Anda di halaman 1dari 7

A.

JENIS MEDIA BARU

Untuk jenis-jenis media baru, ada dua bentuk penge lompokan jenis media baru yang bisa kita lihat di
sini: berdasarkan fungsi kemediaan32 atau berdasarkan "sites of research" (lingkup kajian riset terkait
media baru dan per ubahan yang terjadi).

Cara yang pertama dalam pengelompokan media ba ru adalah jenis media baru untuk produksi media,
untuk distribusi media, dan untuk konsumsi media, yang mana kombinasi antara tiga jenis ini pun perlu
dipertimbangkan. Penjelasan mengenai masing-masing telah penulis uraikan di bab sebelumnya. Begitu
juga mengenai contoh masing masing telah penulis berikan, dan juga (harapannya) telah diperdalam
melalui aktivitas-aktivitas di kelas.

Selanjutnya, pengelompokan yang kedua adalah jenis media baru yang berdasarkan pada identifikasi
perubahan apa yang terjadi bersamaan dengan hadirnya media ba ru (Lister et al., 2009). Sehingga,
pengelompokan ini lebih bernuansa pada sub-kajian, atau area studi terkait media baru. Berikut adalah
pengelompokannya:

• Computer-mediated communications:

- email,

- chat rooms,

- avatar-based communication forums,

- voice image transmissions,

- the World Wide Web, blogs etc.,

- social networking sites, and

- mobile telephony.

• New ways of distributing and consuming media texts cha racterised by interactivity and hypertextual
formats -

- the World Wide Web,

- CD,

- DVD,

- Podcasts, and

- the various platforms for computer games. Virtual "realities":

• simulated environments and immersive representational spaces.


• A whole range of transformations and dislocations of es tablished media (in, for example,
photography, animation, te levision, journalism, film, and cinema). Sumber: (Lister et al., 2009, p. 13).

Ada beberapa poin menarik dari kutipan di atas yang penulis rangkum di sini, yaitu:

1. Pengelompokan Computer-mediated Communication (CMC) sebagai jenis dari media baru (new
media).

2. Perspektif ilmu komunikasi yang ditonjolkan adalah cara-cara baru dalam distribusi dan konsumsi teks
media; perspektif produksi tidak ditonjolkan.

3. Virtual "realities" menjadi terpisah dari CMC dan proses distribusi dan konsumsi.

4. Yang berpotensi "diskusi" lebih lanjut (atau perdebatan,tergantung berada pada camp yang mana),
adalah media "lama" atau analog yang telah terdigitalkan menjadi jenis dari media baru ('dislocated'
media).

B. PRINSIP-PRINSIP MEDIA BARU

Dalam memahami prinsip-prinsip media baru, penulis akan mengacu pada buku dari Lev Manovich
(2001) yang berjudul The Language of New Media. Dalam bukunya ini, Manovich (2001) memberikan
lima prinsip³ media baru yang mana dua prinsip: numerical representation dan modularity menjadi
"pendahulu" untuk bisa hadirnya tiga prinsip lainnya: automation, variability, dan transcoding. Berikut
adalah penjelasan masing-masing prinsip.

1.Numerical Representation

Yang dimaksud dengan prinsip representasi numerik adalah sebuah aset atau objek media baru
merupakan re presentasi dari digital code. Misalnya, sebuah foto digital, yang entah merupakan foto
digital hasil jepretan dari ka mera digital atau hasil pindai (scanning) dari kertas foto, pada prinsipnya
memiliki kombinasi numerik tertentu. Se hingga, dengan memakai algoritma yang tepat, maka foto
digital ini bisa menjadi subjek dari sebuah modifikasi baik itu meningkatkan exposure, contrast, crop,
resize, dan fung si editing lainya. Hasilnya, foto digital ini bisa mengalami perubahan tampilan. Sehingga,
prinsip ini memiliki kon sekuensi bahwa "media becomes programmable" (Manovich, 2001).

2. Modularity

Yang dimaksud dengan prinsip modular ini adalah ob jek media baru merupakan sebuah "gabungan"
dari ber bagai elemen-elemen atau aset yang bisa dengan mudah dipisahkan dan digabungkan lagi
dengan elemen yang lain. Salah satu contoh sederhana adalah membuat website de ngan beberapa
platform pembuat website, yang mana di bagian dashboard website tersebut akan tersimpan berba gai
aset atau elemen media seperti gambar-gambar JPEG atau GIF, tulisan atau teks, video, audio, dan
animasi. Ketika semua elemen ini telah dirangkai dengan memakai "mesin perangkai" dari web tersebut,
maka jadilah sebuah website ("gabungan" dari aset-aset media) yang memiliki alamat tertentu.
Selanjutnya, aset-aset media tersebut bisa diambil secara individual, lalu digabungkan dengan aset-aset
lain nya, dan jadilah sebuah media baru lainnya. Atau dengan kata lain, "a new media object consists
from independent parts which, in their turn, consist from smaller independent parts, and so on"
(Manovich, 2001).

3. Automation

Konsekuensi dari dua prinsip awal ini adalah hadirnya automasi terhadap berbagai operasi/aktivitas
dalam krea si, modifikasi, dan akses media. Kembali pada contoh foto digital di poin pertama di atas, jika
foto digital tersebut dihasilkan dari jepretan sebuah kamera smartphone, maka ada peluang untuk
pengguna melakukan editing di hand phone tersebut. Ada pilihan "auto" dalam melakukan edit ing, yang
mana "auto" ini bermaksud pengguna membe rikan "kuasa" bagi smartphone tersebut untuk melakukan
modifikasi foto digital tersebut. Fitur inilah yang merupakan salah satu contoh konkret dari prinsip
automasi yang bisa muncul karena adanya algoritma tertentu dan ele men-elemen di dalam file foto
tersebut (pixel) merupakan modular.34 Tentunya, automasi yang lain pun bisa dilakukan dengan kamera
yang bergerak sendiri mengikuti gerakan dari pemain film, analytics dari penggunaan sebuah me dia
sosial bisa otomatis terkalkulasi oleh mobile apps media sosial tersebut, dan analytics sebuah website
bisa otomatis terkalkulasi dan tersajikan dalam bentuk diagram. Sehingga, prinsip automasi ini
merupakan konsekuensi dari adanya dua prinsip awal yang dijelaskan di dua poin sebelumnya.

4. Variability

Prinsip variability ini mengacu pada "cairnya" atau ber variasinya media baru. Berbeda dengan
pemahaman ada nya sebuah master product yang kemudian dibuatlah banyak copy lalu diedarkan,
namun variability dalam media baru ini justru bisa memiliki berbagai versi "variasi" dari mas ter product
tersebut. Dengan kata lain, "Instead of identical copies a new media object typically gives rise to many
differ ent versions" (Manovich, 2001); media baru memunculkan banyak versi-versi berbeda daripada
membuat banyak co py yang identik. Hal ini dapat terjadi karena adanya nu merical coding dan
modularity dari objek-objek media ba ru. Melanjutkan dari contoh foto digital di atas, foto yang
tersimpan di smartphone tersebut bisa memiliki versi-versi yang berbeda, misalnya: dengan hanya tiga
kali menekan tombol di apps photo tersebut, maka sebuah foto digital akan menjadi bagian dari sebuah
montage video (seperti pada uraian di catatan kaki dari prinsip automation). Foto tersebut pun juga bisa
dimodifikasi lebih lanjut dengan menambahkan tulisan ringkas bernuansa "clickbait" atau "persuasif"
dan melakukan editing foto dasar, dan terben tuklah sebuah meme. Namun, tidak hanya ini saja maksud
dari variability.

Prinsip variability ini bisa menjadi dasar untuk men jelaskan berbagai aspek dalam media baru, yang
mana da lam buku ini penulis fokus pada dua hal yaitu branching-type interactivity dan hypermedia.
Interaktivitas yang ditawar kan media baru bisa berupa interaktivitas yang menyeru pai menu yang
dipilih, sehingga tampilan dari media baru akan mengikuti "masukkan" yang diberikan oleh pengguna,
misalnya pada film interaktif.36 Lebih lanjut, masukkan dari pengguna ini bisa dilakukan secara "manual"
oleh aktivitas pengguna, bisa juga secara "otomatis" oleh mesin/teknologi dengan memakai data-data
atau preferensi dari pengguna. Sementara itu, hypermedia sistem memberikan variabilitas yang tinggi
karena prinsip modularity yang membuat me dia objek terdiri dari aset-aset (gambar-gambar, file audio,
teks, file video, dan seterusnya), sehingga aset-aset ini bisa dirangkai menjadi sebuah media yang baru,
berbeda versi. Montage video dari foto-foto bisa menjadi sebuah contoh, apabila dalam foto tersebut
ada lebih dari satu wajah, mi salnya ada wajah "A" ada wajah "B", maka dengan prinsip hypermedia ini,
bisa dengan mudah app foto tersebut (yang memiliki stok lagu-lagu soundtrack-nya sendiri) memuncul
kan video yang memiliki wajah "A", atau sebuah video lain dengan foto-foto dari wajah "B".

5. Transcoding

Berbeda dengan empat prinsip sebelumnya, prinsip transcoding ini, atau lebih spesifiknya prinsip
cultural transcoding, melibatkan relasi antara dua layers yaitu "me dia/cultural layer" dan "computer
layer" (Manovich, 2001). Lebih lanjut, dua buah lapisan ini bisa dimaknai sederha na dengan sebuah
contoh mengenai gambar di komputer. Dari sisi representasi, sebuah gambar digital, misalnya fo to yang
ada di sebuah website, akan masuk dalam ruang dialogis dengan berbagai kerangka terkait budaya
manu sia khususnya pada berbagai perangkat kultural dan juga sosial. Di lapisan yang lain, foto digital
tersebut adalah se buah file komputer atau file digital yang terdiri dari kombi nasi numerik yang
merepresentasikan warna-warna RGB; sehingga foto tersebut pun masuk dalam ruang dialogis dengan
file-file komputer lainnya. File foto digital ini pun memiliki "dimensi-dimensi" berbeda berdasarkan dua
lapis an ini: antara konten foto, makna foto dan kualitas formal foto dengan ukuran file, jenis file, format
file, dan berbagai dimensi komputerisasi lainnya. Bahkan, kategori-kategori dalam dua lapisan ini pun
berbeda: untuk lapisan budaya ada "encyclopedia and a short story; story and plot; composition and
point of view; mimesis and catharsis, comedy and trage dy" dan untuk lapisan komputer ada "process
and packet (as in data packets transmitted through the network); sorting and matching; function and
variable; a computer language and a data structure" (Manovich, 2001). Apakah makna dua lapisan ini,
tanpa harus masuk detail pada istilah-istilah teknis ini? Artinya, prinsip transcoding ini menyerukan
untuk adanya sebuah sudut pandang bahwa media/cultural layer dan computer layer saling
menentukan atau memengaruhi satu sama lain; walaupun, media baru diciptakan, disebarkan dan
diakses melalui 'komputer'. Sehingga, media baru dimak nai sebagai sebuah komposit dari dua lapisan
ini, dan hasil nya adalah sebuah new computer culture: "a blend of human and computer meanings, of
traditional ways human culture modeled the world and computer's own ways to represent it"
(Manovich, 2001). Sebuah kombinasi atau pencampuran dari makna dari olah pikir manusia dan dari
olah komputer, dari cara-cara konvensional manusia dalam memodelkan dunia dan cara-cara
komputerisasi untuk merepresenta sikan dunia. Sehingga, Manovich (2011) pun memberikan usulan
untuk mengarahkan media studies menjadi software studies, media theory menjadi software theory.

C. KARAKTERISTIK MEDIA BARU

Selanjutnya, bahasan terkait media baru dalam bab ini adalah karakteristik dari media baru. Sejalan
dengan prinsip di atas, walaupun istilah-istilah yang dipakai cenderung mengarah pada ranah teknikal,
namun apa yang dimaksud oleh para penulis buku-buku ini tidaklah pada membingkai media baru dari
segi teknikalitas. Justru sebaliknya, lang kah ini adalah sebuah "translasi"39 istilah-istilah ini ke dalam
ranah komunikasi, sosial, dan budaya. Sehingga, untuk memahami media baru dari sudut pandang
komunikasi maupun dari sudut pandang ilmu sosial dan humaniora lainnya, istilah-istilah spesifik ini
perlu dibahas terlebih dahulu.

Menurut Lister et al. (2009), ada enam karakteristik dari media baru, yaitu:

1. Digital

Digital mengacu pada konversi properti fisik/mate riel (misalnya data, suara, huruf, dan warna) menjadi
ang ka-angka. Atau dengan kata lain, "digital merely signifies the assignation of numerical values to
phenomena" (Lister et al., 2009); digital mengacu pada pemberian nilai-nilai nu merik pada
fenomena.40 Sebuah pemahaman yang sangat berkaitan dengan prinsip numerical representation dari
me dia baru (Manovich, 2001). Apa yang menjadi dampak dari karakteristik digital ini adalah adanya
perubahan dalam hal produksi, distribusi, dan penggunaan media baru-seperti yang telah diutarakan
dalam sub-bahasan 2.3.2. Teknologi Aplikasi Baru. Akan tetapi, ada satu hal mendasar terkait dengan
karakteristik digital ini seperti yang diungkapkan Pierre Lévy dalam Lister et al. (2009) adalah kaburnya
ba tasan rigid antara penulis dan pembaca, performer dan penonton, kreator dan interpreter/pemakna.
Sehingga, re lasi menciptakan (misalnya menulis) dan mengonsumsi mengakses (misalnya membaca)
menjadi sebuah relasi yang kontinuum; setiap aktivitas/entity saling berkontribusi satu sama lain.

2. Interactive

Interaktif mengacu pada sebuah kombinasi dari user engagement terhadap teks media, relasi
independen dengan sumber informasi, penggunaan yang lebih individualis ed (customised), dan banyak
pilihan untuk user. Dari segi teknis, interaktif bermakna user/pengguna bisa langsung intervensi atau
mengubah images dan texts yang penggu na akses. Apa yang menjadi primer dalam karakteristik
interaktif ini adalah produser atau pembuat pesan atau media merancang atau mendesain sebuah
digital media text (misalnya website, game, dan social network) sebagai en vironment.

Lebih khusus lagi, ada tiga konsekuensi bagi para pro duser/kreator media baru.

Tiga konsekuensi dari karakteristik interaktivitas ini adalah menemukan cara untuk melibatkan "user-
generated content" ke dalam proses komunikasi, produser bukanlah melulu seorang author tapi bisa
menjadi seorang "experien ce designer" yang menyiapkan sebuah platform atau ruang dalam media
baru bagi pengguna untuk berkreasi, dan ekspektasi audiens terhadap interaktif mengondisikan untuk
hadirnya produksi transmedia seperti repurposing sebuah TV program ke berbagai platform seperti
website dengan forum komentar dan computer game.

3. Hypertextual

Hypertext mengacu pada sebuah teks (termasuk gam bar, audio, dan video) yang bertautan dengan teks
yang lain. Dalam media baru, kita bisa melihat hypertextual de ngan, misalnya, adanya hyperlink atau
link dari satu teks dalam sebuah website ke website yang lain. Sebuah makna mendasar dari
karakteristik hypertext ini adalah adanya non-sequential connections antarteks, termasuk objek mau
pun aset media baru. Interkoneksi antarteks ini memberi kan dampak untuk adanya asosiasi antarteks di
dalam me dia baru, misalnya melalui website yang mana satu teks bisa terhubung dengan teks yang lain
di laman website yang berbeda. Bagi produser media baru, interkoneksi antarteks menjadi sebuah fitur
yang perlu dipertimbangkan ketika membangun sebuah konten dalam media baru. Terlebih lagi, ini juga
didukung dengan hadirnya "gaya menulis" nonlinear yang terbawa dengan hadirnya hypertext, dan ju ga
dengan adanya penekanan bahwa cara berpikir manusia adalah asosiasi (yang diutarakan oleh Vannevar
Bush dan Ted Nelson).

4. Networked

Karakteristik networked (berjejaring) mengacu pada media baru yang saling berjejaring satu sama lain
(via in ternet), yang memudahkan pengguna/konsumen untuk le bih berpartisipasi aktif dari
memaknai/menginterpretasi sampai pada memproduksi. Khususnya, seperti yang ter cantum dalam
kutipan berikut ini:

"New media are networked in comparison to mass media - net worked at the level of consumption
where we have seen a mul tiplication, segmentation and resultant individuation of media use; dispersed
at the level of production where we have witness ed the multiplication of the sites for production of
media texts." (Lister et al., 2009, p. 35)

Dari kutipan di atas, media baru memiliki karakteristik berjejaring atau tersebar jika dibandingkan
dengan media massa; berjejaring dalam level multiplikasi, segmentasi dan individuasi dalam
penggunaan media dan tersebar dalam level produksi. Khususnya, persebaran tempat-tempat pro duksi
teks media.

Karakteristik ini tidak terpisahkan dari gagasan me ngenai network/jaringan yang terdiri dari berbagai
nodes yang saling terhubung satu sama lain. Idealnya adalah me lalui media baru pengirim pesan atau
komunikator atau institusi media tidak lagi memiliki keistimewaan tunggal untuk menjadi node pusat
yang dapat menyebarkan pe san ke audiens massa, melainkan node nonpusat sekarang sudah bisa
menjadi pengirim juga dalam satu proses ko munikasi ini. Salah satu dampak yang terlihat adalah
munculnya komunikator-komunikator non-institusi media mainstream yang menyemarakkan dan
meramaikan jalur transmisi pesan dan juga kompetisi membangun makna. Pada akhirnya, "consumers
[komunikan] can now more easily extend their participation in media from active interpretation to
actual production" (Lister et al., 2009); komunikan atau penerima pesan tidak hanya menjadi audiens
aktif yang memaknai tapi juga aktif terlibat dalam kegiatan produksi pesan atau media secara aktual.

5. Virtual

Walaupun gagasan "virtual" ini memiliki sejarah pan jang, virtual memiliki makna tersendiri dalam
konteks media baru dan era digital. Umumnya dimaknai sebagai "imitasi" dari riil. Namun, pandangan
yang lebih berimbang, virtual mengacu pada sebuah alternatif dari "real", dan bahkan bisa lebih baik
dari "real". 42 Sehingga, virtual reality merupa kan sebuah alternatif dari "real" space. Lebih lanjut, ada
dua pemaknaan terkait virtual reality ini yaitu realitas virtual yang merupakan hasil dari teknologi imersif
dan computer generated imagery, dan yang merupakan "ruang maya" yang dihasilkan dari komunikasi-
komunikasi online.
Tentunya, karakteristik virtual ini memiliki dampak yang berpotensi sebagai game changer karena
potensi virtual dari media baru ini bisa menjadi sebuah platform atau wi layah di mana pengguna bisa
"menghabiskan waktunya" di sana. Dalam sebuah aktivitas kelas yang penulis lakukan bersama satu
kelompok mahasiswa dalam matakuliah new media, dunia virtual yang diciptakan dalam game online
memberikan sebuah cuplikan mengenai "kehidupan dalam layar" yang dialami oleh para pemainnya.
Para mahasiswa memilih "avatar" masing-masing, lalu memasuki ke dalam sebuah "arena" dan
menjalankan "misi" yang ada. Pada saat itu, durasi yang penulis batasi adalah selama kurang lebih 30
menit, dan penulis meminta untuk mendokumentasikan interaksi yang terjadi. Hasilnya adalah interaksi
yang terja di dalam ruang virtual ini memiliki keunikan dan karak teristik tersendiri, ada sentilan-sentilan
dari para pemain, komunikasi nonverbal termediasi dan bahkan, setelah ber main game tersebut,
mereka berbagi foto hasil screen cap ture ke media sosial masing-masing. Sebuah rangkaian ke jadian
yang ada dalam ruang maya, yang tentunya tidak hanya sebuah imitasi "ruang riil" belaka, namun
menjadi realitas dalam kehidupan para pemain game ini.

6. Simulated

Tersimulasi sebagai sebuah karakteristik media baru mengacu pada simulasi yang bisa dilakukan oleh
media baru baik dalam bentuk simulasi komputer dan simulation games. Seiring dengan virtual, simulasi
ini pun juga telah diposisikan sebagai sebuah bagian dari realita. Selain itu, simulasi memiliki posisi
dialogis dengan representasi. Dalam simulasi, "a 'reality' is experienced that does not correspond to any
actually existing thing" [sebuah realita dialami dan tidak berkorespondensi dengan sebuah objek atau
benda aktual], sementara itu representasi, "or 'mimesis', the attempt at an accurate imitation or
representation of some real thing that lies outside of the image or picture" [upaya untuk mencapai
representasi atau imitasi yang akurat dari sebuah benda/ objek aktual image/gambar] (Lister et al.,
2009).

Anda mungkin juga menyukai