Anda di halaman 1dari 20

Pahlawan Revolusi Indonesia

Pahlawan Revolusi adalah gelar yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang gugur dalam
tragedi G30S yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta pada tanggal 30 September 1965. Sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar ini diakui juga sebagai Pahlawan Nasional.

Para pahlawan tersebut adalah:

No Tanggal
Nama Gambar Gelar Dasar penetapan
. penetapan

Pahlawan
1 Jenderal Ahmad Yani 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
Revolusi

Pahlawan
2 Letnan Jenderal Suprapto 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
Revolusi

Pahlawan
3 Letnan Jenderal Haryono 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
Revolusi

Letnan Jenderal Siswondo Pahlawan


4 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
Parman Revolusi
No Tanggal
Nama Gambar Gelar Dasar penetapan
. penetapan

Mayor Pahlawan
5 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
Jenderal Pandjaitan Revolusi

Mayor Jenderal Sutoyo Pahlawan


6 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
Siswomiharjo Revolusi

Pahlawan
7 Kapten Pierre Tendean 5 Oktober 1965 Keppres No. 111/KOTI/1965
Revolusi

Pahlawan
8 AIP Karel Satsuit Tubun 5 Oktober 1965 Keppres No. 114/KOTI/1965
Revolusi

Brigadir
Pahlawan
9 Jenderal Katamso 19 Oktober 1965 Keppres No. 118/KOTI/1965
Revolusi
Darmokusumo

Pahlawan
10 Kolonel Sugiono 19 Oktober 1965 Keppres No. 118/KOTI/1965
Revolusi
Ahmad Yani
Lahir : Purwerejo Jateng, 19 Juni 1922

Meninggal : Jakarta 1 Oktober 1965

Istri : Yayuk Rulia Sutowiryo

Anak : 8

Kebangsaan : Indonesia

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani (juga dieja Achmad Yani; lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 19


Juni 1922 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta,1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun) adalah
komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan dibunuh oleh anggota Gerakan 30
September saat mencoba untuk menculik dia dari rumahnya.

 1 Awal Kehidupan
 2 Karier militer
 3 Tahun Akhir
 4 Pendidikan
 5 Bintang Kehormatan

Awal Kehidupan

Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 di keluarga Wongsoredjo,
keluarga yang bekerja di sebuah pabrik gulayang dijalankan oleh pemilik Belanda. Pada tahun 1927, Yani
pindah dengan keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya kini bekerja untuk General Belanda. Di Batavia,
Yani bekerja jalan melalui pendidikan dasar dan menengah. Pada tahun 1940, Yani meninggalkan sekolah
tinggi untuk menjalani wajib militer di tentara Hindia Belanda pemerintah kolonial. Ia belajar topografi militer
di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942.
Pada saat yang sama, Yani dan keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah.

Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara yang disponsori Jepang Peta (Pembela Tanah Air), dan
menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihan ini, Yani meminta untuk dilatih
sebagai komandan peleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk menerima pelatihan. Setelah
selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur.
Karier militer

Kolonel Yani memimpin briefing pada 12 April 1958 (umur 35) selama "Operasi Agustus 17

Setelah Kemerdekaan Yani bergabung dengan tentara republik yang masih muda dan berjuang melawan
Belanda. Selama bulan-bulan pertama setelah Deklarasi Kemerdekaan, Yani membentuk batalion dengan
dirinya sebagai Komandan dan memimpin kepada kemenangan melawan Inggris di Magelang. Yani
kemudian diikuti ini dengan berhasil mempertahankan Magelang melawan Belanda ketika ia mencoba untuk
mengambil alih kota, mendapat julukan "Juruselamat Magelang". Sorot lain yang menonjol karier Yani selama
periode ini adalah serangkaian serangan gerilya yang diluncurkan pada awal 1949 untuk mengalihkan
perhatian Belanda sementara Letnan Kolonel Soeharto dipersiapkan untuk Serangan Umum 1 Maret yang
diarahkan pada Yogyakarta.

Setelah Kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa Tengah. Pada tahun
1952, ia dipanggil kembali beraksi untuk melawan Darul Islam, sebuah kelompok pemberontak yang
berusaha untuk mendirikan sebuah teokrasi di Indonesia. Untuk menghadapi kelompok pemberontak ini, Yani
membentuk sebuah kelompok pasukan khusus yang disebut The Banteng Raiders. Keputusan untuk
memanggil Yani dividen dibayar dan selama 3 tahun ke depan, pasukan Darul Islam di Jawa
Tengah menderita satu kekalahan demi satu.

Pada Desember 1955, Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar di Komando dan Staf Umum College,
Fort Leavenworth, Texas. Kembali pada tahun 1956, Yani dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat
di Jakarta di mana ia menjadi anggota staf Umum untuk Abdul Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan
Darat, Yani menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil Kepala
Staf Angkatan Darat untuk Organisasi dan Kepegawaian.

Pada bulan Agustus tahun 1958, ia memerintahkan Operasi 17 Agustus terhadap Pemerintah Revolusioner


Republik Indonesia pemberontak di Sumatera Barat. Pasukannya berhasil merebut
kembali Padang dan Bukittinggi, dan keberhasilan ini menyebabkan ia dipromosikan menjadi wakil kepala
Angkatan Darat ke-2 staf pada 1 September 1962, dan kemudian Kepala Angkatan Darat stafnya pada 13
November 1963 (otomatis menjadi anggota kabinet), menggantikan Jenderal Nasution.
Tahun Akhir

Plak menandai tempat ketika Yani jatuh setelah ditembak oleh anggota Gerakan 30 September - mantan
rumahnya sekarang menjadi museum. Perhatikan lubang peluru di pintu.

Sebagai Presiden, Soekarno bergerak lebih dekat ke Partai Komunis Indonesia (PKI) di awal 60-an. Yani
yang sangat anti-komunis, menjadi sangat waspada terhadap PKI, terutama setelah partai ini menyatakan
dukungannya terhadap pembentukan kekuatan kelima (selain keempat angkatan bersenjata dan polisi) dan
Sukarno mencoba untuk memaksakannya Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) doktrin di militer.
Keduanya, Yani dan Nasution menunda-nunda ketika diperintahkan oleh Soekarno pada tanggal 31 Mei 1965
mempersiapkan rencana untuk mempersenjatai rakyat.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mencoba untuk menculik tujuh anggota staf umum
Angkatan Darat. Sebuah tim dari sekitar 200 orang mengepung rumah Yani di Jalan Latuhahary No 6 di
pinggiran Jakarta Menteng, Jakarta Pusat. Biasanya Yani memiliki sebelas tentara menjaga rumahnya.
Istrinya kemudian melaporkan bahwa seminggu sebelumnya tambahan enam orang ditugaskan kepadanya.
Orang-orang ini berasal dari komando Kolonel Latief, yang diketahui Yani, adalah salah satu komplotan
utama dalam Gerakan 30 September. Menurut istri Yani, orang-orang tambahan tersebut tidak muncul untuk
bertugas pada malam itu. Yani dan anak-anaknya sedang tidur di rumahnya sementara istrinya keluar
merayakan ulang tahunnya bersama sekelompok teman-teman dan kerabat. Dia kemudian menceritakan
bahwa saat ia pergi dari rumah sekitar pukul 23:00, ia melihat seseorang duduk di seberang jalan seakan
menjaga rumah di bawah pengawas. Dia tidak berpikir apa-apa pada saat itu, tetapi setelah peristiwa pagi itu
ia bertanya-tanya berbeda. Juga, dari sekitar jam 9 pada malam 30 September ada sejumlah panggilan
telepon ke rumah pada interval, yang ketika menjawab akan bertemu dengan keheningan atau suara akan
bertanya apa waktu itu. Panggilan terus sampai sekitar 01:00 dan Mrs Yani mengatakan dia memiliki firasat
sesuatu yang salah malam itu.

Yani menghabiskan malam dengan beberapa pertemuan, pukul 7 malam ia menerima seorang kolonel dari
KOTI, Komando Operasi Tertinggi. Jendral Basuki Rahmat, komandan divisi di Jawa Timur, kemudian tiba
dari markasnya di Surabaya. Basuki datang ke Jakarta untuk melaporkan kepada Yani pada keprihatinan
tentang meningkatnya aktivitas komunis di Jawa Timur. Memuji laporannya, Yani memintanya untuk
menemaninya ke pertemuan keesokan harinya dengan Presiden untuk menyampaikan laporannya.

Ketika para penculik datang ke rumah Yani dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan dibawa ke hadapan
presiden, ia meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Ketika penculik menolak ia menjadi marah,
menampar salah satu prajurit penculik, dan mencoba untuk menutup pintu depan rumahnya. Salah satu
penculik kemudian melepaskan tembakan, membunuhnya secara spontan. Tubuhnya dibawa ke Lubang
Buaya di pinggiran Jakarta dan bersama-sama dengan orang-orang dari jenderal yang dibunuh lainnya,
disembunyikan di sebuah sumur bekas.

Tubuh Yani, dan orang-orang korban lainnya, diangkat pada tanggal 4 Oktober, dan semua diberi
pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya, sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata.
Pada hari yang sama, Yani dan rekan-rekannya resmi dinyatakan Pahlawan dari Revolusi dengan Keputusan
Presiden Nomor 111/KOTI/1965 dan pangkatnya dinaikkan secara anumerta dari Letnan Jenderal untuk
bintang ke-4 umum (Indonesia:Jenderal Anumerta).

Ibu Yani dan anak-anaknya pindah dari rumah setelah kematian Yani. Ibu Yani membantu membuat bekas
rumah mereka ke Museum publik yang berdiri sebagian besar seperti itu pada Oktober 1965, termasuk
lubang peluru di pintu dan dinding, dan dengan perabot rumah itu waktu itu. Saat ini, banyak kota di
Indonesia memiliki jalan dinamai Yani.

Pendidikan

 HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935


 MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938
 AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940
 Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang
 Pendidikan Heiho di Magelang
 PETA (Tentara Pembela Tanah Air) di Bogor
 Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat, tahun 1955
 Special Warfare Course di Inggris, tahun 1956

Bintang Kehormatan

 Bintang RI Kelas II
 Bintang Sakti
 Bintang Gerilya
 Bintang Sewindu Kemerdekaan I dan II
 Satyalancana Kesetyaan VII, XVI
 Satyalancana G: O.M. I dan VI
 Satyalancana Sapta Marga (PRRI)
 Satyalancana Irian Barat (Trikora)
 Ordenon Narodne Armije II Reda Yugoslavia (1958) dan lain-lain
R. Suprapto
Lahir : Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920

Meninggal : Lubang Buaya Jakarta 1 Oktober 1965

Pekerjaan : TNI

Kebangsaan : Indonesia

Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920 – meninggal


di Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965pada umur 45 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia.
Ia merupakan salah satu korban dalam G30SPKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata,
Jakarta.

Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar
Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar. Pendidikan formalnya
setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang
diselesaikannya pada tahun 1941.

Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang
Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung.
Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di
Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil melarikan diri.

Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda,
latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.

Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata
pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di
Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut
dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai
perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.

Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi salah satu yang
turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung
oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut.

Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama-tama ia ditugaskan
sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian
ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan. Dan setelah
pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk
wilayah Sumatera yang bermarkas di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus menjaga
agar pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.
Letnan Jendral Anumerta
Mas Tirtodarmo Harjono
Lahir : Surabaya 20 Januari 1924

Meninggal : Lubang Buaya Jakarta 1 Oktober 1965

Pekerjaan : TNI

Kebangsaan : Indonesia

Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 20


Januari 1924 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 41 tahun) adalah salah
satu pahlawan revolusi Indonesia yang terbunuh pada persitiwa G30S PKI. Ia dimakamkan di TMP
Kalibata - Jakarta.

Letjen Anumerta M.T. Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh pendidikan
di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum).
Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di
Jakarta, namun tidak sampai tamat.

Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda
lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan
masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor.

Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia
sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris
Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai
Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian
Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia
merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.

Masa Muda

Gresik adalah kota pelabuhan yang tua dan bandar yang ramai di zaman kuno. Pernah Gresik menjadi pusat
agama Islam yang termashur di Indonesia ketika Waliullah Sunan Giri bersemayam di situ. Sampai sekarang
keturunan Sunan Giri memakai gelar Mas di muka namanya. Pada tahun 1924 yang menjadi asisten wedana
( sekarang disebut camat ) di Kalitengah, Gresik, ialah Mas Harsono Tirtodarmo. Pada bulan Januari tahun
itu ia dinaikkan pangkatnya menjadi jaksa di Sidoarjo. Karena itu ia berangkat pindah ke Sidoarjo meskipun
isterinya ( Ibu Patimah ) sudah mengandung tua. Tetapi dalam perjalanan ke Sidoarjo itu ibu Patimah merasa
akan melahirkan kandungannya. Perjalanan ke Sidoarjo tidak diteruskan dan mereka menuju ke rumah
M.Harsono Tirtodarmo di Nieuw Holland Straat ( sekarang Jalan Gatotan ) di Surabaya. Di situ, pada tanggal
20 Januari 1924, ibu Patimah melahirkan puteranya yang ketiga yang diberi nama Haryono, lengkapnya
M.T.Haryono.
M.T. Haryono dilahirkan sebagai putera seorang B.B.( Pamong Praja ) Kalangan B.B. pada waktu itu
mempunyai kedudukan yang istimewa di antara pegawai-pegawai Belanda lainnya. Hanya B.B. lah yang di
samping kedudukan istimewanya biasanya juga mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai di Perguruan
Tinggi. Karena nasionalisme itu boleh dikata timbul dan berkembang di antara orang-orang terpelajar, maka
tidaklah mengherankan kalau putera-putera orang-orang B.B. ini tidak sedikit yang menjadi penggerak dan
pemimpin nasionalisme, misalnya R.A. Kartini, Dewi Sartika, dr. Sutomo. Mr.Sartono, dan lain lain. Demikian
halnya kelak dengan M.T. Haryono.

Di masa kecilnya M.T. Haryono hidup sebagai putera seorang jaksa di Sidoarjo. Ketika umur empat tahun
ayahnya diangkat menjadi wedana di Kertosono dan mereka pindah ke kota itu. Di sinilah ia ketika umur
enam tahun masuk sekolah di HIS 6 (Hollands Inlandsche School = Sekolah Dasar ) ia suka berteman dan
bermain-main dengan anak-anak lainnya dan selalu menjadi pemimpin mereka. Karena wataknya yang keras
ia sebagai pemimpin dijuluki "Si Kepala Macan". Tetapi walaupun demikian ia pada hakekatnya seorang
pendiam dan bertindak hati-hati dalam segala hal. Ia belajar di HIS sampai kelas tiga dan kemudian, atas
tanggungan seorang Belanda guru ELS ( Europese Lagere School : Sekolah Dasar Belanda ) dan teman
ayahnya, ia pindah ke kelas empat ELS di kota itu sampai tamat pada tahun 1937.

Tamat dari ELS, M.T. Haryono meneruskan sekolahnya di HBS (Hogere Burgerschool : semacam SMP
ditambah SMA yang disatukan dan hanya lima tahun, biasanya hanya untuk orang Belanda) di Bandung.
Selama lima tahun ia harus berpisah dari orang tuanya dan menumpang pada orang lain di kota Bandung.

Sebagai pemuda pelajar ia suka berolahraga. Ia suka atletik, tenis dan baseball. Hanya dalam masa libur ia
pulang ke orang tuanya yang sejak tahun 1939 telah dipindahkan menjadi wedana di Gorang-Gareng,
Mangetan, Madiun. M.T. Haryono menyelesaikan studinya di HBS tepat dalam waktu lima tahun. Ia tamat
dari HBS pada tahun l942 ketika Jepang masuk merebut dan menduduki Indonesia (Maret l942).

Ketika GHS(Geneeskundige Hogeschool : Perguruan Tinggi Kedokteran ) di Jakarta dibuka kembali oleh
Jepang sebagai Ika Dai Gakko, maka M.T. Haryono masuk Perguruan Tinggi Kedokteran tersebut untuk
meneruskan studinya. Ia memang ingin menjadi seorang dokter. Baru tiga tahun lamanya M.T. Haryono
belajar di lka Dai Gakko ketika tiba-tiba Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. M.T. Haryono sebagai pemuda mahasiswa Ika Dai Gakko tidak mau ketinggalan. Segera
menceburkan diri dalam kancah perjuangan militer.

Hidup Kekeluargaan

Mayor M.T. Haryono yang selama perjuangan bersenjata tidak sempat memikirkan tentang hal perkawinan,
sekarang ingin membentuk hidup kekeluargaan yang diidam-idamkan. Ia telah menjatuhkan pilihannya
kepada Mariatni, seorang puteri Mr. Besar Martokusumo yang berdomisili di Jakarta dan seorang tokoh yang
tidak asing bagi Pemerintah Indonesia. Pertunangannya akan dirayakan pada tanggal 2 Juli 1950. Pada
waktu itu Pemerintah rnemerlukan seorang Atase Militer untuk Negeri Belanda dan pilihannya jatuh pada
Mayor M.T. Haryono. Ini dapat dimengerti karena Mayor M.T. Haryono merupakan seorang terpelajar, fasih
berbahasa Belanda, Inggris dan Jerman dan berpengalaman dalam perundingan-perundingan dengan
Belanda, terutama dalam KMB yang baru saja lalu. Dalam bulan Juli 1950 itu ia diangkat menjadi Atase
Militer dan harus sudah di posnya di Den Haag pada akhir bulan itu juga. Berhubung dengan
keberangkatannya yang mendadak ini, maka hari pertunangannya pada tanggal 2 Juli 1950 itu diubah
menjadi hari pernikahannya, dan pada tanggal 24 Juli 1950 mereka berangkat ke Negeri Belanda. Sebagai
penganten baru untuk sementara mereka hidup di gedung Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, ibukota
Negeri Belanda dan seolah-olah berbulan madu di luar negeri.

Wataknya yang sederhana dan berhati-hati ditambah dengan jalan fikiranya yang praktis tidak membiarkan
keluarganya hanyut dalam arus kemewahan yang waktu itu melanda kehidupan orang yang ingin disebutnya
“kelas atas". Keluarganya tetap hidup sederhana, baik ketika di luar negeri maupun ketika mereka telah
kembali ( 1954 ) di Indonesia. Rumahnya di Jalan Prambanan no. 8 Jakarta tidak mencerminkan rumah
seorang "kelas atas" maupun seorang yang bermandikan kemewahan yang luar biasa. Rumah itu
mencerminkan kesederhanaan yang bertanggung-jawab.

Di rumah, M.T. Haryono suka menanam dan memelihara anggrek. Di samping rumahnya terdapat berderet-
deret pot dengan aggrek yang beraneka ragam dan warna. Pemeliharaan anggrek memerlukan ketekunan
dan kesabaran, kehalusan dan kasih sayang yang tidak sedikit.

M.T. Haryono seorang pendiam, tetapi ini tidak berarti bahwa ia bersikap acuh tak acuh terhadap pendidikan
anak-anaknya. Ia mempunyai lima orang anak. Dua orang anak yang tertua lahir di Den Haag waktu ia
menjabat Atase Nliliter di Negeri Belanda. Yang sulung bernama Bob Haryanto dan yang kedua Haryanti
Mirya, seorang puteri. Anak yang ketiga, Rianto Nurhadi, yang keempat, Adri Prambanto. dan yang kelima,
Endah Marina, seorang puteri, Iahir di Indonesia. Untuk menjaga keselamatan keiuarga dan terutama anak-
anaknya, M.T Haryono tidak pernah membawa senjata pulang dan menaruhnya di rumahnya. Sifat berhati-
hati tidak pernah ditanggalkan oleh M.T. Haryono. Demikian M.T. Haryono merupakan suami yang baik dan
ayah yang bertanggung-jawab dalam keluarganya

Tanda Jasa

1. Bintang Republik Indonesia Kelas II


2. Bintang Dharma
3. Bintang Gerilya
4. Bintang Sewindu ABRI
5. Satya Lencana Kesetiaan VIII tahun
6. Satya Lencana Kesetiaan XVI tahun
7. Satya Lencana Perang Kemerdekaan I
8. Satya Lencana Perang Kemerdekaan II
9. Satya Lencana Gerakan Operasi Militer I
10. Satya Lencana Gerakan Operasi Militer VI
11. Satya Lencana Sapta Marga

Gelar Pahlawan

Ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi dengan SK Presiden/Pangti ABRI/KOTI No. lll/KOTI/1965. Ditetapkan
menjadi Letnan Jendral TNI Anumerta dengan SK Presiden/Pangti ABRI/KOTI No. I IO/KOTI/1965.
Letnan Jendral Anumerta
Siswondo Parman
Lahir : Wonosobo Jateng, 4 Agustus 1918

Meninggal : Lubang Buaya Jakarta 1 Oktober 1965

Pekerjaan : TNI

Kebangsaan : Indonesia

Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman (lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4


Agustus 1918 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 47 tahun) atau lebih dikenal
dengan nama S. Parman adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia dan tokoh militer Indonesia. Ia
meninggal dibunuh pada persitiwa Gerakan 30 September dan mendapatkan gelar Letnan
Jenderal Anumerta. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Parman merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan PKI. Dia termasuk salah satu di
antara para perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri
dari buruh dan tani. Penolakan serta posisinya sebagai pejabat intelijen yang tahu banyak tentang PKI,
membuatnya menjadi korban penculikan oleh Resimen Tjakrabirawa yang dipimpin Serma Satar.
Penculikannya diduga diatur oleh kakak kandungnya sendiri, yaitu Ir. Sakirman yang merupakan petinggi di
Politbiro CC PKI kala itu.[1]

Latar belakang

Pendidikan umum yang pernah diikutinya adalah sekolah tingkat dasar, sekolah menengah, dan Sekolah
Tinggi Kedokteran. Namun sebelum menyelesaikan dokternya, tentara Jepang telah menduduki Republik
sehingga gelar dokter pun tidak sampai berhasil diraihnya.

Setelah tidak bisa meneruskan sekolah kedokteran, ia sempat bekerja pada Jawatan Kempeitai. Di sana ia
dicurigai Jepang sehingga ditangkap, namun tidak lama kemudian dibebaskan kembali. Sesudah itu, ia malah
dikirim ke Jepang untuk mengikuti pendidikan pada Kenpei Kasya Butai. Sekembalinya ke tanah air ia
kembali lagi bekerja pada Jawatan Kempeitai.

Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yaitu Tentara RI yang
dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir bulan Desember 1945, ia diangkat menjadi Kepala
Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta.
Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya. Pada bulan
Desember 1949, ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Salah satu
keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang akan
melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling. Selanjutnya, pada Maret 1950, ia diangkat
menjadi kepala Staf G. Dan setahun kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan
pada Military Police School.

Sekembalinya dari Amerika Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan untuk beberapa lama
kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI diLondon, Inggris pada tahun 1959. Lima tahun berikutnya yakni
pada tahun 1964, ia diserahi tugas sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad)
dengan pangkat Mayor Jenderal.

Ketika menjabat Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ini, pengaruh PKI juga sedang
marak di Indonesia. Partai Komunis ini merasa dekat dengan Presiden Soekarno dan sebagian rakyat pun
sudah terpengaruh. Namun sebagai perwira intelijen, S. Parman sebelumnya sudah banyak mengetahui
kegiatan rahasia PKI. Maka ketika PKI mengusulkan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai atau yang
disebut dengan Angkatan Kelima. Ia bersama sebagian besar Perwira Angkatan Darat lainnya menolak usul
yang mengandung maksud tersembunyi itu. Dengan dasar itulah kemudian dirinya dimusuhi oleh PKI.Dan
akhirnya pada saat terjadinya peristiwa G30S ,beliau menjadi korban karena termasuk musuh PKI.S.Parman
diculik dari rumahnya,dibunuh di Lubang Buaya,dan disembunyikan di sumur Lubang Buaya.
D.I. Pandjaitan
Lahir : Balige Sumatra Utara 19 Juni 1925

Meninggal : Lubang Buaya Jakarta 1 Oktober 1965

Pekerjaan : TNI

Istri : Marieke

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan (lahir di Balige, Sumatera Utara, 19


Juni 1925 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun) adalah salah satu
pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta

Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian
masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah
Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota
militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di
Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan
batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948.
Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan
Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan.
Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit
Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.

Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn,
Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun
tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command
and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.

Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar
rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-
senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan
gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang
giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.

Kematian

Pada jam-jam awal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September meninggalkan Lubang


Buaya menuju pinggiran Jakarta. Mereka memaksa masuk pagar rumah Panjaitan di
Jalan Hasanudin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, lalu menembak dan menewaskan salah seorang pelayan
yang sedang tidur di lantai dasar rumah dua lantai dan menyerukan Panjaitan untuk turun ke bawah. Dua
orang pemuda yaitu Albert Naiborhu dan Viktor Naiborhu terluka berat saat mengadakan perlawanan ketika
D.I. Panjaitan diculik, tidak lama kemudian Albert meninggal. Setelah penyerang mengancam keluarganya,
Panjaitan turun dengan seragam yang lengkap sambil menyerahkan diri kepada Yang Maha Esa untuk
memenuhi panggilan tugas yang dimanupalasi oleh gerombolan PKI dan ditembak mati. mayatnya
dimasukkan ke dalam truk dan dibawa kembali ke markas gerakan itu di Lubang Buaya. Kemudian, tubuh
dan orang-orang dari rekan-rekannya dibunuh tersembunyi di sebuah sumur tua. Mayat ditemukan pada
tanggal 4 Oktober, dan semua diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya. Panjaitan mendapat
promosi anumerta kepada Jenderal Mayor dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.
Pierre Andreas Tendean
Lahir : Batavia Hindia Belanda 21 Februari 1939

Meninggal : Lubang Buaya Jakarta 1 Oktober 1965

Pekerjaan : TNI

Pangkat : Letnan Satu (Saat Kematian)

Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean[1] (lahir 21 Februari 1939 – meninggal 1 Oktober 1965 pada


umur 26 tahun) adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan
30 September pada tahun 1965. Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan kemudian ditunjuk
sebagai ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution dengan pangkat letnan satu, ia dipromosikan
menjadi kapten anumerta setelah kematiannya. Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata dan bersama enam perwira korban G30S lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi
Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.

 1 Kehidupan awal
 2 Karier militer
 3 G30S
 4 Penghargaan
 5 Referensi

Kehidupan awal

Pierre Andreas Tendean terlahir dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa,
dan Cornet M.E, seorang wanita Indo yang berdarah Perancis, pada tanggal 21 Februari 1939 di Batavia (kini
Jakarta), Hindia Belanda. Pierre adalah anak kedua dari tiga bersaudara; kakak dan adiknya masing-masing
bernama Mitze Farre dan Rooswidiati. Tendean mengenyam sekolah dasar diMagelang, lalu melanjutkan
SMP dan SMA di Semarang tempat ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi tentara dan
masuk akademi militer, namun orang tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau seorang
insinyur. Karena tekadnya yang kuat, ia pun berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat
(ATEKAD) di Bandung pada tahun 1958.

Karier militer
Setelah lulus dari akademi militer pada tahun 1962 dengan pangkat letnan dua, Tendean menjadi Komandan
Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun kemudian, ia mengikuti pendidikan

di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana, ia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat
(DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan
Malaysia; ia bertugas memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia.
Pada tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai ajudan
Jenderal Abdul Haris Nasution.

G30S

Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S) mendatangi rumah Nasution
dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang sedang tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution
terbangun karena suara tembakan dan ribut-ribut dan segera berlari ke bagian depan rumah. Ia ditangkap
oleh gerombolan G30S yang mengira dirinya sebagai Nasution karena kondisi rumah yang gelap. Nasution
sendiri berhasil melarikan diri dengan melompati pagar. Tendean lalu di bawa ke sebuah rumah di
daerah Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya. Ia ditembak mati dan mayatnya dibuang ke
sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya.

Jalan Pierre Tendean di Balikpapan.

Penghargaan

Tendean bersama keenam perwira lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Untuk
menghargai jasa-jasanya, Tendean dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober
1965 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965. Pasca kematiannya, ia
secara anumerta dipromosikan menjadi kapten.[2][1] Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk
di Manado,[5]Balikpapan, dan di Jakarta.
Sutoyo Siswomiharjo
Lahir : Kebumen Jawa Tengah 28 Agustus 1922

Meninggal : Lubang Buaya Jakarta 1 Oktober 1965

Tempat pemakaman : TMP Kalibata Jakarta

Pekerjaan : TNI

Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo (lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 28


Agustus 1922 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun) adalah seorang
perwira tinggi TNI-AD yang diculik dan kemudian dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30
Septemberdi Indonesia.

Kehidupan awal

Sutoyo lahir di Kebumen, Jawa Tengah. Ia menyelesaikan sekolahnya sebelum invasi Jepang pada tahun
1942, dan selama masa pendudukan Jepang, ia belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan
di Jakarta. Dia kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo, namun mengundurkan diri pada
tahun 1944.

Karier militer

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sutoyo bergabung ke dalam bagian


Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal ini kemudian
menjadi Polisi Militer Indonesia. Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto,
komandan Polisi Militer. Ia terus mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi Militer, dan pada tahun 1954 ia
menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi Militer. Dia memegang posisi ini selama dua tahun sebelum
diangkat menjadi asisten atase militer di kedutaan besar Indonesia di London. Setelah pelatihan di Sekolah
Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat menjadi Inspektur
Kehakiman Angkatan Darat, kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi inspektur
kehakiman/jaksa militer utama.[1][2][3]

Kematian

Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, anggota Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Sersan Mayor
Surono masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka masuk melalui
garasi di samping rumah. Mereka memaksa pembantu untuk menyerahkan kunci, masuk ke rumah itu dan
mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh PresidenSoekarno. Mereka kemudian membawanya ke
markas mereka di Lubang Buaya. Di sana, dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur yang tak
terpakai. Seperti rekan-rekan lainnya yang dibunuh, mayatnya ditemukan pada 4 Oktober dan dia
dimakamkan pada hari berikutnya. Dia secara anumerta dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan
menjadi Pahlawan Revolusi.

Karel Satsuit Tubun


Lahir : Tual Maluku Utara 14 Oktober 1928

Meninggal : Lubang Buaya Jakarta 1 Oktober 1965

Tempat pemakaman :

ekerjaan : Ajun Inspektur Polisi Dua

Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun, (lahir di Maluku Tenggara, 14


Oktober 1928 – meninggal di Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 36 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah seorang korban Gerakan 30 September pada
tahun 1965. Ia adalah pengawal dari J. Leimena. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Dikarenakan dia
adalah korban Gerakan 30 September, maka dia diangkat menjadi seorang Pahlawan Revolusi.

Biografi

Karel Satsuit Tubun lahir di Tual, Maluku Tenggara pada tanggal 14 Oktober 1928. Ketika telah dewasa ia memutuskan

untuk masuk menjadi anggota POLRI. Ia pun diterima, lalu mengikuti Pendidikan Polisi, setelah lulus, ia ditempatkan di

Kesatuan Brimob Ambon dengan Pangkat Agen Polisi Kelas Dua atau sekarang Bhayangkara Dua Polisi. Ia pun ditarik

ke Jakarta dan memiliki pangkat Agen Polisi Kelas Satu atau sekarang Bhayangkara Satu Polisi. Ketika Bung

Karno mengumandangkan Trikora yang isinya menuntut pengembalian Irian Barat kepada Indonesia dari

tangan Belanda. Seketika pula dilakukan Operasi Militer, ia pun ikut serta dalam perjuangan itu. ia diberi tugas untuk

mengawal kediaman Wakil Perdana Menteri, Dr. J. Leimena di Jakarta.

Kematian

Karena mengganggap para pimpinan Angkatan Darat sebagai penghalang utama cita-citanya. Maka PKI merencanakan

untuk melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah Perwira Angkatan Darat yang dianggap menghalangi

cita-citanya. Salah satu sasarannya adalah Jenderal A.H. Nasution yang bertetangga dengan rumah Dr. J. Leimena.

Gerakan itu pun dimulai, ketika itu ia kebagian tugas jaga pagi. Maka, ia menyempatkan diri untuk tidur. Para penculik

pun datang, pertama-tama mereka menyekap para pengawal rumah Dr. J. Leimena. Karena mendengar suara gaduh

maka K.S. Tubun pun terbangun dengan membawa senjata ia mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut.

Malang, gerombolan itu pun juga menembaknya.

Pemberian gelar

Atas segala jasa-jasanya selama ini, dan menjadi korban Gerakan 30 September maka pemerintah memasukannya

sebagai salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia, bersama dengan Jenderal Ahmad Yani, Letjen R. Suprapto,

Letjen M.T. Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen Sutoyo, Mayjen D.I. Pandjaitan, Brigjen Katamso, Kolonel Sugiono dan


Kapten CZI Pierre Tendean. Selain itu pula pangkatnya dinaikkan menjadi Ajun Inspektur Dua Polisi. Namanya juga kini

diabadikan menjadi nama sebuah Kapal Perang Republik Indonesia dari fregat kelas Ahmad Yanidengan nama KRI Karel

Satsuit Tubun.

Katamso Darmokusumo
Lahir : Seragen Jateng 5 Februari 1923

Meninggal : Lubang Buaya Jakarta 1 Oktober 1965

Tempat pemakaman : TMP Kusuma Negara Yogyakarta

Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo (lahir di Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari 1923 – meninggal


di Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 42 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Katamso termasuk tokoh yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September. Ia dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.
Sugiono
Lahir : Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, Gunung Kidul

12 Agustus 1926

Meninggal : Lubang Buaya Jakarta 1 Oktober 1965

Tempat pemakaman : TMP Semaki, Yogyakarta

Kolonel Anumerta R. Sugiyono Mangunwiyoto (lahir di Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, Gunung Kidul, 12


Agustus 1926 – meninggal di Kentungan,Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 39 tahun) adalah seorang
pahlawan Indonesia yang merupakan salah seorang korban peristiwa Gerakan 30 September.

Kol. Sugiyono menikah dengan Supriyati. Mereka memiliki anak enam orang laki-laki; R. Erry Guthomo (l.
1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R. Haryo Guritno (l. 1958), R. Danny Nugroho (l. 1960), R. Budi Winoto (l.
1962), dan R. Ganis Priyono (l. 1963); serta seorang anak perempuan, Rr. Sugiarti Takarina (l. 1965), yang
lahir setelah ayahnya meninggal. Nama Sugiarti Takarina diberikan oleh Presiden Sukarno.

Ia dimakamkan di TMP Semaki, Yogyakarta.

Kuburan Soegiono

Anda mungkin juga menyukai