Anda di halaman 1dari 2

Kelompok 13 / Administrasi Publik B

1. Amrina Rosyada Han (21417141081)


2. Yurika Sabrina Ananda (21417141083)
3. Renaldy Rahaditya Bintang Islami (21417141084)

Tugas Mata Kuliah Pemerintah Daerah


Best Practice dan Bad Practice Kawasan Konservasi Gunung Merapi

Salah satunya icon representatif Yogyakarta adalah gunung Merapi yang


dianggap sebagai salah satu aset dalam menarik wisatawan untuk berlibur. Melalui
indahnya pemandangan yang disajikan dan beberapa tempat rekreasi yang
mendukung sehingga sektor pariwisata mulai dikembangkan secara semenjak Pasca
erupsi gunung Merapi tahun 2010. Konservasi Gunung Merapi dengan total luas 6.410
ha dengan rincian 5.126,01 ha di wilayah Jawa Tengah dan 1.283,99 ha di Daerah
Istimewa Yogyakarta. HutanYang berada di sekitar gunung berapi telah ditetapkan
sebagai kawasan lindung semenjak tahun 1931 untuk melindungi sumber air, sungai
dan penyangga sistem kehidupan kabupaten atau kota Sleman, Yogyakarta, Klaten,
Boyolali, dan Magelang. Sebelum ditetapkan menjadi taman nasional Gunung Merapi
kawasan hutan di wilayah yang termasuk provinsi daerah istimewa Yogyakarta terdiri
dari fungsi fungsi hutan lindung seperti Cagar alam dan lain sebagainya. Wilayah
konservasi ini berada pada ketinggian antara 600 - 2.968 mdpl dengan Topografi
kawasan mulai dari Landai hingga berbukit dan Bergunung gunung.
a. Best Practice
Secara resmi, kawasan Taman Nasional Gunung Merapi ditetapkan pada
tahun 2004 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
134/Menhut-II/2004 tentang perubahan fungsi kawasan hutan lindung, cagar alam,
dan wisata alam pada kelompok Hutan Gunung Merapi.Terdapat beberapa tempat
di wilayah Pakem-Cangkringan yang membawa konsep ekowisata dengan misi
konservasi, misalnya Tlogo Putri Kaliurang, Kalikuning Park, dan jalur
pendakian. Gale dan Hill (2009) menjabarkan selain mengunjungi alam bebas,
ekowisata juga harus melibatkan masyarakat lokal, memberi keuntungan ekonomi
bagi lingkungan setempat dan berkontribusi dalam pemeliharaan keberagaman
spesies melalui usaha meminimalisir pengunjung serta mengedukasi
pengunjung. Taman Nasional Gunung Merapi menyimpan kekayaan alam berupa
flora dan faunadengan spesies yang beragam mulai dari endemik,
langka, hingga migran dari luar wilayah.Beberapa jenis flora khas pengunungan
yang tumbuh di kawasan ini antara lain puspa (Schima wallichii), Quercus
turbinata, Habenaria tosariensis, Cupressus sp., Anaphalis longifolia,
Rhododendron javanicum, dan Laspedeza junghuhniana. Selain itu, dapat
diketahui bahwa kawasan TNGM setidaknya memiliki 15 spesies mamalia dan 97
spesies burung. Dari jumlah tersebut,terdapat 4 spesies mamalia dan 17 spesies
burung yang termasuk jenis endemik dan bernilai konservasi tinggi. Beberapa
jenis mamalia yang kerap dijumpai berkeliaran di area taman nasional adalah
kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus srofa), luwak (Paradoxurus
hermaphroditus), lutung jawa (Trachypithecus auratus), landak (Hystix
brachyura), dan kucing hutan (Prionailurus bengalensis). Adapun jenis burung
yang tergolong endemik di taman nasional ini yaitu jalak suren (Sturnus contra),
kangkok ranting (Cuculus saturatus), walet gunung (Collocalia volcanorum),
dan srigunting kelabu (Dicrurus leucophaeus).
Persepsi masyarakat tentang Merapi yang mampu memberikan penghidupan
bagi masyarakat dibalas dengan berusaha menjaga kelestariannya melalui
konservasi dan edukasi lingkungan. Untuk mendukung gerakan konservasi ini
biasanya didukung dengan pembatasan jumlah wisatawan setiap harinya guna
menjaga kontur tanah yang rentan tetap terjaga dan stabil. Pengembangan
ekowisata di Pakem-Cangkringan sudah mulai memenuhi asumsi konseptual
ekowisata. Mulai dari keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata,
kesadaran akan menjaga lingkungan hingga wacana konservasi yang terus
dibangun untuk menjaga lingkungan sekaligus membangun pertumbuhan
ekonomi masyarakat lokal mulai berjalan seiringan.

b. Bad Practice
Perkembangan kawasan konservasi merapi perlu diperhatikan pemerintah, karena
terdapat beberapa factor yang dapat mempengaruhi perkembangan wisata ekosistem, seperti
kerusakan dan masalah ekosistem yang ditimbulkan berupa sedimentasi
yang terjadi dalam pembangunan sarana penunjang. Seperti
perubahan fungsi guna lahan diarea puncak berupa bangunan shelter,
toilet dan tiang pemancar, perubahan lainnya yaitu pembangunan toilet dan
tandon air di sepanjang jalur pendakian dari Paltuding hingga Pondok Bunder
yang pada mulanya merincikan bahwa di sepanjang jalur pendakian hanya shelter
yang bisa dibangun dan pembangunan pagar pembatas di lokasi berbahaya
sebagai pelindung bagi wisatawan.
Hal demikian juga tampak terlihat ketika
beberapa bagian jalan di semen, penambahan pagar permanen di sisi
tebing sebagai pengamanan pendakian, pelebaran jalan pendakian menyebabkan longsoran
kecil di sisi jalan pendakian. Jadi dalam kasus ini kegiatan dalam menjaga ketahananan
lingkungan dalam menghadapi perubahan fungsi lahan dan
guna lahan sangat diperlukan oleh pemerintah dan masyarakat. Dampak
lain dari pariwisata pada aspek sosial ekonomi baik positif dan negatif terjadi
berimbang, pada peningkatan pendapatan masyarakat maupun kesenjangan dan
kecemburuan dalam menghadapi pendatang baru dilingkungan masyarakat,
terutama bagi mereka yang juga sebagai pemilik usaha wisata di daerah merapi.

Daftar Pustaka
Nirmala. (2020). Ekowisata Merapi : Pengembangan wisata alam dan konservasi di Gunung
Merapi. Universitas Gadjah Mada : Antropologi
Putra, Ahimsa. (2012). Etnowisata Bencana, Kajian Wisata di Lereng Merapi. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Provinsi DIY. Vol IV, No. 5: 104-128.

Anda mungkin juga menyukai