TANGERANG, KOMPAS.com - Pihak Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kota Tangerang Selatan menemui perwakilan SMA 8 Muhammadiyah Tangsel dan SMP Negeri 18 Tangsel pada Rabu (20/9/2017) pagi. Pertemuan itu digelar bersama perwakilan orangtua dan komite sekolah dalam rangka mengusut kasus perundungan atau bullying oleh sejumlah murid SMA 8 Muhammadiyah terhadap murid SMPN 18, beberapa waktu lalu. "Kami sudah adakan pertemuan dengan kedua belah pihak, dan dipastikan dalam kasus ini ada kekerasan psikologis, namun tidak ada kekerasan fisik," kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan, Taryono, saat dihubungi Kompas.com, Rabu pagi. Taryono menjelaskan, bentuk kekerasan psikologis yang didapati dalam kasus ini adalah ketika murid SMA menyuruh murid SMP untuk membuka pakaian mereka di sebuah lapangan terbuka. Baca: Dugaan Bullying di Tangsel, Pelajar SMA Lucuti Pakaian Murid SMP di Lapangan Terbuka Murid SMP yang jadi korban kekerasan secara psikologis itu ada delapan orang, sedangkan murid SMA yang melakukan perundungan disebut ada dua orang. "Mereka ini saling kenal dan biasa nongkrong bareng," tutur Taryono. Melalui pertemuan itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan meminta pihak sekolah lebih memerhatikan anak didiknya. Selain itu, terhadap murid yang terlibat, baik pelaku perundungan maupun korbannya, akan dibina agar kejadian serupa tidak terulang lagi di kemudian hari. Perundungan itu awalnya terungkap saat pegawai negeri sipil (PNS) di kantor Wali Kota Tangerang Selatan pada Senin (18/9/2017) kemarin melihat ada sekumpulan anak sekolah yang berdiri di lapangan terbuka, tanah kosong di belakang kantor Wali Kota. Baca: Viral, Video Bullying Disertai Kekerasan Siswi SMP di Cirebon Dari penglihatan mereka, didapati ada beberapa anak yang disuruh membuka pakaiannya, lalu dijemur di lapangan tersebut. Para PNS kemudian melaporkan hal tersebut ke Satpol PP dan meneruskannya ke satuan kerja perangkat daerah terkait. Sampai hari ini, kasus perundungan itu masih menjadi pembahasan serius Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tangsel . Pasien Miskin Mendapat Layanan Diskriminatif Kompas.com28/09/2012,11:09WIB
Jakarta, Kompas - Pasien miskin dan pengguna jaminan kesehatan sosial
tetap diam meski mengalami diskriminasi layanan rumah sakit. Mereka terpaksa menerima ketidakadilan itu karena tak tahu hak dan kewajibannya. ”Orientasi profit rumah sakit membuat pasien yang mampu membayar mendapat layanan lebih berkualitas daripada pasien miskin,” kata Arief Rachmat Fauzi, pemenang pertama Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia Ke-11 untuk kategori Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, di Jakarta, Kamis (27/9). Arief adalah mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada. Penelitian tentang diskriminasi layanan publik itu dilakukan di sebuah rumah sakit umum besar di Yogyakarta. Menurut hasil penelitian, diskriminasi dilakukan semua petugas rumah sakit, mulai dokter hingga petugas kebersihan, dan terjadi sejak pendaftaran pasien hingga pelaksanaan operasi. Di loket pendaftaran, pasien dengan jaminan kesehatan sosial akan dilayani terakhir meski mereka datang lebih awal. Jumlah loket bagi mereka lebih sedikit. Saat meminta informasi layanan, pasien miskin sering dipingpong. Informasi dari perawat dan dokter tentang kesehatan pasien sering berbeda. Selain itu, pelayanan, tutur kata, dan sikap perawat, dokter, hingga petugas kebersihan lebih baik kepada pasien di kelas lebih tinggi. ”Kebijakan rumah sakit, gaji yang tak seimbang dengan beban, perbedaan status sosial pemberi layanan dan pasien memicu terjadinya diskriminasi,” ujarnya. Dosen Politik dan Kebijakan Publik Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Andrinof A Chaniago, mengatakan, diskriminasi layanan publik masih terjadi di mana-mana, termasuk rumah sakit besar yang mengantongi berbagai penghargaan. ”Pembedaan layanan antarkelas perawatan rumah sakit umum sulit dihindari, tapi seharusnya tak mencolok,” ujarnya. Andrinof mengingatkan penyelenggara layanan publik, termasuk rumah sakit, terikat UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Ada prinsip dan standar layanan yang harus dipatuhi. Untuk meningkatkan layanan publik, peningkatan kesejahteraan petugas, subsidi silang antarkelas perawatan, pembiayaan pemerintah yang memadai, serta pendidikan hak dan kewajiban pasien harus dilakukan seiring.