Anda di halaman 1dari 121

KUMPULAN LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN

KEPERAWATAN JIWA DI POLI JIWA RUMAH SAKIT ISLAM


SURABAYA JEMURSARI

Atik Rahayu 1120022156

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN
KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN DENGAN ANSIETAS DI
RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA JEMURSARI

Atik Rahayu 1120022156

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
Konsep Ansietas
A. Defenisi Ansietas
Ansietas adalah perasaan ketakutan yang tidak memiliki penyebab yang jelas
dan tidak didukung oleh situasi,kecemasan dapat dirasakan oleh setiap orang
jika mengalami tekanan dan perasaan yang mendalam menyebabkan masalah
kejiwaan dan berkembangan dalam jangka panjang (Pardede, Simanjuntak &
Manulu, 2020). Kecemasan merupakan suatu respon psikologis maupun
fisiologis individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan, atau
reaksi atas situasi yang dianggap mengancam (Hulu & Pardede,
2016).Kecemasan merupakan suatu keadaan perasaan gelisah,
ketidaktentuan, ada rasa takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber
aktual yang tidak diketahui masalahnya (Pardede & Simangunsong, 2020)

Ansietas merupakan keadaan emosi dan pengalaman subjektif individu.


Keduanya adalah energi dan tidak dapat diamati secara langsung. Seorang
perawat menilai pasien ansietas berdsarkan perilaku tertentu. Penting untuk
diingat bahwa ansietas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Ansietas
adalah dasar kondisi manusia dan memberikan peringatan berharga. Bahkan
kapsitas untuk menjadi ansietas diperlukan untuk bertahan hidup. Selain itu,
seseorang dapat tumbuh dari ansietas jika seseorang berhasil berhadapan,
berkaitan dengan, dan belajar dari menciptakan pengalaman ansieatas.
(Stuart, 2016).

Ansietas adalah suatu perasaan takut akan terjadinya sesuatu yang disebabkan
oleh antisipasi bahaya dan merupak sinyal yang membantu individu untuk
bersiap mengambil tindakan menghadapi ancaman. Pengaruh tuntutan,
persaingan, serta bencana yang terjadi dalam kehidupan dapat membawa
dampak terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Salah satu dampak
psikologis yaitu ansietas atau kecemasan (Sutejo, 2018).
B. Etiology Ansietas
Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui timbulnya gejala atau
mekanisme koping yang dikembangkan untuk menjelaskan ansietas (Stuart
& suddent, 2017) yaitu :
1. Faktor predisposisi :
a. Faktor psikoanalitik, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi
antara dua elemen kepribadian Id dan superego. Id mewakili dorongan
insting dan impuls primitive seseorang, sedangkan superego
mencermikan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-
norma budaya seseorang. Ego atau aku, berfungsi menengahi tuntutan
dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah
mengikatkan ego bahwa ada bahaya.
b. Faktor interpersonal, bahwa ansietas timbul dari perasaan takut
terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interposrnal.
Ansietas juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti
perpisahan dan kehilangan, yang meninmbulkan kelemahan spesifik.
Orang dengan harga diri rendah terutama mudah mengalami
perkembangan ansietas yang berat.
c. Faktor perilaku, ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala
sesuatu yang menggangu kemampuan seseorang untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
d. Kajian keluarga menunjukan bahwa ganguan ansietas biasanya terjadi
dalam keluraga. Gangguan ansietas juga tumpang tindih antara
gangguan ansietas dengan depresi
e. Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus
untuk benzodiasepin, obat-obatan yang meningkatkan neuro
regulatory inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA), yang berperan
penting dalam mekanisme biologis yang berhubungan dengan
ansietas. Selain itu, kesehatan umum individu dan riwayat ansietas
pada keluarga memiliki efek nyata predisposisi ansietas. Ansietas
mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan
kemampuan individu untuk mengatasi stressor.
2. Faktor presipitasi
Stressor pencetus dapat berasal dari sumber internal dan eksternal.
Stressor pencetus dapat dikelompokan dalam dua kategori :
a. Ancaman terhadap intergritas fisik meliputi disabiltitas fisiologis
yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan
aktifitas hidup sehari-hari
b. Ancaman terhadap sistim diri dapat membahayakan identitas, harga
diri, dan fungsi social yang terintregasi pada individu.

3. Faktor Predisposisi
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal ansietas
(Waryuningsih,2021) :
a. Teori Psikoanalitik
Ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen
kepribadian, ID dan superego. ID mewakili dorongan insting dan
impuls primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan
hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma- norma
budaya seseorang. Ego atau Aku, berfungsi menengahi hambatan
dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah
mengingatkan ego bahwa ada bahaya
b. Teori Interpersonal
Ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya
penerimaan dari hubungan interpersonal. Ansietas juga
berhubungan dengan perkembangan, trauma seperti perpisahan
dan kehilangan sehingga menimbulkan kelemahan
spesifik.Orang dengan harga diri rendah mudah mengalami
perkembangan ansietas yang berat.
c. Teori Perilaku
Ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang
mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Daftar tentang pembelajaran meyakini bahwa
individu yang terbiasa dalam kehidupan dininya dihadapkan pada
ketakutan yng berlebihan lebih sering menunjukkan ansietas pada
kehidupan selanjutnya.
d. Kajian Keluarga
Menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang
biasa ditemui dalam suatu keluarga.Ada tumpang tindih dalam
gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi.
e. Kajian Biologis
Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus
benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur
ansietas penghambat dalam aminobutirik. Gamma
neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama
dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas
sebagaimana halnya endorfin. Selain itu telah dibuktikan
kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai
predisposisi terhadap ansietas. Ansietas mungkin disertai dengan
gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang

untuk mengatasi stressor.

4. Faktor Presipitasi
Stressor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau
eksternal. Stressor pencetus dapat dikelompokkan menjadi 2
kategori (Pratiwi, Widianti & Solehati, 2017) :
a. Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi
ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya
kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari- hari.
b. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan
identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
5. Perilaku
Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan
fisiologi dan perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya
gejala atau mekanisme koping dalam upaya melawan kecemasan.
Intensitas perilaku akan meningkat sejalan dengan peningkatan
tingkat kecemasan.
a. Respon Fisiologis Terhadap Ansietas

Sistem Tubuh Respons


Kardiovaskuler  Palpitasi.
 Jantung berdebar.
 Tekanan darah meningkat dan denyut nadi menurun.
 Rasa mau pingsan dan pada akhirnya pingsan.

Pernafasan  Napas cepat.


 Pernapasan dangkal.
 Rasa tertekan pada dada.
 Pembengkakan pada tenggorokan.
 Rasa tercekik.
 Terengah-engah.

Neuromuskular  Peningkatan reflek.


 Reaksi kejutan.
 Insomnia.
 Ketakutan.
 Gelisah.
 Wajah tegang.
 Kelemahan secara umum.
 Gerakan lambat.
 Gerakan yang janggal.
Gastrointestinal  Kehilangan nafsu makan.
 Menolak makan.
 Perasaan dangkal.
 Rasa tidak nyaman pada abdominal.
 Rasa terbakar pada jantung.
 Nausea.
 Diare.
Perkemihan  Tidak dapat menahan kencing.
 Sering kencing.
Kulit  Rasa terbakar pada mukosa.
 Berkeringat banyak pada telapak tangan.
 Gatal-gatal.
 Perasaan panas atau dingin pada kulit.
 Muka pucat dan bekeringat diseluruh tubuh.
b. Respon Perilaku Kognitif

Sistem Respons
Perilaku  Gelisah.
 Ketegangan fisik.
 Tremor.
 Gugup.
 Bicara cepat.
 Tidak ada koordinasi.
 Kecenderungan untuk celaka.
 Menarik diri.
 Menghindar.
 Terhambat melakukan aktifitas.

Kognitif  Gangguan perhatian.


 Konsentrasi hilang.
 Pelupa.
 Salah tafsir.
 Adanya bloking pada pikiran.
 Menurunnya lahan persepsi.
 Kreatif dan produktif menurun.
 Bingung.
 Khawatir yang berlebihan.
 Hilang menilai objektifitas.
 Takut akan kehilangan kendali.
 Takut yang berlebihan.
Afektif  Mudah terganggu.
 Tidak sabar.
 Gelisah.
 Tegang.
 Nerveus.
 Ketakutan.
 Alarm.
 Tremor.
 Gugup.
 Gelisah.
6. Sumber Koping
Individu dapat mengalami stress dan ansietas dengan menggerakkan
sumber koping tersebut di lingkungan. Sumber koping tersebut sebagai
modal ekonomok, kemampuanpenyelesaian masalah, dukungan sosial
dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping
yang berhasil(Sulastri, Trilianto & Ermaneti,2019).

7. Mekanisme Koping
Ketika mengalami ansietas individu menggunakan berbagai mekanisme
koping untuk mencoba mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi
ansietas secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya
perilaku patologis. Ansietas tingkat ringan sering ditanggulangi tanpa
yang serius.Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan 2 jenis
mekanisme koping(Sumoked, Wowiling& Rompas, 2019) :
a. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realitis tuntutan
situasi stress.
b. Mekanisme pertahanan ego, membantu mengatasi ansietas ringan dan
sedang, tetapi jika berlangsung pada tingkat sadar dan melibatkan
penipuan diri dan distorsi realitas, maka mekanisme ini dapat
merupakan respon maladaptif terhadap stress.

C. Tingkat Ansietas
Menurut (Stuart, 2016) mengidentifikasi tingkat ansietas dengan penjelasan
efeknya, yaitu :
1. Ansietas Ringan
Terjadi pada saat ada ketegangan dalam hidup sehari-hari. Selama ini
seseorang waspada dan lapang tersepsi meningkat, kemampuan
seseorang untuk melihat, medengar, dan menangkap dari sebelumnya.
Jenis ansietas ini dapat memotivasi belajar, menghasilkan
pertumbuhan, dan meningkatkan kreativitas.
2. Ansietas Sedang
Terjadi ketika seseorang hanya berfokus pada hal yang penting saja
dan lapang persepsi menyempit. Sehingga kurang dalam melihat,
mendengar, dan menangkap. Seseorang memblokir area tertentu tetapi
masih mampu mengikuti perintah jika diarahkan untuk melakukannya.
3. Ansietas Berat
Terjadi ditandai dengan penurunan yang signifikan dilapang persepsi.
Ansietas jenis ini cenderung memfokuskan pada hal detail dan tidak
berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukkan untuk
mengurangi ansietas dan banyak arahan yag dibutuhkan untuk focus
pada area lain.
4. Panik
Panik dikaitkan dengan rasa takut dan terror. Pada sebagian orang
yang mengalami kepanikan tidak dapat melakukan hal-hal bahkan
dengan arahan. Gejala panic yang sering muncul adalah peningkatan
aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan dnegan
orang lain, persepsi yang menyempit dan kehilangn pemikiran yang
rasional. Tingkat ansietas ini tidak dapat bertahan tanpa batas waktu,
karena tidak kompatibel dengan kehidupan. Kondisi panic yang
berkepanjangan akan mengakibatkan kelelahan dan kematian, tetapi
panic dapat diobati dengan aman dan efektif.

D. Gejala Klinis Ansietas


Keluhan yang sering dotemukan pada seseorang yang mengalami ansietas
antara lain sebagai berikut (Universitas Indonesia, 2016) :
1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, dan
mudah tersinggung.
2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, dan mudah terkejut.
3. Takut sendirian,takut pada keramaian, dan banyak orang.
4. Gangguan pola tidur dan muncul mimpi menegangkan
5. Keluhan somatic, misalnya terjadi rasa sakit pada otot dan tulang,
pendengaran berdengung (tiritus, berdebar-debar, sesak napas,
gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, dan sakit kepala).
E. Mekanisme Koping
Ketika pasien mengalami ansietas, individu menggunakan
bermacammacammekanisme koping untuk mencoba mengatasinya. Dalam
bentuk ringan ansietas bentuk ringan ansietas dapat di atasi dengan menangis,
tertawa, tidur, olahraga atau merokok. Bila terjadi ansietas berat sampai panik
akan terjadi ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif
merupakan penyebab utama perilaku yang patologis, individu akan
menggunakan energy yang lebih besar untuk dapat mengatasi ancaman
tersebut.
Mekanisme koping untuk mengatasi ansietas adalah
1. Reaksi yang berorientasi pada tugas (task oriented reaction) Merupakan
pemecahan masalah secara sadar yang digunakan untuk menanggulangi
ancaman stressor yang ada secara realistis yaitu:
a. Perilaku menyerang (Agresif) Biasanya digunakan individu untuk
mengatasi rintangan agar memenuhi kebutuhan.
b. Perilaku menarik diri Digunakan untuk menghilangkan sumber
ancaman baik secara fisik maupun psikologis.
c. Perilaku kompromi Digunakan untuk merubah tujuan yang akan
dilakukan atau mengorbankan kebutuhan personal untuk mencapai
tujuan.
2. Mekanisme pertahanan ego (Ego oriented reaction) Mekanisme ini
membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang yang digunakan untuk
melindungi diri dan dilakukan secara sadar untuk mempertahankan
keseimbangan. Mekanisme pertahanan ego:
a. Disosiasi adalah pemisahan dari proses mental atau perilaku dari
kesadaran atau identitasnya.
b. Identifikasi (identification) adalah proses dimana seseorang untuk
menjadi yang ia kagumi berupaya dengan mengambil/meniru
pikiranpikiran, perilaku dan selera orang tersebut.
c. Intelektualisasi (intellectualization) adalah penggunaan logika dan
alasan yang berlebihan untuk menghindari pengalaman yang
mengganggu perasaannya.
d. Introjeksin (introjection) adalah suatu jenis identifikasi yang dimana
seseorang mengambil dan melebur nilai-nilai dan kualitas seseorang
atau suatu kelompok kedalam struktur egonya sendiri, berupa hati
e. nurani, contohnya rasa benci atau kecewa terhadap kematian orang
yang dicintai, dialihkan dengan cara menyalahkan diri sendiri.
f. Kompensasi adalah proses dimana seseorang memperbaikipenurunan
citra diri dengan secara tegas menonjolkankeistimewaan/kelebihan
yang dimilikinya. Penyangkalan (Denial) adalah menyatakan
ketidaksetujuan terhadap realitas dengan mengingkari realitas tersebut.
Mekanisme pertahanan ini adalah penting, sederhana, primitif.
g. Pemindahan (displacement) adalah pengalihan emosi yang semula
ditujukan pada seseorang/benda kepada orang lain/benda lain yang
biasanya netral atau kurang mengancam dirinya.
h. Isolasi adalah pemisahan unsur emosional dari suatu pikiran yang
menggangu dapat bersifat sementara atau berjangka lama.
i. Proyeksi adalah pengalihan buah pikiran atau impuls pada diri sendiri
kepada orang lain terutama keinginan, perasaan emosional dan
motivasi yang tidak dapat ditoleransi.
j. Rasionalisasi adalah mengemukakan penjelasan yang tampak logis
dan dapat diterima masyarakat untuk membenarkan perasaan perilaku
dan motif yang tidak dapat diterima.
k. Reaksi formasi adalah pengembangan sikap dan pola perilaku yang ia
sadari yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya ia rasakan atau
ingin dilakukan.
l. Regresi adalah kemunduran akibat stress terhadap perilaku dan
merupakan ciri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
m. Represi adalah pengenyampingkan secara tidak sadar tentang-
tentang pikiran, ingatan yang menyakitkan atau bertentangan ,dari
kesadaran seseorang merupakan pertahanan ego yang primer yang
cenderung diperkuat oleh mekanisme lain.
Konsep Asuhan Keperawatan

A. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa yang biasanya muncul adalah :
1. Koping Individu Tidak Efektif
2. Kecemasan
3. Ketidakberdayaan
4. Isolasi Sosial
5. Perubahan Proses Berfikir

B. Intervensi Keperawatan
1. Kecemasan
Tujuan :
• Klien mampu mengenal pengertian penyebab tanda gejala dan
akibat
• Klien mampu mengetahui cara mengatasi ansietas
• Klien mampu mengatasi ansietas dengan melakukan latihan
relaksasi tarik nafas dalam
• Klien mampu mengatasi ansietas dengan melakukan latihan
distraksi
• Klien mampu mengatasi ansietas dengan melakukan hipnotis
lima jari
• Klien mampu merasakan manfaat dari latihan yang dilakukan
• Klien mampu membedakan perasaan sebelum dan sesudah
latihan

Tindakan :
a. Kaji tanda dan gejala ansietas dan kemampuan klien mengurangi
kecemasan
b. Jelaskan tanda dan gejala, penyebab dan akibat dari kecemasan
c. Latihan cara mengatasi kecemasan :
i. Teknik relaksasi napas dalam
ii. Distraksi : bercakap-cakap hal positif
iii. Hipnotis 5 jari fokus padahal-hal yang positif
d. Bantu klien melakukan latihan sesuai dengan jadwal kegiatan.
2. Ketidakberdayaan
Tujuan :
 Klien mampu mengenali ketidakberdayaan yang dialaminya
 Klien mampu mengontrol ketidakberdayaan dengan berpikir
positif
 Klien mampu mengontrol ketidakberdayaan denganberpartisipasi
dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan
perawatannya sendiri
 Klien mampu mengontrol ketidakberdayaan melalui peningkatan
kemampuan mengendalikan situasi yang masih bisa dilakukan
pasien
 Tindakan :
a. Diskusikan tentang penyebab dan perilaku akibat
ketidakberdayaan
b. Bantu klien untuk mengekspresikan perasaannya dan identifikasi
area-area situasi kehidupan yang tidak berada dalam
kemampuannya untuk mengontrol
c. Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
berpengaruh terhadap ketidakberdayaan
d. Identifikasi pemikiran yang negative dan bantu untukmenurunkan
melalaui interupsi atau subtitusi
e. Latih mengembangkan harapan positif (afirmasi positif)
f. Latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan melalui
peningkatan kemampuan mengendalikan situasi yang masih bisa
dilakukan pasien (bantu klien mengidentifikasi area-area situasi
kehidupan yang dapat dikontrolnya. Dukung kekuatan-kekuatan
diri yang dapat diidentifikasi oleh klien). Misalnya klien masih
mampu menjalankan peran sebagai ayah meskipun sedang sakit.

3. Gangguan pola tidur


Tujuan :
 Klien mampu mengenal masalah pola tidur
 Klien mampu melakukan upaya mengatasi gangguan pola tidur
 Klien mampu beristirahat secara teratur
 Tindakan :
a. Menjelaskan tanda dan gejala, penyebab dan akibat gangguan
pola tidur
b. Mengidentifikasi tanda dan gejala, penyebab dan akibat
gangguan pola tidur
c. Menjelaskan masalah gangguan tidur kepada klien
d. Menjelaskan dan melatih klien mengatasi gangguan pola tidur
e. Mengidentifikasi kemampuan klien dalam upaya mengatasi
gangguan pola tidur
f. Mendiskusikan upaya mengatasi gangguan pola tidur
g. Melatih klien relaksasi untuk mengatasi gangguan pola tidur dan
memasukan kegiatannya dalam jadwal kegiatan harian
h. Menganjurkan klien istirahat secara teratur

C. Evaluasi
Pada tinjauan teoritis evaluasi yang diharapkan adalah :
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengenali dan mengekspresikan emosinya
c. Mampu mengenal ansietas
d. Mampu mengatasi ansietas melalui teknik releksasi progesif
e. Mampu mengatasi ansietas dengan terapi relaksasi autogenitik
DAFTAR PUSTAKA

1. Ada, A. D. (2018). Standards Of Medical Care In Diabetes 2017. (Hal. 41).


Usa: Ada

2. .Aru, W. Sudoyo,(2017). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1 Edisi


Empat.Jakarta : Balai Penerbitan Fk-Ui.

3. Bulechek, G. M . 2018 Nursing Interventions Classification (Terjemahan).


Indonesia : Elsevier Inc

4. Cameeron.(2015). Prinsip-Prinsip Penyakit Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara.

5. Ernawati, D . 2016 .Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Psikososial.


Jakarta: Trans Info Media

6. Hulu, E. K., & Pardede, J. A. (2016). Dukungan Keluarga Dengan Tingkat


Kecemasan Pasien Pre Operatif Di Rumah Sakit Sari Mutiara Medan.
Jurnal Keperawatan, 2(1), 12.

7. Pardede, J. A. (2020). Konsep Ketidakberdayaan.

8. Kusumawati & Hartono. 2019. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Malang :


Salemba Medika Moorhead, S. 2016. Nursing Outcomes Classification
(Terjemahan). Indonesia : Elsevier Inc

9. Mansjoer, Arief.(2016). Kapita Selekta Kedokteran; Jilid 1, Edisi


Ketiga.Jakarta : Media Aesculapius. Halaman 512.

10. Microsoft Encantta Reference Library.( 2017 ). Liver, Amebiasis Abses And
Calf Diphteria/ Fusa Bakteriun Necrosphorum.

11. Pardede, J. A., Hulu, D. E. S. P., & Sirait, A. (2021). Tingkat Kecemasan
Menurun Setelah Diberikan Terapi Hipnotis Lima Jari pada Pasien
Preoperatif. Jurnal Keperawatan, 13(1), 265-272.

12. Pardede, J. A., & Tarigan, I. (2020). The Anxiety Level of Mother Presectio
Caesar with Benson’s Relaxation Therapy. Jendela Nursing Journal (Jnj),
4(1), 20-28.https://doi.org/10.31983/jnj.v4i1.5801

13. Pardede, J. A., & Simangunsong, M. M. (2020). Family Support With The
Level of Preschool Children Anxiety in the Intravenous Installation. Jurnal
Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 8(3), 223-
234.

14. Riyadi & Purwanto. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Graha
Ilmu

15. Stuart. Gail. W, Keliat. Budi. Anna,& Pasaribu. Jesika.(2016). Keperawatan


Keseha111tan Jiwa : Indonesia : Elsever.

16. Pardede, J. A., Simanjuntak, G. V., & Waruwu, J. F. A. P. (2020). Penurunan


Tingkat Kecemasan Pasien HIV/AIDS melalui Terapi Hipnotis Lima Jari.
Coping: Community of Publishing in Nursing, 8, 85-90.

17. Sulastri, S., Trilianto, A. E., & Ermaneti, Y. (2019). Pengaruh Komunikasi
Terapeutik Perawat terhadap Tingkat Kecemasan pada Pasien Pre Operasi.
Jurnal Keperawatan Profesional, 7(1).
https://doi.org/10.33650/jkp.v7i1.503

18. Wahyuningsih, A. S., Saputro, H., & Kurniawan, P. (2021). Analisis Faktor
Kecemasan terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi Hernia di
Rumah Sakit. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional
Indonesia, 9(3), 613-620.

19. Sumoked, A., Wowiling, F., & Rompas, S. (2019). Hubungan Mekanisme
Koping Dengan Kecemasan Pada Mahasiswa Semester Iii Program Studi
Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Yang Akan Mengikuti Praktek
Klinik Keperawatan. Jurnal Keperawatan, 7(1).

20. Pardede, J. A., Keliat, B. A., Damanik, R. K., & Gulo, A. R. B. (2020).
Optimalization of Coping Nurses to Overcoming Anxiety in the Pandemic of
Covid-19 in Era New Normal. Jurnal Peduli Masyarakat, 2(3), 105-
112.http://dx.doi.org/10.31000/jkft.v4i2.2504

21. Cory'ah, F. A. N., & Wahyuni, I. G. A. P. S. (2019). Hubungan Sindrom


Menopause Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Menopause Diwilayah Kerja
Puskesmas Ubung Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2018. Jurnal
Kebidanan Akademi Kebidanan Jember, 3(1), 8-16.

22. Hayat, A. (2017). Kecemasan dan metode pengendaliannya. Khazanah:


Jurnal Studi Islam Dan Humaniora, 12(1).

23. Pardede, J., Simanjuntak, G. V., & Manalu, N. (2020). Effectiveness of deep
breath relaxation and lavender aromatherapy against preoperative patient
anxiety. Diversity and Equality in Health and Care, 17(4), 168-173. doi:
10.36648/206 9-5471.17.4.209
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI DI RUMAH SAKIT
ISLAMSURABAYA JEMURSARI

Atik Rahayu 1120022156

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
Konsep Teori
1. Pengertian Defisit perawatan diri
Menurut Dermawan & Rusdi (2013), Perawatan diri merupakan kemampuan dasar
individu untuk memenuhi kebutuhannya dalam mempertahankan kehidupan,
kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kesehatannya. Individu atau klien dapat di
nyatakan terganggu pada perawatan diri nya jika tidak dapat melakukan perawatan
diri secara mandiri.
Defisit perawatan diri merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada
pasien dengan gangguan jiwa, dimana halusinasi sering diidentikkan dengan
skizofrenia. Klien dengan Scizofrenia yang mengalami Defisit perawatan diri, apabila
tidak mendapatkan intervesi keperawatan seperti mandi, berdandan, makan/minum,
dan mengajarkan klien BAB/BAK dapat beresiko tinggi mengalami isolasi sosial dan
harga diri rendah (Novita 2016).
Dengan kata lain defisit perawatan merupakan ketidakmampuan klien dalam
menyelesaikan kegiatan sehari-hari seperti menjaga kebersihan diri, makan,
berdandan, serta memenuhi kebutuhan eliminasinya secara mandiri, bila tidak
ditangani dengan baik, klien beresiko mengalami perilaku isolasi sosial dan harga diri
rendah yang berakibat memburuknya kondisi klien.
2. Rentang Respon Menurut Dermawan (2013) dalam (Saputra, 2017),adapun rentang
respon defisit perawatan diri sebagai berikut :
a. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk
berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien
masih melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor kadang –
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
c. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa
melakukan perawatan saat stresor.
3. Etiologi Menurut Tarwoto dan Wartonah dalam Dermawan dan Rusdi (2013),
penyebab kurang perawatan diri adalah sebagai berikut : a) Kelelahan fisik b)
Penurunan kesadaran Penyebab dari kurangnya perawatan diri menurut Depkes dalam
Dermawan & Rusdi (2013) adalah sebagai berikut:
1) Faktor predisposisi
a) Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan
diri
3) Kemampuan realistis turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realistis yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk keperawatan
diri
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan keperawatan diri lingkungannya.
Situsi lingkungan mempengaruhi latihan termasuk keperawatan diri
b) Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasideficit keperawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakankognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebakan individu kurang mampun melakukan
perawatan diri. Menurut Depkes (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah:
1) Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri,
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
2) Praktik sosial
Pada anak anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan
terjadi perubahan personal gygiene
3) Ststus sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat
gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik
dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes
melitus. Ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya
Sebagian manyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang
Adsa kebiasaan seseorang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan
diri seperti penggunaan sabun, shampoo dll.
7) Kondisi fisik atau psikis.
Pada keadaan tertentu/ sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya.
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene
a) Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering
terjadi adalah : gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut,
infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
b) Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga
diri, aktualisasi diri, dan gangguan interaksi sosial.
1. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri
Menurut Nurjannah (2004, dalam Dermawan (2013) Jenis-jenis defisit perawatan
diri terdiri dari:
a) Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktivitas mandi / kebersihan diri.
b) Kurang perawatan diri : mengenakan pakaian / berhias
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan
memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
c) Kurang perawatan diri : makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk menunjukkan
aktivitas makan.
d) Kurang perawatan diri : toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
atau menyelesaikan. (Azizah, 2016).
2. Manifestasi Klinis Defisit Perawatan Diri
Menurut Fitria (2009) tanda dan gejala adalah sebagai berikut: Mandi
(ketidakmampuan membersihkan badan,mengeringkan). Berpakaian
(Ketidakmampuan melepas,mengambil pakaian). Menurut Herman (2011)tanda
gejala defisit perawatan diri ialah: Makan (Ketidakmampuan mengunyah ,menelan,
mengambil makan). Eliminas (ketidakmampuan duduk,berdiri,menyiram jamban)
Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013) tanda dan gejala klien dengan
defisit perawatan diri adalah :
a) Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor.
2) Rambut dan kulit kotor.
3) Kuku panjang dan kotor.
4) Gigi kotor disertai mulut bau.
5) Penampilan tidak rapi.
b) Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif.
2) Menarik diri, isolasi diri.
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c) Sosial
1) Interaksi kurang.
2) Kegiataan kurang.
3) Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
4) Cara makan tidak teratur, BAK dan BAB di sembaraang tempat, gosok gigi dan
mandi tidak mampu mandiri
.Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah :
a) Data subyektif
1) Pasien merasa lemah.
2) Malas untuk beraktivitas.
3) Merasa tidak berdaya.
b) Data obyektif
1) Rambut kotor, acak-acakan.
2) Badan dan pakaian kotor dan bau.
3) Mulut dan gigi bau.
4) Kulit kusam dan kotor.
5) Kuku panjang dan tidak terawat. (Azizah, 2016)
3. Mekanisme Koping Defisit Perawatan Diri
a) Regresi
b) Penyangkalan
c) Isolasi diri, menarik diri
d) Intelektualisasi
e) Pohon Masalah Defisit Perawatan Diri
Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri

Isolasi Sosial

Defisit perawatan diri : mandi, toileting, makan, berhias.


(Azizah, 2016)
A. Rencana Asuhan Keperawatan Jiwa pada Pasien Defisit Perawatan Diri
1. Pengkajian
a) Identitas
Biasanya identitas terdiri dari: nama klien, umur, jenis kelamin, alamat, agama,
pekerjaan, tanggal masuk, alasan masuk, nomor rekam medik, keluarga yang dapat
dihubungi.
b) Alasan Masuk
Biasanya apa yang menyebabkan pasien atau keluarga datang, atau dirawat
dirumah sakit. Biasanya masalah yang di alami pasien yaitu senang menyendiri,
tidak mau banyak berbicara dengan orang lain, terlihat murung, penampilan acak-
acakan, tidak peduli dengan diri sendiri dan mulai mengganggu orang lain.
c) Faktor Predisposisi.
Pada pasien yang mengalami defisit perawatan diri ditemukan adanya faktor
herediter mengalami gangguan jiwa, adanyapenyakit fisik dan mental yang diderita
pasien sehingga menyebabkan pasien tidak mampu melakukan perawatan diri.
Ditemukan adanya faktor perkembangan dimana keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan pasien sehingga perkembangan inisiatif terganggu, menurunnya
kemampuan realitas sehingga menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan
lingkungan termasuk perawatan diri serta didapatkan kurangnya dukungan dan
situasi lingkungan yang mempengaruhi kemampuan dalam perawatan diri.
d) Pemeriksaan Fisik
Biasanya pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tandatanda vital
(TTV), pemeriksaan secara keseluruhan tubuh yaitu pemeriksaan head to toe yang
biasanya penampilan klien yang kotor dan acak-acakan.
e) Psikososial
1) Genogram
Biasanya menggambarkan pasien dengan anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa, dilihat dari pola komunikasi, pengambilan keputusan dan pola
asuh.
f) Konsep diri
1) Citra tubuh
Biasanya persepsi pasien tentang tubuhnya, bagian tubuh yang disukai, reaksi
pasien terhadap bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai.
2) Identitas diri
Biasanya dikaji status dan posisi pasien sebelum pasien dirawat, kepuasan
pasien terhadap status dan posisinya, kepuasan pasien sebagai laki-laki atau
perempuan , keunikan yang dimiliki sesuai dengan jenis kelamin dan
posisinnya.
3) Peran diri
Biasanya meliputi tugas atau peran pasien dalam keluarga/pekerjaan/
kelompok/ masyarakat, kemampuan pasien dalam melaksanakan fungsi atau
perannya, perubahan yang terjadi saat pasien sakit dan dirawat, bagaimana
perasaan pasien akibat perubahan tersebut.
4) Ideal diri
Biasanya berisi harapan pasien terhadap kedaan tubuh yang ideal, posisi, tugas,
peran dalam keluarga, pekerjaan atau sekolah, harapan pasien terhadap
lingkungan sekitar, serta harapan pasien terhadap penyakitnya.
5) Harga diri
Biasanya mengkaji tentang hubungan pasien dengan orang lain sesuai dengan
kondisi, dampak pada pasien berubungan dengan orang lain, fungsi peran tidak
sesuai harapan, penilaian pasien terhadap pandangan atau penghargaan orang
lain.
6) Hubungan sosial
Biasanya hubungan pasien dengan orang lain sangat terganggu karena
penampilan pasien yang kotor sehingga orang sekitar menghindari pasien.
Adanya hambatan dalam behubungan dengan orang lain, minat berinteraksi
dengan orang lain.
g) Spiritual
1) Nilai dan keyakinan
Biasanya nilai dan keyakinan terhadap agama pasien terganggu karna tidak
menghirauan lagi dirinya.
2) Kegiatan ibadah
Biasanya kegiatan ibadah pasien tidak dilakukan ketika pasien menglami
gangguan jiwa.
h) Status mental
1) Penampilan
Biasanya penampilan pasien sangat tidak rapi, tidak tahu cara berpakaian, dan
penggunaan pakaian tidak sesuai.
2) Cara bicara/ pembicaraan
cara bicara pasien lambat, gagap, sering terhenti/bloking, apatisserta tidak
mampu memulai pembicaraan.
3) Aktivitas motoric
Biasanya klien tampak lesu, gelisah, tremor dan kompulsif.
4) Alam perasaan
Biasanya keadaan pasien tampak sedih, putus asa, merasa tidak berdaya, rendah
diri dan merasa dihina.
5) Afek
Biasanya afek pasien tampak datar, tumpul, emosi pasien berubah-ubah,
kesepian, apatis, depresi/sedih dan cemas.
6) Interaksi selama wawancara
Biasanya respon pasien saat wawancara tidak kooperatif, mudah tersinggung,
kontak kurang serta curiga yang menunjukan sikap atau peran tidak percaya
kepada pewawancara atau orang lain.
7) Persepsi
Biasanya pasien berhalusinasi tentang ketakutan terhadap hal-hal kebersihan
diri baik halusinasi pendengaran, penglihatan serta halusinasi perabaan yang
membuat pasien tidak mau membersihkan diri dan pasien mengalami
depersonalisasi.
8) Proses piker
Biasanya bentuk pikir pasien otistik, dereistik, sirkumtansial, kadang tangensial,
kehilangan asosiasi,pembicaraan meloncat dari topik satu ke topik lainnya dan
kadang pembicaraan berhenti tiba-tiba.
i) Kebutuhan pasien pulang
1) Makan
Biasanya pasien kurang makan, cara makan pasien terganggu serta pasien tidak
memiliki kemampuan menyiapkan dan membersihkan alat makan.
2) Berpakaian
Biasanya pasien tidak mau mengganti pakaian, tidak bisa menggunakan pakaian
yang sesuai dan tidak bisa berdandan.
3) Mandi
Biasanya pasien jarang mandi, tidak tahu cara mandi, tidak gosok gigi, tidak
mencuci rambut, tidak menggunting kuku, tubuh pasien tampak kusam dan
badan pasien mengeluarkan aroma bau.
4) BAB/BAK
Biasanya pasien BAB/BAK tidak pada tempatnya seperti di tempat tidur dan
pasien tidak bisa membersihkan WC setelah BAB/BAK.
5) Istirahat
Biasanya istirahat pasien terganggu dan tidak melakukan aktivitas apapun
setelah bangun tidur.
6) Penggunaan obat
Apabila pasien mendapat obat, biasanya pasien minum obat tidak teratur.
7) Aktivitas dalam rumah
Biasanya pasien tidak mampu melakukan semua aktivitas di dalam maupun
diluar rumah karena pasien selalu merasa malas.
j) Mekanisme koping
1) Adaptif
Biasanya pasien tidak mau berbicara dengan orang lain, tidak bisa menyelesikan
masalah yang ada, pasien tidak mampu berolahraga karena pasien selalu malas.
2) Maladaptif
Biasanya pasien bereaksi sangat lambat atau kadang berlebihan, pasien tidak
mau bekerja sama sekali, selalu menghindari orang lain.
3) Masalah psikososial dan lingkungan
Biasanya pasien mengalami masalah psikososial seperti berinteraksi dengan
orang lain dan lingkungan. Biasanya disebabkan oleh kurangnya dukungan dari
keluarga, pendidikan yang kurang, masalah dengan sosial ekonomi dan
pelayanan kesehatan.
4) Pengetahuan
Biasanya pasien defisit perawatan diri terkadang mengalami gangguan kognitif
sehingga tidak mampu mengambil keputusan.
k) Sumber Koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi
seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggunakan
sumber koping yang ada di lingkungannya. Sumber koping tersebut dijadikan
sebagai modal untuk menyelesaikan masalah..

2. Diagnosa
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan defisit perawatan
diri menurut Fitria (2012), adalah sebagai berikut:
a) Defisit perawatan diri
b) Harga diri rendah
c) Isolasi sosial
3. Intervensi
Diagnosa Perencanaan
keperawatan Tujuan (TUK/TUM) Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional
Defisit TUM : Pasien menunjukkan Bina Hubungan Saling Percaya Kepercayaan dari pasien
perawatan diri: Pasien dapat tanda-tanda dapat dengan prinsip berkomunikasi merupakan hal yang
Kebersihan diri, memelihara atau membina hubungan terapeutik, yaitu : akan memudah perawat
berdandan, merawat kebersihan saling percaya dengan 1.1 Sapa pasien dengan ramah dalam melakukan
makan, sendiri secara mandiri perawat, yaitu : baik verbal maupun pendekatan keperawatan
BAK/BAB 1. Ekspresi wajah nonverbal atau intervensi
SP 1 : bersahabat 1.2 Perkenalkan diri dengan selanjutnya terhadap
Pasien dapat membina 2. Pasien menunjukkan sopan pasien.
hubungan saling rasa senang 1.3 Tanyakan nama lengkap
percaya 3. Pasien bersedia pasien dan nama panggilan
berjabat tangan 1.4 Jelaskan tujuan pertemuan
4. Pasien bersedia 1.5 Jujur dan menepati janji
menyebutkan nama 1.6 Tunjukkan sikap empati dan
5. Ada kontak mata menerima pasien apa
6. Pasien bersedia duduk adanya
berdampingan dengan 1.7 Beri perhatian pada
perawat pemenuhan kebutuhan dasar
7. Pasien bersedia pasien
mengutarakan masalah
yang dihadapinya
SP 2 : Kriteria evaluasi : Melatih pasien cara-cara Pengetahuan tentang
Pasien mampu Pasien dengan aman perawatan diri dengan cara : pentingnya perawatan
melakukan kebersihan melakukan (kemampuan 2.1 Menjelaskan pentingnya diri dapat meningkatkan
diri secara mandiri maksimum) aktivitas kebersihan diri motivasi pasien
perawatan diri secara 2.2 Menjelaskan alat-alat untuk
mandiri menjaga kebersihan diri Menyiapkan untuk
2.3 Menjelaskan cara-cara meningkatkan
melakukan kebersihan diri kemandirian
2.4 Melatih pasien Bimbingan perawat akan
mempraktikan cara menjaga mempermudah pasien
kebersihan diri melakukan perawatan
diri secara mandiri
SP 3 : Kriteria evaluasi : 3.1 Melatih pasien berdandan, Membiasakan diri untuk
Pasien mampu Pasien dengan aman dengan rincian : melakukan perawatan
melakukan tindakan melakukan (kemampuan a. Untuk pasien laki-laki, diri sendiri
perawatan, berupa maksimum) atau latihan meliputi :
berhias atau berdandan mempertahankan berpakaian, menyikat
secara baik aktivitas perawatan diri rambut, bercukur
berupa berhias dan b. Untuk pasien wanita,
berdandan. Pasien latihan meliputi :
berusaha untuk berpakaian, menyisir
memelihara kebersihan rambut, berhias
diri, seperti mandi pakai 3.2 Memantau kemampuan
sabun dan disiram pasien dalam berpakaian
dengan air sampai bersih, dan berhias
mengganti pakaian bersih 3.3 Memonitor atau
sehari-hari, dan mengidentifikasi adanya
merapikan penampilan kemunduran sensori,
kognitif, dan psikomotor
yang menyebabkan pasien
mempunyai kesulitan dalam
berpakaian dan berhias
3.4 Diskusikan dengan pasien
kemungkinan adanya
hambatan dalam berpakaian
dan berhias
3.5 Menggunakan komunikasi /
intruksi yang mudah
dimengerti pasien untuk
mengakomodasi
keterbatasan kognitif pasien
SP 4 : Kriteria evaluasi : a. Memantau kemampuan Identifikasi mengenai
Pasien mampu Kebutuhan personl pasien makan penyebab pasien tidak
melakukan kegiatan hygiene pasien terpenuhi. b. Identifikasi Bersama pasien mau makan menentukan
makan dengan baik Pasien mampu faktor-faktor penyebab intervensi perawat
melakukan kegiatan pasien tidak mau makan selanjutnya.
makan secara mandiri c. Identifikasi adanya
dan tepat dengan hambatan makan Pengetahuan tentang
mengungkapkan a. Fisik : kelemahan, pentingnya perawatan
kepuasan makan isolasi, keterbatasan diri meningkatkan
extremitas, dll motivasi.
b. Emosi : depresi,
penurunan nafsu makan Pasien mungkin
c. Intelektual : curiga kesulitan dalam
d. Sosial : curiga mempersiapkan,
e. Spiritual : adanya mengambil makanan
waham sendiri, dan merapikan
d. Diskusikan dengan pasien peralatan.
akibat kurang / tidak mau
makan Menambah wawasan
e. Diskusikan dengan pasien pasien tentang personal
fungsi makanan bagi hygiene : makan
kesehatan
f. Menjelaskan cara Penguatan
mempersiapkan makan (reinforcement) dapat
kepada pasien meningkatkan motivasi
g. Menjelaskan tentang pasien.
personal hygiene tentang
pola makan
SP 5 : Kriteria evaluasi : a. Mengkaji budaya pasien Mengetahui kebiasaan
Mampu melakukan Pasien dapat ketika mempromosikan pasien dalam toileting
BAK/BAB secara melaksanakan perawatan aktivitas perawatan diri dapat membantu perawat
mandiri diri secara mandiri dalam b. Bantu pasien ke toilet melakukan intervensi
hal BAB/BAK seperti : c. Berikan pengetahuan selanjutnya.
a. Mampu duduk dan tentang personal hygiene
turun dari toilet dalam kaitannya dengan Hambatan mobilitas
b. Mampu toileting menyebabkan tidak
membersihkan diri d. Menjelaskan tempat mampu melakukan
setelah eleminasi BAB/BAK yang sesuai perawatan diri secara
secara e. Menjelaskan cara mandiri.
mandiri/dibantu membersihkan diri setelah
BAB/BAK Mengetahui pentingnya
f. Menjelaskan cara personal hygiene bagi
membersihkn tempat pasien.
BAB/BAK
Memberikan
kesempatan kepada
keluarga untuk
membantu pasien.
SP 6 : Kriteria evaluasi : 6.1 Diskusikan dengan keluarga Memberikan
Keluarga mampu Keluarga dapat tentang fasilitas kebersihan kesempatan kepada
merawat anggota mengetahui defisit diri yang dibutuhkan oleh keluarga untuk
keluarganya yang perawatan diri pasien dan pasien untuk menjaga membantu pasien dan
mengalami masalah cara memberikan perawatan diri pasien memberi motivasi.
kurang perawatan diri dukungan dalam 6.2 Anjurkan keluarga untuk
memberikan pada pasien terlibat dalam merawat diri Keluarga sebagai system
dalam melakukan pasien dan membantu pendukung berperan
perawatan diri. mengingatkan pasien dalam penting dalam
merawat diri (sesuai dengan membantu pasien.
yang disepakati)
6.3 Anjurkan keluarga untuk
memberikan pujian atas
keberhasilan pasien dalam
merawat diri

4. Implementasi
Perilaku Kekerasan
Implementasi pada Pasien Implementasi pada Keluarga
SP 1 SP 1
a. Mengidentifikasi penyebab defisit perawatan diri a. Mendisukusikan masalah yang rasakan keluarga dalam
b. Mengidentifikasi tanda dan gejala defisit perawatan diri merawat pasien.
c. Mengidentifikasi akibat defisit perawatan diri b. Mendiskusikan dengan keluarga tentang fasilitas
d. Mengidentifikasi cara menangani defisir perawatn diri kebersihan diri yang dibutuhkan oleh pasien untuk menjaga
SP 2 perawatan diri pasien
a. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri c. Menganjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri
b. Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri pasien dan membantu mengingatkan pasien dalam merawat
c. Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri diri (sesuai dengan yang disepakati)
d. Melatih pasien mempraktikan cara menjaga kebersihan diri d. Menganjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas
keberhasilan pasien dalam merawat diri
SP 3 mengakomodasi keterbatasan kognitif pasien
Melatih pasien berdandan
a. Memantau kemampuan pasien dalam berpakaian dan
berhias
b. Memonitor atau mengidentifikasi adanya kemunduran
sensori, kognitif, dan psikomotor yang menyebabkan
pasien mempunyai kesulitan dalam berpakaian dan berhias
c. Diskusikan dengan pasien kemungkinan adanya hambatan
dalam berpakaian dan berhias
d. Menggunakan komunikasi / intruksi yang mudah
dimengerti pasien untuk
SP 4
a. Memantau kemampuan pasien makan
b. Identifikasi Bersama pasien faktor-faktor penyebab pasien
tidak mau makan
c. Identifikasi adanya hambatan makan
d. Diskusikan dengan pasien akibat kurang / tidak mau
makan
e. Diskusikan dengan pasien fungsi makanan bagi kesehatan
f. Menjelaskan cara mempersiapkan makan kepada pasien
g. Menjelaskan tentang personal hygiene tentang pola makan

SP 5
a. Mengkaji budaya pasien ketika mempromosikan aktivitas
perawatan diri
b. Bantu pasien ke toilet
c. Berikan pengetahuan tentang personal hygiene dalam
kaitannya dengan toileting
d. Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
e. Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB/BAK
f. Menjelaskan cara membersihkn tempat BAB/BAK
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ada ua macam yaitu:
a. Evaluasi proses atau evaluasi formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan
tindakan
b. Evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respon
pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan

Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP yaitu sebagai berikut:


S : respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
O : respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksakan
A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang kontradiksi
terhadap masalah yang ada
P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respon pasien
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Nasir, Muhit. (2015) Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa Pengantar Dan Teori. Jakarta :
Salemba Medika.

Ambarwati, F.R.,Nasution, N. (2012). Buku pintar asuhan keperawatan kesehatan


jiwa. Yogyakarta: Cakrawala Ilmu.

Azizah, L M, dkk. 2016.Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik
Klinik. Yogyakarta : Indonesia Pustaka

Dermawan, Deden dan Rusdi. 2013. Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Gosyan Publishing.

Gloria Bulecheck, Howard Butcher, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC).
Singapore : Elsevier Global Rights.
Nur Laili, Desy. 2014. Pengaruh Aktivitas Mandiri: Personal Hygiene Terhadap Kemandirian
Pasien Defisit Perawatan Diri Pada Pasien Gangguan Jiwa. Semarang : Jurnal
Keperawatan dan Kebidanan

Pinedendi, Novita dkk. 2016. Pengaruh Penerapan Asuhan Keperawatan Defisit Perawatan
Diri Terhadap Kemandirian Personal Hygiene Pada Pasien Di Rsj. Prof. V. L.
Ratumbuysang Manado Tahun 2016 . Manado : e-Journal Keperawatan (e-Kp)
Volume 4 Nomor 2

Sue Moorhead, Marion Johnson, dkk. 2016. Nursing Outcome Classification (NOC).
Singapore : Elsevier Global Rights.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN HALUSINASI
DI RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA JEMURSARI

Atik Rahayu 1120022156

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS
NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
Konsep Dasar Halusinasi
A. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh
pasien gangguan jiwa, klien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpastimulus nyata. (Keliat, 2014).
Halusinasi pendengaran paling seringterjadi ketika klien mendengar suara-
suara, halusinasi ini sudah melebur dan pasien merasa sangat ketakutan, panik
dan tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan yang dialaminya
(Titania,& Maula 2020).

B. Klasifikasi Halusinasi
Menurut (Yusuf, 2015) klasifikasi halusinasi dibagi menjadi 5 yaitu :

No Jenis Data Objektif Data Subjektif


halusinasi
1 Halusinasi 1. Bicara atau 1. Mendengar suara
Pendengaran tertawa sendiri atau kegaduhan
tanpa lawan 2. Mendengar suara
bicara yang mengajak
2. Marah-marah bercakap-cakap
tanpa sebab 3. Mendengar suara
mencondongkan yang menyuruh
telinga ke arah melakukan sesuatu
tertentu yang berbahaya
3. Menutup telinga
2 Halusinasi 1. Menunjuk- 1. Melihat bayangan,
nunjuk ke arah
penglihatan sinar, bentuk
tertentu
geometris, bentuk
2. Ketakutan pada
kartun, melihat
objek yang tidak
hantu atau monster
jelas

3 Halusinasi 1. Menghindu 1. Membaui bau-bauan


penghindu seperti sedang seperti bau darah,
membaui bau- urine, feses,
bauan tertentu 2. kadang-kadang bau
2. Menutup hidung itu menyenangkan
4 Halusinasi 1. Sering meludah 1. Merasakan rasa
pengecepan 2. Muntah seperti darah, urine,
feses
5 Halusinasi Menggaruk-garuk 1. Mengatakan ada
perabaan permukaan kulit serangga di
permukaan kulit
2. Merasa seperti
tersengat listrik

C. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadappasien serta
ungkapan pasien menurut (Oktiviani, 2020) :
1. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
2. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
3. Gerakan mata cepat
4. Menutup telinga
5. Respon verbal lambat atau diam
6. Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan
7. Terlihat bicara sendiri
8. Menggerakkan bola mata dengan cepat
9. Bergerak seperti membuang atau mengambil sesuatu
10. Duduk terpaku, memandang sesuatu, tiba-tiba berlari keruangan lain
11.Disorientasi (waktu, tempat, orang)
12. Perubahan kemampuan dan memecahkan masalah
13. Perubahan perilaku dan pola komunikasi
14.Gelisah, ketakutan, ansietas
15. Peka rangsang
16. Melaporkan adanya halusinasi

D. Etiologi
Faktor predisposisi klien halusinasi menurut (Oktiviani, 2020) :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidakmampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan.
c. Biologis
d. Faktor biologis Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan
jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam
tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogen
neurokimia.Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya
neurotransmitter otak.
e. Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambilkeputusan yang tepat demi
masa depannya, klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam khayal.
f. Sosial Budaya

Meliputi klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan


comforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata
sangat membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah
ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial,
kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu
sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra
untuk menghadapinya. Seperti adanya rangsangan dari lingkungan,
misalnya partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak
komunikasi, objek yang ada di lingkungan dan juga suasana sepi atau
terisolasi, sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat
meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan
zat halusinogenik. Penyebab Halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi
(Oktiviani, 2020) yaitu :
a. Dimensi fisik: Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi
fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaaan obat- obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk
tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi Emosional: Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar
problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi
itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan
menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintahtersebut
hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap
ketakutan tersebut.

c. Dimensi Intelektual: Dalam dimensi intelektual ini menerangkan


bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha
dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat
mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
d. Dimensi Sosial: Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal
dan comforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di
alam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan
Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang
tidak didapatkan dakam dunia nyata.
e. Dimensi Spiritual: Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan
kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas
ibadah dan jarang berupaya secara sepiritual untuk menyucikan
diri. Saat bangun tidur klien merasa hampa dan tidak jelas tujuan
hidupnya. Individu sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya
menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang
menyebabkan takdirnya memburuk.

Adaptif Mal Adaptif

Pikiran logis Persepsi Distorsi pikiran Gangguan


akurat emosi kosisten (pikiran kotor) Ilusi pikir/delusi
dengan pengalaman Reaksi emosi Halusinasi Perilaku
perilaku sesuai berlebih atau disorganisasi
hubungan social kurang perilaku Isolasi sosial
aneh dan tidak bisa
menarik diri

1. Respon Adaptif
Respon adaptif respon yang dapat diterima oleh norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut

dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat


memecahkan masalah tersebut, respon adaftif :
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
b. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang
timbul dari pengalaman
c. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran.
d. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang
lain dan lingkungan.

2. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi:
a. Kelainan pikiran adalah keyakianan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertetangan dengan kenyataan sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul
dari hati.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh
individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan
sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.

E. Fase Halusinasi
Halusinasi terbagi atas beberapa fase (Oktiviani, 2020):
a. Fase Pertama / Sleep disorder
Pada fase ini klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari
lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah.
Masalah makin terasa sulit karna berbagai stressor terakumulasi, misalnya
kekasih hamil, terlibat narkoba, dikhianati kekasih, masalah dikampus,
drop out, dst. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan
support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit
tidur berlangsung trus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien
menganggap lamunanlamunan awal tersebut sebagai pemecah masalah
b. Fase Kedua / Comforting
Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan
cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan, dan mencoba
memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia
beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat dia
kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada
kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinasinya
c. Fase Ketiga / Condemning
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami
bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan
mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang
dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain, dengan
intensitas waktu yang lama.
d. Fase Keempat / Controlling Severe Level of Anxiety
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang
datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya
berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan psikotik.
e. Fase ke lima / Conquering Panic Level of Anxiety
Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai terasa terancam
dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat
menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari
halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama minimal
empat jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi
terapeutik, terjadi gangguan psikotik berat.

F. Penatalaksanaan Medis
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada
gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun
tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi (Pardede, Keliat,
& Wardani, 2013) yaitu :
1. Psikofarmakologis
Obat sangat penting dalam pengobatan skizofrenia, karena obat dapat
membantu pasien skizofrenia untuk meminimalkan gejala perilaku
kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Sehingga pasien skizofrenia
harus patuh minum obat secara teratur dan maumengikuti perawatan.
a. Haloperidol (HLD)
Obat yang dianggap sangat efektif dalam pengelolaan hiperaktivitas,
gelisah, agresif, waham, dan halusinasi.
b. Chlorpromazine (CPZ)
Obat yang digunakan untuk gangguan psikosis yang terkait
skizofrenia dan gangguan perilaku yang tidak terkontrol

c. Trihexilpenidyl (THP)
Obat yang digunakan untuk mengobati semua jenis parkinsondan
pengendalian gejala ekstrapiramidal akibat terapi obat.

1. Dosis Obat

Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular. Clorpromazin 25-50


mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam sampai keadaan akut
teratasi. Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet
Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari. Klorpromazin 2x100 mg per
hari. Triheksifenidil 2x2 mg per hari.
Dalam keadaan fase kronis diberikan tablet
Haloperidol 2x0,5 – 1 mg perhari. Klorpromazin 1x50 mg sehari
(malam). Triheksifenidil 1-2x2 mg sehari.

2. Psikosomatik
Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy), yaitu suatu
terapi fisik atau suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang
grand mal secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui
elektroda yang dipasang pada satu atau dua templespada pelipis.
Jumlah tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang
bervariasi pada setiap pasien tergantung pada masalah pasien dan
respon terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan. Pada
pasien Skizofrenia biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya
diberikan 3 kali seminggu walaupun biasanya diberikan jarang atau
lebih sering. Indikasi penggunaan obat: penyakit depresi berat yang
tidak berespon terhadap obat,gangguan bipolar di mana pasien sudah
tidak berespon lagi terhadap obat dan pasien dengan bunuh diri akut
yang sudah lamatidak mendapatkan pertolongan.
3 Psikoterapi

Membutuhkan waktu yang relatif lama, upaya dalam psikoterapi ini


meliputi: memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan
lingkungan terapeutik, memotivasi klien untuk dapat
mengungkapkan perasaan secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan
jujur terhadap klien.
G. Komplikasi
Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa klien melakukan tindakan
perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah sehingga
rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan yang timbul
pada klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak berharga, takut
dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan menyingkir dari
hubungan interpersonal dengan orang lain,komplikasi yang dapat terjadi pada
klien dengan masalah utama gangguan sensori persepsi: halusinasi, antara lain:
resiko prilaku kekerasan, harga diri rendah dan isolasi sosial (Keliat, 2014).

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian Keperawatan
Menurut (Keliat, 2014). Bahwa faktor-faktor terjadinya halusinasimeliputi:
1. Faktor predisposisi
a. Faktor biologis
Pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang iadopsi
menunjukkan peran genetik pada chizophrenia. Kembar
identik yang dibesarkan secara terpisah mempunyai angka kejadian
Schizophrenia lebih tinggi dari pada saudara sekandung yang
dibesarkan secara terpisah.
b. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan mengakibatkan
stress dan kecemasan yang berakhir dengan gangguan orientasi
realita.
c. Faktor sosial budaya
Stress yang menumpuk awitan schizophrenia dan gangguan psikotik
lain, tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan.
2. Faktor presipitasi
a. Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis
maladaptif adalah gangguan dalam komunikasi dan putaran umpan
balik otak dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam
otak, yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus.

b. Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis
berinteraksi dengan stresor lingkungan untukmenentukan terjadinya
gangguan prilaku.

c. Stres sosial / budaya


Stres dan kecemasan akan meningkat apabila terjadi penurunan
stabilitas keluarga, terpisahnya dengan orang terpenting atau
disingkirkan dari kelompok.

d. Faktor psikologik
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah dapat menimbulkan
perkembangan gangguan sensori persepsi halusinasi.

e. Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respons
neurobiologis maladaptif meliputi : regresi, berhunbungan dengan
masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi ansietas, yang
menyisakan sedikit energi untuk aktivitas sehari-hari. Proyeksi,
sebagai upaya untuk menejlaskan kerancuan persepsi dan menarik
diri.

f. Sumber koping
Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman tentang
pengaruh gangguan otak pada perilaku. Orang tua harus secara aktif
mendidik anak–anak dan dewasa muda tentang keterampilan koping
karena mereka biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan.
Disumber keluarga dapat pengetahuan tentang penyakit, finensial
yang cukup, faktor ketersediaan waktu dan tenaga serta kemampuan
untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan.

g. Perilaku halusinasi
Batasan karakteristik halusinasi yaitu bicara teratawa sendiri,
bersikap seperti memdengar sesuatu, berhenti bicara ditengah –
tengah kalimat untuk mendengar sesuatu,disorientasi, pembicaraan
kacau dan merusak diri sendiri, orang lain serta lingkungan.
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA 2015-2017 yakni gangguan persepsi. Dengan faktor
berhubungan dan batasan karakteristik disesuaikan dengan keadaan yang
ditemukan pada tiap-tiap partisipan. Topik yang diteliti yakni kemampuan
mengontrol halusinasi dengar (Aji, 2019).

C. Perencanaan Keperawatan
Rencana tindakan pada keluarga (Husein,& Arifin,2011) adalah ;
1. Diskusikan masalah yang dihadap keluarga dalam merawat pasien
2. Berikan penjelasan meliputi : pengertian halusinasi, proses terjadinya halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi
3. Jelaskan dan latih cara merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi :
menghardik, minum obat, bercakap- cakap, melakukan aktivitas
4. Diskusikan cara menciptakan lingkungan yang dapat mencegah terjadinya halusinasi.
5. Diskusikan tanda dan gejala kekambuhan
6. Diskusikan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan terdekatuntuk follow up anggota
keluarga dengan halusinasi.
Rencana tindakan keperawatan pada klien dengan diagnosa gangguan persepsi
sensori halusinasi meliputi pemberian tindakan keperawatan berupa terapi (Sulah,
Pratiwi, & Teguh. 2016) yaitu :
1. Bantu klien mengenal halusinasinya meliputio isi, waktu terjadi halusinasi,
isi, frekuensi, perasaan saat terjadi halusinasi respon klien terhadap halusinasi
mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
2. meminum obat secara teratur
3. Melatih bercakap-cakap dengan orang lain
4. Menyusun kegiatan terjadwal dan dengan aktifitas.

E. Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi
nyata sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana, hal ini terjadi karena
perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan
tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang
sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah
rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai dengan kondisinya
(here and now). Perawat juga menilai diri sendiri, apakah kemampuan
interpersonal, intelektual, tekhnikal sesuai dengan tindakan yang akan
dilaksanakan, dinilai kembali apakah aman bagi klien. Setelah semuanya tidak
ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Adapun
pelaksanaan tindakan keperawatan jiwa dilakukan berdasarkan Strategi
Pelaksanaan (SP) yang sesuai dengan masing- masing masalah utama. Pada
masalah gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran, terdapat 2 jenis
SP, yaitu SP Klien dan SP Keluarga.SP klien terbagi menjadi SP 1 (membina
hubungan saling percaya, mengidentifikasi halusinasi “jenis, isi, waktu,
frekuensi, situasi, perasaan dan respon halusinasi”, mengajarkan cara
menghardik, memasukan cara menghardik ke dalam jadwal; SP 2
(mengevaluasi SP 1, mengajarkan cara minum obat secara teratur, memasukan
ke dalam jadwal); SP 3 (mengevaluasi SP 1 dan SP 2, menganjurkan klien
untuk mencari teman bicara); SP 4 (mengevaluasi SP 1, SP 2, dan SP 3,
melakukan kegiatan terjadwal).

SP keluarga terbagi menjadi SP 1 (membina hubungan saling percaya,


mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien,
menjelaskan pengertian, tanda dan gejala helusinasi, jenis halusinasi yang
dialami klien beserta proses terjadinya, menjelaskan cara merawat pasien
halusinasi); SP 2 (melatih keluargamempraktekan cara merawat pasien dengan
halusinasi, melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
halusinasi); SP 3 (membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planing), menjelaskan follow up pasien
setelah pulang). Pada saat akan dilaksanakan tindakan keperawatan maka
kontrak dengan klien dilaksanakan dengan menjelaskan apa yang akan
dikerjakan dan peran serta klien yang diharapkan, dokumentasikan semua
tindakan yang telah dilaksanakan serta respon klien.

F. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan
respon klien pada tujuan umum dan tujuan khusus yang telah
ditentukan.halusinasi pendengaran tidak terjadi perilaku kekerasan, klien dapat
membina hubungan saling percaya, klien dapat mengenal halusinasinya, klien
dapat mengontrol halusinasi dengar dari jangka waktu 4x24 jam didapatkan
data subjektif keluarga menyatakan senang karena sudah diajarkan teknik
mengontrol halusinasi, keluarga menyatakan pasien mampu melakukan
beberapa teknik mengontrol halusinasi. Data objektif pasien tampak berbicara
sendiri saat halusinasi itu datang, pasien dapat berbincang-bincang dengan
orang lain, pasien mampu melakukan aktivitas terjadwal, dan minum obat
secara teratur ( Aji, 2019 ).
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
DENGAN PASIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUMAH SAKIT ISLAM
SURABAYA JEMURSARI

Atik Rahayu 1120022156

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
Definisi Harga Diri Rendah

Menurut Keliat, 1998, Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah hati dan rendah diri yang berkepanjngan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri
sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal
karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri (Iyus Yosep, 2016). Harga diri
seseorang diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Gangguan harga diri rendah akan
terjadi jika kehilangan kasih sayang, perilaku orang lain yang mengancam dan hubungan
interpersonal yang buruk. Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi
sampai rendah. Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara
aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman.
Individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara negatif
menganggap sebagai ancaman dengan pendapat Barbara Kozier berikut: Level of self
esteem range from high to low. A person who has high self esteem deals actively with the
environment, adapts effectively to change, and feels secure. A person with low self esteem
sees the environment as negative and threatening (Driver dalam Barbara Kozier,
2003:845).

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti an rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri.
Adanya hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan
sesuai ideal diri.
Ganguan harga diri yang disebut sebagain harga diri rendah dapat terjadi secara:
(Mukhripah Damaiyanti, 2014)
a. Situasional, yaitu terjadi terutama yang tiba-tiba, misalnya harus operasi, kecelakaan,
dicerai suami atau istri, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu karena
sesuatu (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba).
b. Kronik, yaitu perasaan negative terhadap diri berlangsung lama, yaitu sebelum sakit
atau dirawat. Klien ini mempunyai cara yang berpikir yang negatif. Kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negative terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan
respon mal yang adaptif. Kondisi ini dapat ditemukan pada klien gangguan fisik yang
kronik atau pada klien gangguan jiwa.
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri.
Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai
keinginan sesuai dengan ideal diri.
Ganguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang. perlakuan orang lain
yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk. Harga diri meningkat bila
diperhatikan atau dicintai dan dihargai atau dibanggakan. Tingkat harga diri seseorang
berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Harga diri tinggi positif ditandai dengan
ansietas yang rendah, efektif dalam kelompok, dan diterima oleh orang lain. Individu yang
memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi
secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman, sedangkan individu yang
memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap
sebagai ancaman.
1. Upaya Yang Dapat Dilakukan
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan untuk melakukan
kegiatan pada pasien yang mengalami harga diri rendah adalah dengan terapi kreasi
seni menggambar yang merupakan salah satu bagian dari terapi lingkungan. Terapi
lingkungan berkaitan erat dengan stimulasi psikologis seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan fisik mampu psikologis seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan baik pada kondisi fisik maupun psikologis seseorang.
Berbagai jeneis terapi spesialis yang diberikan untuk pasien dengan harga diri
rendah kronis meliputi tiga kategori yaitu untuk individu, keluarga, dan kelompok
terapi spesialis imndividu yang dapat diberikan pada pasien dengan harga diri
rendah kronis adalah Cognitive Behaviour Therapy (CBT) atau terapi kognitif
perilaku dan Logotherapy. Terapi kelompok yang dapat diimplemaentasikan pada
pasien dengan harga diri rendah kronis adalah Supportive Therapy atau terapi
supportif dan Self Help Group (SHG) atau kelpmpok swabantu. Untuk keluarga
pasien, perawat spesialis jiwa dapat memberikan terapi spesialis Psikoedukasi
keluarga dan Triangle Therapy (Widianti et.al, 2017).
a. Terapi lingkungan dapat membantu pasien untuk mengembangkan rasa harga
diri, mengembangkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,
membantu mempercayai orang lain. Terapi lingkungan dapat dibagi menjadi 4
jenis yaitu terapi rekreasi, terapi kreasi seni, pettherapy dan plantherapy. Jenis
terapi lingkungan yang tepat diterapkan pada pasien harga diri rendah adalah
yang pertama terapi rekreasi, tujuan dari terapi tersebut adalah agar pasien
dapat melakukan kegiatan secara konstruktif dan menyenangkan, dan
mengembangkan kemampuan hubungan sosial, yang kedua adalah terpi kreasi
seni, dalam terapi kreasi seni terbagi menjadi empat bagian yaitu terapi
menari, atau dance, terapi musik, terapi menggambar atau melukis terapi
literatur atau biblio. Keempat jenis terapi ini membantu pasien untuk
mengkomunikasikan tentang perasaan-perasaan dan kebutuhankebutuhanya,
memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekpresikan tentang apa yang
terjadi dengan dirinya serta memberikan kesempatan pada pasien untuk
mengembangkan wawasan diri dan bagaimana mengekspresikan pikiran dan
perilaku sesuai dengan norma yang baik.
b. Terapi kreasi seni menggambarkan diterapkan karena ada anggapan dasar
bahwa pasien harga diri rendah akan dapat mengekspresikan perasaan melalui
terapi lingkungan seni menggambar dari dengan ekspresi verbal. Dengan
terapi kreasi seni menggambar perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan,
status emosional pasien dengan harga diri rendah, hipotesa diagnostiknya,
serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah pasien harga diri rendah
tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kegiatan pada
pasien yang mengalami harga diri rendah adalah dengan terapi kreasi seni
menggambar yang merupakan salah satu terapi lingkungan. Terapi kreasi seni
menggambar berkaitan erat dengan stimulasi psikologis seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan baik pada kondisi fisik maupun psiologis
seseorang.
c. Terapi kognitif diberikan dalam tiga sesi yaitu sesi: (Febriana et. al, 2016).
1) Identifikasi pikiran otomatis negati
2) Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negative
3) Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif
Pelaksanaan terapi kognitif menggunakan pendekatan interpersonal peplau
yang terdiri dari orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi. Pendekatan
peplau sangat dalam proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian
orientasi dan identifikasi, eksploitasi perencanaan dan implementasi,
resolisi atau evaluasi. Begitu juga dengan tahap komunikasi terapeutik
yang digunakan dalam terapi kognitif yaitu: orientasi, kerja dan terminasi.
Atas dasar kesesuaian tersebut menggunakan interpersonal peplau sebagai
kerangka penyelesaian masalah pasien harga diri rendah dengan terapi
kognitif (Mubin. 2016).
Adapun klasifikasi perilaku kekerasan menurut Muhith (2015), sebagai berikut:
a. Irritable aggression, merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan
marah. Biasanya diinduksi oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek pada
proses penerimaan dan memahami informasi dengan intensitas emosional yang
tinggi.
b. Instrumental aggression adalah suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat
untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya untuk mencapai suatu tujuan
politik tertentu dilakukan tindak kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan
terencana: seperti peristiwa penghancuran menara kembar WTC di new York,
tergolong dalam kekerasan instrumental)
c. Mass aggression adalah tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat
kehilangan individualitas dari masing-masing individu. (misalnya, bila ada
seseorang yang mempelopori tindakan kekerasan maka secara otomatis semua
akan ikut melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi, karena saling
membangkitkan).
Sedangkan menurut Yusuf (2015), ada beberapa perilaku yang harus dikenali dari
klien gangguan risiko perilaku kekerasan sebagai berikut:
a. Menyerang atau menghindari
Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat,
peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi,
kewaspadaan meningkat, disertai ketegangan otot seperti :rahang terkatup, tangan
mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif
Perilaku yangditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya,
yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku asertif merupakan cara terbaik
individu untuk mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara
fisik maupun psikologis. Dengan perilaku tersebut, individu juga dapat
mengembangkan diri
c. Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku
untuk menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan.
2. Etiologi
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang
dalam tinjaun life span history klien, penyebab terjadinya harga diri rendah adalah
pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat
individu mencapain masa remaja keberadaanya kurang dihargai, tidak diberi
kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah,
pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuanya. Menurut Stuart, 2016, faktor-
faktor yang mengakibatkan harga diri rendah kronik meliputi factor predisposisi dan
faktor presipitasi sebagai berkut:
a. Faktor Predisposisi, Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan
orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain,
dan ideal diri yang tidak realistis. Faktor yang mempengaruhi performa peran
adalah stereo type peran gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.
Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakkepercayaan orang
tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial.
b. Faktor Presipitasi, Menurut yosep, 2015. Faktor presipitasi terjadi haga diri
rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk
tubuh, kegagalan atau produktifitas yang menurun. Secara umum, ganguan
konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara stuasional atau kronik.
Secara situasional karena trauma yang muncul secara tiba-tiba, misalnya harus
dioperasi, kecelakaan, perkosaan atau dipenjara. Termasuk dirawat dirumah sakit
bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik atau
pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman. Harga diri rendah
kronik, biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah
memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat.
c. Perilaku, perilaku yang objektif dan dapat diamati serta perasaan subjektif dan
dunia dalam diri klien sendiri. Perilaku yang berhubungan dengan harga diri
rendah salah satunya mengkritik diri sendiri, sedangkan keracuan identitasseperti
sifat kepribadian yang bertentangan serta depersonalisasi Stuart, 2006.
3. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti 2018, tanda dan gejala harga diri rendah kronik adalah
sebagai berikut:
a. Mengkritik diri sendiri.
b. Perasaan tidak mampu.
c. Pandangan hidup yang pesimis.
d. Penurunan produktifitas
e. Penolakan terhadap kemampuan diri
4. Rentang Respon Harga Diri
Konsep diri merupakan aspek kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu
dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari
kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan.
Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu an sosial yang
maladaptive ( Stuart G.W, 2016)

a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
b. Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang apa yang ada
pada dirinya meliputi citra dirinya. Ideal dirinya harga dirinya, penampilan
peran serta identitas dirinya secara positif. Hal ini akan menunjukan bahwa
individu itu akan menjadi individu yang sukses.
c. Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya sendiri,
termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak, berguna, pesimis tidak
ada harapan dan putus asa. Adapun perilaku yang berhubungan dengan harga
diri yang rendah yaitu mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan
produktivitas, destruktif yang diarahkan kepada orang lain, ganguan dalam
berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif mengenai
tubuhnya sendiri, keluhan fisik, menarik diri secara sosial, khawatir, serta
menarik diri dari realitas.
d. Keracuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Adapun perilaku yang
berhubungan dengan keracuan identitas yaitu tidak ada kode moral, sifat
kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal eksploitatif, perasaan
hampa. Perasaan mengambang tentang diri sendiri, tingkat ansietas yang
tinggi, ketidak mampuan untuk empati terhadaapa orang lain.
e. Despersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis dimana klien
tidak dapat membedakan stimulus dari dalam atau luar dirinya. Individu
mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya sendiri dari orang lain, dan
tubuhnya sendiri merasa tidak nyata dan asing baginya.
5. Pohon Masalah Perilaku Kekerasan

Risiko mencederai diri sendiri, orang


lain, dan lingkungan

Perilaku kekerasan

Harga diri rendah

6. Mekanisme Koping Harga Diri Rendah


Mekanisme koping pasien harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi (2015)
adalah:
a. Jangka pendek
1) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis: pemakaian obat-
obatan, kerja keras, nonton TV terus menerus.
2) Kegiatan mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial, keagaman,
politik).
3) Kegiatan yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga kontes
popularitas).
4) Kegiatan mencoba menghilangkan identitas sementara (penyalahgunaan
obat).
b. Jangka panjang
1) Menutup identitas
2) Identitas negative, asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat.
7. Penatalaksanaan Perilaku Kekerasan
Strategi pelaksanaan tindakan dan komunikasi (SP/SK) merupakan suatu
metoda bimbingan dalam melaksanakan tindakan keperawatan yang berdasarkan
kebutuhan pasien dan mengacu pada standar dengan mengimplementasikan
komunikasi yang efektif. Penatalaksanaan harga diri rendah tindakan keperawatan
pada pasien menurut Suhron (2017) diantaranya:
1. Tujuan keperawatan: pasien mampu :
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
c. Menilai kemampuan yang dapat digunakan
d. Menetapkan atau memilih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
e. Merencanakan kegiatan yang telah dilatih
2. Tindakan keperawatan
a. Membina hubungan saling percaya dengan cara:
1) Ucapkan setiap kali berinteraksi dengan pasien
2) Perkenalkan diri dengan pasien
3) Tanyakan perasaan dan keluhan saat ini
4) Buat kontrak asuhan
5) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh
untuk kepentingan terapi
6) Tunjukkan sikap empati terhadap klien
7) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki
pasien:
1) Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif pasien
(buat daftar kegiatan)
2) Beri pujian yang realistik dan hindarkan memberikan penilaian yang
negatif setiap kali bertemu dengan pasien
c. Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
1) Bantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini (pilih dari
daftar kegiatan) : buat daftar kegiatan yang dapat dilakukan saat ini
2) Bantu pasien menyebutkan dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan pasien
d. Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan berdasarkan
kegiatan yang dilakukan
1) Diskusikan kegiatan yang dipilih untuk dilatih saat pertemuan.
2) Bantu pasien memberikan alasan terhadap pilihan yang ia tetapkan.
e. Melatih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
1) Latih kegiatan yang dipilih (alat atau cara melakukannnya).
2) Bantu pasien memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan dua kali
perhari.
3) Beri kesempatan klien untuk mencoba kegiatan yang telah dilatihkan.
4) Beri pujian atas kegiatan yang dapat dilakukan pasien setiap hari
5) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap aktivitas.
6) Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasien dan
keluarga.
7) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya setelah
pelaksanaan kegiatan.
A. Rencana Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Harga Diri Rendah
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan.
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status
kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan
klien, serta merumuskan diagnosa keperawatan. Pengkajian adalah pemikiran dasar
dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data
tentang klien agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah, kebutuhan
kesehatan dan keperawatan klien baik mental, sosial, dan lingkungan (Keliat, 2011)
Menurut Prabowo (2014) isi dari pengkajian tersebut adalah:
a. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,
pekerjaan, status marital, suku/bangsa, alamat, nomor rekam medis, ruang rawat,
tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, dan identitas
penanggung jawab.
b. Alasan masuk
Biasanya pasien datang ke rumah sakit jiwa atau puskesmas dengan alasan
masuk pasien sering menyendiri, tidak berani menatap lawan bicara, sering
menunduk dan nada suara rendah.
c. Faktor predisposisi
1) Riwayat gangguan jiwa Biasanya pasien dengan harga diri rendah memiliki
riwayat gangguan jiwa dan pernah dirawat sebelumnya.
2) Pengobatan Biasanya pasien dengan harga diri rendah pernah memiliki
riwayat gangguan jiwa sebelumnya, namun pengobatan klien belum berhasil.
3) Aniaya Biasanya pasiendengan harga diri rendah pernah melakukan,
mengalami, menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari
lingkungan, kekerasan dalam keluarga, dan tindakan kriminal.
4) Anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa Biasanya ada keluarga
yang mengalami gangguan jiwa yang sama dengan pasien.
5) Pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan Biasanya pasien dengan
harga diri rendah mempunyai pengalaman yang kurang menyenangkan pada
masa lalu seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan serta
tidak tercapainya ideal diri merupakan stressor psikologik bagi klien yang
dapat menyebabkan gangguan jiwa.
d. Tipe Keluarga
Pengkajian dilakukan mengenai riwayat kesehatan keluarga inti, meliputi riwayat
penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing – masing anggota keluarga
meliputi penyakit yang pernah diderita oleh keluarga, terutama gangguan jiwa.
Pengkajian mengenai riwayat kesehatan orang tua dari suami dan istri, serta
penyakit keturunan dari nenek dan kakek mereka. Berisi tentang penyakit yang
pernah diderita oleh keluarga klien, baik berhubungan dengan panyakit yang
diderita oleh klien, maupun penyakit keturunan dan menular lainnya.
e. Pemeriksaan fisik
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan tanyakan apakah ada
keluhan fisik yang dirasakan klien. Pada klien dengan harga diri rendah biasanya
darah meningkat, RR meningkat, nafas dangkat, muka memerah, tonus otot
meningkat, dan dilatasi pupil.
f. Psikososial
1) Genogram
Biasanya menggambarkan garis keturunan keluarga pasien, apakah ada
keluarga pasien yang mengalami gangguan jiwa seperti yang dialami pasien.
2) Konsep diri
a) Gambaran diri
Biasanya pasien dengan harga diri rendah akan mengatakan tidak ada
keluhan apapun
b) Identitas diri
c) Biasanya pasien dengan harga diri rendah merasa tidak berdaya dan
rendah diri sehingga tidak mempunyai status yang di banggakan atau
diharapkan di keluarga maupun di masyarakat.
d) Fungsi peran
e) Biasanya pasien mengalami penurunan produktifitas, ketegangan peran
dan merasa tidak mampu dalam melaksanakan tugas.
f) Ideal diri
g) Biasanya pasien dengan harga diri rendah ingin diperlakukan dengan baik
oleh keluarga maupun masyarakat, sehingga pasien merasa dapat
menjalankan perannya di keluarga maupun di masyarakat.
h) Harga diri
Biasanya pasien dengan harga diri rendah kronis selalu mengungkapkan
hal negatif tentang dirinya dan orang lain, perasaan tidak mampu,
pandangan hidup yang pesimis serta penolakan terhadap kemampuan diri.
Hal ini menyebabkan pasien dengan harga diri rendah memiliki hubungan
yang kurang baik dengan orang lain sehingga pasien merasa dikucilkan di
lingkungan sekitarnya.
3) Hubungan sosial
Pasien tidak mempunyai orang yang berarti untuk mengadu atau meminta
dukungan , Pasien merasa berada di lingkungan yang mengancam, Keluarga
kurang memberikan penghargaan kepada klien, Pasien sulit berinteraksi
karena berprilaku kejam dan mengeksploitasi orang lain.
4) Spiritual
Falsafah hidup Biasanya pasien merasa perjalanan hidupnya penuh dengan
ancaman, tujuan hidup biasanya jelas, kepercayaannya terhadap sakit serta
dengan penyembuhannya. Konsep kebutuhan dan praktek keagamaan Pasien
mengakui adanya tuhan, putus asa karena tuhan tidak memberikan sesuatu
yang diharapkan dan tidak mau menjalankan kegiatan keagamaan.
g. Status mental
1) Penampilan
Biasanya pasien dengan harga diri rendah penampilannya tidak rapi, tidak
sesuai karena klien kurang minta untuk melakukan perawatan diri. Kemuduran
dalam tingkat kebersihan dan kerapian dapat merupakan tanda adanya depresi
atau skizoprenia.
2) Pembicaraan
Biasanya pasien berbicara dengan frekuensi lambat, tertahan, volume suara
rendah, sedikit bicara, inkoheren, dan bloking
3) Aktivitas motorik
4) Biasanya aktivitas motorik pasien tegang, lambat, gelisah, dan terjadi
penurunan aktivitas interaksi.
5) Afek dan emosi
Afek pasien biasanya tumpul yaitu klien tidak mampu berespon bila ada
stimulus emosi yang bereaksi.
6) Interaksi selama wawancara
Biasanya pasien dengan harga diri rendah kurang kooperatif dan mudah
tersinggung.
7) Persepsi atau sensori
Biasanya pasien mengalami halusinasi dengar/lihat yang mengancam atau
memberi perintah.
8) Proses pikir
a) Proses pikir (arus dan bentuk pikir)
Biasanya pasien dengan harga diri rendah terjadi pengulangan
pembicaraan (perseverasi) disebabkan karena pasien kurang kooperatif dan
bicara lambat sehingga sulit dipahami.
b) Isi pikir
Biasanya pasien merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak
diri sendiri, mengejek dan mengkritik diri sendiri.
9) Tingkat kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran pasien stupor (gangguan motorik seperti ketakutan,
gerakan yang diulang-ulang, anggota tubuh klien dalam sikap canggung yang
dipertahankan dalam waktu lama tetapi klien menyadari semua yang terjadi di
lingkungannya).
10) Memori
Biasanya pasien dengan harga diri rendah umumnya tidak terdapat gangguan
pada memorinya, baik memori jangka pendek ataupun memori jangka
panjang.
11) Tingkat konsentrasi
Biasanya tingkat konsentrasi terganggu dan mudah beralih atau tidak mampu
mempertahankan konsentrasi dalam waktu lama, karena merasa cemas. Dan
biasanya tidak mengalami gangguan dalam berhitung.
12) Kemampuan penilaian/pengambilan keputusan
Biasanya gangguan kemampuan penilaian ringan (dapat mengambil
keputusan yang sederhana dengan bantuan orang lain, contohnya: berikan
kesempatan pada pasien untuk memilih mandi dahulu sebelum makan atau
makan dahulu sebelum mandi, setelah diberikan penjelasan pasien masih
tidak mampu mengambil keputusan) jelaskan sesuai data yang terkait.
Masalah keperawatan sesuai dengan data.
13) Daya titik
Biasanya pasien tidak menyadari gejala penyakit (perubahan fisik dan emosi)
pada dirinya dan merasa tidak perlu meminta pertolongan/pasien menyangkal
keadaan penyakitnya, pasien tidak mau bercerita penyakitnya.
2. Diagnosa
Yosep (2014) menjelaskan terdapat beberapa masalah keperawatan yang mungkin
muncul pada pasien dengan harga diri rendah diantaranya adalah
a. Harga diri rendah kronik
b. Koping Individu tidak efektif
c. Isolasi social
d. Defisit Perawatan Diri
3. Intervensi
Diagnosa Perencanaaan
Keperawatan Tujuan Intervensi Kriteria Evaluasi
Harga Diri rendah TUM: Bina hubungan saling percaya: -
Klien dapat menerima
Klien dapat berinteraksi a. Mengucapkan salam terapeutik. kehadiran perawat setelah 3x
dengan orang lain Sapa klien dengan ramah, baik petemuan
verbal maupun non verbal. -
Klien dapat mengungkapkan
TUK 1: b. Perkenalkan diri dengan sopan perasaan dan keberdayaan
Klien mampu membina c. Perkenalkan diri dengan sopan saat ini secara verbal
hubungan saling percaya d. Tanyakan nama lengkap klien dan a.Klien mau menjawab
nama panggilan yang disukai klien. b.
Ada kontak mata
e. Jelaskan tujuan pertemuan c.
Klien mau berjabat tangan
f. Buta kontrak interaksi yang jelas, d.
Klien mau berkenalan
jujur, dan tepat janji e.
Klien mau menjawab
g. Tunjukkan sikap empati dan pertanyaan
menerima apa adanya. f.
Klien mau duduk
h. Beri perhatian kepada klien dan berdampingan dengan
perhatian kebutuhan dasar klien. perawat
g.
Klien mampu
mengungkapkan perasaanya
TUK 2: 1. Tanyakan klien tentang Klien dapat menyebutkan
Klien mampu menyebutkan a. Orang yang tinggal serumah minimal satu penyebab menarik
penyebab menarik diri dengan klien diri
b. Orang yang paling dekat a. Diri sendiri
dengan klien dirumah b. Orang lain
c. Apa yang membuat klien dekat c. Lingkungan
dengan orang tersebut
d. Orang yang tidak dekat dengan
klien dirumah
e. Apa yang membuat klien tidak
dengan orang tersebut
f. Upaya yang sudah dilakukan
agar dekat dengan orang lain.
TUK 3: Klien dapat menyebutkan
Klien mampu menyebutkan a. Kaji pengetahuan klien tentang keuntungan dan kerugian
keuntungan dan kerugian manfaat dan keuntungan bergaul berhubungan social setelah 3x
berhubungan dengan orang dengan orang lain interakti,
lain b. Beri kesempatan pada klien untuk a. Banyak teman
mengungkapkan perasaanya b. Tidak kesepian
tentang keuntungan berhubungan c. Bisa diskusi
dengan orang lain. d. Saling menolong
c. Diskusikan berama klien tentang
manfaat berhubungan dengan
orang lain
d. Beri reinforcement positif terhadap
kemampuan mengungkapkan
perasaanya tentang keuntungan
berhubungan dengan orang lain
e. Kaji pengetahuan klien tentang
kerugian bila tidak berhubungan
dengan orang lain
f. Beri kesempatan klien untuk
mengungkapkan perasaanya
tentang kerugian bila tidak
berhubungan dengan orang lain
g. Diskusikan bersama klien tentang
kerugian tidak berhubungan
dengan orang lainDiskusikan dan
motivasi klien untuk menceritakan
kondisi fisik saat perilaku
kekerasan terjadi.
h. Diskusikan dan motivasi klien
untuk menceritakan kondisi
emosinya saat terjadinya perilaku
kekerasan.
i. Diskusikan dan motivasi klien
untuk menceritakan kondisi
psikologis saat terjadi perilaku
kekerasan.
j. Diskusikan dan motivasi klien
untuk menceritakan kondisi
hubungan dengan orang lain saat
terjadi perilaku kekerasan.
TUK 4: g. Observasi perilaku klien saat Klien dapat melaksanakan
Klien daopat melaksanakan berhubungan dengan orang lain hubungan social secara bertahap
hubungan social secara h. Beri motivasi dan bantu klien untuk setelah 3x interaksi dengan
bertahap berkenalan atau berkomunikasi a. Klien-perawat
dengan orang lain b. Klien-perawat-perawat lain
i. Beri reinforcement terhadap c. Klien-perawat-perawat lain-
keberhasilan yang telah dicapai klien lain
j. Bantu klien mengevaluasi manfaat d. Klien-keluarga atau
berhubungan dengan orang lain kelompok atau masyarakat
TUK 5: a. Dorong klien untuk Klien dapat mengungkapkan
Klien mampu mengungkapkan perasaanya dengan perasaanya setelah berhubungan
mengungkapkan perasaanya orang lain/kelompok dengan orang lain setelah 3x
setelah berhubungan dengan b. Diskusikan dengan klien manfaat interaksi untuk
orang lain berhubungan dengan klien a. Diri sendiri
b. Orang lain
c. kelompok
TUK 6: a. Diskusikan pentingnya peran Klien dapat menjelaskan setelah
Klien mendapat dukungan serta keluarga sebagai berhubungan dengan orang lain
keluarga dalam memperluas pendukung untuk mengatasi setelah 3x interaksi untuk
hubungan sosial perilaku menarik diri. d. Pengertian menarik diri
b. Diskusikan potensi keluarga e. Tanda dan gejala menarik diri
untuk membantu klien f. Penyebab dan akibat menarik
mengatasi perilaku menarik diri
diri
c. Tanyakan perasaan keluarga
setelah mencoba cara yang
dilatih
d. Dorong anggota keluarga klien
untuk memberikan dukungan
kepada klien berkomunikasi
dengan orang lain
e. Anjurkan anggota keluarga
untuk secara rutin dan
bergantian mengunjungi klien
minimal 1x/minggu
TUK 7: a. Diskusikan dengan klien tentang Klien menyebutkan setelah 3x
Klien dapat memanfaatkan manfaat dan kerugian tidak minum interaksi yaitu
obat dengan baik obat, nama, warna, dosis, cara, a. Manfaat minum obat
efek, terapi dan efek samping b. Kerugian tidak minum obat
penggunaan obat c. Nama, warna, dosis, efek
b. Pantau klien saat penggunaan obat terapi dan efek samping obat.
c. Anjurkan klien minta sendiri obat d. Klien mendemonstrasikan
pada perawat agar dapat penggunaan obat dan tanpa
merasakan manfaatnya konsultasi dokter setelah 3x
d. Beri pujian jika klien interaksi.
menggunakan obat dengan benar
e. Diskusikan akibat berhenti minum
obat tanpa konsultasi dengan
dokter
f. Anjurkan klien untuk konsultasi
kepada dokter atau perawat jika
terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
4. Implementasi
serangkaian kegiatan yang dilakukan perawat untuk membantu klien dari masalah
status kesehatan yang dihadapi menuju status kesehatan yang baik/optimal.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ada ua macam yaitu:
a. Evaluasi proses atau evaluasi formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan
tindakan
b. Evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respon
pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan

Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP yaitu sebagai berikut:


S : respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
O : respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksakan
A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang
kontradiksi terhadap masalah yang ada
P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respon pasien

Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut:


a. Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah)
b. Rencana di modifikasi (jika masalah tetap, sudah dilaksakan semua tindakan
tetapi hasil belum memuaskan)
c. Rencana dibatalkan (jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan
masalah yang ada)
DAFTAR PUSTAKA
Damaiyanti & Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika

Febriana et.al, 2016. Pengaruh Terapi Kognitif Terhadap Harga Diri Remaja Korban
Bullying Vol. 4, No. 1. Jurnal Ilmu Keperawatan.

Mulyawan & Agustina. 2018. Terapi Kreasi Seni Menggambar Terhadap Kemampuan
Melakukan Menggambar Bentuk Pada Pasien Harga Diri Rendah Vol. 8 No. 1. Jurnal
Ilmiah Keperawatan Indonesia

Prabowo, Eko. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika Rohmah &
Walid. 2017. Dokumentasi Keperawtan. Jember: Universitas Muhammadiyah Jember

Sutejo. 2010. Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Widianti et. al, 2017. Aplikasi Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa Pada Pasien Skizofrenia
Dengan Harga Diri Rendah Kronis di RSMM Jawa Barat. Jurnal Pendidikan
Keperawatan Indonesia

Yosep & Sutini. 2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama

Yusuf et.al, 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta Selatan: Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN
KEPERAWATAN JIWA DENGAN PASIEN GANGGUAN ISOLASI
SOSIAL DI RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA JEMURSARI

Atik Rahayu 1120022156

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
1.1 KONSEP ISOLASI SOSIAL
A. Pengertian.
Isolasi sosial merupakan kondisi kesendirian yang di alami oleh
individu dan dipersepsikan disebabkan orang lain dan sebagai kondisi
yang negatif dan mengancam. Kondisi isolasi sosial seseorang
merupakan ketidakmampuan klien dalam mengungkapkan perasaan
klien yang dapat menimbulkan klien mengungkapkan perasaan klien
dengan kekerasan (Sukaesti. 2018).
Isolasi sosial merupakan suatu keadaan seseorang mengalami
penurunan untuk melakukan interaksi dengan orang lain, karena pasien
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, serta tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain atau orang disekitarnya
(Kemenkes, 2019).
Isolasi sosial merupakan gejala negatif pada skizofrenia dimanfaatkan
oleh pasien untuk menghindari orang lain agar pengalaman yang tidak
menyenangkan dalam berhubungan dengan orang lain tidak terulang
kembali.(Pardede 2021).
B. Rentang Respon.

Respon Adaptif Respon maladaptif

Menyendiri Kesepian Manipulasi

Otonomi Menarik diri Impulsif

Kebersamaan Ketergantungan Narsisme

Saling
ketergantungan
Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan
cara yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut
Riyardi & Purwanto. (2013) respon ini meliputi:
1. Menyendiri merupakan respon yang dilakukan individu untuk
merenungkan apa yang telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara
mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana.
2. Otonomi merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial,
individu mampu menetapkan untuk interdependen dan pengaturan
diri.
3. Kebersamaan merupakan kemampuan individu untuk saling
pengertian, saling memberi, dan menerima dalam hubungan
interpersonal.
4. Saling ketergantungan merupakan suatu hubungan saling
ketergantungan saling tergantung antar individu dengan orang lain
dalam membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah dengan cara yang bertentangan dengan norma agama dan
masyarakat. Menurut Riyardi & Purwanto (2013) respon maladaptif
adalah:
1. Manipulasi.
Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan
orang lain sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah
mengendalikan orang lain dan individu cenderung berorientasi
pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai
pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat
untuk berkuasa pada orang lain.
2. Impulsif.
Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subyek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak
mampu merencanakan tidak mampu untuk belajar dari pengalaman
dan miskin penilaian.
3. Narsisme.
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku
ogosentris, harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha
mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika tidak mendapat
dukungan dari orang lain.
4. Isolasi Sosial.
Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain.
C. Etiologi.
Pasien dengan masalah kekurangan keterampilan sosial, tidak biasa
berkomunikasi dengan orang lain secara efektif, mengalami kesulitan
dalam menjalin pertemanan, mampu memecahkan masalah,
menemukan dan memelihara pekerjaan, yang merupakan alasan
mereka mengisolasi diri masyarakat. Keterampilan sosial yang buruk
terkait erat dengan kekambuhan penyakit dan pasien kembali ke rumah
sakit (Pardede & Ramadia, 2021). Ada beberapa faktor penyebab
Isolasi Sosial (Dermawan & Rusdi, 2013)sebagai berikut :
1. Faktor Presipitasi.
Adapun faktor pencetus terdiri dari 4 sumber utama yang dapat
menentukan alam perasaan adalah :
a. Kehilangan ketertarikan yang nyata atau yang di bayangkan,
termasuk kehilangan cinta seseorang. Fungsi fisik, kedudukan
atau harga diri, karena elemen aktual dan simbolik melibatkan
konsep kehilangan, maka konsep persepsi lain merupakan hal
yang sangat penting.
b. Peristiwa besar dalam kehidupan, sering di laporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap
masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan
menyelesaikan masalah.
c. Peran dan ketegangan peran telah di laporkan mempengaruhi
depresi terutama pada wanita.
d. Perubahan fisiologis di akibatkan oleh obat-obatan berbagai
penyakit fisik seperti infeksi, gangguan keseimbangan
metabolik dapat mencetus gangguan alam perasaan.
2. Faktor Predisposisi.
a. Faktor Perkembangan.
Tiap gangguan dalam pencapian tugas perkembangan dari masa
bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang
sehingga mempunyai masalah respon sosial menarik diri.
Organisasi anggota keluarga bekerjasama dengan tenaga kerja
profesional untuk mengembangkan gambaran yang lebih tepat
tentang hubungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga.
Pendekatan kolaboratif dapat mengurangi masalah respon
sosial menarik diri.
b. Faktor Biologik.
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial
maladaptif. Genetik merupakan salah satu faktor pendukung
Gangguan jiwa. Kelainan struktur otak, seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat danvolume otak serta
perubahan limbik di duga dapat menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor Sosiokultural.
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan.
Ini merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung
pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota
masyarakat yang tidak produktif,seperti lansia, orang cacat dan
berpenyakit kronik. Isolasi dapat terjadikarena mengadopsi
norma, perilaku dan sistem nilai yang dimiliki budaya
mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan
merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
D. Tanda dan Gejala.
Tanda dan gejala isolasi sosial meliputi : Kurang spontan, Apatis (acuh
tak acuh terhadap lingkungan), Ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi
sedih), Afek tumpul, Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan
diri, Tidak ada atau kurang terhadap komunikasi verbal, Menolak
berhubungan dengan orang lain, Mengisolasi diri (menyendiri),
Kurang sadar dengan lingkungan sekitarnya, Asupan makan dan
minuman terganggu, Aktivitas menurun dan Rendah diri (Damanik,
Pardede, & Manalu, 2020).
Tanda dan gejala yang muncul pada klien dengan isolasi sosial :
menarik diri (Dermawan & Rusdi, 2013) seperti:
1. Gejala Subjektif.
a. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang
lain.
b. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
c. Respon verbal kurang atau singkat.
d. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang
lain.
e. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
f. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
g. Klien merasa tidak berguna.
h. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
i. Klien merasa ditolak.
2. Gejala Obyektif.
a. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
b. Tidak mengikuti kegiatan.
c. Banyak berdiam diri di kamar.
d. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang
yang terdekat
e. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
f. Kontak mata kurang.
g. Kurang spontan.
h. Apatis (acuh terhadap lingkungan).
i. Ekpresi wajah kurang berseri.
j. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
k. Mengisolasi diri.
l. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
m. Memasukan makanan dan minuman terganggu.
n. Retensi urine dan feses.
o. Aktifitas menurun.
p. Kurang energi (tenaga).
q. Rendah diri.
E. Patofisiologi.
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik
diri atau isolasi social yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga,
yang biasa dialami klien dengan latar belakang yang penuh dengan
permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan (Dermawan
Rusdi, 2013). Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit
dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain. Akibatnya klien
menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas
dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan
diri.Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa
lalu serta tingkah laku primitive antara lain pembicaraan yang autistic
dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga
berakibat lanjut menjadi halusinasi (Azizah & Wardani, 2017).
F. Komplikasi.
Isolasi Sosial orang menjadi menarik diri, malas beraktifitas, tidak
mampu mengatasi masalah, rasa malu dan bersalah yang berlebihan
dampak yang ditimbulkan dari isolasi sosial adalah menarik diri,
narcissism atau mudah marah, melakukan hal yang tak terduga atau
impulsivity, memberlakukan orang lain seperti objek, halusinasi dan
defisit perawatan diri (Damanik, Pardede, & Manalu, 2020).
G. Penatalaksanaan Medis.
Menurut Yusuf ( 2015) penatalakasanaan pada pasien skizofrenia
dapat diberikan dengan pemberian terapi yang diberikan secara
komperehensif sesuai dengan tanda gejala dan penyebab terjadinya
penyakit. Pengalaman terapis akan menentukan pilihan alternatif yang
tepat, dan sering merupakan kombinasi antara satu terapi dengan
lainya. Beberapa alternatif terapi yang dapat diberikan antara lain
dengan pendekatan farmakologi psikososial , rehabilitasi dan program
intervensi keluarga. (Henry, 2020).
1. Terapi Farmakologi.
Pada pendekatan farmakologis, penderita skizofrenia biasanya
diberikan obat anti psikotik. Antipsikotik juga dikenal sebagai
penenang mayor atau neuroleptic. Pengobatan antipsikotik
membantu mengendalikan perilaku skizofrenia yang mencolok dan
mengurangi kebutuhan untuk perawatan rumah sakit jangka
panjang apabila dikonsumsi pada saat pemeliharaan atau secara
teratur setelah episode akut. Prinsip pemberian farmakoterapi pada
skiofrenia adalah “start low, go slow” dimulai dengan dosis rendah
ditingkatkan sampai dosis optimal kemudian diturunkan perlahan
untuk pemeliharaan. Berikut adalah sediaan antipsikotik yang
sering diberikan. Pemberian antipsikotik dilakukan melalui 3
tahapan dosis, initial, optimal dan maintenance. Dosis optimal
dipertahankan sampai 1-2 tahun. Dosis maintenance diturunkan
perlahan sampai mencapai dosis terkecil.
Tabel dosis pemeberian psikofarmaka.
Haloperidol (Haldol, Lodomer,  Sediaan : tablet (0,5-1,5
dll) mg-2mg5mg), injeksi (
ampul, 1cc-5mg, im/iv),
tetes/oral solution (30ml,
dosis : 1 cc-2mg). injeksi
long acting (50mg/cc/4
minggu).
 Dosis initial : 5 mg/hari, 2x
sehari.
 Dosis optimal : 5-
15mg/hari, 2-3x hari.
Chlorpromazine (Largactil,  Sediaan : tablet (25 mg, 100
Cepezet). mg), injeksi (50 mg/2ml,
im).
 Dosis initial : 100-150
mg/hari, sehari 1-2x
 Dosis optimal : 150-600
mg/hari, sehari 2-3x.
Trifluoperazine (Stelazine).  Sediaan : tablet (1 mg, 5
mg)
 Dosis initial : 5 mg
 Dosis optimal : 10-15
mg/hari, 2-3x sehari.

2. Terapi Psikososial.
Salah satu dampak yang terjadi pada penderita skiofrenia adalah
menjalin hubungan sosial yang sulit. Hal ini dikarenakan
skizofrenia merusak fungsi sosial penderitanya. Untuk mengatasi
hal tersebut, penderita diberikan terapi psikososial yang bertujuan
agar dapat kembali beradaptasi dengan lingkungan sosialnya,
mampu merawat diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain.
3. Rehabilitasi.
Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit
jiwa yang dikhususkan untuk rehabilitasi. Terdapat banyak
kegiatan, diantaranya terapi okupasional yang meliputi kegiatan
membuat kerajinan tangan, melukis, menyanyi, dan lain-lain. Pada
umumnya program rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan.
4. Program Intervensi Keluarga.
Intervensi keluarga mempunyai banyak variasi namun pada
umumnya intervensi yang dilakukan difokuskan pada aspek praktis
dari kehidupan sehari-hari, mendidik anggota keluarga tentang
skizofrenia, mengajarkan bagaimana cara berhubungan dengan
cara yang tidak terlalu frontal terhadap anggota keluarga yang
menderita skiofrenia, meningkatkan komunikasi dalam keluarga,
dan memacu pemecahan masalah dan keterampilan koping yang
baik.
1.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN.
1. Pengkajian Keperawatan.
Identitas ditulis lengkap meliputi nama, usia dalam tahun, alamat,
pendidikan, agama, status perkawinan, pekerjaan, jenis kelamin,
nomor rekam medis dan diagnosa medisnya.
A. Faktor Predisposisi.
Faktor predisposisi penyebab isolasi soasial meliputi faktor
perkembangan, faktor biologis, dan faktor sosiokultural (Damaiyanti
dan Iskandar 2013).
1. Faktor Perkembangan.
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak
dapat terpenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya.
2. Faktor Biologis.
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia, misalnya, ditemukan pada keluarga
dengan riwayat anggota keluarga yang menderita skizofrenia.
3. Faktor Psikologis.
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas
kesemasan yang ekstrim dan memanjang disetrai
terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah
diyakini akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan
(menarik diri).
4. Faktor Sosiokultural. Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari
lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan
berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang
salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti anggota tidak produktif
diasingkan dari lingkungan sosial.
B. Faktor Presipitasi.
Menurut Damaiyanti & iskandar (2013), Stressor prespitasi terjadinya
isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun eksternal,
meliputi:
1. Stresor Sosial Budaya.
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan
pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat di rumah sakit,
atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
C. Sumber Koping.
Sumber koping meliputi, kemampuan personal, dukungan sosial, aset
materi dan keyakinan, kemampuan personal yang harus dimiliki yaitu,
mampu berinteraksi dengan orang lain, mampu memulai pembicaraan.
Dukungan sosial dapat di dapat dari sumber daya keluarga, seperti
pemahaman orang tua tentang penyakit, ketersediaan keuangan,
ketersediaan waktu dan tenaga, dan kemampuan untuk memberikan
dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi jalannya penyesuaian
setelah gangguan jiwa terjadi
(Stuart, 2016).
2. Diagnosa Keperawatan.
Menurut Damaiyanti (2012) adapun diagnosa keperawatan pasien yang
muncul pada pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut:
Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah Kronik.
3. Intervensi Keperawatan.
Rencana tindakan keperawatan untuk pasien Isolasi Sosial (Sulastri,
2017).
a. Tujuan umum dan tujuan khusus. Strategi pelaksanaan tindakan
keperawatan untuk individu yaitu meliputi: pada pasien dengan
isolasi sosial terdapat
1. Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain.
2. Pasien dapat membina hubungan saling percaya
b. Tindakan keperawatan.
1. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP1) untuk
individu yaitu pengkajian isolasi sosial, dan keuntungan dan
kelebihan mempunyai teman.
2. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP2) untuk
individu yaitu melatih pasien berinteraksi secara bertahap
(pasien dengan 2 orang lain), latihan bercakap-cakap saat
melakukan 2 kegiatan harian.
3. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP3) untuk
individu yaitu melatih pasien berinteraksi secara bertahap
(pasien dengan 4-5 orang), latihan bercakap-cakap saat
melakukan 2 kegiatan harian baru.
4. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP4) untuk
individu yaitu mengevaluasi kemampuan berinteraksi, melatih
cara berbicara saat melakukan kegiatan sosial.
4. Implementasi Keperawatan.
Proses implementasi adalah melaksanakan rencana tindakan yang
sudah disusun dan disesuaikan dengan kondisi pasien saat itu.
Pelaksanaan tindakan keperawatan bisa lebih dari apa yang telah
direncanakan atau lebih sedikit dari apa yang sudah direncanakan
bahkan mampu memodifikasi dari perencanaan yang telah disesuaikan
dengan kebutuhan pasien pada saat asuhan keperawatan diberikan.
Dalam mengimplementasikan intervensi, perawat kesehatan jiwa
menggunakan intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah
penyakit meningkat, mempertahankan, dan memulihkan kesehatan
fisik dan mental (Damaiyanti, 2013).
5. Evaluasi Keperawatan.
Pada evaluasi perawat mengevaluasi respon pasien berdasarkan
kemampuan yang sudah diajarkan pada pasien, berupa evaluasi yang
dapat dilakukan untuk menilai respon verbal dan non verbal yang
dapat diobservasi oleh perawat berdasarkan respon yang ditunjukkan
oleh pasien (Fadly, & Hargiana, 2018). Evaluasi dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan SOAP:
S : Respon subyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respon obyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A : Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif atau muncul untuk
menyimpulkan apakah masalah baru atau ada data yang kontradiksi
dengan masalah yang ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon.
pasien. Latihan kemampuan yang sudah diajarkan untuk mengontrol
perilaku isolasi sosial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Azizah, F. N., Hamid, A. Y. S., & Wardani, I. Y. (2017). Respon Sosial
dan Kemampuan Sosialisasi Pasien Isolasi Sosial melalui Manajemen asus
Spesialis Keperawatan Jiwa. Media Ilmu Kesehatan, 6(2), 91-100.
https://doi.org/10.30989/mik.v6i2.221
2. Damanik, R. K., Pardede, J. A., & Manalu, L. W. (2020). Terapi Kognitif
Terhadap Kemampuan Interaksi Pasien Skizofrenia Dengan Isolasi Sosial.
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan,11(2),226-35.
http://dx.doi.org/10.26751/jikk.vlli2.822
3. Dermawan, D., & Rusdi. (2013). Keperawatan jiwa konsep dan kerangka
kerja asuhan keperawatan jiwa. Gosyen publishing : Yogyakarta.
4. Keliat, B. A. (2006). Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
5. Pardede, J. A., & Ramadia, A. (2021). The Ability to Interact With
Schizophrenic Patients through Socialization Group Activity
Therapy.International Journal.
6. Riyadi S & Purwanto T. (2013). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
GRAHA ILMU.
7. Stuart, G. W. (2016). Prinsip Dan Praktik Keperawatan Jiwa (II). Jakarta:
Binarupa Aksara.
8. WHO (2019). Schizophrenia. Retrieved from.
https://www.who.int/newsroom/fact-sheets/%20detail/schizophrenia.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
DENGAN PASIEN KEHILANGAN DAN BERDUKA DI RUMAH SAKIT ISLAM
SURABAYA JEMURSARI

Atik Rahayu 1120022156

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
SURABAYA
2022
A. MASALAH UTAMA
Kehilangan dan berduka
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Kehilangan adalah perubahan dari sesuatu yang ada menjadi tidak ada
atau situasi yang diharapkan terjadi tidak tercapai. Dapat dikatakan bahwa
kehilangan adalah suatu kondisi ketika seseorang mengalami kekurangan
sesuatu yang sebelumnya ada, misalnya kematian orang yang dicintai atau
bias pemutusan hubungan kerja (PHK). Berduka adalah respon individu
terhadap kehilangan. Lama proses berduka sangat individual dan dapat
terjadi sampai beberapa tahun, fase akut berduka biasanya berlangsung 6-
8 minggu dan penylesaian respon kehilangan atau berduka secara
menyeluruh memerlukan waktu 1 bulan sampai 3 tahun.
(Budi ana dkk:89;2007)
2. Rentang Respon
Peningkatan  marah  tawar-menawar  depresi  menerima
a. Fase peningkatan
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok,
tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu
memang benar terjadi, dengan mengatakan “tidak”, saya tidak percaya
itu terjadi atau itu tidak mungkin terjadi (Prabowo, 114:2014)
b. Fase marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan individu menunjukan rasa marah yang
meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada
dirinya sendiri.( Prabowo, 115:2014).
c. Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif,
maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon
kemurahan kepada tuhan.( Prabowo, 115:2014)
d. Fase depresi
Pada fase ini individu sering menunjukan sikap menarik diri, kadang
sebagai pasien sangat penurut, tidak mau bicara, manyatakan
keputusan, perasaan tidak berharga, dan sebagainya.
( Prabowo, 115:2014)
e. Fase penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran
yang yang selalu berpusat kepada obyek atau orang yang hilang akan
mulai berkurang sampai hilang.( Prabowo, 115:2014)
3. PROSES TERJADINYA MASALAH
a. Factor predisposisi
Factor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan
adalah :
1. Factor genetic
2. Kesehatan jasmani
3. Kesehatan mental
4. Pengalaman kehilangan masa lalu
5. Struktur kepribadia.

(Prabowo, 116:2014)

b. Factor presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kihilangan,
diantaranya :
1. Kehilangan kesehatan
2. Kehilangan fungsi seksualitas
3. Kehilangan peran dalam keluarga
4. Kehilangan posisi di masyarakat
5. Kehilangan orang yang dicintainya
6. Kehilangan kewarganegaraan

(Prabowo, 116:2014)

5. TANDA DAN GEJALA


Tanda khas dari kehilangan-berduka :
a. Perasaan sedih, menangis
b. Perasaan putus asa
c. Mengahiri kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan kehilangan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan berlebihan
g. Tidak berminat berinteraksi dengan orang lain
h. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat
aktivitas.
(Prabowo, 117:2014)
6. AKIBAT
Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan
dan berduka adalah pemberian makna (personal meaning) yang baik
terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif.
( Prabowo, 117:2014)
7. MEKANISME KOPING
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain
: denial, intelektualisasi, regresi, disosiasi, supresi dan proyeksi yang
digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat
menyakitkan.( Prabowo, 117:2014)
8. PENATALAKSANAAN
Menurut Dalami, dkk (2009) kehilangan dan berduka termasuk dalam
kelompok penyakit skizofrenia tak tergolongkan maka jenis
penatalaksaannya yang bias dilakukan adalah :
a. Electro convulsive therapy (ETC)
Adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak
dengan menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan di area temporal
kepala (pelipis kanan dan kiri).
Tujuan dilakukan ECT yaitu terapi yang digunakan untuk mengobati:
1. Gangguan efek yang berat pasien dengan depresi berat tidak
berespon terhadap obat anti depresan dengan ECT diharapkan
pasien menunjukkan respon yang baik dengan ECT 80-90%.
2. Gangguan skisofenia: skisifenia kata tonik tipe stufor atau tipe
exsided memberik respon yang baik dengan ECT.
3. Pasien bunuh diri : ECT digunakan ketika pasien menimbulkan
ancaman bagi diri sendiri.
4. Pada pasien hipoaktifitas penggunaan ECT sangat dianjurkan pagie
pasien tersebut (Townsend,2001)
b. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang relative cukup lama dan merupakan bagian
penting dalam proses terapiutik meliputi : memberikan rasa aman dan
tenang, menciptakan lingkungan yang terapiutik, bersikap ramah,
memotivasi pasien, sopan kepada pasien.
(Prabowo, 118:2014)
c. Terapi okupasi
Adalah suatu ilmu untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud
untuk memperbaiki diri seseorang. (Prabowo, 118:2014)

Jenis terapi okupasi :


1). Waktu luang
Aktifitas mengisi waktu luang adalah aktifitas yang dilakukan
pada waktu luang yang bermotifasi dan memberikan
kegembiraan, hiburan, serta mengalihkan perhatian pasien.
Aktifitas tidak wajib yang pada hakikatnya kebebasan
beraktifitas. Ada pun jenis-jenis aktifitas waktu luang seperti
menjelajah waktu luang (mengidentifikasi minat, keterampilan,
kesempatan, dan aktifitas waktu luang yang sesuai) dan
partisipasi waktu luang (merencanakan dan berpartisipasi dalam
aktifitas waktu luang yang sesuai, mengatur keseimbangan
waktu luang dengan kegiatan yang lainnya, dan memperoleh,
memakai, dan mengatur peralatan dan barang yang sesuai
(Creek,2003)

9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnose tuggal :
1. Isolasi social : menarik diri

Diagnosa ganda :

1. Perubahan sensori persepsi halusinasi b/s menarik diri


2. Isolasi social menarik diri b/d koping individu inefektif
10. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Tujuan umum:
Pasien dapat beriteraksi dengan orang lain
Tujuan khusus:
TUK I
Dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria hasil:
Setelah….x pertemuan, pasien dapat menerima kehadiran perawat.
Pasien dapat mengungkapkan perasaan dan keberadaanya saat ini
secara verbal:
1. Mau menjawab salam
2. Ada kontak mata
3. Mau berjabat tangan
4. Mau berkenalan
5. Mau menjawab pertanyaan
6. Mau duduk berdampingan dengan perawat
7. Mau mengungkapkan perasaanya

Intervensi

Bina hubungan saling percaya dengan prisip komunikasi terapiutik

1. Sapa pasien dengan ramah dan baik verbal maupun non


verbal
2. Perkenalkan diri dengan sopan
3. Tanyakan nama lengkap pasien dan nama kesukaan pasien
4. Jelaskan tujuan pertemuan
5. Buat kontrak interaksi yang jekas
6. Jujur dan menepati janji
7. Tunjukkan sikap empati dan menerima pasien apa adanya
8. Ciptakan lingkungan yang tenang dang bersahabat
9. Beri perhatian dan penghargaan
TUK 2
Pasien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Kriteria hasil
Setelah….x pertemuan, pasien dapat menyebutkan minimal suatu
penyebab menarik diri yang berasal dari:
1. Diri sendiri
2. Orang lain
3. Lingkungan
Intervensi
1. Tanyakan pada pasien tentang
a. Orang yang tinggal serumah atau teman sekamar
pasien
b. Orang terdekat pasien dirumah atau diruang
perawatan
c. Apa yang mebuat pasien dekat dengan orang
tersebut
d. Hal-hal yang membuat pasien menjauhi orang
tersebut
e. Upaya yang telah dilakukan untuk mendekatkan
diri dengan orang lain
2. Kaji pengetahuan pasien tentang perilaku menarik diri dan
tanda-tandanya
3. Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaan
penyebab menarik diri dan tidak mau bergaul
4. Diskusikan pada pasien tentang perilaku menarik diri,
tanda serta penyebab yang muncul
TUK 3
Pasien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang
lain dan kerugian apabila tidak berhubungan dengan orang lain
Kriteria hasil:
Setelah…x pertemuan pasien dapat menyebutkan keuntungan
berhubungan dengan oran lain.
Missal:
1. Banyak teman
2. Tidak kesepian
3. Bias diskusi
4. Saling menolong
Setelah…x pertemuan pasien dapat menyebutkan kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain
Missal:
1. Sendiri
2. Tidak punya teman atau kesepian
3. Tidak ada teman ngobrol

INTERVENSI

1. Kaji pengetahuan pasien tentang manfaat dan keuntungan


berhubungan dengan orang lain
2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan
perasaannya tentang berhubungan dengan orang lain
3. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan
perasaan tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan
orang lain
4. Diskusikan bersama tentang keuntungan berhubungan
dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain
5. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan
mengungkapkan perasaan tentang keuntungan
berhubungan dengan orang lain dan kerugian bila tidak
berhubungan dengan orang lain
TUK 4

Pasien dapat melaksanakan hubungan social secara bertahap

Kriteria hasil:

Setelah…..x interaksi, pasien dapat mendemontrasikan hubungan


social secara bertahab k-p k-k-p lain, k-p-p lain-k lain, k-p-
kel/kelompok masyarakat

Intervensi

1. Observasi saat berhubungan dengan orang lain


2. Beri motivasi dan bantu pasien untuk
berkenalan/berkomunikasi dengan orang lain melalui:
pasien-perawat, pasien ke perawat ke perawat lain, pasien
ke perawat perawat lain ke pasien lain, pasien ke perawat
perawat lain ke pasien ke masyarakat
3. Beri reinforcemen positif atas keberhasilann yang telah
dicapai
4. Bantu pasien untuk mengefaluasi manfaat berhubungan
dengan orang lain
5. Beri motifasi dan libatkan pasien dalam terapi aktivitas
kelompok sosialisasi
6. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan bersama
pasien dalam mengisi waktu luang
TUK 5

Pasien dapat mengungkapakan perasaannya setelah berhubungan


dengan orang lain.

Kriteria hasil:

Setelah…x interaksi, pasien dapat mengungkapan perasaan setelah


berhubungan dengan orang lain untuk diri sendiri dan orang lain
untuk:

1. Diri sendiri
2. Orang lain
3. Kelompok

INTERVENSI

1. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaanya bila


berhubungan dengan orang lain/kelompok.
2. Diskusikan dengan pasien tentang perasaan manfaat
berhubungan dengan orang lain
3. Beri reinforcement atas kemampuan pasien
mengungkapkan perasaannya berhubungan dengan orang
lain.

TUK 6

Pasien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga


mampu mengembangkan kemampuan pasien untuk berhubungan
dengan orang lain

Kriteria hasil : setelah…x pertemuan keluarga dapat menjelaskan


tentang :

1. Pengertian menarik diri dan tanda kejalanya


2. Penyebab akibat dan akibat menarik diri
3. Cara merawat pasien dengan menarik diri

Setelah…x pertemuan keluarga dapat mendemoktrasikan cara


merawat pasien dengan menarik diri

INTERVENSI

1. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga : salam,


perkenalkan diri, sampaikan tujuan, buat kontrak xplorasi
perasaan keluarga,.
2. Diskusikan pentingnya peranan keluarga sebagai
pendukung untuk mengatasi perilaku menarik diri
3. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang : perilaku
menarik diri, penyebab perilaku menarik diri, akibat yang
akan terjadi perilaku menarik diri tidak ditanggapi, cara
keluarga menghadapai pasien menarik diri
4. Diskusikan potensin keluarga untuk membantu mengatasi
pasien menarik diri
5. Latih keluarga merawat pasien menarik diri
6. Anjurkan anggota keluarga untuk member dukungan
kepada pasien untuk berkomunikasi dengan orang lain
7. Dorong anggota keluarga secara rutin dan bergantian
menjenguk pasien minimal 1kali seminggu
8. Beri reinforcemen atas hal-hal yang telah dicapai keluarga
TUK 7

Pasien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat

Kriteria hasil : setelah…x interaksi, pasien menyebutkan

1. Manfaat minum obat


2. Kerugian tidak minum obat
3. Nama, warna,dosis, efek samping obat

Setelah… x interaksi, pasien mampu mendemoktrasikan


penggunaan obat dan menyebutkan akibat berhenti minum obat
tanpa konsultasi dokter

ITERVENSI

1. Diskusikan dengan pasien tentang kerugian dan


keuntungan tidak minum, serta karakteristik obat yang
diminum (nama,dosis,rekuensi,efeksamping minum obat)
2. Batu dalam menggunakan obat dengan menggunakan
prinsip 5benar (benar pasien, obat, dosis, cara,waktu).
3. Anjurkan pasien minta sendri obatnya kepada perawat agar
pasien dapat merasakan manfaatnya
4. Beri reinforcemen positif bila pasien menggunakan obat
dengan benar
5. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi
dengan dokter
6. Anjurkan pasien untuk konsultasi dengan dokter / perawat
apabila terjadi hal-hal yang tidak di
inginkan.(Prabowo,215-217:2014)
DAFTAR PUSTAKA

Creek. (2003). Occupational Terapy . London : COT .

dkk, B. A. (2007). Manajement Keperawatan psikososial&kader kesehatan jiwa . jakarta :


EGC.

prabowo, E. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa . Yogyakarta : Nuha Medika .

25
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN (MENCEDERA DIRI, ORANG
LAIN, DAN LINGKUNGAN) DI RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA JEMURSARI

Atik Rahayu 1120022156

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
Konsep Perilaku Kekerasan
1. Definisi Perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang
secara fisik maupun psikologis bisa di lakukan secara verbal, di arahkan pada diri sendiri,
orang lain dan lingkungan (Amatiria, 2012). Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan
di mana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Elshy Pangden Rabba, Dahrianis, 2014).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang timbul
sebagai kecemasan dan ancaman (Hadiyanto, 2016).
2. Faktor Predisposisi Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan
adalah factor biologis, psikologis dan sosiokultural
1. Faktor Biologis
1) Instinctual Drive Theory ( Teori Dorongan Naluri) Teori ini menyatakan bahwa perilaku
kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat.
2) Psychosomatic Theory (Teori Psikosomatik) Pengalaman marah adalah akibat dari respon
psikologi terhadap stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini sistim
limbik berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah
(Deden dan Rusdin, 2018).

2. Factor Psikologis
1) Frustation Aggresion Theory (Teory Agresif-Frustasi) Menurut teori ini perilaku
kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan
individu untuk mencapai sesuatu gagal atau menghambat. Keadaan tersebut dapat
mendorong individu berprilaku agresif karena perasaan prustasi akan berkurang melalui
perilaku kekerasan.
2) Behavior Theory (Teori Perilaku) Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat
dicapai apabila tersedia fasilitas/situasi yang mendukung.
3) Eksistensial Theory ( Teori Eksistensi) Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar
manusia, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi melalui berprilaku konstruktif,
maka individu akan memenuhi melalui berprilaku destruktif.

3. Faktor Sosiokultural
1) Sosial Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial) Lingkungan sosial akan
mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Norma budaya dapat
mendukung individu untuk merespon asertif atau agresif.
2) Sosial Learning Theory (Teori Belajar Sosial) Perilaku kekerasan dapat dipelajari
secara langsung maupun melalui proses sosialisasi(Deden dan Rusdin, 2018)

4. Faktor Presipitasi Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu
bersifat unik. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan,
kematian) amaupun dalam (putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa
cinta, takut terhadap penyakit fisik). Selain itu lingkungan yang terlalu rebut, padat,
kritikan yang mengaruh pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu perilaku
kekerasan(Deden dan Rusdin, 2018).
Sedangkan menurut Yusuf (2015), ada beberapa perilaku yang harus dikenali dariklien
gangguan risiko perilaku kekerasan sebagai berikut:
a. Menyerang atau menghindari
Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat,
peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi,
kewaspadaan meningkat, disertai ketegangan otot seperti :rahang terkatup, tangan
mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif
Perilaku yangditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya,
yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku asertif merupakan cara terbaik
individu untuk mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara
fisik maupun psikologis. Dengan perilaku tersebut, individu juga dapat
mengembangkan diri
c. Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku untuk
menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan.
1. Proses Terjadinya Marah Perilaku Kekerasan
2. Manifestasi klinis Perilaku Kekerasan
Adapun manifestasi klinis gangguan perilaku kekerasan sebaga berikut (Azizah,
2016):
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang.
2) Mata melotot atau pandangan tajam.
3) Tangan mengepal.
4) Rahang mengatup.
5) Wajah memerah dan tegang.
6) Postur tubuh kaku.
7) Pandangan tajam.
8) Mengatupkan rahang dengan kuat.
9) Mengepalkan tangan.
10) Jalan mondar mandir.
b. Verbal
1) Bicara kasar.
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak.
3) Mengancam secara verbal atau fisik.
4) Mengumpat dengan kata kata kotor.
5) Suara keras.
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda atau orang lain.
2) Menyerang orang lain.
3) Melukai diri sendiri atau orang lain.
4) Merusak lingkungan.
5) Amuk atau agresif.
d. Emosi
1) Tidak adekuat.
2) Tidak aman dan nyaman.
3) Rasa terganggu.
4) Dendam dan jengkel.
5) Tidak berdaya.
6) Bermusuhan
7) Mengamuk
8) Ingin berkelahi.
9) Menyalahkan
10) Menuntut
e. Intelektual
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Kasar
4) Berdebat
5) Meremehkan
6) Sarkasme
f. Spiritual
1) Merasa diri berkuasa.
2) Merasa diri benar.
3) Mengkritik pendapat orang lain.
4) Menyinggung perasaan orang lain.
5) Tidak peduli dan kasar.
g. Sosial
1) Menarik diri.
2) Pengasingan
3) Penolakan
4) Kekerasan
5) Ejekan
6) Sindiran
h. Perhatian
1) Bolos
2) Mencuri
3) Melarikan diri.
4) Penyimpangan seksual.
3. Etiologi Perilaku Kekerasan
Menurut Direja dalam Verdiana (2019), ada beberapa faktor penyebab terjadinya
perilaku kekerasan sebagai berikut:
a. Faktor predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi,
artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor
berikut di alami oleh individu :
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
menyenagkan atau perasaan ditolak, dihina, dianiaya, atau sanksi penganiayaan.
2) Perilaku reinforcement
Yang diterima saat melakukan kekerasan, dirumah atau di luar rumah, semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Teori psikoanalitik
Menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya ego dan membuat konsep diri yang
rendah. Agresi dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
hidupnya.
b. Faktor presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik injuri fisik,
psikis, atau ancaman konsep diri. Faktor pencetus sebagai berikut:
1) Klien : kelemahan fisik, keputusan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh
agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
merasa terancam baik internal maupun eksternal.
4. Rentang Respon Perilaku Kekerasan
Adapun rentang respon perilaku kekerasan sebagai berikut (Sutejo, 2017):
Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Kemarahan

Keterangan:
Asertif: Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
Frustasi: Kegagalan mencapai tujuan karena tidak relialitas atau terhambat
Pasif: Respons lanjut klien tidak mampu ungkapkan perasaan
Agresif: Perilaku destruktif masih terkontrol
Kemarahan: Perilaku dekstruktif dan tidak terkontrol
5. Pohon Masalah Perilaku Kekerasan

Risiko mencederai diri sendiri, orang


lain, dan lingkungan

Perilaku kekerasan

Harga diri rendah

6. Akibat Terjadinya Perilaku Kekerasan


Akibatnya pasien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan risiko tinggi
mencederai diri, orang lain, dan lingkungan. Risiko mencederai merupakan suatu
tindakan yang kemungkinan dapat melukai/membahayakan diri, orang lain, dan
lingkungan.
7. Mekanisme koping Perilaku Kekerasan
Adapun mekanisme koping perilaku kekerasan sebagai berikut (Sutejo, 2017):
c. Sublimasi
d. Proyeksi
e. Depresi
f. Denial
g. Reaksi formasi
8. Penatalaksanaan Perilaku Kekerasan
a. Terapi somatik
Terapi Somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa
dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptife menjadi 10 perilaku adaktif
dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien, tetapi target
terapi adalah perilaku klien.
b. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsi therapi (ECT) adalah bentuk terapi
kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini adalah
awalnya untuk menagani klien skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi
biasanya dilaksanakan adalah 2-3 kali sekali (dua minggu sekali).
c. Terapi keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi msalah klien
dengan memberikan perhatian:
1) BHSP
2) Jangan memancing emosi klien
3) Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan keluarga
4) Memberikan kesempatan pada klien dalam mengemukakan pendapat
5) Anjurkan klien untuk mengemukakan masalah yang dialami
6) Mendengarkan keluhan klien
7) Membantu memecahkan masalah yang dialami klien
8) Hindari penggunaan kata-kata uang menyinggung perasaan klien
9) Jika klien melakukan kesalahan jangan langsung memvonis
10) Jika terjadi perilaki kekerasan yang dilakukan adalah: bawa klien ketempat
yang tenang dan aman, hindari benda tajam, lakukan fiksasi sementara, rujuk
ke pelayanan kesehatan.
d. Terapi kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, keterampilan sosial atau aktivitas
lain dengan berdiskusi dan bermain mengembalikan kesadaran klien karena
masalah sebagian orang merupakan perasaan dan tingkah laku pada orang lain
(Varera, 2017).
A. Rencana Asuhan Keperawatan Jiwa pada Pasien Perilaku Kekerasan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri
dari pengumpulan data dan perumusan makalah klien. Data yang dikumpulkan
melalui data bilogis, psikologis, social dan spiritual (Keliat, Budi Ana, 1998:3.
Dikutip dari buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, 2016).
a. Identitas klien
Melakukan pengenalan BHSP dan kontrak dengan klien tentang nama mahasiswa,
nama panggilan, lalu dilanjut melakukan pengkajian dengan nama klien, tujuan,
waktu, tempat pertemuan, topik yang akan dibicarakan. Tanyakan dan catat usia
klien dan No RM, tanggal pengkajian dan sumber data yang didapat.
b. Alasan masuk
Penyebab klien atau keluarga datang, apa yang menyebabkan klien melakukan
kekerasan, apa yang klien lakukan dirumah, apa yang sudah dilakukan keluarga
untuk mengatasi masalah.
c. Faktor predisposisi
Menanyakan apakah keluarga mengalami gangguan jiwa, bagaimana hasil
pengobatan sebelumnya, apakah pernah melakukan atau mengalami penganiayaan
fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga, dan tindakan
kriminal. Menanyakan kepada klien dan keluarga apakah ada yang mengalami
gangguan jiwa, menanyakan kepada klien tentang pengalaman yang tidak
menyenangkan. Pada klien dengan perilaku kekerasan faktor predisposisi, faktor
presipitasi klien dari pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, adanya
riwayat anggota keluarga yang gangguan jiwa dan adanya riwayat penganiayaan.
d. Pemeriksaan fisik
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan tanyakan apakah ada
keluhan fisik yang dirasakan klien. Pada klien dengan perilaku kekerasan tekanan
darah meningkat, RR meningkat, nafas dangkat, muka memerah, tonus otot
meningkat, dan dilatasi pupil.
e. Psikososial
1) Genogram
Genogram menggambarkan klien dengan keluarga, dilihat dari pola
komunikasi, pengambilan keputusan, dan pola asuh. Pada klien perilaku
kekerasan perlu dikaji pola asuh keluarga dalam menghadapi klien.
2) Konsep diri
a) Gambaran diri
Tanyakan persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai,
reaksi klien terhadap bagian tubuh yang tidak disukai dan bagian yang
disukai. Klien dengan perilaku kekerasan mengenai gambaran dirinya ialah
pandangan tajam, tangan mengepal, muka memerah.
b) Identitas diri
Status dan posisi klien sebelum klien dirawat, kepuasan klien terhadap
status posisinya, kepuasan klien sebagai laki laki atau perempuan, keunikan
yang dimiliki sesuai dengan jenis kelaminnya dan posisinya. Klien dengan
PK biasanya identitas dirinya ialah moral yang kurang karenamenunjukkan
pendendam, pemarah, dan bermusuhan.
c) Fungsi peran
Fungsi peran tugas atau peran klien dalam keluarga/pekerjaan/kelompok
masyarakat, kemampuan klien dalam melaksanakan fungsi atau perannya,
perubahan yang terjadi saat klien sakit dan dirawat, bagaimana perasaan
klien akibat perubahan tersebut. Fungsi peran pada klien perilaku
kekerasan terganggu karena adanya perilaku yang menciderai diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan.
d) Ideal diri
Klien dengan PK jika kenyataannya tidak sesuai dengan kenyataan maka
ia cenderung menunjukkan amarahnya, serta untuk pengkajian PK
mengenai ideal diri harus dilakukan pengkajian yang berhubungan dengan
harapan klien terhadap keadaan tubuh yang ideal, posisi, tugas, peran
dalam keluarga, pekerjaan atau sekolah, harapan klien terhadap
lingkungan, harapan klien terhadap penyakitnya, bagaimana kenyataan
tidak sesuai dengan harapannya.
e) Harga diri
Harga diri yaitu penilaian tentang nilai personal yang diperoleh dengan
menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal dirin
Harga diri tinggi merupakan perasaan yang berakar dalam menerim dirinya
tanpa syarat, meskipun telah melakukan kesalahan, kekalahan dee
kegagalan, ia tetap merasa sebagai orang yang penting dan berharga. Haras
diri yang dimiliki klien perilaku kekerasan ialah harga diri rendah karena
penyebab awal klien PK marah yang tidak bisa menerima kenyataan dan
memiliki sifat labil yang tidak terkontrol beranggapan dirinya tidak
berharga.
3) Hubungan sosial
Hubungan sosial pada perilaku kekerasan terganggu karena adanya resiko
menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan serta memiliki amarah yang
tidak dapat terkontrol, selanjutnya dalam pengkajian dilakukan observasi
mengenai adanya hubungan kelompok apa saja yang diikuti dalam masyarakat,
keterlibatan atau peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat, hambatan
dalam berhubungan dengan orang lain, minat dalam berinteraksi dengan orang
lain.
4) Spiritual
Nilai dan keyakinan, kegiatan ibadah/menjalankan keyakinan, kepuasan dalam
menjalankan keyakinan.
f. Status mental
1) Penampilan
Melihat penampilan klien dari ujung rambut sampai ujung kaki tidak rapi,
penggunaan pakaian tidak sesuai, cara berpakaian tidak seperti biasanya,
kemampuan klien dalam berpakaian kurang, dampak ketidakmampuan
berpenampilan baik/berpakaian terhadap status psikologis klien (deficit
perawatan diri). Pada klien dengan perilaku kekerasan biasanya klien tidak
mampu merawat penampilannya, biasanya penampilan tidak rapi, penggunan
pakaian tidak sesuai, cara berpakaian tidak seperti biasanya, rambut kotor.
rambut seperti tidak pernah disisir, gigi kotor dan kuning, kuku panjang dan
hitam.
2) Pembicaraan
Amati pembicaraan klien apakah cepat, keras, terburu-buru, gagap, sering
terhenti/bloking, apatis, lambat, membisu, menghindar, tidak mampu memulai
pembicaraan. Pada klien perilaku kekerasan cara bicara klien kasar, suara tinggi,
membentak, ketus, berbicara dengan kata – kata kotor.
3) Aktivitas motorik
Agresif, menyerang diri sendiri orang lain maupun menyerang objek yang ada
disekitarnya. Klien perilaku kekerasan terlihat tegang dan gelisah, muka merah,
jalan mondar-mandir.
4) Afek dan emosi
Untuk klien perilaku kekerasan efek dan emosinya labil, emosi klien cepat
berubah-ubah cenderung mudah mengamuk, membanting barang-barang/
melukai diri sendiri, orang lain maupun objek sekitar, dan berteriak-teriak.
5) Interaksi selama wawancara
Klien perilaku kekerasan selama interaksi wawancara biasanya mudah marah,
defensive bahwa pendapatnya paling benar, curiga, sinis, dan menolak dengan
kasar. Bermusuhan: dengan kata-kata atau pandangan yang tidak bersahabat
atau tidak ramah. Curiga dengan menunjukan sikap atau peran tidak percaya
kepada pewawancara atau orang lain.
6) Persepsi atau sensori
Pada klien perilaku kekerasan resiko untuk mengalami persepsi sensori sebagai
penyebabnya.
7) Proses pikir
a) Proses pikir (arus dan bentuk pikir)
Otistik (autisme): bentuk pemikiran yang berupa fantasi atau lamunan
untuk memuaskan keinginan untuk memuaskan keinginan yang tidak dapat
dicapainya. Hidup dalam pikirannya sendiri, hanya memuaskan
keinginannya tanpa peduli sekitarnya, menandakan ada distorsi arus
asosiasi dalam diri klien yang dimanifestasikan dengan lamunan, fantasi,
waham dan halusinasinya yang cenderung menyenangkan dirinya.
b) Isi pikir
Pada klien dengan perilaku kekerasan klien memiliki pemikiran curiga, dan
tidak percaya kepada orang lain dan merasa dirinya tidak aman.
8) Tingkat kesadaran
Tidak sadar, bingung, dan apatis. Terjadi disorientasi orang, tempat, dan waktu.
Klien perilaku kekerasan tingkat kesadarannya bingung sendiri untuk
menghadapi kenyataan dan mengalami kegelisahan.
9) Memori
Klien dengan perilaku kekerasan masih dapat mengingat kejadian jangka
pendek maupun panjang.
10) Tingkat konsentrasi
Tingkat konsentrasi klien perilaku kekerasan mudah beralih dari satu objek ke
objek lainnya. Klien selalu menatap penuh kecemasan tegang dan gelisahan.
11) Kemampuan penilaian/pengambilan keputusan
Klien perilaku kekerasan tidak mampu mengambil keputusan yang konstrukue
dan adaptif.
12) Daya titik
Mengingkari penyakit yang diderita: klien tidak menyadari gejala penual
(perubahan fisik dan emosi) pada dirinya dan merasa tidak perlu minta
pertolongan/klien menyangkal keadaan penyakitnya. Menyalahkan hal-hal
diluar dirinya yang menyebabkan timbulnya penyakit atau masalah sekarang.
13) Mekanisme koping
Klien dengan HDR menghadapi suatu permasalahan, apakah menggunakan
cara-cara yang adaptif seperti bicara dengan orang lain, mampu menyelesaikan
masalah, teknik relaksasi, aktivitas konstruktif, olah raga, dll ataukah
menggunakan cara-cara yang maladaptif seperti minum alkohol, merokok.
Reaksi lambat/berlebihan, menghindar, mencederai diri atau lainnya.
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang bisa muncul pada pasien dengan perilaku kekerasan
antara lain :
a. Risiko mencederai diri sendiri, atau orang lain
b. Risiko Perilaku kekerasan
c. Perilaku perubahan persepsi sensori: halusinasi
d. Gangguan harga diri: harga diri rendah
e. Koping individu tidak efektif
3. Intervensi
Diagnosa Perencanaaan
Keperawatan Tujuan Intervensi Kriteria Evaluasi
Perilaku Kekerasan TUM: Bina hubungan saling percaya: Klien menunjukkan tanda-tanda
Klien dan keluarga mampu a. Mengucapkan salam terapeutik. percaya kepada perawat dengan:
mengatasu atau Sapa klien dengan ramah, baik a. Ekspresi wajah cerah,
mengendalikan perilaku verbal maupun non verbal. tersenyum.
kekerasan. b. Berjabat tangan dengan klien. b. Mau berkenalan
c. Perkenalkan diri dengan sopan c. Ada kontak mata
SP 1: d. Tanyakan nama lengkap klien dan d. Bersedia menceritakan
Klien dapat membina nama panggilan yang disukai klien. perasaannya.
hubungan saling percaya. e. Jelaskan tujuan pertemuan e. Bersedia mengungkapkan
f. Membuat kontrak topik, waktu, dan masalah.
tempat setiap kali bertemu klien.
g. Tunjukkan sikap empati dan
menerima apa adanya.
h. Beri perhatian kepada klien dan
perhatian kebutuhan dasar klien.
SP 2: Bantu klien untuk mengungkapkan a. Menceritakan penyebab
Klien dapat mengidentifikasi perasaan marahnya: perilaku kekerasan yang
penyebab perilaku kekerasan a. Diskusikan bersama klien untuk dilakukannya.
yang dilakukannya. menceritakan penyebab rasa kesal b. Menceritakan penyebab
atau rasa keselnya. perasaan jengkel/kesal, baik
b. Dengarkan penjelasan klien tanpa dari diri sendiri maupun
menyela atau memberi penilaian lingkungannya.
pada setiap ungkapan perasaan
klien.
SP 3: Membantu klien mengungkapkan Klien dapat menceritakan tanda-
Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasaan yang tanda perlaku kekerasan secara:
tanda-tanda perilaku dialaminya: a. Fisik: mata merah, tangan
kekerasan. mengepal, ekspresi tegang.
a. Diskusikan dan motivasi klien b. Emosional: perasaan marah,
untuk menceritakan kondisi fisik jengkel, bicara kasar
saat perilaku kekerasan terjadi. c. Sosial: bermusuhan yang
b. Diskusikan dan motivasi klien dialami saat terjadi perilaku
untuk menceritakan kondisi kekerasan.
emosinya saat terjadinya perilaku
kekerasan.
c. Diskusikan dan motivasi klien
untuk menceritakan kondisi
psikologis saat terjadi perilaku
kekerasan.
d. Diskusikan dan motivasi klien
untuk menceritakan kondisi
hubungan dengan orang lain saat
terjadi perilaku kekerasan.
SP 4: a. Diskusikan dengan klien seputar Klien dapat menjelaskan:
Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang a. Jenis-jenis ekspresi
jenis perilaku kekerasan dilakukannya selama ini. kemarahan yang selama ini
yang pernah dilakukannya. b. Motivasi klien menceritakan jenis- telah dilakukannya.
jenis tindak kekerasan yang selama b. Persaannya saat melakukan
ini pernah dilakukannya. kekerasan.
c. Motivasi klien menceritakan c. Efektivitas cara yag dipakai
perasaan setelah tindak kekerasan dalam menyelesaikan
tersebut terjadi. masalah.
d. Diskusikan apakah dengan tindak
kekerasan yang dilakukannya,
masalah yang dialami teratasi.
SP 5: Diskusikan dengan klien akibat negatif Klien dapat menjelaskan akibat
Klien dapat mengidentifikasi atau kerugian dari cara atau tindakan yang timbul dari tindak
akibat dari perilakukekersan. kekerasan yang dilakukan pada diri kekerasan yang dilakukanya:
sendiri, orang lain/keluarga, dan Diri sendiri (luka, dijauhi teman,
lingkungan. dll), orang lain/keluarga (luka,
tersinggung, ketakutan, dll),
lingkungan (barang atau benda-
benda rusak, dll).
SP 6: Diskusikan dengan klien: Klien dapat menjelaskan cara-
Klien dapat mengidentifikasi a. Apakah klien mau mempelajari cara cara sehat untuk mengungkapkan
cara konstruktif atau cara- baru mengungkapkan marah yang kemarahannya.
cara sehat dalam sehat.
mengungkapkan kemarahan. b. Jelaskan berbagai alternatif pilihan
untuk mengungkapkan kemarahan
selain perilaku kekerasan yang
diketahui pasien.
c. Jelaskan cara-cara sehat untuk
mengungkapkan kemarahan,
dengan cara:
1) Cara fisik: nafas dalam, pukul
banytal atau kasur, olahraga.
2) Verbal: mengungkapkan bahwa
dirinya sedang kesal pada orang
lain.
3) Sosial: latihan asertif dengan
orang lain.
4) Spiritual: sholat, doa, dzikir,
meditasi sesuai dengan
kenyakinan agamanya masing-
masing.
SP 7: a. Diskusikan cara yang mungkin Klien dapat memperagakan cara
Klien dapat dipilih serta anjurkan klien memilih mengontrol perilaku kekerasan
mendemonstrasikan cara cara yang mungkin diterapkan secara fisik, verbal, dan spiritual
mengontrol perilaku untuk mengungkapkan dengan cara berikut:
kekerasan. kemarahannya. a. Fisik: tarik nafas dalam,
memukul bantal atau kasur
b. Latih klien memperagakan cara b. Verbal: mengungkapkan
yang dipilih dengan melaksanakan perasaan kesal pada oranglain
cara yang dipilih. tanpa menyakiti.
c. Jelaskan manfaat tersebut. c. Spiritual: dzikir, doa,
d. Anjurkan klien menirukan peragaan meditasi sesuai agamanya
yang sudah dilakukan. masing-masing
e. Beri penguatan pada klien, perbaiki
cara yang masih belum sempurna.
f. Anjurkan klien menggunakan cara
yang sudah dilatih saat
marah/jengkel.
SP 8: a. Diskusikan pentingnya peran Keluarga klien mampu:
Klien mendapatkan keluarga sebagai pendukung klien a. Menjelaskan cara merawat
dukungan keluarga untuk dalam mengatasi perilaku klien dengan risiko perialku
mengontrol risiko perilaku kekerasan. kekerasan.
kekerasan. b. Diskusikan potensi keluarga untuk b. Mengungkapkan rasa puas
membantu klien mengatasi perilaku dalam merawat klien dengan
kekerasan. perilaku kekerasan.
c. Jelaskan pengertian, penyebab,
akibat dan cara merawat klien
perilaku kekerasan yang dapat
dilaksanakan oleh keluarga.
SP 9: a. Jelaskan manfaat menggunakanobat Klien dapat menjelaskan:
Klien menggunakan obat secara teratur dan kerugian jikatidak a. Manfaat minum obat
sesuai program yang telah menggunakan obat. b. Kerugian tidak minum obat
ditetapkan. b. Jelaskan kepada klien: c. Nama obat
1) Jenis obat (nama, warna, dan d. Bentuk dan warna obat
bentuk obat) e. Dosis yang diberikan
2) Dosis yang tepat kepadanya
3) Waktu pemakaian f. Cara pemakaian
4) Cara pemakaian g. Efek yang dirasakan
5) Efek yang dirasakan
c. Anjurkan klien untuk: h. Klien menggunakan obat
1) Minta dan menggunakan obat sesuai program
tepat waktu
2) Lapor ke perawat/dokter jika
mengalami efek yang tidak biasa
d. Beri pujian terhadap kedisiplinan
klien menggunakan obat.

4. Implementasi
Perilaku Kekerasan
Implementasi pada Pasien Implementasi pada Keluarga
SP 1 SP 1
a. Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan a. Mendiskusikan masalah yang rasakan keluarga dalam
b. Menigentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan merawat pasien.
c. Mengidentifikasi perilaku kekerasan b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku
d. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan kekerasan yang dialami pasien beserta proses terjadinya
e. Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan perilaku kekerasan.
f. Membantu pasien mempraktekan latihan cara mengontrol
perilaku kekerasan secara fisik 1 : latihan napas dalam
g. Menganjurkan pasien memasukan dalam kegiatan harian
SP 2 SP 2
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien a. Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien
b. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara dengan perilaku kekersan
fisik 2 : pukul kasur dan bantal b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung pada
c. Menganjurkan pasien memasukan ke dalam kegiatan harian pasien perilaku kekerasan
SP 3 SP 3
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien e. Membantu keluarga membuat jadwal aktifitas dirumah
b. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara termasuk minum obat (perencanaan pulang)
fisik 2 : pukul kasur dan bantal f. Menjelaskan tindakan tindak lanjut pasien setelah pulang
c. Menganjurkan pasien memasukan ke dalam kegiatan harian
SP 4
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
b. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan
cara spritual
c. Mengajurkan pasien memasukan ke dalam kegiatan harian
SP 5
a. Mengevaluasi jadwal harian pasien Melatih pasien
mengontrol perilaku kekerasan dengan minum obat
b. Menganjurkan pasien memasukan kedalam kegiatan harian
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ada ua macam yaitu:
a) Evaluasi proses atau evaluasi formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan
tindakan
b) Evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respon
pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan

Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP yaitu sebagai berikut:


S : respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
O : respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksakan
A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah
masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang kontradiksiterhadap
masalah yang ada
P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respon pasien

Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut:


a. Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah)
b. Rencana di modifikasi (jika masalah tetap, sudah dilaksakan semua tindakan
tetapi hasil belum memuaskan)
c. Rencana dibatalkan (jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan
masalah yang ada)
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, lilik, M. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta : Indomedia
Pustaka.

Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Andi Offset.

Nadek, Verdiana F. 2019. Asuhan Keperawatan Tn. M. B dengan Perilaku Kekerasan di


Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Naimata Kupang (KTI). Kupang: Politeknik
Kesehatan Kemenkes Kupang

Nurhalimah. 2016. Keperawatan jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik: SDM Kesehatan

Sutejo. 2017. Keperawatan Jiwa : Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan Kesehatan
Jiwa (Gangguan Jiwa dan Psikososial). Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Yusuf, Rizky, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.

Varera, Sonya Maharani. 2017. Asuhan Keperawatan pada Klien Skizofrenia tipe Manik
dengan Gangguan Perilaku Kekerasan di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya (KTI). Jombang: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika

Anda mungkin juga menyukai