Anda di halaman 1dari 4

Kasus "Bullying" Anak SMP di Tangsel, Dinas

Pendidikan Temukan Adanya Kekerasan Psikologis


Andri Donnal Putera
Kompas.com - 20/09/2017, 11:38 WIB

TANGERANG, KOMPAS.com - Pihak Dinas Pendidikan dan


Kebudayaan Kota Tangerang Selatan menemui perwakilan SMA 8
Muhammadiyah Tangsel dan SMP Negeri 18 Tangsel pada Rabu
(20/9/2017) pagi. Pertemuan itu digelar bersama perwakilan orangtua
dan komite sekolah dalam rangka mengusut kasus perundungan atau
bullying oleh sejumlah murid SMA 8 Muhammadiyah terhadap murid
SMPN 18, beberapa waktu lalu. "Kami sudah adakan pertemuan dengan
kedua belah pihak, dan dipastikan dalam kasus ini ada kekerasan
psikologis, namun tidak ada kekerasan fisik," kata Kepala Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan, Taryono, saat
dihubungi Kompas.com, Rabu pagi. Taryono menjelaskan, bentuk
kekerasan psikologis yang didapati dalam kasus ini adalah ketika murid
SMA menyuruh murid SMP untuk membuka pakaian mereka di sebuah
lapangan terbuka. Baca: Dugaan Bullying di Tangsel, Pelajar SMA
Lucuti Pakaian Murid SMP di Lapangan Terbuka Murid SMP yang jadi
korban kekerasan secara psikologis itu ada delapan orang, sedangkan
murid SMA yang melakukan perundungan disebut ada dua orang.
"Mereka ini saling kenal dan biasa nongkrong bareng," tutur Taryono.
Melalui pertemuan itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan meminta
pihak sekolah lebih memerhatikan anak didiknya. Selain itu, terhadap
murid yang terlibat, baik pelaku perundungan maupun korbannya, akan
dibina agar kejadian serupa tidak terulang lagi di kemudian hari.
Perundungan itu awalnya terungkap saat pegawai negeri sipil (PNS) di
kantor Wali Kota Tangerang Selatan pada Senin (18/9/2017) kemarin
melihat ada sekumpulan anak sekolah yang berdiri di lapangan terbuka,
tanah kosong di belakang kantor Wali Kota. Baca: Viral, Video Bullying
Disertai Kekerasan Siswi SMP di Cirebon Dari penglihatan mereka,
didapati ada beberapa anak yang disuruh membuka pakaiannya, lalu
dijemur di lapangan tersebut. Para PNS kemudian melaporkan hal
tersebut ke Satpol PP dan meneruskannya ke satuan kerja perangkat
daerah terkait. Sampai hari ini, kasus perundungan itu masih menjadi
pembahasan serius Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tangsel .
Pasien Miskin Mendapat Layanan Diskriminatif
Kompas.com28/09/2012,11:09WIB

Jakarta, Kompas - Pasien miskin dan pengguna jaminan kesehatan sosial


tetap diam meski mengalami diskriminasi layanan rumah sakit. Mereka
terpaksa menerima ketidakadilan itu karena tak tahu hak dan
kewajibannya. ”Orientasi profit rumah sakit membuat pasien yang
mampu membayar mendapat layanan lebih berkualitas daripada pasien
miskin,” kata Arief Rachmat Fauzi, pemenang pertama Pemilihan
Peneliti Remaja Indonesia Ke-11 untuk kategori Ilmu Pengetahuan
Sosial dan Kemanusiaan, di Jakarta, Kamis (27/9). Arief adalah
mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas
Gadjah Mada. Penelitian tentang diskriminasi layanan publik itu
dilakukan di sebuah rumah sakit umum besar di Yogyakarta. Menurut
hasil penelitian, diskriminasi dilakukan semua petugas rumah sakit,
mulai dokter hingga petugas kebersihan, dan terjadi sejak pendaftaran
pasien hingga pelaksanaan operasi. Di loket pendaftaran, pasien dengan
jaminan kesehatan sosial akan dilayani terakhir meski mereka datang
lebih awal. Jumlah loket bagi mereka lebih sedikit. Saat meminta
informasi layanan, pasien miskin sering dipingpong. Informasi dari
perawat dan dokter tentang kesehatan pasien sering berbeda. Selain itu,
pelayanan, tutur kata, dan sikap perawat, dokter, hingga petugas
kebersihan lebih baik kepada pasien di kelas lebih tinggi. ”Kebijakan
rumah sakit, gaji yang tak seimbang dengan beban, perbedaan status
sosial pemberi layanan dan pasien memicu terjadinya diskriminasi,”
ujarnya. Dosen Politik dan Kebijakan Publik Program Pascasarjana
Universitas Indonesia, Andrinof A Chaniago, mengatakan, diskriminasi
layanan publik masih terjadi di mana-mana, termasuk rumah sakit besar
yang mengantongi berbagai penghargaan. ”Pembedaan layanan
antarkelas perawatan rumah sakit umum sulit dihindari, tapi seharusnya
tak mencolok,” ujarnya. Andrinof mengingatkan penyelenggara layanan
publik, termasuk rumah sakit, terikat UU No 25/2009 tentang Pelayanan
Publik. Ada prinsip dan standar layanan yang harus dipatuhi. Untuk
meningkatkan layanan publik, peningkatan kesejahteraan petugas,
subsidi silang antarkelas perawatan, pembiayaan pemerintah yang
memadai, serta pendidikan hak dan kewajiban pasien harus dilakukan
seiring.

Anda mungkin juga menyukai