Ansietas adalah suatu perasaan takut akan terjadinya sesuatu yang disebabkan
oleh antisipasi bahaya dan merupak sinyal yang membantu individu untuk
bersiap mengambil tindakan menghadapi ancaman. Pengaruh tuntutan,
persaingan, serta bencana yang terjadi dalam kehidupan dapat membawa
dampak terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Salah satu dampak
psikologis yaitu ansietas atau kecemasan (Sutejo, 2018).
B. Etiology Ansietas
Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui timbulnya gejala atau
mekanisme koping yang dikembangkan untuk menjelaskan ansietas (Stuart
& suddent, 2017) yaitu :
1. Faktor predisposisi :
a. Faktor psikoanalitik, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi
antara dua elemen kepribadian Id dan superego. Id mewakili dorongan
insting dan impuls primitive seseorang, sedangkan superego
mencermikan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-
norma budaya seseorang. Ego atau aku, berfungsi menengahi tuntutan
dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah
mengikatkan ego bahwa ada bahaya.
b. Faktor interpersonal, bahwa ansietas timbul dari perasaan takut
terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interposrnal.
Ansietas juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti
perpisahan dan kehilangan, yang meninmbulkan kelemahan spesifik.
Orang dengan harga diri rendah terutama mudah mengalami
perkembangan ansietas yang berat.
c. Faktor perilaku, ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala
sesuatu yang menggangu kemampuan seseorang untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
d. Kajian keluarga menunjukan bahwa ganguan ansietas biasanya terjadi
dalam keluraga. Gangguan ansietas juga tumpang tindih antara
gangguan ansietas dengan depresi
e. Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus
untuk benzodiasepin, obat-obatan yang meningkatkan neuro
regulatory inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA), yang berperan
penting dalam mekanisme biologis yang berhubungan dengan
ansietas. Selain itu, kesehatan umum individu dan riwayat ansietas
pada keluarga memiliki efek nyata predisposisi ansietas. Ansietas
mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan
kemampuan individu untuk mengatasi stressor.
2. Faktor presipitasi
Stressor pencetus dapat berasal dari sumber internal dan eksternal.
Stressor pencetus dapat dikelompokan dalam dua kategori :
a. Ancaman terhadap intergritas fisik meliputi disabiltitas fisiologis
yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan
aktifitas hidup sehari-hari
b. Ancaman terhadap sistim diri dapat membahayakan identitas, harga
diri, dan fungsi social yang terintregasi pada individu.
3. Faktor Predisposisi
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal ansietas
(Waryuningsih,2021) :
a. Teori Psikoanalitik
Ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen
kepribadian, ID dan superego. ID mewakili dorongan insting dan
impuls primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan
hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma- norma
budaya seseorang. Ego atau Aku, berfungsi menengahi hambatan
dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah
mengingatkan ego bahwa ada bahaya
b. Teori Interpersonal
Ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya
penerimaan dari hubungan interpersonal. Ansietas juga
berhubungan dengan perkembangan, trauma seperti perpisahan
dan kehilangan sehingga menimbulkan kelemahan
spesifik.Orang dengan harga diri rendah mudah mengalami
perkembangan ansietas yang berat.
c. Teori Perilaku
Ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang
mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Daftar tentang pembelajaran meyakini bahwa
individu yang terbiasa dalam kehidupan dininya dihadapkan pada
ketakutan yng berlebihan lebih sering menunjukkan ansietas pada
kehidupan selanjutnya.
d. Kajian Keluarga
Menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang
biasa ditemui dalam suatu keluarga.Ada tumpang tindih dalam
gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi.
e. Kajian Biologis
Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus
benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur
ansietas penghambat dalam aminobutirik. Gamma
neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran utama
dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas
sebagaimana halnya endorfin. Selain itu telah dibuktikan
kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai
predisposisi terhadap ansietas. Ansietas mungkin disertai dengan
gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang
4. Faktor Presipitasi
Stressor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau
eksternal. Stressor pencetus dapat dikelompokkan menjadi 2
kategori (Pratiwi, Widianti & Solehati, 2017) :
a. Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi
ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya
kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari- hari.
b. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan
identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
5. Perilaku
Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan
fisiologi dan perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya
gejala atau mekanisme koping dalam upaya melawan kecemasan.
Intensitas perilaku akan meningkat sejalan dengan peningkatan
tingkat kecemasan.
a. Respon Fisiologis Terhadap Ansietas
Sistem Respons
Perilaku Gelisah.
Ketegangan fisik.
Tremor.
Gugup.
Bicara cepat.
Tidak ada koordinasi.
Kecenderungan untuk celaka.
Menarik diri.
Menghindar.
Terhambat melakukan aktifitas.
7. Mekanisme Koping
Ketika mengalami ansietas individu menggunakan berbagai mekanisme
koping untuk mencoba mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi
ansietas secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya
perilaku patologis. Ansietas tingkat ringan sering ditanggulangi tanpa
yang serius.Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan 2 jenis
mekanisme koping(Sumoked, Wowiling& Rompas, 2019) :
a. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realitis tuntutan
situasi stress.
b. Mekanisme pertahanan ego, membantu mengatasi ansietas ringan dan
sedang, tetapi jika berlangsung pada tingkat sadar dan melibatkan
penipuan diri dan distorsi realitas, maka mekanisme ini dapat
merupakan respon maladaptif terhadap stress.
C. Tingkat Ansietas
Menurut (Stuart, 2016) mengidentifikasi tingkat ansietas dengan penjelasan
efeknya, yaitu :
1. Ansietas Ringan
Terjadi pada saat ada ketegangan dalam hidup sehari-hari. Selama ini
seseorang waspada dan lapang tersepsi meningkat, kemampuan
seseorang untuk melihat, medengar, dan menangkap dari sebelumnya.
Jenis ansietas ini dapat memotivasi belajar, menghasilkan
pertumbuhan, dan meningkatkan kreativitas.
2. Ansietas Sedang
Terjadi ketika seseorang hanya berfokus pada hal yang penting saja
dan lapang persepsi menyempit. Sehingga kurang dalam melihat,
mendengar, dan menangkap. Seseorang memblokir area tertentu tetapi
masih mampu mengikuti perintah jika diarahkan untuk melakukannya.
3. Ansietas Berat
Terjadi ditandai dengan penurunan yang signifikan dilapang persepsi.
Ansietas jenis ini cenderung memfokuskan pada hal detail dan tidak
berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukkan untuk
mengurangi ansietas dan banyak arahan yag dibutuhkan untuk focus
pada area lain.
4. Panik
Panik dikaitkan dengan rasa takut dan terror. Pada sebagian orang
yang mengalami kepanikan tidak dapat melakukan hal-hal bahkan
dengan arahan. Gejala panic yang sering muncul adalah peningkatan
aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan dnegan
orang lain, persepsi yang menyempit dan kehilangn pemikiran yang
rasional. Tingkat ansietas ini tidak dapat bertahan tanpa batas waktu,
karena tidak kompatibel dengan kehidupan. Kondisi panic yang
berkepanjangan akan mengakibatkan kelelahan dan kematian, tetapi
panic dapat diobati dengan aman dan efektif.
A. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa yang biasanya muncul adalah :
1. Koping Individu Tidak Efektif
2. Kecemasan
3. Ketidakberdayaan
4. Isolasi Sosial
5. Perubahan Proses Berfikir
B. Intervensi Keperawatan
1. Kecemasan
Tujuan :
• Klien mampu mengenal pengertian penyebab tanda gejala dan
akibat
• Klien mampu mengetahui cara mengatasi ansietas
• Klien mampu mengatasi ansietas dengan melakukan latihan
relaksasi tarik nafas dalam
• Klien mampu mengatasi ansietas dengan melakukan latihan
distraksi
• Klien mampu mengatasi ansietas dengan melakukan hipnotis
lima jari
• Klien mampu merasakan manfaat dari latihan yang dilakukan
• Klien mampu membedakan perasaan sebelum dan sesudah
latihan
Tindakan :
a. Kaji tanda dan gejala ansietas dan kemampuan klien mengurangi
kecemasan
b. Jelaskan tanda dan gejala, penyebab dan akibat dari kecemasan
c. Latihan cara mengatasi kecemasan :
i. Teknik relaksasi napas dalam
ii. Distraksi : bercakap-cakap hal positif
iii. Hipnotis 5 jari fokus padahal-hal yang positif
d. Bantu klien melakukan latihan sesuai dengan jadwal kegiatan.
2. Ketidakberdayaan
Tujuan :
Klien mampu mengenali ketidakberdayaan yang dialaminya
Klien mampu mengontrol ketidakberdayaan dengan berpikir
positif
Klien mampu mengontrol ketidakberdayaan denganberpartisipasi
dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan
perawatannya sendiri
Klien mampu mengontrol ketidakberdayaan melalui peningkatan
kemampuan mengendalikan situasi yang masih bisa dilakukan
pasien
Tindakan :
a. Diskusikan tentang penyebab dan perilaku akibat
ketidakberdayaan
b. Bantu klien untuk mengekspresikan perasaannya dan identifikasi
area-area situasi kehidupan yang tidak berada dalam
kemampuannya untuk mengontrol
c. Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
berpengaruh terhadap ketidakberdayaan
d. Identifikasi pemikiran yang negative dan bantu untukmenurunkan
melalaui interupsi atau subtitusi
e. Latih mengembangkan harapan positif (afirmasi positif)
f. Latihan mengontrol perasaan ketidakberdayaan melalui
peningkatan kemampuan mengendalikan situasi yang masih bisa
dilakukan pasien (bantu klien mengidentifikasi area-area situasi
kehidupan yang dapat dikontrolnya. Dukung kekuatan-kekuatan
diri yang dapat diidentifikasi oleh klien). Misalnya klien masih
mampu menjalankan peran sebagai ayah meskipun sedang sakit.
C. Evaluasi
Pada tinjauan teoritis evaluasi yang diharapkan adalah :
a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengenali dan mengekspresikan emosinya
c. Mampu mengenal ansietas
d. Mampu mengatasi ansietas melalui teknik releksasi progesif
e. Mampu mengatasi ansietas dengan terapi relaksasi autogenitik
DAFTAR PUSTAKA
10. Microsoft Encantta Reference Library.( 2017 ). Liver, Amebiasis Abses And
Calf Diphteria/ Fusa Bakteriun Necrosphorum.
11. Pardede, J. A., Hulu, D. E. S. P., & Sirait, A. (2021). Tingkat Kecemasan
Menurun Setelah Diberikan Terapi Hipnotis Lima Jari pada Pasien
Preoperatif. Jurnal Keperawatan, 13(1), 265-272.
12. Pardede, J. A., & Tarigan, I. (2020). The Anxiety Level of Mother Presectio
Caesar with Benson’s Relaxation Therapy. Jendela Nursing Journal (Jnj),
4(1), 20-28.https://doi.org/10.31983/jnj.v4i1.5801
13. Pardede, J. A., & Simangunsong, M. M. (2020). Family Support With The
Level of Preschool Children Anxiety in the Intravenous Installation. Jurnal
Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 8(3), 223-
234.
14. Riyadi & Purwanto. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Graha
Ilmu
17. Sulastri, S., Trilianto, A. E., & Ermaneti, Y. (2019). Pengaruh Komunikasi
Terapeutik Perawat terhadap Tingkat Kecemasan pada Pasien Pre Operasi.
Jurnal Keperawatan Profesional, 7(1).
https://doi.org/10.33650/jkp.v7i1.503
18. Wahyuningsih, A. S., Saputro, H., & Kurniawan, P. (2021). Analisis Faktor
Kecemasan terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi Hernia di
Rumah Sakit. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional
Indonesia, 9(3), 613-620.
19. Sumoked, A., Wowiling, F., & Rompas, S. (2019). Hubungan Mekanisme
Koping Dengan Kecemasan Pada Mahasiswa Semester Iii Program Studi
Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Yang Akan Mengikuti Praktek
Klinik Keperawatan. Jurnal Keperawatan, 7(1).
20. Pardede, J. A., Keliat, B. A., Damanik, R. K., & Gulo, A. R. B. (2020).
Optimalization of Coping Nurses to Overcoming Anxiety in the Pandemic of
Covid-19 in Era New Normal. Jurnal Peduli Masyarakat, 2(3), 105-
112.http://dx.doi.org/10.31000/jkft.v4i2.2504
23. Pardede, J., Simanjuntak, G. V., & Manalu, N. (2020). Effectiveness of deep
breath relaxation and lavender aromatherapy against preoperative patient
anxiety. Diversity and Equality in Health and Care, 17(4), 168-173. doi:
10.36648/206 9-5471.17.4.209
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI DI RUMAH SAKIT
ISLAMSURABAYA JEMURSARI
Isolasi Sosial
2. Diagnosa
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan defisit perawatan
diri menurut Fitria (2012), adalah sebagai berikut:
a) Defisit perawatan diri
b) Harga diri rendah
c) Isolasi sosial
3. Intervensi
Diagnosa Perencanaan
keperawatan Tujuan (TUK/TUM) Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional
Defisit TUM : Pasien menunjukkan Bina Hubungan Saling Percaya Kepercayaan dari pasien
perawatan diri: Pasien dapat tanda-tanda dapat dengan prinsip berkomunikasi merupakan hal yang
Kebersihan diri, memelihara atau membina hubungan terapeutik, yaitu : akan memudah perawat
berdandan, merawat kebersihan saling percaya dengan 1.1 Sapa pasien dengan ramah dalam melakukan
makan, sendiri secara mandiri perawat, yaitu : baik verbal maupun pendekatan keperawatan
BAK/BAB 1. Ekspresi wajah nonverbal atau intervensi
SP 1 : bersahabat 1.2 Perkenalkan diri dengan selanjutnya terhadap
Pasien dapat membina 2. Pasien menunjukkan sopan pasien.
hubungan saling rasa senang 1.3 Tanyakan nama lengkap
percaya 3. Pasien bersedia pasien dan nama panggilan
berjabat tangan 1.4 Jelaskan tujuan pertemuan
4. Pasien bersedia 1.5 Jujur dan menepati janji
menyebutkan nama 1.6 Tunjukkan sikap empati dan
5. Ada kontak mata menerima pasien apa
6. Pasien bersedia duduk adanya
berdampingan dengan 1.7 Beri perhatian pada
perawat pemenuhan kebutuhan dasar
7. Pasien bersedia pasien
mengutarakan masalah
yang dihadapinya
SP 2 : Kriteria evaluasi : Melatih pasien cara-cara Pengetahuan tentang
Pasien mampu Pasien dengan aman perawatan diri dengan cara : pentingnya perawatan
melakukan kebersihan melakukan (kemampuan 2.1 Menjelaskan pentingnya diri dapat meningkatkan
diri secara mandiri maksimum) aktivitas kebersihan diri motivasi pasien
perawatan diri secara 2.2 Menjelaskan alat-alat untuk
mandiri menjaga kebersihan diri Menyiapkan untuk
2.3 Menjelaskan cara-cara meningkatkan
melakukan kebersihan diri kemandirian
2.4 Melatih pasien Bimbingan perawat akan
mempraktikan cara menjaga mempermudah pasien
kebersihan diri melakukan perawatan
diri secara mandiri
SP 3 : Kriteria evaluasi : 3.1 Melatih pasien berdandan, Membiasakan diri untuk
Pasien mampu Pasien dengan aman dengan rincian : melakukan perawatan
melakukan tindakan melakukan (kemampuan a. Untuk pasien laki-laki, diri sendiri
perawatan, berupa maksimum) atau latihan meliputi :
berhias atau berdandan mempertahankan berpakaian, menyikat
secara baik aktivitas perawatan diri rambut, bercukur
berupa berhias dan b. Untuk pasien wanita,
berdandan. Pasien latihan meliputi :
berusaha untuk berpakaian, menyisir
memelihara kebersihan rambut, berhias
diri, seperti mandi pakai 3.2 Memantau kemampuan
sabun dan disiram pasien dalam berpakaian
dengan air sampai bersih, dan berhias
mengganti pakaian bersih 3.3 Memonitor atau
sehari-hari, dan mengidentifikasi adanya
merapikan penampilan kemunduran sensori,
kognitif, dan psikomotor
yang menyebabkan pasien
mempunyai kesulitan dalam
berpakaian dan berhias
3.4 Diskusikan dengan pasien
kemungkinan adanya
hambatan dalam berpakaian
dan berhias
3.5 Menggunakan komunikasi /
intruksi yang mudah
dimengerti pasien untuk
mengakomodasi
keterbatasan kognitif pasien
SP 4 : Kriteria evaluasi : a. Memantau kemampuan Identifikasi mengenai
Pasien mampu Kebutuhan personl pasien makan penyebab pasien tidak
melakukan kegiatan hygiene pasien terpenuhi. b. Identifikasi Bersama pasien mau makan menentukan
makan dengan baik Pasien mampu faktor-faktor penyebab intervensi perawat
melakukan kegiatan pasien tidak mau makan selanjutnya.
makan secara mandiri c. Identifikasi adanya
dan tepat dengan hambatan makan Pengetahuan tentang
mengungkapkan a. Fisik : kelemahan, pentingnya perawatan
kepuasan makan isolasi, keterbatasan diri meningkatkan
extremitas, dll motivasi.
b. Emosi : depresi,
penurunan nafsu makan Pasien mungkin
c. Intelektual : curiga kesulitan dalam
d. Sosial : curiga mempersiapkan,
e. Spiritual : adanya mengambil makanan
waham sendiri, dan merapikan
d. Diskusikan dengan pasien peralatan.
akibat kurang / tidak mau
makan Menambah wawasan
e. Diskusikan dengan pasien pasien tentang personal
fungsi makanan bagi hygiene : makan
kesehatan
f. Menjelaskan cara Penguatan
mempersiapkan makan (reinforcement) dapat
kepada pasien meningkatkan motivasi
g. Menjelaskan tentang pasien.
personal hygiene tentang
pola makan
SP 5 : Kriteria evaluasi : a. Mengkaji budaya pasien Mengetahui kebiasaan
Mampu melakukan Pasien dapat ketika mempromosikan pasien dalam toileting
BAK/BAB secara melaksanakan perawatan aktivitas perawatan diri dapat membantu perawat
mandiri diri secara mandiri dalam b. Bantu pasien ke toilet melakukan intervensi
hal BAB/BAK seperti : c. Berikan pengetahuan selanjutnya.
a. Mampu duduk dan tentang personal hygiene
turun dari toilet dalam kaitannya dengan Hambatan mobilitas
b. Mampu toileting menyebabkan tidak
membersihkan diri d. Menjelaskan tempat mampu melakukan
setelah eleminasi BAB/BAK yang sesuai perawatan diri secara
secara e. Menjelaskan cara mandiri.
mandiri/dibantu membersihkan diri setelah
BAB/BAK Mengetahui pentingnya
f. Menjelaskan cara personal hygiene bagi
membersihkn tempat pasien.
BAB/BAK
Memberikan
kesempatan kepada
keluarga untuk
membantu pasien.
SP 6 : Kriteria evaluasi : 6.1 Diskusikan dengan keluarga Memberikan
Keluarga mampu Keluarga dapat tentang fasilitas kebersihan kesempatan kepada
merawat anggota mengetahui defisit diri yang dibutuhkan oleh keluarga untuk
keluarganya yang perawatan diri pasien dan pasien untuk menjaga membantu pasien dan
mengalami masalah cara memberikan perawatan diri pasien memberi motivasi.
kurang perawatan diri dukungan dalam 6.2 Anjurkan keluarga untuk
memberikan pada pasien terlibat dalam merawat diri Keluarga sebagai system
dalam melakukan pasien dan membantu pendukung berperan
perawatan diri. mengingatkan pasien dalam penting dalam
merawat diri (sesuai dengan membantu pasien.
yang disepakati)
6.3 Anjurkan keluarga untuk
memberikan pujian atas
keberhasilan pasien dalam
merawat diri
4. Implementasi
Perilaku Kekerasan
Implementasi pada Pasien Implementasi pada Keluarga
SP 1 SP 1
a. Mengidentifikasi penyebab defisit perawatan diri a. Mendisukusikan masalah yang rasakan keluarga dalam
b. Mengidentifikasi tanda dan gejala defisit perawatan diri merawat pasien.
c. Mengidentifikasi akibat defisit perawatan diri b. Mendiskusikan dengan keluarga tentang fasilitas
d. Mengidentifikasi cara menangani defisir perawatn diri kebersihan diri yang dibutuhkan oleh pasien untuk menjaga
SP 2 perawatan diri pasien
a. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri c. Menganjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri
b. Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri pasien dan membantu mengingatkan pasien dalam merawat
c. Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri diri (sesuai dengan yang disepakati)
d. Melatih pasien mempraktikan cara menjaga kebersihan diri d. Menganjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas
keberhasilan pasien dalam merawat diri
SP 3 mengakomodasi keterbatasan kognitif pasien
Melatih pasien berdandan
a. Memantau kemampuan pasien dalam berpakaian dan
berhias
b. Memonitor atau mengidentifikasi adanya kemunduran
sensori, kognitif, dan psikomotor yang menyebabkan
pasien mempunyai kesulitan dalam berpakaian dan berhias
c. Diskusikan dengan pasien kemungkinan adanya hambatan
dalam berpakaian dan berhias
d. Menggunakan komunikasi / intruksi yang mudah
dimengerti pasien untuk
SP 4
a. Memantau kemampuan pasien makan
b. Identifikasi Bersama pasien faktor-faktor penyebab pasien
tidak mau makan
c. Identifikasi adanya hambatan makan
d. Diskusikan dengan pasien akibat kurang / tidak mau
makan
e. Diskusikan dengan pasien fungsi makanan bagi kesehatan
f. Menjelaskan cara mempersiapkan makan kepada pasien
g. Menjelaskan tentang personal hygiene tentang pola makan
SP 5
a. Mengkaji budaya pasien ketika mempromosikan aktivitas
perawatan diri
b. Bantu pasien ke toilet
c. Berikan pengetahuan tentang personal hygiene dalam
kaitannya dengan toileting
d. Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
e. Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB/BAK
f. Menjelaskan cara membersihkn tempat BAB/BAK
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ada ua macam yaitu:
a. Evaluasi proses atau evaluasi formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan
tindakan
b. Evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respon
pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan
Abdul Nasir, Muhit. (2015) Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa Pengantar Dan Teori. Jakarta :
Salemba Medika.
Azizah, L M, dkk. 2016.Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik
Klinik. Yogyakarta : Indonesia Pustaka
Dermawan, Deden dan Rusdi. 2013. Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Gosyan Publishing.
Gloria Bulecheck, Howard Butcher, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC).
Singapore : Elsevier Global Rights.
Nur Laili, Desy. 2014. Pengaruh Aktivitas Mandiri: Personal Hygiene Terhadap Kemandirian
Pasien Defisit Perawatan Diri Pada Pasien Gangguan Jiwa. Semarang : Jurnal
Keperawatan dan Kebidanan
Pinedendi, Novita dkk. 2016. Pengaruh Penerapan Asuhan Keperawatan Defisit Perawatan
Diri Terhadap Kemandirian Personal Hygiene Pada Pasien Di Rsj. Prof. V. L.
Ratumbuysang Manado Tahun 2016 . Manado : e-Journal Keperawatan (e-Kp)
Volume 4 Nomor 2
Sue Moorhead, Marion Johnson, dkk. 2016. Nursing Outcome Classification (NOC).
Singapore : Elsevier Global Rights.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN HALUSINASI
DI RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA JEMURSARI
B. Klasifikasi Halusinasi
Menurut (Yusuf, 2015) klasifikasi halusinasi dibagi menjadi 5 yaitu :
D. Etiologi
Faktor predisposisi klien halusinasi menurut (Oktiviani, 2020) :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidakmampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan.
c. Biologis
d. Faktor biologis Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan
jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam
tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogen
neurokimia.Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya
neurotransmitter otak.
e. Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambilkeputusan yang tepat demi
masa depannya, klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam khayal.
f. Sosial Budaya
1. Respon Adaptif
Respon adaptif respon yang dapat diterima oleh norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut
2. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi:
a. Kelainan pikiran adalah keyakianan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertetangan dengan kenyataan sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul
dari hati.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh
individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan
sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.
E. Fase Halusinasi
Halusinasi terbagi atas beberapa fase (Oktiviani, 2020):
a. Fase Pertama / Sleep disorder
Pada fase ini klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari
lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah.
Masalah makin terasa sulit karna berbagai stressor terakumulasi, misalnya
kekasih hamil, terlibat narkoba, dikhianati kekasih, masalah dikampus,
drop out, dst. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan
support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit
tidur berlangsung trus-menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien
menganggap lamunanlamunan awal tersebut sebagai pemecah masalah
b. Fase Kedua / Comforting
Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan
cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan, dan mencoba
memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia
beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat dia
kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada
kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinasinya
c. Fase Ketiga / Condemning
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami
bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan
mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang
dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain, dengan
intensitas waktu yang lama.
d. Fase Keempat / Controlling Severe Level of Anxiety
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang
datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya
berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan psikotik.
e. Fase ke lima / Conquering Panic Level of Anxiety
Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai terasa terancam
dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat
menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari
halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama minimal
empat jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi
terapeutik, terjadi gangguan psikotik berat.
F. Penatalaksanaan Medis
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada
gangguan Skizofrenia. Dimana Skizofrenia merupakan jenis psikosis, adapun
tindakan penatalaksanaan dilakukan dengan berbagai terapi (Pardede, Keliat,
& Wardani, 2013) yaitu :
1. Psikofarmakologis
Obat sangat penting dalam pengobatan skizofrenia, karena obat dapat
membantu pasien skizofrenia untuk meminimalkan gejala perilaku
kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah. Sehingga pasien skizofrenia
harus patuh minum obat secara teratur dan maumengikuti perawatan.
a. Haloperidol (HLD)
Obat yang dianggap sangat efektif dalam pengelolaan hiperaktivitas,
gelisah, agresif, waham, dan halusinasi.
b. Chlorpromazine (CPZ)
Obat yang digunakan untuk gangguan psikosis yang terkait
skizofrenia dan gangguan perilaku yang tidak terkontrol
c. Trihexilpenidyl (THP)
Obat yang digunakan untuk mengobati semua jenis parkinsondan
pengendalian gejala ekstrapiramidal akibat terapi obat.
1. Dosis Obat
2. Psikosomatik
Terapi kejang listrik (Electro Compulsive Therapy), yaitu suatu
terapi fisik atau suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang
grand mal secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui
elektroda yang dipasang pada satu atau dua templespada pelipis.
Jumlah tindakan yang dilakukan merupakan rangkaian yang
bervariasi pada setiap pasien tergantung pada masalah pasien dan
respon terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan. Pada
pasien Skizofrenia biasanya diberikan 30 kali. ECT biasanya
diberikan 3 kali seminggu walaupun biasanya diberikan jarang atau
lebih sering. Indikasi penggunaan obat: penyakit depresi berat yang
tidak berespon terhadap obat,gangguan bipolar di mana pasien sudah
tidak berespon lagi terhadap obat dan pasien dengan bunuh diri akut
yang sudah lamatidak mendapatkan pertolongan.
3 Psikoterapi
b. Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis
berinteraksi dengan stresor lingkungan untukmenentukan terjadinya
gangguan prilaku.
d. Faktor psikologik
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah dapat menimbulkan
perkembangan gangguan sensori persepsi halusinasi.
e. Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respons
neurobiologis maladaptif meliputi : regresi, berhunbungan dengan
masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi ansietas, yang
menyisakan sedikit energi untuk aktivitas sehari-hari. Proyeksi,
sebagai upaya untuk menejlaskan kerancuan persepsi dan menarik
diri.
f. Sumber koping
Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman tentang
pengaruh gangguan otak pada perilaku. Orang tua harus secara aktif
mendidik anak–anak dan dewasa muda tentang keterampilan koping
karena mereka biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan.
Disumber keluarga dapat pengetahuan tentang penyakit, finensial
yang cukup, faktor ketersediaan waktu dan tenaga serta kemampuan
untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan.
g. Perilaku halusinasi
Batasan karakteristik halusinasi yaitu bicara teratawa sendiri,
bersikap seperti memdengar sesuatu, berhenti bicara ditengah –
tengah kalimat untuk mendengar sesuatu,disorientasi, pembicaraan
kacau dan merusak diri sendiri, orang lain serta lingkungan.
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA 2015-2017 yakni gangguan persepsi. Dengan faktor
berhubungan dan batasan karakteristik disesuaikan dengan keadaan yang
ditemukan pada tiap-tiap partisipan. Topik yang diteliti yakni kemampuan
mengontrol halusinasi dengar (Aji, 2019).
C. Perencanaan Keperawatan
Rencana tindakan pada keluarga (Husein,& Arifin,2011) adalah ;
1. Diskusikan masalah yang dihadap keluarga dalam merawat pasien
2. Berikan penjelasan meliputi : pengertian halusinasi, proses terjadinya halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi
3. Jelaskan dan latih cara merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi :
menghardik, minum obat, bercakap- cakap, melakukan aktivitas
4. Diskusikan cara menciptakan lingkungan yang dapat mencegah terjadinya halusinasi.
5. Diskusikan tanda dan gejala kekambuhan
6. Diskusikan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan terdekatuntuk follow up anggota
keluarga dengan halusinasi.
Rencana tindakan keperawatan pada klien dengan diagnosa gangguan persepsi
sensori halusinasi meliputi pemberian tindakan keperawatan berupa terapi (Sulah,
Pratiwi, & Teguh. 2016) yaitu :
1. Bantu klien mengenal halusinasinya meliputio isi, waktu terjadi halusinasi,
isi, frekuensi, perasaan saat terjadi halusinasi respon klien terhadap halusinasi
mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
2. meminum obat secara teratur
3. Melatih bercakap-cakap dengan orang lain
4. Menyusun kegiatan terjadwal dan dengan aktifitas.
E. Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi
nyata sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana, hal ini terjadi karena
perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan
tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang
sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah
rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai dengan kondisinya
(here and now). Perawat juga menilai diri sendiri, apakah kemampuan
interpersonal, intelektual, tekhnikal sesuai dengan tindakan yang akan
dilaksanakan, dinilai kembali apakah aman bagi klien. Setelah semuanya tidak
ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Adapun
pelaksanaan tindakan keperawatan jiwa dilakukan berdasarkan Strategi
Pelaksanaan (SP) yang sesuai dengan masing- masing masalah utama. Pada
masalah gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran, terdapat 2 jenis
SP, yaitu SP Klien dan SP Keluarga.SP klien terbagi menjadi SP 1 (membina
hubungan saling percaya, mengidentifikasi halusinasi “jenis, isi, waktu,
frekuensi, situasi, perasaan dan respon halusinasi”, mengajarkan cara
menghardik, memasukan cara menghardik ke dalam jadwal; SP 2
(mengevaluasi SP 1, mengajarkan cara minum obat secara teratur, memasukan
ke dalam jadwal); SP 3 (mengevaluasi SP 1 dan SP 2, menganjurkan klien
untuk mencari teman bicara); SP 4 (mengevaluasi SP 1, SP 2, dan SP 3,
melakukan kegiatan terjadwal).
F. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan
respon klien pada tujuan umum dan tujuan khusus yang telah
ditentukan.halusinasi pendengaran tidak terjadi perilaku kekerasan, klien dapat
membina hubungan saling percaya, klien dapat mengenal halusinasinya, klien
dapat mengontrol halusinasi dengar dari jangka waktu 4x24 jam didapatkan
data subjektif keluarga menyatakan senang karena sudah diajarkan teknik
mengontrol halusinasi, keluarga menyatakan pasien mampu melakukan
beberapa teknik mengontrol halusinasi. Data objektif pasien tampak berbicara
sendiri saat halusinasi itu datang, pasien dapat berbincang-bincang dengan
orang lain, pasien mampu melakukan aktivitas terjadwal, dan minum obat
secara teratur ( Aji, 2019 ).
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
DENGAN PASIEN HARGA DIRI RENDAH DI RUMAH SAKIT ISLAM
SURABAYA JEMURSARI
Menurut Keliat, 1998, Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah hati dan rendah diri yang berkepanjngan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri
sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal
karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri (Iyus Yosep, 2016). Harga diri
seseorang diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Gangguan harga diri rendah akan
terjadi jika kehilangan kasih sayang, perilaku orang lain yang mengancam dan hubungan
interpersonal yang buruk. Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi
sampai rendah. Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara
aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman.
Individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara negatif
menganggap sebagai ancaman dengan pendapat Barbara Kozier berikut: Level of self
esteem range from high to low. A person who has high self esteem deals actively with the
environment, adapts effectively to change, and feels secure. A person with low self esteem
sees the environment as negative and threatening (Driver dalam Barbara Kozier,
2003:845).
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti an rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri.
Adanya hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan
sesuai ideal diri.
Ganguan harga diri yang disebut sebagain harga diri rendah dapat terjadi secara:
(Mukhripah Damaiyanti, 2014)
a. Situasional, yaitu terjadi terutama yang tiba-tiba, misalnya harus operasi, kecelakaan,
dicerai suami atau istri, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan malu karena
sesuatu (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba).
b. Kronik, yaitu perasaan negative terhadap diri berlangsung lama, yaitu sebelum sakit
atau dirawat. Klien ini mempunyai cara yang berpikir yang negatif. Kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negative terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan
respon mal yang adaptif. Kondisi ini dapat ditemukan pada klien gangguan fisik yang
kronik atau pada klien gangguan jiwa.
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri.
Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai
keinginan sesuai dengan ideal diri.
Ganguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang. perlakuan orang lain
yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk. Harga diri meningkat bila
diperhatikan atau dicintai dan dihargai atau dibanggakan. Tingkat harga diri seseorang
berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Harga diri tinggi positif ditandai dengan
ansietas yang rendah, efektif dalam kelompok, dan diterima oleh orang lain. Individu yang
memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi
secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman, sedangkan individu yang
memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap
sebagai ancaman.
1. Upaya Yang Dapat Dilakukan
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan untuk melakukan
kegiatan pada pasien yang mengalami harga diri rendah adalah dengan terapi kreasi
seni menggambar yang merupakan salah satu bagian dari terapi lingkungan. Terapi
lingkungan berkaitan erat dengan stimulasi psikologis seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan fisik mampu psikologis seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan baik pada kondisi fisik maupun psikologis seseorang.
Berbagai jeneis terapi spesialis yang diberikan untuk pasien dengan harga diri
rendah kronis meliputi tiga kategori yaitu untuk individu, keluarga, dan kelompok
terapi spesialis imndividu yang dapat diberikan pada pasien dengan harga diri
rendah kronis adalah Cognitive Behaviour Therapy (CBT) atau terapi kognitif
perilaku dan Logotherapy. Terapi kelompok yang dapat diimplemaentasikan pada
pasien dengan harga diri rendah kronis adalah Supportive Therapy atau terapi
supportif dan Self Help Group (SHG) atau kelpmpok swabantu. Untuk keluarga
pasien, perawat spesialis jiwa dapat memberikan terapi spesialis Psikoedukasi
keluarga dan Triangle Therapy (Widianti et.al, 2017).
a. Terapi lingkungan dapat membantu pasien untuk mengembangkan rasa harga
diri, mengembangkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,
membantu mempercayai orang lain. Terapi lingkungan dapat dibagi menjadi 4
jenis yaitu terapi rekreasi, terapi kreasi seni, pettherapy dan plantherapy. Jenis
terapi lingkungan yang tepat diterapkan pada pasien harga diri rendah adalah
yang pertama terapi rekreasi, tujuan dari terapi tersebut adalah agar pasien
dapat melakukan kegiatan secara konstruktif dan menyenangkan, dan
mengembangkan kemampuan hubungan sosial, yang kedua adalah terpi kreasi
seni, dalam terapi kreasi seni terbagi menjadi empat bagian yaitu terapi
menari, atau dance, terapi musik, terapi menggambar atau melukis terapi
literatur atau biblio. Keempat jenis terapi ini membantu pasien untuk
mengkomunikasikan tentang perasaan-perasaan dan kebutuhankebutuhanya,
memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekpresikan tentang apa yang
terjadi dengan dirinya serta memberikan kesempatan pada pasien untuk
mengembangkan wawasan diri dan bagaimana mengekspresikan pikiran dan
perilaku sesuai dengan norma yang baik.
b. Terapi kreasi seni menggambarkan diterapkan karena ada anggapan dasar
bahwa pasien harga diri rendah akan dapat mengekspresikan perasaan melalui
terapi lingkungan seni menggambar dari dengan ekspresi verbal. Dengan
terapi kreasi seni menggambar perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan,
status emosional pasien dengan harga diri rendah, hipotesa diagnostiknya,
serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah pasien harga diri rendah
tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kegiatan pada
pasien yang mengalami harga diri rendah adalah dengan terapi kreasi seni
menggambar yang merupakan salah satu terapi lingkungan. Terapi kreasi seni
menggambar berkaitan erat dengan stimulasi psikologis seseorang yang akan
berdampak pada kesembuhan baik pada kondisi fisik maupun psiologis
seseorang.
c. Terapi kognitif diberikan dalam tiga sesi yaitu sesi: (Febriana et. al, 2016).
1) Identifikasi pikiran otomatis negati
2) Penggunaan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negative
3) Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis yang negatif
Pelaksanaan terapi kognitif menggunakan pendekatan interpersonal peplau
yang terdiri dari orientasi, identifikasi, eksploitasi dan resolusi. Pendekatan
peplau sangat dalam proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian
orientasi dan identifikasi, eksploitasi perencanaan dan implementasi,
resolisi atau evaluasi. Begitu juga dengan tahap komunikasi terapeutik
yang digunakan dalam terapi kognitif yaitu: orientasi, kerja dan terminasi.
Atas dasar kesesuaian tersebut menggunakan interpersonal peplau sebagai
kerangka penyelesaian masalah pasien harga diri rendah dengan terapi
kognitif (Mubin. 2016).
Adapun klasifikasi perilaku kekerasan menurut Muhith (2015), sebagai berikut:
a. Irritable aggression, merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan
marah. Biasanya diinduksi oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek pada
proses penerimaan dan memahami informasi dengan intensitas emosional yang
tinggi.
b. Instrumental aggression adalah suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat
untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya untuk mencapai suatu tujuan
politik tertentu dilakukan tindak kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan
terencana: seperti peristiwa penghancuran menara kembar WTC di new York,
tergolong dalam kekerasan instrumental)
c. Mass aggression adalah tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat
kehilangan individualitas dari masing-masing individu. (misalnya, bila ada
seseorang yang mempelopori tindakan kekerasan maka secara otomatis semua
akan ikut melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi, karena saling
membangkitkan).
Sedangkan menurut Yusuf (2015), ada beberapa perilaku yang harus dikenali dari
klien gangguan risiko perilaku kekerasan sebagai berikut:
a. Menyerang atau menghindari
Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat,
peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi,
kewaspadaan meningkat, disertai ketegangan otot seperti :rahang terkatup, tangan
mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif
Perilaku yangditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya,
yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku asertif merupakan cara terbaik
individu untuk mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara
fisik maupun psikologis. Dengan perilaku tersebut, individu juga dapat
mengembangkan diri
c. Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku
untuk menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan.
2. Etiologi
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang
dalam tinjaun life span history klien, penyebab terjadinya harga diri rendah adalah
pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat
individu mencapain masa remaja keberadaanya kurang dihargai, tidak diberi
kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah,
pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuanya. Menurut Stuart, 2016, faktor-
faktor yang mengakibatkan harga diri rendah kronik meliputi factor predisposisi dan
faktor presipitasi sebagai berkut:
a. Faktor Predisposisi, Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan
orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain,
dan ideal diri yang tidak realistis. Faktor yang mempengaruhi performa peran
adalah stereo type peran gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.
Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakkepercayaan orang
tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial.
b. Faktor Presipitasi, Menurut yosep, 2015. Faktor presipitasi terjadi haga diri
rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk
tubuh, kegagalan atau produktifitas yang menurun. Secara umum, ganguan
konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara stuasional atau kronik.
Secara situasional karena trauma yang muncul secara tiba-tiba, misalnya harus
dioperasi, kecelakaan, perkosaan atau dipenjara. Termasuk dirawat dirumah sakit
bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik atau
pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman. Harga diri rendah
kronik, biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah
memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat.
c. Perilaku, perilaku yang objektif dan dapat diamati serta perasaan subjektif dan
dunia dalam diri klien sendiri. Perilaku yang berhubungan dengan harga diri
rendah salah satunya mengkritik diri sendiri, sedangkan keracuan identitasseperti
sifat kepribadian yang bertentangan serta depersonalisasi Stuart, 2006.
3. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti 2018, tanda dan gejala harga diri rendah kronik adalah
sebagai berikut:
a. Mengkritik diri sendiri.
b. Perasaan tidak mampu.
c. Pandangan hidup yang pesimis.
d. Penurunan produktifitas
e. Penolakan terhadap kemampuan diri
4. Rentang Respon Harga Diri
Konsep diri merupakan aspek kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu
dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari
kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan.
Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu an sosial yang
maladaptive ( Stuart G.W, 2016)
a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
b. Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang apa yang ada
pada dirinya meliputi citra dirinya. Ideal dirinya harga dirinya, penampilan
peran serta identitas dirinya secara positif. Hal ini akan menunjukan bahwa
individu itu akan menjadi individu yang sukses.
c. Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya sendiri,
termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak, berguna, pesimis tidak
ada harapan dan putus asa. Adapun perilaku yang berhubungan dengan harga
diri yang rendah yaitu mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan
produktivitas, destruktif yang diarahkan kepada orang lain, ganguan dalam
berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif mengenai
tubuhnya sendiri, keluhan fisik, menarik diri secara sosial, khawatir, serta
menarik diri dari realitas.
d. Keracuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Adapun perilaku yang
berhubungan dengan keracuan identitas yaitu tidak ada kode moral, sifat
kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal eksploitatif, perasaan
hampa. Perasaan mengambang tentang diri sendiri, tingkat ansietas yang
tinggi, ketidak mampuan untuk empati terhadaapa orang lain.
e. Despersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis dimana klien
tidak dapat membedakan stimulus dari dalam atau luar dirinya. Individu
mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya sendiri dari orang lain, dan
tubuhnya sendiri merasa tidak nyata dan asing baginya.
5. Pohon Masalah Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika
Febriana et.al, 2016. Pengaruh Terapi Kognitif Terhadap Harga Diri Remaja Korban
Bullying Vol. 4, No. 1. Jurnal Ilmu Keperawatan.
Mulyawan & Agustina. 2018. Terapi Kreasi Seni Menggambar Terhadap Kemampuan
Melakukan Menggambar Bentuk Pada Pasien Harga Diri Rendah Vol. 8 No. 1. Jurnal
Ilmiah Keperawatan Indonesia
Prabowo, Eko. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika Rohmah &
Walid. 2017. Dokumentasi Keperawtan. Jember: Universitas Muhammadiyah Jember
Widianti et. al, 2017. Aplikasi Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa Pada Pasien Skizofrenia
Dengan Harga Diri Rendah Kronis di RSMM Jawa Barat. Jurnal Pendidikan
Keperawatan Indonesia
Yosep & Sutini. 2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama
Yusuf et.al, 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta Selatan: Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN
KEPERAWATAN JIWA DENGAN PASIEN GANGGUAN ISOLASI
SOSIAL DI RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA JEMURSARI
Saling
ketergantungan
Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan
cara yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut
Riyardi & Purwanto. (2013) respon ini meliputi:
1. Menyendiri merupakan respon yang dilakukan individu untuk
merenungkan apa yang telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara
mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana.
2. Otonomi merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial,
individu mampu menetapkan untuk interdependen dan pengaturan
diri.
3. Kebersamaan merupakan kemampuan individu untuk saling
pengertian, saling memberi, dan menerima dalam hubungan
interpersonal.
4. Saling ketergantungan merupakan suatu hubungan saling
ketergantungan saling tergantung antar individu dengan orang lain
dalam membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah dengan cara yang bertentangan dengan norma agama dan
masyarakat. Menurut Riyardi & Purwanto (2013) respon maladaptif
adalah:
1. Manipulasi.
Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan
orang lain sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah
mengendalikan orang lain dan individu cenderung berorientasi
pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai
pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat
untuk berkuasa pada orang lain.
2. Impulsif.
Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subyek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak
mampu merencanakan tidak mampu untuk belajar dari pengalaman
dan miskin penilaian.
3. Narsisme.
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku
ogosentris, harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha
mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika tidak mendapat
dukungan dari orang lain.
4. Isolasi Sosial.
Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain.
C. Etiologi.
Pasien dengan masalah kekurangan keterampilan sosial, tidak biasa
berkomunikasi dengan orang lain secara efektif, mengalami kesulitan
dalam menjalin pertemanan, mampu memecahkan masalah,
menemukan dan memelihara pekerjaan, yang merupakan alasan
mereka mengisolasi diri masyarakat. Keterampilan sosial yang buruk
terkait erat dengan kekambuhan penyakit dan pasien kembali ke rumah
sakit (Pardede & Ramadia, 2021). Ada beberapa faktor penyebab
Isolasi Sosial (Dermawan & Rusdi, 2013)sebagai berikut :
1. Faktor Presipitasi.
Adapun faktor pencetus terdiri dari 4 sumber utama yang dapat
menentukan alam perasaan adalah :
a. Kehilangan ketertarikan yang nyata atau yang di bayangkan,
termasuk kehilangan cinta seseorang. Fungsi fisik, kedudukan
atau harga diri, karena elemen aktual dan simbolik melibatkan
konsep kehilangan, maka konsep persepsi lain merupakan hal
yang sangat penting.
b. Peristiwa besar dalam kehidupan, sering di laporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap
masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan
menyelesaikan masalah.
c. Peran dan ketegangan peran telah di laporkan mempengaruhi
depresi terutama pada wanita.
d. Perubahan fisiologis di akibatkan oleh obat-obatan berbagai
penyakit fisik seperti infeksi, gangguan keseimbangan
metabolik dapat mencetus gangguan alam perasaan.
2. Faktor Predisposisi.
a. Faktor Perkembangan.
Tiap gangguan dalam pencapian tugas perkembangan dari masa
bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang
sehingga mempunyai masalah respon sosial menarik diri.
Organisasi anggota keluarga bekerjasama dengan tenaga kerja
profesional untuk mengembangkan gambaran yang lebih tepat
tentang hubungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga.
Pendekatan kolaboratif dapat mengurangi masalah respon
sosial menarik diri.
b. Faktor Biologik.
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial
maladaptif. Genetik merupakan salah satu faktor pendukung
Gangguan jiwa. Kelainan struktur otak, seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat danvolume otak serta
perubahan limbik di duga dapat menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor Sosiokultural.
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan.
Ini merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung
pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota
masyarakat yang tidak produktif,seperti lansia, orang cacat dan
berpenyakit kronik. Isolasi dapat terjadikarena mengadopsi
norma, perilaku dan sistem nilai yang dimiliki budaya
mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan
merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
D. Tanda dan Gejala.
Tanda dan gejala isolasi sosial meliputi : Kurang spontan, Apatis (acuh
tak acuh terhadap lingkungan), Ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi
sedih), Afek tumpul, Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan
diri, Tidak ada atau kurang terhadap komunikasi verbal, Menolak
berhubungan dengan orang lain, Mengisolasi diri (menyendiri),
Kurang sadar dengan lingkungan sekitarnya, Asupan makan dan
minuman terganggu, Aktivitas menurun dan Rendah diri (Damanik,
Pardede, & Manalu, 2020).
Tanda dan gejala yang muncul pada klien dengan isolasi sosial :
menarik diri (Dermawan & Rusdi, 2013) seperti:
1. Gejala Subjektif.
a. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang
lain.
b. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
c. Respon verbal kurang atau singkat.
d. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang
lain.
e. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
f. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
g. Klien merasa tidak berguna.
h. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
i. Klien merasa ditolak.
2. Gejala Obyektif.
a. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
b. Tidak mengikuti kegiatan.
c. Banyak berdiam diri di kamar.
d. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang
yang terdekat
e. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
f. Kontak mata kurang.
g. Kurang spontan.
h. Apatis (acuh terhadap lingkungan).
i. Ekpresi wajah kurang berseri.
j. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
k. Mengisolasi diri.
l. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
m. Memasukan makanan dan minuman terganggu.
n. Retensi urine dan feses.
o. Aktifitas menurun.
p. Kurang energi (tenaga).
q. Rendah diri.
E. Patofisiologi.
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik
diri atau isolasi social yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga,
yang biasa dialami klien dengan latar belakang yang penuh dengan
permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan (Dermawan
Rusdi, 2013). Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit
dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain. Akibatnya klien
menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas
dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan
diri.Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa
lalu serta tingkah laku primitive antara lain pembicaraan yang autistic
dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga
berakibat lanjut menjadi halusinasi (Azizah & Wardani, 2017).
F. Komplikasi.
Isolasi Sosial orang menjadi menarik diri, malas beraktifitas, tidak
mampu mengatasi masalah, rasa malu dan bersalah yang berlebihan
dampak yang ditimbulkan dari isolasi sosial adalah menarik diri,
narcissism atau mudah marah, melakukan hal yang tak terduga atau
impulsivity, memberlakukan orang lain seperti objek, halusinasi dan
defisit perawatan diri (Damanik, Pardede, & Manalu, 2020).
G. Penatalaksanaan Medis.
Menurut Yusuf ( 2015) penatalakasanaan pada pasien skizofrenia
dapat diberikan dengan pemberian terapi yang diberikan secara
komperehensif sesuai dengan tanda gejala dan penyebab terjadinya
penyakit. Pengalaman terapis akan menentukan pilihan alternatif yang
tepat, dan sering merupakan kombinasi antara satu terapi dengan
lainya. Beberapa alternatif terapi yang dapat diberikan antara lain
dengan pendekatan farmakologi psikososial , rehabilitasi dan program
intervensi keluarga. (Henry, 2020).
1. Terapi Farmakologi.
Pada pendekatan farmakologis, penderita skizofrenia biasanya
diberikan obat anti psikotik. Antipsikotik juga dikenal sebagai
penenang mayor atau neuroleptic. Pengobatan antipsikotik
membantu mengendalikan perilaku skizofrenia yang mencolok dan
mengurangi kebutuhan untuk perawatan rumah sakit jangka
panjang apabila dikonsumsi pada saat pemeliharaan atau secara
teratur setelah episode akut. Prinsip pemberian farmakoterapi pada
skiofrenia adalah “start low, go slow” dimulai dengan dosis rendah
ditingkatkan sampai dosis optimal kemudian diturunkan perlahan
untuk pemeliharaan. Berikut adalah sediaan antipsikotik yang
sering diberikan. Pemberian antipsikotik dilakukan melalui 3
tahapan dosis, initial, optimal dan maintenance. Dosis optimal
dipertahankan sampai 1-2 tahun. Dosis maintenance diturunkan
perlahan sampai mencapai dosis terkecil.
Tabel dosis pemeberian psikofarmaka.
Haloperidol (Haldol, Lodomer, Sediaan : tablet (0,5-1,5
dll) mg-2mg5mg), injeksi (
ampul, 1cc-5mg, im/iv),
tetes/oral solution (30ml,
dosis : 1 cc-2mg). injeksi
long acting (50mg/cc/4
minggu).
Dosis initial : 5 mg/hari, 2x
sehari.
Dosis optimal : 5-
15mg/hari, 2-3x hari.
Chlorpromazine (Largactil, Sediaan : tablet (25 mg, 100
Cepezet). mg), injeksi (50 mg/2ml,
im).
Dosis initial : 100-150
mg/hari, sehari 1-2x
Dosis optimal : 150-600
mg/hari, sehari 2-3x.
Trifluoperazine (Stelazine). Sediaan : tablet (1 mg, 5
mg)
Dosis initial : 5 mg
Dosis optimal : 10-15
mg/hari, 2-3x sehari.
2. Terapi Psikososial.
Salah satu dampak yang terjadi pada penderita skiofrenia adalah
menjalin hubungan sosial yang sulit. Hal ini dikarenakan
skizofrenia merusak fungsi sosial penderitanya. Untuk mengatasi
hal tersebut, penderita diberikan terapi psikososial yang bertujuan
agar dapat kembali beradaptasi dengan lingkungan sosialnya,
mampu merawat diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain.
3. Rehabilitasi.
Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit
jiwa yang dikhususkan untuk rehabilitasi. Terdapat banyak
kegiatan, diantaranya terapi okupasional yang meliputi kegiatan
membuat kerajinan tangan, melukis, menyanyi, dan lain-lain. Pada
umumnya program rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan.
4. Program Intervensi Keluarga.
Intervensi keluarga mempunyai banyak variasi namun pada
umumnya intervensi yang dilakukan difokuskan pada aspek praktis
dari kehidupan sehari-hari, mendidik anggota keluarga tentang
skizofrenia, mengajarkan bagaimana cara berhubungan dengan
cara yang tidak terlalu frontal terhadap anggota keluarga yang
menderita skiofrenia, meningkatkan komunikasi dalam keluarga,
dan memacu pemecahan masalah dan keterampilan koping yang
baik.
1.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN.
1. Pengkajian Keperawatan.
Identitas ditulis lengkap meliputi nama, usia dalam tahun, alamat,
pendidikan, agama, status perkawinan, pekerjaan, jenis kelamin,
nomor rekam medis dan diagnosa medisnya.
A. Faktor Predisposisi.
Faktor predisposisi penyebab isolasi soasial meliputi faktor
perkembangan, faktor biologis, dan faktor sosiokultural (Damaiyanti
dan Iskandar 2013).
1. Faktor Perkembangan.
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak
dapat terpenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya.
2. Faktor Biologis.
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia, misalnya, ditemukan pada keluarga
dengan riwayat anggota keluarga yang menderita skizofrenia.
3. Faktor Psikologis.
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas
kesemasan yang ekstrim dan memanjang disetrai
terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah
diyakini akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan
(menarik diri).
4. Faktor Sosiokultural. Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari
lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan
berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang
salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti anggota tidak produktif
diasingkan dari lingkungan sosial.
B. Faktor Presipitasi.
Menurut Damaiyanti & iskandar (2013), Stressor prespitasi terjadinya
isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun eksternal,
meliputi:
1. Stresor Sosial Budaya.
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan
pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat di rumah sakit,
atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
C. Sumber Koping.
Sumber koping meliputi, kemampuan personal, dukungan sosial, aset
materi dan keyakinan, kemampuan personal yang harus dimiliki yaitu,
mampu berinteraksi dengan orang lain, mampu memulai pembicaraan.
Dukungan sosial dapat di dapat dari sumber daya keluarga, seperti
pemahaman orang tua tentang penyakit, ketersediaan keuangan,
ketersediaan waktu dan tenaga, dan kemampuan untuk memberikan
dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi jalannya penyesuaian
setelah gangguan jiwa terjadi
(Stuart, 2016).
2. Diagnosa Keperawatan.
Menurut Damaiyanti (2012) adapun diagnosa keperawatan pasien yang
muncul pada pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut:
Isolasi Sosial dan Harga Diri Rendah Kronik.
3. Intervensi Keperawatan.
Rencana tindakan keperawatan untuk pasien Isolasi Sosial (Sulastri,
2017).
a. Tujuan umum dan tujuan khusus. Strategi pelaksanaan tindakan
keperawatan untuk individu yaitu meliputi: pada pasien dengan
isolasi sosial terdapat
1. Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain.
2. Pasien dapat membina hubungan saling percaya
b. Tindakan keperawatan.
1. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP1) untuk
individu yaitu pengkajian isolasi sosial, dan keuntungan dan
kelebihan mempunyai teman.
2. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP2) untuk
individu yaitu melatih pasien berinteraksi secara bertahap
(pasien dengan 2 orang lain), latihan bercakap-cakap saat
melakukan 2 kegiatan harian.
3. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP3) untuk
individu yaitu melatih pasien berinteraksi secara bertahap
(pasien dengan 4-5 orang), latihan bercakap-cakap saat
melakukan 2 kegiatan harian baru.
4. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP4) untuk
individu yaitu mengevaluasi kemampuan berinteraksi, melatih
cara berbicara saat melakukan kegiatan sosial.
4. Implementasi Keperawatan.
Proses implementasi adalah melaksanakan rencana tindakan yang
sudah disusun dan disesuaikan dengan kondisi pasien saat itu.
Pelaksanaan tindakan keperawatan bisa lebih dari apa yang telah
direncanakan atau lebih sedikit dari apa yang sudah direncanakan
bahkan mampu memodifikasi dari perencanaan yang telah disesuaikan
dengan kebutuhan pasien pada saat asuhan keperawatan diberikan.
Dalam mengimplementasikan intervensi, perawat kesehatan jiwa
menggunakan intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah
penyakit meningkat, mempertahankan, dan memulihkan kesehatan
fisik dan mental (Damaiyanti, 2013).
5. Evaluasi Keperawatan.
Pada evaluasi perawat mengevaluasi respon pasien berdasarkan
kemampuan yang sudah diajarkan pada pasien, berupa evaluasi yang
dapat dilakukan untuk menilai respon verbal dan non verbal yang
dapat diobservasi oleh perawat berdasarkan respon yang ditunjukkan
oleh pasien (Fadly, & Hargiana, 2018). Evaluasi dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan SOAP:
S : Respon subyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respon obyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A : Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif atau muncul untuk
menyimpulkan apakah masalah baru atau ada data yang kontradiksi
dengan masalah yang ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon.
pasien. Latihan kemampuan yang sudah diajarkan untuk mengontrol
perilaku isolasi sosial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Azizah, F. N., Hamid, A. Y. S., & Wardani, I. Y. (2017). Respon Sosial
dan Kemampuan Sosialisasi Pasien Isolasi Sosial melalui Manajemen asus
Spesialis Keperawatan Jiwa. Media Ilmu Kesehatan, 6(2), 91-100.
https://doi.org/10.30989/mik.v6i2.221
2. Damanik, R. K., Pardede, J. A., & Manalu, L. W. (2020). Terapi Kognitif
Terhadap Kemampuan Interaksi Pasien Skizofrenia Dengan Isolasi Sosial.
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan,11(2),226-35.
http://dx.doi.org/10.26751/jikk.vlli2.822
3. Dermawan, D., & Rusdi. (2013). Keperawatan jiwa konsep dan kerangka
kerja asuhan keperawatan jiwa. Gosyen publishing : Yogyakarta.
4. Keliat, B. A. (2006). Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
5. Pardede, J. A., & Ramadia, A. (2021). The Ability to Interact With
Schizophrenic Patients through Socialization Group Activity
Therapy.International Journal.
6. Riyadi S & Purwanto T. (2013). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
GRAHA ILMU.
7. Stuart, G. W. (2016). Prinsip Dan Praktik Keperawatan Jiwa (II). Jakarta:
Binarupa Aksara.
8. WHO (2019). Schizophrenia. Retrieved from.
https://www.who.int/newsroom/fact-sheets/%20detail/schizophrenia.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
DENGAN PASIEN KEHILANGAN DAN BERDUKA DI RUMAH SAKIT ISLAM
SURABAYA JEMURSARI
(Prabowo, 116:2014)
b. Factor presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kihilangan,
diantaranya :
1. Kehilangan kesehatan
2. Kehilangan fungsi seksualitas
3. Kehilangan peran dalam keluarga
4. Kehilangan posisi di masyarakat
5. Kehilangan orang yang dicintainya
6. Kehilangan kewarganegaraan
(Prabowo, 116:2014)
9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnose tuggal :
1. Isolasi social : menarik diri
Diagnosa ganda :
Intervensi
INTERVENSI
Kriteria hasil:
Intervensi
Kriteria hasil:
1. Diri sendiri
2. Orang lain
3. Kelompok
INTERVENSI
TUK 6
INTERVENSI
ITERVENSI
25
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN (MENCEDERA DIRI, ORANG
LAIN, DAN LINGKUNGAN) DI RUMAH SAKIT ISLAM SURABAYA JEMURSARI
2. Factor Psikologis
1) Frustation Aggresion Theory (Teory Agresif-Frustasi) Menurut teori ini perilaku
kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan
individu untuk mencapai sesuatu gagal atau menghambat. Keadaan tersebut dapat
mendorong individu berprilaku agresif karena perasaan prustasi akan berkurang melalui
perilaku kekerasan.
2) Behavior Theory (Teori Perilaku) Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat
dicapai apabila tersedia fasilitas/situasi yang mendukung.
3) Eksistensial Theory ( Teori Eksistensi) Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar
manusia, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi melalui berprilaku konstruktif,
maka individu akan memenuhi melalui berprilaku destruktif.
3. Faktor Sosiokultural
1) Sosial Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial) Lingkungan sosial akan
mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Norma budaya dapat
mendukung individu untuk merespon asertif atau agresif.
2) Sosial Learning Theory (Teori Belajar Sosial) Perilaku kekerasan dapat dipelajari
secara langsung maupun melalui proses sosialisasi(Deden dan Rusdin, 2018)
4. Faktor Presipitasi Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu
bersifat unik. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan,
kematian) amaupun dalam (putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa
cinta, takut terhadap penyakit fisik). Selain itu lingkungan yang terlalu rebut, padat,
kritikan yang mengaruh pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu perilaku
kekerasan(Deden dan Rusdin, 2018).
Sedangkan menurut Yusuf (2015), ada beberapa perilaku yang harus dikenali dariklien
gangguan risiko perilaku kekerasan sebagai berikut:
a. Menyerang atau menghindari
Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat,
peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi,
kewaspadaan meningkat, disertai ketegangan otot seperti :rahang terkatup, tangan
mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif
Perilaku yangditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya,
yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku asertif merupakan cara terbaik
individu untuk mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara
fisik maupun psikologis. Dengan perilaku tersebut, individu juga dapat
mengembangkan diri
c. Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku untuk
menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan.
1. Proses Terjadinya Marah Perilaku Kekerasan
2. Manifestasi klinis Perilaku Kekerasan
Adapun manifestasi klinis gangguan perilaku kekerasan sebaga berikut (Azizah,
2016):
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang.
2) Mata melotot atau pandangan tajam.
3) Tangan mengepal.
4) Rahang mengatup.
5) Wajah memerah dan tegang.
6) Postur tubuh kaku.
7) Pandangan tajam.
8) Mengatupkan rahang dengan kuat.
9) Mengepalkan tangan.
10) Jalan mondar mandir.
b. Verbal
1) Bicara kasar.
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak.
3) Mengancam secara verbal atau fisik.
4) Mengumpat dengan kata kata kotor.
5) Suara keras.
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda atau orang lain.
2) Menyerang orang lain.
3) Melukai diri sendiri atau orang lain.
4) Merusak lingkungan.
5) Amuk atau agresif.
d. Emosi
1) Tidak adekuat.
2) Tidak aman dan nyaman.
3) Rasa terganggu.
4) Dendam dan jengkel.
5) Tidak berdaya.
6) Bermusuhan
7) Mengamuk
8) Ingin berkelahi.
9) Menyalahkan
10) Menuntut
e. Intelektual
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Kasar
4) Berdebat
5) Meremehkan
6) Sarkasme
f. Spiritual
1) Merasa diri berkuasa.
2) Merasa diri benar.
3) Mengkritik pendapat orang lain.
4) Menyinggung perasaan orang lain.
5) Tidak peduli dan kasar.
g. Sosial
1) Menarik diri.
2) Pengasingan
3) Penolakan
4) Kekerasan
5) Ejekan
6) Sindiran
h. Perhatian
1) Bolos
2) Mencuri
3) Melarikan diri.
4) Penyimpangan seksual.
3. Etiologi Perilaku Kekerasan
Menurut Direja dalam Verdiana (2019), ada beberapa faktor penyebab terjadinya
perilaku kekerasan sebagai berikut:
a. Faktor predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi,
artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor
berikut di alami oleh individu :
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
menyenagkan atau perasaan ditolak, dihina, dianiaya, atau sanksi penganiayaan.
2) Perilaku reinforcement
Yang diterima saat melakukan kekerasan, dirumah atau di luar rumah, semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Teori psikoanalitik
Menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya ego dan membuat konsep diri yang
rendah. Agresi dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
hidupnya.
b. Faktor presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik injuri fisik,
psikis, atau ancaman konsep diri. Faktor pencetus sebagai berikut:
1) Klien : kelemahan fisik, keputusan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh
agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
merasa terancam baik internal maupun eksternal.
4. Rentang Respon Perilaku Kekerasan
Adapun rentang respon perilaku kekerasan sebagai berikut (Sutejo, 2017):
Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Kemarahan
Keterangan:
Asertif: Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
Frustasi: Kegagalan mencapai tujuan karena tidak relialitas atau terhambat
Pasif: Respons lanjut klien tidak mampu ungkapkan perasaan
Agresif: Perilaku destruktif masih terkontrol
Kemarahan: Perilaku dekstruktif dan tidak terkontrol
5. Pohon Masalah Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan
4. Implementasi
Perilaku Kekerasan
Implementasi pada Pasien Implementasi pada Keluarga
SP 1 SP 1
a. Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan a. Mendiskusikan masalah yang rasakan keluarga dalam
b. Menigentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan merawat pasien.
c. Mengidentifikasi perilaku kekerasan b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku
d. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan kekerasan yang dialami pasien beserta proses terjadinya
e. Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan perilaku kekerasan.
f. Membantu pasien mempraktekan latihan cara mengontrol
perilaku kekerasan secara fisik 1 : latihan napas dalam
g. Menganjurkan pasien memasukan dalam kegiatan harian
SP 2 SP 2
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien a. Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien
b. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara dengan perilaku kekersan
fisik 2 : pukul kasur dan bantal b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung pada
c. Menganjurkan pasien memasukan ke dalam kegiatan harian pasien perilaku kekerasan
SP 3 SP 3
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien e. Membantu keluarga membuat jadwal aktifitas dirumah
b. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara termasuk minum obat (perencanaan pulang)
fisik 2 : pukul kasur dan bantal f. Menjelaskan tindakan tindak lanjut pasien setelah pulang
c. Menganjurkan pasien memasukan ke dalam kegiatan harian
SP 4
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
b. Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan
cara spritual
c. Mengajurkan pasien memasukan ke dalam kegiatan harian
SP 5
a. Mengevaluasi jadwal harian pasien Melatih pasien
mengontrol perilaku kekerasan dengan minum obat
b. Menganjurkan pasien memasukan kedalam kegiatan harian
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ada ua macam yaitu:
a) Evaluasi proses atau evaluasi formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan
tindakan
b) Evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respon
pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan
Sutejo. 2017. Keperawatan Jiwa : Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan Kesehatan
Jiwa (Gangguan Jiwa dan Psikososial). Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Yusuf, Rizky, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.
Varera, Sonya Maharani. 2017. Asuhan Keperawatan pada Klien Skizofrenia tipe Manik
dengan Gangguan Perilaku Kekerasan di Ruang Flamboyan Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya (KTI). Jombang: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika