Asbabun Nuzul
Hannad Ibnus Siri dalam kitab az-Zuhd meriwayatkan bahwa Mujahid berkata,
“Firman Allah, ‘Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus
terang kecuali oleh orang yang dizalimi, “turun pada seorang lelaki yang bertamu di
rumah seseorang di Madinah. Namun, sang tuan rumah tidak menjamunya dengan baik.
Lalu dia keluar dari rumahnya dan memberi tahu orang-orang tentang perlakuan tuan
rumah yang buruk terhadapnya. Lalu dia dibolehkan melakukan hal itu (memberi tahu
kelakuan tuan rumah).”
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa sebab turunnya ayat al Quran
surat An-Nisa‟ ayat 148 disebabkan mengenai seorang lelaki yang bertamu ke rumah
seorang lelaki yang menerima perlakuan yang tidak baik, sampai ia (tamu yang
diperlakukan tidak baik tersebut) pindah dari rumah orang itu. Tamu tersebut
menceritakan apa yang diperlakukan pada dirinya kepada orang lain. Oleh sebab itu
turunlah ayat tersebut sebagai peringatan kepada orang tersebut agar ia tidak
menceritakan apa yang dialami di rumah tersebut, karena Allah tidak suka orang yang
menceritakan aib orang lain secara terang-terangan.
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu'az,
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sufyan,
dari Habib, dari Ata, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa pernah ada yang
mencuri barang miliknya, lalu ia mendoakan kecelakaan terhadap pelakunya.
Maka Nabi Saw. bersabda: Janganlah kamu mendoakan kecelakaan terhadapnya.
Menurut riwayat yang lain yang bersumber darinya (Al-Hasan Al-Bashri), Allah
memberikan kemurahan (rukhsah) kepada seseorang yang mendoakan kecelakaan
bagi orang yang telah berbuat aniaya kepadanya, tanpa membalasnya.
Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari mengatakan sehubungan dengan makna ayat
ini, "Makna yang dimaksud berkenaan dengan seorang lelaki yang mencacimu,
lalu kamu balas mencacinya. Tetapi jika seseorang berbuat kedustaan
terhadapmu, janganlah kamu balas ia dengan berbuat kedustaan terhadapnya.
Karena Allah Swt. telah berfirman:
'Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada
suatu dosa pun atas mereka' (Asy Syuura:41)."
Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali
oleh orang yang dianiaya.
Makna yang dimaksud ialah misalnya seorang lelaki bertamu kepada seseorang,
lalu pemilik rumah tidak menjamunya dengan baik. Setelah keluar, si lelaki
mengatakan, "Dia menyambutku dengan buruk dan tidak menjamuku dengan
baik." Mujahid mengatakan bahwa sikap yang demikian itu termasuk ucapan
buruk (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dianiaya
sehingga dia menjamu tamunya dengan baik.
Ibnu Ishaq mengatakan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan
makna firman-Nya:
Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali
oleh orang yang dianiaya.
Mujahid mengatakan, bahwa makna yang dimaksud ialah seorang laki-laki turun
istirahat (bertamu) kepada seseorang, lalu pemilik rumah tidak menjamunya
dengan baik. Setelah keluar, si laki-laki mengatakan, "Dia menjamuku dengan
buruk dan tidak menjamu dengan baik."
Menurut riwayat yang lain, makna yang dimaksud berkenaan dengan seorang
tamu yang memindahkan rahl (barang-barang bawaan)nya. Sesungguhnya hal
tersebut sama dengan mengatakan ucapan buruk terhadap temannya. Hal yang
sama diriwayatkan oleh bukan hanya seorang ulama dari Mujahid dengan makna
yang semisal.
Jamaah meriwayatkan selain Imam Nasai dan Imam Turmuzi melalui jalur Al-
Lais ibnu Sa'd, sedangkan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Ibnu
Luhai'ah, keduanya dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair Marsad ibnu
Abdullah, dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan bahwa kami (para sahabat)
pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sering mengutus
kami, lalu kami menginap di kalangan suatu kaum, tetapi mereka tidak menjamu
kami. Bagaimanakah menurut pendapatmu dengan masalah ini?"
Rasulullah Saw. menjawab:
Apabila kalian turun istirahat pada suatu kaum dan mereka menyuguhkan kepada
kalian jamuan yang selayaknya bagi tamu, maka terimalah jamuan mereka itu.
Dan jika mereka tidak melakukannya, maka ambillah dari mereka hak tamu yang
selayaknya dilakukan oleh mereka.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu
Sa'id, dari Syu'bah, dari Mansur, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Miqdam ibnu Abu
Karimah yang mendengar bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jamuan
malam bagi tamu adalah wajib atas setiap orang muslim, dan jika si tamu dalam
keadaan lapar di halaman rumahnya pada pagi harinya, maka hal itu merupakan
utang bagi pemilik rumah. Jika si tamu menginginkan jamuan, ia boleh
menagihnya, boleh pula meninggalkannya.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Gundar, dari Syu'bah, juga
dari Ziyad bin Abdullah Al-Bukai', dari Waki' dan Abu Na'im, dari Sufyan As-
Sauri, ketiga-tiganya dari Mansur dengan lafaz yang sama.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud melalui hadits Abu Uwwanah,
dari Mansur dengan lafaz yang sama.
Dari pengertian hadis-hadis di atas dan yang semisal dengannya, Imam Ahmad
dan lain-lainnya berpendapat bahwa menjamu tamu itu hukumnya wajib.
Termasuk ke dalam bab ini sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu
Bakar Al-Bazzar:
telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami
Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ajlan, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu
bertanya, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang tetangga yang selalu menyakiti
diriku." Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Keluarkanlah semua barang
milikmu dan letakkanlah di tengah jalan. Kemudian lelaki itu mengambil semua
barang miliknya, lalu ia lemparkan ke jalan. Maka setiap orang yang lewat
bertanya, "Mengapa kamu ini?" Ia menjawab, "Tetanggaku selalu menyakitiku."
Orang tersebut mengucapkan, "Ya Allah, laknatlah dia. Ya Allah, hinakanlah
dia." Akhirnya tetangganya itu berkata, "Kembalilah ke rumahmu. Demi Allah,
aku tidak akan menyakitimu lagi untuk selamanya."
Imam Abu Daud meriwayatkannya di dalam Kitabul Adab, dari Abu Taubah Ar-
Rabi', dari Nafi', dari Sulaiman ibnu Hayyan (yaitu Abul Ahmar), dari
Muhammad ibnu Ajlan dengan lafaz yang sama.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Juhaifah dan Wahb bin Abdullah, dari Nabi
Saw. Dan Yusuf ibnu Abdullah ibnu Salam, dari Nabi Saw.
d. Tafsir Al-Qur’an
Ayat 148 juga teguran kepada kaum munafik dan ahli kitab, yang di waktu itu
dengan mudah mengucapkan kata-kata yang buruk secara berterang-terang.
Malahan ada Yahudi mengucapkan assalamu’alaikum kepada Rasulullah Saw,
padahal assalamu’alaikum artinya ialah matilah kamu! ketika menjawabnya,
Rasulullah Saw tidak menyebut kembali kata-kata itu, misalnya Wa’alaikum. Dan
seketika isteri beliau Aisyah bertanya mengapa hanya begitu menjawab ucapan
yang tidak senonoh itu, beliau katakan bahwa orang yang beriman tidaklah keluar
dari mulutnya kata-kata yang keji.
Ayat ini mengindikasikan kita agar tidak berkata buruk ataupun kasar, dengan kata lain
berkata buruk maupun kasar disini merupakan bentuk kekerasan verbal.
Kekerasan terdiri dari beberapa jenis, salah satunya adalah kekerasan verbal (verbal
abuse) atau kekerasan emosional yang merupakan bentuk manipulasi langsung dan tidak
langsung yang terjadi di lingkungan sosial, budaya, pendidikan, dan keluarga.
Pengertian secara umum kekerasan verbal adalah kekerasan terhadap perasaan dengan
mengeluarkan kata kata kasar tanpa menyentuh fisik, kata-kata yang memfitnah, kata-kata yang
mengancam, menakutkan, menghina atau membesar-besarkan kesalahan.
Kekerasan verbal terdiri dari beberapa bentuk, yaitu tidak sayang atau dingin,
mengecilkan dan mempermalukan orang, kebiasaan mencela, mengindahkan atau menolak,
hukuman ekstrim; membentak, memaki, dan memberi julukan negatif atau melabel. Faktor
yang mempengaruhi kekerasan verbal dapat diperoleh dari faktor intern dan faktor ekstern.
Salah satu faktor penting yang berpengaruh adalah perihal mendapatkan pendidikan yang
lebih memadai, karena dengan pendidikan akan membuka wawasan kita sebagai kualitas-
kualitas yang teguh secara khusus dibangun dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan
respon terhadap pengaruh kondisi-kondisi yang ada sebagai pembentuk karakter. Adapun upaya
yang dapat dilakukan untuk mencegah perilaku kekerasan verbal diantaranya: (1) menghindari
berita hoax; (2) menanamkan kebiasaan berperilaku baik sejak usia dini (orang tua harus
berhati-hati saat berbicara di hadapan anaknya); (3) membuat iklan terkait dengan
mempererat hubungan sosial; (4) membiasakan kritik positif; (5) menghargai privasi
orang lain; (6) menggunakan alat komunikasi secara proporsional; (7) menjaga etika
berkomunikasi; dan (8) menghindari konten berbentuk sara, serta rasis.
3. Fenomena Sosial
Berikut ini terdapat beberapa contoh dari kekerasan verbal yang dilakukan
oleh kalangan masyarakat salah satunya dalam bentuk komentar pedas pada sebuah
berita yang diutarakan melalui sosial media, antara lain:
a. bla bla
(keterangan/caption gambar)
b. bla bla
(ket./caption gambar)
Note:
Tafsir Surah An-Nisa' 148-149: Allah Tidak Menyukai Perkataan Buruk - Tafsir
Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
Apa makna yang terkandung didalam Surat An-Nisa’ Ayat 148-149 ? -
Spiritualisme / Muslim - Dictio Community
Nurasima.pdf (ar-raniry.ac.id)
KEKERASAN VERBAL (kemenkeu.go.id)
https://www.researchgate.net/publication/
333220906_KEKERASAN_VERBAL_VERBAL_ABUSE_DI_ERA_DIGITAL_
SEBAGAI_FAKTOR_PENGHAMBAT_PEMBENTUKAN_KARAKTER
KEKERASAN VERBAL DALAM KOLOM KOMENTAR DI AKUN
INSTAGRAM GARUDAREVOLUTION PADA BULAN SEPTEMBER 2019 |
Putri | Sintesis (usd.ac.id)
BAB II.pdf (umpo.ac.id)
Yang tafsir mungkin bisa diringkas lagi
Seringkali kita tidak sadar jika kita sedang dalam keadaan emosi yang membuat mulut
bisa berkata kasar dan menyakiti hati orang lain. Perlu diketahui, bahwa hal tersebut
sangat dilarang oleh Allah, Allah melarang umat muslim menyakiti hati orang lain dengan
mengucapkan kata-kata kasar yang dapat memicu permusuhan dan pertengkaran.
Terlebih sering kali kita lihat bahwa kata-kata kasar tersebut banyak di ucapkan lewat
media online dengan menggunjing orang lain.
Al Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunnahnya, dimana Rosululloh bersabda:
ش ْالبَ ِذيْ َء ِ َق َح َس ٍن َوِإ َّن هللاَ لَيُب ِْغضُ ْالف
َ اح ٍ َُما َش ْي ٌء َأ ْثقَ ُل فِ ْي ِم ْي َزا ِن ْال ُمْؤ ِم ِن يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ِم ْن ُخل
“Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang paling berat ditimbangan kebaikan
seorang mu’min pada hari kiamat seperti akhlaq yang mulia, dan sungguh-sungguh
(benar-benar) Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.”
(Hadits Riwayat At Tirmidzi nomor 2002, hadīts ini hasan shahīh, lafazh ini milik At
Tirmidzi, lihat Silsilatul Ahadits Ash Shahihah No 876).
Dalam hadīts ini kita perhatikan bahwa Rasulullah SAW telah mengkaitkan antara akhlaq
yang mulia dengan lisan yang kotor. Seakan-akan bahwasanya kalau Anda ingin menjadi
orang yang berakhlaq mulia jangan memiliki lisan yang kotor. Maka jaga lisan kita.
Sesungguhnya orang yang berkata kasar dibenci oleh Allah swt. Kaum Muslimin di didik
dengan ajaran agama yang benar dan lurus. Islam itu rahmatan lil’alamin (menebar kasih
sayang terhadap sesama) dan mengutamakan akhlak mulia (akhlaqul karimah).
Sifat orang beriman pula tidaklah mengumpat dengan perkataan dan tingkah laku.
Ancaman bagi mereka yang mencela seperti di jelaskan dalam Surat Al Humazah berikut:
َو ْي ٌل لِ ُكلِّ هُ َمزَ ٍة لُ َمزَ ٍة
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela” (QS. Al Humazah: 1)
Ayat ini adalah ancaman bagi orang yang mencela yang lain dengan perbuatan dan
mengumpat dengan ucapan. Hamaz adalah mencela dan mengumpat orang lain dengan
isyarat dan perbuatan. Sedangkan lamaz adalah mencela orang lain dengan ucapan.
Ancaman wail dalam ayat di atas adalah ancaman berat. Salah satu tafsiran menyatakan
wail adalah lembah di neraka.
Juga di antara orang yang tidak boleh diikuti adalah orang yang banyak menyebut
dengan kata-kata kotor. Sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Yang banyak mencela,
yang kian ke mari menghambur fitnah.” (QS. Al Qalam: 11).
Mukmin atau muslim yang baik tidak akan berkata keji, kotor, melaknat, mencela, dan
sebagainya yang buruk-buruk. Muslim sejati akan berbicara sopan, santun, tidak
menyakiti hati orang lain, dan selalu baik dalam berbicara atau berkomentar. Maka,
jauhilah perkataan kasar, hindari kebiasaan suka menyindir orang lain, suka menjatuhkan
orang lain, suka mengejek orang lain, bahkan sampai memfitnah orang lain.
Semoga kita diberi kekuatan untuk menjadi Muslim yang baik, taat perintah Allah dan
Rasul-Nya, termasuk orang yang tidak berkata kasar, kotor, keji, mengumpat, dan
sebagainya.