Anda di halaman 1dari 33

KIMIA FARMASI

“Obat Anti Inflamasi Steroid (AIS)”

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Matakuliah Kimia Farmasi

Disusun Oleh :

Kelompok II (Dua)

Nama/NIM : Desi Zahira Hayati/4162210003

Nama/NIM : Fitriani Harahap/4161210004

Nama/NIM : Jessica Citra Rezeki Panjaitan/4161210007

Nama/NIM : Natasya Irene Yopanca Sihotang/4163210015

Nama/NIM : Shohihatun Bariyah/4161210011

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MEDAN

2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inflamasi atau radang merupakan satu dari respon utama system kekebalan terhadap
infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (jistamin, bradikin, serotin,
leukotriene, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang
dalam system kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi. Mediator
inflamasi terdeteksi oleh tubuh permeabilitas sel meningkat keluarnya cairan ke tempat inflamasi
terjadi pembengkakan vasodilatasi (pelebaran) pembuluh darah dipacu ketempat tersebut
sehingga timbul warna merah dan terjadi migrasi sel sel dan darah putih.

Anti inflamasi merupakan obat yang dapat menghilangkan radang yang disebabkan
bukan karena mikroorganisme dan juga merupakan obat yang sangat kuat. Karena obat obat ini
menghambat enzim phospholipase A2 sehingga tidak terbentuk asam arakidonat. Asam
arakidonat tidak terbentuk berarti prostaglandin juga tidak terbentuk. Namun, obat anti inflamasi
golongan ini tidak boleh digunakan seenaknya. Karena efeknya sampingnya besar. Bias
menyebabkan moon face, hipertensi, osteoporosis dan lainnya.

Senyawa steroid adalah senyawa golongan lipid yang memiliki struktur kimia tertentu
yang memiliki tiga cincin sikloheksana. Suatu molekul steroid yang dihasilkan secara alami oleh
korteks adrenal tubuh dikenal dengan nama senyawa kortikosteroid. Kortikosteroid digolongkan
menjadi dua berdasarkan aktivitasnya, yaitu glukortikoid dan mineralokortikoid. Glukortikoid
memiliki peranan pada metabolism glukosa (kortisol atau hidrokortisol). Mineralokortikosteroid
memiliki retensi garam (aldosterone). Telah banyak disintesis glukortikoid sintetik, yang
termasuk golongan obat yang penting karena secara luas digunakan terutama untuk pengobatan
penyakit penyakit inflamasi.

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul


hormon memasuki sel melewati membrane plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target
hormone ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk
kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak
menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis protein spesifik.
Mekanisme kerja obat dari golongan steroid adalah menghambat enzim fospolifase
sehingga menghambat pembentukan prostaglandin maupun leukotriene. Penggunaan obat
antiinflamasi steroid dalam jangka waktu lama tidak boleh dihentikan secara tiba tiba, efek
sampingnya cukup banyak dapat menimbulkan tukak lambung, osteoforosis, retensi cairan dan
gangguan elektrolit. Contoh obat inflamasi steroid diantaranya, hidrokortison, deksametason,
metil prednisolone, kortison asetat, betametason, triamsinolon, prednisone, fluosinolon
asetonoid, prednisolon, triamsinolon asetonid fan fluokortolon. Penyakit lain yang dapat diobati
dengan anti inflamasi diantaranya, artritis rematoid, demam rematik dan peradangan sendi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu obat antiinflamasi?
2. Bagaimana obat antiinflamasi steroid?
3. Bagaimana mekanisme kerja obat golongan steroid?
4. Apa saja golongan obat kortikosteroid ?
5. Apa saja tanaman yang berkhasiat AIS?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui obat antiinflamasi.
2. Mengetahui obat antiinflamasi steroid.
3. Mengetahui mekanisme kerja obat obat golongan steroid.
4. Mengetahui golongan obat kortikosteroisd.
5. Mengetahui tanaman yang berkhasiat AIS.
BAB II
ISI

2.1 Anti Inflamasi


Anti inflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang memiliki
aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Radang atau inflamasi dapat disebabkan oleh
berbagai rangsangan yang mencakup luka-luka fisik, infeksi, panas dan interaksi antigen-
antibodi (Houglum, 2005). Berdasarkan mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi terbagi dalam
dua golongan, yaitu obat anti inflamasi golongan steroid (AIS) contohnya hidrokortison,
deksametason, prednisone, betametason dan lain-lain dan obat anti inflamasi non steroid (AINS)
contohnya paracetamol, aspirin, antalgin/metampiron, asam mefenamat, ibu profen dan lain-lain.
Mekanisme kerja obat anti inflamasi golongan steroid dan non-steroid terutama bekerja
menghambat pelepasan prostaglandin ke jaringan yang mengalami cedera. Obat-obat
antiinflamasi yang banyak di konsumsi oleh masyarakat adalah antiinflamasi non steroid (AINS).
Obat-obat golongan AINS biasanya menyebabkan efek samping berupa iritasi lambung. Obat
Anti inflamasi steroid tidak boleh digunakan seenaknya. Karena efek sampingnya besar. Bisa
menyebabkan moon face, hipertensi, osteoporosis dll.

2.2 Anti Inflamasi Steroid


Obat ini merupakan anti inflamasi yang sangat kuat, karena obat-obat ini menghambat
enzim phspholipase A2 sehingga tidak terbentuk asam arakidonat. Jika asam arakidonat tidak
terbentuk berarti prostaglandin juga tidak akan terbentuk.
Senyawa steroid adalah senyawa golongan lipid yang memiliki struktur kimia tertentu yang
memiliki tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana. Suatu molekul steroid yang
dihasilkan secara alami oleh korteks adrenal tubuh dikenal dengan nama senyawa kortikosteroid.
Kortikosteroid sendiri digolongkan menjadi dua berdasarkan aktifitasnya, yaitu glukokortikoid
dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki peranan pada metabolisme glukosa, sedangkan
mineralokortikosteroid memiliki retensi garam. Pada manusia, glukortikoid alami yang utama
adalah kortisol atau hidrokortison, sedangkan mineralokortikoid utama adalah aldosteron. Selain
steroid alami, telah banyak disintetis glukokortikoid sintetik, yang termasuk golongan obat yang
penting karena secara luas digunakan terutama untuk pengobatan penyakit-penyakit inflamasi.
Contoh antara lain adalah deksametason, betametason, prednison, , triamsinolon, prednisolone,
metil prednisolone, tramadol dan hidrokartison. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dalam
jangka panjang dapat menimbulkan efek samping yang berat seperti : osteoporosis, hipertensi,
diabetes alkalosis, hipokalemi, penurunan kekebalan, gastritis, gangguan pertumbuhan, katarak,
moon face dan kegemukan Sebagian efek samping ini tergantung dosis dan dapat dikurangi
dengan penggunaan spacer atau mencuci mulut setelah penggunaan.
Penggunaan janngka panjang (lebih dari sebulan) dengan dosis komulatif kortikosteroid minimal
290-700 mg dapat menimbulkan efek samping berupa glaukoma, nekrosis avaskular,
osteoporosis, kerentanan terhadap infeksi kuman hingga supresi adrenal.
Mekanisme kerja obat dari golongan steroid adalah menghambat enzim fospolifase
sehingga menghambat pembentukan prostaglandin maupun leukotrien. Penggunaan obat
antiinflamasi steroid dalam jangka waktu lama tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba, efek
sampingnya cukup banyak dapat menimbulkan tukak lambung, osteoforosis, retensi cairan dan
gangguan elektrolit. Kortikosteroid di duga memberikan efek anti inflamasi kuat dengan cara
menghambat pelepasan fosfolipase A2, enzim yang bertanggung jawab untuk pembentukan
prostaglandins, leukotriene, dan turunan lainnya dari jalur asam arakidonat. Kortikosteroid juga
menghambat faktor transkripsi, seperti aktifator protein I dan faktor nuklir k, yang terlibat dalam aktifasi
gen proinflamasi. Gen yang diketahui diregulasi oleh kortikosteroid dan membawa peran dalam resolusi
inflamasi termasuk lipocortin dan protein p11/mengikat calpactin ,baik yang terlibat dalam pelepasan
asam arakidonat. Lipocortin I menghambat fosfolipase A 2, mengurangi pelepasan asam dari asam
arakidonat, kortikosteroid juga mengurangi dari pelepasan interleuikin-1 (IL-1 α ) pentingnya sitokin
proinflamasi, dari keratinosit. Mekanisme lainnya untuk efek anti-inflamasi kortikosteroid meliputi
penghambatan fagositosis dan stabilisasi membran lisosom sel fagosit.
Berdasarkan masa kerjanya golongan kortikosteroid dibagi menjadi :
1. Kortikosteroid kerja singkat dengan masa paruh < 12 jam, yang termasuk golongan ini
adalah kortisol/hidrokortison, kortison, kortikosteron, fludrokortison
2. Kortikosteroid kerja sedang dengan masa paruh 12 – 36 jam, yaitu metilprednisolon,
prednison, prednisolon, dan triamsinolon.
3. Kortikosteroid kerja lama dengan masa paruh >36 jam, adalah parametason, betametason
dan deksametason.
2.2.1. Dexametason

Deksametason adalah suatu glukokortikoid sintetis yang memiliki efek antiinflamasi,


antialergi dan anti shock yang sangat kuat, di samping sebagai antirematik. Tidak menimbulkan
efek retensi natrium dan dapat diterima oleh tubuh dengan baik.
Mekanisme kerja: Mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi
produksi mediator inflamasi, dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan
menekan respon imun.
Bentuk sediaan : umumnya dipasarkan berupa tablet atau kaplet 0,5 mg atau 0,75 mg. Sediaan
injeksi obat ini biasanya dengan kadar 5 mg/5 mL.

Indikasi :

 Berbagai kondisi inflamasi, misalnya radang reumatik, radang usus, radang pada ginjal,
radang pada mata, radang karena asma
 Mengatasi shock anafilaktik alergi dalam dosis tinggi
 Mencegah terjadinya reaksi penolakan tubuh dalam proses pencocokkan organ
 Pada pasien kanker sebagai terapi pendukung kemotrapi. Obat ini dapat menangkal
perkembangan edema pada pasien tumor otak.
 Diberikan pada ibu hamil yag memiliki resiko melahirkan secara premature.
 Secara injeksi sering digunakan sebagai pertolongan pada kondisi darurat untuk
penyelamatan nyawa.

Kontra indikasi:

 Jangan menggunakan deksametason untuk pasien yang memiliki riwayat hipersensitif


pada obat golongan kortikosteroid.
 Sebaikknya tidak diberikan pada pasien yag menderita tukak lambung, osteoporosis,
diabetes militus, infeksi jamur sistemik, glaucoma, psikosis, psikoneurosis berat,
penderita TBC aktif, herpes zoster, herpes simplex, infeksi virus, sindroma Cushing dan
penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
Dosis :

 Dosis lazim pada dewasa untuk anti inflamasi, secara oral, injeksi intervena dan
intramuscular (sebagai natrium fosfat) 0,75- 9 mg/ hari dalam dosis terbagi setiap 6-12
jam.
 Dosis lazim pediatric untuk anti inflamasi adalah 0,08-0,3 mg/kg/hari atau 2,5- 5 mg/m 2/
hari dalam dosis terbagi setiap 6-12 jam.

Interaksi dengan obat lain:

 Isoniazid : Konsentrasi serum isoniazid mungkin akan menurun jika diberikan bersamaan
dengan deksametason
 Cholestyramine dan efedrin : Cholestyramine meningkatkan klirenskortikosteroid
sehingga menurunkan kadar/efek farmakologisnya.
 Vaksin hidup : deksametason menurunkan sistem imun tubuh sehingga meningkatkan
resiko terjadinya infeksi. Penggunaan vaksin hidup pada pasien yang menggunakan
deksametason (dexamethasone) sebaiknya dihindari.
 Anti jamur azole seperti ketoconazole: mengurangi metabolisme kortikosteroid sehingga
dapat meningkatkan kadar dan efek farmakologisnya.
 NSAID : aspirin atau NSAID lainnya meningkatkan resiko efek samping pendarahan
pada saluran pencernaan.

Interaksi dengan makanan : Deksametason akan berinterferensi dengan kalsium.

2.2.2. Betametason

adalah glukokortikoid sintetik yang mempunyai efek sebagai antiinflamasi dan imunosupresan.

Mekanisme kerja:

Betametason menstabilkan leukosit lisosomal, mencegah pelepasan hidrolase perusak


asam dari leukosit, menghambat akumulasi makrofag pada daerah radang, mengurangi daya
pelekatan leukosit pada kapiler endotelium, mengurangi permeabilitas dinding kapiler dan
terjadinya edema, melawan aktivitas histamin dan pelepasan kinin dari substrat, mengurangi
proliferasi fibroblast, mengendapkan kolagen dan mekanisme lainnya. Durasi aktivitas
antiinflamasi sejalan dengan durasi penekanan HPA (Hipotalamik-Pituitari-Adrenal) aksis. Obat
dapat mengurangi aktivitas dan volume limfatik, menghasilkan limpositopenia, menurunkan
konsentrasi imunologi reaktivitas jaringan interaksi antigen-antibodi sehingga menekan respon
imun.
Betametason juga menstimulasi sel-sel eritroid dari sumsum tulang; memperpanjang
masa hidup eritrosit dan platelet darah; menghasilkan neutrofilia dan eosinopenia; meningkatkan
katabolisme protein, glukoneogenesis dan penyebaran kembali lemak dari perifer ke daerah pusat
tubuh. Juga mengurangi absorbsi intestinal dan menambah ekskresi kalsium melalui ginjal.
Deksklorfeniramin maleat adalah antihistamin derivat propilamin. Deksklorfeniramin
menghambat aksi farmakologis histamin secara kompetitif (antagonis histamin reseptor H1).

Bentuk sediaan: Tablet, Salep, Krim, Serbuk untuk injeksi.


Indikasi: Terapi topikal pruritus eritema dan pembengkakan dikaitkan dengan dermatosis, dan
sebabgaian lesi psoriasis.
Kontraindikasi: Inveksi virus, seperti varisela dan vasinia, sirkulasi tak sempurna dengan nyata.
Tidak dianjurkan untuk pruritus dan jerawat.
Dosis:
Anak- anak
<12 tahun: penggunaanya tidak direkomendasikan
>13 tahun: gunakan seminimal mungkin untuk periode yang singkat untuk menghidari supresi
aksis HPA.
Krim: gunakan sekali atau dua kali sehari, pemakaian jangan melebihi 2 minggu atau 45 mg/
mnggu.
Lotion: gunakan sekali atau dua kali sehari, pemakaian jangan melabihi 50 mg/ minggu.
Dewasa
Krim: gunakan sekali atau dua kali sehari, pemakaian jangan melebihi 2 minggu atau 45 mg/
mnggu.
Lotion: gunakan sekali atau dua kali sehari, pemakaian jangan melabihi 50 mg/ minggu.
Interaksi obat lain: Tidak aktif dengan karbon aktif, asam salisilat.
Interaksi dengan makanan: Mekanisme kerja mengontrol kecepatan sintesis protein, menekan
migrasi leukosit polimorfonuklear, fibroblast, mengubah permeabilitas kapiler  dan stabilisasi
lisosomal pada level selular untuk mencegah atau mengontrol inflamasi.

2.2.3 Prednison
Prednisone adalah suatu glukokortikoid sintetik. Prednison merupakan pro-drug, yang di
dalam hati akan segera diubah menjadi prednisolon, senyawa aktif steroid. Senyawa steroid
adalah senyawa golongan lipid yang memiliki struktur kimia tertentu yang memliki tiga cinccin
sikloheksana dan satu cincin siklopentana. Prednison memiliki rumus molekul C21H26O5. Obat
ini banyak digunakan dalam penatalaksaan reaksi alergi dan penyakit autonimun seperti
rheumatoid arthritis. Sifat prednison adalah serbuk kristalin berwarna putih, tak berbau, sangat
sedikit larut dalam air, sedikit larut dalam etanol, methanol, kloroform, dan dioksan serta
memiliki berat molekul 358,428 g/mol. Prednisone disimpan dalam suhu 15-30 OC. Memiliki
bentuk sediaan tablet 50 mg dan kaplet 50 mg.

Gambar Struktur Molekul Prednison


Prednison adalah obat golongan kortikosteroid dengan mekanisme kerja dengan
mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran
plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormone ini bereaksi dengan reseptor protein
yang spesifik dalam sitoplasma sel daan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin.
Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini
yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid.
Apabila terapi prednison diberikan lebih dari 7 hari, dapat terjadi penekanan fungsi
adrenal, artinya tubuh tidak dapat mensintesis kortikosteroid alami dan menjadi tergantung pada
prednison yang diperoleh dari luar. Oleh sebab itu jika sudah diberikan lebih dari 7 hari,
penghentian terapi prednison tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba, tetapi harus bertahap dan
perlahan-lahan. Pengurangan dosis bertahap ini dapat dilakukan selama beberapa hari, ;jika
pemberian terapinya hanya beberapa hari, tetapi dapat memerlukan berminggu-minggu atau
bahkan berbulan-bulan jika terapi yang sudah diberikan merupakan terapi jangka panjang.
Penghentian terapi secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis Addisonian, yang dapat membawa
kematian. Untuk pasien yang mendapat terapi kronis, dosis berseling hari kemungkinan dapat
mempertahankan fungsi kelenjar adrenal, sehingga dapat mengurangi efek samping ini.
Pemberian prednison per oral diabsorpsi dengan baik. Prednison dimetabolisme di dalam hati
menjadi prednisolon, hormon kortikosteroid yang aktif.
Dosis umum yang digunakan pada pemakaian prednison tablet adalah 5 mg hingga 30 mg
per hari Dosis prednison yang akan digunakan harus ditentukan oleh dokter tergantung pada
tingkat keparahan peradangan dan keadaan kesehatan penderita. Dosis juga harus disesuaikan
dengan respons yang ditimbulkan oleh tubuh terhadap obat. Dosis prednison tersebut perlahan -
lahan harus dikurangi sampai dosis perawatan serendah mungkin yang masih dapat
menimbulkan efek.
Kontra Indikasi
Infeksi jamur sistemik dan hipersensitivitas terhadap prednison atau komponen-
komponen obat lainnya.
Efek Samping
1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit contohnya retensi cairan tubuh, retensi
natrium, kehilangan kalium dan alkalosis hipokalemia
2. Gangguan jantung kongestif dan hipertensi;
3. Gangguan muskuloskeletal seperti lemah otot, miopati steroid, hilangnya masa otot,
osteoporosis, putus tendon, terutama tendon achilles, fraktur vertebral, nekrosis aseptik
pada ujung tulang paha dan tungkai, fraktur patologis dari tulang panjang
4. Gangguan pencernaan seperti borok lambung (peptic ulcer) kemungkinan disertai
perforasi dan perdarahan, borok esophagus (ulcerative esophagitis), pankreatitis,
kembung, peningkatan sgpt (glutamate piruvat transaminase serum), sgot (glutamate
oksaloasetat transaminase serum), dan enzim fosfatase alkalin serum. Umumnya tidak
tinggi dan bersifat reversibel, akan turun kembali jika terapi dihentikan
5. Gangguan dermatologis seperti gangguan penyembuhan luka, kulit menjadi tipis dan
rapuh, petechiae dan ecchymoses, erythema pada wajah, keringat berlebuhan
6. Gangguan metabolisme seperti kesetimbangan nitrogen negatif, yang disebabkan oleh
katabolisme protein
7. Gangguan neurologis seperti tekanan intrakranial meningkat disertai papilledema
(pseudo-tumor cerebri), biasanya setelah terapi, konvulsi, vertigo, sakit kepala
8. Gangguan endokrin seperti menstruasi tak teratur, cushingoid, menurunnya respons
kelenjar hipofisis dan adrenal, terutama pada saat stress, misalnya pada trauma,
pembedahan atau sakit, hambatan pertumbuhan pada anak-anak, menurunnya toleransi
karbohidrat, manifestasi diabetes mellitus laten, perlunya peningkatan dosis insulin atau
oho (obat hipoglikemik oral) pada pasien yang sedang dalam terapi diabetes mellitus,
katarak subkapsular posterior, tekanan intraokular meningkat, glaukoma, exophthalmos
dan lain-lain
Interaksi Obat
1) Obat-obat yang menginduksi enzim-enzim hepatik, seperti fenobarbital, fenitoin, dan
rifampisin dapat meningkatkan klirens kortikosteroid. Oleh sebab itu jika terapi
kortikosteroid diberikan bersama-sama obat-obat tersebut, maka dosis kortikosteroid
harus ditingkatkan untuk mendapatkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
2) Obat-obat seperti troleandomisin and ketokonazol dapat menghambat metabolisme
kortikosteroid, dan akibatnya akan menurunkan klirens atau ekskresi kortikosteroid. Oleh
sebab itu jika diberikan bersamaan, maka dosis ;kortikosteroid harus disesuaikan untuk
menghindari toksisitas steroid
3) Kortikosteroid dapat meningkatkan klirens aspirin dosis tinggi yang diberikan secara
kronis. Hal ini dapat menurunkan kadar salisilat di dalam serum, dan apabila terapi
kortikosteroid dihentikan akan meningkatkan risiko toksisitas salisilat. ;Aspirin harus
digunakan secara berhati-hati apabila diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid
pada pasien yang menderita hipoprotrombinemia
4) Efek kortikosteroid pada terapi antikoagulan oral bervariasi. Beberapa laporan
menunjukkan adanya peningkatan dan laporan lainnya menunjukkan adanya penurunan
efek antikoagulan apabila diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. ;Oleh sebab itu
indeks koagulasi harus selalu dimonitor untuk mempertahankan efek antikoagulan
sebagaimana yang diharapkan.
Mekanisme aksi prednisone adalah sebagai glukokortikoid, bersifat menekan sistem imun
dan anti radang.
2.2.4 Triamsinolon
Triamsinolon merupakan obat yang termasuk dalam golongan kortikosteroid
(glukokortikoid) yang berfungsi mengatasi gejala peradangan dan kondisi lainnya seperti
gangguan alergi, penyakit kulit ataupun gangguan pernapasan. Triamsinolon memiliki sifat fisika
kimia seperti kristal putih, tidak berbau, tidak larut dalam air, kloroform, atau eter, sedikit larut
dalam etanol atau metanol, larut dalam dimetilformamida. Titik lebur 266oC. Triamsinolon
adalah sub kelas terapi kortikosteroid dan kelas terapinya adalah hormon, obat endokrin lain dan
kontraseptik.
Meknisme kerja obat
Triamcinolone adalah obat yang digunakan untuk menangani berbagai gejala alergi dan
radang, baik pada hidung (rhinitis alergi), kulit, rongga mulut, maupun sendi. Obat ini bekerja
dengan menekan kerja sistem pertahanan tubuh (sel darah putih) yang bekerja secara berlebihan,
dan zat lain seperti cytokine yang dapat menimbulkan peradangan. Sebagai hormone
glukokortikoid, triamsinolon bekerja menghambat migrasi leukosit polimornuklear dan
menurunkan permeabilitas pembuluh darah kapiler, sehingga menekan rekasi radang.

Bentuk sediaan
Tablet (4 mg). disamping itu triamsinolon terdapat dalam bentuk inhaler (untuk asma),
nasal spray (untuk mengibati rhinitis karena alergi), injeksi (untuk pengobatan osteoarthritis,
rheumatoidarthritis, bursitis, penyakit Gout, epicondylitis, tenosynovitis), krim dan salep (untuk
pengobatan pada kulit seperti atopic dermatitis, eksim psoriasis, seborrheic dermatitis), dan krim
atau pasta gigi (untuk mengobati beberapa keluhan dalam mulut).

Indikasi
Penggunaan obat triamcinolone sering diindikasikan terutama bagi pengobatan untuk
mengurangi berbagai jenis penyakit radang. Dan dapat digunakan untuk mengatasi beberapa
kondisi lainnya yaitu: 
 gangguan pernapasan seperti asma
 tuberkulosis paru fulminant
 gejala rhinitis akibat alergi
 penyakit kulit akibat alergi dengan ruam kemerahan atau gatal-gatal
 pemphigus
 bullous dermatitis herpetiformis
 dermatitis eksfoliatif
 inflamasi pada sendi seperti rheumatoid arthritis
 osteoarthritis atau pengapuran tulang sendi
 radang sendi 
 peradangan dalam mulut dan saluran cerna misalnya sariawan
 penyakit mata seperti konjunctivitis alergi
Kontraindikasi
Hindari penggunaan Triamcort pada pasien:
 Penderita purpura trombositopenik idiopatik
 Penderita malaria serebral
 Penderita infeksi jamur, virus, atau bakteri yang tidak diobati;
 Penderita psikosis akut
 Penderita TB aktif
 Penderita keratitis herpes simpleks
 Penderita mikosis sistemik dan parasitosis
Dosis
Dosis triamcinolone pada setiap pasien bisa berbeda-beda. Jumlah dosis triamcinolone
yang diberikan tergantung dari kekuatan obat. Selain itu, jumlah dosis yang Kamu gunakan
setiap hari, jarak waktu antara penggunaan obat, dan seberapa lama obat harus digunakan
tergantung dari masalah medis yang dialami. Untuk dosis dewasa
Dalam bentuk oral:
Untuk mengobati luka pada mulut: pasta triamcinolone acetonide 0,1%, oleskan pada
luka saat waktu tidur sebanyak 2-3 kali sehari.
Dalam bentuk intramuskular:
1. Untuk mengobati hay fever (rhinitis alergi): triamcinolone acetonide 40-100 mg
dalam dosis tunggal.
2. Untuk mengobati gangguan peradangan dan supresi alergi: triamcinolone
acetonide 40 mg, diulangi jika dibutuhkan.
Dalam bentuk intraartikular:
Untuk mengobati peradangan sendi: triamcinolone acetonide 5-10 mg untuk sendi kecil
dan 40 mg untuk sendi besar. Maksimal 80 mg setiap injeksi dalam beberapa tempat untuk
beberapa sendi. Triamcinolone hexacetonide 2-6 mg untuk sendi kecil, 5-10 mg untuk sendi
sedang, dan 10-20 mg untuk sendi yang lebih besar. Digunakan dengan interval 3-4 minggu.
Dalam bentuk periartikular:
Untuk mengobati bursitis, tendisitis: 10-20 mg.
Dalam bentuk intradermal:
Untuk mengobati peradangan kulit: triamcinolone acetonide 1-3 mg per daerah,
maksimal 5 mg per daerah. Total maksimal 30 mg jika beberapa daerah yang diinjeksi.
Triamcinolone diasetat 5-25 mg dalam dosis terbagi diinjeksi tidak lebih pada daerah 100
mikrogram/cm2 triamcinolone heksasetonida, hingga 500 mikrogram/inchi2 pada kulit yang
ingin diaplikasikan.
Dalam bentuk topikal:
Untuk mengobati penyakit kulit (dermatosis) yang respons terhadap kortikosteroid:
triamcinolone acetonide 0,025-0,5 dioleskan sebanyak 2-4 kali sehari.
Dalam bentuk nasal:
Pencegahan dan pengobatan rhinitis alergi: triamcinolone acetonide 2 semprotan (110
mikrogram) untuk setiap hidung sebanyak 1 kali sehari, kemudian diturunkan menjadi 1
semprotan (55 mikrogram) untuk setiap hidung 1 sekali sehari.
Dalam bentuk intravitreal:
1. Untuk mengobati peradangan mata: triamcinolone acetonide 4 mg.
2. Untuk pengelihatan saat vitrektomi: triamcinolone acetonide 1-4 mg.
Interaksi dengan obat lain dan interaksi dengan makanan
Interaksi obat dapat mengubah cara kerja obat atau meningkatkan risiko efek samping
serius. Informasi ini tidak mencakup semua interaksi obat terhadap triamcinolone. Menggunakan
obat ini dengan obat tertentu biasanya tidak direkomendasikan, tetapi bisa saja dibutuhkan pada
beberapa kasus. Kalau dokter memberikan dua obat secara bersamaan, biasanya dosis salah satu
obat diubah atau frekuensi penggunaannya yang diubah, supaya kedua obat bisa bekerja dengan
baik.
Interaksi Makanan
Triamsinolon mempengaruhi absorpsi kalsium
Interaksi Obat
Banyak obat dapat berinteraksi dan meningkatkan efek triamsinolon, yang dapat
menyebabkan sedasi berat. Sebaliknya, klirens triamsinolon dapat ditingkatkan oleh siklosporin,
karbamazepin, fenitoin, senyawa-senyawa barbiturat, dan rifampisin. Triamsinolon menurunkan
absorpsi salisilat, meningkatkan risiko terjadinya perdarahan pada penggunaan NSAID,
menurunkan efek hipoglikemik dari obat-obat antidiabetik, meningkatkan risiko terjadinya
hiperkalaemia pada penggunaan amfoterisin B, β agonists, β-blockers, dan diuretika.
Triamsinolon juga berinteraksi dengan obat-obat jantung, hormon-hormon seks perempuan
termasuk kontraseptif oral, dan lain-lain.

2.2.5. Methylprednisolone

Mekanisme kerja obat


Sebagai adrenokortikoid, metilprednisolon berdifusi melewati membran dan membentuk
komplek dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut kemudian memasuki inti sel,
berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya
sintesis protein dari berbagai enzim akan bertanggung jawab pada efek sistemik adrenokortikoid.
Bagaimanapun, obat ini dapat menekan perekaman mRNA di beberapa sel (contohnya: limfosit).
Metilprednisolon juga menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan
atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum
diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag
(MIF), menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang
terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat
pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin),
suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan
hambatan selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat
(prostaglandin, tromboksan dan leukotrien).

Bentuk sediaan
Tablet : 2 mg, 4 mg, 8 mg, 16 mg dan 32 mg
Suspensi injeksi : 20mg/mL, 40mg/mL, dan 80mg/mL
Serbuk untuk injeksi : 40 mg, 125 mg, 500 mg, 1 g dan 2 g
Indikasi
Metilprednisolon diindikasikan untuk penekanan inflamasi dan kelainan hipersensitivitas,
inflamasi bowel parah, edema serebral disertai dengan keganasan, rematik, dan inflamasi kulit.

Kontraindikasi
Kontraindikasi methylprednisolone antara lain adalah:
 Alergi terhadap methylprednisolone
 Infeksi fungal sistemik

 Administrasi intramuskular pada ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura). Pada


kondisi ini, methylprednisolone dapat diberikan secara intravena.

 Pemberian dosis imunosupresan bersamaan dengan vaksinasi

Dosis
Dosis methylprednisolone berbeda untuk tiap penderita, tergantung pada kondisi penderita
dan respons tubuh terhadap pengobatan. Berikut ini adalah dosis methylprednisolone yang dibagi
berdasarkan tujuan pengobatannya:

Tujuan: mengatasi peradangan, seperti lupus atau multiple sclerosis


Obat tablet minum
Dosis dewasa: 2-60 mg per hari, terbagi menjadi 1-4 kali pemberian, tergantung jenis
penyakit yang sedang diobati. anak-anak: 0,5-1,7 mg/kgBB per hari. Pemberian obat dilakukan
tiap 6-12 jam.
Obat suntik
Dosis dewasa: 10-500 mg per hari.
Dosis anak-anak: 0,5-1,7 mg/kgBB per hari. Pemberian obat dilakukan tiap 6-12 jam.

Tujuan: meredakan reaksi alergi dan asma


Obat tablet minum
Dosis dewasa: 4-24 mg per hari.
Obat suntik
Dosis dewasa: 40 mg per hari. Pemberian dosis tergantung pada respons tubuh.
Dosis anak-anak: 1-4 mg/kgBB per hari.
Tujuan: mengobati ruam kulit akibat reaksi alergi atau peradangan (krim oles dengan
kandungan methylprednisolone 0,1%)
 Dosis dewasa: 1 kali sehari, dioleskan pada area yang mengalami kelainan.
 Dosis anak-anak: 1 kali sehari, dioleskan pada area yang mengalami kelainan.

Interaksi dengan obat lain dan interaksi dengan makanan


Berikut ini adalah beberapa efek samping yang dapat terjadi jika methylprednisolone
digunakan bersamaan dengan obat lain:
 Meningkatnya risiko kejang, jika digunakan dengan ciclosporin.
 Meningkatnya risiko hipokalemia, jika digunakan dengan amphotericin B atau
diuretik.

 Meningkatnya risiko aritmia, jika digunakan dengan digoxin.

 Meningkatnya risiko gangguan pencernaan, jika digunakan dengan aspirin atau


obat antiinflamasi nonsteroid.

 Meningkatnya efek samping methylprednisolone, jika digunakan dengan


antibiotik makrolid, ketoconazole, erythromycin, rifampicin, dan barbiturat.

 Menurunnya efektivitas methylprednisolone, jika digunakan dengan


cholestyramine dan hormon estrogen.

 Menurunnya efektivitas isoniazid dan obat antidiabetes.

 Meningkatnya efek samping warfarin.

2.2.6. Prednisolone

Mekanisme kerja obat


Prednison adalah obat golongan kortikosteroid yang berfungsi untuk mengurangi
peradangan dalam beberapa kondisi medis, seperti artritis, asma, kelainan sistem kekebalan
tubuh, kelainan darah, gangguan paru dan pernapasan, alergi parah, penyakit persendian dan
otot, serta penyakit kulit. Prednisone mengurangi inflamasi dengan cara menginhibisi migrasi
sel polimorfonuklear (PMN) dan mengurangi peningkatan permeabilitas kapiler. Prednisone
mensupresi sistem imun dengan cara mengurangi aktifitas dan volume sistem limfe. Prednisone
di dalam darah akan berubah menjadi bentuk aktif, dan di dalam inti sel akan mengikatkan diri
dan mengaktivasi reseptor-reseptor sitoplasmik nuklear spesifik dengan afinitas yang tinggi,
sehingga mengakibatkan ekspresi genetik yang berubah dan menginhibisi produksi sitokin pro-
inflamatori. Bentuk aktif tersebut menghasilkan inhibisi infiltrasi leukosit, mengintervensi fungsi
mediator-mediator terhadap respon inflamatori, mensupresi respon imun humoral, serta
mengurangi edema dan jaringan parut
Efek utamanya sebagai glukokortikoid. Glukokortikoid alami (hidrokortison dan
kortison), umumnya digunakan dalam terapi pengganti (replacement therapy) dalam kondisi
defisiensi adrenokortikal. ;Sedangkan analog sintetiknya (prednison) terutama digunakan karena
efek imunosupresan dan anti radangnya yang kuat.;Glukokortikoid menyebabkan berbagai efek
metabolik.;Glukokortikoid bekerja melalui interaksinya dengan protein reseptor spesifik yang
terdapat di dalam sitoplasma sel-sel jaringan atau organ sasaran, membentuk kompleks hormon-
reseptor. ;Kompleks hormon-reseptor ini kemudian akan memasuki nukleus dan menstimulasi
ekspresi gen-gen tertentu yang selanjutnya memodulasi sintesis protein tertentu. Protein inilah
yang akan mengubah fungsi seluler organ sasaran, sehingga diperoleh, ;misalnya efek
glukoneogenesis, meningkatnya asam lemak, redistribusi lipid, meningkatnya reabsorpsi
natrium, meningkatnya reaktivitas pembuluh terhadap zat vasoaktif , dan efek anti radang.

Bentuk sediaan
1. Larutan oral Prednisolon natrium fosfat (Pediapred)
2. Suspensi oral Prednisolon asetat (Flo-Pred)
3. Tablet Prednisolon (Millipred)
4. Tablet terdisintegrasi cepat Prednisolon natrium fosfat (Orapred)
Bentuk sediaan tersebut tersedia di Amerika serikat. Sementara itu ada juga dalam
bentuk obat tetes mata, tablet, dan krim/salep.

Indikasi
Sebagai obat antiinflamasi prednison dapat digunakan pada pengobatan beberapa
penyakit berikut ini:
 Reaksi inflamasi akut,
 Penyakit rematoid artitis,
 Penyakit asma bronchial
 Penyakit lupus eritematosus
 Penyakit pada kulit karena peradangan atau alergi
 Penyakit pada mata karena peradangan atau alergi
 Penyakit keganasan sistem limfatik neoplastic
 Sindroma adrenogenital

Kontraindikasi
Obat prednison tidak boleh digunakan pada penderita yang memiliki beberapa kondisi
berikut :
 mempunyai penyakit tuberculosis aktif
 mempunyai penyakit infeksi akut
 mempunyai penyakit infeksi jamur
 mempunyai penyakit herpes simpleks mata
 mempunyai penyakit ulkus peptikum
 mempunyai penyakit hipertensi
 mengalami osteoporosis
 mengalami psikosis maupun psikoneurosis berat
 sedang menerima vaksin hidup
 sedang dalam kehamilan trimester pertama

Dosis
Dosis prednisolone berbeda-beda untuk setiap pasien. Berikut ini adalah dosis umum
penggunaan prednisolone untuk beberapa kondisi:
Kondisi: Konjungtivitis
 Obat tetes mata
Dewasa: 1-2 tetes pada mata yang sakit, 2-4 kali sehari. Evaluasi ulang jika kondisi
tidak membaik setelah 2 hari pengobatan.
Kondisi: Multiple sclerosis
 Tablet
Dewasa: 200 mg per hari untuk 1 minggu, dilanjutkan 80 mg per hari, selama 1
bulan.
Kondisi: Infantile spasm
 Tablet
Anak usia 1 bulan hingga 2 tahun: Dosis awal 10 mg, 4 kali sehari, selama 14 hari.
Jika kejang masih berlanjut setelah 7 hari, dosis bisa ditingkatkan menjadi 20 mg, 3
kali sehari, selama 7 hari. Kurangi dosis secara bertahap dalam 15 hari, lalu hentikan
pengobatan.
Kondisi: Alergi dan radang
 Tablet
Dewasa: 5-60 mg per hari, yang dibagi ke dalam 2-4 jadwal konsumsi.
Anak usia 1 bulan hingga 18 tahun: Untuk gangguan autoimun: Dosis awal 1-2
mg/kgBB, 1 kali per hari. Setelah beberapa hari, dosis bisa dikurangi secara bertahap
bila perlu. Dosis maksimal 60 mg per hari.
Kondisi: Hepatitis autoimun
 Tablet
Anak usia 1 bulan hingga 18 tahun: Dosis awal adalah 2 mg/kgBB, 1 kali sehari,
lalu kurangi ke dosis minimum.  Dosis maksimal 40 mg per hari.
Kondisi: Asma sedang hingga berat
 Tablet
Dewasa: Untuk penderita asma yang mengalami serangan 2 kali dalam setahun: 40-
60 mg per hari, yang dapat dibagi ke dalam 1-2 jadwal konsumsi.
Anak-anak: Untuk anak-anak usia 4 tahun ke bawah dengan serangan 3 kali dalam
setahun, dan anak usia 5-11 tahun dengan serangan 2 kali dalam setahun: 1-2
mg/kgBB per hari, selama 3-5 hari. Obat bisa diberikan sekali sehari atau dibagi
menjadi beberapa jadwal konsumsi. Dosis maksimal 60 mg per hari.
Kondisi: Sindrom nefrotik
 Tablet
Anak usia 1 bulan hingga 18 tahun: Dosis awal 60 mg/m2 luas permukaan tubuh
(LPT), 1 kali per hari, selama 4 minggu hingga urine bebas protein. Dilanjutkan 40
mg/m2 LPT per hari, selama 4 minggu, lalu kurangi dosis secara bertahap. Untuk
mencegah kekambuhan, 0,5-1 mg/kgBB, 1 kali sehari, selama 3-6 bulan.
Kondisi: Rheumatoid arthritis
 Krim/salep
Dewasa: Oleskan pada area yang sakit.
 Tablet
Dewasa: Dosis awal 5-7,5 mg per hari.
Lansia: 5 mg per hari.
Kondisi: Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
 Tablet
Anak usia 1-10 tahun: 1-2 mg/kgBB per hari, maksimal selama 14 hari, atau 4
mg/kgBB per hari, maksimal selama 4 hari.

- Interaksi dengan obat lain dan interaksi dengan makanan


Berikut ini adalah beberapa risiko yang mungkin terjadi jika menggunakan
prednison bersamaan dengan obat-obatan tertentu, di antaranya:

1. Meningkatkan efek glikosida jantung dan cyclophosphamide.


2. Membuat peningkatan eksresi/ pengeluaran Kalium dengan aluretik atau
laksatif.

3. Menurunkan efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah) pada obat


antidiabetes.

4. Mengubah efek antikoagulan koumarin.

5. Meningkatkan risiko pendarahan saluran cerna dengan NSAID.

6. Memperpanjang efek relaksasi otot dengan obat relaksan otot non-


depolarising.
7. Meningkatkan tekanan intraokular dengan atropine dan antikolinergik lainnya.

8. Menurunkan konsentrasi serum praziquantel.

9. Meningkatkan risiko miopati/ kardiomiopati (kelemahan otot jantung) dengan


chloroquine, hydroxychloroquine, mefloquine.

10. Menurunkan efek somatropin.

11. Efek prednisone dapat meningkat dengan estrogen.

12. Efek prednisone menurun dengan rifampicin, phenytoin, barbiturates,


bupropion and primidone.

13. Meningkatkan kadar ciclosporin dalam darah.

14. Meningkatkan risiko hipokalemia (kadar kalium rendah dalam tubuh) dengan
amphotericin B.

15. Meningkatkan risiko perubahan jumlah darah dengan ACE inhibitor.

16. Penurunan penyerapan prednisone jika digunakan bersamaan dengan antasida


yang mengandung Alumunium dan Magnesium.

17. Menurunkan respon tubuh terhadap vaksin.

Obat-obatan tertentu tidak boleh digunakan pada saat makan atau saat makan
makanan tertentu karena interaksi obat dapat terjadi. Mengonsumsi alkohol atau
tembakau dengan obat-obatan tertentu juga dapat menyebabkan interaksi terjadi.
Diskusikan penggunaan obat Anda dengan makanan, alkohol, atau tembakau dengan
penyedia layanan kesehatan.

2.2.7. Tramadol
Obat Tramadol adalah salah satu obat pereda sakit kuat untuk meredakan rasa sakit atau nyeri
akut yang dirasakan oleh seseorang, baik nyeri ringan atau berat (contohnya nyeri setelah
operasi).  Obat ini mirip dengan alagestik narkotika, sehingga obat Tramadol memungkinkan
Anda memiliki rasa kecanduaan, terutama jika sudah digunakan dengan rutin dalam jangka
waktu panjang dan tanpa pengawasan dari dokter.
Mekanisme kerja obat
Tramadol bekerja dengan dua mekanisme:
Pertama dengan mengikat secara stereospesifik reseptor μ-opioid di sistem saraf pusat
untuk memblok sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri (inflamasi).
Kedua menghambat pelepasan neurotransmitter, serotonin dan norepinephrine dari sistem
saraf aferen yang sensitif terhadap stimulus yang berakibat terhambatnya impuls nyeri.
Bentuk sediaan
Tablet: 50mg
Suspensi: 10 mg/mL
Kapsul, rilis diperpanjang
 100mg (ConZip, Ultram ER)
 150mg (ConZip)
 200mg (ConZip, Ultram ER)
 300mg (ConZip, Ultram ER)
Indikasi
Kegunaan tramadol adalah untuk mengobati nyeri sedang sampai berat, baik nyeri akut
maupun kronis misalnya nyeri pasca operasi. The European League Against Rheumatism
merekomendasikan penggunaan tramadol untuk pengobatan fibromyalgia, suatu kondisi nyeri
yang terjadi hampir di seluruh tubuh, terutama jika ditekan pada bagian tubuh.
Kontraindikasi
 Jangan diberikan pada pasien yang memiliki riwayat hipersensitif pada tramadol atau opioid
analgetik lainnya.
 Tidak boleh diberikan kepada penderita yang sedang diterapi dengan obat-obat monoamine
oxidase (MAO) inhibitors, obat-obat yang berefek hipnotik dan sedative, analgetik dan obat-
obat lain yang mempengaruhi sistem saraf pusat lainnya.
 Sebaiknya jangan menggunakan obat ini pada pengguna alcohol
 Pasien yang menderita depresi pernapasan yang signifikan, harus hati-hati jika menggunakan
obat ini
 Obat ini juga kontraindikasi pada penderita asma akut atau asma bronchial berat.
Dosis
Dosis tramadol untuk indikasi dewasa
Untuk Nyeri Sedang hingga berat
Rilis cepat
a. Nyeri Kronis: 25 mg PO setiap pagi awalnya; meningkat sebesar 25-50 mg/hari
setiap 3 hari sampai dengan 50-100 mg PO setiap 4-6 jam PRN (pro re nata, bila
diperlukan); tidak melebihi 400 mg/hari
b. Nyeri Akut: 50-100 mg PO setiap 4-6 jam PRN; tidak melebihi 400 mg/hari
Rilis diperpanjang
c. 100 mg PO sekali sehari awalnya; meningkat sebesar 100 mg / hari setiap 5 hari;
tidak melebihi 300 mg/hari
d. Konversi dari rilis segera ke rilis diperpanjang: buat dosis total harian sekitar 100
mg
e. Jangan dikunyah, dihancurkan atau dilarutkan
Pertimbangan Dosis Tramadol
 Kapsul/tablet rilis diperpanjang jangan dikunyah, dihancurkan, atau dilarutkan
 Juga diberikan dalam kombinasi dengan acetaminophen
Modifikasi dosis
 Gangguan ginjal berat (CrCl <30 mL/min): rilis Segera, 50-100 mg PO setiap 12 jam;
rilis diperpanjang tidak dianjurkan
 Gangguan hati berat: rilis Segera, 50 mg PO setiap 12 jam; rilis diperpanjang tidak
dianjurkan
Dosis Tramadol dan Indikasi Anak
Untuk Nyeri Sedang hingga berat 
 Rilis cepat
o Usia <17 tahun: Keamanan dan efektivitas tidak diketahui
o Usia >17 tahun (akut): 50-100 mg PO setiap 4-6 jam PRN; tidak melebihi
400 mg/hari
o Usia >17 tahun (kronis): 25 mg PO setiap pagi awalnya; meningkat sebesar
25-50 mg/hari setiap 3 hari sebagai dosis terpisah hingga 50-100 mg PO
setiap 4-6 jam PRN; tidak melebihi 400 mg/hari
 Rilis diperpanjang
o Usia <18 tahun: Keamanan dan efektivitas tidak didirikan.

Efek samping
Beberapa efek samping tramadol yang pernah dilaporkan terjadi:
 Seperti obat analgetik yang bekerja di sistem saraf pusat lainnya, efek samping tramadol yang
umum misalnya mual, muntah, pusing, sedasi, rasa lelah, sakit kepala, berkeringat, pruritis,
kulit kemerahan, mulut kering, dyspepsia dan sembelit.
 Meskipun obat ini bekerja drngan cara mengikat secara stereospesifik reseptor μ-opioid di
sistem saraf pusat, efek samping berupa ketergantungan obat sampai sekarang relative jarang
terjadi
Interaksi dengan obat lain
Tramadol berinteraksi dengan obat-obat berikut:
 Obat-obat yang bekerja di sistem saraf pusat seperti tranquiliser, hipnotik, dan sedative
meningkatkan efek analgetik dan sedative tramadol
 Carbamazepine mengurangi efek analgesic tramadol. Penggunaan bersama kedua obat ini
tidak dianjurkan.
 Tramadol bisa menyebabkan kejang,oleh karena itu hindari penggunaan bersamaan dengan
obat-obat selective serotonine reuptake inhibitors, anoretic, anti depresan trisiklik, senyawa
opioid lain, MAO inhibitors, atau obat lain yang menurunkan ambang kejang lainnya.
 Penghambat enzim CYP2D6 (amitriptyline, quinidine, fluoxetine, paroxetine) dan
penghambat enzim CYP3A4 (ketokonazole, erythromycin),mengurangi klirens tramadol dari
ginjal sehingga beresiko meningkatkan efek samping yang serius.
2.2.8. Hydrocortisone
Hydrocortisone adalah salah satu obat kortikosteroid yang berfungsi untuk meredakan
peradangan (inflamasi). Obat ini dapat digunakan untuk mengatasi alergi, kelainan kulit, kolitis
ulseratif, artritis, lupus, psoriasis, dan gangguan pernapasan.
Karena hydrocortisone termasuk golongan kortikosteroid, obat ini dapat melemahkan
sistem imun sehingga penggunanya lebih mudah terkena infeksi baru atau memperburuk infeksi
yang sudah terjadi. Untuk menghindari hal tersebut, pengguna hydrocortisone dianjurkan untuk
menghindari kontak dengan orang sakit atau penderita infeksi.

Mekanisme kerja obat


Mekanisme kerja obat ini yaitu dengan pengurangan komponen vascular dari respon
inflamasi, pengurangan pembentukan cairan inflamasi,dam eksudat seluler. Reaksi granulasi juga
menurun akibat efek penghambatan hidrokortison pada jaringan ikat. Stabilisasi butiran sel yang
paling dan selaput lysomal menurunkan mediator yang terlibat dalam respons inflamasi dan
mengurangi pelepasan enzim dalam sintesis prostaglandin. Dengan demikian salep hidrokortison
dapat memberikan efek anti-inflamasi, anti-alergi, dan antipruritus pada penyakit kulit
Bentuk sediaan
Oral, topical dan suntik
Indikasi
Salep hydrocortisone digunakan untuk mengobati penyakit kulit sebagai berikut:
 Mengobati inflamasi pada kulit akibat eksim dan dermatitis seperti dermatitis atopi, dermatitis
kontak, dermatitis alergik, pruritus anogenital, dan neurodermatitis.
 Mengatasi gigitan serangga
 Mengobati ruam
 Meredakan gatal pada alat vital bagian luar wanita
 Mengatasi gatal pada dubur
 Mengobati alergi
Kontraindikasi
Beberapa orang dengan kondisi yang dimilikinya tidak diperkenankan menggunakan obat inii
adalah:
 Memiliki hipersensitif atau alergi terhadap kandungan obat ini
 Penderita penyakit kulit akibat virus seperti herpes, simplex, vaccinia, dan varicella
 Penderita rosasae akut
 Penderita scabies
 Pasien dermatitis perioral
 Memiliki penyakit tinea
 Menderita penyakit kulit akibat infeksi jamur seperti kandidal atau dermatofit
 Penderita penyakit kulit akibat infeksi bakteri seperti impetigo

Dosis
Berikut adalah dosis dan tujuan penggunaan hydrocortisone:
Bentuk: Obat topical
 Mengobati dermatosis
Dewasa: Gunakan krim 0,1-2,5 % pada daerah yang terkena dermatosis
Bentuk: Obat suntik
 Penanganan peradangan jaringan lunak
Dewasa: Suntik intravena, 100-200 mg dilarutkan di dalam larutan natrium fosfat atau
natrium suksinat.
 Mengobati radang sendi
Dewasa: Injeksi intra-artikular, 5-50 mg tergantung ukuran sendi yang mengalami
peradangan, kemudian dilarutkan dalam larutan asam asetat.
 Suplemen kelenjar adrenal selama pembedahan minor pada anestesi general
Dewasa: Suntik intravena, dosis awal 25-50 mg, kemudian dilanjutkan dengan
kortikosteroid oral setelah pembedahan
 Suplemen kelenjar adrenal selama pembedahan sedang atau mayor pada anestesi general
Dewasa: Suntik intravena, dosis awal 25-50 mg, kemudian dilanjutkan dengan
hydrocortisone sesuai dosis sebelumnya sebanyak tiga kali sehari selama 24 jam untuk
pembedahan sedang, dan selama 48-72 jam untuk pembedahan mayor. Pengobatan
dengan kortikosteroid oral dilanjutkan setelah dosis hydrocortisone injeksi selesai
diberikan
 Mengatasi kekurangan hormon adrenal korteks akut
Dewasa: Suntik intravena 100-500 mg 3-4 kali sehari, selama 24 jam tergantung kepada
tingkat keparahan penyakit
Anak usia < 1 tahun: Suntik intravena, dosis 25 mg
Anak usia 1-5 tahun: Suntik intravena, dosis 50 mg
Anak usia 6-12 tahun: Suntik intravena, dosis 100 mg
Bentuk: Obat oral
 Terapi pengganti kekurangan hormon adrenal korteks
Dewasa: 20-30 mg/hari dibagi menjadi 2 dosis.
Anak-anak: 400-800 mkg/hari dibagi menjadi 2-3 dosis.

Efek samping
Beberapa efek samping salpe hidrokortison yang bisa terjadi adalah:
 Kulit terasa panas atau seperti terbakar
 Terasa gatal dikulit
 Kulit mengalami kekeringan
 Atrofi kulit (penipisan dan pengerutan kulit)
 Infeksi sekunder
 Stretch mark
 Kulit lebam
 Perubahan warna kulit
 Munculnya pembuluh darah halus dipermukaan kulit

Interaksei dengan obat lain


Interaksi hydrocortisone topical dapat dibagi menjadi interaksi mayor dan interaksi minor:
Interaksi mayor
Interaksi mayor hydrocortisone topical adalah dengan vaksin BCG. Penggunaan BCG dengan
hydrocortisone jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya diseminasi infeksi BCG.
Interaksi minor
Hydrocortisone topical dilaporkan berinteraksi minor dengan obat antidiabetik. Efek dari
obat antidiabetik seperti metformin, glimepiride, dan glibenclamide serta insulin dapat berkurang
jika diberikan bersamaan dengan kortikosteroid topical, terutama pada penggunaan jangka
panjang, area aplikasi yang luas dan integritas kulit yang buruk.
2.2.8 Tanaman Berkhasiat Anti InflamasiSteroid
Inflamasi adalah suatu respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh kerusakan pada
jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat mikrobiologik.
Inflamasi berfungsi untuk menghancurkan, mengurangi, atau melokalisasi (sekuster) baik agen
yang merusak maupun jaringan yang rusak.Tanda terjadinya inflamasi adalah
pembengkakan/edema, kemerahan, panas, nyeri, dan perubahan fungsi Antiinflamasi steroid
dapat menyebabkan tukak peptik, penurunan imunitas terhadap infeksi, osteoporosis, atropi otot
dan jaringan lemak, meningkatkan tekanan intra okular, serta bersifat diabetichal tersebut maka
banyak dilakukan pengembangan antiinflamasi yang berasal dari bahan alam, terutama pada
tanaman. Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan obat diantaranya buah, daun,
kulit batang, rimpang, dan bunga.
Ada beberapa tanaman yang dipercaya oleh masyarakat atau secara empiris dapat
mengobati inflamasi, diantaranya kulit batang pauh kijang (Irvingia malayana Oliv. Ex. A.
Benn), kulit batang jambu mete (Anacardium ocidentale L.), dan buah kaktus (Opuntia elatori
Mill.).3,6,7 Tanaman yang telah terbukti secara ilmiah memiliki khasiat sebagai antiinflamasi,
yaitu daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Shecff.) Boerl.), rimpang kencur (Kaempferiae
galanga L.), daun ubi jalar ungu (Ipomoea batatas (L.) Lamk.), kelopak bunga rosela merah
(Hisbiscus sabdariffa), serta bunga dan daun asam jawa (Tamarindus indica). Dari berbagai hasil
penelitian yang dilaporkan, kandungan kimia yang memiliki khasiat sebagai antiinflamasi adalah
flavonoid. Flavonoid dapat menghambatan siklooksigenase atau lipooksigenase dan menghambat
akumulasi leukosit di daerah sehingga dapat menjadi antiinflamasi. Terus berkembangnya
penelitian antiinflamasi dari tanaman ini salah satunya dipicu oleh masyarakat yang lebih suka
dan percaya pada pengobatan tradisional karena beranggapan bahwa penggunaan obat tradisional
lebih aman dan memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat kimia.7
Namun, kurangnya informasi mengenai obat tradisional menjadikan penggunaannya menjadi
kurang optimal.
Tahapan ekstraksi dimaksudkan untuk memperoleh semua kandungan metabolit sekunder
yang terdapat dalam suatu tanaman. Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan
golongan metabolit sekunder apa saja yang terdapat dalam tanaman tersebut. Dari hasil skrining
fitokimia inilah yang nantinya dapat diperoleh dugaan senyawa apa yang dapat memberikan
aktivitas antiinflamasi. Berdasarkan hasil di atas, tabel 1, dapat diketahui bahwa golongan
metabolit sekunder yang dimiliki oleh setiap tanaman tersebut adalah flavonoid. Maka dapat
diduga bahwa golongan senyawa yang menghambat peradangan pada pengujian aktivitas
antiinflamasi dari kelima tanaman tersebut adalah flavonoid.

Tahapan ekstraksi dimaksudkan untuk memperoleh semua kandungan metabolit sekunder


yang terdapat dalam suatu tanaman. Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan
golongan metabolit sekunder apa saja yang terdapat dalam tanaman tersebut. Dari hasil skrining
fitokimia inilah yang nantinya dapat diperoleh dugaan senyawa apa yang dapat memberikan
aktivitas antiinflamasi. Berdasarkan hasil di atas, tabel 1, dapat diketahui bahwa golongan
metabolit sekunder yang dimiliki oleh setiap tanaman tersebut adalah flavonoid. Maka dapat
diduga bahwa golongan senyawa yang menghambat peradangan pada pengujian aktivitas
antiinflamasi dari kelima tanaman tersebut adalah flavonoid.
Penelitian Ravi (2009) dan Linnet (2010) menunjukkan bahwa induksi karagenan
mengakibatkan terbentuknya radang yang terdiri dari dua fase, yaitu 1-2 jam setelah injeksi
karagenan, menyebabkan trauma akibat radang yang ditimbulkan oleh karagenan. Pada fase
pertama terjadi pelepasan serotonin dan histamin ke tempat radang serta terjadi peningkatan
sintesis prostaglandin pada jaringan yang rusak. Pada fase kedua terjadi pelepasan prostaglandin
dan dimediasi oleh bradikinin dan leukotrien.
Pada penelitian Hasanah (2011), rimpang kencur diperoleh dari Kabupaten Subang. Hasil
menunjukkan bahwa rimpang kencur memiliki aktivitas antiinflamasi, dimana semakin besar
dosis yang diberikan maka semakin besar pula aktivitas antiinflamasi yang dihasilkan. Hasil
persentase inhibisi yang signifikan ditunjukkan pada perlakuan dengan dosis 45 mg/kg bb,
persentase inhibisi yang dihasilkan adalah 51,27%. Mekanisme antiinflamasi pada kencur diduga
dengan menghambat pelepasan serotonin dan histamin ke tempat terjadinya radang serta
menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat dengan cara penghambatan kerja
siklooksigenase (COX).
Senyawa yang diduga memberikan aktivitas antiinflamasi tersebut adalah flavonoid.Pada
pengujian aktivitas antiinflamasi daun mahkota dewa menunjukkan bahwa fraksi air daun
mahkota dewa dapat menghambat radang pada kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan
dengan persentase inhibisi radang terbesar pada dosis 0,5 g/kg bb, yaitu sebesar 27,35%.
Pemberian fraksi air daun mahkota dewa dengan dosis yang lebih tinggi menurunkan persentase
inhibisi radang. Hal ini sejalan dengan penelitian beberapa jenis obat dalam dosis tinggi yang
menyebabkan pelepasan histamin secara langsung dari sel mast sehingga mengakibatkan
pembuluh darah menjadi lebih permeabel terhadap cairan plasma dan menimbulkan proses
peradangan. Diduga bahwa senyawa pada daun mahkota dewa yang berperan dalam inhibisi
radang tersebut adalah flavonoid.Studi in vitro yang dilakukan oleh Gonzales GJ et al (2007)
menunjukkan bahwa flavonoid mampu menghambat produksi nitrit oksida dan menghambat
ekspresi iNOS, kekuatan antiinflamasinya tergantung pada struktur atau subklas dari flavonoid.
Selain itu, Shah BN et al. (2011) mengatakan bahwa flavonoid juga dapat menghambat
akumulasi leukosit di daerah inflamasi. Dalam penelitian Nor F et al (2012) dilaporkan pula
bahwa senyawa phalerin (secara in vitro) pada daun mahkota dewa memiliki efek antiinflamasi
ringan. Phalerin dapat menghambat enzim lipoksigenase dan xantin oksidase tetapi tidak
memiliki efek hambatan terhadap enzim hyaluronidase.
Hasil penelitian yang dilaporkan Riansyah (2015) terhadap daun ubi jalar ungu
menunjukkan bahwa adanya aktivitas antiinflamasi pada ekstrak daun ubi jalar dengan dosis
yang efektif yaitu 600 mg/kg bb memberikan persentase inhibisi sebesar 20,93%, sedangkan
pada dosis 300 mg/kg bb ekstrak daun ubi jalar ungu tidak dapat menginhibisi edema yang
ditunjukkan dengan hasil negatif pada persentase inhibisinya yaitu sebesar -5,19%. Senyawa
yang diduga berperan dalam menghambat peradangan tersebut adalah senyawa flavonoid dengan
penghambatan COX dan lipooksigenase.
Pada pengujian aktivitas antiinflamasi yang dilakukan oleh Saptarini (2012)
menunjukkan bahwa kelopak bunga rosela merah mampu menghambat peradangan yang
diakibatkan oleh induksi karagenan. Persentase inhibisi radang yang terbesar pada kelompok uji
adalah 31,93%, yaitu pada dosis 410 mg/200 g bb.10 Pada laporan penelitian ini tidak dijelaskan
dugaan senyawa apa dan bagaimana mekanisme aktivitas antiinflamasinya.Namun, jika dilihat
dari hasil skrining fitokimianya, kemungkinan aktivitas antiinflamasi berasal dari steroid dan
flavonoid yang telah banyak dilaporkan dari berbagai penelitian bahwa diduga golongan
senyawa tersebut yang memberikan efek antiinflamasi dari berbagai bahan alam.Pengujian
aktivitas antiinflamasi asam jawa menunjukkan bahwa penghambatan dimulai pada jam ke-4.
Berdasarkan data persentase inhibisi, ekstrak yang memberikan aktivitas antiinflamasi
yang paling efektif adalah ektrak daun asam jawa dibandingkan dengan ekstrak buah ataupun
kombinasi keduanya. Perbedaan hasil yang demikian dikarenakan dosis yang digunakan berbeda.
Dosis pada ekstrak daun sebesar 1 g/kg bb, dosis pada ekstrak buah sebesar 0,4 g/kg bb, dan
dosis pada kombinasi keduanya sebesar 0,2 g/kg bb. Senyawa yang diduga berperan sebagai
antiinflamasi adalah tanin dan flavonoid.5 Hal ini didukung dengan hasil penelitian dari
Bandawane (2013) yang menyatakan bahwa tanin dan flavonoid pada Tamarandus indica diduga
menimbulkan efek antiinflamasi.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Anti inflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang memiliki
aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Radang atau inflamasi dapat disebabkan
oleh berbagai rangsangan yang mencakup luka-luka fisik, infeksi, panas dan interaksi
antigen-antibodi Berdasarkan mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi terbagi dalam dua
golongan, yaitu obat anti inflamasi golongan steroid (AIS) dan obat anti inflamasi non
steroid (AINS).
2. Obat antiinflamasi steroid merupakan antiinflamasi yang sangat kuat, karena
menghambat enzim phspholipase A2 sehingga tidak terbentuk asam arakidonat. Senyawa
steroid adalah senyawa golongan lipid yang memiliki struktur kimia tertentu yang
memiliki tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana..
3. Mekanisme kerja obat dari golongan steroid adalah menghambat enzim fospolifase
sehingga menghambat pembentukan prostaglandin maupun leukotrien. Jika asam
arakidonat tidak terbentuk berarti prostaglandin juga tidak akan terbentuk. Suatu molekul
steroid yang dihasilkan secara alami oleh korteks adrenal tubuh dikenal dengan nama
senyawa kortikosteroid.
4. Berdasarkan masa kerjanya golongan kortikosteroid dibagi menjadi :
Kortikosteroid kerja singkat dengan masa paruh < 12 jam, yang termasuk golongan ini
adalah kortisol/hidrokortison, kortison, kortikosteron, fludrokortison
Kortikosteroid kerja sedang dengan masa paruh 12 – 36 jam, yaitu metilprednisolon,
prednison, prednisolon, dan triamsinolon.
Kortikosteroid kerja lama dengan masa paruh >36 jam, adalah parametason, betametason
dan deksametason.
5.

Anda mungkin juga menyukai