Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASEN DENGAN


IMA (IFARK MIOCARD ACUTE)

DI SUSUN OLEH :
CATUR LESMANA (113012016)

PRODI S1 KEPERAWATAN ALIH JENJANG


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2020-2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jantung membutuhkan suplai darah yang kaya oksigen untuk memenuhi

kebutuhan. Oleh sebab itu perlu diperhatikan keseimbangan antara permintaan

dan ketersediaan oksigen sehingga dapat berfungsi dengan baik. Hal ini

berkaitan dengan keadekuatan arteri koroner yang merupakan faktor penentu

suplai oksigen ke otot jantung. Apabila terjadi gangguan apapun dari salah

satu arteri koroner dapat menurunkan aliran darah dan penghantaran oksigen

ke daerah miokardium yang disuplai oleh arteri tersebut, dan mengakibatkan

kelainan pada jantung. Salah satunya adalah Infark Miokard Akut (IMA).

Infark Miokard Akut (IMA) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi

akibat kekurangan oksigen berkepanjangan (Corwin, 2009).

Peran perawat rumah sakit dalam penanganan pasien IMA terdiri dari

peran promotif/ preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Peran promotif/ preventif

dilakukan perawat pada saat sebelum terjadi serangan akut adalah

mengajarkan hidup yang sehat untuk jantung. Pada saat terjadinya serangan

akut, pasien IMA harus mendapatkan penanganan segera. Pasien harus segera

dilakukan tirah baring/ imobilisasi untuk mengurangi beban kerja jantung dan

kebutuhan oksigen. Tinggikan kepala pasien dan longgarkan baju yang ketat

di sekitar leher. Pasien diberikan oksigen, jalur intravena (IV) dipasang, dan

pasien disambungkan dengan monitor jantung (Black & Hawks, 2014).

Peran keluarga disini juga sangat dibutuhkan guna memberikan dukungan

fisiologis maupun psikologis kepada pasien. Peran keluarga sebagai motivator,

2
edukator, dan perawat keluarga sangat diperlukan pasien untuk mengurangi

tingkat kesakitan pasien. Semakin baik peran yang dimainkan oleh keluarga

dalam pelaksanaan program rehabilitasi medik pasien pasca serangan IMA,

maka semakin baik pula hasil yang akan dicapai. Melihat betapa pentingnya

mobilisasi dini dilaksanakan untuk pemulihan pasien pasca IMA, sehingga

mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Penerapan

Mobilisasi Dini pada Pasien Pasca Infark Miokard Akut (IMA) dengan

Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas” dengan melibatkan peran

keluarga didalamnya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Penerapan Mobilisasi Dini pada Pasien Pasca Infark Miokard Akut

(IMA) dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas

C. Tujuan

Memberikan gambaran penerapan mobilisasi dini pada pasien pasca infark

miokard akut (IMA) dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas.

D. Manfaat

Meningkatkan kualitas hidup dan kemandirian pasien pasca infark

miokard akut (IMA) melalui latihan mobilisasi dini.

Menambah keluasan ilmu keperawatan dalam menerapkan

mobilisasi dini pasca IMA pada pasien dengan gangguan pemenuhan

kebutuhan aktivitas.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Asuhan Keperawatan Pasien Infark Miokard Akut (IMA)

1. Konsep Teori

a. Pengertian Infark Miokard Akut (IMA)

Infark Miokard Akut (IMA) adalah kematian sel-sel miokardium

yang terjadi akibat kekurangan oksigen berkepanjangan. Suplai

oksigen dibutuhkan sel-sel miokardium untuk menghasilkan ATP yang

dapat memenuhi kebutuhan energinya (Corwin, 2009). IMA dikenal

sebagai serangan jantung, oklusi koroner, yang merupakan kondisi

mengancam jiwa yang ditandai dengan pembentukan area nekrotik

lokal di dalam miokardium. Apabila terjadi pembentukan area nekrotik

pada miokardium, maka aliran darah ke jantung tidak optimal sehingga

pemenuhan kebutuhan oksigen mengalami penurunan (Black &

Hawks, 2014).

b. Etiologi Infark Miokard Akut (IMA)

Menurut Black dan Hawks (2014) penyebab IMA ada dua faktor,

faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain karakteristik

plak, seperti ukuran dan konsistensi dari inti lipid serta kondisi

bagaimana plak tersebut terpapar, seperti status koagulasi dan derajat

vasokonstriksi arteri. Faktor eksternal berasal dari aktivitas pasien atau

kondisi eksternal yang memengaruhi pasien. Aktivitas fisik berat dan

4
stres emosional berat, seperti kemarahan, serta peningkatan respon

sistem saraf simpatis dapat menyebabkan ruptur plak. Pada waktu yang

sama, respon sistem saraf simpatis akan meningkatkan kebutuhan

oksigen miokardium. Peneliti telah melaporkan bahwa faktor eksternal,

seperti paparan dingin dan waktu tertentu seperti pagi hari, juga dapat

memengaruhi ruptur plak. Peneliti memperkirakan bahwa peningkatan

respon sistem saraf simpatis yang tiba- tiba dan berhubungan dengan

faktor- faktor ini dapat berperan terhadap ruptur plak.

c. Manifestasi Klinis Infark Miokard Akut (IMA)

Menurut Corwin (2009) tanda infark miokard yang nyata biasanya

timbul manifestasi klinis yang bermakna. (1) Nyeri dengan awitan

yang biasanya mendadak, sering digambarkan memiliki sifat

meremukkan dan parah. Nyeri dapat menyebar ke bagian atas tubuh

mana saja, tetapi sebagian besar menyebar ke lengan kiri, leher, atau

rahang. Nitrat dan istirahat dapat menghilangkan iskemia di luar zona

nekrotik dengan menurunkan beban kerja jantung. (2) Terjadi mual dan

muntah yang mungkin berkaitan dengan nyeri hebat. (3) Perasaan

lemas yang berkaitan dengan penurunan aliran darah ke otot rangka.

(4) Kulit yang dingin, pucat akibat vasokonstriksi simpatis. (5)

Pengeluaran urin berkurang karena penurunan aliran darah ginjal serta

peningkatan aldosteron dan ADH. (6) Takikardi akibat peningkatan

stimulasi simpatis jantung. (7) Keadaan mental berupa perasaan sangat

5
cemas disertai perasaan mendekati kematian sering terjadi, mungkin

berhubungan dengan pelepasan hormon stres dan ADH (vasopresin).

d. Patofisiologi Infark Miokard Akut (IMA)

Bagan patofisiologi IMA menurut Black dan Hawks (2014)


Aterosklerosis/
trombosis/
Kontriksi arteri
koronaria

Aliran darah ke jantung menurun

Oksigen dan nutrisi menurun

Jaringan Miokard Iskemik

Nekrose lebih dari 30 menit

Suplai dan kebutuhan oksigen ke jantung tidak seimbang

Sulai oksigen ke miokard turun

Metabolisme an Seluler hipoksia


aerob

Integritas membran sel


Kerusakan Timbunan
pertukaran gas Nyeri
asam laktat berubah
meningkat
Risiko penurunan
Kontraktilit curah jantung
fatigue Cemas as turun

COP turun
Intoleransi Kegagalan pompa
aktivitas jantung
Gangguan perfusi
jaringan

Gagal
jantung

Risiko kelebihan volume


cairan ekstravaskuler
e. Klasifikasi Infark Miokard Akut (IMA)

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

tahun 2015, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom

Koroner Akut atau Infark Miokard Akut dibagi menjadi:

1) Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment

elevation myocardial infarction)

2) Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST

segment elevation myocardial infarction)

3) Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)

merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri

koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk

mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara

medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis,

intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika

terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang

persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana

revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka

jantung.

Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika

terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang

persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat

10
presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,

gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau

bahkan tanpa perubahan.

Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan

berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan

peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan

adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia

marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi

Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation

Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil

marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma

koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal

adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of

normal, ULN). Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan

kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik

sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20

menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran

nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka

pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap

terjadi angina berulang.

f. Komplikasi Infark Miokard Akut (IMA)

Menurut Black dan Hawks (2014) komplikasi IMA terdiri dari

gangguan irama dan konduksi. Meliputi aritmia, sinus bradikardia,

11
gangguan hantaran aterioventrikuler, sinus takikardia, kontraksi

prematur ventrikel. Komplikasi lain pada infark miokard akut yaitu

gagal jantung, syok kardiogenik, tromboembolisme, perikarditis,

aneurisma ventrikel.

g. Rehabilitasi Dan Edukasi Pasien IMA

Menurut Black dan Hawks (2014) rehabilitasi jantung setelah IMA

merupakan komponen penanganan profesional dan personal yang

penting. Rehabilitasi jantung harus segera dimulai setelah fase akut

penyakit atau periode penanganan invasif. Tujuan umum dari

rehabilitasi adalah untuk membantu pasien memiliki kehidupan yang

utuh, vital, dan produktif sebisa mungkin dengan batas-batas

kemampuan jantung yang masih dapat merespon peningkatan aktifitas

dan stres. Rehabilitasi jantung merupakan program multifaktorial yang

dimulai ketika pasien masih dirawat inap dan berlanjut selama proses

pemulihan. Rehabilitasi jantung berlangsung selama empat fase, yaitu

fase I (rawat inap), fase II (segera setelah rawat jalan), fase III

(beberapa saat setelah rawat jalan), fase IV (rawat jalan pemeliharaan)

(Black &Hawks, 2014).

Fase I (rawat inap). Pada pasien rawat inap, tujuan rehabilitasi

jantung setelah infark miokard adalah memobilisasi pasien segera

setelah kondisi klinis stabil. Kriteria stabil yaitu apabila tidak ada

episode baru atau berulang nyeri dada selama 8 jam, tidak ada

peningkatan kadar kreatinin kinase dan/atau tropinin, tidak ada tanda-

12
tanda baru gagal jantung dekompensata, serta tidak ada perubahan

elektrokardiogram signifikan dengan ritme abnormal dalam 8 jam

terakhir. Setelah dinyatakan stabil, pasien dapat diposisikan duduk di

tepi tempat tidur selama hari pertama dan kemudian dimobilisasi

bertahap (Roveny, 2017). Perawat atau fisioterapis dari unit jantung

harus memulai latihan pasif. Saat pasien kembali mendapatkan

kekuatan, mintalah pasien duduk beberapa saat pada sisi tempat tidur

dan menggantungkan kakinya. Biarkan pasien berjalan ke kursi di

samping tempat tidur selama 15 hingga 20 menit setelah hari pertama

jika menggantungkan kaki dapat ditoleransi dengan baik tanpa

munculnya nyeri dada, disritmia, atau hipotensi. Selanjutnya berikan

privasi di kamar mandi dan dorong aktivitas perawatan diri sendiri.

Izinkan berjalan di ruangan dengan pengawasan. Jarak dan durasi jalan

ditingkatkan secara progresif, dari 5 hingga 10 menit bergantung pada

kekuatan pasien. Pasien harus meningkatkan aktivitas secara perlahan

untuk menghindari beban berlebih kepada jantung saat jantung

memompa darah beroksigen ke otot-otot.

Setiap peningkatan aktivitas, amati denyut jantung, tekanan darah,

saturasi oksigen, penapasan dan tingkat kelelahan, sesuaikan tingkat

aktivitas pasien dengan kemampuan pasien. Selama aktivitas awal,

denyut jantung tidak boleh meningkat lebih dari 25% di atas kadar

istirahat. Tekanan darah tidak boleh meningkat lebih dari 25 mmHg di

atas normal.

13
Selama fase I, edukasi pasien dan keluarga mengenai pentingnya

proses latihan ini. Anggota keluarga mungkin takut bahwa

mengizinkan pasien menjadi aktif lagi akan memicu serangan IMA dan

mereka mungkin malah membuat pasien tidak mandiri, walaupun

mereka ingin membantu.

Fase II (segera setelah rawat jalan). Sebuah tim pada suatu fasilitas

kesehatan memulangkan pasien pasca IMA pada hari keempat tetapi

hanya mengizinkan pasien pulang hanya jika di rumah tangganya

memiliki bantuan yang cukup dan situasi yang kondusif untuk

beristirahat. Pasien seperti itu harus dikunjungi ulang oleh dokter /

perawat untuk mengawasi status fisiologi, latihan, serta diet tiap dua

hari sekali. Sarankan pasien untuk berhenti merokok, sering berjalan-

jalan, tetapi hindari aktivitas yang berat.

Fase III (beberapa saat setelah rawat jalan). Fase rehabilitasi

jantung lanjutan berlangsung dari 4 hingga 6 bulan. Sesi latihan terus

diawasi dan pasien diajarkan bagaimana mengamati intensitas

latihannya dengan mengukur denyut nadinya atau jika dalam program

berjalan, dengan menghitung jumlah langkah yang dilakukan dalam

interval 15 detik.

Fase IV ( pemeliharaan kesehatan saat rawat jalan). Pasien menjaga

program latihan rutin dan modifikasi gaya hidup lainnya untuk

memodifikasi faktor risiko jantung. Pasien harus menjalani pengujian

latihan dan pengkajian faktor risiko tiap tahun.

14
2. Pengkajian

Menurut (Muttaqin, 2009) pengkajian dari proses asuhan

keperawatan pada infark miokard akut (IMA) mencakup riwayat yang

berhubungan dengan gambaran gejala berupa nyeri dada, sulit bernapas

(dispnea), palpitasi, pingsan (sinkop), dan keringat dingin (diaforesis).

Masing- masing gejala harus dievaluasi waktu dan durasinya serta faktor

yang mencetuskan dan yang meringankan.

a. Anamnesis

Anamnesis penyakit ini terdiri atas keluhan utama, riwayat

penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan kondisi psikologis

pasien.

b. Keluhan Utama

Keluhan utama biasanya nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan

pingsan.

c. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Pengkajian RPS yang mendukung keluhan utama dengan

melakukan serangkaian pertanyaan tentang nyeri dada pasien secara

PQRST (Provoking, Quality, Region, Severity, Time).

Proviking dan Time: Tanyakan pertanyaan untuk menentukan

permulaan serangan, durasi, dan rangkaian nyeri. Kapan nyeri mulai

dirasakan? Berapa lama nyeri telah berlangsung? Apakah nyeri

terjadi pada waktu yang sama setiap hari? Berapa sering nyeri

tersebut muncul?

15
Quality: Pengkajian terhadap karakteristik nyeri yang lazim

membantu perawat untuk memperoleh suatu pemahaman terhadap

jenis nyeri, pola nyeri, serta jenis intervensi yang dapat memberikan

pertolongan terhadap nyeri.

Region: untuk mengkaji lokasi nyeri, minta pasien untuk

mengatakan atau menunjukkan semua area dimana pasien merasa

tidak nyaman.

Severity: Variasi skala nyeri telah tersedia bagi pasien untuk

mengomunikasikan intensitas nyeri mereka. Ketika menggunakan

skala angka, skala 0-3 mengindikasikan nyeri ringan, 4-6 nyeri

sedang, dan 7- 10 nyeri hebat, dianggap sebagai keadaan darurat pada

nyeri (Miaskwoski dalam Potter Perry, 2014).

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian riwayat penyakit dahulu yang mendukung dengan

mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah menderita nyeri dada,

darah tinggi, DM, dan hiperlipidemia. Tanyakan mengenai obat-

obatan yang biasa diminum oleh pasien pada masa lalu yang masih

relevan.

e. Riwayat Keluarga

Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh

keluarga serta bila ada anggota keluarga yang meninggal maka

penyebab kematian juga ditanyakan.

f. Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan

16
Perawat menanyakan situasi tempat bekerja dan lingkungannya.

Kebiasaan sosial ditanyakan dengan menanyakan kebiasaan dalam

pola hidup, misalnya minum alkohol atau obat tertentu. Kebiasaan

merokok juga dikaji dengan menanyakan tentang kebiasaan merokok

sudah berapa lama, berapa batang per hari, dan jenis rokok.

g. Psikologis

Pasien IMA dengan nyeri akan mengalami kecemasan berat

sampai ketakutan akan kematian. Berdasarkan konsep

psikoneuroimunologi, kecemasan merupakan stresor yang dapat

menurunkan sistem imunitas tubuh.

h. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien terdiri atas keadaan umum dan B1- B6.

Keadaan umum: Pada pemeriksaan keadaan umum pasien IMA

biasanya didapatkan kesadaran baik atau compos mentis dan akan

berubah sesuai tingkat gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf

pusat.

B1 (Breathing): Terlihat sesak, frekuensi napas melebihi normal,

dan keluhan napas seperti tercekik. Biasanya juga terdapat dispnea

kardia. Sesak napas ini terjadi akibat pengerahan tenaga dan

disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir diastolik dari ventrikel kiri

yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Hal ini terjadi karena

terdapat kegagalan peningkatan curah darah ventrikel kiri pada waktu

melakukan kegiatan fisik.

17
B2 (Bleeding): Pemeriksaan B2 yang dilakukan dapat melalui

teknik inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Inspeksi adanya parut;

palpasi denyut perifer melemah; auskultasi tekanan darah, bunyi

jantung tambahan; perkusi adanya pergeseran batas jantung.

B3 (Brain): Kesadaran biasanya CM, tidak didapatkan sianosis

perifer. Pengkajian objektif pasien berupa adanya wajah meringis,

perubahan postur tubuh, menangis, merintih, meregang dan

menggeliat.

B4 (Bladder): Pengukuran volume keluaran urine berhubungan

dengan asupan cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memantau

adanya oliguria pada pasien IMA karena merupakan tanda awal dari

syok kardiogenik.

B5 (Bowel): Kaji pola makan pasien apakah sebelumnya terdapat

peningkatan konsumsi garam dan lemak. Adanya nyeri akan

memberikan respon mual dan muntah. Palpasi abdomen didapatkan

nyeri tekan pada keempat kuadran. Penurunan peristaltik usus

merupakan tanda kardial pada IMA.

B6 (Bone): Hasil yang biasanya terdapat pada pemeriksaan B6

adalah sebagai berikut.

Aktivitas, gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, gerak

statis, dan jadwal olahraga tidak teratur.

Tanda: takikardi, dispnea pada saat istirahat/ aktivitas, dan

kesulitan melakukan tugas perawatan diri.

18
i. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik utama pada pasien IMA adalah EKG dan

pemeriksaan enzim jantung.

1) Pemeriksaan Elektrokardiogram

EKG memberi informasi mengenai elektrofisiologi jantung.

Melalui pembacaan dari waktu ke waktu, dokter mampu

memantau perkembangan dan resolusi suatu infark miokard.

Lokasi dan ukuran relatif infark juga dapat ditentukan dengan

EKG. Adanya perubahan EKG pada infark miokardium meliputi

inversi gelombang T, elevasi segmen ST, dan gelombang Q yang

menonjol. Gelombang Q menunjukkan nekrosis miokardium dan

bersifat ireversibel. Perubahan pada segmen ST dan gelombang T

diakibatkan karena iskemia dan akan menghilang sesudah jangka

waktu tertentu.

Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut

disertai elevasi segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi,

tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi infark miokard

yang terkena. Bagi pria usia >40 tahun, STEMI ditegakkan jika

diperoleh elevasi segmen ST di V1-3 > 2 mm dan > 2,5 mm bagi

pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010).

Diagnosis non-STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan

tidak disertai dengan elevasi segmen ST yang persisten.

Gambaran EKG pada non-STEMI beragam, bisa berupa depresi

19
segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau

pseudonormalization, atau tanpa perubahan EKG saat

presentasi. Untuk menegakkan diagnosis non-STEMI , perlu

dijumpai depresi segmen ST > 0,5 mm di V1- V3 dan > 1 mm di

sadapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen

ST tidak persisten (,20 menit), dengan amplitudo lebih rendah

dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang

simetris > 2 mm semakin memperkuat dugaan non STEMI

(Tedjasukmana, 2010).

2) Pemeriksaan Laboratorium

Analisis enzim jantung dalam plasma merupakan bagian dari

profil diagnostik yang meliputi: riwayat, gejala, dan

elektrokardiogram untuk mendiagnosis infark miokardium.

Enzim dilepaskan dari sel bila sel mengalami cedera dan

membrannya pecah. Kebanyakan enzim tidak spesifik dalam

hubungannya dengan organ tertentu yang rusak. Seperti yang

telah diketahui, CKMB tidak terlalu spesifik untuk otot jantung.

Sepuluh tahun terakhir ini, troponin T (cTnT) dan troponin I

(cTnI) merupakan indikator yang sensitif dan spesifik untuk

infark miokardium. Lebih pentingnya lagi dapat digunakan untuk

stratifikasi risiko pasien dengan infark miokardium.

Kompleks troponin jantung merupakan komponen dasar dari

miokardium yang terlibat dalam kontraksi otot miokardium.

20
31

Kadar troponin yang positif dianggap sebagai suatu diagnosis

IMA.

Troponin jantung mirip CK-MB dalam hal sensitivitas dan

kadarnya meningkat dalam 3 hingga 6 jam setelah nyeri dimulai.

Kadar tetap tinggi selama 14 hingga 21 hari. Ini berguna (dan

lebih akurat dari laktat dehidrogenase) dalam mengonfirmasi

IMA yang sudah jauh.

Kadar troponin I jantung meningkat 7 hingga 14 jam setelah

IMA. Ini merupakan indikator yang sangat spesifik dan sensitif

dari IMA dan tidak terpengaruh penyakit atau cedera pada otot

lain kecuali otot jantung. Peninggian ini akan tetap ada selama 5

hingga 7 hari.

3. Diagnosa
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai

respon pasien terhadap masalah kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP

PPNI, 2017). Diagnosa berdasarkan SDKI adalah :

a. Gangguan pertukaran gas (D.0003)

Definisi : kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan atau

eliminasi karbondioksida pada membran alveolus

kapiler

Penyebab : Perubahan membran alveolus-kapiler

Batasan karakteristik :

Kriteria mayor :

1) Subjektif : Dispnea

2) Objektif :PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun,

21
31
takikardia, pH arteri meningkat/menurun, bunyi nafas

tambahan

Kriteria minor :

1) Subjektif : Pusing, penglihatan kabur

2) Objektif : Sianosis, diaforesis, gelisah,nafas cuping hidung,

pola nafas abnormal, warna kulit abnormal, kesadaran

menurun.

Kondisi klinis terkait : Gagal Jantung Kongestif

b. Pola nafas tidak efektif (D.0005)

Definisi : inspirasi dan/atau ekprasi yang tidak memberikan

ventilasi adekuat

Penyebab : hambatan upaya nafas (mis: Nyeri saat bernafas)

Batasan karakteristik :

Kriteria mayor :

1) Subjektf : Dipsnea

2) Objektif : Penggunaan otot bantu pernafasan, fase ekspirasi

memanjang, pola nafas abnormal

Kriteria minor :

1) Subjektif : Ortopnea

2) Objektif : Pernafasan pursed, pernafasan cuping hidung,

diameter thoraks anterior-posterior meningkat, ventilasi

semenit menurun, kapasitas vital menurun, tekanan

ekpirasi dan inspirasi menurun, ekskrusi dada berubah.

Kondisi klinis terkait : Trauma Thorax

22
32

c. Penurunan curah jantung (D.0008)

Definisi : ketidakadekuatan jantung memompa darah untuk

memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh

Penyebab : perubahan preload, perubahan afterload dan/atau

perubahan kontraktilitas

Batasan karakteristik :

Kriteria mayor :

1) Subjektif : Lelah

2) Objektif : Edema, distensi vena jugularis, central venous

pressure (CVP) meningkat/,menurun

Kriteria minor :

1) Subjektif : -

2) Objektif : Murmur jantung, berat badan bertambah,

pulmonary artery wedge pressure (PAWP) menurun

Kondisi klinis terkait : Gagal Jantung Kongestif

d. Nyeri akut (D.0077)

Definisi : pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan

dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional

dengan onset mendadak atau lambatberintensitas

ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3

bulan.

Penyebab : agen pencedera fisiologis (mis: iskemia)

23
24

Batasan karakteristik :

Kriteria mayor :

1) Sujektif : Mengeluh nyeri

2) Objektif : Tampak meringis, bersikap protektif, gelisah,

frekuensi nadi meningkat, sulit tidur

Kriteria minor :

1) Subjektif : -

2) Objektif : Tekanan darah meningkat, pola nafas berubah,

nafsu makan berubah, proses berpikir terganggu, menarik

diri, berfokus pada diri sendiri, diaforesis.

Kondisi klinis terkait : Cedera Traumatis

e. Hipervolemia (D.0022)

Definisi : peningkatan volume cairan intravaskuler, interstisiel,

dan/atau intraseluler.

Penyebab : ganguan mekanisme regulasi

Batasan karakteristik :

Kriteria mayor :

1) Subjektif : Ortopnea, dispnea, paroxymal nocturnal

dyspnea (PND)

2) Objektif : Edema anasarka dan/atau edema perifer, berat

badan meningkat dalam waktu singkat, JVP dan/atau CVP

meningkat , refleks hepatojugular (+)

24
25

Kriteria minor :

1) Subjektif : -

2) Objektif : Distensi vena jugularis, suara nafas tambahan,

hepatomegali, kadar Hb/Ht turun, oliguria, intake lebih

banyak dari output, kongesti paru.

Kondisi klinis terkait : Gagal Jantung Kongestif

f. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009)

Definisi : penurunan sirkulasi darah pada level kalpiler yang dapat

menggangu metabolisme tubuh

Penyebab : penurunan aliran arteri dan/atau vena

Batasan karakteristik :

Kriteria mayor :

1) Subjektif : -

2) Objektif : Pengisian kapiler >3 detik, nadi perifer menurun

atau tidak teraba, akral teraba dingin, warna kulit pucat,

tugor kulit menurun.

Kriteria minor :

1) Subjektif : Parastesia, nyeri ektremitas (klaudikasi

intermiten)

2) Objektif : Edema, penyembuhan luka lambat, indeks

ankle- brakial <0,90, bruit femoralis

Kondisi klinis terkait : Gagal Jantung Kongestif

34
26

g. Intoleransi aktivitas (D.0056)

Definisi : ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas

sehari-hari

Penyebab : kelemahan

Batasan karakteristik :

Kriteria mayor :

1) Subjektif : Mengeluh lelah

2) Objektif : Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi

istirahat

Kriteria minor :

1) Subjektif : Dispnea saat/setelah beraktifitas, merasa tidak

nyaman setelah beraktifitas, merasa lemah

2) Objektif : Tekanan darah berubah >20% dari kondisi

istirahat, gambaran EKG menunjukkan aritmia saat/setelah

aktifitas, gambaran EKG menunjukkan iskemia,sianosis

Kondisi klinis terkait : Gagal Jantung Kongestif

h. Ansietas (D.0080)

Definisi : kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu

terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat

antisipasi bahaya yang memungkinkan individu

melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman.

Penyebab : kurang terpapar informasi Batasan karakteristik :

Kriteria mayor :

1) Subjektif : Merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat

dari kondisi yang dihadapi, sulit berkonsentrasi


27
2) Objektif : Tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur

Kriteria minor :

1) Subjektif : Mengeluh pusing, anorexia, palpitasi, merasa

tidak berdaya

2) Objektif : Frekuensi napas dan nadi meningkat, tekanan

darah meningkat, diaforesis, tremor, muka tampak pucat,

suara bergetar, kontak mata buruk, sering berkemih,

berorientasi pada masa lalu

Kondisi klinis terkait : Penyakit Akut

4. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala bentuk treatment yang

dikerjakan oleh perawat didasarkan pada pengetahuan dan penilaian

klinis untuk mencapai tujuan luaran yang diharapkan (Tim Pokja SIKI

DPP PPNI, 2018). Diagnosa berdasarkan SIKI adalah :

Tabel : 2.2 intervensi keperawatan

Dx. keperawatan Tujuan dan Intervensi


Kriteria
hasil
1.Gangguan Tujuan : (Pemantauan Respirasi I.01014)
pertukaran gas Setelah dilakukan Monitor frekuensi irama,
b.d perubahan tindakan kedalaman dan upaya nafas
membran keperawatan Monitor pola nafas
alveolus-kapiler diharapkan Monitor kemampuan batuk efektif
pertukaran gas Monitor nilai AGD
meningkat. Monitor saturasi oksigen
Auskultasi bunyi nafas
Dokumentasikan hasil pemantauan
Kriterian hasil
Jelaskan tujuan dan
: (Pertukaran
prosedur pemantauan
gas L.01003)
Informasikan hasil pemantauan, jika
1.Dipsnea menurun
perlu
2.bunyi nafas
Kolaborasi penggunaan oksigen
tambahan menurun
saat aktifitas dan/atau tidur
3.pola nafas
membaik
4. PCO2 dan
O2 membaik
2.Pola nafas Tujuan : (Manajemen jalan nafas I.01011)
tidak efektif b.d Setelah dilakukan Monitor pola nafas
hambatan upaya tindakan (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
nafas (mis: keperawatan Monitor bunyi nafas tambahan (mis:
28
nyeri saat diharapkan pola gagling, mengi, Wheezing, ronkhi)
bernafas) nafas membaik. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Posisikan semi fowler atau fowler
Kriteria hasil : Ajarkan teknik batuk efektif
(pola nafas L.01004) Kolaborasi pemberian
1. Frekuensi nafas bronkodilato, ekspetoran, mukolitik,
dalam rentang jika perlu.
normal
2. Tidak ada
pengguanaan
otot bantu
pernafasan
3. Pasien tidak
menunjukkan
tanda dipsnea
3.Penurunan Tujuan : (Perawatan jantung I.02075)
curah jantung setelah dilakukan Identifikasi tanda/gejala
b.d perubahan tindakan keperawatan primer penurunan curah jantung
preload / diharapkan curah Identifikasi tanda/gejala
jantung meningkat. sekunder penurunan curah jantung
perubahan
afterload / Monitor intake dan output cairan
Kriteria hasil : (curah
perubahan Monitor keluhan nyeri dada
jantung L.02008)
kontraktilitas 1.Tanda vital dalam Berikan terapi terapi relaksasi untuk
rentang normal mengurangi strees, jika perlu
2.Kekuatan nadi Anjurkan beraktifitas fisik sesuai
perifer meningkat toleransi
3. Tidak ada edema Anjurkan berakitifitas fisik secara
bertahap
Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika
perlu

4.Nyeri akut b.d Tujuan : setelah (Manajemen nyeri I.08238)


gen penedera dilakukan tindakan Identifikasi lokasi, karakteristik
fisiologis (Mis: keperawatan nyeri, durasi, frekuensi, intensitas
Iskemia) diharapkan tingkat nyeri
nyeri menurun. Identifikasi skala nyeri
Identifikasi faktor yang
Kriteria hasil :
memperberat dan memperingan
Tingkat nyeri
(L.08066) nyeri
1. Pasien mengatakan Berikan terapi non farmakologis
nyeri berkurang dari untuk mengurangi rasa nyeri
skala 7 menjadi 2 Kontrol lingkungan yang
2.Pasien memperberat rasa nyeri (mis: suhu
menunjukkan ruangan, pencahayaan,kebisingan)
ekspresi wajah tenang Anjurkan memonitor nyeri secara
3.Pasien dapat mandiri
beristirahat dengan Ajarkan teknik non farmakologis
nyaman
untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
29
5.Hipervolemia Tujuan : (Manajemen hipervolemia I.03114)
b.d gangguan setelah dilakukan Periksa tanda dan gejala
mekanisme tindakan keperawatan hipervolemia (mis:
regulasi diharapkan ortopnes,dipsnea,edema, JVP/CVP
keseimbangan cairan meningkat,suara nafas tambahan)
meningkat. Monitor intake dan output cairan
Monitor efek samping diuretik
Kriterian hasil :
(keseimbangan ciran (mis : hipotensi ortortostatik,
L. 03020) hipovolemia, hipokalemia,
1.Tererbebas dari hiponatremia)
edema 2.Haluaran Batasi asupan cairan dan garam
urin meningkat Anjurkan melapor haluaran urin
3. Mampu <0,5 mL/kg/jam dalam 6 jam
mengontrol asupanAjarkan cara membatasi cairan
cairan Kolaborasi pemberian diuretik

6.Perfusi perifer Tujuan : (Perawatan sirkulasi I.02079)


tidak efektif b.d setelah dilakukan Periksa sirkulasi
penurunan tindakan keperawatan perifer(mis:nadi
aliran arteri diharapkan perfusi perifer,edema,pengisian
perifer meningkat. kapiler, warna,suhu)
dan/atau vena
Identifikasi faktor resiko
Kriteria hasil : perfusi
perifer (L.02011) gangguan sirkulasi
1.Nadi perifer terabaLakukan hidrasi
kuat Anjurkan menggunakan obat
2. Akral teraba hangat penurun tekanan darah,
3.Warna kulit tidak antikoagulan, dan penurun
pucat kolestrol, jika perlu
Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan darah
secara teratur
Informasikan tanda dan gejala darurat
yanng harus dilaporkan.
7.Intoleransi Tujuan : (Manajemen energi I.050178)
aktifitas b.d setelah dilakukan Monitor kelelahan fisik dan emosional
kelemahan tindakan keperawatan Monitor pola dan jam tidur
diharapkan toleransi Sediakan lingkungan yang nyaman
aktifitas meningkat. dan rendah stimulus (mis: cahaya,
suara, kunjungan)
Kriteria hasil : Berikan aktifitas distraksi yang
Toleransi aktivitas
menenangkan
(L.05047)
1. kemampuan Anjurkan tirah baring
melakukan aktifitas Anjurkan melakukan aktifitas secara
sehari-hari meningkat bertahap
2.Pasien Mampu Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
berpindah dengan cara meningkatkan asupan makanan
atau tanpa bantuan
3.Pasien mangatakan
dipsnea saat dan/atau
setelah aktifitas
menurun
30
8. Ansietas b.d Tujuan : (Terapi reduksi I.09314)
kurang terpapar setelah dilakukan Identifikasi saat tingkat
informasi tindakan keperawatan ansietas berubah
diharapkan tingkat Pahami situasi yang
ansietas menurun. membuat ansietas
Dengarkan dengan penuh perhatian
Kriterian hasil :
Gunakan pendekatan yang teang
(Tingkat ansietas
L.09093) dan meyakinkan
1.Pasien mengatakan Informasikan secara faktual
telah memahami mengenai diagnosis, pengobatan,
penyakitnya 2.Pasien dan prognosis
tampak tenang Anjurkan keluarga untuk
3.Pasien dapat tetap menemani pasien, jika perlu
beristirahat dengan Anjurkan mengungkapkan perasaan
nyaman dan persepsi
42

5. Pelaksanaan
Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses

keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana

keperawatan (Potter & Perry, 2010).

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status

kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang

menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses pelaksanaan

implementasi harus berpusat kepada kebutuhan pasien, faktor-faktor

lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi

keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Dinarti & Muryanti, 2017)

6. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan.

Evaluasi adalah kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan

melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya

(Padila, 2012).

Menurut Setiadi (2012) dalam buku Konsep & penulisan

Asuhan Keperawatan, Tahap evaluasi adalah perbandingan yang

sistematis dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan

yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan

dengan melibatkan pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.

31
42

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien dalam

mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada

tahap perencanaan (Setiadi, 2012).

32
42

A. Pengkajian
1) Identitas pasien
Nama : Ny.N
Umur : 60 tahun
Agama : Islam
Alamat : Sedati Sidoarjo
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Suku bangsa : Jawa Timur
Tanggal masuk : 20 April 2021
Tanggal pengkajian : 20 April 2021
Waktu : 09.00 WIB
Diagnose medis : IMA

B. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Nyeri Dada dan sulit untuk bernafas
2) Riwayat kesehatan sekarang
Sehari sebelum masuk RS pasien mengeluh sesak nafas dan dada terasa nyeri, Pasien
segera dibawa ke RS.
3) Riwayat penyakit dahulu
sebelumnya pasien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM.
4) Riwayat penyakit keluarga
Ayah Pasien dahulunya meninggal dunia karena sakit jantung

C. Observasi dan Pemeriksaan Fisik


1) Keadaan umum : Compos mentis; GCS: 4 5 6
TTV : TD: 165/90 mmHg
N: 120 x/mnt irreguler
R: 30 x/mnt
S: 37°C
SpO2 : 95 %
skala nyeri : 8
B1 (Breathing): Klien sesak napas, pernafasan dangkal, ronchi (-/-). RR 30 x/mnt,
terpasang oksigen 8 lt/mnt Masker, SpO2 95%
B2 (Bleeding): TD: 165/90 mmHg, N: 120 x/mnt irreguler, pada pemeriksaan
auskultasi tidak ada suara tambahan
B3 (Brain): Kesadaran composmentis, GCS 4 5 6, pasien mengatakan nyeri pada
bagian dada , nyeri menjalar hingga ke belakang, pasien merasakan sakitnya seperti
ditusuk pisau
B4 (Bladder): Urine berwarna kuning pekat. Produksi urine 200 ml, terpasang kateter
B5 (Bowel): Nafsu makan klien menurun, mual (+)
B6 (Bone): Badan pasien terasa lemas

33
42

D.Analisa Data
Kemungkinan
Data Masalah
Penyebab
DS: klien mengeluh Pola Nafas tidak
sesak nafas Aterosklerosis/ efektif b.d sesak nafas
trombosis/ Kontriksi
DO: klien tampak sesak, arteri koronaria
RR: 30x/ mnt, SpO2
95%, diberi O2 8lpm
dengan masker, Aliran darah ke jantung
pernafasan dangkal menurun

Oksigen dan nutrisi


menurun

Suplai dan
kebutuhan oksigen ke
jantung tidak seimbang
Ds : Pasien mengatakan Suplai dan Nyeri akut b.d gen
nyeri kebutuhan oksigen ke
pencedera fisiologis
Do : klien tampak jantung tidak seimbang
kesakitan, wajah Iskemia
menyeringai, pasiewn
menggeliat, skala nyeri 8 Sulai oksigen ke
miokard turun

Metabolisme an aerob

Penumpukan asam
laktat

Nyeri

34
42

Rencana asuhan keperawatan


No Sdki Slki Siki
.

1 Pola nafas Diharapan dalam 2x24 jam Manajemen nafas (I.01011)


tidak efektif pasien Monitor pola nafas
(D.0005) Pola nafas Monitor bunyi nafas
Tekanan ekpirasi membaik Posisikan semi-Fowler atau Fowler
Tekanan ispirasi membaik Berikan oksigen
Dipsnea (-)
Frekuensi nafas membaik
Status pernafasan
Suara auskultasi nafas
normal
Saturasi oksigen normal
Penggunaan otot bantu
nafas (-)
Suara nafas tambahan (-)

Nyeri akut Dalam 2x24 jam diharapkan Manajemen nyeri


(D.0077) pasien Identifikasi lokasi, karakteristik,
Keluhan nyeri (-) durasi, frekuensi, kualitas, intensitas,
Mual (-) dan skala nyeri
Muntah (-) Identifikasi pengaruh nyeri pada
Frekuensi nadi membaik kualitas hidup
Tekanan darah membaik Berikan teknik nonfarmakologis
Pola nafas membaik untuk mengurasi rasa nyeri
Pola tidur membaik Fasilitasi istirahat dan tidur
Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

Perawatan kenyamanan (I.08245)


Identifikasi gejala yang tidak
menyenangkan (mis. Mual, nyeri,
sesak)
Berikan posisi yang nyaman
Ajarkan terapi relaksasi
Ajarkan latihan pernafasan
Kolaborasi pemberian analgesic, jika
perlu.

35
42

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Diagnosa
Tanggal Jam Implementasi Paraf /Nama
Keperawatan

Pola nafas tidak Minggu,22 08:00 kaji status pernafasannya; TTD


efektif b.d sesak April 2021 frekuensi, irama, Perawat AN
kedalaman, suara nafas,

pantau pergerakan dada,


lihat kesimetrisannya
apakah menggunakan
pergerakan otot-otot
tambahan seperti otot
intercostal

Memberikan oksigen 8
LPM

Nyeri akut b.d Minggu,22 08:30 Kaji nyeri : lokasi, TTD


April 20201 karakteristik, durasi, Perawat AN
frekuensi, kualitas,
intensitas dan skala nyeri

Beri teknik nonfarmakologi


untuk mengurangi rasa
nyeri

kolaborasi dengan dokter


untuk pemberian analgetik,
jika perlu

36
42

EVALUASI

Diagnosa keperawatan Tanggal Jam Perkembangan SOAP

Pola nafas tidak efektif Minggu,21 10:00 S : Pasien mengatakan sesak berkurang
b.d sesak April 2021 Tingkat kenyamanan terpenuhi
O : TTV dalam batas normal
S :37°C TD:110/80
RR :24x/m
N : 88x/m
SpO2 : 99 %
Klien merasa lebih nyaman
A : Masalah teratasi sebagian :
Klien mengatakan sesak berkurang
Klien merasa agak nyaman
P : Intervensi dilanjutkan :
Kaji secara berkala keadaan pola nafas
Pantau ttv pasien
Ingatkan kembali pasien untuk
memantau aktifitas
Nyeri akut b.d gen Minggu,21 17.50 S: Pasien mengatakan nyeri berkurang,
pencedera fisiologis April 2021 tingkat kenyamanan terpenuhi
Iskemia O : Skala nyeri 4
A : Masalah teratasi sebagian : klien
mengatakan nyeri berkurang, klien
merasa agak nyaman.
P : Intervensi dilanjutkan :
Kaji terus lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas dan
skala nyeri
Ingatkan kembali pasien untuk
melakukan teknik nonfarmakologi
bila nyeri kembali dirasakan
Lanjutkan pemberian obat sesuai advis
dokter.

37
42

BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelaksanaan asuhan keperawatan dengan penerapan mobilisasi

dini pada pasien pasca IMA memberikan respon yang berbeda diantara

kedua pasien. Pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien pertama bisa dicapai

hingga pasien bisa melakukan aktivitas secara mandiri. Pelaksanaan

mobilisasi dini untuk pasien kedua hanya dapat berlangsung dengan

pelaksanaan aktivitas di tempat tidur. Pasien tidak mampu melakukan

latihan pada tahap selanjutnya, sehingga kebutuhan aktivitas tidak bisa

tercapai.

B. Saran

Bagi Pasien

Pelaksanaan mobilisasi dini untuk pasien pasca IMA sebaiknya

dilakukan secara rutin dan berkala supaya memberikan hasil yang

maksimal. Keluarga juga ikut mendampingi dan membantu pelaksanaan

latihan, serta memberikan motivasi pasien supaya tidak malas dalam

melakukan latihan secara berkala. Keluarga ikut memantau kondisi pasien

apabila terjadi perubahan status kesehatan.

Bagi Perawat

Perawat selalu memantau kondisi pasien pasca IMA. Hal ini supaya

pelaksanaan mobilisasi bisa dilakukan sedini mungkin sesuai kebutuhan dan

kondisi pasien yang sudah memenuhi kriteria untuk segera dilakukan

mobilisasi dini. Perawat juga melakukan mobilisasi dini sesuai dengan


38
42

standar prosedur operasional dan dengan pengawasan dan pemantauan

secara langsung.

39
42

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi


Kebutuhan Dasar Pasien. Jakarta: Salemba Medika
Black, Joyce M & Hawks, Jane H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah
Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Singapura: Elsevier
Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. (2016).
Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi kelima Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Mocomedia.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan RI. (2002). Standar Operasional Prosedur Rehabilitasi
Medik di Rumah Sakit. Artikel. Dikutip dari http://www.slideshare.net
Departemen Kesehatan RI. (2013). Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit
Jantung Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dep.Kes RI.
Jakarta. Direktorat.
Doengoes, Marilynn E., Moorhouse, M. F.,&Geissler, Alice C. (2012). Rencana
Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Ethical Digest. (2018). Penyakit Jantung Usia Lanjut. Semijurnal Farmasi &
Kedokteran
Mubarak, Wahit & Chayatin, N. (2008). Buku Ajar kebutuhan Dasar Manusia
Teori dan Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Muttaqin, Arif. (2009). Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskuler dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

40

Anda mungkin juga menyukai