ataupun epitaksis.
3.1.7.4 Mulut dan Tenggorokan
Bibir klien terlihat lembab dan tidak terdapat labioskizis, klien terilihat
memiliki karang gigi, tidak ada stomatitis dan tidak terdapat palatoschizis ataupun
sariawan, terlihat tonsil klien berukuran T1. Klien terlihat tidak ada gangguan
bicara, klien juga tidak mengalami kesulitan menelan, klien mengatakan tidak
pernah melakukan pemeriksaan gigi sebelumnya
3.1.7.5 Telinga
Bentuk daun telinga klien terlihat simetris kiri dan kanan, dan berwarna
putih. Saat dilakukan pengkajian terdapat sedikit seruman pada telinga klien, tidak
terdapat nyeri tekan. Klien tidak dapat mendengarkan suara detik jam arloji atau
jam tangan.
3.1.7.6 Leher
Tidak ada pembengkakan pada kelenjar tiroid, hasil pengukuran tekanan
vena jugularis 5+1 cmH2O sehingga tidak terdapat peninggian vena jugularis,
dan tidak ada lesi. Posisi trakea tepat ditengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar
getah bening, dan tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
3.1.7.7 Payudara
Pada payudara klien terlihat simetris kiri dan kanan, tidak terdapat lesi
ataupun sekret. Tidak adanya massa dan pembesaran kelenjar getah bening.
3.1.7.8 Thorax
Bentuk dada normochest, pengembangan dada simetris kanan dan kiri,
pernapasan 20 x/menit. Saat dilakukan vocal premitus terasa getaran yang kuat
pada saat klien menyebutkan tujuh puluh tujuh pada lapang paru kanan dan kiri.

53
Terdengar bunyi sonor pada seluruh lapang paru.Terdengar suara vesikuler, tidak
ada suara napas tambahan seperti ronchi dan wheezing
3.1.7.9 Jantung
Terdapat ictus cordis, nadi = 80 x/menit, ictus cordis teraba 3 cm dibawa
areola mammae. Terdengar suara pekak, batas jantung dari ICS 2 sampai dengan
ICS 5. Suara jantung S1 terdengar lup pada ICS 5 dan suara jantung S2 terdengar
dup pada ICS 2 dengan bunyi yang teratur, tidak terdengar bunyi jantung
tambahan seperti murmur dan gallop.
3.1.7.10 Abdomen
Pengembangan abdomen simetris kanan dan kiri, tidak ada pembesaran,
bentuk umbilicus tidak menonjol/masuk kedalam. Bising usus 21 x/menit,
terdapat nyeri tekan pada kuadran kiri bawah, tidak terdapat adanya massa,
terdapat nyeri tekan, terdengar bunyi timpani, tidak ada bunyi tambahan.
3.1.7.11 Genetalia
Testis terlihat bersih, tidak terdapat nodul, lesi ataupun cairan yang keluar
dari testis, tidak ada tanda peradangan, pada saat pengkajian klien terlihat
terpasang kateter.
3.1.7.12 Anus
Tidak ada pembesaran pembuluh darah, area anus berwarna kecokelatan,
tidak terdapat massa.
3.1.7.13 Lengan dan Tungkai
Terlihat lengan dan tungkai bagian kiri klien memiliki kesulitan bergerak,
warna kulit kuning langsat, tidak terdapat massa, terlihat bekas luka di betis kiri
klien diakibatkan jatuh dan terkena kayu, tidak terdapat edema.
Kekuatan otot:

3 2
4 2

Kesimpulan yang didapatlan dalam kekuatan otot tersebut yaitu, klien mengalami
kelemahan otot pada ekstremitas bagian kanan karena jatuh dari atap.

54
Refleks fisiologis:
1) Reflek biceps: Posisikan lengan pasien pada posisi semi fleksi sambil
menempatkan ibu jari pemeriksa di atas tendon otot biseps lalu ketukkan palu
refleks pada ibu jari pemeriksa, yang akan memberikan respon berupa fleksi
lengan siku. Pusat refleks ini terletak pada C5-C6, yang dipersarafi
oleh n.musculocutaneus.
Ditemukan hasil pada ekstremitas kanan atas hasilnya (++) dengan
ditemuka hasil fleksi dilengan bawah, dan pada ekstremitas kiri atas hasilnya
(0) dengan tidak ditemukannya reflek fleksi.
2) Reflek tendon achiles: Dalam bahasa Belanda pemeriksaan ini disebut
sebagai achillespees reflex (APR). Pada pemeriksaan ini pasien dapat
diposisikan dengan tiga cara, yaitu pasien berbaring dengan tungkai ditekuk
pada sendi lutut dan kaki di dorsofleksikan, posisi pasien berlutut diatas
tempat periksa dengan ujung pergelangan kaki bebas di tepi tempat
pemeriksaan, dan posisi terakhir yaitu pasien duduk. Pemeriksa dapat
memberikan stimulus dengan mengetuk pada tendon achilles, yang akan
mengakibatkan berkontraksinya m. triceps surae dan memberikan gerak
plantar fleksi pada kaki. Pusat refleks ini terletak pada S1-2, dengan lengkung
refleks ini melalui n.tibialis.
Pemeriksaan tendon achiles ditemukan hasil pada ektremitas bawah kanan
hasilnya (++) dengan ditemukan hasil plantar fleksi pada kaki dan pada
ekstremitas bawah kiri ditemukan hasil (+) dengan ditemukannya plantar
fleksi yang pelan.
Refleks Patologis:
1) Reflek babinski: Tes ini dilakukan dengan menggoreskan ujung palu refleks
(hummer reflex) pada telapak kaki pasien mulai dari tumit menuju ke atas
bagian lateral telapak kaki setelah sampai di kelingking goresan dibelokkan ke
medial dan berakhir dipangkal jempol kaki. Tanda positif responnya berupa
dorso fleksi ibu jari kaki disertai pemekaran atau abduksi jari-jari lain. Tanda
ini spesifik untuk cedera traktus piramidalis atau upper motor neuron lesi.
Tanda ini tidak bias ditimbulkan pada orang sehat kecuali pada bayi yang
berusia di bawah satu tahun. Tanda ini merupakan reflex patologis.

55
Pemeriksaan reflek babinski ditemukan hasil pada ekstremitas kanan bawah
dengan hasil positif dengan ditemukan gerakan dorsofleksi ibu jari kaki dan
pengembangan jari kaki lainnya dan pada ekstremitas kiri bawah juga
ditemukan hasil yang sama.
2) Reflek oppenheim: Tanda atau refleks patologis ini dapat dibangkitkan dengan
mengurut tulang tibia dari atas ke bawah menggunakan ibu jari dan jari
telunjuk. Tanda ini positif responnya sama babinski tes yang mengindikasikan
upper motor neuron lesi.
Pemeriksaan oppenheim pada ekstremitas kanan bawah ditemukannya hasil
respon negatif dengan adanya gerakan dorsofleksi, dan pada pemeriksaan
ekstremitas kiri bawah ditemukan hasil negatif dikarenakan tidak adanya
gerakan dorsofleksi.
3.1.7.14 Collumna Vertebralis
Tidak terdapat kelainan pada tulang belakang. Tidak ada nyeri tekan,
tidak terdapat massa.
3.1.7.15 Uji Saraf Cranialis
1) Nervus olfaktorius: Klien dapat membedakan bau minyak kayu putih dan kopi
dengan cara meminta klien utuk menutup mata dan membedakan antara bau
minyak kayu putih dan kopi.
2) Nervus optikus: Klien dapat membaca buku <30 cm, dan klien tidak
menggunakan kacamata dan ukuran pupil klien 2 mm, klien juga mampu
menggerakan bola mata ke delapan arah.
3) Nervus okulomotoris: Tidak terdapat ptosis pada klien, klien mampu mengikuti
arahan jari telunjuk perawat diarah medial, atas dan bawah, tidak terdapat
nistagmus.
4) Nervus toklearis: Terlihat ukuran pupil 2 mm, kdua pupil isokor, klien dapat
mengedip saat diberikan sentuhan kapas dan terdapat reaksi positif terhadap
rangsangan cahaya.
5) Nervus trigeminus: Terlihat klien mengedipkan mata secara cepat saat
diberikan sentuhan kapas, klien juga mengatakan adanya rasa nyeri saat
diberikan kapas, da saat klien mengatupkan giginya kekuatan otot tidak
maksimal.

56
6) Nervus abdusens: Klien dapat mengikuti keenam arah lateral atas, medial atas,
medial bawah dan lateral bawah. Pada mata kanan klien tidak mengalami
diplopia, namun pada mata kiri klien mengeluh kabur.
7) Nervus fasialis: Terlihat klien dapat mengangkat alis kiri dan kanan,
simetris. Klien dapat memperlihatkan giginya atau tersenyum, klien dapat
bersiul dan mampu meniup dengan kekuatan otot pipi kiri dan kanan
sama, klien juga dapat menyebutkan 1 zat perasa seperti kopi.
8) Nervus vestibulokoklearis: Pemeriksaan vestibulokoklearis dengan
menggunakan arloji, klien tidak dapat mendengar suara detik jam tersebut.
9) Nervus glosofaringeus dan Nervus vagus: Klien mampu membedakan
rasa asin, manis, dan pahit, klien juga tidak mengalami kesulitan menelan.
Klien dapat mengucapkan “aaaa” dan uvula tetap berada di tengah.
10) Nervus asesorius: Pemeriksaan otot trapezius terdapat tahanan yang lebih
dominan dibahu kanan dibandingkan bahu kiri, sedangkan pada otot
sternokleidomatoideus terdapat tahanan lebih dominan kanan dibandigkan
otot sternokleidomastoideus kiri.
11) Nervus hipoglasus: Klien dapat menjulurkan lidah lurus keluar dan kedalam
secara cepat, klien tidak dapat menggerakkan lidahnya kekiri dan kanan
secara cepat.
3.1.7.16 Kulit
Kulit klien terlihat bersih, namun di daerah dada atas sampai ke payudara
terdapat bekas bintik-bintik kemerahan yang diakibatkan alergi udang, CRT 3
detik, kulit klien terlihat lembab dan teksture kulit klien lembut.
3.1.8 Pemeriksaan Penunjang
3.1.8.1 Laboratorium
1) Pemeriksaan Hematologi pada Tanggal 17 Juli 2020 jam 20.41 WITA
Tabel 3.1.8.15 Hasil Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Hemoglobin
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hemoglobin 14.3 g/dL 12.0 - 16.0
3
Leukosit 11.50 10 /uL 4.000 - 16.000
Eritrosit 4.74 106/uL 4.000 – 5.500

57
Hematocrit 40.6% 37.0 – 43.0
3
Trombosit L 114 10 /uL 150-450
Indeks Eritrosit
MCV 85.7 fL 82.0 – 96.0
MCH 30.2 pg 27.0 – 31.0
MCHC 35.2 g/L 32.0 – 37.0
Hitung Jenis
Neutrofil -% 50 - 70
Limfosit L 1.1 % 20.0 – 40.0
MXD -% 2.0 – 8.0
Kimia Darah
Albumin 3.8 g/dL 3.5 – 5.2
Na, K, Cl
Kalium 4.90 3.5 – 5.1
Natrium L 135.7 mmol/L 136 - 146
Klorida Darah H 111.0 mmol/L 96 – 106
2) Pemeriksaan MSCT-Scan pada tanggal 16 Juli 2020
Tampak lesi hypodens, luas didaerah fronto-tempora-pariatale dextra
dengan UK : 12,1 x 2,74 dengan HU: 28,7. Cerebellopontine angle baik, orbita
dan mastoidea baik, sinus paranasal baik, tulang dan jaringan lunak baik.
3.1.9 Terapi Saat Ini
1) NaCL 0,9% = 20 tpm : Intravena
2) Citicoline = 200 mg/12 jam : Intravena
3) Mecobalamin = 1amp/24 jam : Intravena
4) Manitol = 2x100 cc : Intravena
5) Ranitidine = 50mg/12 jam : Intravena
6) Ceftriaxone = 1gr/12 jam : Intravena
7) Metamizole = 1gr/8 jam : Intravena
8) Omeprazole = 40mg/12 jam : Intravena
3.2 Klasifikasi Data
3.2.1 Data Subjektif
1) Klien mengatakan nyeri kepala

58
2) Klien mengatakan nyeri karena setelah operasi
3) Klien mengatakan nyeri seperti ditusuk-tusuk
4) Klien mengatakan skala nyeri 4
5) Klien mengatakan nyeri yang dirasakan hilang timbul
6) Klien mengatakan nyeri dirasaka kurang lebih 10 menit
7) Klien mengatakan sulit tidur
8) Klien mengatakan sulit tidur karena bising
9) Klien mengatakan susah tidur malam juga
10) Klien mengatakan aktivitas gerak dibantu oleh istri
11) Klien mengatakan aktivitas perawatan diri dibantu oleh istri
12) Klien mengatakan penglihatan pada mata kiri kabur
3.2.2 Data Objektif
1) Klien terlihat terpasang drain
2) Terlihat jumlah cairan drain 300 cc/perhari
3) Terdapat hasil lesi hypodens di daerah fronto-temporo-parietal pada hasil
MSCT-Scan
4) Klien terpasang perban dikepala
5) Terlihat 9 jahitan didaerah operasi panjang luka ± 5 cm lebarnya ± 3 cm
6) Klien mampu membaca buku <30 cm
7) Klien terlihat mengantuk
8) Klien terlihat meringis
9) Klien terlihat beraktivitas dibantu oleh istri
10) Hasil trombosit L 11.40 103/uL
11) Hasil limfosit L 1.1 %
12) Hasil natrium L 135,7 mmol/L
13) Hasil klorida darah H 111.0 mmol/L
14) Klien terlihat meggunakan bantal dengan posisi 35 o
15) Pemeriksaan refleks biceps, ekstremitas kiri atas hasilnya (0) tidak
ditemukan fleksi
16) Pemeriksaan nervus asesorius pada otot sternokleidomatoideus terdapat
tahanan lebih dominan kanan dibandigkan otot sternokleidomastoideus kiri
17) Kekuatan otot

59
Ektremitas kanan atas : 2 bagian ektremitas kanan bawah : 2 ektremitas kiri atas :
4 bagian ekstremitas kiri bawah : 4
18) Klien mampu melihat dengan jarak 2/6 (Klien dapat melihat dalam jarak 6 meter
pada huruf ke 2 pada snellen chart dimana normal visus mata pada manusia 6/6)

60
Pathway Kasus

Terjatuh dari atap


(tempat tinggi)

Cidera kepala

Kerusakan jaringan,
tulang dan kulit

Penurunan aliran darah Tindakan Merangsang saraf


ke otak pembedahan nyeri

Risiko Infeksi Nyeri Akut

Kebisingan,
cahaya dan suhu
Penurunan O2 ke Kematian sel
otak otak

Gangguan pola
tidur
Peningkatan Kerusakan
asam laktat koordinasi otak

Risiko perfusi Penurunan Gangguan


serebral tidak kekuatan otot mobilitas fisik
efektif

Risiko cedera

Bagan 3.2 Pathway Kasus

61
3.3 Analisis Data
3.3.1 Pengelompokkan data 1
3.3.1.1 Faktor risiko
1) Klien terlihat terpasang drain
2) Klien terlihat terpasang perban di kepala
3) Jumlah cairan drain 300 cc/hari
4) Terlihat 9 jahitan di daerah operasi panjang luka ± 5 cm lebarnya ± 3 cm
5) Hasil klorida darah H 111.0 mmol/L
6) Terdapat hasil lesi hypodens di daerah fronto-temporo-parietal pada hasil
MSCT-Scan
3.3.1.2 Etiologi: Cedera kepala
3.3.1.4 Masalah: Risiko perfusi serebral tidak efektif
3.3.2 Pengelompokkan data 2
3.3.2.1 Faktor risiko
1) Klien mengatakan nyeri dirasakan hanya dikepala setelah operasi
1) Klien terlihat terpasang drain
2) Jumlah cairan drain 300 cc/hari
3) Klien terlihat terpasang perban di daerah kepala
4) Terlihat 9 jahitan di daerah operasi panjang luka ± 5 cm lebarnya ± 3 cm
5) Klien terlihat meringis
6) Hasil trombosit L 11.40 103/uL
7) Hasil limfosit L 1.1 %
3.3.2.2 Faktor risiko: Efek prosedur invasif
3.3.2.3 Masalah: Risiko infeksi
3.3.3 Pengelompokkan data 3
3.3.3.1 Data Subjektif
1) Klien mengatakan dalam beraktivitas dibantu oleh istri
2) Klien mengatakan aktivitas perawatan diri dibantu oleh istri
3) Klien mengatakan sakit kepala
4) Klien mengatakan penglihatan pada mata kiri kabur
3.3.3.2 Data Objektif
1) Klien mampu melihat dalam jarak 2/6

62
2) Klien terlihat beraktivitas dibantu istri
3) Kekuatan otot: Ekstremitas kanan atas: 3, Ekstremitas kanan bawah: 3,
Ekstremitas kiri atas: 4, Ekstremitas kiri bawah: 4
4) Pemeriksaan refleks biceps, ekstremitas kiri atas hasilnya (0) tidak
ditemukan fleksi
5) Pemeriksaan nervus asesorius pada otot sternokleidomatoideus terdapat
tahanan lebih dominan kanan dibandigkan otot sternokleidomastoideus kiri.
3.3.3.3 Etiologi: Penurunan kekuatan otot
3.3.3.4 Masalah: Gangguan mobilitas fisik
3.3.4 Pengelompokkan data 4
3.3.4.1 Data subjektif
1) Klien mengatakan nyeri
2) Klien mengatakan nyeri dirasakan didaerah kepala
3) Klien mengatakan skala nyeri 4
4) Klien mengatakan nyeri seperti ditusuk-tusuk
5) Klien mengatakan nyeri hilang timbul
3.3.4.2 Data objektif
1) Klien terilihat meringis
2) Terpasang drain pada klien
3) Klien terlihat terpasang perban
3.3.4.3 Etiologi : Agen pencedera fisik
3.3.4.4 Masalah: Nyeri akut
3.3.5 Pengelompokkan data 5
3.3.5.1 Data subjektif
1) Klien mengatakan sulit tidur
2) Klien mengatakan sulit tidur karena bising (pasien lain dan keluarga pasien
ribut)
3.3.5.2 Data objektif
1) Klien terlihat mengantuk
3.3.5.3 Etiologi : Hambatan lingkungan
3.3.5.4 Masalah : Gangguan Pola Tidur
3.3.6 Pengelompokkan data 6

63
3.3.6.1 Faktor risiko
1) Klien mengatakan penglihatan mata kiri kabur
2) Klien mengatakan beraktivitas di bantu istri
3) Klien mengatakan perawatan diri di bantu istri
4) Kekuatan otot: Ekstremitas kanan atas: 5, Ekstremitas kanan bawah:
5, Ekstremitas kiri atas: 4, Ekstremitas kiri bawah: 4
5) Hasil pemeriksaan visus 2/6
3.3.6.3 Etiologi: Perubahan fungsi psikomotor
3.3.6.4 Masalah: Risiko Cedera
3.4 Diagnosis Keperawatan
Berdasarkan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) 2017 untuk
menegakkan diagnosis dalam sebuah asuhan keperawatan yang sesuai dengan
kondisi dan sesuai dengan pengkajian yang telah dilakukan pada Tn. A yaitu:
3.4.1 Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala.
3.4.2 Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
3.4.3 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
3.4.4 Risiko cedera dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor.
3.4.5 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.
3.4.6 Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan.
3.5 Intervensi Keperawatan
Berikut merupakan Standar Intervensi Keperawatan Indonesi (SIKI) 2018
dan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) 2019 yang digunakan oleh
perawatan sebagai acuan untuk melakukan atau merencanakan tindakan
keperawatan.
3.5.1 Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan intervensi keperawatan selama 3x24 jam maka
diharapkan perfusi serebral meningkat dengan kriteria hasil sebagai berikut:
1) Klien tidak mengalami sakit kepala
2) Tidak ada tanda-tanda peningkatan Tekanan Intrakaranial
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal

64
(TD = 90/60–120/80 mmHg, N= 60-100 x/menit, RR= 16-20 x/menit, S=
36,5-37,6oC)
Intervensi:
(1) Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK
(2) Monitor TTV
(3) Berikan posisi semi fowler 15-30oC
(4) Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat Manitol 2x100 cc, Citicoline
200 mg/12 jam
3.5.2 Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan intervensi keperawatan selama 3x24 jam maka tingkat
infeksi menurun dengan kriteria hasil:
1) Cairan drain tidak berbau
2) Kebersihan tangan saat tindakan
3) Kebersihan tubuh klien
4) Tidak ada tanda-tanda infeksi ( Rubor = kemerahan, Tumor = bengkak, Calor
= terasa hangat atau panas yang terlokalisir, Dolor = nyeri, Function laesa =
gangguan fungsi)
Intervensi:
(1) Monitor tanda dan gejala infeksi
(2) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
(3) Berikan perawatan luka sesuai SOP
(4) Jelaskan tanda dan gejala infeksi pada pasien dan keluarga pasien
(5) Ajarkan cara mencuci tangan yang benar kepada pasien dan keluarga pasien
(6) Kolaborasi pemberian obat Ceftriaxone = 1gr/12 jam
3.5.3 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan intervensi keperawatan selama 3x24 jam maka
mobilitas fisik meningkat dengan kriteria hasil:
1) Tidak adanya kelemahan fisik
2) Kekuatan otot meningkat 5

65
3) Tidak adanya nyeri saat melakukan aktivitas
4) Gerakan tidak terbatas
Intervensi:
(1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
(2) Identifikasi toleransi melakukan pergerakan
(3) Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan bantu di tempat tidur(pagar tempat tidur
dinaikkan)
(4) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
(5) Jelaskan tujuan dan prosedur dilakukan mobilisasi
(6) Kolaborasi pemberian Mecobalamin = 1amp/24 jam
3.5.4 Risiko cedera dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan intervensi keperawatan selama 3x24 jam maka tingkat
cedera menurun dengan kriteria hasil:
1) Toleransi aktivitas
2) Kejadian cedera berkurang
3) Gangguan mobilisasi menurun
Intervensi:
(1) Identifikasi kebutuhan keselamatan pasien
(2) Monitor perubahan status keselamatan lingkungan
(3) Gunakan perangkat pelindung seperti pagar passien dinaikkan
(4) Ajarkan klien untuk latihan ROM
(5) Ajarkan pasien dan keluarga pasien tentang resiko tinggi bahaya lingkungan
3.5.5 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan intervensi keperawatan selama 3x24 jam maka tingkat
nyeri menurun dengan kriteria hasil:
1) Keluhan nyeri menurun skala 1
2) Klien tidak meringis
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal (TD= 90/60–120/80 mmHg, N= 60-
100 x/menit, RR= 16-20 x/menit, S= 36,5-37,6oC)

66
Intervensi:
(1) Identifikasi lukasi karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan intensitas
nyeri
(2) Identifikasi skala nyeri
(3) Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
(4) Kontrol lingkungan yang dapat memperberat rasa nyeri
(5) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
(6) Kolaborasi pemberian Metamizole = 1gr/8 jam dan Omeprazole = 40mg/12
jam
3.5.6 Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan intervensi keperawatan selama 2x24 jam maka pola
tidur membaik dengan akriteria hasil:
1) Tidak ada keluhan sulit tidur
2) Istirahat cukup 6-8 jam/hari
Intervensi:
(1) Identifikasi pola aktivitas dan tidur
(2) Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
(3) Berikan pemahaman kepada pasien atau keluarga pasien lain agar tidak
membuat keributan (gaduh) yang menyebabkan pasien lain terganggu
(4) Jelaskan pentingnya tidur selama sakit
(5) Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola tidur
3.6 Implementasi Keperawatan
3.6.1 Diagnosis Keperawatan 1
Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala.
Pada tanggal 17 Juli 2020
3.6.1.1 Pukul 09.00
Memonitor tanda dan gejala peningkatan TIK
Data subjektif: Klien mengatakan lupa dengan kejadian yang baru saja terjadi
namun kejadian yang lalu masih ingat sedikitar
Data objektif: Klien terlihat seperti linglung saat ditanya mengenai kejadian yang
baru saja terjadi.

67
3.6.1.2 Pukul 09.20
Memonitor TTV
Data subjektif: Klien mengatakan masih sakit kepalanya
Data objektif: TD= 130/75 mmHg, N=102 x/menit, RR= 20 x/menit, S= 36,8 oC
3.6.1.3 Pukul 09.30
Memberikan posisi semi fowler
Data subjektif: Klien mengatakan bahwa posisinya saat ini nyaman dengan posisi
setengah duduk namun kepalanya masih nyeri
Data objektif: Klien terlihat sedikit rileks saat kepalanya tidak sakit
3.6.1.4 Pukul 09.40
Mengkolaborasikan tindakan dengan tim medis pemberian obat Manitol 2x100 cc
pukul 10.00, Citicoline 200 mg/12 jam pada pukul 10.30
3.6.2 Diagnosis Keperawatan 2
Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
Pada tanggal 17 Juli 2020 dilakukan implementasi:
3.6.2.1 Pukul 13.00
Memonitor tanda dan gejala infeksi
Data subjektif: -
Data objektif: Pada area post craniatomy tidak ada tanda dan gejala infeksi
3.6.2.2 Pukul 13.15
Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
Data subjektif: Klien mengatakan saat perawat sebelum dan sesudah kontak
dengan klien perawat selalu mencuci tangan
Data objektif: -
3.6.2.3 Pukul 13.20
Memberikan perawatan luka sesuai SOP
Data subjektif: Klien mengatakan nyaman dilakukan tindakan perawatan luka
Data objektif: Saat melakukan tidakan perawatan luka perawat selalu
menggunakan SOP yang berlaku dalam ilmu keperawatan.
3.6.2.4 Pukul 13.30
Menjelaskan tanda dan gejala infeksi pada pasien dan keluarga pasien

68
Data subjektif: Klien dan keluarga klien mengatakan mengerti apa yang telah
dijelaskan
Data objektif: Klien dan keluarga klien mampu menyebutkan kembali tanda dan
gejala infeksi
3.6.2.5 Pukul 13.40
Mengajarkan cara mencuci tangan yang benar
Data subjektif: Klien dan keluarga klien mengatakan sudah paham atas ajaran
yang disampaikan mengenai cara cuci tangan yang benar
Data objektif: Klien dan keluaga klien terlihat dapat mengulang kembali cara atau
tahapan yang telah disampaikan mengenai cara cuci tangan yang benar.
3.6.3 Diagnosis Keperawatan 3
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
Pada tanggal 18 Juli 2020 dilakukan implementasi:
3.6.3.1 Pukul 08.00
Mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
Data subjektif: Klien mengatakan nyeri pada kepala pasca bedah
Data objektif: Klien terlihat meringis saat nyeri datang dan menunjukkan bagian
yang nyeri
3.6.3.2 Pukul 08.15
Mengidentifikasi toleransi melakukan pergerakan
Data subjektif: Klien mengatakan dapat melakukan aktivitas dan mobilisasi
dengan bantuan istrinya
Data objektif: Klien terlihat dibantu oleh istri saat melakukan aktivitas mobilisasi
3.6.3.3 Pukul 08.25
Memfasilitasi aktivitas mobilisasi dengan bantu di tempat tidur (pagar tempat
tidur dinaikkan)
Data subjektif: -
Data obektif: Klien terlihat dapat melakukan aktivitas mobilisasi ringan seperti
bergerak ke pinggir tempat tidur dengan memegang pagar tempat tidur yang
sudah dinaikkan untuk mengambil minum.
3.6.3.4 Pukul 08.30
Melibatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan

69
Data subjektif: Keluarga klien mengatakan selalu membantu klien dalam aktivitas
mobilisasi klien
Data objektif: Klien terlihat senang saat dibantu dalam melakukan peningkatan
mobilisasi
3.6.3.5 Pukul 08.40
Mengajarkan klien untuk latihan ROM
Data subjektif: Klien mengtakan mengerti yang diajarkan
Data objektif: Klien terlihat mempraktikan kembali yang telah diajarkan tentang
ROM
3.6.3.6 Pukul 08.50
Menjelaskan tujuan dan prosedur dilakukan mobilisasi
Data subjektif: Klien dan keluarga klien mengatakan mengerti apa yang
dipaparkan
Data objektif: Klien dan keluarga klien dapat menyebut ulang apa yang telah
disampaikan mengenai tujuan dan prosedur dilakukan mobilisasi
3.6.3.7 Pukul 08:55
Mengkolaborasikan tindakan dengana memberikan injeksi Mecobalamin 1amp/24
Data subjek: klien mengatakan dapar bergerak sedikit
Data objektif: klien terlihat nyaman
3.6.4 Diagnosis Keperawatan
Risiko cedera dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor
Pada tanggal 18 Juli 2020 dilakukan implementasi:
3.6.4.1 Pukul 09.00
Mengidentifikasi kebutuhan keselamatan pasien
Data suubjektif: Klien mengatakan selama masa perawatan klien merasa aman
dan nyaman karena perawat dan tenaga medis lainnya sangat ramah dan sangat
memperhatikan keselamatan klien
Data objektif: Klien terlihat nyaman selama masa perawatan yang dijalaninya
3.6.4.2 Pukul 09.30
Memonitor perubahan status keselamatan lingkungan
Data subjektif: -

70
Data objektif: Klien terlihat nyaman dengan prosedur yang telah diberikan oleh
perawata dan tenaga medis lainnnya
3.6.4.3 Pukul 09.40
Mengunakan perangkat pelindung seperti pagar pasien dinaikkan
Data subjektif: Keluarga klien mengatakan selalu menaikkan pagar tempat
tidurnya sesuai yang disampaikan dan yang dilakukan oleh perawat
Data objeltif: Pagar tempat tidur klien terlihat dinaikkan saat hendak tidur atau
saat berbaring
3.6.4.4 Pukul 10.00
Mengajarkan pasien dan keluarga pasien tentang resiko tinggi bahaya lingkungan
Data subjektif: Klien mengatakan mengerti dan memahami apa yng telah
disampaikan oleh perawat
Data objektif: Klien dan keluarga klien mampu menjawab pertanyaan mengenai
resiko tinggi bahaya lingkungan yang dapat mengancam nyawa klien
3.6.5 Diagnosis Keperawatan 5
Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
Pada tanggal 18 Juli 2020 dilakukan implementasi:
3.6.5.1 Pukul 14.00
Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan intensitas
nyeri
Data subjektif: Klien mengatakan lokasi nyeri di daerah kepala pasca operasi,
nyeri seperti ditusuk-tusuk dan hilang timbul, bila nyeri datang ± 10-15 menit
dengan skala 4 (sedang)
Data objektif: Klien terlihat meringis
3.6.5.2 Pukul 14.50
Mengidentifikasi skala nyeri
Data subjektif: Klien mengatakan bahwa nyeri dengan skala 4 (sedang)
Data objektif: Klien terlihat meringis bila nyeri datang dan tidak tenang
3.6.5.3 Pukul 14.55
Memberikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
Data subjektif: Klien mengatakan senang dan dapat melakukan teknik
nonfarmakologi untuk memanajemen nyeri bila nyeri datang

71
Data objektif: Klien terlihat melakukan Relaksasi Napas Dalam (RND) dan
mendengarkan lagu saat nyeri datang
3.6.5.4 Pukul 15.00
Mengontrol lingkungan yang dapat memperberat rasa nyeri
Data subjektif: Klien mengatakan nyeri akan semakin terasa berat bila lingkungan
di ruangan bising dan setelah perawat melakukan pengontrolan lingkungan klien
mengatakan senang dan nyaman sehingga bila mana nyeri datang klien dapat
memanajemen nyeri mandiri
Data objektif: Klien terlihat nyaman
3.6.5.5 Pukul 15.30
Menjelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Data subjektif: Klien mengatakan mengerti mengenai penejelasan yang
disampaikan
Data objektif: Klien mampu mengulangi penjelasan tentang penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
3.6.5.6 Pukul 15.50
Mengkolaborasikan tindakan dengan Metamizole 1gr/8 jam dan Omeprazole =
40mg/12 jam diberikan pukul.
Data subjektif: Klien mengatakan nyeri agak berkurang saat istirahat tanpa
menggunakan obat
Data objektif: Klien terlihat rileks dengan posisi dan tindakan yang telah
diberikan oleh perawat selama masa perawatan
3.6.6 Diagnosis Keperawatan 6
Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan
Pada tanggal 18 Juli 2020 dilakukan implementasi keperawatan:
3.6.6.1 Pukul 20.00
Mengidentifikasi pola aktivitas dan tidur
Data subjektif: Klien mengatakan tidak melakukan aktivitas apapun yang
dilakukan sebelum istirahat dan tidur
Data objektif: Klien terlihat hanya berbaring dan berdoa saat hendak tidur
3.6.6.2 Pukul 20.10
Mengidentifikasi faktor pengganggu tidur

72
Data subjektif: Klien mengatakan di tempat kamar rawat inap saat ini sangatlah
bising atau ribut sehingga dapat mengganggu tidur klien
Data objektif: Klien terlihat menguap namun tidak bida tidur karena kondisi
lingkungan yang tidak mendukung untuk tidur
3.6.6.3 Pukul 20.20
Memodifikasi lingkungan dengan membatasi jam berkunjung pasien lain dan
memberikan pemahaman kepada pasien agar tidak membuat gaduh yang
menyebabkan pasien lain merasa tidak nyaman
Data subjektif: Klien mengatakan nyaman dengan kondisi lingkungan yang telah
dimodifikasi oleh perawat karena tidak ribut lagi dan pencahayaan dikurangi
Data objektif: Klien terlihat dapat tidur dengan rileks
3.6.6.4 Pukul 20.30
Melakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
Data subjektif: Klien mengatakan sangat nyaman dengan prosedur yang diberikan
Data objektif: Klien terlihat tidur pulas
3.6.6.5 Pukul 20.40
Menjelaskan pentingnya tidur selama sakit
Data subjektif: Keluarga klien mengatakan mengerti apa yang telah dijelaskan
mengenai pentingnya tidur selama sakit
Data objektif: Klien dan keluarga klien dapat mengulang kembali apa yang
disampaikan tentang pentingnya tidur saat sakit bagi kesehatan klien
3.6.6.6 Pukul 20.50
Mengajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola tidur
Data subjektif: Klien mengatakan paham, mengerti dan akan menghindari faktor-
faktor yang terkait dan dapat menyebabkan ganggan pada pola tidur
Data objektif: Klien dapat menyebutkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
gangguan pola tidur yang dialami.
3.7 Evaluasi
3.7.1 Evaluasi hasil diagnosis keperawatan 1
Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala.
Evaluasi dilakukan pada tanggal 19 Juli 2020 sesuai dengan Subjektif Objektif
Assesment Planning (SOAP):

73
Subjektif : Klien mengatakan masih nyeri pada kepalanya namun sudah sedikit
berkurang, klien mengatakan sudah meninggikan kepalanya atau berbaring
dengan setengah duduk dengan 30o, klien mengatakan belum dapat menggenggam
tangannya dan klien masih lupa akan kejadian yang baru saja terjadi.
Objektif : Klien terlihat rileks, klien terlihat berusaha mengganggam tangannya,
istri klien terlihat memposisikan klien dengan 30 o, saat ditanya mengenai kejadian
yang beru saja terjadi klien tidak mampu mengingat kejadian tersebut.
Assesment : Masalah belum teratasi.
Planning : Intervensi dilanjutkan.
3.7.2 Evaluasi hasil diagnosis keperawatan 2
Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
Evaluasi dilakukan pada tanggal 19 Juli 2020 sesuai dengan Subjektif Objektif
Assesment Planning (SOAP):
Subjektif: Klien mengatakan sudah rileks dan nyaman setelah perawatan luka
dan setelah diberikan obat. Klien mengatakan sudah bisa duduk dengan perlahan.
Objektif: Klien terlihat nyaman, telihat 9 jahitan, tidak terdapat kemerahan atau
pun edema, terlihat area pasca operasi yang bersih disekitar jahitan, klien
terlihat duduk dengan perlahan dengan bantuan istri.
Assesment: Masalah teratasi.
Planning: Intervensi dihentikan.
3.7.3 Evaluasi hasis diagnosis keperawatan 3
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
Evaluasi dilakukan pada tanggal 19 Juli 2020 sesuai dengan Subjek Objektif
Assasment Planninng (SOAP):
Subjektif: Klien mengatakan sudah bisa BAK dibotol dikarenakan
kateternya sudah dilepas, klien mengatakan sudah bisa berdiri meskipun
dibantu, namun tidak bisa berjalan sendiri, klien mengatakan sudah bisa duduk
dengan perlahan.Klien mengatakan sudah bisa menggerakan tangan dan kakinya
secara perlahan.
Objektif: Klien terlihat duduk dengan perlahan, klien terlihat BAK dengan posisi
berdiri dan dibantu oleh istri, klien terlihat tenang, klien terlihat mempraktikkan
salah satu gerakan ROM.

74
Assesment: Masalah teratasi.
Planning: Intervensi dihentikan.
3.7.4 Evaluasi hasil keperawatan diagnosis 4
Risiko cedera dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor.
Evaluasi dilakukan pada tanggal 19 Juli 2020 sesuai dengan Subjek Objektif
Assasment Planninng (SOAP):
Subjektif: Klien mengatakan makan adalah salah satu kebutuhan yang
paling utama. Klien mengatakan istri dan terkadang anaknya yang mendampingi
klien. Klien mengatakan setelah lepasnya kateter, klien sudah bisa BAK dibotol
dengan posisi berdiri.
Objektif: Klien terlihat makan bubur, terlihat istri klien memberi minum pada
klien, klien terlihat dibantu oleh istrinya.
Assesment: Masalah teratasi .
Planning: Intervensi dihentikan.
3.7.5 Evaluasi hasil diagnosis keperawatan 5
Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.
Evaluasi dilakukan pada tanggal 19 Juli 2020 sesuai dengan Subjek Objektif
Assasment Planninng (SOAP):
Subjektif: Klien mengatakan nyeri berkurang, klien mengatakan skala nyeri yang
dirasakan berkurang mejadi skala 2, klien mengatakan dengan mendengar lagu
rohani, klien merasa tenang.
Objektif: Klien terlihat rileks, klien terlihat mendengarkan lagu rohani melalui
handphone, reaksi alergi tidak ditemukan seperti ruam, gatal-gatal, tidak
demam dengan suhu 36,8ºC, tekanan darah 130/75 mmHg, klien terlihat
tersenyum.
Assesment: Masalah teratasi.
Planning: Intervensi dihentikan.
3.7.6 Evaluasi hasil diagnosis keperawatan 6
Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan.
Evaluasi dilakukan pada tanggal 19 Juli 2020 sesuai dengan Subjek Objektif
Assasment Planninng (SOAP):

75
Subjektif: Klien mengatakan sebelum tidur selalu mendengarkan lagu, klien
mengatakan dapat tidur dengan nyenyak.
Objektif: Klien terlihat tidak mengantuk, klien terlihat segar setelah bangun
tidur siang, klien terlihat mendengarkan lagu sebelum tidur.
Assesment: Masalah teratasi .
Planning: Intervensi dihentikan.

76
BAB 4
PEMBAHASAN

Bab ini penulis akan membahas tentang kesenjangan pada kasus pasien
selama 3 hari di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Provinsi Kalimantan Utara.
Setelah mempelajari landasan teori dengan pelaksanaan asuhan keperawatan pada
klien Tn. A dengan Post Craniatomy ec Fraktur Parietal di Ruang Dahlia A
Rumah Sakit Umum Tarakan mulai tanggal 17 Juli 2020 sampai dengan 19 Juli
2020, maka bab ini penulis mengemukakan kesenjangan antara teori dengan
pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Post Craniatomy ec Fraktur
Parietal. Adapun kesenjangan tersebut akan diuraikan sesuai dengan langkah-
langkah proses keperawatan sebagai berikut:
4.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dari proses
keperawatan secara menyeluruh. Pengkajian dilakukan secara komprehensif dan
menghasilkan kumpulan data mengenai status kesehatan klien, kemampuan klien
untuk mengelola kesehatan meliputi bio, psiko, sosial dan spiritual, pada tahap ini
semua data atau informasi tentang klien dibutuhkan, dikumpulkan dan dianalisa
untuk menentukan diagnosis keperawatan. Tahap ini, penulis tidak
mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan klien, sehingga penulis bisa
mendapatkan data, baik data subjektif dan data objektif dari klien dan keluarga
klien. Klien dan keluarga sangat kooperatif dan menerima kehadiran penulis
dalam proses pengumpulan data.
Proses pengkajian pada Tn. A dengan Post Craniatomy ec Fraktur
Parietal di ruang Dahlia A Rumah Sakit Umum Tarakan Provinsi Kalimantan
Utara pada tanggal 17 Juli 2020 sampai dengan 19 Juli 2020. Kesenjangan terjadi
karena tidak sesuai dengan hasil pengkajian yang didapatkan penulis dengan
pengkajian menurut Doenges, Moorhouse, Geissler (2014). Data pengkajian
tersebut disesuaikan dengan kondisi pasien dengan sistem observasi dan
pemeriksaan yang dilakukan secara holistik dan kompherensif sehingga bisa

77
menghasilkan data yang akurat. Data kesenjangan dimulai dari proses asuhan
keperawatan pengkajian, sebagai berikut:
1) Aktivitas/Istirahat
Gejala: Lelah, dan kaku.
Kelelahan berdasarkan pada tingkatan keadaan otot tubuh, viscera atau
sistem saraf pusat, dimana didahului oleh aktivitas fisik dan proses mental, serta
waktu istirahat yang mencukupi, sebagai hasil dari kapasitas sel yang tidak
mencukupi atau cakupan energi untuk memelihara tingkatan aktivitas yang alami
dan atau diproses dengan menggunakan sumber-sumber yang normal (Australian
safety and Compensation Council, 2016). Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) kaku adalah sendi yang memungkinkan sedikit gerak antara tulang-
tulang yang dihubungkan (seperti tulang-tulang pergelangan tangan).
Pengkajian menurut hasil studi lapangan adalah tidak ditemukannya gejala
seperti merasa lelah ataupun kaku karena pada Tn. A hanya mengalami
kelemahan dan dianjurkan untuk membatasi gerak dikarenakan setelah jatuh
dari atap dan kejadian Post Craniatomy ec Fraktur Pariental.
2) Sirkulasi
Gejala: Perubahan tekanan darah atau hipertensil
Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah gejala yang akan
berlanjut ke suatu organ target seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung
koroner (untuk pembuluh darah jantung) dan hipertrophy (untuk otot jantung)
dengan target organ diotak berupa stroke, hipertensi menjadi penyebab utama
stroke yang membawa kematian (Bustan, 2017), Tn. A mengalami hemiparese
dikarenakan klien jatuh dan mengakibatkan trauma kepala dan tidak disebabkan
oleh stroke, namun pada pengkajian sirkulasi pada Tn. A tidak ditemukannya
adanya perubahan tekanan darah (Hipertensi) karena saat dilakukan pemerksaan
terakhir kali126/68 mmHg.
Pengkajian menurut hasil studi lapangan penulis adalah tidak ditemukan
adanya perubahan tekanan darah, dan hasil yang didapatkan adalah dimana
tekanan darah klien: 126/68 mmHg, nadi regular: 65 x/menit, dan suhu 36,5ºC,
dan juga Tn. A tidak dapat pemeriksaan penunjang seperti EKG
(Elektrokardiografi) sehingga tidak dapat dipastikan namun pada pemeriksaan

78
fisik: Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi tidak ditemukannya perubahan
tekanan darah ataupun perubahan frekuensi jantung.
3) Integritas Ego
Gejala: Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Wikipedia (2013) menyebutkan perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku
yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika,
kekuasaan, persuasi, dan atau genetika. Perilaku seseorang dikelompokkan ke
dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku
menyimpang, dalam sosiologi perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak
ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial
manusia yang sangat mendasar.
Kesenjangan dapat terjadi karena penulis mengambil atau menginput data-
data yang sesuai dengan kondisi pasien, sedangkan pada Doenges (2014)
menyebutkan bahwa ada beberapa tanda dan gejala yang tidak terdapat pada Tn.
A seperti perubahan tingkah laku atau kepribadian.
Pengkajian menurut hasil studi lapangan penulis adalah tidak ditemukan
perubahan tingkah laku atau kepribadian, dikarenakan Tn. A merasa pelayanan
di Rumah Sakit dan diruang perawatan Tn. A dirawat sudah memberikan yang
terbaik, diperkuat lagi bahwa Tn. A adalah satu anggota Badan Pengurus
Jemaat di gerejanya saat ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
kepribadian ialah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu
bangsa yang membedakannya dari orang lain. Tn. A memiliki perbedaan dari
pasien yang lain dikarenakan Tn. A lebih sering membaca alkitab dan
mempunyai kebiasaan sebelum beraktivitas dipagi hari Tn. A dan istri ialah
renungan pagi atau saat teduh bersama. Dimana keadaan Tn. A saat ini
mengalami resent memory klien tidak mengingat akan kejadian satu minggu
terakhir namun masih mengingat kejadian tahun lalu biasanya ini terjadi bila ada
gangguan pada lobus frontal (fungsi kognitif, memori, bahasa, motivasi,
penilaian dan kontrol implus), sedangkan bila terjadi gangguan pada lobus
parietas mengalami gangguan motorik dan bila gangguan pada lobus temporal
maka akan mengalami gangguan pada emosional, persepsi, memori dan
disorientasi waktu tempat dan orang.

79
4) Pernapasan
Tanda: Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi),
napas berbunyi (stridor, tersedak, ronki), mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
Ketidakefektifan pola nafas adalah ketidakmampuan proses sistem
pernafasan: inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat (Nanda,
2015-2017). Menurut Baydar (2013), suara pernapasan dapat diklasifikasi menjadi
dua kelompok seperti suara napas dan suara adventif (abnormal). Suara napas
yang terdengar dari dada subyek yang sehat disebut suara napas normal. Suara
napas normal keduanya yaitu inspirasi dan ekspirasi.
Terdapat kesenjangan dimana beberapa tanda sistem pernapasan yang tidak
ditemukan pada Tn. A yaitu seperti perubahan pola napas (apnea yang diselingi
hiperventilasi), napas berbunyi (stridor, tersedak, ronki), dan mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
Pengkajian menurut hasil studi lapangan penulis adalah tidak ditemukan
perubahan pola napas (apnea yang diselingi hiperventilasi) perubahan pola napas
dapat terjadi menurut Nanda (2015) disebabkan karena ketidakmampuan proses
sistem pernafasan: inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat,
napas berbunyi (stridor, tersedak, ronki) dapat terjadi karena adanya penyempitan
jalan napas atau obstruksi, dan mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
Alasan pada kasus Tn. A Post Craniatomy ec Fraktur Parietal tidak terdapat
perubahan pola napas maupun suara napas tambahan karena pada pengkajian
ditemukan frekuensi pernapasan Tn. A 19 x/menit, tidak ada gangguan
pernapasan, tidak ada pembengkakan pada luka operasi, tidak ada demam dengan
suhu 37ºC. Pengkajian menurut hasil studi lapangan adalah ditemukan hasil yaitu
Tn. A memiliki riwayat perokok diwaktu Tn. A masih muda, namun sekarang
Tn. A sudah tidak merokok lagi.
Hubungan antara teori kasus Tn. A Post Craniatomy ec Fraktur Parietal
adalah terjadi kesenjangan karena tidak sesuai dengan hasil pengkajian yang
didapatkan penulis dengan pengkajian Doenges, Moorhouse, Geissler (2014).
Menurut pengkajian Doenges adalah adanya perubahan pola napas (apnea yang
diselingi hiperventilasi), napas berbunyi (stridor, tersedak, ronki), dan mengi

80
positif (kemungkinan karena aspirasi). Hasil pemeriksaan frekuensi pernapasan
Tn. A 19 x/menit, suara napas vesikuler dan tidak ada suara napas tambahan.
5) Interaksi sosial
Tanda: Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang, disartria, anomia.
Menurut (IAI, 2011) telah memberitahukan kepada masyarakat bahwa para
penderita afasia dapat mengalami kesulitan akan banyak hal. Hal-hal tersebut
sebelumnya merupakan sesuatu yang biasa terjadi dikehidupannya sehari-hari,
seperti: melakukan percakapan; berbicara dalam grup atau lingkungan yang
gaduh; membaca buku, koran, majalah atau papan petunjuk di jalan raya;
pemahaman akan lelucon atau menceritakan lelucon; mengikuti program di
televisi atau radio; menulis surat atau mengisi formulir, bertelepon, berhitung,
mengingat angka, atau berurusan dengan uang juga menyebutkan namanya
sendiri atau nama-nama anggota keluarga. Penderita afasia mengalami
kesulitan dalam menggunakan bahasa, tetapi mereka bukan orang yang tidak
waras.
Kesenjangan dapat terjadi karena penulis mengambil atau menginput data-
data yang sesuai dengan kondisi paien, sedangkan pada Doenges, Moorhouse,
Geissler (2014) menyebutkan bahwa ada beberapa tanda yang tidak terdapat pada
Tn. A seperti afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang, disartria, anomia.
Pengkajian menurut hasil studi lapangan penulis adalah tidak ditemukan
afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria,
anomia. Alasan pada kasus Tn. A Post Craniatomy ec Fraktur Parietal
tidak terdapat afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang, disartia maupun anomia, karena hasil pemeriksaan yang didapatkan pada
Tn. A adalah Tn. A dapat berbicara dan berkomunikasi dengan baik dan
lancar dan bicara berulang hanya disaat yang penting.
Hubungan antara teori kasus Tn. A Post Craniatomy ec Fraktur Parietal
adalah terjadi kesenjangan karena tidak sesuai dengan hasil pengkajian yang
didapatkan penulis dengan pengkajian Doenges (2014). Menurut pengkajian
Doenges, Moorhouse, dan Geissler adalah adanya afasia motorik atau sensorik,

81
bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia. Hasil pemeriksaan
Tn. A tidak mengalami tanda yang disebutkan.
6) Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala: Pengguna alkohol/obat lain
Pemeriksaan pada Tn. A tidak ditemukan seperti data-data diatas yaitu
penggunaan alkohol/obat lain. Tn. A mengkonsumsi obat sesuai anjuran dokter
yaitu penggunaan antiinflamasi (Ceftriaxone 1 gr/12 jam, Metamizole 1 gr/8jam,
Manitol 2x100 cc, Citicolin 500 mg/12 jam dan melalui IV), penggunaan
analgesik (Omeprazole 40 mg/12 jam, Ranitidin 50 mg/12 jam, Mecobalamin 1
amp/24 jam dan melalui IV). Klien tidak mengkonsumsi obat-obat bebas secara
berkepanjangan, prinsip penggunaan obat yang rasional termasuk antibiotik
profilaksis yang mencakup indikasi, tepat obat, tepat waktu, tepat dosis dan rute
(Fathni, 2013).
4.2 Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan
mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respons terhadap masalah aktual dan
potensial. Label diagnosis keperawatan memberikan format untuk
mengekspresikan bagian identifikasi masalah dari proses keperawatan (Doenges,
Moorhouse, Geissler, 2014).
Proses menegakkan diagnosis keperawatan pada Tn. A dengan Post
Craniatomy ec Fraktur Parietal di ruang Perawatan Dahlia A Rumah Sakit
Umum Tarakan Provinsi Kalimantan Utara tanggal 17 Juli 2020 didapatkan
beberapa kesenjangan antara teori Doenges (2014), dengan kasus Tn. A Post
Craniatomy ec Fraktur Parietal.
keperawatan
Penegakkan diagnosis berdasarkan dari beberapa sumber buku,
yaitu terkait dengan penegakkan diagnosis menggunakan dari sumber Doenges
(2014), Nanda (2015), dan untuk sistem penulisan menggunakan sumber dari
SDKI (2017). Berikut diagnosis yang terdapat pada teori dan tidak ada pada kasus
Tn. A dengan Post Craniatomy ec Fraktur Parietal di ruang Dahlia A Rumah
Sakit Umum Tarakan Provinsi Kalimantan Utara, tetapi tidak ada di diagnosis
menurut Doenges (2014) yang diadopsi oleh (SDKI, 2017) yaitu:

82
10) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan (depresi pusat pernapasan;
hambatan upaya napas seperti nyeri saat bernapas, dna kelemahan otot
pernapasan; deformitas dinding dada; deformitas tulang dada; gangguan
neuromuskular; gangguan neurogis; imaturitas neurologis; penurunan energi;
obesitas; posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru; sindrom
hipoventilasi; kerusakan inerfasi diafragma/kerusan saraf C5 ke atas; cedera
pada medula spinalis; efek agen farmakologis; dan kecemasan).
Menurut (SDKI, 2017) pola napas tidak efektif merupakan inspirasi
dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat. Sedangkan di buku
Nanda (2015) dan Doenges Moorhose, dan Geissler (2014) ditulis risiko tinggi
pola napas tidak efektif. Menurut Nanda (2015) risiko tinggi pola napas tidak
efektif adalah pertukaran udara inspirasi dan/atau ekspirasi tidak adekuat.
Menurut Doenges, Moorhose, dan Geissler (2014) menyimpulkan bahwan risiko
tinggi terhadap pola napas tidak efektif terjadi karena adanya faktor kerusakan
neurovaskuler atau cedera pada pusat pernapasan otak, ditandai dengan
kerusakan persepsi atau kognitif, dan obstruksi trakeobronkial. Penulis tidak
meneggakkan diagnosis keperawatan pola napas tidak efektif dikarenakan pada
kasus Tn. A saat dilakukan pengkajian tidak ada tanda dan gejala mayor maupun
minor untuk menunjang atau untuk menegakkan diagnosis keperawatan dengan
pola napas tidak efektif.
11) Waham berhubungan dengan (faktor biologis, kelainan genetil/keturunan,
kelainan neurologis misalnya gangguan sistem limbik, gangguan ganglia
basalis, dan tumor otak atau cedera kepala; faktor psikodinamik misalnya
isolasi sosial dan hipersensitif; maladaptasi; dan stres yang berlebihan).
Di dalam buku Nanda (2015) dan Doenges, Moorhouse, Geissler (2014)
disebut gangguan proses pikir sedangkan dalam (SDKI, 2017) disebut waham.
Menurut Nanda (2015) Gangguan proses pikir adalah gangguan aktivitas dan
kerja kognitif (misalnya, pikiran sadar, orientasi realitas, pemecahan masalah, dan
penilaian). Menurut Doenges, Moorhouse, Geissler (2014) menyimpulkan
bahwa perubahan proses pikir terjadi karena adanya faktor perubahan fisiologis
dengan suatu konflik psikologis yang terjadi pada klien. Sedangkan menurut
(SDKI, 2017) waham adalah keyakinan yang keliru tentang isi pikir yang

83
dipertahankan secara kuat atau terus menerus namun tidak sesuai dengan
kenyataan. Penulis tidak meneggakan diagnosis keperawatan waham/perubahan
proses pikir dikarenakan pada Tn. A tidak terdapat tanda dan gejala baik itu tanda
mayor maupun tanda minor untuk menunjang diagnosis keperawatan waham dan
klien tidak mengalami perubahan proses pikir.
12) Risiko defisit nutrisi dibuktikan dengan (ketidakmampuan menelan makanan;
ketidakmampuan mencerna makanan; ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrien; peningkatan kebutuhan metabolisme; faktor ekonomis misalnya,
finansial tidak mencukupi; dan faktor psikologis seperti, stres, keengganan
untuk makan).
Menurut SDKI (2017), Risiko Defisit Nutrisi adalah berisiko mengalami
asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolism. Menurut
Doenges, Moorhouse, dan Geissler (2014) menyimpulkan bahwa risiko tinggi
terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh terjadi karena adanya
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran),
kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan, serta status
hipermetabolik. Penulis tidak meneggakan risiko defisit nutrisi dikarenakan pada
Tn. A tidak ada kriteria mayor dan kriteria minor untuk meneggakan diagnosis
tersebut.
13) Kesiapan peningkatan koping keluarga dibuktikan dengan tanda gejala
mayor dan minor (mayor: anggota keluarga menetapkan tujuan untuk
meningkatkan gaya hidup sehat dan anggota keluarga menetapkan sasaran
untuk meningkatkan kesehatan; minor: anggota keluarga mengidentifikasikan
pengalaman yang mengoptimalkan kesejahteraa, anggota keluarga berupaya
menjelaskan dampak krisis terhadap perkembangan dan anggota keluarga
mengungkapkan minat dalam membuat kontak dengan orang lain yang
engalami sitiasi yang sama).
Menurut SDKI (2017) Gangguan proses keluarga adalah perubahan dalam
hubungan atau fungsi keluarga. Menurut Doenges, Moorhouse, dan Geissler
(2014) menyimpulkan bahwa perubahan proses keluarga terjadi karena adanya
ketidakpastian tentang hasil atau harapan. Penulis tidak meneggakkan perubahan

84
proses keluarga disebabkan karena tidak terdapat kriteria mayor dan kriteria minor
untuk meneggakkan diagnosis tersebut.
14) Defisit pengetahuan berhubungan dengan (keterbatasan kognitif; ganguan
fungsi kognitif; kekeliruan mengikuti anjuran; kurang terpapar informasi;
kurang minat dalam belajar; kurang mampu mengingat dan ketidakmampuan
menemukan sumber informasi).
Menurut SDKI (2017) Defisit pengetahuan adalah ketiadaan atau kurangnya
informasi kognitif yang berkaitan dengan topik tertentu. Menurut Doenges,
Moorhouse, dan Geissler (2014) menyimpulkan bahwa kurang pengetahuan
terjadi karena klien dan keluarga tidak mengenal informasi atau sumber-sumber,
dan kurang mengingat atau adanya keterbatasan kognitif. Penulis tidak
meneggakkan kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) disebabkan karena tidak
terdapat kriteria mayor dan kriteria minor untuk meneggakkan diagnosis tersebut.
4.3 Intervensi
Tahap ini, penulis tidak mendapatkan banyak kesulitan karena penulis
memiliki sumber yang banyak. Semua intervensi keperawatan yang dibuat oleh
penulis sesuai dengan teori yang di dapat oleh penulis dari berbagai sumber yang
ada berdasarkan diagnosis keperawatan yang telah diangkat dan juga telah
disesuaikan dengan keadaan klien saat itu. Perencanaan meliputi pengembangan
strategi desain untuk mencegah, mengurangi mengoreksi masalah-masalah yang
telah diidentifikasikan pada diagnosis keperawatan. Dan tujuan dari intervensi
berpusat pada diagnosis keperawatan yang diangkat pada kasus Tn. A, dan hasil
yang telah ditetapkan sesuai dengan intervensi keperawatan untuk mencapai
tujuan dari intervensi keperawatan
Dalam bab ini penulis mendapatkan beberapa kesenjangan dari hasil
intervensi yang ditegakkan pada teori dengan kasus meliputi:
1) Risiko perfusi serebral tidak efektif terdapat beberapa intervensi yang ada di
teori bab dua tidak dilakukan pada kasus Tn. A yaitu:
(13) Monitor MAP (Mean Arterial Pressure) alasan tidak dilakukan
intervensi ini karena saat melakukan

85
(14) Monitor CVP (Central Venous Pressure) alasan tidak dilakukan
intervensi karena alat CVP tidak dipasang pada Tn. A yang terpasang
hanya IV pada ektremitas atas.
(15) Monitor PAWP, jika perlu alasan tidak dilakukan intervensi karena
pada kasus Tn. A tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
(16) Monitor PAP, jika perlu alasan tidak dilakukan intervensi keperawatan
ini karena klien tidak memiliki riwayat tekanan darah tinggi atau
hipertensi dan klien tidak memiliki tanda dan gejala yang menunjukkan
bahwa klien mengalami gangguan pada jantung.
(17) Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia alasan tidak
dilakukan intervensi karena ketersediaan fasilitas kesehatan yang
kurang memadai.
(18) Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure) alasan tidak dilakukan
intervensi dikarenakan penulis mengalami kurang pengetahuan dalam
hal tersebut.
(19) Monitor gelombang ICP alasan tidak dilakukan intervensi karena
ketersediaan fasilitas kesehatan yang kurang memadahi.
(20) Monitor status pernapasan, alasan penulis tidak mengambil intervensi
ini karena Tn. A tidak mengeluh atau merasakan pola napas yang sesak.
(21) Monitor intake dan output cairan klien tidak memiliti tanda dan gejala
kelebihan volume cairan maupun kekurangan volume cairan.
(22) Monitor cairan serebro-spinalis (mis. warna konsistensitas) alasan tidak
melakukan karena kekurangan pengetahuan dari penulis untuk
melakukan tindakan.
(23) Meminimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang,
alasan tidak dilakukan intervensi karena Tn. A tidak gelisah dan hanya
tenang di atas tempat tidurnya.
(24) Hindari manuver vaisava, alasan tidak dilakukan intervensi ini
dikarenakan pada kasus ini Tn. A memang tidak menyukai tindakan
tersebut.
(25) Cegah terjadinya kejang, alasannya karena klien tidak sama sekali
mengala kejang.

86
(26) Hindari penggunaan PEEP, alasannya karena klien tidak terpasang
ventilator mekanik, klien dapat bernapas dengan baik
(27) Hindari pemberian cairan IV hipotonik
(28) Atur ventlator agar PaCO2 optimal, alasannya karena Tn. A tidak
menggunakan ventilator mekanik.
(29) Pertahankan suhu normal, alasan tidak dilakukan intervensi
dikarenakan klien tidak mengalami demam dan suhu dalam ruangan tidak
terlalu panas maupun dingin.
(30) Kolaborasi sedasi dan antikonvulsan, jika perlu, alasan tidak dilakukan
intervensi dikarenakan tidak ada instruksi dari tim medis dan data untuk
menggunakan obat tersebut.
(31) Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu alasan tidak
dilakukan intervensi dikarenakan tidak ada instruksi dari tim medis dan
data untuk menggunakan obat tersebut.
(32) Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu alasan tidak dilakukan
intervensi dikarenakan tidak ada instruksi dari tim medis dan data untuk
menggunakan obat tersebut.
2) Gangguan mobilitas fisik
(5) Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi, alasannya karena
klien masih dalam pembatasan gerak karena klien masih terpasang drain
dan lemah karena Post Craniatomy ec Fraktur Parietal.
(6) Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu alasannya karena Tn. A
masih dalam pembatasan gerak karena klien masih terpasang drain dan
lemah karena Post Craniatomy ec Fraktur Parietal.
(7) Anjurkan untuk melakukan mobilisasi dini alasannya karena kondisi
klien yang masih belum memungkinkan untuk melakukan aktivitas yang
berlebihan atau berat, klien masih dalam proses pemulihan luka Post
Craniatomy ec Fraktur Parietal dan masih terpasang drain .
(8) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. duduk di
tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, dan pindah dari tempat tidur ke
kursi), alasan tidak dilakukan intervensi ini karena klien masih lemah dan

87
masih dalam pembatasan pergerakan dikarenakan klien masih terpasang
drain.
4.4 Implementasi
Tahap implementasi penulis akan melaksanakan perencanaan yang telah
disusun pada tahap pengumpulan data, pelaksanaan asuhan keperawatan yang
dilakukan penulis disesuaikan dengan rencana tindakan yang telah dibuat. Namun,
dari semua intervensi yang terdapat di teori ada beberapa intervensi yang tidak
dapat dilakukan secara maksimal, hal tersebut dikarenakan kurangnya ruang
lingkup pembatas yang memadai antara pasien kelolaan dengan pasien lainnya di
dalam satu ruangan.
Melakukan implementasi penulis tidak mendapatkan hambatan yang berarti,
semua intervensi dapat terlaksana dengan melibatkan klien dan keluarganya, klien
bersikap terbuka, kooperatif dan mudah diajak kerjasama, mudah menerima
penjelasan dan saran, dan klien berpartisipasi aktif dalam tindakan keperawatan.
Implementasi diagnosis risiko perfusi serebral, gangguan mobilitas fisik,
nyeri akut, gangguan pola tidur, risiko cedera dan risiko infeksi dilakukan sesuai
dengan intervensi yang ada pada (SIKI, 2018), dan dilakukan sesuai dengan
prosedur yang ada, tidak terdapat hambatan dalam melakukan implementasi
karena klien Tn. A dan keluarga sangat kooperatif dan bersedia menerima serta
mengikuti saran dari perawat.
4.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan dan diarahkan
untuk menentukan respon pasien terhadap intervensi keperawatan dan sebatas
mana tujuan-tujuan telah tercapai yang telah dilakukan selama tiga hari yaitu
mulai tanggal 17 Juli 2020 sampai dengan tanggal 19 Juli 2020. Dari hasil
evaluasi yang dilakukan pada tanggal 19 Juli 2020 didapatkan tiga masalah atau
diagnosis yang teratasi yaitu:
1) Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif dengan kriteria hasil
tidak ada tanda-tanda infeksi, Leukosit dalam batas normal (4.000-12.000).
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
dengan kriteria hasil klien dapat mempertahankan keseimbangan tubuh.

88
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis dengan kriteria
hasil skala nyeri berkurang skala nyeri 4 menjadi skala nyeri 2, klien tampak
rileks, TD: 120/80 mmHg, Nadi: 60-80 x/menit, frekuensi pernapasan: 16-24
x/menit, Suhu: 37,5°C.
4) Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan dengan
kriteria hasil klien tidak sulit beristirahat, klien tidur malam 8 jam
perhari, klien terlihat tidak mengantuk.
5) Risiko cedera dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor dengan
kriteria hasil tidak terjadi cidera selama perawatan di Rumah Sakit, keluarga
dan klien dapat mengidentifikasi penyebab cedera, klien mampu
meminimalkan pergerakkan.
Evaluasi yang tidak teratasi yaitu, risiko perfusi serebral tidak efektif
dibuktikan dengan cedera kepala, dikarenakan penulis menetapkan ekspektasi dan
krieria hasil yang terlalu tinggi kepada klien, kemudian waktu dalam melakukan
asuhan keperawatan yang singkat.

89
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada Tn. A dengan Post Craiatomy
ec Fraktur Parietal selama tiga hari mulai tangggal 17 Juli 2020 sampai dengan
tanggal 19 Juli 2020 di ruang Dahlia A Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan
Provinsi Kalimantan Utara, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
5.1.1 Pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. A yang meliputi pengkajian dan
menganalisa data, menentukan diagnosis keperawatan, membuat intervensi
keperawatan, dan melakukan implementasi, yang terakhir mengevaluasi hasil
implementai keperawatan.
5.1.2 Perbandingan antara teori dengan kasus pada klien Tn. A terdapat beberapa
kesenjangan yaitu: Teori pengkajian sirkulasi ditandai dengan perubahan tekanan
darah atau (hipertensi), pola aktivitas/istirahat ditandai dengan lelah, kaku, pada
teori pengkajian integritas ego ditandai dengan perubahan tingkah laku atau
kepribadian (tenang atau dramatis), pada pola pernapasan ditandai dengan
perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), napas berbunyi
(stridor, tersedak, ronki), mengi positif (kemungkinan karena aspirasi), pada teori
pengkajian interaksi sosial ditandai dengan afasia motorik atau sensorik, bicara
tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia, pada penyuluhan atau
pembelajaran ditandai dengan adanya pengguna alkohol/obat lain. Sedangkan
pada kasus Tn. A tidak terjadi gangguan pada pola napas, perubahan tekanan
darah atau hipertensi, perubahan tingkah laku atau kepribadian (halusinasi),
proses pikir dan tidak ada suara napas tambahan.
5.1.3 Faktor pendukung yang penulis dapatkan adalah sikap kooperatif dari istri
klien dan keluarganya yang bersedia dan ikut berperan serta dalam pemberian
asuhan keperawatan dan pelaksanaan implementasi keperawatan pada Tn. A dan
tidak ditemukan adanya faktor penghambat kecuali dalam melakukan tindakan
masih belum dipercayakan sepenuhnya karena status penulis dalam melakukan

90
penelitian masih dalam status mahasiswa sehingga harus diawasi dan dimpingi
oleh perawat senior dan pembatasan tindakan.
5.1.4 Pemecahan masalah pada klien Tn. A dengan Post Craniatomy ec Fraktur
Parietal dilakukan dengan melakukan implementasi sesuai dengan intervensi
yang dibuat berdasarkan diagnosis yang ditegakkan, serta untuk mencapai tujuan
dari intervensi tersebut. Intervensi terdiri dari diagnostik, komunikasi terpeutik,
edukatif dan kolaboratif dengan tim kesehatan lainnya. Implementasi dilakukan
dengan bantuan keluarga klien yang bersedia berperan aktif dan juga tim
medis lain yang membantu melaksanakan implementasi.
5.1.5 Diagnosis yang terdapat pada teori, namun tidak ditemukan pada kasus
yaitu: Risiko tinggi terhadap pola napas tidak efektif, perubahan proses pikir
dapat berhubungan dengan perubahan fisiologis, risiko tinggi terhadap perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, perubahan proses keluarga dapat
dihubungkan dengan transisi dan krisis situsional, kurang pengetahuan
(kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan dapat
dihubungkan dengan kurang permajanan.
5.1.6 Sedangkan pada kasus ditemukan diagnosa keperawatan yang tidak
terdapat pada teori yaitu : Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan
lingkungan, risiko cedera dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Pasien dan Keluarga Pasien
Diharapkan dapat mengerti dan memahami penyebab cedera kepala,
diharapkan dapat memahami dengan benar cara pengobatan dan pencegahan
pada cedera kepala, mengikuti setiap kegiatan yang diberikan atau diajarkan
perawat tentang pencegahan risiko infeksi setlah operasi..
5.2.2 Bagi Mahasiswa
Diharapkan mampu mengembangkan ilmu keperawatan dengan benar serda
dapat lebih giat lagi dalam belajar tentang ilmu keperawatan sehingga dapat
memahami dan memperbaharui teori yang ada dengan yang nyata terjadi di
lapangan saat melakukan praktik klinik keperawatan.
5.2.3 Bagi Institusi

91
Diharapkan dapat membuka wawasan mahasiswa dan masyarakat tentang
ilmu kesehatan terutama padda kasus ini yaitu Post Craniatomy ec Fraktur
Parietal. Diharapkan dapat memberikan pembekalan yang mantap untuk
mahasiswa sebelum melakukan praktik klinik keperawatan di lapangan.
5.2.4 Bagi Perawat
Diharapkan menyiapkan asuhan keperawatan secara baik dan benar
yang bertujuan pada klien, serta dapat menerapkan asuhan keperawatan yang
komprehensif pada klien cedera kepala, agar penerapan asuhan keperawatan
lebih bermanfaat dan terkoordinir, perawat harus melakukan asuhan keperawatan
sesuai dengan data yang didapatkan secara langsung dari klien dan sesuai dengan
kondisi klien saat ini, semua tindakan harus dijelaskan agar tidak ada kesalahn
interpretasi dan dicatat dalam status secara jelas, serta mencantumkan nama
petugas yang bertanggung jawab atas pelaksanaan asuhan keperawatan yang
telah dilakukan, diperlukan kerja sama yang baik dari klien, keluarga,
perawat dan tenaga kesehatan lainnya untuk meningkatkan dan mempercepat
penyembuhan penyakit. Klien yang akan pulang, perawat harus segera
menyiapkan pendidikan kesehatan bagi klien serta keluarganya dan dilakukan
secara komprehensif pada klien maupun keluarga klien. Sehingga klien dan
keluarga mengerti dan menyadari pentingnya kesehatan bagi dirinya dan
keluarga.

92
DAFTAR PUSTAKA

Anurogo D, &. U. (2014). Penyakit dan Gangguan Saraf. Yogyakarta: Raphe


Publishing

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.

Bararah, T. &. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat


Profesional. Jakarta: Prestasi Pusta Karya.

Corwin, E. J. (2010). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Darurat, T. A. (2015). Module Basic Trauma Cardiac Life Support AGD DINKES.
Jakarta: AGD Dinkes Provinsi DKI Jakarta.

Doenges, E. M. (2014). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC. Doenges,


M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2014). Rencana Asuhan
Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Gibson, J. (2015). Fisiologi & Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Mansjoer A, T. K. (2010). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 1. Jakarta: Media


Aesculapius.

Mardjono, &. S. (2010). Neurologi Klinik Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Morton, P. G. (2014). Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta:


EGC.

Muttaqin, A. (2010.). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A. H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

Patricia Gonce, M. D. (2014). Keperawatan Kritis volume 2. Jakarta: EGC.

Penelitian, B. &. (2018). Hasil utama riskesdas 2018. Jakarta: Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.

Rendi, C. &. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.

93
Sastrodiningrat, A. (2010). Pemahaman Indikator-Indikator Dini Diam
Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat. Retrieved July 04, 2019, from
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/753

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI). Edisi 1 Cetakan III . Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SIKI). Edisi 1 cetakan II. Persatuan Perawatan Indonesia

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia

94

Anda mungkin juga menyukai