Anda di halaman 1dari 232

LAPORAN TUGAS AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TN. Y DENGAN POST


KRANIOTOMI et causa CEDERA KEPALA BERAT DI RUANG
PERAWATAN BEDAH FLAMBOYAN RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN

Oleh :

SUPIANA
NPM : 11701020058

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2014
ii

ABSTRAK

Cedera kepala merupakan penyebab kematian terbesar, diperkirakan


100.000 orang meninggal setiap tahunnya. Di Indonesia, data salah satu rumah
sakit di Jakarta, penderita rawat inap terbesar adalah kasus cedera kepala dan data
cedera kepala di RSUD Tarakan tahun 2012 sebanyak 409 kasus dan tahun 2013
sebanyak 489 kasus. Berdasarkan prevalensi tersebut, maka penulis tertarik
mengambil kasus cedera kepala sebagai laporan tugas akhir.

Penulis menggunakan metode deskriptif, tipe studi kasus dengan pendekatan


proses keperawatan dengan tahapan pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi dan evaluasi. Tujuan umum laporan tugas akhir ini
adalah mendapatkan pengalaman nyata asuhan keperawatan yang dilakukan
secara holistik dan komprehensif. Subjek penelitian adalah Tn. Y dengan post
kraniotomi et causa cedera kepala berat di Ruang Perawatan Bedah Flamboyan
RSUD Tarakan dari tanggal 03-05 Juli 2014.

Hasil penelitian didapatkan lima diagnosa keperawatan yang ditegakkan


pada Tn. Y, yaitu resiko tinggi ketidakefektifan perfusi jaringan serebral, intoleran
aktivitas, perubahan sensori-persepsi : penglihatan, resiko tinggi infeksi dan
resiko tinggi kerusakan integritas kulit.

Disimpulkan bahwa terdapat kesenjangan yang terdapat antara teori dan


kasus pada Tn. Y dimulai dari pengkajian terdapat tujuh kesenjangan, pada
diagnosa terdapat enam kesenjangan, intervensi harus disesuaikan dengan kondisi
dan sarana prasarana. Evaluasi hasil yang didapatkan dari lima diagnosa
keperawatan empat yang teratasi dan satu tidak.

Kata Kunci : Cedera kepala, proses keperawatan, asuhan keperawatan,


diagnosa keperawatan, implementasi, kesenjangan.
iii

ABSTRACT

A head injury is the leading cause of death, an estimated 100,000 people


dies each year. In Indonesia, cases from one hospital in Jakarta, the biggest
sufferers are hospitalized with head injuries, and head injury data in Tarakan
Hospital, has 409 cases in 2012 and 489 cases in 2013. Based on the prevalence,
the authors are interested in taking the case of a head injury as a final report.

The author uses descriptive method with types of case study approach to the
stages of the nursing process assessment, nursing diagnosis, planning,
implementation and evaluation. The general objective of this final report writer
will get real experiences of nursing care is carried out in a holistic and
comprehensive. Subjects were Mr. Y with craniotomy post et causa severe head
injuries Flamboyan Space Tarakan Hospital Surgical Treatment of the date of July
3 to 5, 2014.

The results showed five nursing diagnoses that can be enforced in Mr. Y,
which is a high risk of ineffective cerebral tissue perfusion, activity intolerance,
changes in sensory-perception: sight, high risk of infection and a high risk of
damage to the integrity of the skin.

Concluded that there are gaps between the theory and the case of Mr. Y
starts from the assessment are seven gaps, there are six gaps in diagnosis,
interventions should be tailored to the conditions and infrastructure. Evaluation of
the results obtained from five nursing diagnoses four has been resolved and one
not.

Keywords : Head injuries, nursing process, nursing care, nursing diagnoses,


implementation, gap.
iv

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TN. Y DENGAN POST


KRANIOTOMY et causa CEDERA KEPALA BERAT DI RUANG
PERAWATAN BEDAH FLAMBOYAN RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

DISUSUN DALAM RANGKA UJIAN AKHIR PROGRAM


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
TAHUN AKADEMI 2013/2014

Oleh :

SUPIANA
NPM : 11701020058

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2014
v
vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

laporan tugas akhir dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Klien Tn. Y Dengan

Post Kraniotomi et causa Cedera Kepala Berat Di Ruang Perawatan Bedah

Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan”, yang dilaksanakan pada

tanggal 03 sampai dengan 05 Juli 2014.

Penyusunan laporan tugas akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam

penyelesaian pada program pendidikan Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Borneo.

Selama penyusunan laporan tugas akhir ini, penulis banyak mendapatkan

bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga melancarkan

penyusunan laporan tugas akhir ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan

segala kerendahan diri penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada :

1. DR. Ir. Bambang Widigdo, selaku Rektor Universitas Borneo Tarakan.

2. dr. Wiranegara Tan, S.IP MM, MHA, Ph.D, selaku Direktur Rumah Sakit

Umum Daerah Tarakan beserta segenap jajarannya yang telah memberi izin

pada penulis untuk melakukan praktik dan mengambil kasus di Rumah Sakit

Umum Daerah Tarakan.

3. Rahmi Padlillah, SST, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Borneo Tarakan.
vii

4. Hendy Lesmana, S.Kep., Ns. M.Kep, selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Borneo Tarakan, sekaligus pembimbing I dan penguji

I yang telah memberikan bimbingan kepada penulis juga kritik dan saran serta

motivasi selama proses bimbingan.

5. Paridah, S.Kep., Ns, selaku Ketua Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Borneo Tarakan, sekaligus penguji II yang telah

memberikan kritik dan saran serta motivasi selama proses perkuliahan.

6. Ramdya Akbar Tukan, S.Kep., Ns, selaku Sekretaris Jurusan Keperawatan

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Borneo Tarakan, yang telah

memberikan motivasi dan bimbingan selama proses perkuliahan.

7. Triana Jumarianti, S.Kep., Ns, selaku penasehat akademik serta pembimbing

II dan penguji III yang dengan kesabaran dan keuletannya beliau dalam

mengarahkan dan membimbing penulis selama proses laporan tugas akhir ini.

8. Muhammad Haryadi, S.Kep., Ns, selaku penguji dari Rumah Sakit Umum

Daerah Tarakan yang telah memberikan bimbingan kepada penulis juga kritik

dan saran serta motivasi.

9. Bapak dan Ibu Dosen beserta Staf Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Borneo Tarakan, terima kasih atas dukungan,

bimbingan dan bantuannya selama ini.

10. Kepala Ruang Perawatan Bedah Flamboyan beserta seluruh Staf Ruang

Perawatan Bedah Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah.


viii

11. Klien Tn. Y dan keluarga atas kerjasamanya sehingga penulis tidak banyak

mendapat kendala dalam memperoleh data dan memberikan asuhan

keperawatan sebagai pasien binaan.

12. Orang tua dan keluargaku yang tercinta, yang tiada henti memberikan doa,

motivasi, dukungan, semangat, nasihat serta bantuan baik moril maupun

materil selama menempuh pendidikan dan penyusunan laporan tugas akhir

ini.

13. Teman-teman mahasiswa Jurusan Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Univesitas Borneo Tarakan angkatan ke-IX yang telah menjadi teman dalam

suka dan duka selama menjalani perkuliahan, serta bantuan dan motivasi

dalam penyelesaian penuliasan laporan tugas akhir ini.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang membantu

penulis dalam penyusunan laporan tugas akhir ini.

Penulis menyadari laporan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna dan

masih membutuhkan perbaikan-perbaikan, oleh karena itu penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran dari Bapak dan Ibu Dosen, serta para pembaca.

Akhir kata penulis berharap semoga laporan tugas akhir ini dapat

bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan khusunya bagi perawat dalam usaha

peningkatan pelayanan kesehatan, sesuai dengan standar profesi keperawatan.

Tarakan, 16 Juli 2014

Supiana
ix

DAFTAR ISI

JUDUL UTAMA LAPORAN TUGAS AKHIR ........................................... i


ABSTRAK ..................................................................................................... ii
ABSTRACT................................................................................................... iii
HALAMAN JUDUL...................................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL.......................................................................................... xi
DAFTAR BAGAN ........................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xiii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang...................................................................... 1
B. Tujuan penulisan .................................................................. 3
C. Manfaat penulisan ................................................................ 4
D. Ruang lingkup ...................................................................... 5
E. Metode penulisan ................................................................. 5
F. Sistematika penulisan........................................................... 6
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Cedra Kepala........................................................................ 8
1. Definisi.......................................................................... 8
2. Anatomi fisiologi .......................................................... 8
3. Etiologi.......................................................................... 12
4. Patofisiologi .................................................................. 14
5. Manifestasi klinis .......................................................... 22
6. Pemeriksaan diagnostik................................................. 23
7. Penatalaksanaan ............................................................ 25
8. Komplikasi .................................................................... 46
B. Konsep Dasar Keperawatan ................................................. 54
1. Pengkajian..................................................................... 55
x

2. Penyimpangan KDM..................................................... 59
3. Diagnosa keperawatan .................................................. 60
4. Perencanaan .................................................................. 63
5. Implementasi................................................................. 107
6. Evaluasi......................................................................... 108
BAB III : LAPORAN KASUS
A. Pengkajian ............................................................................ 109
B. Penyimpangan KDM Tn. Y ................................................. 130
C. Diagnosa keperawatan ......................................................... 131
D. Perencanaan.......................................................................... 131
E. Implementasi ........................................................................ 136
F. Evaluasi ................................................................................ 154
BAB IV : PEMBAHASAN
A. Pengkajian ............................................................................ 157
B. Diagnosa keperawatan ......................................................... 161
C. Perencanaan.......................................................................... 168
D. Implementasi ........................................................................ 177
E. Evaluasi ................................................................................ 177
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 180
B. Saran..................................................................................... 183
KEPUSTAKAAN .......................................................................................... 185
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Pemeriksaan darah lengkap Tn. Y............................................ 122


Tabel 3.2. Pemeriksaan darah lengkap Tn. Y............................................ 122
Tabel 3.3. Terapi obat pada Tn. Y............................................................. 123
xii

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Penyimpangan KDM cedera kepala......................................... 59


Bagan 3.1. Genogram keluarga Tn. Y........................................................ 111
Bagan 3.2. Penyimpangan KDM Tn. Y ..................................................... 130
xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lembar konsul.
Surat pengantar ke Rekam Medik RSUD Tarakan.
Satuan acara penyuluhan.
Lembar balik.
Leaflet.
Prosedur tetap mengangkat drain.
Prosedur tetap perawatan luka tertutup.
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah kondisi dinamis manusia dalam rentang sehat sakit

yang merupakan hasil integrasi dengan lingkungan. Kondisi manusia dalam

rentang sehat-sakit merupakan bidang garapan keperawatan (Kusnanto,

2004).

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang

merupakan bagian dari integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada

ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan, bio, psiko, sosial, dan

spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan

masyarakat baik sakit maupun sehat dan mencakup seluruh proses kehidupan

manusia (Asmadi, 2008).

Proses keperawatan adalah suatu sistem dalam merencanakan

pelayanan asuhan keperawatan yang mempunyai empat tahapan, yaitu

pengkajian, perencanaan, pelaksanaan/implementasi, dan evaluasi. Alternatif

lain dari proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu meliputi pengkajian,

diagnosis, perencanaan, implementasi dan evaluasi (Lismidar, 2005).

Dalam mewujudkan dan mempertahankan suatu keadaan sehat, bukan

suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Dibutuhkan suatu upaya keras dalam

mewujudkan tujuan tersebut. Tahap demi tahap harus dilakukan, termasuk

didalamnya upaya penanganan penyakit secara berkesinambungan harus

dilakukan seoptimal mungkin. Salah satu diantaranya adalah penanganan


2

terhadap cedera kepala (Hidayat, 2008). Cedera kepala merupakan salah satu

penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan

sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2000).

Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera

kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang

memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua pertiga dari kasus berusia di

bawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita (Smeltzer

dan Bare, 2002).

Di Amerika, cedera kepala merupakan penyebab kematian terbesar.

Terdapat 100.000 sampai dengan 150.000 anak berusia kurang dari 15 tahun

dirawat di rumah sakit setiap tahunnya karena cedera kepala (Dewanto,

2009).

Di Indonesia, data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan

Cedera Kepala Ringan (CKR), 15%-20% Cedera Kepala Sedang (CKS), dan

sekitar 10% dengan Cedera Kepala Berat (CKB). Angka kematian tertinggi

sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada

yang meninggal (Irwana, 2009).

Prevalensi cedera kepala di Kalimantan Barat mencapai 11,6%, di

Kalimantan Tengah mencapai 10,8%, Kalimantan Selatan mencapai 9,4% dan

prevalensi tertinggi terjadi di Kalimantan Timur yaitu mencapai 13,1%

(Riskesdas, 2013).
3

Data prevalensi cedera kepala di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan

pada tahun 2012 sebanyak 409 kasus yang terdiri dari laki-laki sebanyak 241

orang dan perempuan sebanyak 168 orang dan terdapat 18 orang yang

meninggal, pada tahun 2013 sebanyak 489 kasus yang terdiri dari laki-laki

sebanyak 366 orang dan perempuan sebanyak 123 orang dan terdapat 21

orang yang meninggal.

Berdasarkan prevalensi di atas, kasus cedera kepala di Kota Tarakan

dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2013 mengalami peningkatan sebanyak

80 kasus, sehingga hal ini menjadi latar belakang penulis tertarik dalam

mengambil kasus ini sebagai laporan tugas akhir dan sebagai upaya

memperdalam penerapan asuhan keperawatan pada Tn. Y dengan post

kraniotomi et causa cedera kepala berat.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan laporan tugas akhir ini, dibagi menjadi dua yaitu :

1. Tujuan umum

Mendapatkan pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan pada

Tn. Y dengan post kraniotomi et causa cedera kepala berat dengan

menggunakan pendekatan proses keperawatan secara holistik dan

komprehensif.

2. Tujuan khusus

a. Melaksanakan proses keperawatan pada Tn. Y dengan post

kraniotomi et causa cedera kepala berat.


4

b. Membandingkan antara teori dan praktik asuhan keperawatan pada

Tn. Y dengan post kraniotomi et causa cedera kepala berat.

c. Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam

melaksanakan proses keperawatan pada Tn. Y dengan post kraniotomi

et causa cedera kepala berat.

d. Melaksanakan pemecahan masalah pada Tn. Y dengan post

kraniotomi et causa cedera kepala berat.

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi pasien dan keluarga

Mendapatkan pemecahan masalah yang terjadi pada klien dengan

pertimbangan-pertimbangan yang baik, kemudian memberikan informasi

yang sesuai agar klien dan keluarga menjaga pola hidup sehat dan rutin

memeriksakan kondisi kesehatan pada pelayanan kesehatan terdekat.

2. Bagi mahasiswa

Mahasiswa dapat menerapkan konsep teori tentang asuhan

keperawatan yang dilaksanakan pada Tn. Y dengan post kraniotomi et

causa cedera kepala berat.

3. Bagi institusi

Tercapainya tujuan pembelajaran asuhan keperawatan yang

dilaksanakan pada Tn. Y dengan post kraniotomi et causa cedera kepala

berat.

4. Bagi profesi keperawatan

Meningkatkan mutu kerja bagi profesi keperawatan.


5

D. Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian di atas, maka ruang lingkup pembahasan laporan

tugas akhir ini mencakup pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. Y

dengan post kraniotomi et causa cedera kepala berat di Ruang Perawatan

Bedah Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan selama tiga hari

terhitung sejak tanggal 03 Juli 2014 sampai dengan 05 Juli 2014.

E. Metode Penulisan

Dalam penyusunan laporan tugas akhir ini penulis menggunakan

metode deskriptif dengan tipe studi kasus, yaitu metode ilmiah yang

menggambarkan keadaan yang sedang terjadi, dan semua kegiatan hanya

memusatkan perhatian pada satu kasus secara intensif, dimulai dari

pengumpulan data, analisa data, merumuskan masalah, intervensi dan

implementasi, yang telah dilakukan.

Data-data yang terhimpun dalam laporan tugas akhir ini diperoleh

dengan cara :

1. Pengamatan/observasi

Mengamati perilaku dan keadaan klien untuk memperoleh data

tentang masalah kesehatan dan keperawatan klien.

2. Wawancara

Data yang didapatkan dari pasien dan orang terdekat lannya

melalui percakapan dan pengamatan. Data dapat dikumpulkan selama satu

periode kontak atau lebih dan harus mencakup semua data yang relevan.

Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara tanya jawab


6

langsung dengan klien (auto anamnese) dan keluarga atau orang tertentu

yang mengetahui pasti keadaan klien (allo anamnese), sehingga dapat

diperoleh data yang akurat.

3. Pemeriksaan fisik head to toe

Pengumpulan data dengan melakukan pemeriksaan fisik secara

keseluruhan melalui empat tahap yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan

auskultasi.

4. Studi dokumentasi

Data diperoleh dari dokumentasi yang terdapat pada catatan

perawat dan catatan tim kesehatan lainnya yang berhubungan dengan

kasus klien.

5. Studi kepustakaan

Dapat berupa buku-buku, artikel, dan sumber lain yang

berhubungan dengan judul serta permasalahan dalam laporan tugas akhir

ini.

F. Sistematika Penulisan

Secara sistematis laporan tugas akhir ini dibagi dalam lima bab, yaitu :

Bab I pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, ruang lingkup, metode penulisan, dan sistematika

penulisan.

Bab II landasan teori, yang terbagi menjadi dua bahasan yang pertama

yaitu konsep dasar penyakit yang terdiri dari definisi, anatomi fisiologi,

etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemerikasaan diagnostik,


7

penatalaksanaan, dan komplikasi, dan yang kedua yaitu asuhan keperawatan

yang terdiri dari pengkajian, penyimpangan KDM, diagnosa keperawatan,

perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

Bab III tinjauan kasus, yang terdiri dari pengkajian, penyimpangan

KDM, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

Bab IV pembahasan, yang berisi perbandingan atau perbedaan antara

proses keperawatan secara teoritis dengan aplikasi nyata di lapangan, dengan

kesenjangan tersebut nantinya akan dibahas berdasarkan hasil pengkajian,

diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

Bab V penutup, berisi kesimpulan dari seluruh penulisan laporan tugas

akhir ini dan saran yang ditunjukan untuk perbaikan selanjutnya.


8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Cedera Kepala

1. Pengertian

Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)

yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan

struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Bararah, 2013).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan

kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi

akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2000).

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak

yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi

otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Tarwoto, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cedera kepala

adalah gangguan traumatik yang mengganggu fungsi otak dan

merupakan salah satu penyebab kecacatan atau kematian akibat

terputusnya kontinuitas jaringan kepala.

2. Anatomi Fisiologi

Menurut Pusponegoro (2012), anatomi fisiologi otak terdiri dari :

a. Kulit kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :

1) Skin atau kulit kepala.

2) Connective tissue atau jaringan penyambung.


9

3) Aponeurosis atau jaringan ikat yang berhubungan langsung

dengan tengkorak.

4) Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.

5) Perikranium.

b. Tulang kepala

Tulang kepala terdiri dari kalvaria (atap tengkorak), dan basis

kranium (dasar tengkorak). Basis kranii berbentuk tidak rata dan

tidak teratur sehingga bila terjadi cedera kepala dapat menyebabkan

kerusakan pada bagian dasar tengkorak yang bergerak akibat cedera

akselerasi dan deselerasi. Rongga dasar tengkorak terbagi menjadi

tiga fosa yaitu :

1) Fosa anterior / Lobus frontalis.

2) Fosa media / Lobus temporalis.

3) Fosa posterior / ruang batang otak dan cerebellum.

c. Isi tengkorak

1) Lapisan pelindung otak (Meningen).

Meningen terdiri dari 3 lapisan, yakni durameter adalah

selaput yang keras (menempel ketat pada bagian dalam

tengkorak), terdiri atas jaringan ikat fibrosa melekat erat di bagian

dalam cranium. Namun durameter tidak melekat pada selaput

arakhnoid dibawahnya sehingga potensial terdapat ruangan yang

menyimpan darah yang disebut ruang subdural atau perdarahan

subdural. Lapisan kedua adalah arakhnoid yang tipis dan tembus


10

pandang. Lapisan ketiga adalah piameter (menempel ketat pada

permukaan korteks serebri). Cairan serebrospinal bersirkulasi

diantara selaput arakhnoid dan piameter dalam ruang

subarachnoid.

Gambar 2.1 Lapisan pelindung otak (ruslan, 2009)

2) Otak

Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak.

Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan hemisfer kiri yang

dipisahkan oleh falk serebri, yaitu lipatan durameter yang berada

di sinus sagitalis superior. Pada hemisfer kiri terdapat pusat bicara

manusia yang bekerja dengan menggunakan tangan kanan, juga

85% pada orang yang bekerja dengan tangan kiri. Lobus frontalis

berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik, dan pada sisi

dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik).

Lobus parietalis berhubungan dengan fungsi sensorik dan

orientasi ruang. Lobus temporalis mengatur fungsi memori


11

tertentu. Lobus oksipital berukuran lebih kecil dan berfungsi

untuk penglihatan.

Batang otak, terdiri dari mesensefalon, pons, dan medulla

oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem

aktivasi retikulasi yang berfungsi mengatur fungsi kesadaran dan

kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat vital

kardiorespiratorik sampai medulla spinalis dibawahnya (kauda

inguinal).

Serebelum berfungsi mengatur fungsi koordinasi dan

keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior, berhubungan

dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.

3) Cairan serebrospinal

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus

khoroideus dengan kemampuan produksi sebanyak 30 ml/jam.

Pleksus khoroideus terletak pada ventrikel lateralis naik sebelah

kanan maupun kiri, mengalir melaui foramen Monroe ke ventrikel

ketiga. Selanjutnya dari ventrikel ketiga mengalir melalui

aquaduktus dari sylvius menuju ventrikel keempat. Selanjutnya

keluar melalui ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarachnoid

yang berada diseluruh permukaan otak dan medulla spinalis. CSS

akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio

arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya

darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid


12

sehingga mengganggu penyerapan CSS dan dapat menyebabkan

kenaikan tekanan intra kranial.

3. Etiologi

Menurut Corwin (2009), penyebab cedera kepala adalah

kecelakaan mobil, perkelahian, jatuh, cedera olahraga, dan cedera kepala

terbuka sering disebabkan oleh luka karena peluru atau pisau.

Menurut Brain Injury Associatition of America, penyebab utama

trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu

lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum

sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan dimedan

perang merupakan penyebab utama trauma kepala.

Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap

pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dari 29,5 per 100.000 populasi.

Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala

mencatat sebanyak 7,1 per 100.000 populasi di Amerika Serikat

(Bararah, 2013).

Menurut Morton (2012), mekanisme khas cedera kepala meliputi

cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselerasi, coup-conter cuop, dan

cedera rotasional.

a. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala

yang tidak bergerak (misal; alat pemukul menghantam kepala atau

peluru yang ditembakkan ke kepala).


13

b. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek

yang diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika

kepala membentur kaca depan mobil. Cedera akselerasi-deselerasi

sering kali terjadi pada kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan

episode kekerasan fisik.

c. Cedera coup-contre coup terjadi jika kepala terbentur , yang

menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat

mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala

yang pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera

translasional karena benturan dapat berpindah ke area otak yang

berlawanan. Sebagai contoh, apabila seorang pasien dipukul dengan

objek tumpul pada bagian belakang kepalanya, penting untuk

mengkaji apakah terdapat cedera pada lobus frrontalis dan lobus

oksipital serta serebelum.

d. Cedera rotasional terjadi jika pemukulan/benturan menyebabkan

otak berputar dalam rongga tengkorak yang mengakibatkan

peregangan atau robekan neuron dalam subtansi alba serta robeknya

pembuluh darah yang mefiksasi otak dengan bagian dalam rongga

tengkorak.
14

4. Patofisiologi

Menurut Padila (2012), patofisiologi cedera kepala dibagi atas

beberapa macam antara lain yaitu :

a. Cedera otak primer

Cedera otak primer adalah cedera otak yang terjadi segera

setelah cedera kepala baik akibat impact injury maupun akibat gaya

akselerasi-deselerasi (cedera otak primer ini dapat berlanjut menjadi

cedera otak sekunder) jika cedera primer tidak mendapatkan

penanganan yang baik, maka cedera primer dapat menjadi sekunder.

1) Cedera pada SCALP

Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya

adalah melindungi jaringan otak dengan cara menyerap sebagian

gaya yang akan diteruskan melewati jaringan otak. Cedera pada

SCALP dapat berupa exoriasi, vulnus, hematom subcutan,

hematom subgaleal, hematom subperiosteal. Pada exoriasi dapat

dilakukan wound toilet. Sedangkan pada vulnus apertum harus

dilihat jika vulnus tersebut sampai mengenai galea aponeurotika

maka galea harus dijahit (untuk menghindari dead space

sedangkan pada subcutan mengandung banyak pembuluh darah

demikian juga rambut banyak mengandung kuman sehingga

adanya hematom dan kuman menyebabkan terjadinya infeksi).


15

2) Fraktur linier kalvaria

Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung

yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak

menyebabkan tulang kepala “bending” dan terjadi fragmen

fraktur yang masuk ke dalam rongga intrakranial, tatapi tidak ada

terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi gaya yang

menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka

kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar.

3) Fraktur depresi

Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen

dari fraktur masuk ke dalam rongga intrakranial minimal setebal

tulang fragmen tersebut, berdasarkan pernah tidaknya fragmen

berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi dibagi

menjadi 2 yaitu fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi

terbuka.

a) Fraktur depresi tertutup

Pada fraktur depresi tertutup biasnya tidak dilakukan

tindakan operatif kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan

gangguan neurologis, misal kejang-kejang, hemiparese/plegi,

penurunan kesadaran. Tindakan yang dilakukan adalah

mengangkat fragmen tulang yang menyebabkan penekanan

jaringan otak, setelah mengembalikan dengan fiksasi pada

tulang disebelahnya, sedangkan fraktur depresi di daerah


16

temporal tanpa disertai adanya gangguan neurologis tidak

perlu dilakukan operasi.

b) Fraktur depresi terbuka

Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan

operatif debridement untuk mencegah terjadinya proses

infeksi (meningoencephalitis) yaitu mengangkat fragmen

yang masuk, membuang jaringan devitalized seperti jaringan

nekrosis benda-benda asing, evakuasi hematom, kemudian

menjahit durameter secara water tight/kedap air kemudian

fragmen tulang dapat dikembalikan ataupun dibuang, fragmen

tulang dikembalikan jika tidak melebihi “golden periode” 24

jam, durameter tidak tegang jika fragmen tulang berupa

potongan-potongan kecil maka pengembalian tulang dapat

secara “mozaik”.

4) Fraktur basis cranii

Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur

di daerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis cranii

tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter

daerah basis cranii lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria,

durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang

dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah

basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan

bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom,


17

batle’s sign, lesi nervus cranialis yang paling sering N I

(olfaktorius), N VII (facialis), dan N VIII (audiotorius).

b. Komosio serebri

Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak

tanpa adanya kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cedera

kepala. Sedangkan secara klinis didapatkan penderita pernah atau

sedang tidak sadar selama kurang dari 15 menit, disertai sakit kepala,

pusing, mual, muntah, adanya amnesia retrogrede ataupun antegrade.

Pada pemeriksaan radiologi CT scan tidak didaptkan adanya

kelainan.

c. Kontusio serebri

Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai

gangguan fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara

klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama

lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat

kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, aphasia desertai

gejala mual-muntah, pusing, sakit kepala, amnesia

retrograde/antegrade, pada pemeriksaan CT scan didapatkan

hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri

menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia arachnoid pada

daerah yang mengalami kontusio serebri yang gambaran pada CT

scan disebut “pulp brain”.


18

d. Epidural hematom (EDH)

Epidural hematom adalah yang terletak antara durameter dan

tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya arteri

medigial media. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan

kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-

tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa

hemiparese/plegi, pupil anisokor, reflek patologis satu sisi. Adanya

lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH.

Pupil anisokor/dilatasi dan jelas pada kepala letaknya satu sisi dengan

lokasi EDH sedangkan hemiparese/plegi letaknya kontralateral

dengan lokasi EDH.

e. Subdural hematom (SDH)

Secara definis subdural hematom adalah hematom yang

terletak di bawah lapisan durameter dengan sumber perdarahan dapat

berasal dari bridging vein, A/V cortical, sinus venosus duralis.

Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom

dibagi menjadi 3 meliputi subdural hematom akut terjadi kurang dari

3 hari dari kejadian, subdural hematom subakut terjadi antara 3 hari -

3 minggu, subdural hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari

3 minggu. Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara

durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi

akibat pecahnya pembuluh daran vena/jembatan vena yang biasanya


19

terjadi antara durameter, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut

dapat terjadi dalam 48 jam - 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.

f. Intracerebral hematom (ICH)

Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada

jaringan otak akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam

jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan

kesadaran yang kadang-kadang sertai dengan lateralisasi, pada

pemeriksaan CT scan didapatkannya adanya daerah hiperdens yang

indikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3 cm,

perifer, adanya pergeseran garis tengah, secara klinis hematom

tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi.

g. Cedera otak sekunder

Cedera otak sekunder terjadi akibat dari cedera otak primer

yang tidak mendapatkan penanganan dengan baik (sehingga terjadi

hipoksia) serta adanya proses metabolisme dan neurotransmiter serta

respon inflamasi pada jaringan otak maka cedera otak primer berubah

menjadi otak sekunder yang meliputi edema serebri, infark serebri,

penigkatan takanan intra kranial.:

1) Edema serebri

Penambahan air pada jaringan otak/sel-sel otak, pada

kasusu cedera kepala terdapat 2 macam edema serebri yaitu :


20

a) Edema serebri vasogenik

Terjadi jika terdapat robekan dari blood brain barrier

(sawar darah otak) sehingga solut intravaskuler (plasma

darah) ikut masuk dalam jaringan otak (ekstraseluler) di mana

tekanan osmotik dari plasma darah ini lebih besar daripada

tekanan osmotik aliran intraseluler. Akibatnya terjadi reaksi

osmotik di mana cairan intrasesluler, yang tekanan

osmotiknya lebih rendah akan ditarik oleh cairan ekstra

seluler keluar dari sel melewati membran sel sehingga terjadi

edema seluler sedangkan sel-sel otak mengalami pengosongan

(shringkage).

b) Edema serebri sitostatik

Terjadi jika suplai oksigen ke dalam jaringan otak

berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari

jaringan otak (pada keadaan aerob maka metabolisme 1

molekul glukose akan diubah menjadi 38 ATP dan H2O).

Sedangkan dalam keadaan anerob maka 1 molekul glukose

akan diubah menjadi 2 ATP dan H2O karena kekurangan

ATP maka tidak ada tenaga yang dapat digunakan untuk

menjalankan proses pompa natrium kalium untuk pertukaran

kation dan anion antara intra seluler dan ekstra seluler di

mana pada proses tersebut memerlukan ATP akibatnya

natrium yang seharusnya dipompa keluar dari sel menjadi


21

masuk ke dalam sel bersama masuknya natrium. Maka air ikut

masuk ke dalam sel sehingga terjadi edema intra seluler.

2) Tekanan intra kranial

Kompertement rongga kepala orang dewasa rigid tidak

dapat berkembang yang terisi 3 komponen yaitu jaringan otak

seberat 1.200 gram, cairan liquor serebrospinal seberat 150 gram,

darah dan pembuluh darah seberat 150 gram. Menurut Doktri

Monro-Kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala

adalah konstan jika terdapat penambahan massa (misal hematom,

edema, tumor dan abses) maka sebagian dari komponen tersebut

mengalami kompensasi/bergeser, yang mula-mula ataupun canali

centralis yang ada di medula spinalis yang tampak pada klinis

penderita mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan

berat. Jika kompensasi dari cairan serebrospinalis sudah

terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus

berlangsung, maka terjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi

pembuluh darah dan isinya yang bertujuan mengurangi isi rongga

intrakranial. Dengan cara vaso kontriksi yang berakibat tekanan

darah meningkat, denytut nadi menurun (bradikardia), merupakan

tanda awal peningkatan tekanan intrakranial, kedua tanda ini jika

diserta dengan gangguan pola nafas disebut trias cushing. Jika

kompensasi kedua komponen isi rongga intrakranial sudah

terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus


22

berlangsung maka jaringan otak akan melakukan kompensasi

yaitu berpindah ke tempat yang kosong (locus minoris),

perpindahan jaringan otak tersebut disebut herniasi serebri.

Tanda-tanda klinis herniasi serebri tergantung dari macamnya,

pada umumnya klinis dari peningkatan terkanan intrakranial

adalah nyeri kepala, mual, muntah, pupil bendung.

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis cedera otak menurut Smeltzer dan Bare (2002),

meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-

tiba defisit neurologik, perubahan tanda mental, mungkin ada gangguan

penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala,

vertigo, gangguan pergerakan, dan kejang. Cedera sistem saraf pusat

tidak menyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan

kemungkinan cedera multisistem.

Adapun manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000), yaitu :

a. Cedera kepala ringan (Kelompok risiko rendah).

1) Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orintatif).

2) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi).

3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang.

4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.

5) Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit

kepala.

6) Tidak ada kriteria cedera sedang-berat.


23

b. Cedera kepala sedang (Kelompok risiko sedang).

1) Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, latergi, atau stupor).

2) Konkusi.

3) Amnesia pasca-trauma.

4) Muntah.

5) Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun,

hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal).

6) Kejang.

c. Cedera kepala berat (Kelompok resiko berat).

1) Skor skala koma Glasgow 3-8 (Koma).

2) Penurunan derajat kesadaran secara progresif.

3) Tanda neurologis fokal.

4) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

6. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Doenges (2000), pemeriksaan diagnostik pada cedera

kepala meliputi :

a. Scan CT (Tanpa/Dengan Kontras)

Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan ukuran

ventrikel, pergeseran jaringan otak. Catatan : pemeriksaan berulang

mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin tidak

terdeteksi dalam 24-72 jam pascatrauma.

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Sama dengan Scan CT dengan/tanpa menggunakan kontras.


24

c. Angiografi Serebral

Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran

jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.

d. Elektro Enselo Grafi (EEG)

Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya

gelombang patologis.

e. Sinar X

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),

pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema),

adanya fragmen tulang.

f. Brain Auditory Evoked Respons (BAER)

Menentukan fungsi korteks dan batang otak.

g. Positron Emission Tomography (PET)

Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.

h. Pungsi Lumbal, Cairan Serebro Spinal (CSS)

Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan

subarakhnoid.

i. Gas Darah Arteri (GDA)

Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang

akan dapat meningkatkan TIK.

j. Kimia/elektrolit darah

Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam

meningkatkan TIK/perubahan mental.


25

k. Pemeriksaan toksikologi

Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap

penurunan kesadaran.

l. Kadar antikonvulsan darah

Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup

efektif untuk mengatasi kejang.

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala menurut Mutaqqin

(2011) adalah :

a. B1 (Breating)

Perubahan pada sistem pernafasan bergantung pada gradasi

dari perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada

beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan fisik dari sistem ini akan

didapatkan :

1) Inspeksi

Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,

sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan

frekuensi pernafasan. Terdapat retraksi klavikula/dada,

pengembangan paru tidak semetris. Ekspansi dada : dinilai

penuh/tidak penuhdan kesimentrisannya. Ketidaksimetrisan

mungkin menunjukkan adanya atelektaksis, lesi pada paru,

obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pneumothoraks, atau

penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang


26

tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi

dari otot-otot interkostal, subternal, pernafasan abdomen, dan

respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola nafas

ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu

menggerakkan dinding dada.

2) Palpasi

Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain

akan didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga

thoraks.

3) Perkusi

Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan

melibatkan trauma pada thoraks/hematothoraks.

4) Auskultasi

Bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, stridor,

ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan

kemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada klien

cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.

Pada klien cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi pusat

pernafasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan

biasanya klien dirawat di ruang perawatan intensif sampai kondisi

klien menjadi stabil. Pengkajian klien cedera otak berat dengan

pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan jalur

keperawatan kritis.
27

Pada klien dengan tingkat kesadaran komposmentis pada

pengkajian inspeksi pernafasan tidak ada kelainan. Palpasi thoraks

didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak

didapatkan bunyi nafas tambahan.

b. B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardivaskuler didapatkan renjatan

(syok) hipovolemik yang sering terjasdi pada klien cedera kepala

sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardivaskuler klien cedera

kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah

normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia.

Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostasis

tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.

Nadi bradikardi merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan

otak. Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar

hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan

perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu syok. Pada beberapa

keadan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang pelepasan

antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak pada kompensasi tubuh

untuk melakukan retansi atau pengeluaran garam dan air oleh

tubulus. Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektrolit

meningkat sehingga memberika risiko terjadinya gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler.


28

c. B3 (Brain)

Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis

terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial

akibat adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,

subdural hematoma, dan epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain)

merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan

pengkajian pada sistem lainnya.

1) Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan

adalah indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem

persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat

peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran. Pada

keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya

berkisar pasa tingkat latergi, stupor, semikomatosa, sampai

koma.

2) Pemeriksaan fungsi serebral

a) Status mental

Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai

gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan

aktivitas motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut

biasanya status mental mengalami perubahan.


29

b) Fungsi intelektual

Pada beberapa keadaan klien cedera kepala

didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik

jangka pendek maupun jangka panjang.

c) Lobus frontal

Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis

didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya

kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi

intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.

Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian

terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang

motivasi, yang menyebabkan klien ini mengahadapi

masalah prustrasi dalam program rehabilitasi mereka.

Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan

dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan,

frustrasi, dendam, dan kurang kerjasama.

d) Hemisfer

Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemifarese

sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai

kerentangan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan

terjatuh ke sisi yang berlawanan, perilaku lambat dan sangat

hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia

global, afasia, dan mudah prustasi.


30

3) Pemeriksaan saraf kranial

a) Saraf I (Olfaktorius)

Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang

merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan

mengalami kelainan pada fungsi penciuman/anosmia

unilateral atau bilateral

b) Safat II (Optikus)

Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan

menurunkan lapangan penglihatan dan menggangu fungsi

dari nervus optikus. Perdarahan di ruang intrakranial,

terutama hemoragia subaraknoidal, dapat disertai dengan

perdarahan di retina. Anomali pembuluh darah di dalam

otak dapat bermanifestasi juga di fundus. Tetapi dari segala

macam kelainan di dalam ruang intrakranial, tekanan

intrakranial dapat dicerminkan pada fundus.

c) Saraf III (Okulomotorius), IV (Troklearis), dan VI

(Abdusen)

Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada

klien dengan trauma yang merusak rongga orbita. Pada

kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai anisokoria.

Gejala ini harus dianggap sebagai tanda serius jika midriasis

itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal herniasi

tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi terdahap


31

penyinaran. Paraliris otot-otot okuler akan menyusul pada

tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat

anisokoria di mana bukannya midriasis yang ditemukan,

melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang

normal pada sisi yang lain, maka pupil yang bermiosislah

yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi di lobus

frontalis ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal.

Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal menjadi tidak

aktif, sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan

berkonstriksi.

d) Saraf V (Trigeminus)

Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan

paralisis nervus trigeminus, didapatkan penurunan

kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.

e) Saraf VII (Facialis)

Persepsi pengecapan mengalami perubahan.

f) Saraf VIII (Audiotorius)

Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera

kepala ringanbiasanya tidak didapatkan apabila trauma yang

terjadi tidak melibatkan saraf vertibulokoklearis.

g) Saraf IX (Glosofaringeus) dan X (Vagus)

Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran

membuka mulut.
32

h) Saraf XI (Aksesorius)

Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas

klien cukup baik dan tidak ada atrofi otot

sternokledomastoideus dan trapezius.

i) Saraf XII (Hipoglosus)

Indra pengecapan mengalami perubahan.

4) Sistem motorik

a) Insoeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah

satu skarena lesi pada sisi otak yang berlawanan.

Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda

yang lain.

b) Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.

c) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade

kekuatan otot didapatkan grade 0.

d) Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami

gangguan karena hemiparese dan hemiplegia.

5) Pemeriksaan refleks

a) Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon,

ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respons

normal.

b) Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks

fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah


33

beberapa hari refleks fisiologis akan muncul didahului

refleks patologis.

6) Sistem Sensorik

Dapat terjadi hemihipestesi. Persepsi adalah

ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi

persepsi visual karena gangguan jaras sensorik primer di antara

mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visualspasial

(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area

spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.

Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa

kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih besar, dengan

kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi

dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam

menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan audiorius.

d. B4 (Bladder)

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik,

termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan

retensi cairan dapat terjadi akibat menurunya perfusi ginjal. Setelah

cedera kepala klien mungkin mengalami inkontinensia unrine karena

konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan

ketidak mampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan

kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol spingter

urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini,


34

dilakukan katerisasi unterminten dengan teknik steril. Inkontenensia

unrine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

e. B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan

menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah

dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga

menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya

terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya

inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis

luas.

Pemeriksaan rongga mulut dengan menggunakan penilaian ada

tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat

menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk

menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji

sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau

menghilang dapat terjadi pada paralitik ilius dan peritonitis. Lakukan

observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus

sapat terjadi akibat teetelannya udara yang berasal dari sekitar selang

endotrakeal dan nasotrakeal.

f. B6 (Bone)

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada

seluruh ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor

kulit. Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukkan


35

adanya sianosis (ujung kaki, ekstremitas, telinga, hidung, bibir, dan

membrane mukosa). Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat

berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat

dan sianosis pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi

akibat adanya hipoksemia. Jaudice (warna kuning) pada klien yang

menggunakan reapirator dapat terjadi akibat penurunan aliran darah

portal akibat dari penggunaan packed red cells (PRC) dalam jangka

waktu lama. Pada klien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut

tidak begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat

menunjukkan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk

menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk

beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik atau

paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola

aktivitas dan istirahat.

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), individu dengan cedera kepala

diasumsikan mengalami cedera medulla servikal sampai terbukti

demikian. Semua terapi diarahkan untuk mempertahankan homeostatis

otak dan mencegah kerusakan otak sekunder. Tindakan ini mencakup

stabilisasi kardiovaskular dan fungsi pernapasan untuk mempertahankan

perfusi serebral adekuat. Hemoragi terkontrol, hipovolemia diperbaiki,

dan nilai gas darah dipertahankan pada nilai yang diinginkan.


36

a. Tindakan terhadap peningkatan TIK

Pada saat otak yang rusak membengkak atau terjadi

penumpukan darah yang cepat, terjadi peningkatan TIK dan

memerlukan tindakan segera. TIK dipantau dengan ketat dan bila

meningkat, keadaan ini diatasi dengan mempertahankan oksigenasi

adekuat, pemberian manitol, yang mengurangi edema serebral

dengan dehidrasi osmotik; hiperventilasi; penggunaan steroid;

peningkatan kepala tempat tidur; dan kemungkinan intervensi bedah

neuro. Pembedahan diperlukan untuk evakusi bekuan darah, dan

jahitan terhadap laserasi kulit kepala berat. Alat untuk memantau

TIK dapat dipasang selama pembedahan atau dengan teknik aseptik

di tempat tidur. Pasien dirawat di unit perawatan intensif di mana

ada perawatan ahli keperawatan dan medis.

b. Tindakan pendukung lain

Tindakan juga mencakup dukungan ventilasi, pencegahan

kejang, dan pemeliharaan cairan, elektrolit, dan keseimbangan

nutrisi. Pasien cedera kepala hebat yang koma diintubasi dan

diventilasi mekanis untuk mengontrol dan melindungi jalan napas.

Hiperventilasi terkontrol juga mencakup hipokapnia, yang mencegah

vasodilatasi, menurunkan aliran darah serebral, menurunkan volume

darah serebral, dan kemudian menurunkan TIK.


37

Karena kejang umum terjadi setelah cedera kepala dan dapat

menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia, terapi

antikonvulsan dapat dimulai.

Bila pasien sangat teragitasi, klorpromazin dapat diberikan

untuk menenangkan pasien tanpa menurunkan tingkat kesadaran.

Selang nasogastrik dapat dipasang, bila mobilitas lambung menurun

dan peristaltik terbalik dikaitkan dengan cedera kepala, dengan

membuat regurgitasi umum pada beberapa jam pertama (Smeltzer

dan Bare, 2002).

c. Penatalaksanaan kegawatdaruratan

Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala menurut

Pusponegoro (2012) adalah :

1) Primary survey dan resusitasi

Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya

fraktur servikal. Cedera otak sering diperburuk akibat cedera

sekunder. Oleh karena itu tindakan stabilisasi dan resusitasi

kardiopulmoner harus segera dilakukan.

2) Airway dan breathing

Intubasi Endotrakeal (ETT)/Laryngeal Mask Airway

(LMA) harus segera dipasang pada penderita cedera kepala

berat yang koma, dilakukan ventilasi dan oksigenisasi 100% dan

pemasangan monitor saturasi oksigen. Gangguan airway dan

breathing sangat berbahaya pada trauma kepala karena akan


38

dapat menimbulkan hipoksia atau hiperkarbia yang kemudian

akan menyebabkan kerusakan otak sekunder.

3) Circulation

Hipotensi merupakan tanda klinis kehilangan darah yang

cukup hebat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Penderita

hipotensi tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun dapat

memberi respon normal segera setelah tekanan darah normal.

Gangguan circulation (syok) akan menyebabkan gangguan

perfusi darah ke otak yang akan menyebabkan kerusakan otak

sekunder. Dengan demikian syok dengan cedera kepala harus

dilakukan penanganan dengan agresif.

4) Pemeriksaan neurologis/disability

Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan GCS dan refleks

cahaya pupil yang dilakukan sebelum pemberian sedasi atau

paralisis, karena akan menjadi dasar pada pemeriksaan

berikutnya.

5) Secondary survey

Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi dan reflek

pupil) harus segera dilakukan untuk deteksi dini gangguan

neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal adalah

dilatasi pupil dan hilangnya reflek pupil terhadap cahaya,

adanya trauma langsung pada mata, sering merupakan penyebab

abnormalitas respon pupil dan menyebabkan pemeriksaan pupil


39

mata menjadi sulit, namun harus tetap dipikirkan adanya trauma

kepala pada penderita cedera kepala berat.

d. Pendekatan bedah.

Kraniotomi dilakukan untuk mengangkat abnormalitas yang

menepati ruang seperti tumor, kista atau malvormasi vaskular.

Prosedur ini juga mungkin dibutuhkan pada keadaan darurat untuk

mengevaluasi hematoma atau membalik sindrome herniasi. Jika

mungkin kraniotomi juga dapat digunakan untuk coiling atau

menjepit aeurisma.

Pada prosedur ini, insisi kulit dibuat, flap tulang diangkat, dura

dibuka, dan tumor direseksi atau dibiopsi. Pasien bedah saraf

mempunyai kebutuhan farmakologis intraoperatif yang cukup

berbeda. Ahli anastesi saraf memberikan agends yang menghasilkan

efek anestetik yang dibutuhkan dengan tetap meminimalkan resiko

peningkatan TIK atau menurunkan ambang kejang. Kemampuan

reversibel yang cepat juga amat penting pada pasien yang menjalani

kraniotomi karena status neurologis pasca operatifnya perlu dikaji

dengan cepat.

Selain alat yang digunakan selama pembedahan untuk

memaksimalkan keamanan dan efisiensi, terdapat alat spesifik untuk

pemantauan intraoperatif yang dapat meningkatkan hasil akhir

pasien ini. Selama 10 sasmpai 15 tahun terakhir, telah terjadi

kemajuan yang seknifikan. Ultrasonografi telah menjadi standar


40

pemantauan bedah saraf selama beberapa tahun karena dapat

membedakan lesi abnormal dari jaringan otak normal dan edema.

Jaringan abnormal yang tersisa juga dapat diidentifikasi sebelum

penutupan, frameless stereotaxy adalah sebuah sistem nafigasi

intraoperatif yang digunakan untuk menghasilkan gambaran tumor

tiga dimensi. CT scan atau MRI dilakukan sebelum pembedahan dan

kulit kepala diberikan tanda (standar perbandingan). Hasil pencitraan

dari komputer kemudian ditampilkan di kamar operasi dari

pencitraan tersebut. Diperkirakan bahwa prosedur ini meningkatkan

keamanan dan keefektifan bedah dengan mengurangi ukuran

kraniotomi, meminimalkan manipulasi otak, dan memaksimalkan

reseksi tumor. Pemetaan kortikal digunakan untuk masa diarea

elokuen otak. Somatosensory evoked potential (SSEP) direkam

selama pembedahan dibawa pengaruh anastesia untuk mengkaji

hubungan antara strip motorik dan lesi yang akan direseksi.

Rangsangan kortikal langsung memberi tahu letak korteks sensori

motorik dan juga digunakan untuk meminimalkan defisit neurologis

dan memaksimalkan pengangkatan tumor. Pada beberapa kasus,

kendali kejang yang lebih baik juga dicapai dengan prosedur ini.

Rangsang kortikal langsung membutuhkan anastesia lokal dan pasien

akan sadar selama sebagian besar prosedur.

Kraniotomi telah dilengkapi dengan pemakaian mikroskop,

kaca pembesar operasi, rektraktor otomatis, bor kecepatan tinggi,


41

aspirator ultrasonik (menggunakan gelombang suara), dan laser

(menggunakan sinar cahaya). Koagulasi bipolar digunakan untuk

meminimalkan pendarahan. Teknik endoskopik juga digunakan,

khususnya untuk kista koloid dan tumor intra ventrikel serta

periventrikel, yang memungkinkan pengangkatan kista dan tumor

invasif secara minimal. Pada prosedur ini, lubang bor dibuat dan

dura dibuka. Endoskop dimasukan untuk memberikan visualisasi

lesi, dan port memungkinkan aspirasi atau biopsi. Pada kasus

endoskopik tertentu frameless stereotaxy digunakan untuk

meningkatkan akurasi dan meminimalkan trauma otak (Morton,

2012).

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), Kraniotomi mencakup

pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan

akses pada struktur intrakranial. Prosedur ini dilakukan untuk

menghilangkan tumor, mengurangi TIK, mengevaluasi bekuan

darah, dan mengontrol hemoragik. Flap tulang dibuat ke dalam

tengkorak dan dipasang kembali setelah pembedahan, ditempatkan

dengan jahitan periosteal atau kawat. Secara umum, ada dua

pendekatan melalui tengkorang yang digunakan : Di atas tentorium

(kraniotomi subpratentorial) ke dalam kompartemen subpratentorial

dan di bawah tentorium ke dalam kompartemen infratentorial (fossa

poterior). Pendekatan tranfnoidal malalui sinus mulut dan hidung

digunakan untuk membuat akses ke kelenjar hipofisis.


42

Struktur intrakranial dapat menjadi pendekatan melalui lubang

burr, yang adalah lubang sirkular yang dibuat di tengkorak baik

malalui drill tangan atau kraniotom automatik (yang mempunyai

sistem kendali sendiri untuk menghentikan drill ketika tulang

ditembus). Lubang bor dibuat untuk ekplorasi atau diagnosis.

Lubang-lubang ini dapat digunakan untuk menentukan adanya

pembengkakan serebral dan cedera serta ukuran dan posisi ventrikel.

Lubang ini juga suatu cara evakuasi hematoma intrakranial atau

abses dan untuk membaut flap tulang di dalam tengkorak dan

memungkinkan akses pada ventrikel untuk tujuan dekompresi,

ventrikulografi atau prosedur pirau (shunting).

Prosedur kranial lain meliputi kraniektomi (eksisi suatu bagian

tengkorak) dan kraniplasti (perbaikan defek kranial dengan

penggunaan plat logam atau plastik).

1) Evaluasi diagnostik

Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi tomografi

komputer (pemindaian CT) untuk menunjukkan lesi dan

memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran

ventrikel, dan perubahan posisinya. Pencitraan resonans

magnetik (MRI) memberikan informasi serupa dengan

pemindaian CT, dengan tambahan keuntungan pemerikasaan

lesi dipotongan lain. Angiografi serebral dapat digunakan untuk

meneliti suplai darah tumor atau memberi informasi mengenai


43

lesi vaskular. Pemeriksaan aliran dopleer transkranial

mengevaluasi aliran darah pembuluh darah intrakranial.

2) Penatalaksanaan

(a) Penatalaksaan praoperasi

Biasanya pasien diterapi dengan medikasi

antikonvulsan (fenitoin) sebelum pembedahan untuk

mengurangi resiko kejang pasca operasi. Sebelum

pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan untuk

mengurangi edema serebral. Cairan dapat dibatasi. Agen

hiperosmotik (manitol) dan diuretik (furosemid) dapat

diberikan secara intravena segera sebelum dan kadang

selama pembedahan bila pasien cenderung menahan air,

yang terjadi pada individu yang mengalami difungsi

intrakranial. Kateter urinarius menetap dipasang sebelum

pasien dibawa ke ruang operasi untuk mengalirkan kandung

kemih selama pemberian diuretik dan untuk memungkinkan

haluaran urinarius dipantau. Pasien dapat diberikan

antibiotik bila serebral sempat terkontaminasi atau

diazepam pada praoperasi untuk menghilangkan ansietas.

Kulit kepala dicukur segera sebelum pembedahan (biasanya

diruang operasi) sehingga adanya abrasi supervisial tidak

semua mengalami infeksi.


44

(b) Penatalaksaan pasca operasi

Jalur arteri dan jalur tekanan vena sentral (CVP) dapat

dipasang untuk memantau tekanan darah dan mengukur

CVP. Pasien mungkin atau tidak diintubasi dan mendapat

terapi oksigen tambahan.

(1) Mengurangi edema serebral.

Terapi medikasi untuk mengurangi edema

serebral meliputi pemberian manitol, yang

meningkatkan osmolaritas serum dan menarik air bebas

dari area otak (dengan sawar darah/otak utuh). Cairan

ini kemudian diekskresikan melalui diuresis osmotik.

Deksametason dapat diberikan memalui intravena

setiap 6 jam selama 24-72 jam; selanjutnya dosisnya

dikurangi secara bertahap.

(2) Meredekan nyeri dan mencegah kejang.

Asentamenofen biasanya diberikan selama suhu

di atas 37,50C dan untuk nyeri. Sering kali pasien akan

mengalami sakit kepala setelah kraniotomi, biasanya

sebagai akibat safaf kulit kepala diregangkan dan

diiritasi selama pembedahan. Kodein, diberikan lewat

parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit

kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin, diazepam)

diresepkan untuk pasien yang telah menjalani


45

kraniotomi supratentorial, karena resiko tinggi epilepsi

setelah prosedur bedah neuro supratentorial. Kadar

serum dipantau untuk mempertahankan medikasi dalam

rentang terapeutik.

(3) Memantau TIK.

Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase,

sering dipasang pada pasien yang menjalani

pembedahan untuk tumor fossa poterior. Kateter

disambungkan kesistem drainase eksternal. Kepatenan

kateter diperhatikan melalui pulsasi cairan dalam

selang. TIK dapat dikaji dengan menyusun sistem

dengan sambungan stopkok keselang takanan dan

transduser. TIK dapat dipantau dengan memutar

stopkok. Perawatan diperlukan untuk menjamin bahwa

sistem tersebut kencang pada semua sambungan dan

bahwa stopkok ada pada posisi yang tepat untuk

menghindari drainase cairan serbrospinal, yang dapat

mengakibatkan kolaps ventrikel bila cairan terlalu

banyak dikeluarkan. Kateter diangkat katika tekanan

ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberi

tahu bila kapanpun kateter tampak tersumbat.


46

8. Komplikasi

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), kemunduran pada kondisi

pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial, edema serebral

progresif, dan herniasi otak.

Edema serebral dan herniasi. Edema serebral adalah penyebab

paling umum dari peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang

mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang mengikuti cedera

kepala terjadi kira-kira 72 jam setelah cedera. Tekanan intrakranial

meningkat karena ketidakmampuan tengkorak utuh untuk memperbesar

meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari

trauma. Sebagai akibat dari edema dan peningkatan TIK, tekanan

disebarkan pada jaringan otak dan struktur internal otak yang kaku.

Bergantung pada tempat pembengkakan, perubahan posisi ke bawah atau

lateral otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur kaku yang

menimbulkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian.

Defisit neurologi dan psikologik. Pasien cedera kepala dapat

mengalami paralisis saraf fokal seperti anosmia (tidak dapat mencium

bau-bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit neurologi seperti

afasia, defek memori, dan kejang post traumatik atau epilepsy. Pasien

mengalami sisa penurunan psikologis organik (melawan, emosi labil,

atau tidak punya malu, perilaku agresif) dan konsekuensi gangguan,

kurangnya wawasan terhadap respons emosi.


47

Komplikasi lain setelah traumatik berupa cedera kepala meliputi

infeksi sistemik (pneumonia, infeksi saluran kemih, septikemia), infeksi

bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses

otak) dan osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang

penunjang berat badan).

Komplikasi bedah intrakranial meliputi peningkatan TIK, infeksi,

dan defisit neurologi.

a) Peningkatan TIK, dapat terjadi sebagai akibat edema serebral atau

pembekakan dan diatasai dengan manitol, diuretik osmotik. Pasien

juga menemukan intubasi dan penggunaan agen paralisis.

b) Infeksi mungkin karena insisi terbuka. Pasien harus mendapat terapi

antibiotik, dan balutan serta sisi luka harus dipantau untuk tanda

infeksi, peningkatan drainase, bau menyengat, drainase purulen, dan

kemerahan serta bengkak sepanjang garis eksisi.

c) Defisit neurologi dapat diakibatkan oleh pembedahan. Pada pasca

operasi status neurologi pasien dipantau dengan ketat untuk adanya

perubahan.

Menurut Iskandar (2004), perawatan penderita cedera kepala

dihadapkan pada masalah lamanya hari perawatan, ditambah lagi dengan

keadaan penderita yang sering koma menyebabkan tingginya angka

kejadian komplikasi, maka dalam hal ini komplikasi dalam cedera

kepala dibagi dua yaitu :


48

a. Komplikasi bedah

1) Hematoma intracranial

Hematoma intrakranial dapat terjadi pada keadaan akut

setelah cedera kepala atau “delayed” setelah beberapa waktu.

Mungkin pada awalnya berupa kontusio serebri, yang kemudian

berkembang menjadi intraserebral hematoma. Berdasarkan letak

hematoma, maka perdarahan intrakranial dapat dibedakan atas

EDH (Epidural Hematoma), SDH (Subdural Hematoma), SAH

(Subarachnoid Hematoam), ICH (Intraserebral Hematoma) dan

IVH (Intraventrikuler Hematoma).

2) Hidrosefalus

Hidrosefalus yang timbul setelah cedera kepala secara

umum dapat dibedakan atas dua tipe yaitu :

a) Hydrosefalus non-komunikan

Jenis ini dapat timbul akibat penekanan oleh efek

massa perdarahan yang terjadi, terhadap jalur aliras CSS

(Cairan Serebrospinal) dalam sistem ventrikel, sehingga

aliran CSS terbendung. Jenis ini biasanya timbul karena

adanya perdarahan di fossa posterior yang menekan

ventrikel IV.
49

b) Hydrosefalus komunikan

Jenis ini timbul karena adanya ganggunan penyerapan

CSS pada rongga subarakhnoid terutama pada granulasi

arachnoid. Gangguan ini timbul karena adanya darah pada

rongga arachnoid yang mengganggu aliran maupun

penyerapan CSS. Biasanya terjadi pada dua bulan pertama

setelah cedera kepala. Jenis ini lebih sering ditemukan dari

pada yang non-komunikan. Secara klinis harus

dipertimbangkan adanya hydrosefalus ini jika setelah cedera

kepala, penderita memperlihatkan perbaikan awal yang

cepat, namun selanjutnya tidak ada kemajuan atau bahkan

perburukan. Untuk alasan ini, idealnya perlu dilakukan CT

kontrol.

Diagnosa hydrosefalus ini mutlak membutuhkan CT scan

kepala. Pada CT akan terlihat sistem ventrikel melebar,

termasuk pelebaran tempotal horn, dan adanya periventrikuler

edema terutama dapat dilihat pada anterior horn. Keadaan ini

dapat dibedakan dengan atropi serebral, dimana sulcus akan

terlihat melebar.

Jika hasil pemeriksaan terbukti penderita mengalami

hidrosefalus, maka harus segera dirujuk keahli bedah saraf untuk

dilakukan operasi diversi CSS (VP-Shunt).


50

3) Subdural hematoma kronis

Lebih kurang setengah penderita subdural hematoma

kronis tidak memiliki riwayat trauma. Kadang-kadang dengan

riwayat cedera ringan atau bahkan cedera tidak langsung juga

dapat menjadi penyebab, seperti cedera “whiplash”. Beberapa

faktor resiko sehubungan dengan hal ini antara lain, usia lanjut,

alkoholisme kronis, atropi serebral, kelainan darah, dan lain-

lain.

4) Cedera kepala terbuka

Dengan adanya laserasi scalp, merupakan sumber infeksi

intrakranial terurama jika disertai dengan fraktur tulang dan

robeknya durameter. Luka penetrasi yang menembus tengkorak

seperti benda tajam yang menancap di kepala, luka tembak, dan

fraktur depressed terbuka, membutuhkan tindakan debridement.

5) Kebocoran CSS

Kebocoran CSS pada cedera kepala terutama menyertai

fraktur basis. Pada proses penyembuhan luka, umumnya

kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter

terjepit pada garis fraktur dan menyebabkan kebocoran terus

menerus, maka perlu tindakan operatif. Pengobatan non-operatif

dapat dicoba hingga dua minggu dengan berbagai manipulasi,

misalnya dengan pemberian asetazolamid untuk mengurangi

produksi CSS, pemasangan “drain lumbal” untuk mengalirkan


51

sebagian CSS, pemberian antibiotika yang adekuat untuk

mengatasi infeksi (buka untuk mencegah infeksi), posisi

penderita head up 30 derajat, dan lain-lain.

b. Komplikasi non bedah

1) Kejang post trauma

Kejang post traumatika setelah cedera kepala banyak

menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Insidensi kejang jenis

ini mencapai 5-7 persen dari penderita yang dirawat karena

cedera kepala. Di Amerika Serikat, insidensi kejang ini

mencapai 150 per 100.000 pertahun. Kejang ini paling sering

terjadi dalam 2 tahun pertama setelah cedera kepala. Sebagian

besar, 50-60 persen penderita akan mengalami kejang pada 12

bulan pertama.

Enam puluh persen yang mengalami kejang dini, kejang

awal akan terjadi pada 24 jam pertama dan lebih kurang

setengahnya terjadi dalam jam pertama setelah cedera kepala.

Dua pertiga keseluruhan penderita akan mengalami kejang lebih

dari satu kali, dan 10 persen akan mengalami status epileptic.

2) Infeksi

Usaha mengatasi infeksi berhubungan erat dengan

penggunaan antibiotika. Infeksi pada cedera kepala umumnya

disebabkan oleh kuman komensal yang berada di kulit (scalp).


52

Penggunaan antibiotika harus disesuaikan dengan dugaan

empiris kuman penyebab.

3) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

a) Schwartz-Barrter Syndrome (SIADH)

Disebabkan oleh pelesapan ADH tanpa adanya

rangsangan fisiologis, ditandai dengan hiponatremia dan

osmolaritas unrin yang tinggi. SIADH akan disertai dengan

hipervolemia, berbeda dengan CSW (Cerebral Salt

Wasting) yang disertai hipovolemia. SIADH terjadi pada

4,6 persen penderita cedera kepala. Keadaan ini juga bisa

timbul pada anemia, hipotensi, dan peningkatan TTIK.

b) Cerebral Salt Wasting (CSW)

Pengeluaran natrium yang berlebihan melalui urin

yang disebabkan oleh gangguan intrakranial, ditandai

dengan hiponatremia dan penurunan volume cairan

ekstraseluler. Keadaan ini dapat terjadi pada cedera kepala

berat.

c) Diabetes Insipidus (DI)

Disebabkan oleh rendahnya kadar ADH (anti diuretic

hormone), ditandai dengan produksi urin berlebih (dewasa

> 250 cc/jam; anak > 3cc/kg/jam), osmolaritas urin rendah

(50-150 mOsm/L) atau berat jenis urin rendah (1.002-

1.005), kadar natrium serum normal atau meningkat,


53

osmolaritas plasma meningkat, dengan fungsi adrenal yang

normal. Keadaan ini disertai dengan rasa haus, dan dapat

menyebabkan dehidrasi berat. Cedera kepala dapat

menyebabkan gangguan pada aksis hipotalamus-hipofise

sehingga produksi ADH berkurang. Jika DI ringan dan

mekanisme rasa haus baik, instruksikan penderita untuk

minum hanya jika terdapat rasa haus. Jika DI berat,

penderita mungkin tidak dapat mengimbangi jumlah cairan

yang keluar dengan minum, dalam keadaan ini harus

dirawat.

4) Gangguan gastrointestinal

Pada cedera kepala berat, akan terjadi erosi, pembentukan

ilkus dan perdarahan saluran cerna. Penderita cedera kepala

akan mengalami peningkatan simpatik yang mengakibatkan

gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi

erosi. Upaya untuk mengantisipasi hal ini adalah dengan

pemberian obat antagonis H-2 reseptor dan inhibitor pompa

proton, seperti simetidin, ranitidine, dan omeprazole.

5) Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)

Merupakan kompensasi yang jarang terjadi, umumnya

menyertai cedera kepala berat. Terdapat dua mekanisme yang

mungkin berkerja secara sinergis. Pertama peningkatan TTIK

(Tekanan Tinggi Intra Kranial) yang cepat atau cedera langsung


54

pada hipotalamus menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik

sehingga aliran darah yang meningkat ke paru-paru dengan

peninggian PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Preassures)

dan peningkatan permeabilitas kapiler di paru. Kedua, pelepasan

katekolamin yang terjadi akan mempengaruhi endotel kapiler

sehingga permeabilitas alveolar juga meningkat.

Pengobatannya adalah suportif dengan menggunakan

tekanan ventilasi positif dengan PEEP rendah dan disertai

dengan usaha menurunkan TTIK. Penggunaan dobutamin yang

disertai dengan furosemid mungkin memberikan manfaat.

B. Konsep Dasar Keperawatan

Asuhan keperawatan adalah faktor yang penting dalam survival pasien

dan dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitative, dan preventif kesehatan

(Doenges, 2000).

Ilmu keperawatan didasarkan pada suatu teori yang sangat luas. Proses

keperawatan adalah metode di mana suatu konsep diterapkan dalam praktik

keperawatan. Hal ini dapat disebut sebagai suatu pendekatan untuk

memecahkan masalah (problem-solving) yang memerlukan ilmu, teknik, dan

keterampilan interpersonal yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan klien,

keluarga, dan masyarakat. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yang

berurutan dan saling berhubungan, yaitu pengkajian, diagnosa, perencanaan,

implementasi, dan evaluasi. Tahap-tahap tersebut berintegrasi terhadap fungsi


55

intelektual problem-solving dalam mendefinisikan suatu asuhan keperawatan

(Nursalam, 2001).

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan

merupakan suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai

sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.

Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan

keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu (klien). Oleh karena itu

pengkajian yang benar, akurat, lengkap dan sesuai dengan kenyataan

sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan dalam

memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan respon individu

sebagaimana yang telah ditentukan dalam standar praktik keperawatan dari

American Nursing Association (Nursalam, 2011).

Pengkajian adalah dasar mengidentifikasi kebutuhan, respon, dan

masalah individu (Doenges, 2000).

Adapun data dasar pengkajian yang ditemukan pada klien post

kraniotomi et causa cedera kepala berat menurut Doenges (2000) adalah:

a. Aktivitas/istirahat

Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

Tanda : Perubahan kesadaran, latergi.

Hemiparese, quadreplegia.

Ataksia cara berjalan taktegap.

Masalah dalam keseimbangan.


56

Cedera (trauma) ortopedi.

Kehilangan tonus otot, otot spastik.

b. Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).

Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia

yang diselingi dengan bradikardia, distritmia).

c. Integritas ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau

dramatis).

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agastis, bingung,

depresi dan impulsif.

d. Eliminasi

Gejala : Inkontenensia kandung kemih/usus atau mengalami

gangguan fungsi.

e. Makanan/cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda : Muntah (mungkin proyektil).

Gangguan menelan (batuk, air liur keluat,disfagia).

f. Neurosensori

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar

kejadian. Vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan

pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas.


57

Tanda : Gangguna pengecap dan juga penciumaan.

Perubahan kesadaran bisa sampai koma.

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,

perhatian, kensentrasi, pemecahan masalah, pengaruh

emosi/tangkah laku dan memori).

Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetris),

deviasi mata, ketidakmampuan mengikuti.

Kehialngan penginderaan, sepert pengecapan,

pengciuman dan pendengaran.

Wajah tidak simetris.

Genggaman lemah, tidak seimbang.

Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah.

Apraksia, hemiparese, quadreplegia.

Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang.

Sangat sensitif terhadap sentuhandan gerakan.

Kehilangan sensai sebagian tubuh.

Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.

g. Nyeri/keamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,

biasanya lama.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan

nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.


58

h. Pernafasan

Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh

hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak.

Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).

i. Keamanan

Geejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi.

Gangguan penglihatan.

Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon

eye”, tanda Battle disekitar telinga (merupakan tanda

adanya trauma). Adanya aliran cairan (CSS).

Gangguan kognitif.

Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan

secara umum mengalami paralisis.

Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

j. Interaksi sosial

Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara

berulang-ulang, disartria, anomia.

k. Penyuluhan/pembelajaran

Gejala : Pengunaan alkohol/obat lain.


59

2. Penyimpangan KDM

Trauma Kepala

↓ ↓ ↓
Kulit Kepala Tulang Kepala Jaringan Otak
↓ ↓ ↓
Hematoma Pada Fraktur Linear Komisio Kontusio
Kulit Fraktur Communited Hematoma Edema
↓ Fraktur Depressed ↓
Cedera Otak Fraktur Basis
Gangguan
↓ ↓ Kesadaran
Cedera Otak Primer TIK Meningkat Gangguan TTV
Ringan ↓ Kelainan Neurologis
Sedang Respons Fisiologis Otak ← ↓
Berat ↓ Hipoksemia Serebral
→ Cedera Otak Sekunder ↓
↓ Kelainan Metebolisme
Kerusakan Sel Otak ↑

↓ ↓ ↓ ↓
Gangguan ↑ Rangsangan Stres Lokasi Defisit Neurologis
Autoregulasi Simpantis ↓ ↓
↓ ↓ ↑ Katekolamin Perubahan Persepsi
↑ Tahanan ↓
↓ Aliran Darah Ke Sensori
Vaskuler
Otak ↑ Sekresi
Sistemik
↓ ↓ Asam Lambung → ↓ Kekuatan
↓ O2 → Gangguan ↓ Tekanan ↓ ↓
Metabolisme Pembuluh Darah Mual, Muntah Kerusakan Mobilitas
↓ Pulmonal ↓ Fisik

Produksi Asam ↓ Perubahan


Nutrisi Kurang
Laktat Meningkat ↑ Tekanan Perubahan
Dari Kebutuhan →
↓ Hidrostatik Tubuh Status
Edema Otak ↓ Kesehatan
↓ Kebocoran ↓
→ Kerusakan /
Perubahan Perfusi Cairan Kapiler Krisis Situasional
Trauma Jaringan
Jaringan Serebral ↓ ↓
Edema Paru ↓ Perubahan
↓ ↓ Invasi Bakteri Proses Keluarga

Perubahan Fisiologis Curah Jantung ↓ ↓


↓ ↓ Resiko Tinggi ↓
Perubahan Proses Difusi O2 Infeksi Kurang Terpajan
Pikir Terhambat Informasi
↓ ↓
Resiki Tinggi Pola Nafas Kurang Pengetahuan
Tidak Efektif

Bagan 2.1 Penyimpangan KDM Cedera Kepala Menurut Teori


(Dikutip Dari Muttaqin (2008) dan Dimodivikasi Penulis)
60

3. Diagnosa Keperawatan.

Diagnosis keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan

respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu

atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi

dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan,

menurunkan, membatasi, mencegah, dan mengubah (Nursalam, 2001).

Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons

individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses

kehidupan potensial atau aktual. Diagnosa keperawtan memberikan dasar

untuk pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil di mana

perawat bertanggung gugat (Carpenito, 2001).

Menurut Carpenito (2001), tipe diagnosa keperawatan dapat berupa

tipe aktual, resiko, atau kesejahteraan atau sindrom.

a. Aktual

Suatu diagnosa keperawatan aktual menggambarkan penilaian

klinis yang harus divalisasi perawat karena adanya batasan

karakteristik mayor.

b. Resiko

Diagnosa keperawatan risiko menggambarkan penilaian klinis di

mana individu/kelompok lebih rentan untuk mengalami masalah

dibanding orang lain dalam situasi yang sama atau serupa.


61

c. Kesejahteraan

Diagnosa keperawatan kesejahteraan adalah penilaian klinis

tentang individu, keluarga, atau komunitas dalam transisi dari tingkat

kesejahteraan tertentu ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.

d. Sindrom

Diagnosa keperawatan sindrom terdiri atas kelompok diagnosa

keperawatan aktual atau risiko yang diperkirakan ada karena situasi

atau peristiwa tertentu.

Diagnosa keperawatan kemungkinan buka merupakan tipe

diagnosa aktual, risiko atau sindrom. Diagnosa keperawatan

kemungkinan adalah pilihan diagnostisian (orang yang mempunyai

wewenang untuk menuliskan diagnosa) untuk menandakan bahwa ada

data tertentu untuk mengkonfirmasi suatu diagnosa tetapi data tersebut

tidak mencukupi.

Diagnosa keperawatan adalah setepat data yang ada karena ditunjang

oleh data terbaru yang dikumpulkan. Diagnosa keperawatan ini mencatat

bagaimana situasi pasien pada saat itu dan harus mencerminkan perubahan

yang terjadi pada kondisi pasien. Indentifikasi masalah dan penentuan

diagnostik yang akurat memberikan dasar untuk memilih intervensi

keperawatan (Doenges, 2000).


62

Berdasarkan Doenges (2000), diagnosa keperawatan yang muncul

pada klien dengan post kraniotomi et causa cedera kepala berat adalah :

a. Perfusi jaringan, perubahan, serebral dapat dihubungakan dengan

penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematoma); edema

serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik,

takar lajak obat/alkohol); penurunan TD sistemik/hipoksia

(hipovolemia, distrimia jantung).

b. Pola nafas, takefektif, resiko tinggi terhadap dapat dihubungkan

dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak);

kerusakan persepsi atau kognitif; obstruksi trakeobronkial.

c. Perubahan persepsi-sensori, uraikan dapat dihubungkan dengan

perubahan persepsi sensori, tranmisi dan/atau integrasi (trauma atau

defisit neurologis).

d. Proses pikir, perubahan dapat dihubungkan dengan perubahan

fisiologis; konflik psikologis.

e. Mobilitas fisik, kerusakan dapat dihubungkan dengan kerusakan

persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan,terapi

pembatasan/kewaspadaan keamanan, mis, tirah baring, imobilisasi.

f. Infeksi, resiko tinggi terhadap dapat dihubungkan dengan jaringan

trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, statis

cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respon inflamasi tertekan (pengaruh

steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).


63

g. Nutrisi, perubahan, kurang dari kebutuhan tubuh, resiko tinggi

terhadap dapat dihubungkan dengan perubahan kemampuan untuk

mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran) kelemahan otot yang

diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.

h. Proses keluarga, perubahan dapat dihubungakan dengan transisi dan

krisis situasional,ketidakpastian tentang hasil/harapan.

i. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenal kondisi dan

kebutuhan pengobatan dapat dihubungkan dengan kurang pemajanan,

tidak mengenal informasi/sumber-sumber informasi; kurang

mengingat keterbatasan kognitif.

4. Perencanaan

Secara sederhana, rencana keperawatan dapat diartikan sebagai suatu

dokumen tulisan tangan dalam menyelesaikan masalah, tujuan, dan

intervensi keperawatan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, rencana

keperawatan merupakan metode komunikasi tentang asuhan keperawatan

kepada klien. Setiap klien yang memerlukan asuhan keperawatan perlu

suatu perencanaan yang baik. Misalnya, klien pasca operasi memerlukan

pengawasan ketat tentang pengeluaran cairan dan nyeri. Sehingga semua

asuhan keperawatan harus distandarisasi. Perencanaan meliputi

pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi atau

mengoreksi masalah-masalah yang telah diidentifikasi pada diagnosis

keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi (Nursalam, 2001).


64

Perencanaan merupakan tahap ketiga dari proses keperawatan yang

dimulai setelah data-data yang terkumpul sudah dianalisa. Dari diagnosa

keperawatan yang disusun di atas, berikut rencana keperawatan yang

dilakukan pada pasien dengan post kraniotomi et causa cedera kepala berat

berdasarkam diagnosa yang telah ditentukan adalah sebagai berikut :

a. Perfusi jaringan, perubahan, serebral dapat dihubungakan dengan

penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi, hematoma); edema

serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik,

takar lajak obat/alkohol); penurunan TD sistemik/hipoksia

(hipovolemia, distrimia jantung).

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1) Perubahan tingkat kesadaran; kehilangan memori.

2) Perubahan respon motorik/sensori, gelisah.

3) Perubahan tanda vital.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognitif, dan

fungsi motorik/sensori.

2) Mendemonstrasikan tanda vital satabil dan tak ada tanda-tanda

peningkatan TIK.

Rencana tindakan :

1) Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu

atau yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak atau

potensial peningkatan TIK.


65

Rasional : Menentukan pilihan intervensi. Penurunan tanda/gejala

neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan

awal mungkin menunjukkan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke

perawatan intensif untuk memantau tekanan TIK dan/atau

pembedahan.

2) Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan

dengan nilai standar (misalnya skala koma Glasgow).

Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat

kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam

menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

3) Evaluasi kemampuan membuka mata, seperti spontan (sadar

penuh), membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap

tertutup (koma).

Rasional : Menentukan tingkat kesadaran.

4) Kaji respons verbal; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap

orang, tempat, dan waktu baik atau malah bingung; menggunakan

kata-kata/frase yang tidak sesuai.

Rasional : Mengukur kesesuaian dalam berbicara dan

menunjukkan tingkat kesadaran. Jika kerusakan yang terjadi sangat

kecil pada korteks serebral, pasien mungkin akan bereaksi dengan

baik terhadap rangsangan verbal yang diberikan tetapi mungkin

juga memperlihatkan seperti ngantuk berat atau tidak kooperatif.

Kerusakan yang lebih luas pada korteks serebral mungkin akan


66

berespon lambat pada perintah atau tetap tertidur ketika tidak ada

perintah, mengalami disorientasi dan stupor. Kerusakan pada

batang otak, pons dan medulla ditandai dengan adanya respons

yang tidak sesuai terhadap rangsang.

5) Kaji respons motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan

yang bertujuan (patuh terhadap perintah, berusaha untuk

menghilangkan rangsang nyeri yang diberikan) dan gerakan yang

tidak bertujuan (kelainan postur tubuh). Catat gerakan anggota

tubuh dan catat sisi kiri dan kanan secara terpisah.

Rasional : Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan

kemampuan untuk berespons pada rangsangan eksternal dan

merupakan petunjuk keadaan kesadaran terbaik pada pasien yang

matanya terttutup sebagai akibat dari trauma atau pasien yang

afasia. Pasien dikatakan sadar apabila pasien dapat meremas atau

melepaskan tangan pemeriksa atau dapat menggerakkan tangan

sesuai dengan perintah. Gerakan yang bertujuan dapat meliputi

mimik kesakitan (meringis) atau gerakan menarik/menjauhi

rangsangan nyeri atau gerakan yang disadari pasien (seperti

duduk). Gerakan lain (fleksi abnormal dari ekstremitas tubuh)

biasanya sebagai indikasi kerusakan serebral yang menyebar. Tidak

adanya gerakan spontan pada salah satu sisi tubuh menandakan

kerusakan pada jalan motorik pada hemisfer otak yang berlawanan

(kontralateral).
67

6) Pantau TD, catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus

dan tekanan nadi yang semakin berat; observasi terhadap hipertensi

pada pasien yang mengalami trauma multipel.

Rasional : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah

otak yang konstan pada saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik.

Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi

serebral local atau menyebar (menyeluruh), Peningkatan tekanan

darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan darah diastolic

(nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan

TIK, jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran.

Hipovolemia/hipertensi (yang berhubungan dengan trauma

multipel) dapat juga mengakibatkan kerusakan/iskemia serebral.

7) Pantau frekuensi jantung, catat adanya bradikardia, takikardia, atau

bentuk disritmia lainnya.

Rasional : Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan

disritmia dapat timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma

pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan

jantung sebelumnya.

8) Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti adanya

periode apnea setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan

Cheyne-Stokes.

Rasional : Napas yang tidak teratur dapat menunjukkan lokasi

adanya gangguan serebral/peningkatan TIK dan memerlukan


68

intervensi yang lebih lanjut termasuk kemungkinan dukungan

napas buatan.

9) Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara

kiri dan kanan, dan reaksinya terhadap cahaya.

Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III)

dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.

Ukuran/kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan

simpatis dan parasimpatis. Respons terhadap cahaya mencerminkan

fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan

okulomotor (III).

10) Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang

kabur, ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.

Rasional : Gangguan penglihatan yang dapat diakibatkan oleh

kerusakan mikroskopik pada otak, mempunyai konsekuensi

terhadap keamanan dan juga akan mempengaruhi pilihan

intervensi.

11) Kaji letak/gerakan mata, catat apakah pada posisi tengah atau ada

deviasi pada salah satu sisi atau ke bawah. Catat pula hilangnya

refleks “doll’s eye” (refleks okulosefalik).

Rasional : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan lokasi

area otak yang terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah

kegagalan dalam abduksi pada mata, mengindikasikan

penekanan/trauma pada saraf kranial V. Hilangnya doll’s eye


69

mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi batang otak dan

prognosisnya jelek.

12) Catat ada/tidaknya refleks-refleks tertentu seperti refleks menelan,

batuk dan Babinski, dan sebagainya.

Rasional : Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada

tingkat otak tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh

langsung terhadap keamanan pasien. Kehilangan refleks berkedip

mengisyaratkan adanya kerusakan pada daerah pons dan medulla.

Tidak adanya refleks batuk atau refleks gag menunjukkan adanya

kerusakan pada medulla. Refleks babinski positif mengindikasikan

adanya trauma sepanjang jalur piramidal pada otak.

13) Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi. Batasi

penggunaan selimut; berikan kompres hangat saat demam timbul.

Tutup ekstremitas dalam selimut jika menggunakan selimut

hipotermia (selimut dingin).

Rasional : Demam dapat mencerminkan kerusakan pada

hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolism dan konsumsi

oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang

selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan TIK.

14) Pantau pemasukan dan pengeluaran. Ukur berat badan sesuai

dengan indikasi. Catat turgor kulit dan keadaan membrane mukosa.


70

Rasional : Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh

yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral

dapat mengakibatkan diabetes insipidus atau SIADH. Gangguan ini

dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran

pembuluh darah yang pada akhirnya akan berpengaruh negative

terhadap tekanan serebral.

15) Pertahankan kepala atau leher pada posisi tengah atau pada posisi

netral, sokong dengan gulungan handuk kecil atau bantal kecil.

Hindari penggunaan bantal besar pada kepala.

Rasional : Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena

jugularis dan menghambat aliran darah vena, yang selanjutnya akan

meningkatkan TIK.

16) Berikan waktu istirahat diantara aktivitas keperawatan yang

dilakukan dan batasi waktu dari setiap prosedur tersebut.

Rasional : Aktivitas yang dilakukan terus-menerus dapat

meningkatkan TIK dengan menimbulkan efek stimulasi kumulatif.

17) Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti

masase punggung, lingkungan yang tenang, suara/bunyi-bunyian

yang lembut dan sentuhan yang hati-hati dan tepat.

Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi

fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan

atau menurunkan TIK.


71

18) Bantu pasien untuk menghindari/membatasi batuk, muntah,

pengeluaran feses yang dipaksakan/mengejan jika mungkin.

Rasional : Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intratoraks

dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.

19) Hindari/batasi penggunaan restrein.

Rasional : Restrein mekanik dapat menambah respons melawan

yang akan meningkatkan TIK.

20) Anjurkan orang terdekat (keluarga) untuk berbicara dengan pasien.

Rasional : Ungkapan keluarga yang menyenangkan pasien

tampak mempunyai efek relaksasi pada beberapa pasien koma yang

akan menurunkan TIK.

21) Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan,

dan tingkah laku yang tidak sesuai lainnya.

Rasional : Petunjuk nonverbal ini mengindikasikan adanya

peningkatan TIK atau menandakan adanya nyeri ketika pasien tidak

dapat mengungkapkan keluhannya secara verbal. Nyeri yang tidak

hilang dapat menjadi pemacu munculnya TIK saat berikutnya.

22) Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih, pertahankan

kepatenan drainase urine jika digunakan. Pantau kemungkinan

adanya konstipasi.

Rasional : Dapat menjadi pemicu respons otonom yang

berpotensi untuk meningkatkan TIK.


72

23) Observasi adanya aktivitas kejang dan lindungi pasien dari cedera.

Rasional : Kejang dapat terjadi sebagai akibat dari iritasi serebral,

hipoksia, atau peningkatan TIK dan kejang dapat meningkatkan

TIK lebih lanjut yang meningkatkan kerusakan jaringan serebral.

24) Kaji adanya peningkatan rigiditas, regangan, meningkatnya

kegelisahan, peka rangsang, serangan kejang.

Rasional : Merupakan indikasi dari iritasi meningeal yang dapat

terjadi sehubungan dengan kerusakan pada durameter dan/atau

perkembangan infeksi selama periode akut atau penyembuhan dari

trauma kepala.

25) Tinggikan kepala pasien 15-45 derajat sesuai indikasi/yang dapat

ditoleransi.

Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga

akan mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya

peningkatan TIK.

26) Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Berikan cairan melalui IV

dengan alat control.

Rasional : Pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk

menurunkan edema serebral; meminimalkan fluktuasi aliran

vaskuler, tekanan darah (TD) dan TIK.


73

27) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

Rasional : Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat

meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang

meningkatkan TIK.

28) Pantau GDA/tekanan oksimetri.

Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan (kemunculan dari

hipoksia/asidosis) dan mengindikasikan kebutuhan akan terapi.

29) Berikan obat sesuai indikasi;

a) Diuretik contohnya manitol (Osmitrol); furosemid (Lasix).

Rasional : Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk

menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK.

b) Steroid, contohnya deksametason (Decadron); metilprednisolon

(Medrol).

Rasional : Menurunkan inflamasi, yang selanjutnya

menurunkan edema jaringan.

c) Antikonvulsan, contohnya fenitoin (Dilantin)

Rasional : Obat pilihan untuk mengatasi dan mencegah

terjadinya aktivitas kejang.

d) Klorpromasin (Thorazine).

Rasional : Bermanfaat dalam mengatasi adanya kelainan

bentuk tubuh dan menggigil yang mana dapat meningkatkan

TIK. Catatan : Obat ini dapat menurunkan ambang kejang atau

sebagai presipitasi toksisitis terhadap Dilantin.


74

e) Analgetik sedang, seperti kodein.

Rasional : Dapat diindikasikan untuk menghilangkan nyeri dan

dapat berakibat negative pada TIK tetapi harus digunakan

dengan hati-hati untuk mencegah gangguan pernapasan.

f) Sedatif, contohnya difenhidramin (Benadryl).

Rasional : Mungkin digunakan untuk mengendalikan

kegelisahan, agitasi.

g) Antipiretik, contohnya asetaminofen (Tylenol).

Rasional : Menurunkan atau mengendalikan demam dan yang

mempunyai pengaruh meningkatkan metabolism serebral atau

peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

30) Persiapkan untuk pembedahan jika diperlukan.

Rasional : Kraniotomi atau trefinasi mungkin diperlukan untuk

memindahkan fragmen tulang, evakuasi hematom, mengendalikan

hemoragik dan membersihkan jaringan nekrotik.

b. Pola nafas, takefektif, resiko tinggi terhadap dapat dihubungkan

dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak).

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1) Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala

membuat diagnosa aktual.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Mempertahankan pola pernafasan normal/efektif, bebas sianosis,

dengan GDA dalam batas normal pasien.


75

Rencana tindakan :

1) Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat

ketidakteraturan pernapasan.

Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi

pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan

lokasi/liasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea

dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.

2) Catat kompetensi refleks gag/menelan dan kemampuan pasien

untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai

indikasi.

Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi

penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks

menelan atau batuk menandakan perlunya jalan napas buatan atau

intubasi. Catatan : Jalan napas nasoparingeal lunak mungkin

disarankan untuk mencegah stimulasi refleks gag dibandingkan

dengan jalan napas yang keras melalui orofaring yang dapat

mengantarkan pada proses batuk yang berlebihyan dan

meningkatkan TIK.

3) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai

indikasi.

Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan

menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat

jalan napas.
76

4) Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika

pasien sadar.

Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.

5) Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-

15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.

Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma

atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan

jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakea yang lebih dalam

harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat

menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan

vasokontriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar

pada perfusi serebral.

6) Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya

suara-suara tambahan yang tidak normal (seperti krekels, ronki,

mengi).

Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti

atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang

membahayakan oksigenasi serebral dan/atau menandakan

terjadinya infeksi paru (umumnya merupakan komplikasi dari

cedera kepala).

7) Pantau penggunaan dari obat-obatan depresan pernapasan, seperti

sedative.

Rasional : Dapat meningkatkan gangguan/komplikasi pernapasan.


77

8) Pantau atau gambarkan analisa gas darah, tekanan oksimetri.

Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan

asam-basa dan kebutuhan akan terapi.

9) Lakukan ronsen toraks ulang.

Rasional : Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda

komplikasi yang berkembang (seperti atelektasis atau

bronkopneumonia).

10) Berikan oksigen.

Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan

membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan

tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.

11) Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.

Rasional : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien

dengan peningkatan TIK fase akut namun tindakan ini seringkali

berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan

membersihkan jalan napas dan menurunkan risiko

atelektasis/komplikasi paru lainnya.

c. Perubahan persepsi-sensori, uraikan dapat dihubungkan dengan

perubahan persepsi sensori, tranmisi dan/atau integrasi (trauma atau

defisit neurologis).

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1) Disorientasi terhadap waktu, tempat, orang.

2) Perubahan dalam respons terhadap rangsangan.


78

3) Inkoordisanasi motorik, perubahan dalam postur, ketidakmampuan

dalam memberi tahu posisi bagian tubuh (propiosepsi).

4) Perubahan pola komunikasi.

5) Distorsi audiotorius dan visual.

6) Konsentrasi buruk, perubahan proses pikir/berpikir kacau.

7) Respon emosional berlebihan, perubahan dalam pola perilaku.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadarasn biasanya

dan fungsi persepsi.

2) Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan

residu.

3) Memdemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk

mengkompensasi/defisit hasil.

Rencana tindakan :

1) Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan

berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik, dan proses pikir.

Rasional : Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih

duluoleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan dapat

terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang berkembang

setelahnya akibat pembengkakan atau perdarahan. Perubahan

motorik, persepsi, kognitif, dan kepribadian mungkin berkembang

dan menetap dengan perbaikan respons secara perlahan-lahan atau

tetap bertahan secara terus-menerus pada derajat tertentu.


79

2) Kaji kesadaran sensorik seperti respons sentuhan, panas/dingin,

benda tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak

tubuh. Perhatikan adanya masalah penglihatan atau sensasi yang

lain.

Rasional : Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua

sistem sensorik dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang

,elibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan

sensasi/kemampuan untuk menerima dan berespons secara sesuai

pada suatu stimulasi.

3) Observasi respons perilaku seperti rasa bermusuhan, menangis,

afektif yang tidak sesuai, agitasi, halusinasi.

Rasional : Respons individu mungkin berubah-ubah namun

umumnya seperti emosi yang labil, frustasi, apatis, dan muncul

tingkah laku impulsive selama proses penyembuhan dari trauma

kepala. Pencatatan terhadap tingkah laku memberikan informasi

yang diperlukan untuk perkembangan proses rehabilitasi.

4) Catat adanya perubahan yang spesifik dalam hal kemampuan

seperti memusatkan kedua mata dengan mengikuti instruksi verbal

yang sederhana dengan jawaban “ya” atau “tidak” makan sendiri

dengan tangan dominan pasien.

Rasional : Membantu melokalisasi daerah otak yang mengalami

gangguan dan mengidentifikasi tanda perkembangan terhadap

peningkatan fungsi neurologis.


80

5) Hilangkan suara bising/stimulus yang berlebihan sesuai kebutuhan.

Rasional : Menurunkan ansietas, respons emosi yang

berlebihan/bingung yang berhubungan dengan sensoris yang

berlebihan.

6) Bicara dengan suara yang lembut dan pelan. Gunakan kalimat yang

pendek dan sederhana. Pertahankan kontak mata.

Rasional : Pasien mungkin mengalami keterbatasan

perhatian/pemahaman selama fase akut dan penyembuhan dan

tindakan ini dapat membantu pasien untuk memunculkan

komunikasi.

7) Pastikan/validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.

Orientasikan kembali pasien secara teratur pada lingkungan, staf,

dan tindakan yang akan dilakukan terutama jika penglihatannya

terganggu.

Rasional : Membantu pasien untuk memisahkan pada realitas dari

perubahan yang persepsi. Gangguan fungsi kognitif dan/atau

penurunan penglihatan dapat menjadi potensi timbulnya

disorientasi dan ansietas.

8) Berikan stimulasi yang bermanfaat; verbal (berbincang-bincang

dengan pasien), penciuman (seperti terhadap kopi atau minyak

tertentu), taktil (sentuhan, memegang tangan pasien), dan

pendengaran (dengan tape, televise, radio, pengunjung dan

sebagainya). Hindari isolasi baik secara fisik atau psikologis.


81

Rasional : Pilihan masukan sensorik secara cermat bermanfaat

untuk menstimulasi pasien koma dengan baik selama melatih

kembali fungsi kognitifnya.

9) Berikan lingkungan terstruktur termasuk terapi, aktivitas. Buatkan

jadwal untuk pasien (jika memungkinkan) dan tinjau kembali

secara teratur.

Rasional : Meningkatkan konsistensi dan keyakinan yang dapat

menurunkan ansietas yang berhubungan dengan ketidaktahuan

pasien tersebut. Meningkatkan rasa terhadap control diri atau

melatih kognitif kembali.

10) Buat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa ada

gangguan.

Rasional : Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan.

Memberikan kesempatan untuk tidur REM (ketidakadaan tidur

REM ini dapat meningkatkan gangguan persepsi sensorik).

11) Gunakan penerangan siang atau malam hari.

Rasional : Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan

waktu dan pola tidur/bangun.

12) Berikan kesmpatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dan

melakukan aktivitas.

Rasional : Menurunkan frustasi yang berhubungan dengan

perubahan kemampuan/pola respons yang memanjang.


82

13) Berikan keamanan terhadap pasien, seperti member bantalan

pengalas pada penghalang tempat tidur, membantu saat berjalan,

melindungi dari benda tajam/panas. Catat adanya penurunan

persepsi pada catatan dan letakkan pada tempat tidur pasien.

Rasional : Agitasi, gangguan pengambilan keputusan, gangguan

keseimbangan dan penurunan sensorik meningkatkan resiko terjadi

trauma pada pasien.

14) Temukan cara lain dalam menanggulangi penurunan persepsi

sensorik ini seperti mengatur hidup, membuat catatan pribadi

mengenai daerah tubuh yang terkena, makanan yang

menguntungkan terhadap penglihatan; menggambarkan bagian

tubuh yang terkena trauma.

Rasional : Pasien dapat meningkatkan kemandiriannya,

meningkatkan rasa control, karena mempunyai kemampuan untuk

kompensasi terhadap penurunan neurologis yang dialaminya.

15) Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi

kognitif.

Rasional : Pendekatan antardisiplin dapat menciptakan rencana

penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi

kemampuan/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan

berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif, dan

keterampilan perceptual.
83

d. Proses pikir, perubahan dapat dihubungkan dengan perubahan

fisiologis, konflik psikologis.

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1) Defisit/perubahan memori jarak jauh, saat ini, yang baru terjadi.

2) Pengalihan perahatian, perubahan lapang/konsentrasi perhatian.

3) Disorientasi terhadap waktu, temapt orang, lingkungan, dan

kejadian.

4) Kerusakan kemampuan untuk membuat keputusan, pemecahan

masalah, alasan, abstrak, atau konseptualisasi.

5) Perubahan kepribadian.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Mempertahankan/melakukan kembali orientasi mental dan realitas

biasanya.

2) Mengenali perubahan berfikir/perilaku.

3) Berpartisipasi dalam aturan terapuetik/penyerapan kognitif.

Rencana tindakan :

1) Kaji rentang perhatian, kebingungan, dan catat tingkat ansietas

pasien.

Rasional : Rentang perhatian/kemampuan untuk berkonsentrasi

mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan dan

merupakan potensi terhadap terjadinya ansietas yang

mempengaruhi proses pikir pasien.


84

2) Pastikan dengan orang terdekat untuk membandingkan

kepribadian/tingkah laku pasien sebelum mengalami trauma

dengan respons pasien sekarang.

Rasional : Masa pemulihan cedera kepala meliputi fase agitasi,

respons marah, dan berbicara/proses pikir yang kacau. Munculnya

halusinasi atau perubahan pada interpretasi stimulus dapat

berkembang tergantung dari keadaan trauma atau tergantung dari

berkembangnya bagian tertentu dari otak yang mengalami trauma

tersebut.

3) Pastikan bantuan yang konsisten oleh staf atau keberadaan staf

sebanyak mungkin.

Rasional : Memberikan pasien perasaan yang stabil dan mampu

mengontrol situasi.

4) Usahakan untuk menghadirkan realitas secara konsisten dan jelas,

hindari pikiran-pikiran yang tidak masuk akal.

Rasional : Pasien mungkin tidak menyadari adanya trauma secara

total (amnesia) atau dari perluasan trauma dank arena itu pasien

perlu dihadapkan pada kenyataan terhadap terjadinya cedera pada

dirinya. Orientasi realitas yang terstruktur dapat menurunkan reaksi

perlawanan dari pasien sendiri.

5) Berikan penjelasan mengenai prosedur-prosedur dan tekankan

kembali penjelasan yang diberikan itu oleh sejawat lain. Berikan


85

informasi tentang proses penyakit yang ada hubungannya dengan

gejala yang muncul.

Rasional : Kehilangan struktur internal (perubahan dalam

memori, alasan, dan kemampuan untuk membuat konseptual)

menimbulkan ketakutan baik terhadap pengaruh proses yang tidak

diketahui maupun retensi terhadap informasi, ansietas yang

kompleks, kebingungan dan disorientasi.

6) Jelaskan pentingnys melakukan pemeriksaan neurologis secara

berulang dan teratur.

Rasional : Pemahaman bahwa pengkajian dilakukan secara teratur

untuk mencegah/membatasi komplikasi yang mungkin terjadi dan

tidak menimbulkan suatu hal yang serius pada pasien dapat

membantu menurunkan ansietas.

7) Kurangi stimulus yang merangsang, krirtik yang yang negative,

argumentasi, dan konfrontasi.

Rasional : Menurunkan resiko terjadinya respon pertengkaran

atau penolakan. Pasien dengan cedera kepala berat mungkin

menjadi kasar atau menyiksa secara fisik/verbal.

8) Dengarkan dengan penuh perhatian semau hal yang diungkapkan

pasien.

Rasional : Perhatian dan dukungan yang diberikan pada individu

akan meningkatkan harga diri dan mendorong kesinambungan

usaha tersebut.
86

9) Tingkatkan sosialisai dalam batas-batas yang wajar.

Rasional : Penguatan terhadap tingkah laku yang positif (seperti

interaksi yang sesuai dengan orang lain) mungkin bermanfaat

dalam proses belajar struktur internal.

10) Anjurkan pada orang terdekat untuk memberikan berita

baru/keadaan keluarga dan sebagainya.

Rasional : Meningkatkan terpeliharanya kontak dengan keadaan

yang biasa terjadi yang akan meningkatkan orientasi realitas dan

berpikir normal.

11) Instruksikan untuk melakukan teknik relaksasi. Berikan aktivitas

yang beragam.

Rasional : Dapat membantu untuk memfokuskan kembali

perhatian pasien dan untuk menurunkan ansietas pada tingkat yang

dapat ditanggulangi.

12) Pertahankan harapan realitas dari kemampuan pasien untuk

mengontrol tingkah lakunya sendiri, memahami, dan mengingat

informasi yang ada.

Rasional : Penting untuk mempertahankan harapan dari

kemampuan untuk meningkatkan dan melanjutkan sampai pada

tingkat fungsi lebih tinggi untuk mempertahankan harapan dan

meningkatkan aktivitas rehabilitasi kontinu.

13) Hindari meninggalkan pasien sendirian ketika mengalami agitasi,

gelisah atau berontak.


87

Rasional : Ansietas dapat mengakibatkan kehilangan control dan

meningkatkan kepanikan. Dukungan dapat memberikan

ketenangan yang menurunkan ansietas dan resiko terjadinya

trauma.

14) Lakukan tindakan untuk mengontrol emosi, tingkah laku agresif,

jika diperlukan, sepertikatakan pada pasien untuk “berhenti”,

berbicara perlahan, menyingkir dari keadaan tertentu, berikan

distraksi. Mungkin perlu untuk menahan diri pada keadaan

tertentu.

Rasional : Pasien mungkin memerlukan bantuan/kontrol dari luar

untuk melindungi diri atau orang lain dari keadaan bahaya hingga

control internal pulih kembali. Restrein (pegangan fisik, mekanik,

atau farmakologis) harus digunakan secara bijaksana untuk

menghindari kekerasan atau tingkah laku yang tidak rasional.

15) Beritahu pasien/orang terdekat bahwa fungsi intelektual, tingkah

laku, dan fungsi emosi akan meningkat secara perlahan namun

beberapa pengaruhnya mungkin tetap ada selama beberapa bulan

atau bahkan bisa menetap atau permanen.

Rasional : Kebanyakan pasien dengan cedera kepala mengalami

masalah dengan daya konsentrasi dan memorinya dan mungkin

daya pikirnya menjadi lambat, mengalami kesulitan dalam

memecahkan masalah. Pemulihan/kesembuhan dapat juga tuntas

atau meninggalkan gejala sisa.


88

16) Koordinasikan/ikutsertakan pada pelatihan kognitif atau program

rehabilitasi sesuai indikasi.

Rasional : Membantu dengan metode pengajaran yang baik untuk

kompensasi gangguan pada kemampuan berpikir dan mengatasi

masalah konsentrasi, memori, daya penilaian, runutan, dan

menyelesaikan masalah.

17) Rujuk pada kelompok-kelompok penyokong seperti asosiasi cedera

kepala, pelayanan social (jika ada).

Rasional : Bantuan tambahan mungkin bermanfaat dalam

menyokong upaya-upaya pemulihan.

e. Mobilitas fisik, kerusakan dapat dihubungkan dengan kerusakan

persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan,terapi

pembatasan/kewaspadaan keamanan, mis, tirah baring, imobilisasi.

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1) Ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik,

termasuk mobilitas ditempat tidur, pemindahan, ambulasi.

2) Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan

kekuatan/kontrol otot.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal,

dibuktikan oleh takadanya kontraktur, footdrop.

2) Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh

yang sakit dan/atau kompensasi.


89

3) Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan

dilakukannya kembali aktivitas.

4) Mempertahankan integritas kulit, kandung kemih, dan fungsi usus.

Rencana tindakan :

1) Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada

kerusakan yang terjadi.

Rasional : Mengidentifikasi kemungkina kerusakan secara

fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan

dilakukan.

2) Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala

ketergantungan (0-4).

Rasional : Pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan

bantuan/peralatan yang minimal (nilai 1); memrrlukan bantuan

sedang/dengan pengawasan/diajarkan (nilai 2); memerlukan

bantuan/peralatan yang terus menerus dan alat khusus (nilai 3);

atau tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4).

Seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai resiko

kecelakaan namun kategori dengan nilai 2-4 mempunyai resiko

yang terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut sehubungan dengan

imobilisasi.

3) Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan

karena tekanan. Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit

perubahan posisi antara waktu perubahan posisi tersebut.


90

Rasional : Perubahan posisi yang teratur menyebabkan

penyebarab terhadap berat badan dan meningkatkan sirkulasi pada

seluruh bagian tubuh. Jika ada paralisis atau keterbatasan kognitif,

pasien harus diubah posisinya secara teratur dan posisi dari daerah

yang sakit hanya dalam jangka waktu yang sangat terbatas.

4) Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional, seperti bokong,

kaki, tangan. Pantau selama penempatan alat dan/atau tanda

penekanan dari alat tersebut.

Rasional : Penggunaan sepatu tenis hak tinggi, “space boots”, dan

“kulit domba T-bar” dapat membantu mencegah footdrop. Bidai

tangan bervariasi dan didesain untuk mencegah deformitas tangan

dan meningkatkan fungsinya secara optimal. Penggunaan bantal,

gulungan alas tidur dan bantal pasir dapat membantu mencegah

terjadinya rotasi abnormal pada bokong.

5) Sokong kepala dan badan, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika

pasien berada pada kursi roda. Beri pengalas pada kursi dengan

busa atau balon air dan bantu pasien untuk memindahkan berat

badannya dengan periode waktu yang teratur.

Rasional : Mempertahankan kenyamanan, keamanan, dan postur

tubuh yang normal dan mencegah/menurunkan risiko kerusakan

kulit pada daerah kogsigis.


91

6) Berikan/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.

Rasional : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi

normal ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.

7) Instruksikan/bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan

alat mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat

diri sendiri sesuai kemampuan.

Rasional : Proses penyembuhan yang lambat seringkali menyertai

trauma kepala dan pemulihan secara fisik merupakan bagian yang

amat penting dari suatu program pemulihan tersebut. Keterlibatan

pasien dalam perencanaan dan kegiatan adalah sangat penting

untuk meningkatkan kerjasama pasien atau keberhasilan dari suatu

program tersebut.

8) Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab,

dan anti linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut

tetap bersih dan bebas dari kerutan (jaga tetap tegang).

Rasional : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan

menurunakan resiko terjadinya ekskoriasi kulit.

9) Berikan perawatan mata, air mata buatan; tutup mata sesuai

kebutuhan.

Rasional : Melindungi jaringan lunak dari peristiwa kekeringan.

Pasien perlu menutup mata selama tidur untuk melindungi mata

dari trauma jika tidak dapat menjaga mata tetap tertutup.


92

10) Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau urine. Bantu dengan

latihan kandung kemih jika memungkinkan.

Rasional : Pemakaian kateter Foley selama fase akut mungkin

dibutuhkan untuk jangka waktu yang panjang sebelum

memungkinkan untuk melakukan latihan kandung kemih. Saat

kateter dilepas, beberapa metode kontrol dapat dicoba, seperti

kateterisasi intermiten (selama pengosongan sebagian atau

seluruhnya); kateter eksternal; interval diatas pispot memberikan

duk inkontinen

11) Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh

toleransi oleh neurologis dan jantung)

Rasional : Sesaat setelah fase akut cedera kepala dan jika pasien

tidak memiliki faktor kontraindikasi yang lain, pemberian cairan

yang memadai akan menurunkan resiko terjadinya infeksi saluran

kemih/batu ginjal/batu kandung kemih dan berpengaruh cukup

baik terhadap konsistensi feses yang normal dan turgor kulit

menjadi optimal.

12) Pantau pola eliminasi dan berikan/bantu untuk dapat melakukan

defekasi secara teratur. Periksa adanya konsistensi feses yang

keras; gunakan stimulasi manual sesuai indikasi. Biarkan pasien

duduk di toilet pada interval tertentu secara teratur. Tambahkan

makanan berserat atau buah-buahan berserat pada diet sesuai

dengan kebutuhan.
93

Rasional : Defekasi yang teratur merupakan kebutuhan yang

sederhana tetapi merupakan tindakan yang amat penting untuk

mencegah terjadinya komplikasi. Stimulsi sfingter internal dari

anus akan merangsang usus kosong secara otomatis jika feses

tersebut cukup lembek. Posisi duduk membantu evakuasi feses

tersebut.

13) Periksa adanya daerah yang mengalami nyeri tekan, kemerahan,

kulit yang hangat, otot yang tegang, dan/atau sumbatan vena pada

kaki. Observasi adanya dispnea tiba-tiba, takikardia, demam,

distress pernapasan dan nyeri dada.

Rasional : Pasien tersebut di atas mempunyai resiko

berkembangnya trombosis vena dalam (TVD) dan emboli

pulmonal (EP) (terutama setelah trauma), yang memerlukan

tindakan/intervensi/penilaian medis dengan segera untuk mencegah

komplikasi yang serius.

14) Berikan matras udara/air, terpi kinetic sesuai dengan kebutuhan.

Rasional : Menyeimbangkan tekanan jaringan, meningkatkan

sirkulasi, dan membantu meningkatkan arus balik vena untuk

menurunkan risiko terjadinya trauma jaringan.

f. Infeksi, resiko tinggi terhadap dapat dihubungkan dengan jaringan

trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, statis

cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respon inflamasi tertekan (pengaruh

steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).


94

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1) Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala

membuat dignosa aktual.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Mempertahakan normotermi, bebas tanda-tanda infeksi.

2) Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.

Rencana tindakan :

1) Berikan perawatan aseptik dan antiseptic, pertahankan teknik cuci

tangan yang baik.

Rasional : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi

nosokomial.

2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka,

garis jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infuse

dan sebagainya), catat karkteristik dari drainase dan adanya

inflamasi.

Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan

untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap

komplikasi selanjutnya.

3) Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, menggigil,

diaphoresis, dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran)

Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang

selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.


95

4) Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran

secret paru secara terus-menerus. Observasi karakteristik sputum.

Rasional : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru

untuk menurunkan risiko terjadinya pneumonia, atelektasis.

Catatan: Drainase postural harus digunakan dengan hati-hati jika

ada risiko terjadinya peningkatan TIK.

5) Berikan perawatan perineal. Pertahankan integritas dari sistem

drainase urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk

minum adekual

Rasional : Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan

bakteri atau infeksi yang merambah naik.

6) Observasi warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang

tidak enak).

Rasional : Sebagai indikator dari perkembangan infeksi pada

saluran kemih yang memerlukan tindakan dengan segera.

7) Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah

pengunjung yang mengalami infeksi saluran napas bagian atas.

Rasional : Menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman

penyebab infeksi”.

8) Berikan antibiotic sesuai indikasi.

Rasional : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang

mengalami trauma (perlukaan), kebocoran CSS atau setelah


96

dilakukan pembedahan untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi

nosokomial.

9) Ambil bahan pemeriksaan (specimen) sesuai indikasi.

Rasional : Kultur/sensitivitas, pewarnaan Gram dapat dilakukan

untuk memastikan adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme

penyebab dan untuk menentukan obat pilihan yang sesuai.

g. Nutrisi, perubahan, kurang dari kebutuhan tubuh, resiko tinggi

terhadap dapat dihubungkan dengan perubahan kemampuan untuk

mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran)kelemahan otot yang

diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik.

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1) Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala

membuat diagnosa actual.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Mendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan penigkatan berat

badan sesuai tujuan.

2) Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai

laboratorium dalam rentang normal.

Rencana tindakan :

1) Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk, dan

mengatasi sekresi.

Rasional : Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis

makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.


97

2) Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau

suara yang hiperaktif.

Rasional : Fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik pada

kasus cedera kepala, jadi bising usus membantu dalam menentukan

respons untuk makan atau berkembangnya komplikasi, seperti

paralitik ileus.

3) Timbang berat badan sesuai indikasi.

Rasional : Mengevaluasi keefektifann atau kebutuhan mengubah

pemberian nutrisi.

4) Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti

tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selama

pemberian makan lewat selang NGT.

Rasional : Menurunkan risiko regurgitasi dan/atau terjadinya

aspirasi.

5) Berikan makanan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering

dengan teratur.

Rasional : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien

terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama

pasien saat makan.

6) Tingkatkan kenyamanan, lingkungan yang santai termasuk

sosialisasi saat makan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa

makanan yang disukai pasien.


98

Rasional : Meskipun proses pemilihan pasien memerlukan

bantuan makan dan/atau menggunakan alat bantu, sosialisasi waktu

makan dengan orang terdekat atau teman dapat meningkatkan

pemasukan dan menormalkan fungsi makan.

7) Kaji feses, cairan lambung, muntah darah dan sebagainya.

Rasional : Perdarahan subakut/akut dapat terjadi (ulkus Cushing)

dan perlu intervensi dan metode alternative pemberian makan.

8) Konsultasi dengan ahli gizi.

Rasional : Merupakan sumber yang efektif untuk

mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi tergantung pada usia,

berat badan, ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang (trauma,

penyakit jantung/masalah metabolisme).

9) Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti albumin darah,

transferin, keadaan asam amino, zat besi, ureum/kreatinin,

keseimbangan nitrogen (CTT), glukosa, AST/ALT dan elektrolit

darah.

Rasional : Mengidentifikasi defisiensi nutrisi, fungsi organ, dan

respons terhadap terapi nutrisi tersebut.

10) Berikan makan dengan cara yang sesuai, seperti melalui selang

NG, melalui oral dengan makanan lunak dan cairan yang agak

kental.

Rasional : Pemilihan rute pemberian tergantung pada kebutuhan

dan kemampuan pasien. Makan melalui selang (NG) mungkin


99

diperlukan pada awal pemberian. Jika pasien mampu menelan,

makanan lunak atau makanan setengah cair mungkin lebih mudah

diberikan tanpa menimbulkan aspirasi.

11) Libatkan terapi wicara, terapi okupasi/fisioterapi jika masalah

mekanis masih ada, seperti gangguan refleks menelan, kaku

rahang, kontraktur pada tangan dan paralisis.

Rasional : Strategi/peralatan khusus mungkin diperlukan untuk

meningkatkan kemampuan untuk makan

h. Proses keluarga, perubahan dapat dihubungakan dengan transisi dan

krisis situasional,ketidakpastian tentang hasil/harapan.

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1) Kesulitan berpartisipasi terhadap perubahan atau menghadapi

pengalaman traumatik secara konstruktif.

2) Keluarga tidak memenuhi kebutuhan anggotanya.

3) Kesulitan menerima atau mendapatkan bantuan dengan tepat.

4) Ketidaktepatan untuk mengekspresikan atau menerima perasaan

dari anggota keluarga.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat.

2) Mengidentifikasi sumber-sumber internal dan eksternal untuk

menghadapi situasi.

3) Mengarahkan energi dalam cara yang bertujuan untuk

merencanakan resolusi krisis.


100

4) Mendorong dan memungkinkan anggota yang cedera untuk maju

ke arah kemandirian.

Rencana tindakan :

1) Catat bagian-bagian dari unit keluarga, keberadaan/keterlibatan

sistem pendukung.

Rasional : Menentukan adanya sumber keluarga dan

mengidentifikasikan hal-hal yang diperlukan.

2) Anjurkan keluarga untuk mengemukakan hal-hal yang menjadi

perhatiannya tentang keseriusan kondisi, kemungkinan untuk

meninggal, atau kecatatan (ketidakmampuan).

Rasional : Pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka dapat

menurunkan ansietas dan mengkatakan koping terhadap realitas.

3) Dengarkan pasien dengan penuh perhatian selama pasien

mengungkapkan ketidak berdayaannya/yang membuatnya gelisah.

Rasional : Kegembiraan dapat berubah menjadi

kesedihan/kemarahan akan “kehilangan” dan kebutuhan pertemuan

dengan “orang baru yang mungkin asing bagi keluarga dan bahkan

tidak disukai oleh keluarganya.” Berlarutnya perasaan seperti

tersebut diatas dapat menimbulkan depresi.

4) Anjurkan untuk mengakui perasaannya. Jangan menyangkal atau

meyakinkan bahwa segala sesuatunya akan beres/baik-baik saja.

Rasional : Karena hal tersebut tidak mungkin untuk diperkirakan

hasilnya, hal tersebut lebih bermanfaat untuk membantu seseorang


101

menyatakan perasaannya tenteng apa yang sedang terjadi sebagai

akibat dari pemberian keyakinan yang kurang tepat/salah.

5) Berikan penguatan awal terhadap penjelasan tantang luasnya

trauma, rencana pengobatan, dan prognosisnya. Berikan informasi

yang tepat dan akurat pada tingkat pemahaman yang dapat diterima

saat ini.

Rasional : Pasien/orang terdekat tidak dapat

menyerap/memahami semua informasi yang disampaikan dan

hambatan dapat terjadi sebagai akibat dan emosi karena trauma.

Dengan diberikan dapat membantu menurunkan konsepsi yang

keliru, takut tentang sesuatu yang tidak diketahui/perkiraan di masa

datang.

6) Tekankan pentingnya untuk selalu menjaga suatu dialog terbuka

secara terus menerus antara anggota keluarga.

Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengungkapkan

perasaan dalam suasana terbuka. Saling mengenal dan kesadaran

terhadap suatu dengan yang lainnya akan meningkat dan akan

menghilangkan rasa marah.

7) Evaluasi/diskusikan harapan/tujuan keluarga.

Rasional : Keluarga mungkin percaya bahwa pasien akan hidup,

rehabilitas akan sangat dibutuhkan untuk pengobatannya.

Walaupun informasinya akurat, harapan dapat tidak terwujud.


102

Penyembuhan awalnya juga dapat berjalan cepat lalu menurun lagi

yang mengakibatkan kekecewaan/frustasi.

8) Tentukan peran khusus dan antisipasi/terima adanya perubahan.

Rasional : Tanggung jawab/peran mungkin harus sebagian atau

secara keseluruhan dibedakan pada anggota keluarga yang lain,

yang selanjutnya dapat menimbulkan kerumitan terhadap koping

keluarga.

9) Kaji kekuatan yang dimiliki, seperti apakah usaha pengambilan

keputusan bermanfaat atau malah tidak ada gunanya.

Rasional : Mungkin memerlukan bantuan untuk memfokuskan

kekuatan agar menjadi efektif/meningkatkan koping.

10) Tentukan dan anjurkan untuk menggunakan cara-cara koping

tingkah laku yang cukup berhasil yang sebelumnya dilakukan.

Rasional : Berfokus pada kekuatan dan penguatan kemampuan

khusus untuk menghadapi krisis saat-saat sekarang ini.

11) Demonstrasikan dan anjurkan penggunaan keterampilan

penanganan stress, seperti teknik relaksasi, latihan bernapas,

visualisasi

Rasional : Membantu mengarahkan perhatian terhadap vitalitas

sendiri untuk meningkatkan kemampuan koping seseorang.

12) Bantu keluarga untuk mengenal kebutuhan semua anggota

keluarga.
103

Rasional : Perhatian mungkin juga terpusat pada anggota

keluarga yang mengalami sakit yang membuat anggota keluarga

yang lain merasa terisolasi/diabaikan yang mana dapat

mengganggu pertumbuhan/ keutuhan keluarga.

13) Beri dukungan terhadap keluarga yang merasa “kehilangan”

anggotanya. Ukur normalitas tentang perasaan yang lebar dan

proses-proses alamiah.

Rasional : Walaupun berduka tidak pernah teratasi penuh dan

keluarga mungkin bimbang terhadap barbagai tahap, memahami

bahwa ini adalah khas mungkin membantu anggota keluarga

menerima/ menghadapi keadaan.

14) Libatkan keluarga dalam pertemuan tim rehabilitasi dan

perencanaan perawatan/pengambilan keputusan.

Rasional : Memfasilitasi komunikasi, memungkinkan keluarga

untuk menjadi bagian integral dari rehabilitasi dan memberikan

rasa kontrol.

15) Identifikasi sumber-sumber komunitas yang ada seperti perawatan

di rumah, konselor mengenai hukum/finansial.

Rasional : Memberikan bantuan dengan masalah yang mungkin

meningkat sebagai akibat dari rehabilitasi dan memberikan rasa

kontrol.

16) Rujuk pada terapi keluarga, atau kelompok-kelompok penyokong

lainnya.
104

Rasional : Perubahan kognitif/kepribadian biasanya sangat sulit

diterima keluarga. Penelusuran implus kontrol, emosi yang labil,

seksual yang tidak sesuai atau perilaku agresif, bermusuhan dapat

menggangu keluarga dan mengakibatkan perceraian dan

sebagainya. Terapis dan model peran teman sebaya mungkin

membantu keluarga menghadapi perasaan/situasi/memberikan

dukungan untuk keputusan yang dibuat.

i. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenal kondisi dan

kebutuhan pengobatan dapat dihubungkan dengan kurang pemajanan,

tidak mengenal informasi/sumber/sumber, kurang

mengingat/keterbatasan kognitif.

Kemungkinan dibuktikan oleh :

1) Meminta informasi, pernyataan salah konsepsi.

2) Ketidakakuratan mengikuti instruksi.

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan :

1) Berpartisipasi dalam proses belajar.

2) Mengugkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan,

potensial komplikasi.

3) Memulai perubahan gaya hidup baru dan/atau keterlibatan dalam

program rehabilitasi.

4) Melakukan prosesdur yang diperlukan dengan benar.


105

Rencana tindakan :

1) Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan

juga keluarganya.

Rasional : Memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang

didasarkan atas kebutuhan secara individual. Catatan: Pasien

mungkin tidak mampu menerima informasi baik secara emosi

maupun secara mental.

2) Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan protes

trauma dan pengaruh sesudahnya.

Rasional : Membantu dalam menciptakan harapan yang realistis

dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini dan

kebutuhannya.

3) Berikan kembali/berikan penguatan terhadap pengobatan yang

diberikan sekarang. Identifikasi program yang kontinu setelah

proses penyembuhan.

Rasional : Aktivitas, pembatasan, pengobatan/kebutuhan terapi

yang direkomendasikan diberikan/disusun atas dasar pendekatan

antardisiplin dan evaluasi amat penting untuk pekembangan

pemulihan/pencegahan terhadap komplikasi.

4) Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.

Rasional : Berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan

yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual.


106

5) Berikan intruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai

aktivitas, obat-obatan, dan faktor-faktor penting lainnya.

Rasional : Memberikan penguatan vital dan rujukan setelah

sembuh.

6) Identifikasi tanda/gejala adanya faktor risiko secara individual,

seperti kebocoran CSS yang lama, kecang pasca trauma.

Rasional : Mengenal berkembangnya masalah memberikan

kesempatan untuk mengevaluasi dan intervensi lebih awal untuk

mencegah terjadinya komplikasi yang serius.

7) Diskusikan dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dari

gejala seperti munculnya tanda dan gejala yang pernah dialaminya

saat trauma terjadi (pikiram melayang, pikiran kacau, mimpi

berulang/mimpi buruk); emosi/fisik yang sukut berespons

(tumpul); perubahan gaya hidup termasuk adaptasi dan tingkah

laku yang merusak.

Rasional : Dapat menjadi tanda adanya eksaserbasi respons pasca

traumatic yang dapat terjadi dalam beberapa bulan sampai

beberapa tahun setelah mengalami trauma.

8) Identifikasi sumber-sumber yang berada di masyarakat, seperti

kelompok penyokong cedera kepala, pelayanan social, fasilitas

rehabilitasi, program pasien di luar rumah sakit.


107

Rasional : Diperlukan untuk memberikan bantuan perawatan

secara fisik, penanganan di rumah, perubahan dalam gaya hidup

baik secara emonsional maupun secara finansial.

9) Rujuk/tegaskan kembali pentingnya untuk melakukan evaluasi

dengan tim rehabilitasi, seperti terapi fiski, terapi wicara, tetapi

okupasi dan sebagainya termasuk pula untuk melatih kembali

proses kognitif.

Rasional : Kerja keras (seringkali selama beberapa tahun dengan

pemberian asuhan ini) akhirnya menghasilkan deficit neurologis

dan memampukan pasien untuk memulai gaya hidup

baru/produktif

5. Implementasi

Implementasi adalah pelaksanaan dari intervensi untuk mencapai

tujuan yang spesifik. Tahap implemenstasi dimulai setelah rencana

intervensi disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu

klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, rencana

intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor

untuk mempengaruhi masalah kesehatan klien. Tujuan dari implementasi

adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang

mencakup peningkatan kesehatan yang mencakup peningkatan kesehatan,

pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping

(Nursalam, 2001).
108

6. Evaluasi

Evaluasi adalah timdakan intelektual untuk melengkapi proses

keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosa keperawatan,

rencana intervensi, dan implementasinya (Nursalam, 2001).

Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-

item atau perilaku yang dapat diamati dan dipantau untuk menentukan

apakah hasil sudah tercapai atau belum dalam jangka waktu yang telah

ditentukan (Doenges, 2000).


109

BAB III

TINJAUAN KASUS

Pada bab ini penulis akan mengemukakan hasil asuhan keperawatan pada

Tn. Y dengan diagnosa medis post kraniotomi et causa cedera kepala berat, di

Ruang Perawatan Bedah Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan

Provinsi Kalimantan Utara mulai Tanggal 03 Juli sampai dengan 05 Juli 2014.

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada kasus ini, penulis

menggunakan pendekatan proses keperawatan secara sistematis dalam

memecahkan masalah keperawatan. Pelaksanaan asuhan keperawatan dimulai dari

pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

A. Pengkajian

Pada tahap pengkajian ini penulis mengumpulkan data dari klien,

keluarga klien, perawat ruangan, dokter dan catatan medik Tn. Y dengan post

kraniotomi et causa cedera kepala berat yang dirawat di Ruang Perawatan

Bedah Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan serta dengan

melakukan pemeriksaan fisik langsung pada Tn. Y maupun observasi

langsung pada tanggal 03 Juli 2014 pukul 08.30 Wita.

1. Identitas Klien

Klien bernama Tn. Y, masuk Rumah Sakit pada Tanggal 27 Juni

2014, pada pukul 19.51 Wita, klien berumur 23 Tahun, status perkawinan

menikah, jenis kelamin laki-laki, agama Katolik, suku/bangsa

Dayak/Indonesia, pendidikan tidak sekolah, pekerjaan petani, alamat Jl.

Piton Aji Rt. 03 No. 23 Sekatak. Klien dirawat di Ruang Perawatan Bedah
110

Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan sejak tanggal 27 Juni

2014 dengan Diagnosa Medis Cedera Kepala Berat, dengan Nomor

Registrasi 01.92.xx.

2. Riwayat Keperawatan

a. Keluhan utama

Klien mengatakan pusing.

b. Riwayat keluhan utama

Klien mengatakan setelah operasi kepalanya pusing, pusing

bertambah pada saat ingin mengubah posisi dan berkurang pada saat

beristirahat, klien tampak memegang kepalanya.

c. Riwayat penyakit sekarang

Klien masuk rumah sakit pada Tanggal 27 Juni 2014, setelah

mengalami kecelakaan lalu lintas bersama istrinya, klien terpental dari

motor dan kepalanya terbentur aspal. Klien mengatakan sempat

muntah sebanyak 2 kali setelah tabrakan dan setelah itu klien tidak

sadarkan diri, setelah sadar klien sudah berada di rumah sakit. Klien

dilakukan tindakan operasi pada tanggal 30 Juni 2014 dan setelah

operasi klien mengeluh kepalanya terasa pusing. Klien tidak dapat

membuka kelopak mata kanannya dan ketika melihat dengan

menggunakan mata kanannya, klien mengatakan penglihatannya

kabur.
111

d. Riwayat penyakit dahulu

Klien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi terhadap

minum/makan dan obat-obatan serta cuaca. Klien tidak pernah dirawat

di Rumah Sakit sebelumnya dan tidak sedang dalam pengobatan.

e. Riwayat penyakit keluarga

Klien mengatakan kedua orang tuanya telah meninggal dunia.

Ayah klien meninggal karena penyakit Stroke dan Ibunya meninggal

karena faktor usia. Dalam keluarga klien tidak ada yang menderita

penyakit menular seperti Hepatitis dan Tuberkulosis, serta tidak ada

yang menderita penyakit kronik seperti kanker.

f. Genogram

Keterangan : : Laki-laki : Tinggal Serumah

: Perempuan : Klien/pasien

: Meninggal

: Tidak diketahui secara pasti

Bagan 3.1 : Genogram (Klien dan Keluarga)


112

3. Data Psiko Sosial Ekonomi

Sebelum sakit :

Klien mengatakan sebagai kepala keluarga dalam rumah tangga

yang bekerja untuk menafkahi Istri dan Anaknya, orang yang dipercaya

oleh klien adalah istirnya. Klien dalam masyarakat hanya sebagai orang

biasa dam tidak pernah mengikuti kegiatan masyarakat.

Saat sakit :

Klien mengatakan tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai kepala

Keluarga untuk berkerja dan menafkahi Anak dan Istrinya karena lagi

sakit. Klien ingin cepat pulang karena sudah tidak betah di Rumah sakit.

4. Pola Spiritual

Sebelum sakit :

Klien menganut Agama Katolik. Klien mengatakan jarang

melaksanakan ibadah dan kewajiban keagamaan.

Saat Sakit :

Klien tidak dapat melakukan ibadah dan kegiatan keagamaan karena

sakit dan hanya bisa berbaring di tempat tidur.

5. Pola Kebiasaan Sehari-Hari

a. Nutrisi

1) Makan

Sebelum sakit :

Klien makan 2 kali sehari dengan selera makan yang baik.

Klien mengatakan makan nasi, lauk pauk dan sayur-sayuran


113

dengan porsi dihabiskan. Klien tidak memiliki makanan pantangan

dan tidak ada kesulitan dalam menelan.

Saat sakit :

Klien dijadwalkan makan pada tanggal 02 Juli 2014, klien

makan 3 kali sehari dengan selera makan baik. Klien mengatakan

selalu menghabiskan makanan yang disediakan rumah sakit dan

tidak ada kesulitan menelan.

2) Cairan

Sebelum sakit :

Klien mengatakan minum 8-9 gelas sehari dengan jenis

minuman air putih dan teh terkadang minum kopi.

Saat sakit :

Klien minum air putih sebanyak kurang lebih 1.000 ml. Klien

terpasang infus dengan cairan NaCl 0,9% dengan jumlah tetesan 20

tetes permenit.

a) Input per 24 jam : Minum : 1.000 cc

Infus : 1.500 cc

Manitol : 150 cc

Air Metebolic : 295 cc

Injeksi obat : 67 cc

Total : 3.012 cc
114

b) Output per 24 jam : Urin : 1.750 cc

Drain : 20 cc

IWL : 885 cc

Total : 2.655 cc

c) Balance cairan : Input - Output

: 3.012 - 2.655

: 357 cc

b. Eliminasi (uri dan alvi)

1) Eliminasi urine

Sebelum sakit :

Klien mengatakan BAK 3-4 kali sehari dengan jumlah

kurang lebih 200 cc berwarna kuning jernih. Klien tidak

mengalami kesulitan dalam BAK.

Saat sakit :

Pada saat pengkajian jam 08.30 Wita, klien terpasang kateter

dengan ukuran 18 urin, tampung sebanyak 650 cc dan berwarna

kuning pekat.

2) Eliminasi alvi

Sebelum sakit :

Klien mengatakan BAB 1 kali sehari dengan konsensistensi

lunak, berbau khas dan berwarna kuning, klien tidak mengalami

kesulitan dalam BAB.


115

Saat sakit :

Klien mengatakan belum pernah BAB semenjak dirawat di

rumah sakit, namun klien dijadwalkan makan pada tanggal 02 Juli

2014 karena klien masuk rumah sakit pada tanggal 27 Juni 2014

dengan penurunan kesadaran selama 3 hari.

c. Istrahat dan tidur

Sebelum sakit :

Klien mengatakan jarang tidur siang dan tidur malam 6-8 jam

dengan kualitas tidur nyenyak dan jarang terbangun.

Saat sakit :

Klien mengatakan tidur siang kurang lebih 2-3 jam dan tidur

malam kurang lebih 8 jam dengan kualitas tidur sering terbangun tetapi

mudah untuk memulai tidur kembali.

d. Aktivitas dan gerak

Sebelum sakit :

Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan orang

lain.

Saat sakit :

Klien hanya berbaring di tempat tidur saja. Klien mengatakan

aktivitas lain seperti makan, berpakaian dibantu oleh keluarga dan

dilakukan di atas tempat tidur. Klien makan disuapi oleh istrinya.

Klien dapat bergerak di atas tempat tidur dengan bantuan orang lain.
116

e. Personal hygiene

Sebelum sakit ;

Klien mandi 2 kali sehari dan gosok gigi 2 kali sehari, serta

gunting kuku jika kuku sudah panjang.

Saat sakit :

Klien mengatakan belum pernah mandi dan gosok gigi semenjak

dirawat di rumah sakit. Klien tampak kotor.

6. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan sakit

Pasien tampak sakit sedang.

b. Tanda-tanda vital

1) Kesadaran : Komposmentis.

Glasgow Coma Scale (GCS) : R. Metorik : 6

R. Verbal : 5

R. Mata : 4

Total : 15

2) Tekanan darah : 110 / 70 mmHg.

Mean Arteri Preasure : Sistol + 2 × Diastol

: 250

: 83,3 mmHg.
117

3) Nadi : 78 × / Menit.

4) Suhu : 36,20C.

5) Pernafasan : 20 ×/menit, dengan irama teratur.

Bunyi nafas : Vesikuler.

6) Antopometri : BB : 59 kg.

TB : 160 cm.

7) Hal yang mencolok ditemukan : Klien terpasang drain pada

temporal dextra.

c. Pemeriksaan sistemik

1) Kepala

Bentuk kepala normochepal, terdapat luka post krariotomi

yang dibalut dengan verban elastic pada kepala, terpasang drain

hari ke-4 pada oksipital dextra dengan jenis cairan yang keluar

berwarna merah tua (darah) dengan jumlah kurang lebih 20 cc

dan terdapat nyeri tekan pada daerah drain. Kien menyatakan

pusing.

2) Wajah

Inspeksi wajah telihat simetris antara kanan dan kiri, tidak

terdapat pembengkakan pada wajah. Palpasi daerah sinus tidak

ada nyeri tekan. Finger print < 3 detik. Pada pemeriksaan Nervus

VII (facialis); klien dapat tersenyum, mengangkat alis dan

memperlihatkan gigi, senyum klien simetris. Nervus V


118

(trigeminus); tidak terjadi kelumpuhan pada otot wajah, klien juga

mampu merasakan pilinan kapas yang diberikan pada daerah pipi.

3) Mata

Penyebaran alis dan bulu mata merata, sklera berwarna

putih, konjungtiva berwarna merah muda dan terdapat ptosis pada

mata kanan. Pupil anisokor dengan ukuran pupil kanan 4 mm dan

pupil kiri 2 mm. Nervus II (optikus); klien dapat membaca koran

pada jarak 30 cm hanya dengan menggunakan mata sebelah kiri.

Nervus III (okulomotorius), Nervus IV (troclearis), dan Nervus

VI (abdusen); bola mata klien dapat mengikuti arah jari

pemeriksa tanpa menoleh. Pada mata kiri visus 6/6 dan pada mata

kanan visus 5/300 (klien hanya dapat melihat dengan lambaian

tangan).

4) Hidung

Warna membran mukosa merah muda, tidak terdapat

deviasi septum dan tidak terdapat polip. Tidak ada sekret,

epitaksis tidak ada, Nervus I (olfaktorius); klien dapat

membedakan aroma minyak kayu putih dan aroma kopi.

5) Mulut dan tenggorokan

Bibir klien kering, lidah kotor, tidak ada kelainan pada

bibir, tidak ada stomatitis, ukuran tonsil T1, tidak ada kesulitan

dalam menelan. Nervus IX (Glosofaringeus); klien mampu

membedakan rasa asam, asin, manis dan pahit. Nervus X (Vagus);


119

klien tidak ada kesulitan dalam menelan, Nervus XII;

(Hipoglosus) klien dapat mendorong pipi dengan mengunakan

lidah dan dapat menjulurkan lidah.

6) Telinga

Daun telinga terlihat simetris, tidak terdapat serumen,

Nervus VIII (Audiotorius); tes rinne positif. Tes weber tidak ada

lateralisasi dan tes swabah memendek.

7) Leher

Tidak terdapat peningkatan tekanan vena jugularis (5 + 0

cmH2o), tidak terdapat deviasi trakea. Tidak terdapat pembesaran

kelenjar thyroid, tidak terdapat massa, Nervus XI (aksesorius);

klien dapat melawan tanahan bahu dan leher.

8) Thorax

Bentuk dada normochest, pengembangan dada simetris

kanan dan kiri, dan tidak menggunakan alat bantu pernafasan.

Temperatur terasa hangat, vocal premitus getaran seimbang antara

paru kiri dan kanan, Perkusi paru terdengar sonor, batas paru

hepar pada ICS 6 dan batas jantung atas pada ICS 2 mid klavikula

sinistra dan batas jantung bawah pada ICS 5 mid klavikula

sinistra, suara nafas vesikular dan tidak ada terdengar suara nafas

tambahan.
120

9) Jantung

Ictus cordis 1 cm dibawah mamae, batas jantung atas ICS 2

mid klavikula sinistra, batas bawah ICS 5 mid klavikula sinistra,

batas kanan stenalis sinistra. Batas kiri axila anterior sinistra.

Auskultasi bunyi jantung I (dup) pada ICS 4-5 mid klavikula

sinistrra (menutupnya katup mitral dan trikuspid), bunyi jantung

II aorta dan pulmonal pada ICS 2-3 sternal dextra dan ICS 2-3

sternal sinistra. Tidak terdengar bunyi jantung tambahan.

10) Abdomen

Bentuk perut datar simetris antara kiri dan kanan, bentuk

umbilicus tidak menonjol, bising usus 7 kali/menit, terdengar

timpani pada kuadran kiri dan kanan bawah dan pekak pada

kuadran kiri dan kanan atas, tidak ada nyeri tekan dan nyeri tekan

lepas pada semua kuadran.

11) Genetalia

Klien mengunakan pampers, penis dan skrotum klien

tampak kotor, tidak ada lesi, klien terpasang kateter dengan

ukuran 18 urin tampung 650 cc dan berwarna kuning pekat.

12) Anus

Tidak dilakukan pengkajian.


121

13) Lengan dan tungkai

Klien terpasang infus di tangan kanan dengan cairan NaCL

0,9% dengan pemberian 20 tetes permemit, tidak ada kontraktur

sendi, dan tidak ada edema kekuatan otot : 5 5

5 5

Reflek fisiologis : Trisep : Positif kanan dan kiri + = normal.

Bisep : Positif kanan dan kiri + = normal.

Reflek patologis : Babinski : Negatif kiri dan kanan.

14) Collumna vetebralis

Tidak terdapat kelainan pada tulang belakang seperti

kifosis, lordosis maupun skoliosis, serta tidak terdapat adanya

nyeri tekan.

15) Kulit

Warna kulit sawo matang, terasa hangat, kulit klien tampak

kotor tidak terdapat adanya lessi tidak sianosis maupun ikterik,

pemeriksaan, Capillary refilling time 1 detik.

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboraturium

1) Pemeriksaan tanggal 27 Juni 2014.

GDS : 145 mg/dl ( < 140 )

Kreatinin serum : 0,92 ( 0,6-1,3 )


122

2) Pemeriksaan tanggal 30 Juni 2014.

Masa pendarahan/BT : 3 menit ( < 3 menit )

Masa pembekuan/CT : 5 menit ( < 15 menit )

3) Darah lengkap tanggal 27 Juni 2014.

Tabel 3.1. Pemeriksaan Darah Lengkap Tn. Y.


Pemeriksanaan Hasil Nilai Rujukan
WBC 13.3 ×103/µL 4 -12 ribu/mm3
RBC 5.09×106 /µL 4,5 - 6 juta/mm3
HGB 12.2 g /dl 14 - 18 g/dl
HCT 39.6 % 40 - 48 %
MCV 76.6 fl 82 - 92 fl
MCH 29 P9 27 - 31 pg
MCHC 31. 3 g/dl 32 - 37 %
PLT 196×103/µL 150- 450 ribu/mm3
(Rekam Medik RSUD Tarakan)

4) Darah legkap tanggal 30 Juni 2014.

Tabel 3.2. Pemeriksaan Darah Lengkap Tn. Y.


Pemeriksanaan Hasil Nilai Rujukan
WBC 9.3×103 /µL 4 -12 ribu/mm3
RBC 4.58×106 /µL 4,5 - 6 juta/mm3
HGB 10.8 g/dl 14 - 18 g/dl
HCT 34.4 % 40 - 48 %
MCV 78 fl 82 - 92 fl
MCH 23.6 pg 27 - 31 pg
MCHC 31.4 g/dl 32 - 37 %
PLT 187×103 /µL 151- 450 ribu/mm3
(Rekam Medik RSUD Tarakan)

b. Laporan operasi

Nama Dokter : Dr. Janta.

Diagrosa pre-oprerasi : Epidural hematom temporal dextra.

Diagnosa post op : Epidural hematom et causa rupture vena

meningel media dextra.


123

Jaringan yang dieksis/insisi : Cranial eksternal, ligasi arteri meningeal

media.

Tanggal operasi : 30 Juni 2014.

Jam operasi : 14.30 Wita.

Jam operasi Selesai : 17.00 Wita.

Laporan : Insisi aemlires region temporal-flep,

kraniotomi dengan sigli, tampak darah

dan bekuan kurang lebih 20 cc, terdapat

pendarahan arteri meningeal media,

durameter jahitan sentral, tutup dengan

drain tube.

c. CT Scan tanggal 30 Juni 2014/Jam 08.35 Wita.

Kesan : Tampak pendarahan epidural.

8. Therapy

Tabel 3.3. Terapi Obat Pada Tn. Y.


Terapi Dosis Rute
Betahistin 3×12 mg Oral
Dimenthidrinat 3×50 mg Oral
IVFD NaCL 0,9% 500 ml/20 tts/menit Intra vena
Manitol 150 cc/hari Intra vena
Piracetam 3 gr/hari Intra vena
Ceftriaxone 2 gr/hari Intra vena
Ranitidine 50 mg/8 jam Intra vena
Ketorolac 30 mg/8 jam Intra vena
Citicoline 250 gr/8 jam Intra vena
Ondancetron 1 mg/8 jam Intra vena
Vit K 1 gr/8 jam Intra vena
(Rekam Medik RSUD Tarakan)
124

9. Data Fokus

a. Data subyektif

1) Klien masuk rumah sakit pada Tanggal 27 Juni 2014, setelah

mengalami kecelakaan lalu lintas bersama istrinya.

2) Klien mengatakan pusing.

3) Klien mengatakan setelah operasi kepalanya pusing.

4) Pusing bertambah pada saat ingin mengubah posisi dan berkurang

pada saat beristirahat.

5) Klien terpental dari motor dan kepalanya terbentur aspal.

6) Klien mengatakan sempat muntah sebanyak 2 kali setelah tabrakan

dan setelah itu klien tidak sadarkan diri.

7) Klien tidak dapat membuka kelopak mata kanannya dan ketika

melihat dengan menggunakan mata kanannya, klien mengatakan

penglihatannya kabur.

8) Klien mengatakan belum pernah BAB semenjak dirawat di rumah

sakit.

9) Klien mengatakan aktivitas lain seperti makan, berpakaian dibantu

oleh keluarga dan dilakukan di atas tempat tidur.

10) Klien makan disuapi oleh istrinya. Klien dapat bergerak di atas

tempat tidur dengan bantuan orang lain.

11) Klien mengatakan belum pernah mandi dan gosok gigi semenjak

dirawat di rumah sakit.


125

b. Data obyektif

1) Klien tampak memegang kepalanya.

2) Klien dilakukan tindakan operasi pada tanggal 30 Juni 2014 dan

setelah operasi klien mengeluh kepalanya terasa pusing.

3) Pada mata kanan visus 5/300 (klien hanya dapat melihat dengan

lambaian tangan).

4) Klien terpasang kateter dengan ukuran 18 urin tampung sebanyak

650 cc dan berwarna kuning pekat.

5) Klien hanya berbaring di tempat tidur saja.

6) Klien tampak kotor.

7) Terdapat luka post krariotomi yang dibalut dengan verban elastic

pada kepala.

8) Terpasang drain hari ke-4 pada oksipital dextra dengan jenis cairan

yang keluar berwarna merah tua (darah) dengan jumlah kurang

lebih 20 cc dan terdapat nyeri tekan pada daerah drain.

9) Terdapat ptosis pada mata kanan.

10) Pupil anisokor dengan ukuran pupil kanan 4 mm dan pupil kiri 2

mm.

11) Klien mengunakan pampers, penis dan skrotum klien tampak kotor

12) Klien terpasang infus di tangan kanan dengan cairan NaCL 0,9%

dengan pemberian 20 tetes permemit.

13) Kulit klien tampak kotor.


126

14) Pemeriksaan laboratorium tanggal 27 Juni 2014.

WBC : 13.3 × 103/µL

HGB : 12.2 g/dl

15) Pemeriksaan laboratorium tanggal 30 Juni 2014.

HGB : 10.8 g/dl

HCT : 34.4 %

MCV : 78 fl

MCH : 23.6 pg

MCHC : 31.4 g/dl

16) CT Scan tanggal 30 Juni 2014/Jam 08.35 Wita.

Kesan : Tampak pendarahan epidural.

10. Analisis Data

a. Pengelompokan data I

1) Data pendukung

a) Klien masuk rumah sakit pada Tanggal 27 Juni 2014, setelah

mengalami kecelakaan lalu lintas bersama istrinya.

b) Klien terpental dari motor dan kepalanya terbentur aspal.

c) Klien mengatakan sempat muntah sebanyak 2 kali setelah

tabrakan dan setelah itu klien tidak sadarkan diri.

d) Klien mengatakan setelah operasi kepalanya pusing.

e) Klien tampak memegang kepalanya.

f) Pupil anisokor dengan ukuran pupil kanan 4 mm dan pupil kiri

2 mm.
127

g) CT Scan tanggal 30 Juni 2014/Jam 08.35 Wita.

Kesan : Tampak pendarahan epidural.

2) Penyebab : Trauma kepala.

3) Masalah : Resiko tinggi ketidakefektifan perfusi jaringan

serebral. serebral.

b. Pengelompokan Data II

1) Data subjektif

a) Klien tidak dapat membuka kelopak mata kanannya dan ketika

melihat dengan menggunakan mata kanannya, klien

mengatakan penglihatannya kabur.

2) Data objektif

a) Terdapat ptosis pada mata kanan.

b) Pupil anisokor dengan ukuran pupil kanan 4 mm dan pupil kiri

2 mm.

c) Pada mata kanan visus 5/300 (klien hanya dapat melihat

dengan lambaian tangan).

d) Klien dilakukan tindakan operasi pada tanggal 30 Juni 2014.

3) Penyebab : Efek samping dari kraniotomi.

4) Masalah : Perubahan sensori-persepsi : Penglihatan.

c. Pengelompokan Data III

1) Data subjektif.

a) Klien mengatakan pusing.

b) Klien mengatakan setelah operasi kepalanya pusing.


128

c) Pusing bertambah pada saat ingin mengubah posisi dan

berkurang pada saat beristirahat.

d) Klien mengatakan aktivitas lain seperti makan, berpakaian

dibantu oleh keluarga dan dilakukan di atas tempat tidur.

e) Klien makan disuapi oleh istrinyua. Klien dapat bergerak di

atas tempat tidur dengan bantuan orang lain.

f) Klien mengatakan belum pernah mandi dan gosok gigi

semenjak dirawat di rumah sakit.

2) Data objektif.

a) Klien tampak memegang kepalanya.

b) Klien dilakukan tindakan operasi pada tanggal 30 Juni 2014

dan setelah operasi klien mengeluh kepalanya terasa pusing.

c) Klien hanya berbaring di tempat tidur saja.

d) Klien tampak kotor.

e) Kulit klien tampak kotor.

3) Penyebab : Kelemahan umum.

4) Masalah : Intoleran aktivitas.

d. Pengelompokan Data IV

1) Data pendukung

a) Klien terpasang kateter dengan ukuran 18 urin tampung

sebanyak 650 cc dan berwarna kuning pekat.

b) Terdapat luka post krariotomi yang dibalut dengan verban

elastic pada kepala.


129

c) Terpasang drain hari ke-4 pada oksipital dextra dengan jenis

cairan yang keluar berwarna merah tua (darah) dengan jumlah

kurang lebih 20 cc dan terdapat nyeri tekan pada daerah drain.

d) Klien terpasang infus di tangan kanan dengan cairan NaCL

0,9% dengan pemberian 20 tetes permemit.

e) WBC : 13.3 × 103/µL.

2) Penyebab : Luka insisi bedah.

3) Masalah : Resiko tinggi infeksi.

e. Pengelompokan Data V

1) Data pendukung.

a) Klien mengatakan aktivitas lain seperti makan, berpakaian

dibantu oleh keluarga dan dilakukan di atas tempat tidur.

b) Klien makan disuapi oleh istrinyua. Klien dapat bergerak di atas

tempat tidur dengan bantuan orang lain.

c) Klien hanya berbaring di tempat tidur saja.

d) Klien tampak kotor.

e) Kulit klien tampak kotor.

2) Penyebab : Tirah baring lama.

3) Masalah : Resiko tinggi kerusakan intagritas kulit.


130

B. Penyimpangan KDM

Kecelakaan Kendaraan Luka Tusuk Dan Luka


Bermotor Tembus


Respon Fisiologis Otak

Cedera Kepala Berat

Epidural Hematom

↓ ↓ ↓
Kerusakan Sel Otak Kraniotomi Kerusakan Sel Otak
↓ ↓
Gangguan ↓ ↓ Penurunan
Autoregulasi Kesadaran
Tindakan Invasif Defisit Neurologis
↓ ↓
Penurunan Aliran ↓ ↓ Badrest Total
Darah Ke Otak Invasif Bakteri Perubahan Sensori ↓
↓ ↓ Persepsi : Tirah Baring Lama
Penurunan O2 Resiko Tinggi Penglihatan ↓
↓ Infeksi Resiko Tinggi
Asam Laktat Kerusakan
Meningkat Kelemahan Umum Integritas Kulit
↓ ↓
Edem Otak
Intoleran Aktivitas

Perubahan Perfusi
Jaringan Serebral

Bagan 3.2. Penyimpangan KDM Tn. Y dengan post kraniotimi et causa cedera kepala berat.
131

C. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan skala prioritas diagnosa keperawatan yang muncul pada

Tn. Y dengan post kraniotomi et causa cedera kepala berat adalah :

1. Resiko tinggi ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan trauma kepala.

2. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

3. Perubahan sensori-persepsi : penglihatan berhubungan dengan efek

samping kraniotomi.

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka insisi bedah.

5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring

lama.

D. Perencanaan

1. Resiko tinggi ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan trauma kepala.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn. Y selama

3×24 jam diharapkan resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

tidak terjadi dengan kriteria hasil :

a. Kesadaran komposmentis.

b. MAP : 70-100 mmHg.

c. Tidak ada peningkatan TIK seperti muntah proyektil, sakit

kepala,cegukan.
132

Intervensi keperawatan :

a. Pantau tekanan darah.

b. Kaji tanda-tanda peningkatan TIK.

c. Beri posisi head up 300.

d. Anjurkan klien untuk tidak mengejan pada saat BAB.

e. Pelaksanaan pemberian terapi sesuai indikasi.

1) Manitol 150 cc/hari.

2) Piracetam 3 gr/hari.

3) Citicoline 250 gr/8 jam.

4) Vit K 1 gr/8 jam.

2. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum yang ditandai

dengan :

a. Klien mengatakan pusing.

b. Klien mengatakan setelah operasi kepalanya pusing.

c. Pusing bertambah pada saat ingin mengubah posisi dan berkurang

pada saat beristirahat.Klien dilakukan tindakan operasi pada tanggal

30 Juni 2014 dan setelah operasi klien mengeluh kepalanya terasa

pusing.

d. Klien mengatakan aktivitas lain seperti makan, berpakaian dibantu

oleh keluarga dan dilakukan di atas tempat tidur. Klien dapat

bergerak di atas tempat tidur dengan bantuan orang lain.

e. Klien tampak memegang kepalanya.

f. Klien hanya terbaring di tempat tidur.


133

g. Klien tampak kotor.

h. Kulit klien tampak kotor.

i. Penis dan skrotum klien tampak kotor.

j. Bibir klien kering, lidah kotor.

k. Klien mengunakan pampers.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn. Y selama

3×24 jam diharapkan klien berpartisipasi terhadap aktivitas dengan

kriteria hasil :

a. Klien tampak rileks.

b. Klien mampu melakukan kegiatan sendiri seperti makan sendiri.

c. Klien mengatakan kepalanya tidak pusing lagi ketika duduk.

Intervensi keperawatan :

a. Kaji respon individu terhadap akivitas.

b. Bantu klien dalam merubah posisi.

c. Libatkan keluarga dalam pemberian asuhan.

d. Bantu klien dalam pemenuhan ADL.

3. Perubahan sensori-persepsi : Penglihatan berhubungan dengan efek

samping dari kraniotomi yang ditandai dengan :

a. Klien tidak dapat membuka kelopak mata kanannya dan ketika

melihat dengan menggunakan mata kanannya, klien mengatakan

penglihatannya kabur.

b. Terdapat ptosis pada mata kanan.


134

c. Pada mata kanan visus 5/300 (klien hanya dapat melihat dengan

lambaian tangan).

d. Pupil anisokor dengan ukuran pupil kanan 4 mm dan pupil kiri 2

mm.

e. Klien dilakukan tindakan operasi pada tanggal 30 Juni 2014.

Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan pada Tn Y selama 3×24

jam diharapkan penglihatan klien dapat bertambah dengan kriteria hasil :

a. Klien mampu membuka kelopak mata kanannya.

b. Klien mengatakan penglihatan mata kanan sudah tidak kabur.

c. Ukuran pupil kanan 3 mm.

Intervensi keperawatan :

a. Kaji kemampuan penglihatan mata kanan klien.

b. Pantau pupil klien.

c. Beri keamanan pada klien dengan mempertahankan penghalang

tempat tidur tetap terpasang.

d. Dekatkan barang yang dibutuhkan klien dan jauhkan dari perobatan

bahaya.

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka insisi bedah.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn. Y selama

3×24 jam diharapkan resiko infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil :

a. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi seperti : rubor, dolor, kalor,

tumor, fungsio laesa dan pus.

b. Tidak ada peningkatan suhu tubuh.


135

c. Suhu tubuh dalam batas normal 36,5 0C-37,5 0 C.

Intervensi Keperawatan :

a. Observasi daerah kulit yang mengalami luka.

b. Pantau suhu tubuh secara teratur .

c. Beri perawatan aseptik dan anaseptik.

d. Penatalaksanan pemberian ceftriaxone 2 gr/hari.

5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring

lama.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada Tn. Y selama

3×24 jam diharapkan resiko kerusakan integritas kulit tidak terjadi

dengan kriteria hasil :

a. Integritas kulit baik dan bisa dipertahankan.

b. Tidak ada perubahan kulit pada area yang tertekan seperti merah dan

lecet.

Intervensi keperawatan :

a. Kaji adanya kemerahan dan pembengkakan pada area kulit yang

sering tertekan.

b. Lakukan perubahan posisi sesering mungkin.

c. Lakukan massase pada kulit terutama area yang menonjol

(prominan) dengan lotion/minyak.


136

E. Implementasi

Hari Kamis, 03 Juli 2014.

1. Diagnosa Keperawatan I

Resiko tinggi ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan trauma kepala.

a. Pukul 08.40 Wita.

Mengobservasi tanda-tanda vital.

Data subjektif : -

Data objektif : TD : 110/70 mmHg, Nadi : 78 ×/m,

Pernafasan : 20 ×/m, suhu : 36,20C.

b. Pukul 08.45 Wita.

Mengkaji tanda-tanda penigkatan TIK.

Data subjektif : Klien mengatakan pusing.

Klien mengatakan tidak cegukan.

Klien mengatakan tidak ada muntah.

Data objektif : Klien memegang kepala.

Klien tidak cegukan.

Klien tidak mengalami penurunan kesadaran.

c. Pukul 09.00 Wita.

Mempertahankan kepala/leher pada posisi sentral.

Data subjektif : -

Data objektif : Klien berada pada posisi head up (300).


137

d. Pukul 09.10 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Manitol 150 cc.

Data subjektif : Klien mengatakan pusing.

Data objektif : Klien memegang kepala.

e. Pukul 15.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Citicoline 250 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada reaksi alergi setelah

pemasukan obat.

Data objektif : Tidak terdapat reaksi alergi setelah pemasukan

obat (gatal dan kemerahan pada kulit).

f. Pukul 15.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Vit K 1 gr.

Data subjektif : -

Data objektif : Tidak terdapat tanda-tanda perdarahan.

g. Pukul 23.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Citicoline 250 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada reaksi alergi setelah

pemasukan obat.

Data objektif : Tidak terdapat reaksi alergi setelah pemasukan

obat (gatal dan kemerahan pada kulit).

h. Pukul 23.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Vit K 1 gr.


138

Data subjektif : -

Data objektif : Tidak terdapat tanda-tanda perdarahan.

2. Diagnosa Keperawatan II

Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

a. Pukul 08.45 Wita.

Mengkaji kemampuan klien dalam beraktivitas.

Data subjektif : Klien mengatakan pusing ketika ingin duduk.

Data objektif : Klien hanya berbaring di tempat tidur.

b. Pukul 09.00 Wita.

Membantu klien dalam merubah posisi.

Data subjektif : klien mengatakan pusing ketika merubah posisi.

Data objektif : klien tampak miring ke kiri.

c. Pukul 09.15 Wita.

Menganjurkan keluarga untuk membantu aktivitas klien seperti makan.

Data subjektif : Keluarga klien mengatakan akan mengikuti anjuran

yang diberikan.

Data objektif : Keluarga klien tampak memberikan makan klien.

d. Pukul 15.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ondancetron 4 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak mual dan muntah.

Data objektif : Bising usus 16 ×/menit.


139

3. Diagnosa Keperawatan III

Perubahan sensori-persepsi : Penglihatan berhubungan dengan efek

samping dari kraniotomi.

a. Pukul 09.20 Wita.

Mengkaji kemampuan penglihatan mata kanan klien.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak dapat membuka kelopak

matanya.

Klien mengatakan penglihatannya kabur ketika

menggunakan mata kanannya.

Data objektif : Terdapat ptosis pada mata kanan klien.

b. Pukul 14.00 Wita.

Mengobservasi keadaan pupil klien.

Data subjektif : -

Data objektif : Pupil klien anisokor.

Ukuran Pupil Kanan 4 mm dan pupil kiri 2 mm.

c. Pukul 17.00 Wita.

Menaikan pagar tempat tidur klien untuk mencegah klien terjatuh.

Data subjekit : Klien mengatakan merasa lebih aman.

Data objektif : Klien tampak tenang.

d. Pukul 17.10 Wita.

Mendekatkan barang yang dibutuhkan klien seperti handphone.

Data subjektif : -

Data objektif : Handphone klien berada disamping klien.


140

4. Diagnosa Keperawatan IV

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.

a. Pukul 08.45 Wita.

Mengobservasi daerah kulit yang mengalami luka.

Data subjektif : -

Data objektif : Terdapat luka post kraniotomi pada kepala klien

yang dibalut dengan perban elastis.

Balutan tampak bersih.

Tampak drain pada oksipital dextra.

b. Pukul 08.50 Wita.

Mengobservasi suhu tubuh klien.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak demam.

Data objektif : Suhu tubuh klien 36,40c.

c. Pukul 09.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ceftrianxone 2 gr.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada reaksi alergi setelah

pemasukan obat.

Data objektif : Tidak terdapat reaksi alergi setelah pemasukan obat

(gatal dan kemerahan pada kulit).

d. Pukul 15.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ranitidine 50 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada mual dan muntah

Data objektif : Bising usus 13 ×/menit.


141

e. Pukul 15.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ketorolac 30 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada nyeri pada kepala.

Data objektif : Terdapat nyeri tekan pada luka post kraniotomi.

f. Pukul 17.00 Wita.

Melakukan perawatan infus dan kateter klien.

Data subjektif : Klien mengatakan mersa lebih nyaman.

Data objektif : Infus klien tampak bersih.

Kateter dan daerah genetalia klien tampak bersih.

5. Diagnosa Keperawatan V

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring

lama.

a. Pukul 08.40 Wita.

Mengkaji area kulit yang mengalami penekanan.

Data subjektif : Klien mengatakan belakangnya terasa hangat.

Data objektif : Belakang klien tampak kemerahan dan kotor.

b. Pukul 11.00 Wita.

Membantu klien merubah posisi.

Data subjektif : Klien mengatakan pusing ketika merubah posisi

seperti duduk.

Data objektif : Klien tampak miring kanan dan miring kiri.


142

c. Pukul 08.50 Wita.

Menganjurkan klien untuk miring kanan dan miring kiri tiap 2 jam

sekali.

Data subjektif : Klien mengatakan akan mengikuti anjuran yang

diberikan.

Data objektif : Klien tampak miring kanan dan miring kiri.

Hari Jumat, 04 Juli 2014

1. Diagnosa Keperawatan I

Resiko tinggi ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan trauma kepala.

a. Pukul 07.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Citicoline 250 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada reaksi alergi setelah

pemasukan obat.

Data objektif : Tidak terdapat reaksi alergi setelah pemasukan obat

(gatal dan kemerahan pada kulit).

b. Pukul 07.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Vit K 1 gr.

Data subjektif : -

Data objektif : Tidak terdapat tanda-tanda perdarahan.


143

c. Pukul 08.40 Wita.

Mengobservasi tanda-tanda vital.

Data subjektif : -

Data objektif : TD : 110/80 mmHg, Nadi : 78 ×/m.

Pernafasan : 20 ×/m, suhu : 36,20C.

d. Pukul 08.45 Wita.

Mengkaji tanda-tanda penigkatan TIK.

Data subjektif : Klien mengatakan pusing.

Klien mengatakan tidak cegukan.

Klien mengatakan tidak ada muntah.

Data objektif : Klien memegang kepala.

Klien tidak cegukan.

Klien tidak mengalami penurunan kesadaran.

e. Pukul 09.00 Wita.

Mempertahankan kepala/leher pada posisi sentral.

Data subjektif : -

Data objektif : Klien berada pada posisi head up (300).

f. Pukul 15.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Citicoline 250 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada reaksi alergi setelah

pemasukan obat.

Data objektif : Tidak terdapat reaksi alergi setelah pemasukan obat

(gatal dan kemerahan pada kulit).


144

g. Pukul 15.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Vit K 1 gr.

Data subjektif : -

Data objektif : Tidak terdapat tanda-tanda perdarahan.

2. Diagnosa Keperawatan II

Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

a. Pukul 06.00 Wita.

Memandikan klien.

Data subjektif : Klien mengatakan badannya tersara segar.

Data objektif : Klien tampak bersih.

b. Pukul 06.30 Wita.

Memotong kuku klien.

Data subjektif : Klien mengatakan lebih nyaman.

Data objektif : Kuku klien tampak bersih.

c. Pukul 07.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ondancetron 4 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada reaksi alergi setelah

pemasukan obat.

Data objektif : Tidak terdapat reaksi alergi setelah pemasukan obat

(gatal dan kemerahan pada kulit).

d. Pukul 08.45 Wita.

Mengkaji kemampuan klien dalam beraktivitas.

Data subjektif : Klien mengatakan pusing ketika ingin duduk.


145

Data objektif : Klien hanya berbaring di tempat tidur.

e. Pukul 09.00 Wita.

Membantu klien dalam merubah posisi.

Data subjektif : Klien mengatakan pusingnya sudah berkurang.

Data objektif : Klien tampak miring ke kiri.

Pukul 09.15 Wita.

Menganjurkan keluarga untuk membantu aktivitas klien seperti

makan.

Data subjektif : Keluarga klien mengatakan akan mengikuti anjuran

yang diberikan.

Data objektif : Keluarga klien tampak memberikan makan klien.

f. Pukul 07.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ondancetron 4 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada mual dan muntah.

Data objektif : Bising usu 17 ×/menit.

3. Diagnosa Keperawatan III

Perubahan sensori persepsi : Penglihatan berhubungan dengan efek

samping dari kraniotomi.

a. Pukul 09.20 Wita.

Mengkaji kemampuan penglihatan mata kanan klien.


146

Data subjektif : Klien mengatakan tidak dapat membuka kelopak

matanya.

Klien mengatakan penglihatannya kabur ketika

menggunakan mata kanannya.

Data objektif : Tampak ptosis pada mata kanan klien.

b. Pukul 14.00 Wita.

Mengobservasi keadaan pupil klien.

Data subjektif : -

Data objektif : Pupil klien anisokor.

Ukuran Pupil Kanan 4 mm dan pupil kiri 2 mm.

c. Pukul 17.00 Wita

Menaikan pagar tempat tidur klien untuk mencegah klien terjatuh.

Data subjektif : Klien mengatakan merasa lebih aman.

Data objektif : Klien tampak tenang.

d. Pukul 17.10 Wita.

Mendekatkan barang yang dibutuhkan klien seperti gelas dan air.

Data subjektif : -

Data objektif : Gelas dan air klien tampak di samping temapat tidur

klien.

4. Diagnosa Keperawatan IV

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.

a. Pukul 06.00 Wita.

Melakukan perawatan infus dan kateter klien.


147

Data subjektif : Klien mengatakan mersa lebih nyaman.

Data objektif : Infus klien tampak bersih.

Kateter dan daerah genetalia klien tampak bersih.

b. Pukul 07.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ranitidine 50 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada mual dan muntah.

Data objektif : Bising usus 14 ×/menit.

c. Pukul 07.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ketorolac 30 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada nyeri pada pada kepala.

Data objektif : Terdapat nyeri tekan pada luka post kraniotomi.

d. Pukul 08.50 Wita.

Mengobservasi suhu tubuh klien.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak demam.

Data objektif : Suhu tubuh klien 36,20c.

e. Pukul 09.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ceftrianxone 1 gr.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada reaksi alergi setelah

pemasukan obat.

Data objektif : Tidak terdapat reaksi alergi setelah pemasukan obat

(gatal dan kemerahan pada kulit).

f. Pukul 11.00 Wita.

Mengganti balutan luka klien dan up drain klien.


148

Data subjektif : Klien mengatakan lebih nyaman.

Data objektif : Luka klien tampak kering.

Panjang Luka klien 11 cm.

Tidak ada eksudat padat luka klien.

g. Pukul 13.00 Wita.

Melakukan up kateter.

Data subjektif : Klien mengatakan lebih nyaman.

Data objektif : Tidak ada tanda-tanda peradangan pada genetalia

klien.

h. Pukul 15.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian ranitidine 50 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada mual dan muntah.

Data objektif : Bising usus 12 ×/menit.

i. Pukul 15.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ketorolac 30 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada nyeri pada kepala.

Data objektif : Terdapat nyeri tekan pada luka post kraniotomi.

5. Diagnosa Keperawatan V

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring

lama.

a. Pukul 06.10 Wita.

Melakukan masase pada tubuh klien.

Data subjektif : Klien mengatakan lebih nyaman.


149

Data objektif : Belakang klien tampak rileks.

b. Pukul 08.40 Wita.

Mengkaji area kulit yang mengalami penekanan.

Data subjektif : Klien mengatakan belakangnya lembab.

Data objektif : Belakang klien tampak bersih.

c. Pukul 08.50 Wita.

Menganjurkan klien untuk miring kanan dan miring kiri tiap 2 jam

sekali.

Data subjektif : Klien mengatakan akan mengikuti anjuran yang

diberikan.

Data objektif : Klien tampak miring kanan dan miring kiri.

d. Pukul 11.00 Wita.

Membantu klien merubah posisi.

Data subjektif : Klien mengatakan pusing ketika merubah posisi.

Data objektif : Klien tampak miring kanan dan miring kiri.

Hari Sabtu, 05 Juli 2014

1. Diagnosa Keperawatan I

Resiko tinggi ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan trauma kepala.

a. Pukul 07.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Citicoline 250 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada reaksi alergi setelah

pemasukan obat.
150

Data objektif : Tidak terdapat reaksi alergi setelah pemasukan obat

(gatal dan kemerahan pada kulit).

b. Pukul 07.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Vit K 1 gr.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada mual dan muntah.

Data objektif : Bising usus 15 ×/menit.

c. Pukul 08.40 Wita.

Mengobservasi tanda-tanda vital.

Data subjektif : -

Data objektif : TD : 120/80 mmHg, Nadi : 80 ×/m.

Pernafasan : 20 ×/m, suhu : 36,60C.

d. Pukul 08.45 Wita.

Mengkaji tanda-tanda penigkatan TIK.

Data subjektif : Klien mengatakan pusingnya sudah berkurang.

Data objektif : Klien tampak rileks.

e. Pukul 09.00 Wita.

Mempertahankan kepala/leher pada posisi sentral.

Data subjektif : -

Data objektif : Klien berada pada posisi head up (300).

2. Diagnosa Keperawatan II

Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

a. Pukul 07.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ondancetron 4 mg.


151

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada reaksi alergi setelah

pemasukan obat.

Data objektif : Tidak terdapat reaksi alergi setelah pemasukan obat

(gatal dan kemerahan pada kulit).

b. Pukul 07.00 Wita.

Menganjurkan klien untuk mandi.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ingin mandi karena airnya

kotor.

Data objektif : Klien tampak hanya mencuci muka.

c. Pukul 07.20 Wita.

Mengajurkan klien untuk gogok gigi.

Data subjektif : Klien mengatakan akan mengikuti anjuran yang

diberikan diberikan.

Data objektif : klien tampak gosok gigi di kamar mandi.

d. Pukul 08.45 Wita.

Mengkaji kemampuan klien dalam beraktivitas.

Data subjektif : Klien mengatakan pusingnya sudah berkurang.

Klien mengatakan sudah dapat duduk dan berjalan ke

kamar mandi sendiri.

Data objektif : Klien tampak berjalan ke kamar mandi sendiri.

3. Diagnosa Keperawatan III

Perubahan sensori-persepsi : Penglihatan berhubungan dengan efek

samping dari kraniotomi.


152

a. Pukul 09.20 Wita.

Mengkaji kemampuan penglihatan mata kanan klien.

Data subjektif : Klien mengatakan belum bisa membuka kelopak

matanya.

Klien mengatakan penglihatannya masi kabur ketika

menggunakan mata kanannya.

Data objektif : Tampak ptosis pada mata kanan klien.

b. Pukul 09.25 Wita.

Mengobservasi keadaan pupil klien.

Data subjektif : -

Data objektif : Pupil klien anisokor.

Ukuran Pupil Kanan 4 mm dan pupil kiri 2 mm.

4. Diagnosa Keperawatan IV

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.

a. Pukul 07.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ranitidine 50 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada mual dan muntah.

Data objektif : Bising usus 18 ×/menit.

b. Pukul 07.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ketorolac 30 mg.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada nyeri pada kepala.

Data objektif : Tidak terdapat nyeri tekan pada luka post kraniotomi
153

c. Pukul 08.50 Wita.

Mengobservasi suhu tubuh klien.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak demam.

Data objektif : Suhu tubuh klien 36,20c.

d. Pukul 09.00 Wita.

Mengobservasi keadaan balutan luka klien..

Data subjektif : -

Data objektif : Balutan perban elastis klien tampak bersih.

e. Pukul 09.00 Wita.

Penatalaksanaan dalam pemberian Ceftrianxone 1 gr.

Data subjektif : Klien mengatakan tidak ada reaksi alergi setelah

pemasukan obat.

Data objektif : Tidak terdapat reaksi alergi setelah pemasukan obat

(gatal dan kemerahan pada kulit).

5. Diagnosa Keperawatan V

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring

lama.

a. Pukul 08.40 Wita.

Mengkaji area kulit yang mengalami penekanan.

Data subjektif : Klien mengatakan belakangnya terasa hangat.

Data objektif : Belakang klien tampak kemerahan dan kotor.

b. Pukul 11.00 Wita.

Membantu klien merubah posisi.


154

Data subjektif : Klien mengatakan pusing ketika merubah posisi.

Data objektif : Klien tampak miring kanan dan miring kiri.

c. Pukul 08.50 Wita.

Menganjurkan klien untuk miring kanan dan miring kiri tiap 2 jam

sekali.

Data subjektif : Klien mengatakan akan mengikuti anjuran yang

diberikan diberikan.

Data objektif : Klien tampak miring kanan dan miring kiri.

F. Evaluasi

1. Diagnosa Keperawatan I.

Resiko tinggi ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan trauma kepala.

Hari Sabtu 05 Juni 2014 pukul : 11.00 Wita.

Subjektif : Klien mengatakan tidak ada muntah, sakit kepala dan

cegukan

Objektif : Kesadaran klien composmentis.

MAP : 93,3 mmHg

Tidak ada peningkatan TIK seperti muntah proyekti, sakit

kepala, dan cegukan.

Assasment: Resiko tinggi ketidakefektifan perfusi jaringan serebral tidak

terjadi.

Planing : Intervensi dihentikan.


155

2. Diagnosa Keperawatan II.

Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

Hari Sabtu 05 Juni 2014 pukul : 11.10 Wita.

Subjektif : Klien mengatakan sudah tidak pusing.

Objektif : Klien tampak rileks.

Klien tampak melakukan aktivitas sendiri seperti makan dan

ke kamar mandi.

Assasment: Masalah intoleran aktivitas teratasi.

Planing : Intervensi dihentikan.

3. Diagnosa Keperawatan III.

Perubahan sensori-persepsi : Penglihatan berhubungan dengan efek

samping kraniotomi.

Hari Sabtu 05 Juni 2014 pukul : 11.16 Wita.

Subjektif : Klien mengatakan belum bisa membuka kelopak mata

kanannya

Klien mengatakan penglihatan mata kanannya masih kabur.

Objektif : Tampak ptosis pada mata kanan klien.

Ukuran pupil kanan klien 4 mm.

Assasment: Masalah sensori persepsi : Penglihatan belum teratasi.

Planing : Intervensi dihentikan (pasien pulang).


156

4. Diagnosa Keperawatan IV.

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka insisi bedah.

Hari Sabtu 05 Juni 2014 pukul : 11.22 Wita.

Subjektif: Klien mengatakan tubuhnya tidak panas.

Objektif : Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti rubor, dolor kalor,

tumor, fungsi laesa dan pus.

Suhu tubuh klien 36,50C.

Assasment: Resiko tinggi infeksi tidak terjadi.

Planing : Intervensi dihentikan.

5. Diagnosa Keperawatan V.

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring

lama.

Hari Sabtu 05 Juni 2014 pukul : 11.27 Wita.

Subjektif : Klien mengatakan belakangnya tidak panas.

Objektif : Tidak ada perubahan warna dan iritas pada daerah belakang

klien.

Assasment: Resiko tinggi kerusakan integritas kulit tidak terjadi.

Planing : Intervensi dihentikan.


157

BAB IV

PEMBAHASAN

Setelah mempelajari landasan teori dan melaksanakan asuhan keperawatan

pada Tn. Y dengan post kraniotomi et causa cedera kepala berat, di Ruang

Perawatan Bedah Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Provinsi

Kalimantan Utara mulai tanggal 03 Juli 2014 samapai dengan 05 Juli 2014, maka

bab ini penulis mengemukakan kesenjangan antara teori dengan pelaksanaan

asuhan keperawatan pada Tn. Y dengan post kraniotomi et causa cedera kepala

berat. Adapun kesenjangan tersebut akan diuraikan sesuai dengan langkah-

langkah proses keperawatan sebagai berikut.

A. Pengkajian

Pada tahap pengkajian, penulis tidak menemukan hambatan selama

proses wawancara dengan klien dan keluarga, karena klien dan keluarga

bersifat terbuka dan kooperatif dalam menjawab pertanyaan dan

mengungkapkan masalah yang dialaminya, selain itu penulis juga menjalin

kerja sama dengan perawat ruangan untuk memperoleh informasi mengenai

perkembangan kesehatan Tn. Y.

Pada proses pengkajian pada Tn. Y dengan post kraniotomi et causa

cedera kepala berat di Ruang Perawatan Bedah Flamboyan Rumah Sakit

Umum Daerah Tarakan tanggal 03 Juli 2014 didapatkan beberapa

kesenjangan antara teori dan kasus, adapun data fokus pada pengkajian yang

ada pada teori menurut Doenges (2000), tetapi tidak ditemukan pada klien Tn.

Y adalah sebagai berikut :


158

1. Aktivitas/Istirahat

Pada kasus Tn. Y, tidak ditemukan perubahan kesadaran, kesadaran

pasien adalah komposmentis dengan GCS : 15 hal ini tidak sesuai data

dasar menurut Doenges (2000), yaitu terdapat tanda perubahan kesadaran,

letargi. Hal ini dikarenakan tidak terjadinya depresi pada fungsi serebral,

hal ini didukung oleh pendapat Smeltzer dan Bare (2002), bahwa

ketidaksadaran adalah kondisi dimana fungsi serebral terdepresi, direntang

dari stupor sampai koma.

Pada kasus Tn. Y tidak ditemukan adanya kaku, hemiparese dan

quadreplegia karena tidak adanya paralisis neuron motorik atas upper

motor neuron (UMN). Menurut Smeltzer dan Bare (2002), hemiplegia

(paralisis satu tangan dan kaki pada sisi tubuh yang sama) adalah salah

satu contoh paralisis UMN. Jika terjadi hemoragi, embolus atau thrombus

dapat merusak serat-serat pada daerah motor di kapsula interna, tangan dan

kaki pada sisi yang berlawanan menjadi kaku dan sangat lemah atau

lumpuh dan refleks yang berlebihan. Jika kedua kaki lumpuh, kondisi ini

disebut paraplegia. Paralisis pada keempat ekstremitas disebut

quadriplegia atau tetraplegia.

2. Sirkulasi

Pada kasus Tn. Y, TD : 110/70 mmHg dan nadi : 78 x/menit, hal ini

tidak sesuai data dasar menurut Doenges (2000), yaitu ditemukan

perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi

jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,


159

disritmia). Hal ini dikarenakan tidak adanya gangguan pada pusat

kardiorespiratorik. Menurut Price dan Wilson (2012), gangguan pada pusat

kardiorespiratorik terlihat dengan adanya denyut yang tidak teratur atau

denyut yang lambat; meningkatnya tekanan darah; dan gangguan

pernapasan yang menyangkut frekuensi, irama, dan dalamnya pernapasan.

3. Integritas Ego

Menurut Doenges (2000), pada pengkajian data dasar ditemukan

cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan

impulsive namun pada kasus Tn. Y, tidak ditemukan tanda tersebut karena

klien tenang, tidak tampak tegang dan cemas, hal ini menunjukkan pada

klien tidak mengalami lesi difus serebri. Menurut Muttaqin (2008), karena

lesi organik yang difus mengganggu otak, maka fungsi mental berkurang

atau tidak ada lagi. Kewaspadaan klien menjadi tidak dapat terpelihara

untuk jangka waktu yang panjang dan daya konsentrasi (memusatkan

perhatian) sangat menurun. Sehingga pikiran atau pertimbangan untuk

melakukan sesuatu dengan baik tidak ada lagi. Dalam keadaaan demikian

kelola terhadap perasaan emosional hilang atau sangat menurun, sehingga

timbul keadaan cepat tersinggung, cepat marah, dan bersikeras. Jika lesi

difus serebri bersifat ringan, daya adaptasi menjadi kurang, sehingga klien

yang bersangkutan bersikap neurotik. Ia mudah menjadi tegang dan cemas.

Ketakutan dan kecemasan itu ada kalanya terselubung dalam bentuk gejala

psikosomatis, reaksi konversi, depresi, atau kegiatan kompulsif.


160

4. Makanan/cairan

Menurut Doenges (2000), pada pengkajian data dasar ditemukan

gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia) hal ini tidak ditemukan

pada Tn. Y Pada pengkajian mulut dan tenggorokan ditemukan klien tidak

mengalami kesulitan dalam mengunyah dan menelan, mampu menelan dan

mengunyah makanan. Hal ini menunjukkan klien tidak mengalami

kelumpuhan pada saraf glosofaringeus dan vagus. Menurut Muttaqin

(2008), kerusakan untuk menelan yang berat disebabkan oleh gangguan

saraf glosofaringeus dan vagus. Makanan sukar ditelan, karena palatum

mole tidak bekerja dan dan apa yang hendak ditelan keluar lagi melalui

hidung. Epiglotis tidak bekerja, sehingga makanan tiba di laring dan

menimbulkan refleks batuk.

5. Pernapasan

Menurut Doenges (2000), pada pengkajian data dasar ditemukan

perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), napas

berbunyi stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena

aspirasi). Namun pada Tn. Y tidak ditemukan adanya keluhan pada

sistem pernapasan, kesadaran klien composmentis dengan nilai GCS : 15.

Menurut Muttaqin (2008), pada klien dengan tingkat kesadaran

composmentis pada pengkajian inspeksi pernapasan tidak ada kelainan.

Palpasi thoraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri.

Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.


161

6. Keamanan

Menurut Doenges (2000), pada pengkajian data dasar ditemukan

gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan

secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi

tubuh. Namun pada Tn. Y tidak ditemukan karena tidak terganggunya

fungsi serebelum pada klien. Menurut Smeltzer dan Bare (2002), akibat

adanya cedera pada intrakranial atau beberapa perluasan massa dapat

menyebabkan kehilangan fungsi serebellum. Keadaan ini menyebabkan

kehilangan tonus otot, lemah dan kelelahan.

B. Diagnosa Keperawatan

Proses pengkajian dilakukan untuk memperoleh data-data yang

diperlukan untuk menegakkan suatu diagnosa keperawatan yang sesuai

dengan keadaan data yang ditemukan pada Tn. Y dengan post kraniotomi e.c

cedera kepala berat.

Antara diagnosa keperawatan pada post kraniotomi et causa cedera

kepala berat yang penulis peroleh dari dasar teoritis dengan yang penulis

temukan di lapangan banyak mengalami perbedaan. Berdasarkan hasil

pengkajian pada Tn. Y dengan post kraniotomi et causa cedera kepala berat

terdapat diagnosa keperawatan yang tidak ditegakan sesuai dengan diagnosa

keperawatan menurut Doenges (2000), yaitu :

1. Resiko tinggi terhadap tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan

kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak), kerusakan

persepsi atau kognitif, adanya obstruksi trakeobronkial.


162

Menurut Carpenito (2001), ketidakefektifan pola pernafasan adalah

keadaan di mana seorang individu mengalami kehilangan ventilasi yang

aktual atau potensial yang berhubungan dengan perubahan pola

pernafasan dengan batasan karakteristik mayor perubahan dalam

frekuensi atau pola pernapasan (dari nilai dasar), perubahan pada nadi

(frekuensi, irama, kualitas) dan batasan karakteristik minor adalah

ortopnea, takipnea, hiperpnea, hiperventilasi, pernapasan distritmik, dan

pernafasan sukar/berhati-hati.

Namun pada Tn. Y tidak ditemukan data tersebut dimana pola

nafas Tn. Y dalam keadaan efektif dengan frekuensi pernapasan

20x/menit dan irama pernafasan teratur dan berdasarkan hasil CT Scan

menunjukkan klien tidak mengalami cedera pada batang otak sehingga

diagnosa keperawatan ini tidak dapat ditegakan.

2. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis,

konflik psikologis.

Menurut Carpenito (2001), perubahan proses pikir adalah keadaan

di mana individu mengalami suatu gangguan dalam aktivitas mental

seperti berfikir sadar, orientasi realitas, pemecahan masalah, penilaian

dan pemahaman yang berhubungan dengan koping, dengan batasan

karakteristik mayor adalah tidak akuratnya interpretasi tentang stimulus,

internal dan/atau eksternal dan batasan karakteristik minor adalah kurang

kognitif, termasuk defisit memori, kecuriga, delusi, halusinasi, fobia,

obsesitas, pengalihan, kurangnya persetujuan validasi,


163

kebingung/disorientasi, perilaku ritualistik, impulsivitas, dan perilaku

sosial yang tidak tepat.

Namun pada kasus Tn. Y tidak ditemukan data yang menunjukkan

klien mengalami perubahan fisiologis dan konflik psikologis sehingga

diagnosa perubahan proses pikir tidak ditegakkan.

3. Mobilitas fisik, kerusakan dapat dihubungkan dengan kerusakan persepsi

atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan, terapi

pembatasan/kewaspadaan keamanan, mis, tirah baring, imobilisasi.

Menurut Carpenito (2001), kerusakan mobilitas fisik adalah

keadaan di mana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami

keterbatasan gerakan fisik, tetapi bukan imobil, dengan batasan

karekteristik mayor adalah penurunan kemampuan untuk bergerak

dengan sengaja dalam lingkungan (mis., mobilitas di tempat tidur,

berpindah, ambulasi) keterbatasan rentang gerak dan batasan

karakteristik minor adalah pembatasan pergerakan yang dipaksakan,

enggan untuk bergerak.

Namun pada kasus Tn. Y tidak ditemukan data yang menunjukkan

klien mengalami alami kerusakan persepsi atau kognitif, dan tidak

mengalami penurunan/tahanan yang ditandai dengan kekuatan otot klien

: 5 5 sehingga diagnosa kerusakan mobilitas fisik tidak dapat

5 5 ditegakkan.
164

4. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien

(penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk

mengunyah dan menelan, status hipermetabolik.

Menurut Carpenito (2001), perubahan nutrisi: kurang dari

kebutuhan tubuh adalah suatu keadaan di mana individu yang tidak puasa

mengalami atau yang berisiko mengalami penurunan berat badan yang

berhubungan dengan masukan yang takadekuat atau metabolisme nutrien

yang tidak adekuat untuk kebutuhan metabolik dengan batasan

karakteristik mayor individu yang tidak puasa melaporkan atau

mengalami: masukan makanan tidak adekuat kurang dari yang

dianjurkan dengan atau tanpa penurunan berat badan atau kebutuhan-

kebutuhan metabolik aktual atau potensial dalam masukan yang

berlebihan dan batasan karakteristik minor berat badan 10% sampai 20%

atau lebih di bawah berat badan ideal untuk tinggi dan kerangka tubuh,

Lipatan kulit trisep, lingkar lengan tengah, dan lingkar otot pertengahan

lengan kurang dari 60% standar pengukuran, kelemahan otot dan nyeri

tekan, peka rangsang mental dan kekacauan mental, penurunan albumin

serum, penurunan transferin serum atau penurunan kapasitas ikatan-besi.

Namun pada kasus Tn. Y tidak mengalami penurunan kesadaran

yang ditandai dengan kesadaran klien komposmentis dan tidak

mengalami kerusakan pada Nervus IX (Glosofarengius) dan Nervus X

(Vagus) yang ditandai dengan klien tidak mengalami kesulitan dalam


165

menelan sehingga diagnosa Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi

kurang dari kebutuhan Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang

dari kebutuhan tidak ditegakkan.

5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis

situasional, ketidakpastian tentang hasil/harapan.

Menurut Carpenito (2001), perubahan proses keluarga adalah

keadaan di mana keluarga yang normalnya suportif mengalami stresor

yang menantang kemampuan keluarga yang sebelumnya berfungsi efektif

dengan batasan karakteristik mayor, sistem keluarga tidak dapat atau

tidak; beradaptasi secara konstruktif terhadap konstruktif terhadap krisis,

mengkomunikasikan secara terbuka dan efektif di antara anggota

keluarga dan batasan karakteristik minor yaitu sistem keluarga tidak

dapat atau tidak; memenuhi kebutuhan fisik dari seluruh anggota

keluarga, memenuhi kebutuhan emosi dari seluruh anggota keluarga,

memenuhi kebutuhan spiritual dari seluruh anggota keluarga,

mengekspresikan atau menerima perasaannya dengan tangan terbuka dan

mencari atau menerima bantuan secara tepat.

Namun pada kasus Tn. Y tidak terjadi transisi dan krisis situasional

dan ketidakpastian yang ditandai dengan klien diagnosa penyakit yang

pasti yaitu cedera kepala berat dan telah mendapatkan pengobatan dan

penanganan yang baik oleh tim medis sehingga diagnosa perubahan

proses keluarga tidak ditegakkan.


166

6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenal kondisi dan

kebutuhan pengobatan dapat dihubungkan dengan kurang pemajanan,

tidak mengenal informasi/sumber-sumber informasi; kurang mengingat

keterbatasan kognitif.

Menurut Carpenito (2001), kurang pengetahuan adalah suatu

keadaan di mana seorang individu atau kelompok mengalami defisiensi

pengetahuan kognitif atau keterampilan-keterampilan psikomotor

berkenaan dengan kondisi atau rencana pengobatan dengan batasan

karakteristik mayor mengungkapkan kurang pengetahuan atau

keterampilan-keterampilan/permintaan informasi, mengekspresikan suatu

ketidakakuratan persepsi status kesehatan, melakukan dengan tidak tepat

perilaku kesehatan yang dianjurkan atau yang dinginkan dan batasan

karakteristik minor yaitu kurang integrasi tentang rencana pengobatan ke

dalam aktivitas sehari-hari, memperlihatkan atau mengekspresikan

perubahan psikologis (mis., ansietas, depresi) mengakibatkan kesalahan

informasi atau kurang informasi.

Dan berdasarkan hasil pengkajian pada Tn. Y dengan post kraniotomi et

causa cedera kepala berat terdapat diagnosa keperawatan yang ditemukan

pada Tn. Y tetapi tidak sesuai dengan teori yaitu :

1. Intoleran Aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum

Menurut Carpenito (2001), Intoleran aktivitas adalah penurunan

dalam kapasitas fisiologis seseorang untuk melakukan aktivitas sampai

tingkat yang diinginkan atau yang dibutuhkan dengan batasan


167

karakteristik mayor yaitu selama aktivitas; kelemahan, pusing, dispnea,

tiga menit setelah aktivitas; pusing, dispnea, keletihan akibat aktivitas,

frekuensi pernafasan >24, frekuensi nadi >95 dan batasan karakteristik

minor yaitu pucat atau sianosis, konfusi, vertigo.

Pada kasus Tn. Y ditemukan klien mengatakan pusing dan pusing

bertambah pada saat ingin duduk, klien memegang kepala, klien hanya

berbaring di tempat tudur. Dari data tersebut menunjukkan diagnosa

intoleran aktivitas dapat ditegakkan.

2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring

lama.

Menurut Carpenito (2001), Kerusakan integritas kulit adalah

keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko terhadap

kerusakan jaringan epidermis dan dermis dengan batasan karakteristik

mayor yaitu gangguan jaringan epidermis dan dermis dan batasan

karakteristik minor yaitu pencukuran kulit, eritema, lesi (primer,

sekunder) dan pruritus.

Pada kasus Tn. Y ditemukan klien mengatakan aktivitas lain seperti

makan, berpakaian dibantu oleh keluarga dan dilakukan di atas tempat

tidur. Klien makan disuapi oleh istrinya. Klien hanya dapat mengubah

posisi miring kanan dan miring kiri di atas tempat tidur secara mandiri,

klien hanya terbaring di tempat tidur, kulit klien tampak kotor. Dari data

tersebut menunjukkan diagnosa resiko tinggi kerusakan integritas kulit

dapat ditegakkan.
168

C. Perencanaan

Perencanaan keperawatan merupakan langkah ketiga dalam proses

keperawatan setelah merumuskan diagnosa keperawatan. Rencana

keperawatan yang dilakukan penulis sesuai dengan teori yang terdapat pada

Doenges (2000).

Pada tahapan perencanaan ini penulis tidak menemukan banyak

kesulitan karena penulis memiliki sumber yang banyak. Semua tindakan

disesuaikan dengan perencanaan yang telah ditentukan sebelumnya dan

disesuaikan dengan kondisi klien. Adapun beberapa tindakan yang tidak

dimasukkan dalam perencanaan yaitu :

1. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

edema serebral

Pada teori terdapat beberapa intervensi, namun penulis hanya mengambil

sebagian dari intervensi tersebut. Intervensi yang tidak diambil tersebut

adalah :

a) Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan

nilai standar (misalnya skala koma Glasgow).

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena saat dilakukan

pengkajian kesadaran klien komposmentis dibuktikan dengan GCS

klien 15.

b) Evaluasi kemampuan membuka mata, seperti spontan (sadar penuh),

membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap tertutup

(koma).
169

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena saat dilakukan

pengkajian kemampuan membuka mata klien spontasn dibuktikan

dengan GCS klien 15.

c) Kaji respons verbal; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap

orang, tempat, dan waktu baik atau malah bingung; menggunakan

kata-kata/frase yang tidak sesuai.

Penulis tidak mengambil intervensi ini dikarenakan pada saat

dilakukan pengkajian kesadaran klien komposmentis dan orientasi

klien terhadap waktu, tempat dan orang sesuai dan baik.

d) Kaji respons motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan yang

bertujuan (patuh terhadap perintah, berusaha untuk menghilangkan

rangsang nyeri yang diberikan) dan gerakan yang tidak bertujuan

(kelainan postur tubuh). Catat gerakan anggota tubuh dan catat sisi

kiri dan kanan secara terpisah.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena saat dilakukan

pengkajian klien mampu menggerakkan anggota tubuh dengan baik

dan tidak ditemukan kelainan pada anggota gerak klien.

e) Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti adanya periode

apnea setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan Cheyne-Stokes.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena klien tidak ada masalah

pada pernafasan klien dibuktikan dengan frekuensi pernafasan klien

20x/menit dan tidak tampak menggunakan otot bantu pernafasan.


170

f) Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri

dan kanan, dan reaksinya terhadap cahaya.

Penulis tidak mengambil intervensi ini, dikarena intervensi tersebut

sudah terdapat pada intervensi diagnosa perubahan sensori-persepsi :

penglihatan.

g) Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang

kabur, ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.

Penulis tidak mengambil intervensi ini, dikarena intervensi tersebut

sudah terdapat pada intervensi diagnosa perubahan sensori-persepsi :

penglihatan.

h) Catat ada/tidaknya refleks-refleks tertentu seperti refleks menelan,

batuk dan Babinski, dan sebagainya.

Penulis tidak mengambil intervensi ini, dikarenakan pada saat

dilakukan pengkajian refleks menelan dan batuk klien baik dan pada

saat dilakukan refleks babinski hasilnya negatif.

i) Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi. Batasi

penggunaan selimut; berikan kompres hangat saat demam timbul.

Tutup ekstremitas dalam selimut jika menggunakan selimut

hipotermia (selimut dingin).

Penulis tidak mengambil intervensi ini, dikarena intervensi tersebut

sudah terdapat pada intervensi diagnosa resiko tinggi infeksi.

j) Berikan waktu istirahat diantara aktivitas keperawatan yang dilakukan

dan batasi waktu dari setiap prosedur tersebut.


171

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena klien mampu

beristirahat dengan baik.

k) Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti masase

punggung, lingkungan yang tenang, suara/bunyi-bunyian yang lembut

dan sentuhan yang hati-hati dan tepat.

Penulis tidak mengambil intervensi ini, dikarena intervensi tersebut

sudah terdapat pada intervensi diagnosa resiko tinggi kerusakan

integritas kulit.

l) Bantu pasien untuk menghindari/membatasi batuk, muntah,

pengeluaran feses yang dipaksakan/mengejan jika mungkin.

Penulis tidak mengambil intervensi ini dikarenankan klien tidak

sedang batuk dan tidak muntah serta klien belum pernah BAB.

m) Hindari/batasi penggunaan restrein.

Penulis tidak mengambil intervensi ini, karena klien tidak terpasang

restrein.

n) Anjurkan orang terdekat (keluarga) untuk berbicara dengan pasien.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena klien dan istrinya selalu

berkomunikasi.

o) Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan, dan

tingkah laku yang tidak sesuai lainnya.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena kondisi klien tenang

dan tidak ada tingkah laku yang tidak sesuai.


172

p) Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih, pertahankan

kepatenan drainase urine jika digunakan. Pantau kemungkinan adanya

konstipasi.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena pada saat dilakukan

pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya distensi kandung kemih dan

konstipasi dibuktikan dengan busing usus klien 18 x/menit.

q) Observasi adanya aktivitas kejang dan lindungi pasien dari cedera.

Penulis tidak mengambil intervensi ini, dikarena intervensi tersebut

sudah terdapat pada intervensi diagnosa perubahan sensori-persepsi :

penglihatan.

r) Kaji adanya peningkatan rigiditas, regangan, meningkatnya

kegelisahan, peka rangsang, serangan kejang.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena klien tidak terlihat

gelisah dan saat dilakukan pengkajian klien mengatakan tidak pernah

mengalami kejang dan pada terapi klien sudah diberikan obat

antikonvulsan yaitu citicolin.

s) Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Berikan cairan melalui IV

dengan alat kontrol.

Penulis tidak mengambi intervensi ini karena pemberian cairan klien

sudah sesuai indikasi dan sesuai dengan instruksi dokter.

t) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi

Penulis tidak mengambil intervensi ini, dikarenakan klien tidak ada

masalah pada pola pernafasan dibuktikan oleh frekuensi pernafasan


173

klien 20x/menit dan tidak ditemukan suara nafas tambahan pada saat

dilakukan pengkajian fisik.

u) Pantau GDA/tekanan oksimetri.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena klien tidak ada masalah

pada pernafasan dibuktikan dengan frekuensi pernafasan klien

20x/menit dan tidak tampak hipoksia pada klien.

v) Persiapkan untuk pembedahan jika diperlukan.

Penulis tidak mengambil intervensi ini dikarenakan klien sudah

menjalani telah menjalani tindakan pembedahan craniotomi.

2. Perubahan sensori-persepsi : Penglihatan berhubungan dengan efek

samping dari kraniotomi

Pada teori terdapat beberapa Intervensi, namun penulis hanya mengambil

sebagian dari intervensi tersebut. Intervensi yang tidak diambil tersebut

adalah :

a) Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan

berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik, dan proses pikir.

Penulis tidak mengambil intervensi ini dikarenakan pada saat

dilakukan pengkajian kesadaran klien komposmentis dan orientasi

klien terhadap waktu, tempat dan orang sesuai dan baik.

b) Observasi respons perilaku seperti rasa bermusuhan, menangis, afektif

yang tidak sesuai, agitasi, halusinasi.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena pada saat dilakukan

pengkajian respons klien baik dan kooperatif.


174

c) Hilangkan suara bising/stimulus yang berlebihan sesuai kebutuhan.

Penulis tidak mengambil intevensi ini, dikarenakan klien dirawat pada

ruang observasi yang suasananya tenang.

d) Bicara dengan suara yang lembut dan pelan. Gunakan kalimat yang

pendek dan sederhana. Pertahankan kontak mata.

Penulis tidak mengambil intervensi ini, dikarenakan pada saat

dilakukan wawancara klien kooperatif dan mampu berkomunikasi

dengan baik.

e) Berikan stimulasi yang bermanfaat; verbal (berbincang-bincang

dengan pasien), penciuman (seperti terhadap kopi atau minyak

tertentu), taktil (sentuhan, memegang tangan pasien), dan

pendengaran (dengan tape, televise, radio, pengunjung dan

sebagainya). Hindari isolasi baik secara fisik atau psikologis.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena keluarga selalu

berkomunikasi dengan klien dan pada saat dilakukan pengkajian

fungsi penciuman klien baik dibuktikan dengan klien mampu

membedakan bau kopi dan minyak kayu putih.

f) Berikan lingkungan terstruktur termasuk terapi, aktivitas. Buatkan

jadwal untuk pasien (jika memungkinkan) dan tinjau kembali secara

teratur.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena melihat dari kondisi

klien yang tidak dapat melakukan aktivitas secara mandiri.


175

g) Buat jadwal istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa ada gangguan.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena pada saat dilakukan

pengkajian klien dapat beristirahat dengan baik dan tidak ada

gangguan pada pola tidurnya.

h) Gunakan penerangan siang atau malam hari.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena klien tidak ada

gangguan orientasi waktu, tempat dan orang.

i) Berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dan

melakukan aktivitas.

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena keluarga klien selalu

berkomunikasi dengan klien dan membantu aktivitas klien.

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

Pada teori terdapat beberapa intervensi, namun penulis hanya mengambil

sebagian dari intervensi terbut karena . Intervensi yang tidak diambul

adalah :

a) Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran secret

paru secara terus-menerus. Observasi karakteristik sputum.

Penulis tidak mengambil interevensi ini dikarenakan klien tidak ada

masalah pada jalan nafas dibuktikan pada sat dilakukan pemeriksaan

fisik tidak ditemukan suata nafas tambahan seperti ronki.

b) Berikan perawatan perineal. Pertahankan integritas dari sistem

drainase urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum

adekuat.
176

Penulis tidak mengambil intervensi ini, dikarena intervensi tersebut

sudah terdapat pada intervensi diagnosa intoleran aktivitas.

c) Observasi warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang

tidak enak).

Penulis tidak mengambil intervensi ini karena penulis dilakukannya

ketika pengkajian dan telah didokumentasikan dengan baik..

d) Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah

pengunjung yang mengalami infeksi saluran napas bagian atas.

Penulis tidak mengambil intervensi ini, dikarenakan klien berasal dari

luar kota dan hanya dijaga oleh istri dan anaknya.

e) Ambil bahan pemeriksaan (specimen) sesuai indikasi.

Penulis tidak mengambil intervensi ini, dikarenakan tidak ada indikasi

untuk dilakukan pemeriksaan spesimen.

Dalam menerapkan intervensi keperawatan penulis dapat melakukan

intervensi asuhan keperawatan dengan baik langsung kepada klien dan

keluarga, walaupun terdapat penambahan atau pengurangan dari rencana

tindakan dengan teori yang ada dikarenakan penulis berusaha untuk

menyesuaikan rencana tindakan keperawatan dengan kondisi Tn. Y.

Penulis menentukan tujuan dan kriteria hasil berdasarkan kebutuhan

klien dan hasil yang ingin dicapai dengan sarana dan prasarana yang ada.

Tidak adanya standar yang baku untuk menetapkan waktu tujuan sehingga

penulis menentukannya berdasarkan tingkat kebutuhan klien dan disesuaikan

dengan waktu catatan perkembangan tiga hari yang telah ditetapkan.


177

D. Implementasi

Pada tahap pelaksanaan penulis akan melaksanakan perencanaan yang

telah disusun pada tahap pengumpulan data, pelaksanaan asuhan keperawatan

yang dilakukan penulis disesuaikan dengan rencana tindakan yang telah

dibuat. Namun dari semua perencanaan yang dibuat terdapat beberapa

intervensi yang tidak dapat dilakukan secara maksimal, hal tersebut

dikarenakan karena kurangnya pengetahuan, keterampilan, dan waktu yang

penulis miliki. Dalam melakukan implementasi penulis tidak mendapatkan

hambatan yang berarti, semua intervensi dapat terlaksana dengan melibatkan

klien dan keluarganya, klien bersikap terbuka, kooperatif dan mudah diajak

kerjasama, mudah menerima penjelasan dan saran, dan klien berpartisipasi

aktif dalam tindakan keperawatan.

E. Evaluasi

Evaluasi adalah fase akhir dari proses keperawatan untuk menilai

asuhan keperawatan yang telah diberikan pada Tn Y dengan post kraniotomi

et causa cedera kepala berat selama tiga hari yaitu mulai tanggal 03 Juli

sampai dengan 05 Juli 2014.

Evaluasi yang dilakukan pada asuhan keperawatan dalam kasus ini

adalah evaluasi sumatif. Dari diagnosa-diagnosa yang ditemukan oleh penulis

ada masalah yang teratasi, dan masalah yang belum teratasi selama

melakukan asuhan keperawatan.


178

Dari lima diagnosa yang ditemukan pada klien didapatkan bahwa empat

diagnosa keperawatan dapat teratasi sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil

yang telah ditetapkan yaitu :

1. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

edema serebral. Masalah teratasi ditandai dengan : Klien mengatakan

tidak ada muntah, sakit kepala dan cegukan, kesadaran klien

komposmentis, MAP : 93,3 mmHg, tidak ada peningkatan TIK seperti

muntah proyekti, sakit kepala, dan cegukan.

2. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum. Masalah

teratasi ditandai dengan : Klien mengatakan sudah tidak pusing, klien

tampak rileks, klien tampak melakukan aktivitas sendiri seperti makan

dan ke kamar mandi.

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif. Masalah

teratasi ditandai dengan : Klien mengatakan tubuhnya tidak panas, suhu

tubuh klien 36,50C, tidak ada tanda-tanda infeksi seperti rubor, dolor

kalor, tumor, fungsi laesa dan pus,

4. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubugnan dengan tirah baring

lama. Masalah teratasi ditandai dengan : Klien mengatakan belakangnya

tidak panas, tidak ada perubahan warna dan iritas pada daerah belakang

klien.
179

Sedangkan masalah belum teratasi, yaitu : Perubahan sensori-persepsi :

Penglihatan berhubungan dengan efek samping dari kraniotomi. Masalah

belum teratasi ditandai dengan : Klien mengatakan belum bisa membuka

kelopak mata kanannya, klien mengatakan penglihatan mata kanannya masih

kabur, tampak ptosis pada mata kanan klien, ukuran pupil kanan klien 4 mm.

Hal ini dikarenakan Nervus II (optikus) dan Nervus III (okulomotorius)

mengalami gangguan akibat dari trauma kepala dan tindakan kraniotomi yang

dilakukan sehingga dibutuhkan waktu penyembuhan dan pemulihan yang

cukup lama dan bertahap.

Didasarkan pada uraian di atas didapatkan bahwa dengan penerapan

asuhan keperawatan yang komprehensif pada klien akan membantu

menyelesaikan masalah-masalah keperawatan yang ada.


180

BAB V

PENUTUP

Dari hasil pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. Y dengan post

kraniotomi et causa cedera kepala berat dapat dilakukan beberapa kesimpulan

yang berkaitan dengan landasan teori dan tujuan yang telah ditetapkan. Penulis

juga mengemukakan saran demi perbaikan asuhan keperawatan khususnya pada

klien dengan post kraniotomi et causa cedera kepala berat.

A. Kesimpulan

Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn. Y dengan post

kraniotomi et causa cedera kepala berat selama tiga hari terhitung dari tanggal

03 Juli 2014 sampai dengan 05 Juli 2014 Di Ruang Perawatan Bedah

Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, maka penulis mengambil

kesimpulan sebagai berikut:

1. Penulis melakukan asuhan keperawatan melalui setiap tahap dari proses

keperawatan yang terangkai mulai dari pengkajian, perumusan diagnosa

keperawatan, perencanaan tindakan, pelaksanaaan keperawatan dan

evaluasi. Penulis dapat melaksanakan setiap tahapan sesuai dengan

tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh penulis.

Pengkajian pada Tn. Y dengan post kraniotomi et causa cedera kepala

berat penulis lakukan secara bertahap dengan memperhatikan kondisi

klien dan sarana yang tersedia. Pengkajian dilakukan secara menyeluruh

untuk mendapatkan data yang akurat. Setelah melakukan pengkajian,

penulis kemudian mengelompokkan data-data yang diperoleh,


181

menganalisa lalu merumuskan diagnosa yang tepat untuk setiap data.

Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, penulis kemudian menyusun

rencana tindakan yang tepat dengan memperhatikan kondisi klien,

fasilitas yang tersedia dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Tahap

selanjutnya penulis kemudian mengimplementasikan rencana yang telah

disusun. Setelah melakukan implementasi penulis melanjutkan dengan

mengevaluasi. Evaluasi yang dilakukan penulis terdiri dari dua kategori

yaitu evaluasi sumatif yang dilakukan disetiap tindakan dan evaluasi

formatif yang dilakukan diakhir pertemuan dengan klien.

2. Dengan malakukan beberapa tahapan dari proses keperawatan penulis

menemukan beberapa kesenjangan antara teori dan kasus yaitu, pada

proses pengkajian penulis menemukan kesenjangan antara teori dan

kasus pada klien Tn. Y dengan post kraniotomi et causa cedera kepala

berat adalah sebagai berikut : Aktivitas/istirahat, sirkulasi, integritas ego,

makanan/cairan, pernapasan dan keamanan, pada penegakkan diagnosa

keperawatan yang terdapat diteori namun tidak ditemukan pada kasus,

yaitu resiko tinggi terhadap tidak efektifnya pola nafas, perubahan proses

pikir, mobilitas fisik, kerusakan, resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi

kurang dari kebutuhan, perubahan proses keluarga, kurang pengetahuan

(kebutuhan belajar) mengenal kondisi dan kebutuhan pengobatan. Dan

adapun beberapa diagnosa keperawatan yang tidak ada diteori namun

ditemukan pada kasus, yaitu intoleran aktivitas dan resiko tinggi

kerusakan integritas kulit. Pelaksanaan tindakan keperawatan pada Tn. Y


182

dilakukan dengan baik berdasarkan rencana yang telah disusun. Pada

tahap evaluasi ditemukan dari lima diagnosa yang ditemukan, empat

diagnosa dinyatakan teratasi dan satu diagnosa belum teratasi. Semua

tindakan keperawatan yang telah dilakukan dapat didokumentasikan

dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan penulis.

3. Faktor pendukung dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien

adalah sikap klien dan keluarga yang ramah dan kooperatif pada setiap

tindakan yang dilakukan, izin yang diberikan pihak rumah sakit serta

tersedianya fasilitas dari institusi yang menunjang pelaksanaan asuhan

keperawatan pada klien. Sementara faktor penghambat dalam

melaksanakan asuhan keperawatan adalah keterbatasan waktu dalam

melakukan perawatan pada klien selama 24 jam sehingga penulis

mendelegasikan perawatan selanjutnya pada perawat ruangan dan

keterbatasan dalam hal pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki

penulis untuk melaksanakan beberapa asuhan keperawatan pada klien.

4. Adapun pemecahan masalah yang dilakukan pada klien yaitu dengan

memperdalam literatur-literatur mengenai penyakit klien sehingga dapat

dilaksanakan intervensi-intervensi yang telah direncanakan meliputi

tindakan promotif, preventif, kuratif, dan tindakan kolaboratif dengan

tim kesehatan lainnya.


183

B. Saran

Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn. Y dengan post

kraniotomi et causa cedera kepala berat, diharapkan asuhan keperawatan

pasien dengan post kraniotomi et causa cedera kepala berat dapat dilakukan

secara menyeluruh. Penulis menyarankan kepada pembaca yaitu :

1. Bagi klien dan keluarga

Untuk Tn. Y yang merupakan salah satu pasien dengan post

kraniotomi yang dirawat di Ruang Bedah Falmboyan Rumah Sakit

Umum Daerah Tarakan agar lebih memperhatikan kesehatannya karena

telah menjalani operasi dengan indikasi cedera kepala berat, untuk

menghindari terjadinya komplikasi lebih lanjut maka sangat diharapkan

kepada Tn. Y agar memperhatikan kondisi kesehatannya terutama agar

makan makanan yang mengandung protein seperti ikan dan telur agar

kondisi luka semakin membaik dan tidak melakukan aktivitas berat

sebelum kondisi dirasa belum membaik.

2. Bagi mahasiswa

Diharapkan mahasiswa dapat menerapkan konsep teori tentang

asuhan keperawatan yang dilaksanakan pada Tn. Y dengan post

kraniotomi et causa cedera kepala berat. Peluang untuk mengatasi

masalah seperti ini sangat terbatas oleh karena itu diharapkan mahasiswa

juga mampu membuka wawasan dan keterampilan dasar untuk

memperbaruhi ilmu tentang proses keperawatan yang dinamis.


184

3. Bagi institusi

Diharapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran asuhan

keperawatan yang sesuai dengan standar praktik keperawatan, jika ini

dilakukan pada Tn. Y dengan post kraniotomi et causa cedera kepala

berat.

4. Bagi profesi keperawatan

Diharapkan dapat meningkatkan mutu kerja bagi profesi

keperawatan.
185

DAFTAR PUSTAKA
.

Asmadi. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC. 2008.

Bararah T & Jauhar M. Asuhan Keperawatan Panduan : Panduan Lengkap


Menjadi Perawat Profesional. Jilid 2. Jakarta : Prestasi Pustakarya. 2013.

Carpenito, LJ. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC. 2001.

Corwin, EJ. Buku Saku Patofisiologi, Edisi.3. Jakarta : EGC. 2009.

Dewanto, G. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.


Jakarta : EGC. 2009.

Doenges ME, Moorhouse MF, & Geissler AC. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Edisi 3. Jakarta : EGC. 2000.

Hidayat, AA. Pengantar Konsep Dasar keperawatan. Jakarta : EGC. 2008.

Japardi, I. Cedera Kepala : Memahami Aspek-Aspek Penting dalam Pengelolaan


Penderita Cedera Kepala. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2004.

Kusnanto. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta :


EGC. 2004.

Lismidar. Proses Keperawatan. Jakarta : Universitas Indonesia. 2005.

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI & Setiowulan W. Kapita Selekta


Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius. 2000.

Medical Record Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Tahun 2013.


186

Morton PG, Fontaine D, Hudak CM, & Gallo BM. Keperawatan Kritis;
Pendekatan Asuhan Holistik. Volume 2. Edisi 8. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2012.

Muttaqin, A. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. 2008.

Nursalam. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep. Edisi 2. Jakarta:


Salemba Medika. 2001.

Padila. Keperawatan medikal bedah., Yogyakarta: Nuha medika. 2012.

Price SA & Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit


Volume II. Edisi 6. Jakarta : EGC. 2012.

Pusponegoro AD, Soedarmo S, Suhartono R, & Isma ZA. BT & CLS (Basic
Trauma Life Support & Basic Cardiac Life Support). Jakarta : Yayasan
Ambulans Gawat Darurat 118. 2012.

Smeltzer SC, & Bare BG. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedal Volume 2.
Edisi 8. Jakarta: EGC. 2002.

______________________. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedal Volume 3.


Edisi 8. Jakarta: EGC. 2002.

Tarwoto, Wartonah, & Suryati SE. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: CV. Sugeng Seto. 2007.

Woro R, Anna MS, Sulistyowati T, Suharyanto FX, & Zainal N. 2013. Riset
Kesehatan Dasar. Diambil tanggal 13 Juli 2013 dari
http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%202013.
pdf.
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198

SATUAN ACARA PENYULUHAN


(S A P)

CEDERA KEPALA BERAT

Oleh :
SUPIANA
NPM : 11701020058

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2013/2014
1

SATUAN ACARA PENYULUHAN

( SAP )

Topik : Cedera Kepala Berat

Hari/Tanggal : Sabtu, 05 Juli 2014

Waktu/jam : 11.30 Wita - 11.50 wita/20 Menit

Tempat : Flamboyan

Peserta : Pasien dan keluarga

A. Latar Belakang

Dalam mewujudkan dan mempertahankan suatu keadaan sehat, bukan

suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Dibutuhkan suatu upaya keras dalam

mewujudkan tujuan tersebut. Tahap demi tahap harus dilakukan, termasuk

didalamnya upaya penanganan penyakit secara berkesinambungan harus

dilakukan seoptimal mungkin. Salah satu diantaranya adalah penanganan

terhadap cedera kepala (Hidayat, 2008). Cedera kepala merupakan salah satu

penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan

sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2000).

Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera

kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang

memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua pertiga dari kasus berusia di

bawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita (Smeltzer

dan Bare, 2002).


2

B. Tujuan

1. Tujuan umum

Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan selama 20 menit

diharapkan peserta dapat mengerti tentang penyakit cedera kepala.

2. Tujuan khusus

Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan peserta dapat mengerti

dan memahami tentang :

a) Menyebutkan pengertian cedera kepala.

b) Menyebutkan penyebab cedera kepala .

c) Menyebutkan tanda dan gejala cedera kepala.

d) Menyebutkan penanganan dan pengobatan cedera kepala.

C. Materi

Terlampir.

D. Metode

Ceramah dan tanya jawab.

E. Media

Leaflet dan lembar balik

F. Tempat Pelaksanaan

Keterangan :

: Pemateri

: Penguji

: Pasien

: Keluarga pasien
3

G. Kegiatan Penyuluhan

No Fase Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta

1. Pra 3 Menit 1. Memberi salam 1. Menjawab salam

Interaksi 2. Memperkenalkan diri 2. Mendengarkan

3. Menjelaskan tujuan dan

penyuluhan memperhatikan

4. Membuat kontrak

waktu

2. Kerja 12 Menit 1. Menjelaskan tentang : 1. Mendengarkan

a. Pengertian dan

cedera kepala memperhatikan

b. Penyebab cedera 2. Aktif bertanya

kepala

c. Tanda dan gejala

cedera kepala

d. Penanganan

cedera kepala

2. Memberikan

kesempatan bertanya.
4

3. Terminasi 5 Menit 1. Menyimpulkan 1. Mendengarkan

materi yang diberikan dan

2. Mengevaluasi memperhatikan

Keluarga pasien atas 2. Menjawab

penjelasan yang pertanyaan yang

diberikan diberikan

3. Menjelaskan kembali 3. Menjawab salam

hal-hal yang tidak

dimengerti dari

penjelasan

4. Salam Penutup

H. Kriteria Evaluasi

1. Evaluasi struktur

a. Klien hadir di tempat penyuluhan.

b. Pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan dilaksanakan

sebelumnya.

2. Evaluasi proses

a. Klien antusias terhadap materi penyuluhan.

b. Klien mengajuka pertanyaan dan menjawab pertanyaan yang

diberikan secara benar.


5

3. Evaluasi hasil

Klien dapat mengetahui :

a. Pengertian cedera kepala.

b. Penyebab cedera kepala

c. Tanda-tanda cedera kepala

d. Pengobatan di rumah cedera kepala.

I. Daftar Pustaka

Bararah T & Jauhar M. Asuhan Keperawatan Panduan : Panduan Lengkap


Menjadi Perawat Profesional. Jilid 2. Jakarta : Prestasi Pustakarya.
2013

Corwin, EJ. Buku Saku Patofisiologi, Edisi.3. Jakarta : EGC. 2009.

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI & Setiowulan W. Kapita


Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius. 2000.

Smeltzer SC, & Bare BG. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedal Volume 2.
Edisi 8. Jakarta: EGC. 2002.
6

MATERI

A. Pengertian

Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)

yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan

struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Bararah, 2013).

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa

diikuti terputusnya kontinuitas otak (Tarwoto, 2007).

B. Penyebab

Menurut Corwin (2009), penyebab cedera kepala adalah kecelakaan

mobil, perkelahian, jatuh, cedera olahraga, dan cedera kepala terbuka sering

disebabkan oleh luka karena peluru atau pisau.

Menurut Brain Injury Associatition of America, penyebab utama trauma

kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak

20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan

kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan dimedan perang merupakan

penyebab utama trauma kepala.

C. Tanda dan gejala

Manifestasi klinis cedera otak menurut Smeltzer dan Bare (2002),

meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba

defisit neurologik, perubahan tanda mental, mungkin ada gangguan

penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala,

vertigo, gangguan pergerakan, dan kejang. Cedera sistem saraf pusat tidak
7

menyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan

cedera multisistem.

D. Penanganan

1. Lakukan tindakan pencegahan injury (terjatuh)

2. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sambil dilatih untuk

mandiri atau dapat melakukan pekerjaannya sendiri

3. Jangan melakukan aktivitas dan pekerjaan yang besar.

4. Anjurkan untuk tidak mengejan saat buang air besar.

5. Libatkan selalu dalam berkomunikasi atau ajarkan komunikasi verbal

pada pasien yang kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi

E. Daftar pustaka

Bararah T & Jauhar M. Asuhan Keperawatan Panduan : Panduan Lengkap


Menjadi Perawat Profesional. Jilid 2. Jakarta : Prestasi Pustakarya.
2013

Corwin, EJ. Buku Saku Patofisiologi, Edisi.3. Jakarta : EGC. 2009.

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI & Setiowulan W. Kapita


Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius. 2000.

Smeltzer SC, & Bare BG. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedal Volume 2.
Edisi 8. Jakarta: EGC. 2002.
Oleh :

Oleh :

SUPIANA
11701020058

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2014
3
4
5

Tanda & gejala


1. Nyeri kepala 6. Brill hematoma (kehitaman didaerah

2. Pusing sekitar mata )

3. mual dan muntah 7. Kesadaran menurun

4. Keluar cairan dari telinga 8. Pingsan

5. Keluar darah dari hidung


6

Cara Perawatan Di Rumah


1. Lakukan tindakan pencegahan injury 4. Anjurkan untuk tidak mengejan saat
(terjatuh). buang air besar.
2. Bantu pasien dalam melakukan
aktivitas sehari-hari sambil dilatih
untuk mandiri atau dapat melakukan
pekerjaannya sendiri.
3. Jangan melakukan aktivitas dan 5. Libatkan selalu dalam berkomunikasi
pekerjaan yang besar. atau ajarkan komunikasi verbal pada
pasien yang kehilangan kemampuan
untuk berkomunikasi
7
8
1

MENGANGKAT DRAIN

A. Definisi

Merawat luka dengan drain adalah suatu tindakan keperawatan pada luka yang

memakai drain.

B. Tujuan

1. Melindungi luka dengan drain dari kontaminasi bakteri pathogen.

2. Mempercepat proses penyembuhan luka yang maksimal.

3. Membersihkan luka dari benda asing atau debris.

4. Drainase untuk memudahkan pengeluaran eksudat.

5. Mencegah perdarahan.

6. Meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologis.

C. Indikasi

Luka yang memakai drain untuk drainase.

D. Pengkajian

1. Kaji keadaan umum / kondisi fisik pasien.

2. Kaji kondisi lokal pada tempat luka yang memakai drain (karakteristik

luka dan area pemasangan drain).

E. Persiapan alat

1. Bak instrument steril berisi :

a. Pinset anatomis 2 buah

b. Pinset serugis 2 buah

c. Gunting up hecting

d. Klem arteri
2

2. Kom steril 2 buah

3. Nierbekken (bengkok)

4. Handscone steril dan handscone bersih

5. Tromol berisi kasa steril dan kapas lidi steril

6. Korentang

7. Plester

8. Gunting plester

9. Perlak

10. Cairan fisiologis (nacl 0,9%)

11. Larutan antiseptic yang diresepkan (betadine)

12. Skhort dan masker bersih

13. Tempat sampah

14. Sampiran

F. Persiapan lingkungan

1. Tutup jendela dan pasang sampiran

2. Atur pencahayaan

G. Persiapan pasien

1. Jelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan

2. Atur posisi pasien senyaman mungkin

H. Prosedur kerja

1. Bawa alat ke dekat pasien

2. Tutup jendela dan pasang sampiran

3. Atur pencahayaan
3

4. Cuci tangan

5. Pakai sarung tangan sekali pakai

6. Letakkan atau pasang perlak

7. Bak instrument steril dibuka dengan benar.

8. Cairan normal salin dan larutan antiseptic di tuang ke dalam kom steril.

9. Buka luka dan segera pantau kondisi local luka dengan drain (karakteristik

luka).

10. Lepas sarung tangan bersih dan Pakai sarung tangan steril.

11. Bersihkan luka dan drain bagian luar dengan cairan normal salin.

12. Keringkan luka dan drain dengan kasa steril.

13. Berikan antiseptic yang sesuai pada area pemasangan drain serta bagian

luar daripada drain.

14. Klem drain ± 30 cm dari pangkal drain yang terfiksasi oleh benang jahitan

di jaringan kulit.

15. Jepit simpul benang jahitan yang memfiksasi drain dengan pinset chirugis

dan ditarik ke atas sedikit, kemudian menggunting benang tepat di sisi lain

dari simpul benang dengan gunting up heacting.

16. Tekan area sekitar pemasangan drain dengan menggunakan pinset

anatomis, lalu gunakan pinset chirugis untuk menarik drain keluar secara

perlahan - lahan.

17. Luka bekas drain diperiksa dan dibersihkan dengan cairan normal salin

kemudian diberikan antiseptic yang sesuai.

18. Tutup luka bekas drain dengan kasa steril dan fiksasi.
4

19. Angkat perlak

20. Merapikan dan atur kembali posisi pasien

21. Buka jendela dan sampiran

22. Membereskan alat-alat

23. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan.

I. Hal - hal yang harus diperhatikan

1. Privasi pasien

2. Cermat dalam menetukan langkah - langkah sesuai dengan kondisi pasien.

3. Perhatikan kenyamanan dan respon pasien selama pelaksanaan prosedur

4. Perhatikan jumlah dan warna cairan drain yang keluar

5. Pertahankan teknik aseptic selama tindakan.

J. Dokumentasi

1. Mencatat karakteristik luka dan drain

2. Mencatat hasil dan respon pasien pada proses keperawatan

3. Mencatat waktu, hasil pemeriksaan dan nama perawat yang melakukan

tindakan
1

PERAWATAN LUKA TERTUTUP

A. Definisi

Suatu bentuk tindakan perawatan yang dilakukan pada kulit atau jaringan yang

mengalami luka.

B. Tujuan

1. Mempercepat proses penyembuhan.

2. Mencegah infeksi nosocomial.

C. Persiapan alat

1. Bak instrument steril berisi :

a. Pinset anatomis 2 buah

b. Pinset serugis 2 buah

c. Gunting jaringan

2. Tromol steril berisi :

a. Kasa steril

b. Kapas lidi steril

c. Kapas kombustio steril

3. Kom steril 3 buah

4. Handscone steril

5. Handscone bersih

6. Nierbekken (bengkok)

7. Korentang

8. Plester

9. Verban gulung jika perlu


2

10. Gunting plester

11. Larutan antiseptic (betadine, metronidazole)

12. Cairan normal salin (Nacl 0,9%)

13. Perlak

14. Tempat sampah

D. Persiapan lingkungan

1. Menciptakan lingkungan / ruangan yang aman dan nyaman

2. Pasang sampiran untuk menjaga privasi, jika perlu

E. Persiapan pasien

1. Menjelaskan kepada pasien tentang tindakan yang akan dilakukan

2. Mengatur posisi pasien.

F. Prosedur kerja

1. Jelaskan prosedur pada pasien.

2. Susun semua peralatan yang diperlukan di dekat pasien dan instruksikan

pada pasien untuk tidak menyentuh area luka atau peralatan steril.

3. Atur posisi yang nyaman bagi pasien dan tutupi bagian tubuh selain bagian

luka.

4. Letakkan kantong sampah pada area yang mudah dijangkau.

5. Cuci tangan.

6. Pakai sarung tangan bersih sekali pakai.

7. Pasang perlak pada area luka yang akan dirawat.

8. Tuangkan larutan yang telah diprogramkan ke dalam kom steril.


3

9. Buka luka pasien dan inspeksi karakteristik luka (warna, jaringan nekrotik,

pembentukan lesi).

10. Buka sarung tangan sekali pakai dan pasang sarung tangan steril.

11. Bersihkan luka dengan cairan normal salin.

12. Gunakan swab yang terpisah untuk setiap usapan kemudian keringkan

dengan kasa kering

13. Jika luka operasi : berikan larutan antiseptic (betadine) dengan

menggunakan kapas lidi.

14. Jika luka decubitus : setelah daerah luka bersih, pasang kasa yang lembab

pada permukaan luka (kasa lembab yang telah direndam dengan larutan

yang diresepkan (metrodinazole)).

15. Jika luka dalam, masukkan kasa dengan hati – hati dengan menggunakan

pinset sampai semua permukaan luka kontak dengan kasa yang lembab.

16. Pasang kasa kering dan tutupi dengan bantalan kasa yang lebih tebal.

17. Fiksasi luka dengan menggunakan plester.

18. Lepaskan sarung tangan dengan bagian dalamnya berada di luar.

19. Bantu pasien untuk berada dalam posisi yang nyaman.

20. Rapikan semua perlengkapan dan cuci tangan.

G. Dokumentasi

1. Hasil observasi luka dan respon pasien.

2. Waktu, hasil pelaksanaan dan nama perawat yang melakukan tindakan.

Anda mungkin juga menyukai