NIKMATUL KAMALIA
1120021101
A. Konsep Hipertensi
1. Definisi
Menurut World Health Organization (WHO), hipertensi
merupakan suatu keadaan dimana peningkatan darah sistolik berada
diatas batas normal yaitu lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari 90 mmHg. Kondisi ini menyebabkan pembuluh darah
terus meningkatkan tekanan. Hipertensi merupakan penyakit tidak
menular yang menjadi salah satu penyebab utama kematian prematur di
dunia. Organisasi kesehatan dunia yaitu World Health Organization
(WHO) mengestimasikan saat ini prevalensi hipertensi secara global
sebesar 22% dari total penduduk dunia. Dari sejumlah penderita tersebut,
hanya kurang dari seperlima melakukan upaya pengendalian terhadap
tekanan darah yang dimiliki (KEMENKES, 2020).
Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat
abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda.
Seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya
lebih tinggi dari 140/90 mmHg (Elizabeth dalam Ardiansyah M., 2012).
Menurut Price (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H. (2016),
Hipertensi adalah sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya
140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak
hanya beresiko tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita
penyakit lain seperti penyakit saraf, ginjal, dan pembuluh darah dan
makin tinggi tekanan darah, makin besar resikonya.
2. Etiologi
Menurut KEMENKES, 2020 Berdasarkan penyebab, hipertensi
terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Hipertensi esensial atau primer yang tidak diketahui penyebabnya.
b. Hipertensi sekunder yang penyebabnya dapat ditentukan melalui
tanda-tanda di antaranya kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan
kelenjar tiroid (hipertiroid), dan penyakit kelenjar adrenal
(hiperaldosteronisme). Tidak semua penderita hipertensi menyadari
penyakit yang dideritanya. Hal ini yang membuat hipertensi kerap
disebut sebagai “silent killer”atau “pembunuh senyap”.
3. Klasifikasi
Menurut Tambayong (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H. 2016),
klasifikasi hipertensi klinis berdasarkan tekanan darah sistolik dan
diastolik yaitu :
Tabel 1.1 Klasifikasi derajat hipertensi secara klinis No Kategori Sistolik
(mmHg) Diastolik (mmHg)
No Kategori Sistolik Diastolik
1 Optimal <120 <80
2 Normal 120-129 80-84
3 High normal 130-139 85-89
Hipertensi
4 Grade 1 (ringan) 140-159 90-99
5 Grade 2 (sedang) 160-179 100-109
6 Grade 3 (berat) 180-209 100-119
7 Grade 4 (sangat >210 >210
berat)
Sumber : Tambayong dalam Nurarif A.H., & Kusuma H. (2016).
Menurut World Health Organization (dalam Noorhidayah, S.A.
2016) klasifikasi hipertensi adalah :
a. Tekanan darah normal yaitu bila sistolik kurang atau sama dengan
140 mmHg dan diastolik kurang atau sama dengan 90 mmHg.
b. Tekanan darah perbatasan (border line) yaitu bila sistolik 141-149
mmHg da n diastolik 91-94 mmHg.
c. Tekanan darah tinggi (hipertensi) yaitu bila sistolik lebih besar atau
sama dengan 160 mmHg dan diastolik lebih besar atau sama dengan
95 mmHg.
4. Manifestasi Klinis
Menurut Tambayong (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H., 2016),
tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Tidak ada gejala Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat
dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan
tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi
arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan darah tidak
teratur.
b. Gejala yang lazim Seing dikatakan bahwa gejala terlazim yang
menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam
kenyataanya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai
kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis. Beberapa
pasien yang menderita hipertensi yaitu :
1) Mengeluh sakit kepala dan psuing
2) Lemas dan kelelahan
3) Sesak nafas
4) Gelisah
5) Mual
6) Muntah
7) Epistaksis
8) Kesadaran menurun
5. Komplikasi
Menurut (Wijaya & Putri, 2013), Tekanan darah yang tidak
terkontrol dan tidak segera ditangani dalam jangka panjang akan
menyebabkan kerusakan pembuluh darah arteri sampai kerusakan
organ yang mendapatkan suplai darah dari arteri tersebut. Hipertensi
yang tidak terkontrol akan menyebabkan komplikasi antara lain
sebagai berikut :
a. Jantung
Hipertensi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung dan
penyakit jantung coroner. Pada penderita hipertensi, beban kerja
jantung akan meningkat, otot jantung akan mengendor dan
elastisitasnya berkurang yang disebut dekompensasi. Sehingga,
dapat mengakibatkan jantung tidak mampu lagi memompa dan
banyak cairan tertahan di paru maupun di jaringan tubuh lain
yang dapat menyebabkan sesak nafas atau oedema. Kondisi ini
disebut gagal jantung.
b. Otak
Hipertensi apabila tidak segera diobati akan menyebabkan
komplikasi pada otak dan berisiko tujuh kali lebih besar terkena
stroke.
c. Ginjal
Hipertensi juga dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Hipertensi dapat menyebabkan kerusakan pada sistem
penyaringan di dalam ginjal sehingga mengakibatkan ginjal tidak
mampu membuang zat-zat yang tidak dibutuhkan tubuh yang
masuk melalui aliran darah dan terjadi penumpukan di dalam
tubuh.
d. Mata
Hipertensi dapat menyebabkan komplikasi pada mata, yaitu
mengakibatkan terjadinya retinopati hipertensi dan dapat
menimbulkan kebutaan.
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Padila (2013) berikut ini adalah pemeriksaan
penunjang untuk penderita hipertensi, yaitu:
a. Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
b. Pemeriksaan retina
Retina (selaput peka cahaya pada permukaan dalam bagian
belakang mata) merupakan satu-satunya bagian tubuh yang
secara langsung bisa menunjukkan adanya efek dari hipertensi
terhadap arteriola (pembuluh darah kecil). Dengan anggapan
bahwa perubahan yang terjadi di dalam retina mirip dengan
perubahan yang terjadi di dalam pembuluh darah lainnya di
dalam tubuh, seperti ginjal. Untuk memeriksa retina,
digunakan suatu oftalmoskop. Dengan menentukan derajat
kerusakan retina (retinopati), maka bisa ditentukan beratnya
hipertensi.
c. Pemeriksaan laboratorium darah lngkap untuk mengetahui
kerusakan organ seperti ginjal dan jantung. Pemeriksaan awal
pada kerusakan ginjal bisa diketahui dengan melalui
pemeriksaan air kemih. Dan pemeriksaan jantung bisa
ditemukan pada elektrokardiografi (EKG) dan foto rontgen
dada.
d. EKG untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri.
e. Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa.
f. Pemeriksaan : renogram, pyelogram intravena arteriogram
renal, pemeriksaan fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar
urin.
g. Foto thorax dan CT scan
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Kategori obat yang diresepkan tergantung pada pengukuran
tekanan darah dan masalah medis lainnya.
1) Diuretik thiazide, diuretik adalah obat yang berkerja pada
ginjal untuk membantu tubuh menghilangkan sodium dana
air, sehingga bisa mengurangi volume darah. diuretik thiazide
sering kali merupakan pilihan obat tekanan darah tinggi yang
pertama namun bukan satu-satunya. Diuretik thiazide
meliputi hyrochlorothiazide (microzide), chlorthalidone dan
lainlain. efek samping yang umum dari diuretik adalah
peningkatan buang air kecil.
2) Penghambat beta (beta blocker). obat ini mengurangi beban
kerja jantung dan membuka pembuluh darah, menyebabkan
jantung berdetak lebih lambat dan dengan kekuatan lebih
rendah. beta blocker meliputi acebutolol (sectral), atenolol
(tenormin) dan lain-lain.bila diresepkan sendiri , beta blocker
tidak bekerja dengan baik,terutama pada orang kulit hitam
dan lanjut usia,namun mungkin efektif bila dikombinasikan
dengan obat tekanan darah lainnya.
3) Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE). obat-obatan
ini membantu merelaksasi pembuluh darah dengan
menghalangi pembentukan zat kimia alami yang
mempersempit pembuluh darah . orang dengan penyakit
ginjal kronis mungkin mendapat manfaat dari memiliki
inhibitor ACE sebagai salah satu obat mereka.yang termasuk
dalam ACE antara lain lisinopril (Zestril), benazepri
(lotensin), kaptopril dan lainnya.
4) Penghambat reseptor angiotensin II ARBs. obat-obat ini
membantu mengendurkan pembuluh darah dengan
menghalangi zat kimia alami yang mempersempit pembuluh
darah. yang termasuk golongan ARBs antara lain candesartan
(Atacand), losartan (Cozaar) dan lain-lain.orang dengan
penyakit ginjal kronis mungkin mendapat manfaat dari
memiliki ARB sebagai salah satu obatnya.
5) Penghambat saluran kalsium. obat-obatan membantu
mengendurkan otot-otot pembuluh darah dan beberapa ada
yang bisa memperlambat detak jantung. penghambat saluran
kalsium dapat bekerja lebih baik untuk orang kulit hitam dan
lebih tua dari pada penghambat ACE saja. Yang termasuk
jenisobat ini antara lain amlodipin (Norvasc), diltiazem
(Cardizem, tiazac) dan lainnya.
6) Penghambat renin, Aliskiren (Tekturna) memperlambat
produksi enin, enzim yang diproduksi oleh ginjal, yang
memulai serangkaian langkah kimia meningkatkan tekanan
darah terutama bekerja dengan cara mengurangi kemampuan
renin untuk memulai proses ini .karena risiko komplikasi
serius, termasuk stroke, klien sebaiknya tidak menggunakan
aliskiren dengan ACE inhibitor atau ARB.
b. Penatalaksanaan keperawatan
Menganjurkan klien makan-makanan yang sehat dengan sedikit
garam (asupan garam tidak lebih dari ¼-1/2 sendok teh (6
gram/hari), berolahraga secara teratur (berupa jalan, lari, jogging,
bersepeda 20-25 menit dengan frekuensi 3-5 x per minggu,
berhenti merokok, dan mempertahankan berat badan yang sehat,
menghindari minuman berkafein, minuman beralkohol, cukup
istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan stres. (sugeng
jitowiyono,Ners,M.Sc,2018:212)
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi
ginjal.
1) Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran
ginjal dan
adanya massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian
atas.
2) Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan
sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
3) Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4) EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektrolit
dan asam basa.
b. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan
faal
ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal, anatomi
sistem pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi
sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan
prostat.
e. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi gangguan (vaskuler,
parenkhim) serta sisa fungsi ginjal
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
g. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi
metatastik
h. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
j. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-
tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
k. Biopsi Ginjal
Dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal
kronis atau perlu untuk mengetahui etiologinya.
8. Penatalaksanaan
Menurut Levin, A., Hemmelgarn, B. and Culleton, B. (2008)
penatalaksanaan ggk dibagi berdasarkan penyebabnya, yaitu:
a. Hipertensi
Pasien dengan hipertensi diperlukan terapi anti hipertensi yang
mencakup ACE inhibitor atau angiotensin receptor blocker. untuk
tekanan darah ditargetkan systolik kurang dari 130 mm Hg dan
diastolic kurang dari 80mm Hg.
b. Diabetes
Target control glikemik harus dicapai dengan aman dan mengikuti
Canadian Diabetes Association Guidelines dengan hemoglobin A1c
< 7.0%, glukosa plasma puasa 4–7 mmol/L. Kontrol glikemik
menjadi strategi intervensi multifaktoral yang membahas kontrol
tekanan darah, resiko kardiovaskular dan dukung pemakaian ACE
Inhibitor, angiotensin-receptor blocker, statins, dan acetylsalicylic
acid. Metformin di rekomendasikan untuk pasien dengan diabetes
melitus tipe tipe 2 dengan stage 1 atau 2 penyakit ginjal kronis
dengan fungsi ginjal yang stabil dan tidak berubah selama 3 bulan
terakhir. Metfomin dapat dilanjutkan pada pasien penyakit ginjal
kronis stabil stage 3. Metformin diberhentikan jika terjadi perubahan
akut dalam fungsi ginjal atau selama periode penyakit yang dapat
memicu perubahan tersebut (gangguan gastrointertinal atau
dehidrasi) atau menyebabkan hipoksia (gagal jantung atau
pernapasan). Pasien ini juga menggunakan ACE Inhibitor,
angiotensin receptor blocker, NSAID atau setelah pemberian kontras
intravena karena resiko gagal ginjal akut. Menyesuaikan pilihan
agen penurunan glukosa lainnya (termasuk insulin) untuk masing-
masing pasien, tingkat fungsi ginjal dan komorbiditas. Resiko
hipoglikemia harus dinilai secara teratur untuk pasien yang
menggunakan insulin atau insulin secretagogues. Pasien juga harus
mengetahui cara mengenali, mendeteksi dan mengobati
hipoglikemia.
c. Proteinuria
Monitoring proteinuria dilakukan pada semua pasien dengan resiko
tinggi penyakit ginjal (pasien dengan diabetes, hipertensi, penyakit
vascular, penyakit autoimmune, eGFR 100mg/mmol atau ratio
albumin terhadap creatinine >60 mg/mmol dianggap sebagai batas
untuk menunjukkan adanya resiko peningkatan yang tinggi. Pasien
dewasa dengan diabetes dan albuminuria persistent harus
mendapatkan ACE Inhibitor atau angiotensin-receptor blocker untuk
memperlambat perkembangan penyakit ginjal kronis. ACE Inhibitor
dan angiotension reseptor blocker adalah obat pilihan untuk
menurunkan proteinuria. Pada beberapa pasien, aldosterone-receptor
antagonist dapat menurutkan proteinuria. diet kontrol protein serta
penurunan berat badan dapat memerikan manfaat dalam mengurani
proteinuria.
d. Anemia
Anemia ditandai dengan tinggi Hemoglobin < 135g/L untuk pria
dewasa dan >120g/L untuk wanita dewasa. Pertimbangan untuk
menguji kadar-kadar yang lain pada pasien dengan hemoglobin
100ng/mL dan saturasi transferrin >20%. Pasien dengan target
serum ferritin dan saturasi trasnferrin yang tidak mencukupi atau
keduanya saat mengambil besi oral atau tidak mentoleransi bentuk
oral harus mendapatkan besi intravena 100ng/mL dan saturasi
transferrin >20%. Pasien dengan target serum ferritin dan saturasi
trasnferrin yang tidak mencukupi atau keduanya saat mengambil
besi oral atau tidak mentoleransi bentuk oral harus mendapatkan
besi intravena.
e. Managemen gaya hidup
1) Berhenti merokok Untuk mengurangi resiko perkembangan
penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal tahap akhir dan
mengurangi resiko penyakit kardiovaskular.
2) Penurunan berat badan Orang dengan obesitas
(BMI >30,0kg/m2 ) dan kelebihan berat badan (BMI >25,0 –
29,0 kg/m2 ) harus didorong untuk mengurangi BMI karena
untuk menurunkan resiko penyakit ginjal kronis dan penyakit
ginjal stadium akhir. Pemeliharaan berat badan yang sehat (18,5-
24,9 kg/m2 ; lingkat pinggang < 102cm untuk pria, hingga 2
minuman atau kurang perhari dan konsumsi tidak boleh
melebihin 14 minuman per minggu untuk pria dan 9 minuman
per minggu untuk wanita.
3) Kontrol diet protein Diet protein terkontrol (0.80-1.0 g/kg/d)
direkomendasikan untuk orang dewasa dengan penyakit ginjal
kronis. Pembatasan protein dalam makanan (0,70g/kg/hari harus
mencakup pemantauan klinis dan biokimiawi dari defisiensi
nutrisi.
4) Asupan alcohol Konsumsi alcohol pada hipertensi harus sesuai
dengan Canadian Guideline untuk resiko minum alcohol rendah.
Orang dewasa sehat harus membatasi konsumsi alcohol hingga 2
minuman atau kurang perhari dan konsumsi tidak boleh
melebihin 14 minuman per minggu untuk pria dan 9 minuman
per minggu untuk wanita.
5) Olahraga Untuk mengurangi resiko hipertensi, orang tanpa
hipertensi dan dengan hipertensi (menurunkan tekanan darah)
harus didorong untuk melakukan latihan dinamis intensitas
sedang selama 30-60 menit seperti berjalan, jogging, bersepeda
atau berenang, dilakukan 4-7 hari per minggu.
6) Diet asupan garam Untuk mencegah hipertensi, asupan natrium
makanan dianjurkan <100 mmol/hari.pasien dengan hipertensi
harus membatasi makanan mereka dengan 65 - 100 mmol/hari.
9. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan dapat bermacam-macam
tergantung organ yang terkena antara lain:
a. Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium, tamponade jantung
b. Gangguan elekrolit: hiponatremia, asidosis, hiperkalemia (akibat
penuruan ekskresi, asidosis mertabolik, katabolisme dan masukan
diet yang berubah)
c. Neurologi: iritabilitas, neuromuscular, flap, tremor, koma, gangguan
kesadaran, kejang
d. Gastrointestinal: nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum,
pendarahan gastrointestinal
e. Hematologi: anemia (akibat penurunan eritropeitin penurunan
tentang usia sel darah merah, perdarahan gastrom testinal akibat
iritasi diet toxin, dan kehilangan darah selama hemodialisis),
diatesis, hemoragik
f. Infeksi: pneumonia, septikemia, infeksi nosokomial
g. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
renin – angiotensin – aldosteron
h. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat refensi fosfat,
kadar kalsium peningkatan kadar aluminium
C. Konsep Hemodialisa
1. Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa atau hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal
yang bertujuan mengganti faal ginjal pada keadaan gagal ginjal kronik.
Pada hemodialisis zat-zat yang tidak diperlukan tubuh dibersihkan
melalui penggunaan mesin hemodialisa sebagai ginjal buatan (dialiser),
hemodialisa merupakan dimana darah dikeluarkan dari tubuh pasien lalu
beredar kedalam mesin dialis yang berada diluar tubuh (Black & Hawks,
2009; PERNEFRI, 2014).
2. Tujuan Hemodialisa
Menurut Havens dan Terra, 2005 tujuan dari pengobatan hemodialisa
antara lain:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang
sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa
metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan
yang lain.
3. Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera
dan HD kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera
dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1) Kegawatan ginjal
a) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG,
biasanya K >6,5 mmol/l )
e) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f) Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g) Ensefalopati uremikum
h) Neuropati/miopati uremikum
i) Perikarditis uremikum
j) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k) Hipertermia
2) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati
membran dialisis.
b. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15
ml/mnt. Keadaan klien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak
selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika
dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al.,
2007):
1) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
2) Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan
muntah.
3) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
4) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
5) Komplikasi metabolik yang refrakter
4. Komponen Hemodialisis
a. Mesin hemodialisa
Mesin hemodialisa merupakan mesin yang dibuat dengan sistim
komputerisasi yang berfungsi untuk pengaturan dan monitoring
yang penting untuk mencapai adekuasi hemodialisa.
b. Dialiser
Dialiser merupakan komponen penting yang merupakan unit
fungsional dan memiliki fungsi seperti nefron ginjal.Berbentuk
seperti tabung yang terdiri dari dua ruang yaitu kompartemen darah
dan kompartemen dialisat yang dipisahkan oleh membran semi
permeabel. Di dalam dialiser cairan dan molekul dapat berpindah
dengan cara difusi, osmosis, ultrafiltrasi, dan konveksi. Dialiser
yang mempunyai permebilitas yang baik mempunyai kemampuan
yang tinggi dalam membuang kelebihan cairan, sehingga akan
menghasilkan bersihan yang lebih optimal (Brunner & Suddarth,
2001; Black, 2005 ).
c. Dialisat
Diasilat merupakan cairan yang komposisinya seperti plasma
normal dan terdiri dari air dan elektrolit, yang dialirkan kedalam
dialiser. Dialisat digunakan untuk membuat perbedaan konsentrasi
yang mendukung difusi dalam proses hemodialisa. Dialisat
merupakan campuran antara larutan elektrolit, bicarbonat, dan air
yang berperan untuk mencegah asidosis dengan menyeimbangkan
asam basa.Untuk mengalirkan dialisat menuju dan keluar dari
dialiser memerlukan kecepatan aliran dialisat menuju dan keluar
dari dialiser memerlukan kecepatan aliran dialisat yang disebut
Quick Of Dialysate (Qd). Untuk mencapai hemodialisa yang
adekuat Qd disarankan adalah 400-800 mL/menit (Pernefri, 2003).
d. Akses vascular
Akses vascular merupakan jalan untuk memudahkan pengeluaran
darah dalam proses hemodialisa untuk kemudian dimasukkan lagi
kedalam tubuh klien. Akses yg adekuat akan memudahkan dalam
melakukan penusukan dan memungkinkan aliran darah sebanyak
200-300 mL/menit untuk mendapat hasil yang optimal. Akses
vaskular dapat berupa kanula atau kateter yang dimasukkan
kedalam lumen pembuluh darah seperti sub clavia, jungularis, atau
femoralis. Akses juga dapat berupa pembuluh darah buatan yang
menyambungkan vena dengan arteri yang disebut Arteorio
Venousus Fistula/Cimino (Pernefri, 2003).
e. Quick of blood
Qb adalah banyaknya darah yang dapat dialirkan dalam satuan
menit dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bersihan
ureum. Peningkatan Qb akan meningkatkan peningkatan jumlah
ureum yang dikeluarkan sehingga bersihan ureum juga meningkat.
Dasar peningkatan aliran (Qb) rata rata adalah 4 kali berat badan
klien. Qb yang disarankan untuk klien yang menjalani hemodialisa
selama 4 jam adalah 250-400 m/Lmenit (Daugirdas, 2007; Gatot,
2003).
5. Prinsip Dan Cara Kerja Hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: kompartemen darah,
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan ginjal buatan (dialiser).
Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran
tertentu, kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan.
Setelah terjadi proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke
pembuluh balik, selanjutnya beredar didalam tubuh. Proses dialisis
(pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al., 2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut)
suatu larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara
memaparkan larutan ini dengan larutan lain (kompartemen dialisat)
melalui membran semipermeabel (dialiser). Perpindahan solute melewati
membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui
mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat
gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul
terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran kecil yang larut dalam
air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air melewati porus
membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme hidrostatik,
akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau mekanisme
osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al., 2007).
Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan
gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran
(Daurgirdas et al., 2007).
6. Manfaat Hemodialisis
Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan:
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan
asam urat.
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita
7. Komplikasi hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian
dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit
ginjal kronik (PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK).
Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup
pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis
saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani HD adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD.
Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
HDreguler. Namun sekitar 5-15% dari klien HD tekanan darahnya justru
meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic
hypertension (HID) (Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan
komplikasi kronik (Daurgirdas et al., 2007).
a. Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram
otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal,
demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan
Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah
gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD
atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom
disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,
neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al.,
2007).
b. Komplikasi kronik
Adalah komplikasi yang terjadi pada klien dengan hemodialisis
kronik.
Komplikasi kronik yang sering terjadi antara lain (Bieber dan
Himmelfarb, 2013):
1) Penyakit jantung
2) Malnutrisi
3) Hipertensi / volume excess
4) Anemia
5) Renal osteodystrophy
6) Neurophaty
7) Disfungsi reproduksi
8) Komplikasi pada akses
9) Gangguan perdarahan
10) Infeksi
11) Amiloidosis
12) Acquired cystic kidney disease
4. Implementasi Keperawatan
Setelah rencana tindakan keperawatan disusun secara sistematik.
Selanjutnya rencana tindakan tersebut diterapkan dalam bentuk kegiatan
yang nyata dan terpadu guna untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai
tujuan yang diharapkan.
5. Evaluasi Keperawatan
Akhir dari proses Keperawatan adalah ketentuan hasil yang diharapkan
terhadap perilaku dan sejauh mana masalah klien dapat teratasi.
Disamping itu perawat juga melakukan umpan balik atau pengkajian
ulang jika tujuan yang ditetapkan belum berhasil/teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria, et al. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) edisi
keenam, edisi Bahasa Indonesia. Alih bahasa: Intansari N. dan Roxsana
Devi T. Singapore: Elsevier
KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Kidney International Supplements. 2013;3(1).
KEMENKES. 2020. HIPERTENSI SI PEMBUNUH SENYAP.
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infod
atin-hipertensi-si-pembunuh-senyap.pdf
Levin, A., Hemmelgarn, B. and Culleton, B. (2008). Guidelines for the
management of chronic kidney disease. Canadian Medical Association,
179(11), pp.1154 - 1162.
GBD 2015 Disease and Injury Incidence and Prevalence, Collaborators. (8
October 2016). "Global, regional, and national incidence, prevalence, and
years lived with disability for 310 diseases and injuries, 1990-2015: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2015". Lancet.
388 (10053): 1545–1602.
Coresh, J., Levey, A., Levin, A. and Stevens, P. (2013). A stable definition of
chronic kidney disease improves knowledge and patient care. BMJ,
347(sep18 1), pp.f5553-f5553.
Clarkson, M.R., Brenner, B.M., 2005. Pocket Companion to Brenner & Rector’s
the Kidney. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.
Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2010
National Kidney Foundation. 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kideny Disease: Evaluation, Classification and Stratification. New York:
National Kidney Foundation, Inc.
Clarkson, M.R., Brenner, B.M., 2005. Pocket Companion to Brenner & Rector’s
the Kidney. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.
Ardiansyah, M. 2012. Medikal Bedah. Yogyakarta: DIVA Press.
Padila. 2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan
Penerapan Diagnosa Nanda, Nic, Noc dalam Berbagai Kasus. Yogyakarta:
Penerbit Mediaction.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
ASUHAN KEPERAWATAN