Analisa Pemikiran Abdurrohman Mas
Analisa Pemikiran Abdurrohman Mas
A. PENDAHULUAN
Dalam berbagai buku dan pembicaraan sehari-hari, seringkali istilah pengetahuan umum dan
pengetahuan agama memusingkan kepala. Dari istilah tersebut lahir pula istilah lain, seperti
sekolah umum dan sekolah agama; pengkategorian masalah keduniaan dan agama tidak mustahil
diilhami oleh pembagian itu. 1 Dalam konteks pendidikan, Ibnu Qayyim 2 mengatakan bahwa
hakikat dari tujuan pendidikan adalah menjaga fitrah 3 manusia dan melindungan agar tidak jatuh
dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya untuk penghambaan (ubudiyah) kepada
Allah. Pada kesempatan ini penulis akan mengkaji pemikiran pendidikan Abdurrahman Mas’ud
yang pada intinya memaparkan tentang Format Pendidikan Non-Dikotomik (Humanisme
Religious Sebagai Paradigma Pendidikan Islam), yang artinya tidak ada pemisahan antara ilmu
agama dan ilmu umum. Tampaknya, ia ingin mengkompromikan antara pendidikan yang
dilaksanakan di barat, dimana pendidikannya lebih mementingkan aspek pengetahuan sehingga
anak didiknya semakin jauh dari agama. Sedangkan dalam pendidikan Timur lebih banyak
menekankan pada aspek religius.Pendidikan yang berorientasi humanisme religius sesuai dengan
sabda Nabi,
َمنْ َأ َرادَ ال ُّد ْن َيا َف َعلَ ْي ِه باِلع ِْل ِم َو َمنْ َأ َرا َد اآلخ َِر َة َف َعلَ ْي ِه باِلع ِْل ِم َو َمنْ َأ َرا َد ُه َما َف َعلَ ْي ِه باِلع ِْل ِم
“Barang siapa menginginkan kehidupan dunia adalah dengan ilmu, barang siapa yang
menginginkan kehidupan akhirat dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan dunia
akhirat dengan ilmu.”
Abdurrahman Mas’ud dilahirkan di Kudus, 16 April 1960. Pak Rahman, begitu sapaan
akrabnya, adalah dosen IAIN Walisongo Semarang. Ayah Beliau bernama H. Mas’ud
bin KH. Irsyad. Haji Irsyad dikenal sebagai seorang kiai yang ampuh alam
bidang ilmu tauhid dengan pondok pesantrnya yang diberi Nama Roudlatul
muta’alimin dijagalan Kudus. Sekarang pondok itu diasuh oleh paman
Abdurrahman Mas’ud yang bernama KH. Ma’ruf Irsyad sekaligus sebagai
Ro’is Syuriah NU Kabupaten Kudus. Haji Mas’ud adalah seorang santri yang
berkiprah di bidang tekstil dan sangat sukses. Ibu beliau bernama Hj.
Chumaidah binti H. Amir Hadi. “Dur” begitu ia akrab disapa di waktu kecil
dan ia adalah anak pertama dari keluarga H. Mas’ud.
Situasi dan tradisi lingkungan pesantren di mana Pak Rahman dilahirkan
pada tanggal 16 April 1960 di Desa Damaran Kabupaten Kudus Jawa Tengah
dimana sangat erat dengan kegiatan religius. Di samping itu dengan
1
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. II (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994),5
2
Hasan bin Ali Hasan al-Hijazi, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Cet. I (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001), 83
3
Fitrah adalah sebagai suatu yang suci yang sesuai dengan asal kejadian alam dan
manusia, ketika asal mula pertama diciptakan Tuhan. Dawam Raharjo, Ensiklopedi
al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996),59
1
lingkungan yang sudah padat dengan rumah-rumah penduduk dan
mata pencaharian mereka yang mayoritas pengusaha konfeksi atau sejenis
industri rumah tangga seperti bordir dan tenun tangan atau non-mesin. Karena
itulah suasan kehidupan di kawasan Damaran, 4 yang penuh dengan Susana
kerja. Bila kita menelusuri gang-gang, baik pada pagi maupun sore hari,
suasana kawasan ini tampak lenggang, kecuali suara mesin jahit yang
5
bersahut-sahutan dan berirama tanpa putus
Suara kerja tersebut akan berubah total ketika malam tiba, terutama
antara waktu magrib dan isya’. Pada saat seperti inilah semua warga
masyarakat Damaran mengaji. Bagi mereka yang tidak mengaji, tidak
membuat gaduh. Semua radio, tape dan televisi pada jam-jam tersebut
dimatikan. Jika pada saat yang demikian ada orang yang keluar rumah,
apalagi duduk bersantai, akan segera diperingatkan oleh orang tua mereka.
Orang akan menganggap bahwa duduk bersantai atau keluar rumah tanpa
tujuan yang jelas pada jam-jam pengajian itu dianggap tabu atau “saru”.
Sehingga apabila dilihat dari sosio-historis sebagaimana di atas tentu
mempunyai pengaruh pada pola pikir Pak Rahman yang tidak terlepas dari
tradisi pesantren yang mana mencari ilmu merupakan sesuatu yang sangat
ditentukan.
Di samping faktor tersebut di atas pengaruh kedua orang tua atau bisa
disebut lingkungan keluarga, juga merupakan komponen yang sangat penting.
Haji Mas’ud adalah seorang ayah yang sangat peduli terhadap pendidikan
agama bagi anaknya. Ayahnya sangat rajin menghadiri pengajian, bahkan Pak
Rahman di waktu kecil pernah diajak ayahnya ke Rembang untuk menghadiri
pengajian bersama K.H. M. Sya’roni Ahmadi, padahal jarak antara Kudus- Rembang cukup jauh atau
hampir dua jam bila ditempuh dengan mobil
pribadi.
Sikap apresiatif haji Mas’ud ini juga diwujudkan dengan mendorong
Abdurrahman untuk di sekolah di Raudlatul Athfal Banat Kudus dan
selanjutnya meneruskan di Qudsiyyah selama 12 tahun lulus tahun 1980.
Setelah itu ia melanjutkan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mengambil
Fakultas Tarbiyah, yang sekarang menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6
Pak Rahman juga memanfaatkan media radio dan buku. Melalui media
tersebut Rahman dapat mengetahi informasi baik di dalam maupun di luar
negeri. Pengalaman seperti ini telah dimulainya sejak kelas I Tsanawiyah. Hal
ini tidak hanya diikutinya dengan fasilitas media yang berbahasa Indonesia,
4
Menurut cerita kata “Damaran” berasal dari kata damar yang berarti lamapu, desa ini
dikatakan Damaran karena pada zaman Wali dulu pernah para murid yang tinggal di desa ini ketika
hendak bersuci pada malam hari memerlukan damar karena tempat bersucinya cukup jauh dan harus
jalan kaki. Tempat suci tersebut sekarang dinamakan kampung “Sucen”, yang berarti tempat bersuci.
Kampung Sucen ini terletak disebelah timur-laut Masjid Menara, sementara desa Damaran berada
disebelah baratnya. Radjasa Mu’tasim dan Abdul munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi: Study Tarekat
Dalam Masyarakat Industri, Cet.I., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 64-65.
5
Ibid, hlm. 56-57.
6
Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, (Semarang: Aneka Ilmu,
2004) yang ditulis pada sampul belakang.
2
namun juga media radio dan buku yang berbahas Inggris. 7 Kedua media inilah
yang merupakan pendorong keinginan besar Pak Rahman untuk mengetahui
berbagai pemikiran yang berkembang di luar tradisinya. Dari sinilah
pemikiran Pak Rahman mulai terbuka untuk lebih meningkatkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan secara luas, di luar pengetahuan
keagamaan yang dipelajari di pesantren keluarganya sendiri.
Faktor sosio-historis Pak Rahman tidak hanya mempengaruhi pandangannya terhadap pendidikan
Islam, tetapi juga menjadikan ia sebagai
seorang pemikir yang dapat memahami wacana tradisionalitas dan
modernitas.
Setelah kuliah di Amerika yang lebih mengedepankan aspek rasional dan kebebasan berpikir
menjadikannya mencari akar permasalahan, kemunduran pendidikan Islam yang pada dasawarsa
sebelumnya merupakan puncak tertinggi peradaban di dunia. Ronald A. Lukens-Bull mengatakan
bahwa pengaruh pemikiran Pauolo Freire secara tidak langsung mempengaruhi terhadap pemikiran
Abdurrahman atau bahkan gabungan yang sangat besar. Di samping itu, gagasan Nurcholis Majid
tampaknya juga mempengaruhi pemikiran Abdurrahman Mas’ud tentang sekularisasi 9
3
konsisten mengikuti akar tradisinya dan pemikiran-pemikiran baru secara
rasional dan proporsional. Sehingga walaupun Pak Rahman komitmen dengan
tradisi yang dibentuknya, dalam pemikirannya, ia tetap obyektif dan tidak
memihak.
Pola pemikiran Pak Rahman saat ini dapat dibuktikan dari cara
pandangnya ketika masih dalam komunitasnya, yaitu tidak taqlid begitu saja
pada doktrin ajaran pesantren dan NU yang mempengaruhinya, misalnya,
dalam menghadapi Muhammadiyah, Pak Rahman sangat moderat, walaupun
anrtar NU dan Muhammadiyah terdapat perbedaan prinsip dan pemahaman dalam
menginterpretasikan al-Qur’an dan al-Hadits. Namun demikian, Pak
Rahman masih tetap berada dalam ruang lingkup sosio-politik tradisi yang
membangun pola pikirnya, seperti penghormatan yang ditujukan pada seorang
pemimpin, tokoh masyarakat, dan seorang kyai karena kharisma dan
penguasaan kailmuan mereka. Walaupun masih tetap mengikuti tradisi seperti
ini, Pak Rahman tidak meninggalkan kritisisme seperti yang berkembang di
Barat untuk membangun tradisi berupa kesadaran keilmuan dan intelektual.
Oleh karena itu Pak Rahman tidak menjauhinya. Karena dengan
konsistensinya pada tradisi yang dipertahankan, akan membudahkan peluang
Pak Rahman untuk mengadakan perubahan dari dalam dan menawarkan
interpresentasi-interpretasi baru dari sebuah wacana yang berkembang dalam
sebuah kultur yang mempengaruhinya.
Keterpanggilan memperbaharui akar tradisi sendiri itulah yang
mendorong Pak Rahman untuk memperdalam studi Islam. oleh karena itu ia
mengkonsentrasikan wilayah belajarnya dalam bidang pemikiran Islam
kehususnya sejarah peradaban Islam. Namun sebagaimana yang diakuinya,
studi pada Islamic Studies di Amerikan adalah tidak terlepas dari dorongan
kedua orang tuanya yang gethol dalam mendidik anak-anaknya.
Sebelum menjadi dosen IAIN Walisongo Semarang, ia sempat mengajar di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (1984-1988). Gelar doktor diraihnya dari Universitas California, Los Angeles,
USA (1997), dengan beasiswa fullbright. Selama kuliah S-3 di Amerika, ia pernah menjadi ketua ICMI
Los Angeles (1992-1995) dan editor OASE, sebuah buletin keagamaan untuk komunitas muslim di
Los Angeles (1994-1996), serta menjadi pembimbing kegiatan pengajian komunitas muslim di Los
Angeles.10Kembali dari Amerika (Januari 1997) dengan menyandang gelar doktor dalam Islamic
Studies (Interdepentemental Studies UCLA), Rahman diberi amanat untuk menjabat wakil Direktur
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang (1997-1999), pada tahun 1999-2000 ia men-jabat pusat
kepala penelitian (Puslit) dan Direktur Walisongo Research Institute (WRI) IAIN Walisongo Semarang.
Pada tahun yang sama Rahman dipercaya untuk menjadi konsultan Basic Educational Project (BEP)
dan Semarang Institute for Moslem Educational Studies (SIMES). Kemudian, pada September 2000,
Rahman mendapatkan kepercayaan memegang jabatan program Pascasarjana. Selain mengajar di
program Pascasarjana di IAIN Walisongo Semarang, ia juga banyak mengajar di berbagai program
pascasarjana, antara lain MM-UNDIP Semarang, Magister Akuntansi UNDIP, Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pascasarjana UNISMA Malang, dan Program Pascasarjana Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta 11. Tidak mengherankan jika di dunia Barat, terlebih-lebih di Amerika,
terlihat semakin jauh dari spirit religius. Terlebih istilah “Tuhan telah mati (God is dead) sudah
10
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Gema Media), 234.
11
ibid
4
demikian populer. Seorang tokoh terkemuka, Tomas Jeferson (1743-1826) mengatakan bahwa
agama sebagai masalah pribadi sedangkan sekolah merupakan masalah publik, maka kedua
kehidupan yang berbeda ini tidak boleh dicampuradukkan.
12
Ibid ibid xiii
13
Isma’il SM., et.al (eds.), Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I (Semarang: Pustaka
Belajar & Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001), 3-4
14
Karya ini telah diresensi oleh Farid Bani Adam, “Melacak Para Master Dunia Pesantren”,
Edukasi Ajang pergulatan Mahasiswa, edisi XXIX, Th. XI/VI/2004, hlm. 84
15
Diresensi oleh Sugiyanto, “Dikotomi, Penyebab Kemandegan Islam”, Jurnal Edukasi
Pendidikan Islam Liberal, Colum I, Th.X/Desember, 2002, hlm. 161.
5
Disamping itu, masih banyak karya-karya beliau yang dimuat dalam
bentuk buku yang dirangkum dan disertai dengan karya-karya ide pokok
para tokoh yang lainnya. Hasil karya-karya tersebut diantaranya:
1. “Pesantren dan Walisongo Sebuah Interaksi Dalam Dunia Pendidikan”
dalam “Islam dan Kebudayaan Jawa”, pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa
IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Gama Media, Yogyakarta,
2000, (Editor) Drs. H.M. Darori Amin, M.A.
6
bima Suci, No.11., hlm. 73-77, BAPPEDA Tingkat I Jawa Tengah, Tahun
2000.
12. “Reward And Punishment In Islamic Education”, Ihya’ Ulum al-Din
International Jounal number 1, Vol.1., 2000, pp.94, Pasca Sarjana IAIN
Walisongo Semarang.
13. “Tarekat dan Modernitas; Perspektif Pendidikan Islam” dalam Journal
Religia, Volume 3, No.2, hlm. 31-36, STAIN Pekalongan, Juni 2000.
14. “Khalil Bangkalan (1819-1925 a.d): An Intellectual Biography”
International Journal Ihya’ Ulum al-Din, Volume 2, hlm157-170, Pasca
Sarjana IAIN Walisongo Semarang, Desember 2000.
15. “Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam” dalam
Journal Penelitian IAIN Walisongo Semarang, Edisi 17, hlm. 17, hlm.92-
106, Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, tahun 2001.
16. “Diskursus Pendidikan Islam Liberal” dalam jurnal “Edukasi” Vol.1, Th.
X/Desember/2002. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002.
Selain beberapa buku dan journal yang dihasilkan dari pemikirannya,
Abdurrahman Mas’ud juga gemar menulis beberapa makalah yang disampaikan dalam berbagai
seminar baik regional maupun nasional serta
dalam lokakarya. Makalah-makalah tersebut antara lain:
1. “Muslim Education Before The Establishment of The Madrasa”, Seminar
Midle East Studies Association of North America (MESA) di North
California AS, tahun 11-14 september 1993.
2. “Moslem Secholarship: Between Challenges and Prospect,” seminar San
Fransisco, AS, 3 Juni 1995.
3. “Why The Pesantren In Indonesia Remins Unique And Stronger”.
disampaikan dalam seminar Pattani campus Thailand, 25-28 Juni 1998.
4. “Beberapa Catatan Sekitar Islamologi” disampaikan dalam “Diskusi
Kelompok Ilmuwan Sejarah dan Peradaban Islam”, IAIN Walisongo
Tanggal 26 Juni 1999.
5. “Beberapa Potensi dan Watak Pesantren” disampaikan dalam Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Tanggal 19 Januari 2000.
6. “Revalitas Pendidikan Islam dalam Konteks Peradaban” disampaikan
dalam “Diskusi Kelompok Ilmuan Sejawah dan Peradaban Isalm IAIN
Walisongo Semarang” Tanggal 1 Pebruari 2000.
7. “Tantangan dan Prospek Jurusan K.I” disampaikan dalam “Seminar
Regional Fakultas Tarbiyah IAIN Walisogo Semarang” Tanggal 15
Pebruari 2000.
8. “Tarekat dan Modernitas”, disampaikan dalam Seminar Nasional tentang
“Tariqoh Mu’tabaroh” STAIN Pekalongan, Tanggal 27 Pebruari 2000.
9. “Transformasi Kebudayaan Masyarakat Kudus Menuju Terciptanya Civil
Society” disampaikan dalam seminar sehari “Membangun kebudayaan dan
peradaban Masyarakat Kudus”, Cermin, Tanggal 8 April 2000.
10. “Gerakan-gerakan Sosial Keagamaan dan Potensi Civil Society di
Indonesia”, disampaikan dalam “Loka Society di Indonesia”, WRI
Semarang, tanggal 13-14 Juni 2000.
7
12. “Metodologi Pengajaran Agama dan Aswaja” disampaikan dalam seminar
dan Lokakarya Nasional “Pembaharuan Kurikulum PAI dan Aswaja”, alMa’arif, tgl. 14-16 Juni 2000.
13. “Psikologi Kepemimpinan” disampaikan dalam “Training of Trainer Pusat
Study Wanita IAIN Walisongo Semarang” Tanggal 14-15 Agustus 2000.
14. “Model-model Penelitian” disampaikan dalam “Pelatihan Penelitian”,
STAIN Pekalongan, Tanggal 24 Agustus 2000.
15. “Metode Pendekatan dan Pengajaran PAI di PT umum”, disampaikan
dalam “Semiloka Dosen Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum”
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Tanggal 4 Nopember
2000.
16. “Potret dan Peta Dunia Pesantren”disampaikan dalam “Lokakarya
Kebijakan Pendidikan Nasional Nasional dan Pesantren” WRI, Tanggal
23-25 Nopember 2000.
17. “Cros-culture Understanding” disampaikan dalam Diskusi Dosen IAIN
Walisongo Semarang, Tanggal 24 Nopember 2000.
18. “Beberapa Catatan Profesi Teknologi Kejujuran” disampaikan dalam
Seminar Nasional “Pengujian Teori Teknologi Kejuruan”, Tanggal 11-12
Maret 2001.
19. “Pendidikan Seks Dalam Islam” disampaikan dalam “Seminar sehari
Pendidikan Seks Dalam Berbagai Perspektif, UNISSULA, Semarang,
Tanggal 20 Maret 2001”]
20. “Upaya Preventif penularan Violence Berbaju Agama” disampaikan
dalam “Sarasehan Perdamaian RIBATH Pekalongan, Tanggal 26 Maret
2001”.
8
1. “Project on Community Development And Research” The Institute For
Human Resources Development And Studies (LKPSM-NU) Jakarta, 1984-
1988.
2. “Human Resources Development For Indonesian Student In The USA”,
MISI (Muslim Intelektual Society Of Indonesia/ICMI) Project 1994-1996.
3. “Pesantren dan Kebudayaan: Kajian Ulang Tentang Peran Pesantren
Sebagai Pembentukan Kebudayaan Indonesia”, Penelitian Kolektif
bersama Prof. Abdul Djamil, MA. (dkk) dengan bantuan dari DIP IAIN
tahun Anggaran 1998-1999.
4. “Dikotomi Ilmu dan Agama: Kajian Sosio-Historis Pendidikan Islam”,
Penelitiandengan bantuan DIP IAIN tahun anggaran 1999-2000.
5. “Human Religious sebagai paradigma Pendidikan Isalm”, Penelitian
dengan bantuan DIP IAIN Tahun anggaran 2000.
6. “Islam And Humanism, When Moslem Learns From The West: A Cross
Culture Project”, Penelitian postdoc dengan beasiswa Fulbright Agustus
2001 Januari 2002 di Amerika.
7. “Kopetensi Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dalam
pandangan masyarakat pengguna di Jawa Tengah”, Penelitian kompetitif
dosen PTAI se-Indonesia Depag RI Bersama Dr. Achmadi (dkk), Prof.
Rahman Sebagai ketua Tim, tahun 2004.
Pemikiran pendidikan dalam Islam memiliki makna sentral dan berarti proses pencerdasan
secara utuh, as a whole, dalam rangka mencapai sa’adatuddarain, kebagiaan dunia akhirat, atau
keimbangan meteri dan religiuous-spiritual. Salah satu ajaran dasar Nabi adalah intelektual-isasi
total, yakni proses penyadaran kepada umat dalam pelbagai dimensi dengan mau’idhah hasanah,
wisdom atau hikmah dan excellent argumentation (wajadilhum billati hia ahsan, dalam al-Qur’an
[16]: 125 16
Konsep humanisme17 religius jika implementasikan dalam praktik dunia pendidikan Islam
akan berfokus pada akal sehat atau common sense, individualisme menuju pendidikan
pluralisme, kontekstualisme yang mementingkan fungsi dari pada simbol serta keseimbangan
16
Isma’il SM., et.al (eds.), Paradigma Pendidikan Islam, 7
17
Humanisme adalah merupakan suatu doktrin yang menekankan kepentingan-
kepentingan kemanusiaan dan ideal. Humanisme pada zaman Renaisans bersumber
dari peradaban Yunani Klasik, sedangkan humanisme modern menekankan manusia
eksklusif. Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), 235.
9
antara reward dan punishment. 18 Oleh karena itu, untuk mengetahui pemikiran Mas’ud tersebut,
penulis akan mengkaji lima aspek pendidikan
1. Aspek Guru
Ketika berbicara tentang aspek guru terlebih dahulu kita akan membicarakan tentang
definisi guru dalam pandangan Islam sama dengan teori Barat, pendidik dalam Islam ialah siapa
saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling
bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. 19 Dalam hal menaksir
peranan si terdidik banyak pandangan-pandangan, malah ada yang sangat ekstrem. Ada golongan
guru atau pendidik yang terlalu menaksir rendah peranan dan ada pula yang menaksir terlalu
tinggi. Mereka yang menaksir rendah menganggap bahwa sianak sama sekali tergantung
“nasibnya” kepada si pendidik. Mereka yang selalu menonjolkan diri sebagai pihak, “penolong”
atas segala-galanya terhadap anak 20Abdurrahman Mas’ud membahas tentang guru memberikan
tiga kualifikasi dasar seorang guru yaitu menguasi materi, antuasiasme, dan penuh kasih sayang
(loving) dalam mengajar dan mendidik.
2. Aspek Metode
Di sini metode tidak hanya diartikan sebagai cara mengajar dalam belajar mengajar bagi
seorang guru, tetapi dipandang sebagai upaya perbaikan komprehensif dari semua elemen
pendidikan sehingga menjadi sebuah iklim yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Ada
beberapa poin yang berhubungan dengan sikap-sikap (bagian dari metode) yang tidak
mendukung perkembangan kualitas keberagamaan anak yang biasanya ditemukan di lapangan
atau kehidupan sehari-hari. Poin-poin ini perlu dipandang sebagai commom mistakes dalam
mendidik anak.23
18
Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan, 193
19
Tafsir, Ilmu Pendidikan, 74
20
Ahmad D. Marimbah, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. VIII (Bandung:
al-Ma’arif, 1989), 34.
21
Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan, 194.
22
Ibid 195
23
Poin-poin ini meliputi orang tua, sekolah, lingkungan sosial, keamanan, pemer-
intah, kaum agamawan. Ibid.,197-199
10
Masalah pendidikan selalu menjadi isu yang sangat penting, sehingga melahirkan berbagai
macam pendapat dan perdebatan mengenai arah dan orientasi pendidikan, bagaimana
pendidikan direncanakan dan dilaksanakan, dievaluasi dan seterusnya. Pendeknya, pendidikan
merupakan isu strategis yang turut menentukan kualitas sebuah bangsa. Pendidikan diharapkan
dapat bernilai sebagai proses pembelajaran, sekaligus sebagai pemberdayaan kemampuan
(ability) dan kesanggupan (capability) peserta didiknya. Serangkaian fakta yang menyangkut
beberapa elemen dalam pendidikan itu jelas merupakan metode mendidik dan menggunakan
paradigma lain, yakni memberikan, bukan mengajari cara memancing, menakutnakuti, bukan
berisi solusi; menghindari masalah bukan mendekati dan memfokuskan diri pada pemecahannya,
dan bukan mengajari bagaimana cara menggunakan kunci.
Metode guru dalam paradigma baru harus lebih menekankan pengembangan kreativitas,
penajaman hati nurani dan religiositas siswa, dan meningkatkan kepekaan sosial. Hal ini bisa
dilakukan dengan cara mengenal siswa secara lebih dekat sehingga individual treatment perlu
dilakukan. Siswa tidak harus dilakukan secara seragam. Kesulitannya tatkala guru sudah terbiasa
memperlakukan kelas dengan cara yang sama, yaitu metode kolektif atau hantam krama. 24
3. Aspek Murid
Dalam kitab kuning Ta’limul Muta’allim terdapat enam hal persyaratan bagi murid atau
pencari ilmu, yakni, modal, semangat, waktu yang memadai, petunjuk guru, keuletan
(kesabaran), dan kecerdasan. Pengamatan lebih cermat terhadap enam persyaratan itu menun-
jukkan hal yang berbeda. Islamic learning pada masa klasik jelas memperoleh pijakan ideologis
dari enam hal tersebut. Kemajuan Islamic learning agaknya belum juga terlindungi dalam sejarah
ilmu pengeta-huan dan pendidikan di manapun. Ironisnya, kemajuan barat dewasa inilah yang
justru mewarisi semangat pencarian ilmu itu—Baratlah yang selama ini berhasil melembagakan
syarat-syarat meraih ilmu bagi siswa. Tidak mengherankan jika Ta’limul Muta’allim telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh seorang orientalis Amerika, von Grunebaum, pendiri
Islamic Studies UCLA
4. Aspek Evaluasi
Secara umum selama ini evaluasi berjalan satu arah, yakni hanya elemen siswa yang
dievaluasi dengan memberi nilai ujian. Karena masalah kultural, siswa tidak memperoleh
kesempatan untuk memberi input balik kepada sekolah mengenai gurunya, apalagi mengevaluasi
gurunya. Dalam humanisme religius, siswa harus dipandang sebagai individu yang memiliki
otoritas individu pula, mampu mengambil keputusan yang didasari oleh sikap tanggung jawab
sejak dini. Dengan evaluasi sebagaimana konsep humanisme religius, baik siswa maupun guru
dipandang sebagai entitas individual yang memiliki tanggung jawab vertikal dan horizontal.
Dengan pandangan ini, baik siswa maupun guru sesungguhnya sama memiliki tanggung jawab
lebih tinggi
24
ibid 201
11
dengan baik dan bermanfaat bagi dirinya, masyarakatnya serta bagi negaranya. Atau dengan kata
lain, agar manusia dapat memperkukuh dan memperkuat hubungan antara manusia dengan
Tuhannya (hablum minallah), manusia dengan manusia (hablum minannas) dan manusia dengan
alam (hablum minal’alam).
Sebuah gagasan dan juga konsepsi pemikiran dari Abdurrahman Mas’ud[,26 dimana di
dalamnya itu membahas dan sekaligus menawarkan format pendidikan nondikotomik. Dari
format pendidikan non-dikotomik tersebut, kemudian oleh Abdurrahaman Mas’ud diramu
dengan konsep paradigma humanisme religiusnya sebagai tawaran paradigma dalam pendidikan.
Terdapat empat faktor utama penyebab kelesuan intelektualisme dalam Islam yang erat
hubungannya dengan persoalan dikotomi. Empat faktor tersebut menurut Mas’ud yaitu;
(1) proses penyempitan makna fiqh serta status faqih yang jauh berbeda dengan para pendiri
mazhab;
Sesungguhnya dikotomi-dikotomi dalam pendidikan yang ada selama ini, sebenarnya tidak
mendapatkan tempat dalam Islam. Karena Islam mengajarkan kesatuan antara dunia dan
akhirat, wahyu dan akal, serta agama dan sains. Pendidikan Islam tentu harus mengacu pada
ajaran dasar Islam itu sendiri yang tidak memilah-milah antara dunia dan akherat. ‘ Addunya
limajra’atil akhirah’, dimana dunia merupakan ladang penanaman untuk persiapan akherat,
25
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Ditengah Tantangan Milenium III, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 2.
26
Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D. Lahir di Kudus 16 April 1960 (tepat 1 hari sebelum menjelang
Kelahiran PMII di Indonesia, 17 April 1960). Beliau mendapatkan pendidikan formal pertama kalinya di
Radlatuil Athfal NU pada usia enam tahun, tepatnya pada tahun 1966. pada tahun 1968 ia masuk di Madrasah
Qidsiyah Kudus, Ia harus berada di tingkat shifir dulu selama dua tahun dan selanjutnya baru Tingkat Dasar
(MI), Tsanawiyah dan Aliyah selama dua belas tahun (1968-1980). Setelah lulus Madrasah Aliyah, beliau
meneruskan jenjang pendidikan perkuliahan dengan mendapat gelar Dokterandes (Drs) diperoleh pada tahun
1987 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan beliau aktif di Organisasi Ekstra kampus, yaitu Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciputat hingga di angkat menjadi Ketua Cabang PMII Ciputat. Di massa
kuliahnya, beliau pernah mengikuti Workshop Non-Government Organization (NGO) di Philipina selama dua
bulan pada tahun 1986.
27
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai
Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002). hal. 3
28
ibid
29
Ibid,h 5
12
siapa yang menanam akan dapat’ adalah ajaran populer dalam Islam. Do’a sapu jagat yang
intinya memohon kebahagiaan dunia-akherat juga diucapkan setiap muslim diseluruh dunia. 30
Dalam konteks pendidikan Islam, dunia dalam pembahasan disini tentu memiliki spektrum
yang tidak sempit dan tidak dikotomis. Bagi Rahman segala fasilitas untuk kepentingan
pendidikan Islam, termasuk akal, alam bumi-langit dan lingkungan sekitar. 31
Dalam hal ini, Islam memandang bahwa alam adalah ciptaan Allah dan sekaligus karya
agung-Nya. Sebagai konsekuensinya dimana alam adalah pesan dan tanda-tanda Allah akan
kebenaran dan kekuasaan-Nya, dan alam merupakan wahyu Allah yang tak tertulis. 32
Dari penjelasan tersebut di atas, sesungguhnya Rahman ingin menjelaskan tetang hakikat
pada diri manusia yang di dalam nya memiliki satu kesatuan yang utuh, yang mencakup
tentang hubungan positif antara manusia dengan Tuhannya (hablum minallah), hubungan
manusia dengan manusia (hablum munannas), dan selanjutnya hubungan manusia dengan
alam (hablum minal’alam).
Islam sangat melindungi dan merawat sama baiknya antara agama (wahyu) dan akal. Syari’at
Islam melindungi dengan ketat atas lima hal yang merupakan fitrah bagi manusia itu sendiri,
yakni akal, harta benda, keluarga, martabat-kehormatan, nyawa dan agama. 34
Dari sini dapat di indikasikan bahwa tidak adanya pembedaan dan dikotomi di dalam Islam
itu sendiri. Dalam konteks pendidikan Islam, idealnya harus melepaskan diri dari berbagai
pandangan dikotomis. Intinya bahwa pendidikan Islam harus memperhatikan dan
mengembangkan serta mengasah reasoning (quwwatin natiqoh) dan kemampuan berfikir
yang dimiliki oleh manusia. Kemampuan intelektual manusia dapat melahirkan ilmu
pengetahuan, rasa malu, membedakan yang baik dan buruk serta benar dan salah, dan
mengolah dengan bijak kecenderungan positif dan negatif. 35 Pada akhirnya hal itu akan
mendorong manusia untuk mengambil keputusan dengan penuh kesadaran diri demi sesuatu
yang terbaik bagi dirinya. Dengan demikian, proses pendidikan mengupayakan kesempurnaan
eksistensi kita sebagai makhluk yang paling mulia dengan kesempurnaan jiwa. 36
30
Ibid h 44
31
ibid
32
ibid
33
Ibid 45
34
Ibid 47
35
Ibid 53
36
ibid
13
3. Perspektif Paradigma Humanisme Religius
Salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam—khususnya dalam bidang
pendidikan—adalah karena ketidakseimbangan pemahaman ajaran habl minallah dan habl
minannas. Bukankah krisis negeri kita yang berkepanjangan ini sebagian diakibatkan oleh
ketidakseimbangan pemahaman ajaran hablum minallah dan hablum minannas, yang dalam
tafsir Muhammad Asad disebut sebagai in bond with God and in bond with people.37
Humanisme religius menurut Rahman adalah solusi bagi dunia pendidikan Islam dimana
konsepsi pendidikan yang tidak mengabaikan pentingnya pendidikan alam, lingkungan, akal,
serta pengembangan potensi individu secara maksimal sesuai dengan ajaran dasar Islam yang
tidak membeda-bedakan elemen-elemen tersebut. 39
Pendidikan Islam yang diajarkan Nabi Muhammad juga memberi respon dan solusi positif
terhadap permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan fitrah individu dan
kelompok. Nabi juga meneladankan pendidikan manusia seutuhnya (insane kamil) dengan
mendahulukan pembangunan tauhid (character building), serta menawarkan penajaman
kepekaan sosial yang bersumber dari wahyu, hati nurani, akal, jiwa, dan realitas sosial. 40
Dalam konteks pendidikan Islam, humanisme religius ini di definisikan sebagai proses
pendidikan yang lebih memerhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan
sekaligus makhluk religius (khalifatullah dan ‘abdullah), serta sebagai individu yang diberi
kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan potensi-potensinya. Humanisme religius juga
dimaknai sebagai kekuatan atau potensi individu untuk mengukur dan mencapai ranah
ketuhanan dan penyelesaian permasalahan-permasalahan social. 41
4. Konklusi
14
pentingnya pendidikan alam, lingkungan, akal, serta pengembangan potensi individu secara
maksimal, menuju makhluk sosial dan religius (khalifatullah dan ‘abdullah),
atau proses tahzibul akhlaq untuk membentuk kesadaran jiwa akan keberadaannya sebagai
esensi yang berasal dari zat yang maha tinggi, dan sekaligus sebagai makhluk yang paling
mulia (insan kamil) dengan kesempurnaan jiwa, yaitu mampu mengasah reasoning (quwwatin
natiqoh), berfikir untuk melahirkan ilmu pengetahuan, rasa malu, membedakan yang benar
(haq) dan salah (bathil), serta mengolah dengan bijak kecenderungan positif maupun negatif.
Lebih lanjut, kami akan mencoba menganalisis relevansi pemikiran Abdurrahman Mas’ud
terhadap pendidikan kontemporer sekarang sebab dari konsep tentang humanisme religius
memiliki implikasi terhadap pendidikan Islam meliputi aspek guru, metode, murid, materi, dan
evaluasi. Beberapa aspek tersebut relevan terhadap pendidikan kontemporer, seperti pada aspek
guru. Disebutkan bahwa guru paling tidak harus memiliki tiga kualikasi dasar, yaitu menguasi
materi, antusiasme, dan penuh kasih sayang. Pencerdasan harus berangkat dari pandangan
losos guru bahwa anak didik adalah individu yang memiliki kemampuan dan keterampilan.
Selanjutnya mengenai aspek metode, Mas’ud menerapkan sebuah pepatah lama “Berilah
kail jangan beri ikan” yang relevan hingga kini dan mendatang. Pepatah itu sesuai dengan pepatah
Barat, “Jika anda memberi ikan kepada seorang, berarti anda memberi makan sehari. Tetapi jika
anda mengajarinya cara memancing, berarti anda memberikan makan seumur hidupnya.” Learning
how to learn, yang selama ini diabaikan dalam dunia pendidikan, harus diperkenalkan kembali.
Dengan demikian, seorang guru akan mengajarkan kepada siswanya cara berpikir yang sangat
efektif.
Mengenai aspek murid, Mas’ud memberikan garis besar, yaitu enam syarat bagi murid atau
penuntut ilmu, yakni modal, semangat, waktu yang memadai, petunjuk guru, keuletan (kesabaran),
dan kecerdasan. Seorang murid harus memiliki apa yang telah disampaikan oleh Mas’ud ini,
sebagaimana nasihat Imam az-Zarnuji. Syarat-syarat ini sangat relevan sekali jika di miliki oleh
seorang murid atau penuntut ilmu.
Selanjutnya, Mas’ud memberikan komentar mengenai aspek materi ini yang memfokuskan
kepada materi pengajaran agama, yang harus diberikan porsi yang dominan dalam dunia
pendidikan Islam, karena dengan aspek agama tersebut akan dijelaskan mengenai akhlak karimah
yang harus dimiliki oleh seorang murid dan guru sebab tujuan utama pendidikan Islam adalah
terbentuk keperibadian seorang muslim. Sedangkan pada aspek evaluasi, yang diberikan
penekanan kepada seorang siswa ialah sebuah kepercayaan untuk mengevaluasi seorang guru.
Konsep humanisme yang ditawarkan oleh Mas’ud ini sangat relevan dan berpotensi mengubah
tatanan di dalam dunia pendidikan
G. Penutup
Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa dalam pendidikan ucapan, cara bersikap, dan
tingkah laku seorang guru ditujukan agar seorang siswa bisa menjadi insan kamil, yakni sempurna
dalam kacamata peradaban manusia dan sempurna dalam standar agama. Pendapat Mas’ud ini
sangat relevan jika diterapkan pada masa sekarang karena guru diibaratkan sebagai wakil atau
pengganti dari orang tua di dalam pencapaian dunia pendidikan.
15
Referensi
Azyumardi, Azra.Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Ditengah Tantangan Milenium III. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group . (2012).
D. Marimbah, Ahmad. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. VIII. Bandung: al-Ma’arif, 1989.
al-Hijazi, Hasan bin Ali Hasan. Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Cet. I. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2001.
Isma’il SM., et.al (eds.). Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Belajar & Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001.
Raharjo, Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an; Tafsir Sosial berdasarkan Konsep Konsep Kunci. Jakarta:
Paramadina, 1996.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. II. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
16