Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA

DOSEN PENGAJAR

Dr. Asep Supriyadi,M.Ag.

Disusun oleh:

Yulia 20212201

Nenden Dewi Kania 20212204

UNIVERSITAS MANDIRI

FAKULTAS VOKASI

PRODI ADMINISTRASI BISNIS

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya dan karunianya kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari makalah ini adalah “Bagaimana
Membumikan Islam di Indonesia”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata kuliah
Pengantar Bisnis yang telah memberikan tugas kepada kami . Kami juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang terus membantu dalam pembuatan makalah ini.

Makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, keterbatasan dan kemampuan kami, maka kritik dan
saran membangun senantiasa saya harapkan . semoga makalah ini berguna bagi saya pada khususnya dan
pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………………

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………....i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..…ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………...…1

A. Latar Belakang………………………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………..1
C. Tujuan ………………………………………………………………………………...2

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………3

A. Menelusuri Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak


Keberagamaan…………………………………………………………………….…..3
B. Menanyakan Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan…………….…6
C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Teologis dan Filosofis tentang Pribumisasi
Islam……………………………………………………………………………….…10
D. Membangun Argumentasi tentang Urgensi Pribumi Islam………………………….13

BAB III PENUTUP………………………………………………………………….……….…14

Kesimpulan………………………………………………………………………………14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...15

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B.Umat Islam dan tradisinya


akan sulit berkembang
apabila hanya
C.berkutat pada kajian-kajian
Islam klasik yang cenderung
tekstual dan tertutup.
D.Umat Islam perlu
melakukan dekonstruksi
kajian-kajian ilmu klasiknya,
E. menggunakan berbagai
paradigma keilmuan baru yang
berkembang di berbagai

1
F. belahan dunia. Dengan
melakukan dekonstruksi,
ajaran Islam mendapatkan
G.angin segar dan spirit baru
untuk menjawab tantangan
modernitas dan
H.globalisasi.
I. Namun, upaya dekonstruksi
dengan meninggalkan
khazanah intelektual
J. klasik Islam tidak pula dapat
dibenarkan. Hal itu mengingat
peradaban Islam

1
K.sejatinya bermula dari sebuah
teks suci (peradaban teks).
Bangunan ilmu-ilmu
L. Islam disusun di atas
premis-premis yang berasal
dari Al-Quran dan As-
M. Sunnah, yang kemudian
dikembangkan melalui
epistemologi bayānī menjadi
N.bangun keilmuan Islam
klasik yang kita kenal
selama ini. Atas dasar itu,
O.dekonstruksi bangunan ilmu
Islam harus dilakukan
dengan memadukan
1
P. khazanah keilmuan klasik
dan khazanah keilmuan
modern.
Q.Islam yang telah menyebar ke
seluruh penjuru dunia, mau
tidak mau,
R.harus beradaptasi dengan
nilai-nilai budaya lokal
(kearifan lokal). Sebagai
S. substansi, Islam merupakan
nilai-nilai universal yang dapat
berinteraksi dengan
T. nilai-nilai lokal (local
wisdom) untuk menghasilkan
suatu norma dan budaya
1
U.tertentu. Islam sebagai
raḫmatan lil āīamin terletak
pada nilai-nilai dan prinsip-
V.prinsip kemanusiaan
universal yang dibangun atas
dasar kosmologi tauhid.
W. Nilai-nilai tersebut
selanjutnya dimanifestasikan
dalam sejarah umat manusia
X.melalui lokalitas ekspresi
penganutnya masing-masing.
Lokalitas ekspresi
Y.keislaman bisa dimaknai
secara luas sebagai
kontekstualisasi pemahaman
1
Z. Islam. Artinya, pemahaman
dan ekspresi keberagamaan
seseorang tidak
AA. Umat Islam dan
tradisinya akan sulit
berkembang apabila hanya
BB. berkutat pada kajian-kajian
Islam klasik yang cenderung
tekstual dan tertutup.
CC. Umat Islam perlu
melakukan dekonstruksi
kajian-kajian ilmu klasiknya,
DD. menggunakan berbagai
paradigma keilmuan baru yang
berkembang di berbagai
1
EE. belahan dunia. Dengan
melakukan dekonstruksi,
ajaran Islam mendapatkan
FF. angin segar dan spirit
baru untuk menjawab
tantangan modernitas dan
GG. globalisasi.
HH. Namun, upaya
dekonstruksi dengan
meninggalkan khazanah
intelektual
II.klasik Islam tidak pula dapat
dibenarkan. Hal itu mengingat
peradaban Islam

1
JJ. sejatinya bermula dari
sebuah teks suci (peradaban
teks). Bangunan ilmu-ilmu
KK. Islam disusun di atas
premis-premis yang berasal
dari Al-Quran dan As-
LL. Sunnah, yang kemudian
dikembangkan melalui
epistemologi bayānī menjadi
MM. bangun keilmuan Islam
klasik yang kita kenal
selama ini. Atas dasar itu,
NN. dekonstruksi bangunan
ilmu Islam harus dilakukan
dengan memadukan
1
OO. khazanah keilmuan klasik
dan khazanah keilmuan
modern.
PP. Islam yang telah menyebar
ke seluruh penjuru dunia, mau
tidak mau,
QQ. harus beradaptasi dengan
nilai-nilai budaya lokal
(kearifan lokal). Sebagai
RR. substansi, Islam
merupakan nilai-nilai universal
yang dapat berinteraksi dengan
SS. nilai-nilai lokal (local
wisdom) untuk menghasilkan
suatu norma dan budaya
1
TT. tertentu. Islam sebagai
raḫmatan lil āīamin terletak
pada nilai-nilai dan prinsip-
UU. prinsip kemanusiaan
universal yang dibangun atas
dasar kosmologi tauhid.
VV. Nilai-nilai tersebut
selanjutnya dimanifestasikan
dalam sejarah umat manusia
WW. melalui lokalitas
ekspresi penganutnya
masing-masing. Lokalitas
ekspresi
XX. keislaman bisa dimaknai
secara luas sebagai
1
kontekstualisasi pemahaman
YY. Islam. Artinya,
pemahaman dan ekspresi
keberagamaan seseorang
tidak
Umat Islam dan tradisinya akan sulit berkembang apabila hanya berkutat pada
kajian-kajian Islam klasik yang cenderung tekstual dan tertutup. Umat Islam perlu
melakukan dekonstruksi kajian-kajian ilmu klasiknya, menggunakan berbagai paradigma
keilmuan baru yang berkembang di berbagai belahan dunia. Dengan melakukan
dekonstruksi, ajaran Islam mendapatkan angin segar dan spirit baru untuk menjawab
tantangan modernitas dan globalisasi.
Namun, upaya dekonstruksi dengan meninggalkan khazanah intelektual klasik Islam
tidak pula dapat dibenarkan. Hal itu mengingat peradaban Islam sejatinya bermula dari
sebuah teks suci (peradaban teks). Bangunan ilmu-ilmu Islam disusun di atas premis-
premis yang berasal dari Al-Quran dan As-Sunnah, yang kemudian dikembangkan
melalui epistemologi bayānī menjadi bangun keilmuan Islam klasik yang kita kenal
selama ini. Atas dasar itu, dekonstruksi bangunan ilmu Islam harus dilakukan dengan
memadukan khazanah keilmuan klasik dan khazanah keilmuan modern.
Islam yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, mau tidak mau, harus beradaptasi
dengan nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal). Sebagai substansi, Islam merupakan
nilai-nilai universal yang dapat berinteraksi dengan nilai-nilai lokal (local wisdom) untuk
menghasilkan suatu norma dan budaya tertentu. Islam sebagai raḫmatan lil āīamin terletak
pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang dibangun atas dasar
kosmologi tauhid. Nilai-nilai tersebut selanjutnya dimanifestasikan dalam sejarah umat
manusia melalui lokalitas ekspresi penganutnya masing-masing. Lokalitas ekspresi
keislaman bisa dimaknai secara luas sebagai kontekstualisasi pemahaman Islam.

1
Artinya, pemahaman dan ekspresi keberagamaan seseorang tidak terlepas dari ruang
waktu, pengetahuan, dan geografis yang dimilikinya. Ruang-ruang inilah yang
membentuk tipologi, corak, atau model keberagamaan sebuah komunitas Islam.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Transformasi wahyu dan implikasinya terhadap corak keberagamaan?

2. Apakah perbedaan dari Ekspresi dan Praktik Keberagamaan?


3. Jelaskan Filosofis tentang Pribumisasi Islam!
4. Apakah Argumen tentang Urgensi Pribumisasi Islam?
5. Bagaimana upaya membumikan islam di Indonesia?

C. TUJUAN
1. Mendeskripsikan tentang transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap
CorakKeberagamaan
2. Menjelaskan perbedaan dari Ekspresi dan praktik keberagamaan
3. Menjelaskan Filosofis tentang Pribumisasi Islam
4. Mendeskripsikan argument tentang urgensi pribumisasi islam
5. Mendeskripsikan Upaya Membumikan islam di Indonesi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Menelusuri Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak Keberagamaan

Dalam ajaran islam, wahyu Allah selain berbentuk tanda – tanda ( ayat) yang nirbahasa, juga
bermanifestasi dalalam bentuk tanda- tanda  (ayat ) yang difirmankan. Untuk memudahkan
pemahaman, kita bedakan antara istilah wahyu ( dengan “w” kecil) dan Wahyu (dengan “W” besar).
Wahyu dengan w kecil menyaran pada tanda- tanda intruksi arahan, nasihat, pelajaran, dan ketuhan
Tuhan yang nirbahasa, dan mewujud dalam alam semesta dan isinya, termasuk dinamika social
budaya yang terjadi di dalamnya.

Adapun Wahyu dengan W besar menyaran pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat,
pelajaran, dan ketentuan Tuhan yang difirmankan melalui utusan-Nya (malaikat) dan diakses
secara khusus oleh orang-orang pilihan yang disebut sebagai nabi atau rasul (meskipun kedua
istilah ini sebenarya berbeda, namun sementara ini dianggap sama). Tanda-tanda Tuhan di
alam semesta ini ada yang dipahami secara sama, pada sembarang waktu dan tempat.
Sebalikny , tanda- tanda Tuhan ada pula yang dibaca dan dipahami secara berbeda karena
perbedaan kadar kemampuan jiwa , rasa, dan fisik. Menurut Sahrur dalam  AI-Quran wa al-
Kitab". tanda tanda Tuhan yang di angkap secara universal itulah yang di sebuit dengan ayat-
ayat muhkamat. Adapun tanda tanda yang dibaca secara berbeda-beda sesuai dengan
perkembangan kemampuan nalar manusia, disebut dengan ayat ayat mutasyabihat.
Ayat-ayat yang terdapat di alam semesta dengan berbagai dinamika di dalamnya dibaca
dan dimaknai secara komprehensif oleh beberapa orang pilihan yang disebut dengan
nabi  rasul. Para nabi dan rasul merupakan orang-orang pilihan karena mereka telah dikaruniai
bakat kecerdasan paripurna sehingga dapat men-“download” ayat-ayat Tuhan yang di-upload
di alam ini dan mem-breackdown-nya menjadi sebuah pelajaran, nasihat, ketentuan, instruksi,
dan informasi dari Tuhan yang berbentuk bahasa. Ketika masih dalam bentuknya yang asli
berupa alam yang terbentang, wahyu belum diidentifikasi sebagai shuhuf al-Ula (kitab
Ibrahim), Taurat (kitab Musa), Zabur (kitab Dawud), Injil (kitab lsa), atau Al-Quran(Nabi
Muhammad SAW). Wahyu dengan w kecil sebagai ayat yang terbentang baru diidentifikasi
sebagai sebutan manakala telah diperspesi oleh para nabi dan rasul Ketika ia dipersepsi oleh
nabi berkebangsaan Yahudi, maka munculah Taurat yang berbahasa lbrani. Ketika ia
dipersepsi oleh nabi yang berkebangsaan Arab maka munculah Al-Quran yang berbahasa
Arab.       
Wahyu (dengan W besar) difirmankan untuk menjawab beberapa permasalahan yang tidak
dilemukan jawabannya dalam tanda-tanda Tuhan yang terbentang, untuk memotivasi manusia

3
agar makin detil dalam membaca dan memahami alam yang terbentang, sehingga ia  bisa
memperoleh rnakna dari setiap fenomena yang dialarrunya.
Tidak hanya itu, Wahyu difirmankan juga untuk memperpendek proses pembacaan
terhadap alam (wahyu yang terbentang). Apabila manusia diberi kesempatan untuk membaca
dan memahami aJam dengan segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan
membutuhkan waktv yang lama untuk mencapai jawaban final. Namun berkat Wahyu, proses
yang panjang dan berliku tersebut dapat disingkat sedemikian rupa sehingga manusia tidak
perlu bersusah payah untuk mendapatkan jawaban final kehidupan.      
Agaknya faktor sosial-budaya dan bakat intelektual yang dimiliki oleh masing-masing
nabi membuat Wahyu pun terfirman dengan teknik dan content yang berbeda Wahyu Allah
yang terbentang dalam alam geografis dan sosial budaya Arab, akan ditangkap oleh nabi
berkebangsaan Arab dan dibesarkan dalam tradisi intelektual Arab.  otomatis akan menjadi
Wahyu yang berbahasa Arab lengkap dengan kultur Arab pada masa wahyu difirmankaff
Artinya, ke-Araban Al- Quran misalnya, sangat dipengaruhi oleh  kultur Arab  Nabi
Muhammad. Al-Quran menjadi sebuah bacaan berbahasa Arab dan menyapa umat manusia
dengan log'ka bangsa Arab abad ke-7 karena ia diturunkan kepada Nabi Muhammad yang
berkebangsaan Arab.      
Wahyu Allah (dengan w kecil) pada mulanya bersifat universal dan historis. Sebagai
tanda-tanda Tuhan yang terbentang, keberadaan wahyu melintasi zaman dan melintasi ruang.
Namun ketika wahyu tersebut di-downtoad menjadi wahyu terfirman, maka ia berubah
menjadi wahyu yang historis (menyejarah). Hal itu dikarenakan substansinya yang universal.
kini harus diwadahi dalam lokahtas ekspres, Begitu wahyu Allah (dengan w kecil) berubah
menjadi wahyu terfirman selanjulnya disebut Firman saja). maka ia terikat dalam ruang
ekspresi yang dibatasi oleh letak geografis dan ruang waktu.. lni merupakan babak awal
terjadinya perbedaan corak pemahaman agama.
Dalam nalar Islam, wahyu yang terbentang diakses dan di- downIoad oleh Nabi
Muhammad dengan bakat intelektual yang luar biasa dan karunia Allah melalui Malaikat
Jibril. Wahyu terfirman itu lalu disebut  Al-Quran.  Apabila  mengacu  pada  pemikiran  yang
dikemukakan Sahrur, tanda-tanda Allah di alam terbentang disebut dengan Al-Quran
al-"Aztnm sedangkan tanda-tanda yang terclapat dalam wahyu terfirman disebut dengan Al-
Quran al-Karim. Selanjutnya dalam pembahasan di buku ini, ada baiknya kita tetap
mengunakan istilah wahyu terbentang (At-Quran al-Azhim) dan wahyu terfirman (AI- Quran
al-Karim).       
Wahyu  terfirman  rnerupakan  bentuk  relasi  antara  nalar manusia, wahyu
terbentang, dan karunia rahrnat Tuhan. Melalui rahm.at-
Nya,  Allah  memberikan  karunia  kepada  alam  semesta  untuk menampung dan
merepresentasikan tanda-tanda-Nya. Di sisi la in, melalui rahmat-Nya pula manusia diberi
kemampuan nalar untuk berpikir, memahami, dan  menghayati tanda-tanda alam sebagai

3
tanda-tanda-Nya. .Al-Quran al-Karim merupakan salah satu bentuk relasi antara nalar
Arab abad ketujuh, wahyu terbentang( Al-Quran al- Azhim), dan karunia rahmat Allah
tersebut.       
Mulanya,  Al-Quran  sebagai wahyu  terFirman  disampaikan  secara  lisan,  sesuai
dengan tuntutan  konteks situasional waktu  diturunkan. Ada tiga situasi yang mendorong
terjadinya peristiwa  pewahyuan secara lisan, yaitu: adanya pertanyaan tentang
sebuah  masalah, problematika sosial-budaya yang harus dicarikan solusinya,  dan misi
kenabian untuk merombak budaya suatu umat.
Al-Quran sebagai wacana lisan sangat kental diwamai oleh   konteks sosial-budaya
dan situasi peristiwa komunikasi kehka ia  difirmankan melalui lisan Nabi Muhammad.
Implikasinya, sebagai  wacana lisan, Al-Quran sering kali menggunakan ragam ungkapan  dan
ekspresi kebahasaan yang mengedepankan keterbukaan dan  pemaknaan yang dinamis, selama
ia tidak menyimpang dari konteks  komunikasi tersebut. Pemaknaan tersebut munculdalam
bentuk respon  langsung berupa sikap yang dilakukan audiens kala itu. Fokus pada  respon
rnerupakan salah satu ciri komunikasi lisan, ketika terjadi tindak  saling merespon antara
komunikator (dalam hal ini nabi) dan komunikan  (audiens Al-Quran).     
            Keterbukaan dalam pembacaan Al-Quran diartikan sebagai pemaknaan AI-Quran yang
hidup, progresif, mengalir sesuai dengan konteks situasional bangsa Arab kala itu. Audiens
Al-Quran kala itu masih dapat melihat secara langsung waktu, tempat, dan alasan sebuah ayat
turun sehingga mereka langsung mengambil sikap berdasarkan pemahaman mereka yang
komprehensif tentang peristiwa pewahyuan tersetut. Sahabat tidak mengalami kesulitan untuk
memahami, menghayaLa, dan mengamalkan wacana Al-Quran karena mereka paham bermr
tentang situasi komunikasi ketika Al- Quran difirmankan. nabi pun tidak menuntut sahabat
terlalu jauh untuk
menyikapi Al-Quran sebagai teori-teori filosofis dengan menjejalkan argumen-
argumen teoretis. Bagi nabi ketika itu, Al-Quran adalah pedoman gerak dan bersikap sehingga
begrtu mendengar wacana lisan Al-Quran umat manusia dapat langsung
memfungsionalisasikan Al-Quran dalam realita kehidupan mereka.  Implikasinya, nabi
banyak menoleransi pelbagai model pembacaan Al-Quran asalkan masih sejalan dengan
tujuan agama yaitu untuk menyucikan jiwa agar manusia dapat tunduk dan patuh kepada
Tuhan.
Problematika lain yang muncul dengan adanya kodifikasi Al- Quran menjadi mushaf
adalah hal yang disebut dengan pemihakan
ayat.  Artinya  perbedaan  corak  pemaharnan  dan  orientasi keberagamaan umat menjadi
bervariasi akibat pemihakan mereka terhadap beberapa doktrin yang ditemukan dalam ayat-
ayat tertentu, tanpa memberikan porsi yang cukup untuk menyikapi ayat-ayat lainnya yang
memiliki aksentuasi yang berbeda. Perbedaan Qadariyah dan Jabariyah, misalnya, merupakan
contoh yang pas untuk menggambarkan adanya pemihakan berlebihan terhadap doktrin pada

3
ayat-ayat tertentu. Dalam tradisi muktazilah, bahkan dikatakan apabila ditemukan
ayat-ayat yang tidak sejalan dengan ayat-ayat utama yang rnereka pdikan rujukan, maka
dilakukan mekanisme pemalingan makna yang disebut dengan takwil.
Sejak dulu para ulama merasa perlu untuk melakukan kerja rekonstruksi peristiwa
pewahyuan agar dapat mencapai pemahaman Al-Quran yang tepat dan sesuai dengan
dinamika zaman. Maka rnuncullah beraneka ragam, corak, dan model penafsiran sebagai
upaya untuk menyingkap kandungan makna Al-Quran agar ia dapat difungsionaliasikan
dalam kehidupan.       
Berbagai  model  pembacaan  Al-Quran  dilakukan dengan mengacu pada tiga aspek
utama, yaitu: teks AI-Quran sebagai sebuah
a) kesatuan tema.
b) konteks historis yaitu konteks situasional yang melingkupi peristiwa pewahyuan,
peristiwa penafsiran masa nabi, dan  masa-
masa  generasi  sebelumnya  sebagai  sumber  inspirasi penafsiran, dan
c) konteks pembacaan. yaitu situasi kondisi pada saat Al-Quran dibaca dan ditafsirkan
kembali oleh seorang penafsir dengan mengacu pada berbagai pendekatan dan
problematika kehidupan kontemporer.
  Melalui model pembacaan seperti itu  maka dimungkinkan terjadinya proses pengayaan
tafsir, sesuai dengan latar geografis,  sosial-budaya, dan spirit zaman saat Al-Quran
ditafsirkan. Dengan  kata lain:  perbedaan latar belakang keilmuan  penafsir
akan  memperWaruhi oorak pemahaman terhadap Al-Quran, begitu pula  perbedaan latar
sosial-budaya dan geografi penafsir akan berbeda hasil  tafsirnya. Seseorang yang dibesarkan
di lingkungan yang rasional  akan cenderung memperlakukan AI-Quran sebagai kajian
filsafat,  sebaliknya, seorang yang terbiasa bergelut dengan kajian- kayan  Eeologis akan
memposisikan AhQuran sebagai teks dokrin dan dogma.  Seseorang yang besar dalam kuitur
budaya Arab tentunya akan  memiliki pemahaman berbeda dengan orang lain yang besar
dalam   kultur budaya Asia atau Eropa. Pembaca AI.Quran abad ketujuh  tentunya juga akan
memiliki pemahaman yang berbeda dengan  pembaca Al-Quran abad kedua puluh satu. Ini
semua menunjukkan   bahwa Al-Quran dapat menjadi amber inspirasi bagi semua
orang  sepanjang masa dan di seluruh dunia. Iniiah yang disinyalir oleh Ali bin . Abi Thalib
dengan pernyataanrya yang terkenal -AI-Quran baina  daffatai almushaf la yanthiq wa innama
yatakallamu bihi ar-rijal (AI-Q uran yang terdapat dalam mushaf ddak berbicara, yang
membuatnya berbicara adalah para pembacanya).

B. Menanyakan Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan


Terdapat dua hal yang secara  dominan mempengaruhi dinamika dan struktur social
masyarakat yaitu agam dan budaya lokal. Dalam masyarakat Indonesia, dua hal tersabut

3
memiliki peranan penting dalam membentuk karakter dan perilaku sosial yang kemudian
sering disebut sebagai 'jati diri" orang Indonesia. Karakter tersebut mewamai hampir semua
aspek sosial masyarakat Indonesia baik secara politik. ekonomi maupun sosial budaya.     
Agama diyakini memiliki nilai-nilai transenden sehingga sering dipahami sabagai
suatu dogma yang kaku. Namun, nilai-nilai budaya relatif dipandang lebih fleksibel sesuai
kesepakatan-kesepakatan komunitas untuk dyadikan sebagai standar normatif. Karena
adanya perbedaan karakter agama dan budaya itulah maka sering kali nilai- niiai
agama  dipertentangkan  dengan  ndai-nilai  budaya  lokal  yang sebenamya telah
rnempengaruhi perilaku sosial seseorang.        
Waktu  masuknya  Islam  ke  Indonesia  (Nusantara)  masih diperdebatkan. Ada yang
berpendapat bahwa sejak sebelum hijrah  telah ada orarng Arab yang tinggal di kepulauan
ini. Lalu pada abad  ke-13 munculah untuk pertama kali sebuah komunitas Islam,
yang  selanjutnya mengalam perkembangan pesat pada abad ke-15. Pada  abad ke17/ ke-l8
bahkan mayoritas penduduk Jawa dan Sumatera  telah memeluk Islam.
Mulanya Islam masuk ke Indonesia mlalui pedagang dari Gujarat dan Malabar India.
Lalu belakangan masuk pula pedagang dan dai-dai Islam dari Hadramaut, di samping
saudagar-saudagar Islam dari Cina. Islam disebarkan dengan cara-cara damai dengan aliansi
politik dan pembiaran terhadap budaya-budaya lokal yang sudah ada sebelumnya, selama
sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur budaya lokal non-lslam (Arab) bahkan
melekat dalam karakter, pemikiran, dan praktik keagamaan umat Islam Indonesia. Hal itu
mengingat Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam sufistik yang memang memiliki
karakteristik terbuka, damai, dan ramah terhadap perbedaan.        
Model akulturasi budaya lokal dengan Islam ini sering dianggap sebagai penyebab
munculnya karakter Islam abangan di kalangan masyarakat Jawa. Sebagian orang bahkan
menilai bahwa para Wali Songo sebagai ikon dai-dai awal Islam di Indonesia dianggap
belum berhasil sepenuhnya untuk mengislamkan Jawa. Beberapa bukti disodorkan untuk
memperkuat tesis lersebut, di antaranya paham sinkretisme yang tampak masih dominan di
kalangan masyarakat Jawa. Walaupun bagi pihak yang mendukung metode dakwah Wali
Songo di atas. praktik-praktik yang sering dituduh sebagai sinkretisme tersebut bukan
sepenuhnya amalan yang bertentangan dengan islam dan dapat dijelaskan melalui perspektif
mistisisme Islam.

3
Sejalan dengan itu, muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya kita mampu
memosisikan diri terkait dengan hubungan agama dan budaya  lokal?  Handaknya kita
memosisikan  keduanya  secara proporsional, jangan sampai kita hanya mengakui nilai-nilai
agama sebagai satu-satunya konsep yang mengarahkan perilaku tanpa  peduli pada nilai-nilai
budaya lingkungan sekitar. Sebaliknya, jangan pula kita hanya berpakem pada budaya dan
tradisi tanpa pertimbangan- pertimbangan yang bersumber dari agama. Tanyakan pada teman
Anda pandangan mereka tentang proporsionalitas hubungan antara agama dan budaya lokal
di atas
Adanya akulturasi timbal-balik antara Islam dan budaya lokal  (local genius) dalam
hukum Islam secara metodologis harus diakui  eksistensinya. Dalarn kaidah ushol fiqh kita
tamukan misalnya kaidah,  al-addah muhkamah adat itu bisa dijadikan hukum). atau kaidah
"al- addah syari'atun muhkamah' (adat adalah syariat yang dapat dijadikan  hukum). Kaidah
ini memberikan justifikasi yuridis bahwa kebiasaan  suatu masyarakat bisa dijadikan dasar
penetapan hukum ataupun  sumber acuan untuk bersikap. Hanya saja tidak semua
adat  tradisi  bisa dijadikan pedoman hukum karena tidak semua unsur budaya pasti  sesuai
dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak  sesuai
dengan  ajaran  Islam  akan  diganti  atau  disesuaikan dengan semangat tauhid.        
Rasul telah mencontohkan cara melakukan akulturasi antara ajaran lslam dan tradisi
bangsa Arab pada abad ke-7. Ada tiga mekanisme yang dikkukan beliau untuk menyikapi
tradisi yang telah berkembang kala itu. Pertama, menerima dan melestarikan tradisi yang
dianggap baik: seperti tradisi musyawarah, kumpul-kumpul pada hari Jumat, dan khitan.
Kedua, menerima dan memodifikasi tradisi yang
secara  substansi  sudah  baik,  teLapi  dalam  beberapa  aspek implemantasinya bertentangan
dengan semangat tauhid, misalnya ritus haji dan umroh, kurban, dan poligami. Ketiga
menolak tradisi yang dianggap melanggengkan nilai, moralitas, dan karakter jahiliah, dan
menggantikannya dengan tradisi baru yang mengembarkan dan memperkuat nilai, moralitas,
dan karakter islami, seperti tradisi berjudi, berhala. minum-minurnan keras, dan kawin
korntrak.
Berbicara  tentang  karakteristik muslim  Indonesia,  artinya berbicara tentang relasi
antara budaya Indonesia dan ajaran Islam. Juga perlu kita ketahui bahwa antara agama dan

3
kebudayaan tidak bisa dipisahkan karena agama tidak akan memanifestasi tanpa
media budaya, dan budaya tidak akan bemlnilai luhur tanpa agama. Semula
lslam  memanikstasi dalam  budaya Arab,  lalu seiring dengan penyebaran Islam, ia pun
termanifestasi dalam budaya-budaya lainnya.      
Pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, keterlibatan Indonesia
dengan dunia Islam lainnya meningkat secara signifikan. Jumlah orang yang berhaji ke
Mekah meningkat, jumlah sarjana Indonesia yang pergi ke Timur Tengah untuk belajar
agama juga meningkal secara signifikan. Pada periode itu berkembang
pemikiran  revivalisme  Islam  dengan  semangat  mengembalikan
kemurnian  Islam  untuk  mengembalikan  kejayaan  umat  Islam. Beberapa pelajar Islam
Indonesia yang belajar di Timur-Tengah mengadopsi gagasan revivalisme ini lalu membuat
serangan kuat terhadap pemikran keagamaan di Indonesia. Model keberagamaan Islam
Indonesia yarig "sinkretis" mendapat kecaman pedas dari kelompok ini.  Menurut mereka,
praktik keagamaan yang sinkretis membuat umat Islam kehilangan identitas keislaman yang
murni dan terjerumus pada campur aduk antara Islam dan paganisme atau animisme-
dinamisme. Manifestasi ekstrem dari kelompok ini bahkan menolak setiap bentuk
persinggungan ajaran Islam dengan unsur unsur budaya yang tidak berasal dari lslam itu
sendiri.    .
Mereka juga menolak adanya pengaruh Hindu-Buddha, Kristen- Katolik, bahkan
pengaruh budaya lokal yang sudah mapan di tengah masyarakat. Semua ekspresi
keberagamaan yang merupakan perpaduan antara Islam dan budaya-budaya lain dianggap
sudah tidak mumi dan berbau bidah bahkan berbau syirik. Namun, ironisnya kelompok ini
terjebak pada simplifikasi teologis karena menganggap bahwa budaya Islam adalah budaya
Arab.       
Revivalisme dengan gerakan purifikasinya kerap kali menjadi biang munculnya
radikalisme. Radikalisme agama telah menjadi
kekhawatiran  bangsa  karena  praktik  keberagamaan  tersebut merapuhkan kebhinekaan dan
kedamaian. Gerakan purifikasi ini mengingkari unsur lokalitas yang turut membentuk Islam
Indonesia. Oleh karena itu, keberagamaan ini menafikan pluralisme sedemikian rupa
sehingga cenderung intoleransi, eksklusifisme, anti-keragaman (multikulturalisme) dan pada
titik krttis bisa melahirkan teronsme.     

3
Dengan  demikian,  ditengah adanya  dua  corak  utarna keberagamaan umat Islam
Indonesia,.yaitu sufistik tradisionalis dan revivalis fundamentalis. Kelompok pertama sangat
akomodatif terhadap perbedaan dan pengaruh luar, bahkan toleran terhadap praktik-praktik
keagamaan yang tidak sejalan dengan rasionalitas dan norma-norma Islam sendiri.
Sebaliknya. klompok kedua lebih rasional dalam menyikapi tradisi kagamaan, namun
cenderung eksklusif dan agresif terhadap praktik-praktik yang dianggap tidak memiliki dasar
hukum dalam ajaran Islam.

C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis tentang Pribumisasi Islam
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Islam dapat diaksentuasikan dengan pelbagai
cara sesuai dengan konteksnya. Aksentuasi fslam yang beragam tersebut dimungkinkan
terjadi. SaIah satu penyebabnya karena adanya akulturasi Islam dengan budaya Iokal.
Akulturasi Islam dengan budaya Iokal tertantu menunjukkan adanya upaya pribumisasi
Islam. Pribumisasi Islam menyaran pada transformasi nitai-nilai Isfam universai daIam
wadah budaya, geografis, dan ruang waktu tertentu. Melalui pribumisasL Islam diharapkan
dapat hadir dafam dinamika kehidupan kekinmn danmenjawab berbagai problematika sosial-
budaya yang berkembang dalam sebuah ruang, waktu, dan geografis tertentu. .
1. Menggali Sumber Historis
Istilah pribumisasi diperkenalkam oleh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid)
sebagai alematif dalam upaya pencagahan praktik radikasme agama. Penghargaan Gus
Dur terhadap metamorfosis islam Nusantara yang menempatkan lslam secara kontekstual
sebagai bagian dari proses budaya. Kalau boleh disadari meskipun sedikit teidlambat,
tempo itu dapat ditempatkan sebagai cara pandang futuristik Gus Dur perihal Islam
Indonesia ke depan agar tidak terperangkap dalam radikalisme _ dan terorisme. Dua
hal yang mencerabut Islam dari akar Nasantara. .
Pribumisasi lsiam menampik bahwa prakik keisarnan "tidak selaIu identik"
dengan pengalaman Arab (Arabisme). Ia adaptif dengan Iokalitas. Pribumisasi
merupakar semangat lanutan dari perjuangan kakek Gus Dur, KH Hasym Asy'ari.
Kelahiran-Nahdhatul Ulama (NU) merupakan kristalisasi sernangat pribumisasi islam
dilndonesia. Organisasi ini berdiri untuk membela praktik-praktik, keberagamaan kaum

3
lstam tradisionalis dari kritikan dan serangan agresif paham puritanisme yang
dipengaruhi gerakan Wahabi di Saudi Arabia-.-NU dengan pendekatan sufistiknya mau
menerima dan mengakomodasi praktik keberagamaamnya. Berbeda dengan organisasi
Muhammadyah dengan teologi Salafinya justru menganggap praktik keeragamaan yang
memadukan Islam dengan budaya lokal adalah praktik TBC (takhayul, bidah, dan
churafat/ khurafat)
Apabila kita tengok sejarah perkembangan Islam di Indonesia. dakwah yang
dilakukan oleh para dai yang membawa Islam ke indonesia selalu mempertimbangkan
kearifan Iokal (local wisdom) yang menjadi realitas kebudayaan dalam masyarakat
Indonesia. Keberagaman suku, budaya, dan adat-istiadat mendorong
keanekaragaman ekspresi kaislaman di Indonesia.
Dakwah Wali Songo di Pulau Jawa merupakan contoh kongkret dakwah yang sengaja
melakukan inkulturisasi Islam. Para ,wali mempergunakan instrumen-instrumen
kebudayaan yang ada untuk memasukkan pesan-pesan Islam_ Misalnya, tradisi selamatan
tiga hari, tujuh hari, seratus hari, pada masa dahulu di masyarakat Jawa dilaksanakan jika
anggota keluarga meninggal dunia. Oleh para wali, momen dan forum kumpul-kumpul
tersebut dibiarkan, tetapi dimodifikasi dengan membaca Yasin, Tahlil Tasbih, Tahmid,
dan Selawat, dengan diselingi pesan-pesan keagamaan. Pagelaran wayang, yang
merupakan media hiburan dan edukasi masyarakat Hindu-Jawa, dimodifikasi sedemikian
rupa.
Pengajaran Islam seperti. ini menambah eksotisme kemanusiaan dan mampu
mereduksi (menghindari) konstruksi jihad sebagai eskalasi psikologis-mental perang.
Islam mengedepankan kehalusan budi dalam membawa pesan-pesan doktrin dan tetap
menghidupkan ekspresi lokalitas. Pribumisasi Islam di antaranya mengambil bentuk
seni vokal (tembang) yang dipergunakan untuk menyampaian pesarn pesan moral Islam.
Pribumisasi Islam adalah psikologi indigenos yang mengembangkan spiritualitas
keberagamaan berangkat dari akar kearifan lokal. Khazanah kearifan lokal itu ditafsirkan
membentuk variarsi keberagamaan yang dapat dimaknai ke dalam bebagai
2. Menggali Sumber Sosiologis
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di
dunia. Feynomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari jasa para dai muslim sepanjang

3
sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mereka berasal dari Arab, Persia, India,
bahkan dari Cina. Kedatangan mereka ke Indonesia tadak saja untuk memperkenalkan
Islam, tetapi juga dengan membawa seperangkat keilmuan Islam yang sudah mengalami
proses pengembangan di tanah asalnya, Timur Tengah.
Sebelum Islam datang, penduduk Indonesia (baca: Nusantara) telah menganut
agama, baik yang masih primitif seperti animisme-dinamisme maupun yang sudah
berbentuk agama formal seperti Hindu atau Buddha. Namun demekian, berdasarkan
catatan sejarah yang ada, kedatangan isiam tidak disertai dengan konflik sosial-
keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan islamisasi generasi awal setidaknya
disebabkan oleh dua faktor; yaitu faktor strategi dakwah dan faktor daya tarik ajaran
Islam itu sendiri.
3. Menggali Sumber Teolgis dan Filosofis
Secara filosofis, pribumisasi islam didasari oleh paradigma sufistik tentang
subtansi keberagamaan. Dalam paradigma sufistik, agama memiliki dua wajah yaitu
aspek esoteris (aspek dalam) dan aspek eksoterik (aspek luar)_ Dalam tataran esoteris,
semua agama adalah sama karena ia berasal dari Tuhan Yang tunggal. Dalam pandangan
sufistik, bahkan dikatakan semua yang maujud di alam ini pada hakikatnya berasal dari
Wujud Yang satu (Tuhan Yang Maha Esa). Alam ciptaan dengan pluraritas
manifestasinya pada hakikatnya diikat oleh sebuah keberaran - universal yang berasal
dari Sang. Penncipta:
Secara teologis, tauhid bukan sekedar pengakuan atau persaksian bahwa tiada
tuhan selain Allah, tapi pemaknaan terhadap tauhid melampaui dari sekedar
pengakuan atas eksistensinya yang tunggal. Jika kita tarik pemaknaan tauhid dalam
ranah reaktas ciptaan (makhluk) maka tauhid berarti pengakuan akan pluralitas atas senlai
Dia (makhluk-Nya). Hanya Dia yang tunggal, dan seain Dia adaiah plural. AI-Quran
juga mengemukakan, bahwa Allah menakdirkan pluralitas sebagai karakterstik makhluk
ciptaan-Nya. Tuhan tidak menakdirkar pluraktas dalam ciptaan untuk mendorong
ketidakharmonisan dan perang. Pliralitas sekaligus menjadi bukti relativitas makhluk.
Karnana sifat telativitanya tersebut, makhluk Allah tidak mungkin menyamai kemutlakan
Sang Pencipta.

3
D. Membangun Argumen tentang Urgensi Pribumisasi Islam
Bangsa Indonesia sangat memerlukan kerja kolaboratif dan koordinatif dari berbagai
komponen untuk menggalang semua potensi bangsa agar terjadi sebuah kerjasama yang
efektif dan produktif bagi pembumian lslam yang penuh rahmat. Namun, upaya-upaya
seperti itu sering kali terhambat oleh adanya potensi-potensi konfllk yang sangat banyak di
negeri ini (agama, etnis, strata sosial, dan sebagainya). Salah satu potensi konflik yang
mungkin dapat menghalangi proses pembangunan dan modernisasi di Indonesia adalah
pemahaman agama.
Sering kali ajaran agama, yang bernilai universal dan tidak memihak, berubah menjadi
sebuah pemahaman agama yang bersifat sektarian dan lokal. Sering kali pa Tuhan yang
Mahaluhur dan Mahamulia diseret oleh subjektvitas manusia untuk membenarkan sikap
sektarian tersebut. Teks suci agama pun tidak luput dari tangan- tangan nakal manusia. Teks
sengaja dipahami secara lepas dari konteks kebahasaan dan sosio-psiko-historisnya agar
dapat dijadikan alat untuk mengafirkan orang lain yang berbeda pemahamannya.
Pada kondisi saat dunia mulai mengarah kepada peradaban global dan keterbukaan, maka
ajaran agama perlu kembali dirujuk untuk ditransformasikan nilai-nilai Iuhurya sehingga
dapat memunculkan sebuah pemahaman agama dan sikap keberagamaan yang bebas dari
fanatisme sektarian, stereotip radikal, dan spirit saling mengafirkan antara sesama umat
seagama, atau antara umat yang berbeda agama Apaba kita kernbali melihat contoh rasul
dengan masyarakat madaninya, maka kita dapati bahwa potensi-potensi konflik akan tapat
dieliminasi dengan mengedepankan persamaan dalam keragaman. Artinya, Islam
mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah fitrah (given) dari Tuhan tetapi dalam menjalani
hidup ini hendaknya kita tidak mempertajam perbedaan tersebut.
Sebaliknya, justru kita harus mencari unsur-unsur persamaan di antara kita. Sebagai
ilustrasi, bisa saja kita berbeda suku bangsa, adat, dan bahasa, tetapi kita harus
mengedapankan kesadaran bahwa ada satu persamaan yang mengikat kita semua, yaitu
kesadaran bahwa kita adalah bangsa Indonesia.

3
3
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw
sebagai nabi dan rasul terkhir untuk menjadi pendoman hidup seluruh manusia hingga
akhir zaman. Kewajiban sebagai umat islam untuk membumikan Islam sudah tertera
dalam berbagai hadist dan Surat di Alquran. Banyak cara yang dapat ditempuh dalam
membumikan islam di Indonesia. Kebangkitan atau kemajuan umat islam, baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama sungguh sangat bergantung pada sejauh mana mereka
berpendoman dan berpegang teguh pada petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, aturan-aturan,
etika-etika dan norma-norma yang mencangkup segala aspek dan segi kehidupan manusia
dimanapun.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mu‟ti. 2009. Inkulturasi Islam. Jakarta: Al-Wasath.

Bin Nabi, Malik. 1987. Az-Zhaahirah al-Qur‟aaniyyah. Beirut: Daar El-Fikr


alMu‟aashir.

Ja‟izh, Hisyaam. 1986. Al-Wahy wa Al-Qur‟aan wa An-Nubuwwah. Beirut: Daar at-


Thalii‟ah.

Kailah, Salaamah. 2013. Al-Islaam fi Siyaaqihi at-Taariikhy. Beirut: Daar atTanwiir.

Kuntowijoyo. 1990. Paradigma Islam. Bandung: Mizan.

Mustaqim, Abdul. 2012. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKIS.

Rachman, Budhy Munawar. 2010. Argumen Islam untuk Sekularisme. Jakarta: Grasindo.

Rahman, Fazhlur. 1998. Filsafat Kenabian. Bandung: Mizan.

Setiawan, M. Nurkholis. 2012).Pribumisasi al-Qur‟an. Yogyakarta: Kaukab Dipantara.

Syahrur, Muhammad. 2000. Al-Kitaab wa Al-Qur‟aan. Beirut: Syarikah alMathbu‟aat.

15

Anda mungkin juga menyukai