Anda di halaman 1dari 194

Tunggal Putri

***

“Kia mau jet pribadi?”

“Pesawat tempur?”

“Kapal pesiar?”

“Bilang aja sama Papa apa yang Kia mau, nanti


Papa beliin. Yang penting Kia berhenti nangisnya.”

Hasil proyek tunggal putrinya yang terus saja


menangis membuat Rivaldo bingung sendiri. Mana
pawang bocah itu belum pulang. Pria itu sudah sangat
kewalahan menghadapi proyek tunggal putrinya. Semua

2 |Bonus Chapter
sudah dia tawarkan, namun tidak ada satu pun dari
tawarannya yang bisa menghentikan tangis anak itu.

“Kok makin kenceng nangisnya? Atau Kia mau


dibeliin pulau? Papa beliin sekarang, ya? Tapi, Kia
berhenti dulu nangisnya.”

Masih sama. Tunggal putrinya tetap menangis.


Rivaldo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung
harus melakukan apa.

“Kalau saham Papa buat Kia semua, apa Kia mau


berhenti nangisnya?”

Rivaldo meringis mendengar suara tangis tunggal


putrinya yang justru semakin keras. Bahkan sekarang putri
bungsunya yang belum lama ini baru saja merayakan
ulang tahun kelima di Paris itu guling-guling di lantai.
Sepatu yang anak itu kenakan dilepas dan dilempar ke
sembarang arah. Rivaldo yang memang selalu payah
menghadapi putrinya jika sedang menangis, mengurut
keningnya yang mulai pening.

3 |Bonus Chapter
“Mamaaa! Mau Mama sekarang! Mamanya Kia
mana, Papa? Mamaaaa!” jeritnya. Bandana merah muda
yang dikenakan ditarik hingga terlepas lalu dilempar ke
arah ayahnya. Anak itu benar-benar marah saat bangun
tidur tidak menemukan keberadaan mamanya. Yang ada
hanya papanya yang tidak bisa mengikat rapi rambutnya
dan tidak bisa membuatkan susu dengan takaran yang pas
seperti mamanya. Padahal sebelum tidur, mamanya ada di
sampingnya. Seharusnya saat bangun pun masih ada di
sampingnya karena mamanya sudah berjanji akan
menjaganya selagi tertidur.

Rivaldo jongkok dan merengkuh tubuh Azkia


Berliana Januar—Kia—ke dalam gendongannya. Satu
telapak tangannya mengusap punggung putrinya dengan
gerakan naik turun untuk menenangkan anak itu. Besar
harapannya agar tangis Kia reda.

“Mama lagi belanja, sebentar lagi pulang kok. Kia


sama Papa aja, ya. Nanti Papa beliin kalung berlian.
Sekarang Kia udahan nangisnya. Telinga Papa sakit. Apa
Kia nggak kasian sama Papa?”
4 |Bonus Chapter
“Kia mau mama! Mamanya Kia suruh pulang,
Papaaa! Kia mau main masak-masak!”

Kia yang mengamuk, berteriak di depan telinganya.


Putrinya ini memang luar biasa sekali dalam urusan
menyiksanya. Suara teriakannya itu menjadi senjata
pamungkas yang tidak ada tanding. Lengkingan suara
Ethan bahkan belum ada apa-apanya dibandingkan suara
putri bungsunya ini.

Setelah berteriak, Kia terbatuk hebat dan itu


membuat Rivaldo diserang rasa khawatir. Pria itu
langsung menyambar segelas air mineral yang ada di meja,
lantas membantu Kia untuk minum agar batuknya reda.

“Mamanya Kia suruh pulang, Papa. Kia mau sama


Mama sekarang. Mamanya Kia kalau mau pergi, harus
ajak Kia. Mama nggak boleh tinggalin Kia. Papa bawa
pulang mamanya Kia,” pinta Kia setelah lebih tenang.

Rivaldo menyeka air mata yang menggenang di


pipi tunggal putrinya. Dia merasa lemah setiap kali
melihat wajah sembap dan penampilan putrinya yang

5 |Bonus Chapter
berantakan setelah mengamuk, hingga membuatnya tidak
bisa marah pada anak itu, sebrutal apapun tingkah Kia saat
mengamuk. Padahal setiap kali Kia mengamuk, ada hasrat
ingin bertindak tegas agar putrinya lebih bisa dikendalikan.
Tapi angan itu tidak pernah terwujud. Terlalu menyayangi
dan terbiasa berlaku lembut pada putrinya, Rivaldo tidak
bisa tegas. Sekadar membentak pun tidak ada nyali.

“Mama lagi belanja, bentar lagi pulang kok. Kia


tunggu di sini sebentar, ya. Papa di sini temenin Kia
nungguin Mama pulang.”

“Kenapa Kia nggak diajak sama Mama? Mama


nggak sayang lagi sama Kia? Biasanya juga diajak. Apa
karena Kia anak nakal? Kia nggak nakal, Papa. Mama
yang nakal karena nggak ajak Kia.”

“Mama sayang sama Kia. Tadi Kia, kan, lagi


bobok.”

“Kalau bobok, kan, bisa dibangunin,” protes Kia


tidak puas dengan jawaban Rivaldo.

6 |Bonus Chapter
Rivaldo tersenyum lalu mengusap puncak kepala
putrinya. “Iya. Tapi, Mama nggak mau bangunin Kia
soalnya Kia boboknya nyenyak banget. Mungkin biar Kia
istirahat. Tadi habis main, kan, pasti capek.”

“Nggak capek kok. Kia bobok, kan, karena


ngantuk. Papa sok tau, padahal nggak tau,” ketus Kia.

Rivaldo menarik napas dalam. Kesabarannya


memang selalu diuji setiap membangun komunikasi
dengan proyek tunggal putrinya. Kia ini bukan tipe anak
yang mudah percaya, jujur pada perasaannya, dan yang
paling menyebalkan itu tidak mau mengalah. Terkadang,
saking frustrasinya meladeni ucapan Kia, Rivaldo ingin
mencekik lehernya sendiri.

“Kakak mana? Kenapa pada pergi semua? Kenapa


cuma ada Papa? Kenapa bukan Papa aja yang pergi?”

Sabar, batin Rivaldo. Kia hanya anak kecil.


Ucapannya jangan diambil hati. Nggak usah baperan.
Rivaldo menasihati dirinya sendiri.

7 |Bonus Chapter
“Kakak masih di sekolah, sebentar lagi pulang.
Kita nunggu Mama sama kakak pulang, ya.”

Kia mengangguk dan tidak banyak bicara lagi saat


didudukkan di tepi ranjang. Anak itu mengeluarkan ingus
sesuai permintaan ayahnya. Baru setelah ingusnya keluar,
Kia bisa bernapas dengan normal.

Melihat penampilan acak-acakan putrinya, tangan


Rivaldo tidak tinggal diam. Meskipun gerakannya belum
selihai istrinya, pria itu tetap berusaha untuk merapikan
rambut putrinya dengan keterampilan seadanya.
Sepertinya Kia harus segera diajak ke salon, rambut anak
itu sedikit kusut karena guling-guling tadi. Harga dirinya
tersakiti melihat penampilan putrinya yang kurang
paripurna.

Begitu Rivaldo duduk di sampingnya, Kia


langsung menempel di dada bidangnya. Tangannya sibuk
memainkan kancing kemeja ayahnya. “Papa, ayo jemput
Mama. Kia mau sama Mama.”

8 |Bonus Chapter
Kia ini memang paling tidak bisa jauh-jauh dari
Shilla. Baru ditinggal sebentar saja, anak itu sudah tidak
bisa dikondisikan lagi. “Tunggu di sini aja, ya, sama Papa.
Sebentar lagi juga pulang. Kia kalau pengin masak-masak
sama Papa aja. Papa bisa kok main masak-masak sama
Kia. Atau Kia main masak-masak Mbak Nani atau Mbak
Uti,” balas Rivaldo berusaha membujuk. Nani dan Uti
yang Rivaldo maksud adalah pengasuh Kia.

Dalam dekapan Rivaldo, Kia menggeleng tegas.


Menolak. “Papa nggak bisa main masak-masak. Kia juga
nggak mau main sama Papa. Kia maunya main masak-
masak sama Mama. Ayo kita jemput Mama. Sekarang,
Papa!”

Jika diperhatikan, sifat Kia ini sangat mirip dengan


Aksa sewaktu kecil. Segala sesuatu yang dia inginkan
harus dipenuhi. Saat itu juga. Jika tidak, jurus andalannya
pasti keluar. Mengamuk. Perkara yang paling Rivaldo
hindari. Tidak heran jika Kia ini sangat dekat dengan
kakak sulung yang satu frekuensi dengannya.

9 |Bonus Chapter
Kolaborasi antara Aksa dan Kia adalah kolaborasi
paling epic untuk membuat seorang Rivaldo Januar nyaris
gila.

“Iya udah kita jemput Mama sekarang. Tapi Kia


cuci muka sama ganti baju baru dulu. Atau mau ke salon
sebelum jemput Mama?”

“Nggak mau. Nanti dirapiin sama Mama aja.


Mama pinter, nggak kayak Papa.”

Rivaldo tersenyum. Dia tidak marah atas ucapan


hasil proyek tunggal putrinya. Karena memang begitulah
faktanya. Dia sangat payah dalam mengurus putrinya. Dia
tidak bisa mengikat rambut Kia serapi istrinya. Dia tidak
bisa mengepang rambut Kia dan banyak hal lain yang
tidak bisa dia lakukan. Tapi, Rivaldo bisa membelikan
apapun yang Kia mau tanpa melihat harga. Hal yang
belum bisa dilakukan oleh istrinya.

“Iya udah kita jemput Mama sekarang. Tapi, Kia


harus cium Papa. Tadi pagi Kia nggak ngasih ciuman buat
Papa. Berarti sekarang ngasihnya dua.”

10 |Bonus Chapter
Kia mengangguk. Anak itu pun langsung
mengecup kedua pipi Rivaldo secara bergantian dan
sebagai bonus, rahang dan kening pria itu juga tidak luput
dari kecupannya.

“Terima kasih, Kia.”

“Sama-sama Papa. Ayo kita jemput Mama pakai


mobil yang warna putih. Yang merah kata Kak Aksa udah
butut. Rongsokin aja.”

Innalillahi. Ajaran tunggal putranya yang paling


kalem memang meresahkan.

***

“Papa sama Kia kok nyusul ke sini? Padahal bentar


lagi Mama selesai loh.”

“Kia ngamuk pas bangun nggak ada kamu. Lagian


kalau Kia yang minta, emang ada yang bisa nolak? Nggak,
kan, Ma?”

Ngomong-ngomong, Rivaldo dan Shilla sudah


sepakat untuk mengganti panggilan mereka menjadi

11 |Bonus Chapter
‘mama papa’. Mereka melakukan itu semata-mata untuk
kebaikan Kia. Pasalnya Kia sering meniru Shilla dengan
memanggil 'mas' ke Rivaldo. Bahkan pernah memanggil
nama langsung tanpa embel-empel pada Shilla. Meskipun
sudah ditegur dan diberitahu pelan-pelan, Kia tetap saja
masih sering lupa, dan beralibi jika dia hanya meniru
panggilan kedua orangtuanya.

Balita yang mengenakan gaun berwarna senada


dengan bandana yang dia kenakan, turun dari gendongan
ayahnya. Kia melangkah cepat seraya merentangkan
tangan. Anak itu mengusung senyum lebar dan
menghambur ke dalam pelukan ibu yang sudah
menyambutnya.

“Kia habis nangis, ya? Maafin Mama. Tadi Kia


bobok, makanya Mama belanja nggak ajak Kia. Kia mau
maafin Mama nggak?”

Dalam gendongan Shilla, Kia mengangguk.

“Kia nangis sampai batuk-batuk, Mama. Tadi


guling-guling juga. Kia maafin Mama. Kia, kan, sayang

12 |Bonus Chapter
Mama banyak-banyak. Kia nggak bisa marahan sama
Mama lama-lama. Nanti siapa yang main sama Kia? Kalau
main sama Papa nggak seru, Ma.”

“Mama juga sayang banget sama Kia. Karena tadi


Mama udah ninggalin Kia, sebagai permintaan maaf
Mama, Kia mau dimasakin apa hm?”

“Kia mau makan apapun yang Mama masak. Tapi


kalau Papa yang masak, Kia nggak mau makan. Asin
Mama, terus nggak enak. Papa nggak bisa masak. Nggak
bisa ikat rambut Kia juga. Papa itu nggak bisa ngapa-
ngapain, beda sama Mama yang pinter semuanya.”

“Ya, kan, Papa masih belajar. Nanti kalau udah


pinter, pasti lebih enak dari Mama,” celetuk Rivaldo
membela diri.

“Preeeet,” cibir Kia dengan ekspresi wajah


menyebalkan. Itu pasti didikan Aksa Keanu Januar.
Memang siapa guru Kia dalam urusan itu jika bukan Aksa
Kalem Januar?

“Kamu udah selesai belanjanya?”


13 |Bonus Chapter
“Tinggal beli susu kotak buat Kak Aksa.”

“Kia mau susu kayak kakak, Ma. Beliin juga buat


Kia,” pinta Kia yang kini sudah beralih ke gendongan
ayahnya.

“Iya. Apa, sih, yang nggak buat Kia?”

“Nanti Kia mau minum susu banyak terus kotak


kosongnya dikumpulin buat lempar Kakak Setan. Nanti
malem Kia sama Kak Aksa mau tawuran ngelawan dua
Kakak Setan. Papa dukung Kia sama Kak Aksa, ya.”

Rivaldo dan Shilla saling menatap lalu melempar


senyuman. Semenjak ada Kia, Aksa memang tidak sendiri
lagi untuk menyerang balik ganda putra. Kia selalu berada
di kubunya dan tentu saja memperkuat lini pertahanan
Aksa. Ganda putra tidak akan berani jika harus berurusan
dengan ratu kecil keluarga Sultan Januar. Keduanya panen
bully-an dan terus dipojokkan oleh Aksa dan Kia.

Kia yang sudah dilatih seni hujat menghujat sejak


dini oleh Aksa sejak dini, mempraktikan ilmunya dengan

14 |Bonus Chapter
sangat baik untuk memukul mundur ganda putra. Aksa
sebagai guru merasa berhasil dan bangga pada muridnya.

“Jangan dong. Kak Ethan sama Kak Erlan, kan,


kakaknya Kia juga.”

“Tapi Kia sama Kakak Setan nggak satu geng,


Papa. Kia gengnya Kak Aksa. Geng anak baik. Bukan
geng anak setan.”

Jangan tanya siapa guru ilmu per-geng-an yang


dikuasai oleh Kia. Jawabannya masih sama. Hasil proyek
tunggal putranya alias Aksa Keanu Januar. Meskipun
sudah dewasa, kekaleman Aksa tetap melekat, cenderung
semakin menjadi. Bahkan sepertinya kekaleman itu
ditularkan pada Kia.

Sejauh ini Aksa memang yang paling bisa


membuat Rivaldo pusing dengan segala tingkah kalemnya.
Tingkah kalem yang mengingatkan Rivaldo pada Shilla.
Andai saja Aksa memiliki sifat terpuji sepertinya, pasti
Rivaldo tidak tertekan selama menjadi ayah dari anak itu.

15 |Bonus Chapter
“Masa tawuran terus. Nanti malem nggak usah
tawuran, ya. Ntar Kia capek,” celetuk Rivaldo.

“Nggak kok. Nanti kalau capek, dipijitin sama


Mama, Terus nanti Papa maju, ya. Gantiin Kia. Omelin
Kakak Setan.”

Mendengar jawaban Kia yang menggelikan,


Rivaldo tidak kuasa untuk menahan diri. Pria itu pun
menghujani putrinya dengan kecupan. Dia baru berhenti
setelah Kia mulai menunjukkan tanda-tanda kekesalannya.

“Pipinya Kia gemesin, Papa jadi suka unyel-unyel.


Kia kecil terus, ya, jangan cepet-cepet gedenya. Nanti
Papa kangen.”

“Papaaa! Kia mau cepet gede terus Kia mau punya


pacar juga kayak Kak Aksa. Katanya kalau Kia tingginya
seketek Kak Aksa, Kia boleh main pacar-pacaran. Kia
pengin main unyu-unyuan di semak-semak, Pa. Kak Aksa
nggak pernah ajak Kia kalau ke semak-semak.”

Senyum Rivaldo lenyap.

16 |Bonus Chapter
Pria itu beristigfar tiga kali di dalam hati. Dia
memanjatkan doa dan kata-kata mutiara untuk Aksa yang
sudah meracuni pikiran lugu tunggal putrinya. Ingin
mengumpat, tapi anaknya.

Kia sudah bermain terlalu jauh. Ini tidak bisa


dibiarkan. Sepertinya Rivaldo perlu memperingati tunggal
putranya yang kalem itu untuk berhenti meracuni tunggal
putrinya dengan bahasa orang dewasa. Cukup masa kecil
Aksa yang menjadi korban salah pergaulan. Rivaldo tidak
bisa terima jika Kia-nya yang lucu dan menggemaskan,
salah gaul juga seperti Aksa kecil. Rivaldo sudah trauma
menghadapi anak-anak seperti itu. Cukup. Jangan lagi.

“Mending kita beli susu sekarang. Kia mau rasa


apa?” tanya Shilla.

“Kia mau semua rasa, Ma. Papa, kan, uangnya


banyak. Jadi beli semuanya. Iya, kan, Pa?” tanya Kia
meminta dukungan.

“Jelas. Kia anaknya siapa dulu?”

17 |Bonus Chapter
“Anaknya Papa Sultan Rivaldo Januar orang kaya,”
jawab Kia cepat dan tepat seperti yang sudah diajarkan
oleh kakak sulungnya.

“Ayo kita borong susu buat Kia sama kakak!”

“Yeay! Ayo, Papa!”

***

“Kiaaa! Kakak, kan, udah bilang—”

Erlan menelan kalimatnya saat adik perempuan


satu-satunya itu memasang wajah memelas. Ekspresi
seperti itu membuat siapa saja termasuk dirinya lemah—
tidak bisa memarahi anak itu. Apapun yang sudah anak itu
perbuatan, dimaafkan.

Erlan menghela napasnya lalu memaksakan diri


untuk tersenyum. Cowok itu pun jongkok di hadapan Kia
yang duduk di lantai setelah memukul punggungnya
dengan stik drum mainannya. Bahkan sekarang, dengan
tidak merasa bersalah sedikit pun Kia memukul kuat
drum-nya membuat kegaduhan.

18 |Bonus Chapter
Bukan bermaksud berburuk sangka apalagi
menebar fitnah, tapi Erlan sangat yakin jika Kia ke
kamarnya itu pasti karena titah maha gurunya. Segala
tingkah rusuh Kia pasti atas utusan Aksa. Kia belum
secerdik itu dalam urusan mengganggunya. Anak itu
masih perlu bimbingan dan intruksi dari yang sudah
terlatih rusuh.

“Kia kok mainnya di sini, hm? Kenapa nggak


main sama Mama aja? Kakak lagi belajar, nih. Kalau Kia
berisik, nanti ganggu.”

Kia berhenti memukul drum mainannya. Anak itu


nyengir lebar. Dia membuka box kue yang dibawa. Erlan
tebak jika setelah mengganggunya, Kia pasti akan berbagi
kue sebagai tanda perdamaian.

Jauh dari dugaan, Kia justru menekan kue dengan


telapak tangannya. Lantas anak itu mengangkat tangan
yang berlumuran krim dan menempelkan telapak
tangannya di pipi Erlan. Sudah biasa. Kia adalah bencana
untuknya.

19 |Bonus Chapter
“Kia pengin di sini gangguin Kak Erlan. Kak
Ethan mana? Mau Kia gangguin juga.”

Erlan menatap adiknya yang luar biasa kalem itu


tanpa ekspresi. Ingin sekali dia memarahi Kia yang
semakin hari semakin menjadi, namun Erlan belum
sekejam itu pada ratu kecil di keluarganya. Yang bisa dia
lakukan adalah menarik ulur kesabarannya dan melakukan
pendekatan untuk negosiasi agar si mungil itu mau berada
di kubunya. Karena hanya dengan cara itu, Erlan dan
kembarannya merasakan merdeka. Selama Kia masih
berada di pihak musuh, selama itu juga ganda putra dijajah.

“Iya udah Kia boleh main di sini. Kak Ethan lagi


ambil makanan,” jawab Erlan seraya membersihkan krim
kue yang menempel di pipi. Baru juga dibersihkan, dengan
santainya Kia kembali menempelkan telapak tangan di
pipinya.

Melihat wajah kakaknya, Kia terbahak sendiri.


Puas sekali dengan bencana yang dia datangkan. “Kak
Erlan nggak marah sama Kia?”

20 |Bonus Chapter
Ya jelas marahlah! batinnya berteriak. Erlan
tersenyum. Senyum yang dipaksakan. “Nggak dong.
Kakak, kan, baik sama Kia. Mending Kia jadi geng-nya
Kakak aja. Jangan jadi geng-nya Kak Aksa, Kak Aksa
nggak keren. Gimana?”

“Nggak mau! Kia mau sama Kak Aksa aja. Kak


Aksa suka susu, Kia juga. Kia nggak mau jadi geng Kakak
yang nggak suka susu.”

Kia tidak berbohong. Semenjak ada dua orang


maniak susu kotak di rumah, Erlan dan Ethan menjadi
phobia terhadap susu kotak. Keduanya sering mengalami
gejala-gejala aneh setiap kali berhubungan dengan susu
kotak. Mungkin ini juga dipicu oleh lemparan kotak susu
kosong yang sering mengenai kepala mereka.

Karena sudah bermusuhan dengan susu kotak,


keduanya pun enggan masuk ke kamar Kia yang sangat
mengerikan. Sebagai wujud kecintaanya pada susu kotak,
dinding kamar Kia dipenuhi lukisan susu kotak dan sapi
perah.

21 |Bonus Chapter
“Muka lo ancur banget.”

Ethan yang baru datang langsung mengomentari


kembarannya yang terlihat pasrah-pasrah saja saat
wajahnya dihiasi krim kue oleh Kia. Cowok itu
meletakkan nampan berisi minuman kaleng dan camilan di
meja sebelum bergabung dengan Kia dan Erlan.

“Kalau Kia yang ngulah, bisa apa? Ribet


urusannya kalau dilawan,” ujar Erlan kembali tersenyum
paksa.

“Kak Ethan juga, ya? Kia suka kalau gangguin


Kak Ethan. Sini pipinya kasih krim yang warna putih,”
ujar Kia lalu tersenyum penuh kemenangan saat krim yang
mengotori jari-jari mungilnya kini sudah berpindah ke pipi
Ethan. Anak itu tepuk tangan, heboh sendiri melihat wajah
masam kakak kembarnya.

“Gimana? Itu yang dulu gue rasain punya adek


setan kayak lo berdua,” nyinyir Aksa yang tiba-tiba sudah
berdiri di ambang pintu kamar Erlan.

22 |Bonus Chapter
“Kak Aksa! Liat! Dua Kakak Setan kalah sama Kia.
Kia hebat, kan?”

Aksa meraih tisu di meja sebelum menghampiri


Kia. “Hebat. Kakak bangga sama Kia,” puji Aksa seraya
membersihkan telapak tangan adik perempuannya
menggunakan tisu kering. Setelah itu, dia membawa Kia
ke dalam gendongannya.

“Ledekin Kak Ethan sama Kak Erlan dulu dong.


Kia, kan, jago banget ngeledek. Kak Aksa pengin liat,”
pinta Aksa yang diangguki oleh Kia.

Sedetik kemudian Kia pun menjulurkan lidahnya.


Kepalanya digerakkan diiringi ekspresi wajah yang dibuat
semenyebalkan mungkin.

“Kakak Setan bukan gengnya Kia. Nanti Kia mau


bilang ke Papa biar Kakak Setan berangkat sekolahnya
jalan kaki aja. Terus nggak boleh dikasih uang. Biar jadi
kaum kentang. Wleeeee.”

“Ini baru ketua ngedot-ngedot klub,” ujar Aksa lalu


membawa Kia keluar dari kamar si kembar.
23 |Bonus Chapter
“Kiaaaaa!”

“Kak Aksaaaa!”

Sepeninggal Kia dan Aksa, Ethan dan Erlan


kompak berteriak meluapkan kekesalannya. Beberapa
detik setelahnya terdengar suara renyah tawa Aksa dan
Kia di luar sana.

***

Menjadi anak perempuan satu-satunya di keluarga


Sultan Rivaldo Januar orang kaya, membuat Kia
diperlakukan paling istimewa. Segala sesuatu tentang anak
itu tidak pernah main-main. Rivaldo bahkan
memperlakukannya dengan sangat berlebihan. Pria itu
tidak mau kalau sampai proyek tunggal putrinya kenapa-
kenapa barang sedikit pun. Sekecil debu saja tidak
diizinkan menyentuh proyek tunggal putrinya.

Rivaldo, Aksa, Ethan, dan Erlan, berdiri menyebar


di setiap sudut kolam renang dengan terus waspada.
Rutinitas Kia di minggu pagi adalah berenang. Di saat
itulah Rivaldo dan ketiga putranya menjalankan peran
24 |Bonus Chapter
terbaiknya untuk memberikan perlindungan pada ratu
kecil mereka yang asyik bermain dengan bebek
pelampung. Jika terjadi sesuatu atau anak itu
membutuhkan bantuan, ayah dan ketiga kakaknya sudah
siap badan.

“Kak Ethan kentang. Kak Erlan juga kentang.”

Tawa Kia mengudara saat Ethan dan Erlan kompak


melempar bola plastik ke arahnya. Anak itu lalu
menyerang balik dengan mencipratkan air ke kedua
kakaknya itu. Tidak cukup dengan itu, Kia juga melempar
mainannya yang mengapung ke arah kakak kembarnya.
Jika kakaknya menghindar, maka Kia akan menjerit
melarang mereka.

“Kia, jangan gitu sama kakak,” nasihat Rivaldo.

“Sebahagianya Kia aja, Pa,” ujar Erlan yang


terlihat pasrah-pasrah saja menjadi bahan bulan-bulanan
adiknya itu.

Tawa Kia mengudara. Bersama bebek


pelampungnya, anak itu menuju ke tengah kolam untuk
25 |Bonus Chapter
mengambil bola yang Aksa lempar. “Kak Ethan jangan
kemana-mana. Mau Kia lempar pake bola ini,” pinta Kia
lalu menepi mendekati kakaknya. Anak itu tepuk tangan
heboh saat lemparannya tepat sasaran.

“Kia, udahan, yuk! Kia udah lama loh main airnya.


Minggu besok main lagi. Sini naik, Mama bantu Kia.”

Shilla yang baru saja muncul langsung meminta


putrinya untuk menyudahi kegiatannya. Selain suka usil
pada kakak kembarnya, Kia juga suka bermain apapun
yang ada hubungannya dengan air. Berenang misalnya.
Jika sudah berenang, anak itu sering lupa waktu.

Bukan bermaksud melarang atau mengganggu


kesenangan putrinya, maksudnya meminta Kia berhenti,
semata-mata untuk kebaikan anak itu. Kia kerap kali
demam setelah berenang terlalu lama. Shilla tentu tidak
mau itu terjadi. Jika bukan dirinya yang mengingatkan,
Kia pasti berenang semau sendiri. Keempat pria yang
tengah menjaga Kia, pasti tidak akan berani menegur.
Mereka payah dan terlalu patuh pada ratunya.

26 |Bonus Chapter
“Papa ... Kia masih pengin di sini. Masih pengin
main sama bebek pelampung. Bilangin sama Mama, Kia
nggak mau.”

Jika membutuhkan sesuatu maka orang yang


paling tepat untuk dimintai pertolongan adalah Rivaldo.
Drama dimulai. Kia memasang wajah semelas mungkin
seraya mendekati ayahnya. Wajah memelas memang
selalu menjadi andalannya untuk mendapat apa yang dia
mau.

Rivaldo pun jongkok dan mengulurkan tangannya


menyambut Kia yang menepi bersama bebek
pelampungnya.

“Belain aja Kia, tapi terima konsekuensinya,”


ancam Shilla saat suaminya baru saja menoleh ke arahnya
hendak mengeluarkan pembelaan untuk Kia. Shilla sudah
tahu apa yang akan Rivaldo lakukan putri kesayangannya.

Di hidup Rivaldo pilihan tersulit versinya adalah


membela Shilla atau Kia. Jika dia membela Kia, malam
harinya pasti mencekam. Karena sudah pasti dia diusir

27 |Bonus Chapter
dari kamar dan tidur tanpa selimut hidupnya. Tapi jika dia
membela Shilla, Rivaldo tidak tega melihat wajah kecewa
putrinya. Sebisa mungkin dia ingin selalu menuruti dan di
pihak tunggal putri.

“Papaaa. Ayo bilang ke Mama,” desak Kia pada


ayahnya yang hanya diam saja, belum mengatakan apapun
seperti yang dia minta. Kia sempat melihat ayahnya
menatap ibunya selama beberapa detik. Tatapan yang
membuatnya was-was jika nantinya ayahnya lebih
memilih menuruti perkataan ibunya daripada membelanya.
“Nanti Kia nangis lagi kalau Papa nggak mau bilang ke
Mama,” ancam anak itu saat beberapa detik menunggu
namun ayahnya tetap tidak melakukan apa yang dia minta.

“Kia udahan, ya. Besok bisa main lagi. Kia, kan,


udah dari tadi mainnya. Nanti kalau Kia sakit, gimana?”

“Kalau sakit, ya, diobatin. Katanya uang Papa


banyak, nanti Kia minta satu buat beli obat,” sahut Kia.
Memang anak ini selalu saja mempunyai jawaban untuk
memenangkan perdebatan.

28 |Bonus Chapter
“Iya. Tapi apa Kia mau kalau badannya panas?”

“Kan bisa main di air lagi, Pa. Air kan dingin, jadi
badannya nggak panas lagi.”

Aksa yang bisa merasakan frustrasinya menjadi


seorang Rivaldo, mengambil peran. Cowok itu jongkok di
sisi kiri ayahnya lalu mengulurkan tangannya ke arah Kia
yang kembali asyik menepuk-nepuk air dan menyerang
kakak kembarnya. Kali ini dia akan mencoba bernegosiasi
dengan si keras kepala itu. Aksa memiliki tawaran yang
mungkin tidak akan bisa ditolak oleh Kia.

“Bebas mau beli apa aja kalau berhasil,” ujar


Rivaldo memberi dukungan pada tunggal putranya.

“Udahan, yuk! Nanti Kakak ajak main ke rumah


Kak Angel,” ucap Aksa begitu lembut.

“Apa nanti di sana ketemu Kak Barra sama Kak


Naufal juga?” tanya Kia untuk memastikan. Jika iya,
berarti tawaran kakaknya sangatlah menarik. Dia akan
mempertimbangkan itu.

“Ya,” sahut Aksa cepat.


29 |Bonus Chapter
Jika Aksa masih berpikir panjang saat hendak usil
pada Barra dan Naufal yang tidak bisa diajak bercanda,
maka Kia tidak perlu permisi untuk melakukan itu.
Kemarahan keduanya adalah pencapaian terhebatnya.
Walaupun berakhir dengan tangisan tapi Kia tidak
berhenti untuk usil di kemudian hari. Anak itu tidak ada
kapoknya.

Dengan cepat Kia meraih tangan Aksa. “Ayo ke


rumah Kak Angel, Kia mau tabok pantatnya Kak Barra
yang kemarin ngomelin Kia. Sekalian mau tabok pantat
papanya Kak Naufal yang kemarin pelototin Kia. Kak
Naufal juga nanti ditabok dua kali karena kemarin bilang
kalau Kia nggak cantik. Kia, kan, cantik kayak mama.”

Astagfirullah.

Rivaldo yang mendengar jawaban Kia, langsung


beristigfar. Ngilu. Bisa-bisanya Kia main terobos. Apa
putrinya akan baik-baik saja setelah menabok pantat Barra,
Naufal, dan Damian nanti?

30 |Bonus Chapter
“Kia jangan main tabok-tabok, ya. Nanti kalau
ditabok balik gimana? Apa nggak takut sama papanya Kak
Naufal?”

“Biasanya Kak Aksa yang ditabok, bukan Kia. Jadi


nggak papa, Pa,” sahut Kia yang sudah berdiri di hadapan
Shilla. Anak itu nyengir lebar saat mendengar helaan
napas kakak sulungnya.

“Kia anteng dulu, Mama susah nih,” protes Shilla


pada putrinya yang terus saja melompat tidak jelas.

“Kak Ethan sama Kak Erlan mau ditabok nggak?


Sini! Kia pengin nabok Kakak,” celetuk Kia tiba-tiba.

Sedari tadi Ethan dan Erlan hanya berdiri tanpa


melakukan apapun, bisa-bisanya Kia ingin menabok
mereka. Memang seberat itu cobaan menjadi ganda putra.

“Pasrah aja lah biar cepet,” gumam Ethan lalu


mengajak Erlan untuk mendekati Kia. Keduanya berdiri
membelakangi adiknya yang sudah siap menabok
pantatnya.

***
31 |Bonus Chapter
Seperti biasa jika kakaknya sibuk dengan
tunangannya, Kia keluyuran sendirian di rumah calon
kakak iparnya untuk mencari musuh. Anak itu paling tidak
bisa jika hanya duduk anteng seperti anak manis seusianya.

Sudah cukup jauh dia berkeliling namun tidak ada


satu pun musuh yang tertangkap matanya. Kemana Barra,
Naufal, dan Renata? Biasanya saat hari libur, mereka pasti
berkumpul di rumah ini. Tapi, kenapa sekarang tidak ada?
Apa mereka sekongkol pergi agar tidak bertemu
dengannya?

Kia mengerucutkan bibirnya—sebal—seraya


menatap boneka monyet yang dia gendong. Kaki
mungilnya terus melangkah dan berhenti di dekat tangga.
Senyumnya mengembang melihat akuarium yang dia
yakini milik Naufal yang diletakkan di meja dekat rak
buku. Kia ingat persis, dia pernah melihat Naufal memberi
makan ikan-ikan lucu di dalam akuarium itu. Tidak salah
lagi. Dugaannya pasti benar.

32 |Bonus Chapter
Maka ini adalah saat yang tepat. Jika dia tidak bisa
menabok pantat Naufal, mengacau akuarium itu sepertinya
bisa jadi pengganti.

Tidak buang kesempatan, Kia berlari mendekati


akuarium. Wajahnya dia dekatkan hingga hidung
minimalisnya menyentuh kaca akuarium. Begitu ramah,
Kia menyapa ikan-ikan di sana. Saat tangannya hendak
masuk untuk mengobok air agar ikan-ikan lucu itu pusing
lalu mati, tubuh Kia ditarik kuat dari belakang hingga
terjungkal dan menindih sesuatu. Selang beberapa detik
tubuhnya didorong dan pelakunya adalah sesuatu yang
baru saja dia tindih—Naufal Akhtar Regata, musuhnya.

“Kamu pasti mau bunuh ikan-ikanku, kan?


Kemarin kempesin bolaku, kemarinnya lagi patahin
boneka barbie Rere, dan sekarang mau bunuh ikanku,”
cerca Naufal.

Kia menatap ke arah Naufal lalu beralih ke anak


perempuan seusianya yang memegang boneka barbie
tanpa kepala, yang berdiri tak jauh dari Naufal. Anak itu

33 |Bonus Chapter
adalah Renata Queena Regata—Rere—anak kedua
Damian.

Apa yang tadi Naufal katakan, benar. Beberapa


hari yang lalu Kia-lah yang membuat boneka barbie
Renata kehilangan kepala. Bukan sepenuhnya salah Kia.
Salahkan juga Barra yang merebut boneka itu darinya.
Memaksanya mengembalikan barang milik Renata karena
Barra kira dia tidak meminta izin. Padahal sebelum itu,
Kia sudah meminta izin pada pemiliknya untuk pinjam
sebentar dan Renata pun sudah mengizinkan.

“Ikannya mau Kia goreng. Kia suka makan ikan


goreng. Apalagi kalau Mama yang goreng. Enak. Ikannya
buat Kia aja, ya? Nanti mau Kia bawa pulang sama
akuriumnya juga.”

Naufal memburu napas. Kesal sekali pada Kia


yang selalu saja berbuat seenak sendiri. “Kia!”

Kia yang baru saja menyentuh kaca akuarium


langsung menarik cepat tangannya begitu mendapat
bentakan dari Naufal. Selalu diperlakukan lembut oleh

34 |Bonus Chapter
orangtua dan saudaranya, Kia sangat asing dengan
bentakan.

“Kamu kenapa, Nau?” tanya Barra yang tiba-tiba


muncul. Musuh Kia bertambah satu. Musuh terberat
untuk dikalahkan.

Naufal masih bungkam. Tatapannya terus tertuju


ke arah Kia. Tanpa dijelaskan, Barra tahu apa yang terjadi.
Memang siapa lagi biang masalah jika bukan Azkia
Berliana Januar? Kedatangan anak itu adalah bencana
untuk banyak orang.

Barra pun mendorong pelan pundak Kia hingga


anak itu mundur beberapa langkah.

“Heh! Kamu ngapain ke sini lagi? Kalau cuma


mau bikin keributan mending pulang! Ini bukan rumahmu,
jadi kamu nggak bisa seenak sendiri kalau di sini!”
omelnya.

“Kemarin Kak Barra tabok Kia. Kia lupa belum


tabok Kak Barra. Sekarang Kia mau tabok Kak Barra.”
Meskipun sedang terancam karena ada Barra dan Naufal
35 |Bonus Chapter
yang siap menyerangnya, namun itu tidak memadamkan
keberanian Kia.

“Yang sopan!” protes Naufal menatap tajam ke


arah Kia.

Barra melangkah mendekati Kia. Secara tiba-tiba


cowok itu merebut paksa mainan milik Renata di tangan
anak itu. Kia berusaha meraih kembali mainan yang Angel
pinjamkan padanya.

“Jangan ambil mainan atau apapun milik Rere


kalau ujungnya kamu rusakin. Bisa nggak, sih, kalau ke
sini nggak usah nyari gara-gara?!”

“Kia nggak ambil. Kia dipinjemin sama Kak


Angel,” protes Kia. Boneka itu milik Renata, benar. Tapi
Kia tidak mengambilnya dan juga tidak sedang berbohong
untuk membela diri.

“Tapi itu boneka Rere dan tadi Rere nyariin itu


nggak ketemu. Ternyata diambil sama kamu,” celetuk
Naufal.

36 |Bonus Chapter
“Kia nggak ambil. Kia dipinjemin sama Kak
Angel!” teriak Kia marah pada dua orang yang selalu
berprasangka buruk padanya.

Renata melangkah mendekati Kia. Anak itu


tersenyum begitu tulus seraya memberikan boneka monyet
miliknya pada Kia. “Kia boleh pinjem lagi. Aku bisa main
sama boneka yang lain.”

Belum sempat Kia menerima boneka itu,


bonekanya sudah direbut kasar oleh Naufal. “Tadi kamu
pengin main ini, kan, Re? Ambil. Ini, kan, punyamu. Kia
biar main yang lain,” ucap Naufal pada adiknya.
Nampaknya anak itu tidak terima jika Renata mengalah.

Hidung Kia kembang kempis. Naufal memang


tidak pernah menyukainya. Naufal pernah mengatakan itu
secara terang-terangan padanya. Menurut Naufal, Kia
sangat berbeda dengan Renata yang lemah lembut dan
penurut. Kia bengal dan berisik. Poin itulah yang
membuat Naufal menaruh rasa tidak suka pada Kia.

37 |Bonus Chapter
“Mending kamu ke Kak Aksa aja. Nggak usah
gangguin Rere,” ucap Barra yang tidak ada bedanya
dengan Naufal.

Kia mendekati Barra. Dengan sisa keberanian yang


dimiliki, anak itu menabok pantat Barra lalu menendang
kaki cowok itu. Sebelum Barra menyerang balik, Kia
sudah lari terbirit-birit untuk menyelamatkan diri dengan
mencari perlindungan pada kakaknya.

Sesampainya di ruang tamu, Kia langsung naik ke


sofa dan duduk di pangkuan Aksa. Tidak mengatakan
apapun, anak itu menenggelamkan wajah di dada
kakaknya.

“Kia kenapa hm?” tanya Aksa.

“Kia mau pulang, Kakak. Ayo pulang! Kia nggak


mau di sini. Ayo pulang! Ada penjahat,” rengek Kia
seraya menarik-narik kaus hitam yang dikenakan
kakaknya.

“Kia berantem lagi sama Kak Naufal? Atau sama


Kak Barra?” tebak Angel.
38 |Bonus Chapter
“Kayaknya, sih, dikeroyok dua-duanya. Sampai
mental breakdance, kasihan banget ini bocah. Mana masih
ngedot, udah diginiin,” sahut Aksa lalu mengusap
punggung kecil adik bungsunya.

“Kia,” panggil Angel begitu lembut. Panggilan itu


tidak bisa diabaikan oleh Kia. Dia menoleh dan berpindah
ke pangkuan tunangan kakaknya.

“Kia nggak ambil boneka monyetnya Rere. Tapi


Kak Naufal sama Kak Barra bilang Kia ambil itu. Kak
Naufal sama Kak Barra juga bentak-bentak Kia, Kia sedih.
Mereka jahat. Kia takut sama penjahat,” adu Kia terlihat
begitu lucu.

“Biar nanti Kak Angel yang bilang ke Kak Naufal


sama Kak Barra kalau Kia nggak ambil. Kia, kan, dapet
itu dari Kakak. Sekarang Kia senyum, nanti cantiknya
ilang.”

Sedetik setelah Kia menerbitkan senyum, Angel


menghadiahi sebuah kecupan di pipi Kia. Lantas dia
merapikan tatanan rambut Kia yang berantakan.

39 |Bonus Chapter
“Kayaknya kamu udah siap banget dibuahi, Pong.
Udah cocok banget jadi mama muda. Sama adikku aja
setulus itu, apalagi kalau sama hasil bercocok tanam kita,”
celetuk Aksa yang langsung mendapatkan peringatan dari
Angel.

“Kalau ada Kia, ngomongnya hati-hati, Aksa.


Udah dibilangin berkali-kali juga.”

“Iya, iya. Berarti nanti pas di semak-semak


berduaan, kita ngomong serius soal proyek-proyek kita, ya?
Biar nggak ada yang gagal.”

Ada banyak proyek ayahnya yang gagal debut


seperti; ganda putri dan ganda campuran. Sebagai penerus,
Aksa berencana untuk merealisasikan proyek itu bersama
Angel nantinya. Membanggakan orangtua jalur memberi
cucu-cucu yang lucu dan menggemaskan, itulah cita-cita
mulianya setelah menikahi Angel nanti. Dia rela berusaha
keras setiap malam untuk mewujudkan itu.

40 |Bonus Chapter
“Kia mau makan es krim yang rasa vanila. Ayo
beli sekarang!” ajak Kia tiba-tiba setelah rambutnya
selesai dirapikan.

Aksa mendekatkan bibirnya ke telinga Angel lalu


berbisik, “tadi Mama pesen jangan kasih es ke Kia.”

“Susu aja, gimana? Nanti Kak Angel ambilin.


Kakak punya banyak susu kotak.”

“Es krim,” tegas Kia tidak ingin diganggu gugat.

Kia menoleh dan melihat Naufal lewat sambil


makan es krim. Naufal sempat menoleh ke arahnya.
Nampaknya anak itu memang sengaja memamerkan es
krimnya agar Kia iri.

“Naaaau,” tegur Angel.

“Es krimnya enak, Tante. Manis. Rasa vanila.”

Kia menelan salivanya susah payah. “Kia pengin


itu, Kakak! Kak Naufal dapet es krim, kenapa Kia
enggak?”

41 |Bonus Chapter
“Emmm enak,” gumam Naufal lalu mengisi sofa
kosong. Dia duduk berhadapan dengan Kia yang terlihat
begitu menginginkan es krim di tangannya.

“Kia tadi di rumah, kan, udah makan es krim.


Nggak inget apa kata Mama? Nggak boleh makan es krim
banyak-banyak,” ucap Aksa berusaha untuk memengaruhi
Kia. Namun sepertinya usahanya akan sia-sia karena
Naufal terus saja meledek Kia dengan es krimnya. Sampai
akhirnya tangis Kia pecah karena keinginannya tidak
dipenuhi.

Aksa menghela napas. Ribet memang jika


membawa Kia ikut dengannya. Anak itu tidak bisa
dikendalikan, yang ada dia yang dikendalikan oleh bocah
itu.

“Yuk pulang, nanti minta es krim sama Mama.


Atau mau mampir beli?” putus Aksa. Dia sudah paham,
jika keinginan adiknya belum dipenuhi maka adiknya
tidak akan berhenti menangis.

42 |Bonus Chapter
“Jangan pulang dulu!” ucap Naufal tiba-tiba. Dia
beranjak dari sofa lalu mendekati Kia. Bocah laki-laki
sembilan tahun itu memberikan cup es krimnya pada Kia.
“Makan ini aja.”

Setelah mengatakan itu, Naufal melenggang begitu


saja. Kia pun mengejar Naufal.

Aksa dan Angel saling menatap. Keduanya sering


tidak mengerti dengan jenis pertemanan Kia dan Naufal.
Dua anak itu jarang sekali akur, namun lucunya mereka
selalu mencari cara agar bersama lebih lama. Cara mereka
menjadi dekat pun cukup unik.

“Naufal naksir sama Kia? Iya, nggak, sih? Tapi


gengsi.”

“Persis kamu pas TK,” cibir Angel seraya


menyentil hidung bangir tunangannya.

Aksa menangkap tangan Angel untuk dia genggam.


“Bukannya kamu yang dulunya naksir aku duluan? Kamu
tuh yang sering caper puji-puji aku.”

43 |Bonus Chapter
“Mau aku ingetin lagi kelakuan kamu waktu masih
ngedot? Mau bagian mana dulu, nih? Gengsi? Tengil?
Posesif? Atau—”

Aksa terbahak mengingat masa kecilnya saat


mengejar Angel. Dia akui, dia lah yang terlebih dahulu
bertekuk lutut pada Angel. Sejak kecil sampai hari ini dia
begitu menggilai Angel. Cowok itu pun menarik Angel
agar merapat padanya. “Malu akutuh, jangan diingetin
yang itu.”

“Kadang aku kangen sama Aksa anak setan yang


dulu songongnya kebangetan. Eh sekarang juga masih
songong.” Angel menyandarkan keningnya di dada bidang
tunangannya. Menghirup dalam-dalam aroma maskulin
milik Aksa yang selalu membuatnya merasa nyaman.

“Kamu nggak tau gimana kangennya aku sama


gigi ompongmu. Kangen gendong kamu juga. Kamu
nggak pengin digendong lagi? Kalau sekarang, mau
digendong ke mana pun ayo aja.”

44 |Bonus Chapter
Apa yang Aksa katakan membuat Angel
menegakkan punggungnya menjauhi dada bidang cowok
itu. Rona merah tidak bisa disembunyikan lagi dari pipi.
“Bisa nggak, bagian yang aku ompong dihapus aja dari
ingatanmu? Malu banget akunya.”

Aksa terkekeh geli. “Itu pesona pertama yang bikin


anak songong tukang ngedot di zaman itu jatuh cinta sama
kamu, Pong. Gimana aku bisa lupain soal itu? Apalagi
kalau ompongnya keliatan pas kamu ketawa.”

Angel tahu, Aksa hanya sedang membual untuk


membuatnya merasa semakin malu. Sebagai wujud rasa
kesalnya, cewek itu memukuli lengan Aksa berkali-kali
tanpa ampun. Hingga pukulannya berhenti saat Aksa
meraih tangannya. Angel terdiam saat mata Aksa mulai
mengintai bibirnya. Dia menahan napas saat Aksa mulai
memiringkan kepala serendah mungkin hingga berhasil
meraup bibirnya dengan begitu lembut. Angel selalu suka
bagaimana cara Aksa menguasainya. Lembut dan manis di
ingatan.

45 |Bonus Chapter
***

46 |Bonus Chapter
“Aksa Keanu
Januar”
Tunggal Putra

Angel marah, itu pasti. Lagi-lagi Aksa melanggar


kesepakatan. Cowok itu berulah kembali dengan
membelikan Angel barang-barang tanpa sepengetahuan
cewek itu. Padahal sudah berkali-kali Angel
menasihatinya untuk tidak membeli barang-barang semau
sendiri. Tapi memang dasarnya Aksa suka berlebihan dan
seenak sendiri.

Aksa sendiri tidak merasa jika apa yang dia


lakukan itu salah. Dia masih menganggap jika niatnya
baik—ingin memberi kejutan agar tunangannya bahagia.
Walaupun ternyata hasilnya jauh dari itu. Angel justru
marah besar padanya.

47 |Bonus Chapter
Sejak semalam panggilan darinya ditolak, pesan
hanya dibaca tanpa balasan, dan saat dia datang ke rumah
Angel, cewek itu mengurung diri di kamar—mogok
bertemu. Aksa kurang berpengalaman perihal menghadapi
Angel yang marah. Sebelumnya, kemarahan Angel hanya
sebatas mengomel dan setelah itu seperti tidak terjadi apa-
apa. Tapi kali ini nampaknya lebih berani.

Bukan masalah untuk Aksa. Justru cowok itu suka


dengan cara Angel menunjukkan kemarahannya. Aksa
merasa tertantang menaklukan tunangannya yang sedang
marah. Memang seperti inilah yang Aksa harapkan. Dia
ingin Angel lebih mendominasi dan mengendalikannya.
Lalu ditambah galak dan agresif. Jika keinginannya
terwujud, sepertinya akan sangat menarik.

“Nggak usah ngintip-ngintip lewat jendela. Kalau


kangen tinggal temuin.” Aksa merekam suaranya lalu
dikirim pada Angel.

Sudah setengah jam lebih Aksa duduk di motornya


yang terparkir di dekat pos satpam. Aksa tahu jika sudah

48 |Bonus Chapter
beberapa kali Angel mengintipnya dari balik tirai jendela.
Orang sebaik Angel pasti tidak akan tega
memperlakukannya seperti ini. Cewek itu pasti tidak
tenang di sana. Aksa berani bertaruh jika tidak lama lagi
Angel pasti akan turun untuk menemuinya.

Senyum Aksa mengembang sempurna saat pintu


utama rumah Angel terbuka. Tepat sesuai dugaannya.
Angel muncul dengan raut kesal namun tidak menutupi
raut kekhawatirannya.

Aksa menegakkan tubuhnya kala Angel yang


mengenakan piama berbahan satin berdiri di hadapannya.
Baru hendak membuka mulut, Aksa langsung
mengalihkan perhatian Angel dengan senyum usil disusul
usapan lembut di puncak kepala cewek itu. Tentu Aksa
ingat, selain pelukan darinya, Angel suka saat kepalanya
diusap penuh kasih diiringi senyuman tulus.

“Ish! Aku jadi lupa tadi mau ngomong apa,” erang


Angel begitu menggemaskan seraya menepis pelan
tangan Aksa.

49 |Bonus Chapter
“Biar aku bantu ingetin. Kamu mau ngomel-
ngomel gara-gara aku beliin kamu tas, sepatu, HP, ... aku
lupa beli apa aja buat kamu. Atau mau ngusir aku karena
tadi kamu bilang nggak mau ketemu.”

“Nah itu! Aku, kan, nggak mau ketemu. Kenapa


masih di sini? Mending pulang, udah malem. Besok HP
dan yang lainnya aku balikin ke kamu!”

“Nggak perlu dibalikin. HP-mu rusak, kan?


Soalnya HP-mu nggak bisa buat bales pesanku, angkat
telepon juga nggak bisa. Akutuh peka, makanya langsung
beliin kamu HP baru. Atau kurang bagus? Sebutin aja
merek HP yang kamu mau, aku beliin sekarang juga.”
Aksa mengeluarkan ponsel dan bersiap membeli ponsel
untuk calon istrinya.

“Aksa! Kamu ini nggak ngerti, ya, aku ngomong


apa? Aku nggak bales sama nggak angkat teleponmu
bukan karena HPku rusak. Tapi aku ngambek sama kamu!
Gitu aja nggak paham.”

50 |Bonus Chapter
“Iya udah kalau ngambek aku ke sini mau minta
maaf. Pantang pulang sebelum dimaafin. Nggak tenang
akutuh kalau kamu ngambek terus. Udahan, ya,
ngambeknya. Aku ngaku salah. Aku minta maaf.”

“Udah dimaafin,” ketus Angel.

“Beneran? Berarti udah mau dong kalau diajak


jalan? Kan udah nggak ngambek.”

“Iya nggak gitu juga,” erang Angel.

“Terus gimana? Aku laper. Dari pagi belum makan


gara-gara kamu ngambek. Kepikiran rumah tangga kita
terus. Tanggung jawab! Temenin aku makan. Sekarang.”

Angel mendengkus. Aksa memiliki seribu satu


cara untuk memaksanya. Sudah tahu dipaksa, tapi
ujungnya Angel mau juga. Bagaimana cewek itu menolak
jika Aksa semenggemaskan itu saat memohon padanya.

“Tapi bentaran aja. Aku males ganti baju, nggak


papa, kan, kalau nggak rapi gini?”

51 |Bonus Chapter
“Di rumah ada Kak Mian sama Barra? Kalau
nggak ada, aku siap bantuin ganti baju.”

“Heh!” Angel memukul lengan Aksa cukup kuat


lalu berkata, “aku aduin Kak Mian, nih, kalau kamu nakal.”

“Bercanda, Sayangku.”

Aksa pun melepaskan hoodie yang dia kenakan


hingga menyisakan kaus lengan pendek. Cowok itu
memberikan hoodie-nya pada Angel. Disaat Angel sibuk
mengenakan hoodie, Aksa sibuk dengan helm dan
motornya.

“Kecil banget, sih. Pantes kalau dipeluk nggak ada


empuk-empuknya, kurang anget juga,” ledek Aksa melihat
tubuh mungil Angel tenggelam di balik hoodie
kebesarannya. Angel cemberut tapi justru membuat cewek
itu semakin terlihat lucu di mata Aksa.

Berpegangan pada pundak Aksa, cewek itu naik


dan duduk anteng di jok belakang.

“Pegangan, aku suamimu loh. Bukan tukang ojek,”


ujar Aksa yang tengah mengusap-usap lutut Angel.
52 |Bonus Chapter
Karena tahu membantah Aksa hanya akan berakhir
sia-sia, Angel pun melingkarkan tangannya di perut Aksa.

***

“Serius kita makan di sini?” tanya Aksa


meragukan pilihan Angel. Dia tidak yakin pilihan Angel
tepat. Warung tenda di pinggir jalan. Bukannya gimana.
Uang-uang di dompetnya sudah berdesakan memberontak
ingin keluar dari sana. Jika hanya makan di warung tenda
pinggir jalan, Aksa tidak yakin dengan nominal yang dia
keluarkan. Itu pasti tidak banyak. Jika bersama sahabat-
sahabatnya saja nominal yang dia keluarkan jutaan, masa
dengan calon istrinya hanya beberapa ratus ribu. Gengsi
lah.

Kalau ada followers instagramnya tahu bagaimana?


Pasti mereka akan mengoloknya habis-habisan dan
berpikir jika keluarganya sudah jatuh miskin. Mana
sempat miskin kalau semakin hari semakin kaya, kan?

“Kenapa? Aku sama Barra udah pernah beli di sini.


Sambal cuminya enak loh. Aku pengin makan itu lagi.”

53 |Bonus Chapter
“Aku punya rekomendasi restoran yang enak
sambal cuminya. Kamu wajib banget cobain. Gimana
kalau sekarang kita ke situ aja? Aku jamin kamu bakal
ketagihan.”

“Kamu nggak biasa, ya, makan di warung pinggir


jalan? Iya udah kita ke restoran yang kamu maksud. Aku
bisa ke sini lain kali sama Barra,” ucap Angel mengalah.

Aksa yang melihat Angel seperti itu malah


membuatnya merasa bersalah. Jika harus ada yang
mengalah, seharusnya dirinya. Bukan malah Angel. “Kita
makan di sini aja, kayaknya nggak terlalu buruk juga,”
putus Aksa menerbitkan senyum Angel.

Membuat bahagia seorang Angel memang


sangatlah mudah. Aksa tidak perlu sampai jungkir balik
untuk senyum Angel. Angel penganut definisi bahagia itu
sederhana.

“Ayo! Nanti aku yang pilih menunya. Aku tau


mana yang enak di sini,” ajak Angel lalu menarik tangan

54 |Bonus Chapter
Aksa untuk masuk ke warung tenda yang cukup ramai
pengunjung.

Aksa menyingkirkan keraguan yang tersisa.


Cowok itu duduk di sebelah Angel. Tatapannya terus
waspada ke arah sekitar yang didominasi pria dewasa.
Aksa tidak buta. Dia bisa melihat beberapa dari mereka
mencuri pandang ke arah Angel. Melihat itu, rasanya dia
ingin meledakkan kepala mereka yang berani-beraninya
menatap Angel seperti itu.

“Di sini nggak jual susu kotak? Pengin susu


akutuh,” tanya Aksa yang mengundang gelak tawa Angel.
Cewek itu menatap Aksa yang terlihat menyedihkan sekali
tanpa susu kotak. Sudah berapa lama tunangannya belum
meminum susu? Kenapa wajahnya semenyedihkan itu?

“Adanya teh, wedang jahe, es jeruk, kopi, sama air


putih. Kamu mau yang mana?”

“Susu kotak nggak ada? Dari siang akutuh belum


minum susu,” aku Aksa.

55 |Bonus Chapter
Angel menggeleng. “Di seberang sana ada
minimarket. Kayaknya di situ ada susu kotak. Aku beliin
dulu, ya?” usul Angel. Dia tahu bagaimana seorang Aksa
jika tanpa susu kotak.

“Bareng aja belinya,” putus Aksa lalu


mengulurkan tangan untuk menggandeng tangan Angel.
Membiarkan Angel membeli susu kotak sendirian adalah
definisi dia tidak tahu diri. Meninggalkan Angel
menunggu selagi dia membeli susu kotak pun bukan
pilihan yang tepat. Angel pasti akan dijadikan objek
fantasi liar oleh pria-pria di warung tenda itu. Membeli
bersama ada pilihan yang benar.

“Kalau ke sana sama Barra, di situ banyak orang?


Liatin kamu kayak tadi? Atau malah ada yang godain?
Cakep mana sama aku? Lebih kaya siapa?” tanya Aksa
beruntun.

Angel mendongak menatap Aksa yang juga


menatapnya. “Kamu kenapa, sih?”

56 |Bonus Chapter
“Kamu sadar nggak kalau tadi banyak yang liatin
kamu dan aku nggak suka itu. Besok atau kapanpun kamu
mau beli di sana, harus ada aku. Atau kalau mau ke sana
aku booking dulu tempatnya, biar cuma kita berdua yang
ada di sana dan aman.”

“Mana bisa kayak gitu? Lagian mereka nggak


sampe macem-macem kok. Liatin paling sekilas, terus ya
udah. Nggak usah khawatir,” nasihat Angel seraya
mengusap lengan Aksa untuk berbagi ketenangan.

“Takut banget kehilangan kamu akutuh, sampe


mau gila rasanya kalau ada sesuatu sama kamu.”

Angel tersenyum lalu masuk minimarket begitu


Aksa mendorong pintu untuknya. Tahu apa yang harus dia
lakukan untuk Aksa, tanpa dikomando lagi Angel
langsung melangkah menuju lemari pendingin. Sementara
Aksa hanya mengekor di belakang dan tugasnya nanti
membayar.

57 |Bonus Chapter
“Kamu kalau mau beli sesuatu ambil aja, Pong.
Biar sekalian,” celetuk Aksa saat Angel sudah mengambil
lima sush kotak dengan varian rasa cokelat semua.

“Nggak ada. Lima kotak cukup, kan?”

“Cukup. Kamu beneran nggak mau beli sesuatu?


Kalau mau minimarket ini aku sanggup beli kok. Tinggal
bilang aja kalau kamu emang mau. Bingung akutuh sama
kamu, kenapa nggak pernah porotin calon suami.”

“Nggak ada, Aksa. Justru aku yang bingung sama


kamu. Pengin banget, ya, diporotin hartanya?”

“Banget. Kamu mah susah diajak foya-foya,”


gerutu Aksa lalu mengajak Angel ke kasir. Respons Angel
hanya berupa gelengan kepala. Cewek itu masih tidak
habis pikir dengan calon suaminya itu.

Setelah menyelesaikan pembayaran, Aksa dan


Angel kembali ke warung tenda. Makanan dan minuman
yang mereka pesan sudah siap. Angel menatap makanan
pesanannya dengan penuh minat. Nasi liwet dan sayur
belut bakar cabai hijau. Ada juga pepes ayam kampung
58 |Bonus Chapter
dan sambal cumi yang menjadi favoritnya. Angel buru-
buru mencuci tangan, ingin segera menyantap hidangan di
hadapannya.

“Aku perhatiin kamu makannya banyak tapi badan


segitu aja. Makanan pada lari kemana hm? Pipi doang?”
tanya Aksa.

“Nggak tau. Ayo dimakan. Ini enak banget loh.”

Aksa mengangguk lalu mencuci tangannya.


Mengenyahkan keraguan pada makanan di hadapannya,
Aksa memulai suapan pertama. Tidak seburuk yang dia
kira. Daging ayamnya empuk dan bumbunya meresap
sempurna. Yang paling memanjakan lidah adalah sambal
cumi. Sambal cumi nya seperti yang Angel katakan. Jika
boleh jujur, itu adalah sambal cumi terenak yang pernah
Aksa makan.

“Gimana?”

“Besok ke sini lagi, ya. Tapi dibungkus, makan di


rumah aja biar aman.”

59 |Bonus Chapter
Senyum Angel terbit. Dia mengangguk dan terus
memperhatikan Aksa yang begitu lahap. Perhatiannya
dicuri oleh suara hujan deras yang tiba-tiba saja turun.
“Hujan, Sa.”

“Nggak papa, pulangnya bisa nunggu hujannya


reda. Kamu habisin aja makanannya.”

“Aku kabarin orang rumah dulu, ya. Takutnya


nanti nyariin.”

“Duduknya agak deketan biar nggak kedinginan.


Nanti kalau butuh pelukan, aku siap.”

Angel menyikut lengan Aksa. “Kalau nggak ada


Kak Mian sama Barra, lancar banget, ya, modusnya. Coba
kalau ada mereka. Mana berani kamu kayak gini.”

Ucapan Angel membuat Aksa terbahak. Angel


benar. Dia belum seberani itu di depan Damian dan Barra.
Bisa lepas kepalanya dari leher kalau dia sampai berani
melakukan hal yang tidak-tidak di hadapan mereka.

“Tanyain ke Mommy sama yang lainnya mau


dibawain apa. Nanti kalau hujannya reda, kita bisa cari itu
60 |Bonus Chapter
buat mereka. Sekalian sebagai permintaan maaf karena
udah bawa anak gadisnya keluyuran malem-malem.”

“Eh nggak usah. Kamu simpen aja uangnya.”

“Kamu lupa kalau aku orang kaya?”

***

Jika tahu hujan akan kembali turun, mungkin Aksa


akan sedikit lama di penjual martabak langganan keluarga
Angel. Tadinya hujan sudah reda dan Aksa santai-santai
saja di perjalanan menuju rumah Angel. Belum sampai ke
tempat tujuan, hujan kembali turun. Atas usul Angel—
dengan dalih sebentar lagi sampai—Aksa tetap
melanjutkan perjalanan meskipun hujan.

Begitu sampai dan melihat Angel yang basah


kuyup, Aksa benar-benar merasa bersalah pada
tunangannya. Bisa-bisanya dia menempatkan Angel di
situasi yang tidak mengenakan ini.

“Aku minta maaf. Aku janji bakal tanggung jawab


kalau kamu sampai flu gara-gara ini. Aku yang bakal
biayain pengobatan dan rawat kamu sampai sembuh total
61 |Bonus Chapter
nantinya. Janji,” ucapnya serius seraya membingkai wajah
Angel yang basah dengan kedua telapak tangannya.

“Apaan, sih, Sa? Cuma kehujanan doang dan itu


nggak masalah. Aku juga sering kayak gini. Kamu jangan
khawatir gitu. Mampir dulu, ya? Nanti bisa pake baju Kak
Mian atau Kuda Nil. Kamu nggak mungkin langsung
pulang, kan? Hujannya makin deres loh.”

“Nggak papa, aku langsung balik aja. Lagian udah


terlanjur basah. Aku balik, ya? Kamu buruan masuk, ganti
baju, terus istirahat. Jangan lupa kaus kakinya dipakai,
malam ini pasti dingin. Aku belum bisa kasih pelukan,
tunggu halal. Sebentar lagi.” Aksa tersenyum begitu Angel
menganggukan kepala. Cowok itu pun kembali ke
motornya. Selesai mengenakan helm, motor yang dia
kendarai membelah jalanan di bawah guyuran hujan.

“Pendosa itu nggak mampir, Kak?” tanya Barra


mengejutkan Angel yang masih berdiri di depan pintu
karena begitu mengkhawatirkan Aksa.

“Udah ditawarin tapi nggak mau.”

62 |Bonus Chapter
“Awas aja kalau sakit, aku yang bakal ketawa
paling keras,” cibir Barra. Handuk putih yang dia bawa,
diserahkan pada kakaknya.

“Barra. Masa gitu terus sama Kak Aksa. Sekali aja


akur nggak bisa, ya?”

“Pendosa itu pakai pelet dukun mana, sih? Ampuh


banget peletnya, udah bertahun-tahun Kak Angel masih
terpengaruh juga.”

Angel menggelengkan kepala lalu mengajak Barra


masuk. Dia tahu. Meskipun kelihatannya Barra tidak suka
pada calon suaminya, namun diam-diam Barra adalah
orang yang paling mendukung hubungannya dengan Aksa.
“Mommy mana?”

“Nemenin Rere sama Naufal. Kak Mian sama Kak


Ara ada acara jadi nitipin mereka di sini.”

***

“Haacim.”

63 |Bonus Chapter
Aksa bersin keras entah yang keberapa kalinya.
Selang beberapa detik, suara tiruan bersinnya terdengar.
Siapa lagi pelakunya kalau bukan adik bungsunya yang
sangat kalem.

Cowok itu melirik ke arah Kia yang asyik di dalam


lemari menonton kartun lewat ponsel. Aksa tidak mengerti
dengan kebiasaan aneh Kia yang sering masuk ke lemari
pakaian. Kebiasaan itulah yang sering membuat seisi
rumah bingung mencari keberadaannya.

“Kia mana, Kak? Tadi bukannya di sini?” tanya


Rivaldo yang datang membawa nampan berisi obat dan air
mineral atas suruhan dari istrinya.

“Lagi cosplay jadi sempak di lemari. Kalem banget,


sih, Pa anaknya. Pas unyu-unyu, pakai gaya apa coba?
Pasti kelupaan bismilah, makanya modelan nggak jelas
gitu,” gerutu Aksa yang mendapat jitakan dari ayahnya.

“Diminum obatnya. Udah makan, kan?”

“Udah tadi sama Angel. Di warung tenda pinggir


jalan.”
64 |Bonus Chapter
Kaki Rivaldo urung melangkah saat Aksa
menyebutkan lokasi makan malamnya. Warung tenda
pinggir jalan? Rivaldo tidak salah dengar, kan?
“Dompetmu nggak nangis diajak ke sana?” tanyanya.

Aksa terbahak setelah meminum obatnya. “Besok


aku bungkusin biar Papa tau rasanya. Aku yakin Papa
bakalan ketagihan terus minta beli lagi sama warung-
warungnya sekalian.”

Rivaldo dan Aksa kompak menoleh ke arah Kia


yang baru saja keluar dari lemari. Anak itu menaiki
ranjang berbaring berbantal paha kakaknya.

“Susu kotak. Kia mau susu kotak,” pinta Kia.

Untung saja Aksa memiliki banyak persediaan


susu kotak di kamar. Cowok itu tidak perlu repot-repot
saat dia atau adiknya menginginkan susu. Cowok itu pun
meminta bantuan ayahnya untuk mengambilkan susu
kotak di lemari pendingin untuk Kia.

“Titip Kia, ya, Sa.”

65 |Bonus Chapter
Hasil proyek tunggal putra Rivaldo melirik penuh
peringatan. “Jangan mulai, Pa. Adikku udah tiga. Kia udah
fix jadi maknae. OT6 udah fix unit keluarga sultan. Nggak
ada member baru lagi,” ucap Aksa.

“Mumpung musim hujan, cocok buat bercocok


tanam. Papa titip Kia sebentar.”

“Papaaaaa!”

Gelak tawa Rivaldo membuat Aksa semakin kesal.


Ingin rasanya cowok itu melempar Kia ke arah papanya
yang semakin banyak gaya. Sudah berumur tapi masih
sibuk atraksi.

“Kia gangguin Papa sama Mama sana!” titah Aksa


pada satu-satunya senjata yang bisa dia andalkan saat ini
untuk menggagalkan proyek baru orangtuanya.

“Apa nggak berdosa kalau gangguin Papa sama


Mama? Kata Papa dosanya besar.”

“Dosanya buat Kakak nggak papa. Sekarang Kia


terobos aja ke kamar Mama. Kia harus bobok sama Mama.
Kalau diusir sama Papa, Kia usir aja Papa. Kia ngerti?”
66 |Bonus Chapter
Kia mengangguk mengerti lalu berlari ke arah
kamar mamanya untuk menjalankan perintah kakaknya.
“Mama! Kia mau bobok sama Mama! Kia mau peluk-
peluk Mama!”

***

Wajah Rivaldo terlihat begitu masam. Sangat tidak


enak dipandang. Pria itu kesal bukan main karena atraksi
spektakulernya terpaksa ditunda karena proyek tunggal
putrinya mengacau. Anak paling kalem-nya itu menerobos
masuk ke kamar sebelum Rivaldo menerobos istrinya. Jika
Kia sudah menempel pada Shilla, maka kesempatannya
sudah tidak ada. Diusir halus pun anak itu tetap tidak mau.
Pada akhirnya Rivaldo pasrah-pasrah saja. Mungkin
malam ini bukan rezekinya.

“Mama, temennya Kia namanya Lala,” ujar Kia


tiba-tiba lalu menurunkan selimut sampai sebatas dada.

“Lala kenapa?” tanya Shilla.

“Lala pamer punya papa baru. Kia juga mau papa


baru. Mama kapan cari papa baru buat Kia?”
67 |Bonus Chapter
Rivaldo bangkit secepat kilat dan duduk
menghadap hasil proyek tunggal putrinya. Dia tidak habis
pikir bisa-bisanya Kia berpikir untuk mencari papa baru.
Apa selama ini perfomanya sebagai papa untuk Kia
kurang memuaskan? Jika iya, di bagian mana? Tidakkah
Kia tahu berapa banyak uang yang harus dia keluarkan
untuk mempersiapkan debutnya sebagai tunggal putri
keluarga sultan? Apakah segala kebaikannya selama ini
belum cukup untuk Kia?

“Kia nggak sayang Papa lagi?” tanya Rivaldo


nelangsa.

“Sayang kok. Tapi, kan, Kia juga pengin pamer


papa baru. Biar nggak kalah sama Lala. Masa anaknya
Papa Sultan Rivaldo Januar orang kaya kalah. Iya, kan,
Pa?”

Mendadak Rivaldo diam. Pria itu melirik ke arah


istrinya. Mendesak Shilla untuk buka suara membantunya
menjelaskan pada Kia yang lugu.

68 |Bonus Chapter
Shilla pun menarik putrinya agar semakin merapat
ke tubuhnya. Dibelainya pipi gembil putri bungsunya.

“Kia nggak butuh papa baru. Papanya Kia udah


punya segala-galanya buat Kia. Nanti kalau Kia punya
papa baru, Papa sedih. Kia seneng kalau papanya Kia
sedih karena Kia?”

Kia menggeleng tegas. Tubuhnya bergerak. Anak


itu menarik Rivaldo hingga berbaring kembali di sisinya.
Dipeluknya tubuh besar ayahnya erat-erat.

“Kia nggak mau papa baru. Papanya Kia cuma satu.


Papa Sultan Rivaldo Januar orang kaya,” bisik Kia setelah
mengurai pelukannya. Sebagai permohonan maafnya,
kecupannya dia tinggalkan di sepanjang rahang tegas
ayahnya yang ditumbuhi jambang halus.

“Kia mau dicium juga. Papa cium Kia sekarang,”


ujar Kia menunjuk pipinya. Sedetik kemudian Kia
mendapatkan apa yang dia inginkan.

“Ini nggak ada yang mau cium Mama?”

69 |Bonus Chapter
Rivaldo dan Kia saling memandang sebelum
akhirnya menghujani wajah Shilla dengan ciuman.
Ketiganya lalu tertawa renyah setelah puas membagi
ciuman. Kia pun berbaring nyaman di antara Rivaldo dan
Shilla.

“Kia ngantuk, Mama.”

“Iya udah Kia bobok sekarang.”

“Iya. Kia mau bobok ya, Ma, Pa. Kia sayang


Mama Papa banyak-banyak.” Kia langsung memeluk
tubuh Shilla sebelum menutup kelopak matanya.

Rivaldo setengah bangkit dan mendekatkan


bibirnya ke telinga istrinya lalu berbisik, “Aku tunggu di
kamar sebelah. Nanti kalau Kia udah tidur, kamu ke sana,
ya.”

“Udah empat loh. Jangan keseringan main. Ntar


kalau rilis lagi, bisa ngamuk tunggal putramu,” ujar Shilla
berbisik.

70 |Bonus Chapter
“Bikin aja dulu, jadi nggaknya urusan nanti,” balas
Rivaldo lalu mengerlingkan mata sebelum melangkah
meninggalkan kamar.

***

“Itu namanya azab, Kak. Pedih, kan?”

“Mending lo minta maaf sama kita berdua.


Sebelum terlambat. Umur nggak ada yang tau. Mana lo
udah kritis gi— awnjing!” Ethan mengumpat saat kotak
susu kosong dilempar dan mengenai dahinya.

Aksa yang berbaring lemas di ranjangnya, menatap


sengit ke arah dua adiknya yang masih menjadi musuhnya.
Mereka hanya dewasa secara umur. Pola pikir dan
tingkahnya tidak menunjukan kedewasaan sedikitpun.
Baik Ethan maupun Erlan masih kompak mengusiknya.

Ethan dan Erlan terbahak lalu mendekati ranjang


kakaknya. Tanpa aba-aba, Ethan melompat ke ranjang.
Aksa terkejut bukan main. Dengan sisa tenaga yang ada,
cowok itu menghantam punggung Ethan dengan bantal.

71 |Bonus Chapter
“Lo sakit beneran, Kak? Curiga gue, ini cuma akal-
akalan lo aja,” ujar Erlan.

“Lo berdua mending cabut dari kamar gue sebelum


jiwa psikopat gue bangun.”

Erlan duduk bersila di ranjang. “Udah kena azab


kecil, masih belum kapok. Ini kalau lo belum ketimpa
meteor, kayaknya bakal ngegas terus sama adeknya. ”

“Nggak takut jasadnya ditolak bumi, Kak?”


sambung Ethan.

“Kalau aja adek gue modelnya nggak kayak lo


berdua, gue nggak perlu teriak-teriak apalagi jadi psikopat.”

Ethan mengarahkan kamera belakang ponselnya ke


wajah Aksa. “Liat sini, Kak. Mau gue kirim ke Kak Angel.”

“Buat apaan? Nggak usah macem-macem.”

“Biar Kak Angel ke sini lah! Apa lo nggak mau


modus? Kalau lagi sakit pasti minta apa aja diiyain. Tapi
kalau lo nggak mau, juga nggak papa. Nggak rugi juga.
Ntar gue kabarin Kak Angel kalau lo udah wafat aja lah.”

72 |Bonus Chapter
“Foto gue, buruan! Kasih tau keadaan gue
sekarang. Demam, lemes banget, pusing. Bikin Angel
sekhawatir mungkin.”

***

Ethan benar.

Berkat foto yang cowok itu kirimkan, Angel


datang dengan rasa khawatir yang begitu besar. Apalagi
setelah mengecek sendiri suhu tubuh Aksa, rasa khawatir
Angel berada di puncaknya. Dia menyalahkan dirinya atas
apa yang menimpa Aksa sekarang ini. Pasti gara-gara
semalam. Seharusnya semalam Angel bisa lebih tegas lagi
agar tunangannya ini mau menuruti perkataannya.

“Maaf, semalem aku nggak ngabarin waktu udah


nyampe rumah. Kepalaku pusing. Batuk, pilek, demam,
nggak enak banget pokoknya. Makanya aku nggak sempet
ngasih kabar. Langsung tepar.”

Angel menggeleng tegas. Bukan itu yang ingin dia


dengar dari Aksa. “Semalem nggak langsung pulang?”

73 |Bonus Chapter
Aksa tidak langsung menjawab karena terbatuk.
Demam, batuk, dan hidung tersumbat, menyiksanya pagi
ini. Daya tahan tubuhnya benar-benar payah. Baru diguyur
hujan sebentar saja langsung tumbang.

“Aku mampir ke tempat Kak Mian buat ngambil


keperluan Rere. Aku kelupaan, Kak Mian udah bilang dari
waktu aku nungguin kamu. Semalem aku titipin barangnya
ke Pak Kardi. Pakaianku basah, jadi nggak bisa ngasih itu
ke kamu langsung. Rere gimana di rumah? Baik-baik aja,
kan? Kenapa nggak diajak ke sini, biar bisa main sama
Kia.”

“Kamu yang nggak baik-baik aja, Aksa. Ke dokter,


ya? Aku temenin.”

“Nggak perlu, Sayang. Nanti agak siangan juga


sembuh. Ada kamu di sini tuh udah bikin semuanya baik-
baik aja.”

Angel menghela napas. Cewek itu duduk di tepi


ranjang. Tangan Aksa dia raih untuk digenggam erat.

74 |Bonus Chapter
“Kamu seneng liat aku kayak gini? Khawatirin
kamu sampai aku ketakutan. Iya? Aku masih inget banget
loh ucapan kamu yang nggak bakalan bikin aku sedih.
Tapi apa? Kamu pikir dengan kamu kayak sekarang,
nggak bikin aku sedih?”

“Bukan gitu maksudku ....”

“Makanya kita ke dokter. Berhenti bikin aku


khawatir, Sayang. Kalau kamu sakit, siapa yang jagain aku?
Nggak mau sama yang lainnya, maunya sama kamu.”
Angel terus mengeluarkan jurusnya yang paling ampuh.
Sekeras apapun Aksa, pasti akan lunak padanya jika dia
sudah berkata lembut. Apalagi jika memanggil cowok itu
dengan embel-embel ‘sayang’.

Jika Angel sudah berbicara seperti itu, Aksa


menyatakan jika dirinya kalah. Benar. Angel adalah
kelemahannya. Keinginan Angel memang tidak bisa
ditolak olehnya. Dibantu Angel, dia pun bangkit dan
duduk bersandar di kepala ranjang.

75 |Bonus Chapter
“Untung kamu cepet-cepet ke sini, Ngel. Calon
suamimu itu keras kepala banget. Batu aja insecure sama
kerasnya Aksa. Papa udah nyuruh anak kalem ke dokter
dari tadi, tapi nolak,” ujar Rivaldo yang masuk ke kamar
Aksa. Angel menoleh lalu tersenyum dan melanjutkan
kegiatan membantu Aksa memakai jaket.

Ngomong-ngomong, sejak bertunangan dengan


Aksa, Angel memang sudah diminta untuk membiasakan
diri memanggil orangtua Aksa dengan sebutan ‘mama
papa’. Awalnya memang canggung, namun lama-lama
Angel terbiasa dengan panggilan itu. Semenjak
memanggil Rivaldo dengan sebutan papa, Angel
merasakan kembali kasih sayang seorang ayah. Dia
diperlakukan sebagaimana anak kandung oleh Rivaldo.

“Cuma mau ngingetin, barang kali Papa lupa.


Keras kepalanya aku dapet dari Papa. Coba aja kalau Papa
kalem terus nggak banyak tingkah, mungkin ya aku nggak
kayak gini. Jadi, Papa jangan salahin aku yang kayak gini,”
balas Aksa.

76 |Bonus Chapter
“Tuh liat sendiri, kan, Ngel. Calon suami kamu tuh
gitu sama orangtua. Suka fitnah. Sebelum terlambat,
mending kamu pikir-pikir lagi. Daripada nyesel di akhir.
Anak Papa itu menang warisan doang. Tanpa warisan juga
jadi Aksa Kentang Januar.”

Angel tersenyum geli. Sudah sangat dekat dengan


Aksa dan keluarganya, dia sudah tidak asing lagi dengan
keseruan mereka setiap kali berdebat. Angel suka cara
mereka dalam menjalin kedekatan. Sekalipun mereka
seperti tidak pernah akur, nyatanya itu adalah cara mereka
saling menyayangi. Tidak jarang Angel kurang bersyukur
saat melihat interaksi Aksa dan keluarganya. Rasa irinya
sering muncul dan dia sering berandai. Andai Papa Juan
masih di sini, pasti keluarganya tidak kalah seru dengan
keluarga Aksa.

“Terusin aja, Pa. Jatuhin terus harga saham anak


sendiri,” sinis Aksa membuat Rivaldo tersenyum geli.

“Calon suamimu itu ngambekan banget, Ngel.


Nanti kalau kalian nikah terus Aksa suka ngambek, biarin

77 |Bonus Chapter
aja. Jangan sampai dirayu-rayu, nanti kamu rugi sendiri.
Orang kayak Aksa sering nggak tau diri.”

“Papa Sultan lagi ngomongin diri sendiri, ya?”


cibir Aksa.

Rivaldo tergelak. “Ayo Papa antar. Nanti


pulangnya mampir jemput Rere suruh main sama Kia.”

“Kia belum bangun, Pa?” tanya Angel yang


menyadari jika sejak datang, Kia belum menampakkan diri.
Padahal biasanya lengket sekali padanya.

“Tadi subuh bangun, nggak tau kapan tidur lagi.


Mau Papa bangunin, takut ngamuk. Entar malah bikin
pusing.”

“Turunan Papa Sultan emang gitu semua, Ngel.


Kalau aku keturunan Mama, jadi beda jenis sama Kia,
Ethan, sama Erlan,” ucap Aksa lirih namun masih bisa
sampai ke telinga Rivaldo.

“Jangan gitu ah sama orangtua, nggak sopan,”


tegur Angel seraya memberikan sentuhan terakhir untuk
rambut Aksa.
78 |Bonus Chapter
“Katanya jodoh adalah cermin. Kok bisa-bisanya
Angel yang sesempurna itu dapet kamu, ya, Sa?” heran
Rivaldo yang tidak ditanggapi oleh Aksa. Tunggal
putranya itu sudah terlebih dahulu pergi menggandeng
Angel.

***

“Kak Naufal pasti nggak punya tempat bermain


kayak punya Kia, kan?” ucap Kia terdengar angkuh begitu
sampai di ruang bermainnya yang ada di lantai satu.

Rivaldo memang menyediakan ruangan khusus


untuk memuaskan jiwa anak-anak tunggal putrinya. Dia
menyulap salah satu ruangan yang cukup luas di rumahnya
untuk dijadikan arena khusus untuk bermain Kia.
Fasilitasnya pun tidak perlu diragukan lagi. Rivaldo tidak
pernah tanggung-tanggung untuk kesenangan putra-
putrinya. Aneka jenis mainan dibeli oleh Rivaldo demi
mewujudkan istana bermain impian putrinya. Tidak
sedikit dari mainan-mainan itu didatangkan langsung dari
luar negeri. Rivaldo tidak pernah melihat harga, yang dia

79 |Bonus Chapter
lihat adalah kepuasan anak-anaknya. Kia hanya perlu
menyebutkan apa yang dia inginkan, maka Rivaldo akan
membelikan itu untuk tunggal putrinya. Apapun itu.

Tidak heran jika banyak teman-teman Kia betah


bermain di sana. Mainan yang tidak mereka miliki,
dimiliki oleh Kia. Ditambah tempatnya yang nyaman,
lengkap, dan luas. Kia merasa sangat beruntung memiliki
semua itu.

Naufal menatap sekelilingnya. Untuk sesaat dia


mengagumi apa yang Kia miliki. Terakhir kali Naufal
menyambangi ruangan itu, mainan yang ada belum
sebanyak sekarang. Dua lemari yang ada di sudut ruangan
juga belum terisi oleh aneka boneka. Jangka waktu dua
minggu sudah memberi perubahan sebesar itu.

Anak itu menatap Kia yang terlihat begitu angkuh


dengan apa yang dia miliki.

“Papanya Kak Naufal pasti nggak bisa beli kayak


punya Kia. Kia punya banyak mainan, uang Papanya Kia
banyak,” ucap Kia lagi.

80 |Bonus Chapter
“Papaku bukannya nggak bisa bikin kayak gini,
tapi papaku nggak mau anaknya bodoh karena terlalu
banyak bermain!” semprot Naufal telak yang langsung
melenyapkan senyum Kia.

“Kia banyak main tapi Kia nggak bodoh.”

Naufal menatap remeh pada Kia. Dia mendekati


Kia lalu menunjuk dahi anak itu. “Kamu bodoh! Kamu
satu kelas sama Rere. Rere udah bisa baca, kamu belum.
Rere bisa berhitung sampai seratus. Kamu sampai dua
puluh aja sering salah. Itu namanya bodoh!”

“Kia pinter! Kia nggak bodoh!” teriak Kia tidak


terima dengan tuduhan Naufal. Dia memang belum bisa
membaca seperti Renata, juga belum lancar berhitung.
Tapi itu bukan bodoh. Kia hanya belum bisa dan suatu
hari nanti pasti bisa. Bahkan lebih pintar dari Renata dan
Naufal sekali pun. Teman-temannya pun banyak yang
belum bisa. Renata-nya saja yang terlalu pintar, sampai
tidak ada yang bisa melampuinya di kelas.

81 |Bonus Chapter
“Iya kamu pinter. Tapi bukan pinter sekolahnya.
Kamu itu pinter yang nggak guna. Pinter main nggak jelas,
nangis, sombong, dan gangguin orang lain,” ejek Naufal
belum mau mengalah. Kesombongan Kia lah yang
membuat Naufal melewati batas yang sudah diajarkan
orangtuanya.

Renata yang menyadari permusuhan kakaknya dan


Kia semakin sengit, pun menghampiri Naufal. Anak manis
itu menggandeng lengan kakaknya lalu mememberi
nasihat dengan tutur kata yang lembut.

“Inget kata Papa. Nggak boleh ejek orang lain.


Kak Nau nggak boleh kayak gitu sama Kia. Kia, kan,
teman kita.”

“Bukan! Cuma Rere yang temennya Kia. Kak


Naufal musuh! Kia nggak mau temenan sama orang galak
yang suka marah-marah! Kak Naufal penjahat, nggak bisa
jadi temennya Kia. Biarin Kak Naufal temenan sama
monyet aja. Kata Papa kalau nakal temennya monyet,”
sewot Kia.

82 |Bonus Chapter
Kia pun mendekati Renata, menarik tangan anak
itu menjauhi Naufal yang tengah menahan letupan amarah
yang siap meledak.

“Kia nggak boleh kayak gitu. Kata Papa sama


Mama kita nggak boleh saling bermusuhan. Terus kata
Mama, punya teman banyak itu seru.”

Saat Kia hendak melayangkan pukulan pada


Naufal yang menjulurkan lidahnya, Renata sigap. Anak itu
meraih lengan Kia, menjauhkan Kia agar tidak adu pukul
dengan kakaknya. Renata pun mulai mengalihkan
perhatian Kia dengan bertanya-tanya soal mainan barunya.
Kia sepertinya sudah lupa dengan kemarahannya pada
Naufal, terbukti dengan antusiasnya anak itu menanggapi
pertanyaan dan pujian dari Renata.

“Ini buat Rere, buat ganti bonekanya Rere yang


kepalanya lepas gara-gara Kia,” ujar Kia seraya
menyerahkan satu set boneka barbie miliknya yang dia
ambil dari lemari. Boneka itu masih baru dan Kia tidak
keberatan untuk memberikannya pada Rere. Ayahnya pun

83 |Bonus Chapter
pasti tidak akan keberatan jika dia berbagi barang-barang
miliknya.

“Nggak usah diganti, Kia kan nggak sengaja. Aku


udah dibeliin boneka baru kok sama Om Barra.”

“Kia kasian sama Rere, mainannya sedikit. Ambil


ini, biar Rere punya banyak mainan. Kalau mau yang lain,
ambil aja. Kia orang kaya, jadi nggak papa kalau Rere
minta banyak-banyak. Kan Kia bisa beli lagi. Kata Kak
Aksa, uangnya Papa banyak.”

“Kan aku nggak suka main lama-lama. Aku harus


belajar juga. Belajar sama Papa itu seru. Aku jadi suka
belajar. Papa ajarin aku banyak hal. Ajarin menggambar
juga. Sekarang aku bisa gambar bebek, ayam, ikan, sama
kelinci. Nanti malam mau diajarin gambar pemandangan
alam. Gunung yang ada sawah sama burung di langit.”

“Tapi, kan, papanya Rere galak kayak Kak Naufal.”

Renata menggeleng. “Papa baik kalau kita juga


baik. Kalau Papa galak, berarti kita bersalah dan harus
minta maaf. Terus nggak boleh kayak gitu lagi.”
84 |Bonus Chapter
Di tempatnya, Naufal memperhatikan Renata dan
Kia. Anak itu mulai membandingkan kepribadian
keduanya. Jika Renata adiknya pembawannya tenang,
lembut, dan begitu anggun. Lain dengan Kia yang berisik,
suka main kasar, tidak bisa diam, dan angkuh. Lihat saja
apa yang Kia lakukan sekarang. Terus berlari dan bersuara
keras.

Sebenarnya tadi Naufal enggan ikut saat Renata


dibawa ke rumah Kia. Namun anak itu ingat dengan
amanah orangtuanya. Orangtuanya sudah menitipkan
Renata padanya. Ditempa ilmu bertanggungjawab sejak
dini, Naufal mengenyahkan segala rasa tidak sukanya.
Bagian terpenting adalah dia bisa memastikan Renata
baik-baik saja.

“Jangan ajarin adikku jadi kayak kamu. Awas


kalau macem-macem. Aku laporin kamu ke Papa!” ancam
Naufal saat Kia berlari di hadapannya. Kia tidak bersuara,
anak itu hanya menjulurkan lidah pada Naufal.

Bruk.

85 |Bonus Chapter
Karena kurang hati-hati, Kia jatuh. Kakinya
terpeleset mainannya sendiri. Naufal memang tengah
marah pada Kia namun kemarahan itu tidak membuatnya
berhenti peduli. Anak itu langsung berlari dan membantu
Kia yang matanya sudah memerah siap menangis.
Cengeng. Itulah Kia.

“Kia nggak papa?” tanya Renata begitu perhatian.

“Sakit. Di sini nyut-nyutan kayak mau patah. Nanti


kalau patah gimana?” Kia mengusap lututnya.

Berlebihan, pikir Naufal.

“Kalau pengin nangis, nangis aja. Papa bolehin aku


sama Rere nangis kapanpun kita mau. Yang penting
setelah nangis, kita tenang,” terang Naufal saat melihat
Kia yang menahan untuk tidak menangis.

Kia memejamkan matanya lalu mengurai air


matanya. Dia merasakan punggung kecilnya tengah
diusap-usap, namun tidak tahu siapa pelakunya. Yang
pasti antara Renata dan Naufal.

86 |Bonus Chapter
“Nangis sampai selesai, aku temenin,” gumam
Naufal.

Anak itu lalu beralih ke adiknya. “Rere, Kakak


boleh minta tolong?”

Renata tersenyum lalu mengangguk. “Boleh.”

“Kakak minta tolong panggilin mama atau papanya


Kia.”

“Iya. aku panggilin sekarang.”

“Terima kasih banyak.”

Renata mengangguk lalu bangkit dan


mengayunkan kakinya.

Tak sampai lima menit, Renata kembali bersama


orang-orang panik yang mengkhawatirkan keadaan Kia.
Rivaldo langsung meraih Kia ke dalam gendongannya.
“Mana yang sakit, Sayang?”

Aksa dan Shilla memeriksa lutut yang ditunjuk


oleh Kia. Tidak ada luka serius di sana.

87 |Bonus Chapter
“Telepon ambulans sekarang! Kita harus bawa Kia
sebelum terlambat.”

Bukan Kia yang harus ditenangkan, melainkan


Rivaldo yang panik berlebihan saat Kia menangis dan
merintih kesakitan. Shilla pun mengambil alih putrinya
dan membawanya untuk duduk di sofa.

“Aku siapin mobil dulu.”

“Paaa,” protes Aksa. Cowok itu menghela napas


lalu kembali berkata, “Kia nggak papa. Cuma jatuh, nggak
sampe patah tulang. Papa liat sendiri, kan? Kia baik-baik
aja.”

“Kia nangis kesakitan. Lukanya emang nggak


keliatan. Tapi siapa yang tau kalau ternyata tulangnya ada
yang retak, kan?”

“Masih sakit?” tanya Shilla setelah meniupi dan


mengusap lutut putrinya.

Kia menggeleng. “Udah nggak sakit. Mama pinter


ngobatinnya. Terima kasih Mama. Kia mau lari-lari lagi.”

88 |Bonus Chapter
Belum sempat dilarang, Kia sudah melompat dari sofa dan
mengambil mainannya sebelum berlari cepat begitu aktif.

“Papa liat sendiri, kan, gimana Kia? Kayak nggak


tau aja Kia gimana. Ketempelan debu aja rempongnya
nggak ketulungan,” ujar Aksa lalu meninggalkan ruang
bermain untuk kembali ke kamarnya.

Rivaldo menghela napas, lega rasanya melihat


tunggal putrinya baik-baik saja. Pria itu pun duduk di
sebelah Naufal. Dia ingin mengawasi Kia secara langsung.

“Aku mau ke belakang, kamu nggak perlu


khawatir berlebihan. Kia nggak bakal kenapa-napa kok.
Lagian ada Naufal yang jagain,” ujar Shilla sebelum
berlalu.

***

“Kia kenapa, Sa?” tanya Angel begitu Aksa


kembali ke kamar. Cewek itu belum mengalihkan
perhatiannya dari pekerjaan yang belum dia selesaikan.
Sebagai cewek yang mencintai kerapian, dia sangat risih

89 |Bonus Chapter
dengan kondisi kamar tunangannya yang berantakan.
Untuk itu dia inisiatif untuk merapikan semua itu.

“Kamu bisa diem nggak sih, Ngel? Nggak perlu


capek-capek gini, akutuh udah sayang banget sama kamu,”
ucap Aksa. Cowok itu merebut buku di tangan Angel lalu
dilempar asal ke sofa. Pelan tapi pasti, Aksa memutar
tubuh Angel hingga menghadapnya. Angel masih diam
saat Aksa meraih pinggangnya dan mengangkat tubuh
ramping cewek itu untuk didudukkan di meja belajar.

“Kamu itu bakalan aku jadiin ratu, Sayang. Kenapa


malah nggak bisa diem gini, sih? Beres-beres terus. Apa
nggak capek? Aku yang liat aja capek,” protes Aksa
menopang kedua tangannya di meja agar wajahnya sejajar
dengan wajah calon istrinya.

“Aku nggak bakal beres-beres kalau kamu nggak


malesan.”

“Aku, kan, lagi sakit.”

90 |Bonus Chapter
“Nggak ngaruh. Sakit atau nggak, kamu tetep
malesan dan ngandelin ART, kan? Mending kamu minggir,
biar aku lanjut beresin.”

“Beresin aku dulu. Abis minum obat, ngantuk


akutuh.”

“Terus?”

“Temenin.”

“Modus!”

“Mumpung lagi sakit, ntar kalau udah sembuh


kamu nggak bakal mau diajak macem-macem.”
Jawabannya membuat Angel melayangkan pukulan pelan
di dadanya.

“Aku telepon Kak Mian, nih. Bilang kalau kamu


ngajakin tidur bareng,” ancam Angel.

Aksa berdecak sebelum menjatuhkan kepalanya di


pundak Angel. Pening kembali menyerang dan itu adalah
momen yang pas untuk bermanja-manja pada calon
istrinya. “Pusing banget,” akunya. Hanya butuh menunggu

91 |Bonus Chapter
beberapa detik, kepala belakangannya sudah diusap oleh
cewek itu. Dalam hati Aksa bersorak gembira.

“Demam kamu belum turun. Istirahat, ya. Aku


temenin.” ujar Angel setelah memeriksa suhu tubuh Aksa.
Aksa hanya mengangguk dan melangkah lemah saat
Angel menggiringnya ke ranjang.

“Mau makan pake apa? Biar nanti aku masakin


kalau kamu udah tidur. Jadi, pas bangun kamu tinggal
makan.”

“Nggak perlu repot-repot. Udah ada yang masakin.”

“Iya udah sekarang tidur. Nanti kalau waktunya


makan, aku bangunin.”

***

“Aksa belum bangun, Ngel?”

“Pas tadi aku ke kamarnya, Aksa masih tidur. Tapi


demamnya udah turun, Ma,” jawab Angel.

“Kamu nginep di sini, kan?” tanya Shilla


memastikan.

92 |Bonus Chapter
“Kayaknya nggak deh, Ma. Bentar lagi pulang.”

“Nanti biar sopirnya Papa yang anterin kamu.


Mama mau samperin Kia dulu, kayaknya masih ngambek
gara-gara Rere pulang cepet. Kamu tolong bangunin Aksa,
ya. Paksa Aksa makan. Anak itu kalau lagi sakit susah
disuruh makan.”

Sepeninggal Shilla, Angel langsung melangkah


menaiki tangga menuju kamar Aksa. Ngomong-ngomong,
Naufal dan Renata sudah pulang. Mereka dijemput oleh
Damian tadi. Awalnya Damian juga mengajaknya pulang
namun ditolak. Dia akan menunggu Aksa bangun lalu
berpamitan sebelum pulang, setidaknya dengan seperti itu
tidak akan membuat Aksa kecewa padanya.

“Udah bangun dari tadi? Kenapa nggak turun buat


makan?” tanya Angel. Cewek itu mendekati ranjang Aksa.
Memastikan sekali lagi demam cowok itu, dia menyentuh
kening Aksa.

93 |Bonus Chapter
“Udah sembuh, berkat kamu yang rawat. Makasih,”
ungkap Aksa. Tangannya meraih tangan Angel, membawa
itu ke bibirnya untuk dia kecup.

“Makan dulu, yuk. Terus minum obat lagi biar


sembuh total.”

“Baju kamu kenapa basah?”

Angel menyentuh ujung baju yang dia kenakan.


“Tadi ketumpahan air minum pas Rere makan sambil main
sama Kia. Nggak papa kok, bentar lagi juga kering.”

“Nggak papa apanya?” Aksa turun dari ranjang


lalu melangkah ke arah lemari pakaiannya. Dia mencari-
cari pakaian miliknya yang bisa dikenakan oleh Angel.
Pilihannya jatuh pada kaus lengan panjang berwarna hitam.

“Ganti. Di sini nggak ada bajumu, pake punyaku


nggak masalah, kan? Kayaknya kamu sexy juga kalau
pakai ini.”

Angel menggeleng pertanda menolak. “Pake ini aja,


basah dikit doang kok.”

94 |Bonus Chapter
“Di sini nggak ada Kak Mian, Kuda Nil, Kak Rizal,
atau Barra. Jangan bikin aku nekat gantiin pakaianmu.
Sekarang pilih. Ganti sendiri atau aku yang gantiin. Tapi,
kamu harus tau risikonya kalau aku yang gantiin. Sesuatu
mungkin bakalan terjadi.”

“Aku ganti sendiri,” putus Angel lalu merebut kaus


di tangan Aksa.

***

Angel sudah menolak Aksa berkali-kali agar


cowok itu tidak mengantarkannya pulang. Aksa belum
sepenuhnya pulih dan masih butuh banyak istirahat. Tanpa
Aksa pun Angel bisa pulang ke rumah. Namun Aksa
begitu keras kepala ingin mengantarkannya pulang.

“Maafin mama yang sering maksa kamu buat


nginep, ya. Aku jadi nggak enak sama kamu. Aku
khawatir kamu risih dan yang paling aku takutin kalau
kamu sampai kepikiran Mama nggak ngertiin keadaan
kamu,” ucap Aksa memecah keheningan. Dia berterus

95 |Bonus Chapter
terang soal apa yang membuatnya bungkam cukup lama
tadi.

“Nggak perlu minta maaf. Aku yang harusnya


minta maaf. Sebenarnya aku juga nggak enak sama Mama
karena selalu nolak. Bukannya mau ngecewain, aku nggak
bisa nginep kalau di rumah Mommy cuma sama Barra.”

Aksa menyentuh pundak Angel, mengusapnya


sebentar. “Keputusan kamu udah bener. Kamu harus
pulang dan temenin Mommy di rumah. Kalau kamu
nginep di rumahku, kasihan Mommy pasti kesepian.
Kakak-kakakmu udah sibuk sama keluarga masing-masing,
perhatian mereka buat Mommy nggak bisa kayak dulu.
Kamu harus lebih perhatian ke Mommy.”

Bagaimana Angel tidak semakin jatuh cinta pada


cowok yang duduk di sebelahnya. Aksa lebih dari sekadar
peduli, tidak hanya padanya tapi juga pada keluarganya.
Khususnya mommynya. Sosok seperti Aksa lah yang
Angel cari.

“Makasih udah peduli banget sama Mommy.”

96 |Bonus Chapter
“Nggak perlu bilang makasih. Apa yang aku lakuin
ini bukti kalau aku serius sayang sama kamu, Ngel. Nggak
cuma kamu, tapi juga keluargamu,” balas Aksa lalu
tersenyum menawan saat mengelus puncak kepala Angel.

***

97 |Bonus Chapter
“Laksamana Erlan Januar”
“Laksamana Ethan Januar”
Ganda Putra

Aksa membuka kelopak matanya karena cahaya


matahari yang menerobos masuk mengusik tidurnya.
Cowok itu mendorong kaki Ethan yang bertengger di atas
perutnya. Dia menguap lebar lalu mendorong kepala Erlan
agar menjauh dari lengannya. Dia dan dua adiknya
ditugasi untuk menjaga Kia selama Rivaldo dan Shilla di
Bali untuk urusan bisnis. Karena itulah mereka bermalam
di kamarnya. Bersama Kia tentunya.

Cowok itu bangkit dan menatap ke sekitar.


Berantakan.

Walaupun pemalas, tapi belum pernah kamarnya


seberantakan ini. Barang-barang yang semalam digunakan
untuk saling melempari satu sama lain, berserakan di
98 |Bonus Chapter
lantai. Bantal, kotak susu kosong, alat tulis, dan bungkus
snack mendominasi.

Aksa melirik ke arah Kia yang tidur menghadap


ketiak Erlan dengan kaki bertengger kurang ajar di atas
kepala Ethan. Posisi tidur mereka berempat semalam
benar-benar kacau. Terlebih Kia yang memang tidak bisa
anteng, dalam tidur sekalipun.

Baru hendak memperbaiki posisi tidur Kia,


perhatiannya dicuri penuh oleh suara dering ponsel yang
tergeletak di nakas dekat tempat tidur. Dengan gerakan
malas karena nyawanya belum terkumpul sempurna, Aksa
meraih ponselnya. Dering sudah terlebih dahulu berakhir
sebelum cowok itu menjawab panggilan yang masuk.

Kelopak mata Aksa semakin terbuka tatkala


melihat pemberitahuan di layar ponselnya. Ada seratus
lebih pesan dan puluhan panggilan tidak terjawab dari
Rivaldo. Sepertinya tawuran melawan ganda putra
semalam menguras banyak energi sampai dia tertidur

99 |Bonus Chapter
seperti mayat. Ratusan notifikasi, tidak ada yang dia
dengar.

Setelah dicek, isi pesan yang ayahnya kirimkan


tidak jauh dari pertanyaan seputar Kia. Sepertinya Rivaldo
tidak sepenuhnya mempercayakan tunggal putri padanya
dan ganda putra.

“Than! Lan! Bangun lo. Udah jam sembilan.”

Bantal dan apapun yang ada di dekat Aksa,


dilempar ke arah Ethan dan Erlan yang tertidur pulas.
Hampir saja Aksa melempar Kia untuk membangunkan
ganda putra. Untung dia cepat sadar.

“Apaan, sih, Kak? Masih pagi juga. Kurang puas


semalem gebukin gue sama Erlan?” gerutu Ethan lalu
meraih bantal untuk menutupi kepala.

“Masih pagi, nggak usah rese. Tulang gue rontok


semua gara-gara semalem. Kasih gue istirahat, ributnya
ntar lagi,” sambung Erlan.

Semalam adalah tawuran yang sesungguhnya.


Tidak ada Rivaldo dan Shilla membuat keempat anak itu
100 |Bonus Chapter
bertarung habis-habisan di kamar Aksa. Aksa bersatu
dengan Kia, sementara Erlan bersatu dengan Ethan. Bakat
menghujat dan baku hantam dikerahkan oleh masing-
masing kubu. Kia yang bahkan masih kecil saja tidak
kalah garangnya. Suara teriakannya menjadi amunisi
utama yang membuat Ethan dan Erlan kewalahan. Mereka
baru berhenti saat tengah malam.

Tawuran ditutup dengan gelak tawa yang


mengudara cukup lama sampai perut mereka sakit. Kia
terlihat sangat bahagia dan puas melihat wajah nelangsa
kakak kembarnya.

“Berisik banget, sih.”

Erlan yang masih terpejam, meraba-raba ranjang


mencari benda yang terus saja berbunyi.

“Gila lo, Lan! Gue cowok, ngapain lo grepe-grepe


gue?!” Ethan bangkit cepat saat tubuhnya diraba-raba oleh
kembarannya. Ethan langsung melindungi diri dengan
menyilangkan tangan di dada.

“Grepe pala lo segi lima! Gue nyari HP.”


101 |Bonus Chapter
Erlan pun bangkit dan memungut ponselnya yang
jatuh dari ranjang. Cowok itu menguap lebar lalu menatap
layar ponselnya. Awalnya dia berniat menolak panggilan
yang masuk, tapi berhubungan panggilan itu dari ayahnya,
Erlan mengurung niatnya.

“Innalillahi. Kalian habis ngapain semalem? Itu


kamar Kak Aksa kayak habis kena badai. Baru ditinggal
sehari udah kayak gitu. Ini kalau Papa di sini seminggu,
mau jadi apa rumah Papa? Rata tanah?”

Aksa, Ethan, dan Erlan tertawa lepas mendengar


suara frustrasi ayah mereka di seberang sana. Dengan
sengaja, Erlan mengarahkan kamera ke segala penjuru
ruangan agar ayahnya tahu kekacauan apa yang sudah
mereka lakukan. Semoga setelah tahu itu, ayahnya mau
berpikir ulang jika mau berlibur tanpa anak-anak.

Ya. Mereka sebenarnya sudah tahu jika


orangtuanya ke Bali untuk bulan madu yang kesekian
kalinya, bukan untuk urusan bisnis. Ayahnya meskipun

102 |Bonus Chapter


sudah berumur, tapi jiwanya tetap muda. Apalagi untuk
urusan proyek-proyek yang belum goal semua.

Aksa meraih tangan Erlan agar mengarahkan


kamera ke wajahnya. “Udah nggak layak huni juga ini
gubuk, kita-kita cuma bantu robohin biar cepet pindah dari
sini,” ucapnya tersenyum mengejek ke arah ayahnya. Aksa
menahan tawa saat melihat wajah frustrasi Rivaldo dari
layar ponsel.

“Terserah kalian aja lah. Asal jangan ada yang


saling membunuh. Mau sewa alat berat buat robohin
gubuk kita juga silakan. Ngomong-ngomong anak Papa
yang paling kalem mana?”

“Masih molor,” jawab Erlan mengarahkan ponsel


ke wajah Kia yang masih tertidur pulas.

“Heh jangan digangguin! Biarin Kia tidur!” larang


Rivaldo di seberang sana saat melihat jari telunjuk Aksa
dan Ethan menusuk-nusuk pipi gembul Kia. Beberapa
detik kemudian, Kia membuka kelopak matanya. Erlan

103 |Bonus Chapter


pun langsung membanting tubuhnya di ranjang, berbaring
di sebelah Kia agar Kia bisa melihat wajah Rivaldo.

“Nih liat papanya siapa yang nelepon. Papanya Kia


bukan?” tanya Erlan.

“Papaaaaaa!” sapa Kia dengan teriakan yang


memekakkan telinga kakak-kakaknya. Ketiga kakaknya
kompak menggosok telinga masing-masing. Anak itu
melambai ke arah kamera dan mengusung senyum lebar.

“Kia bangun gara-gara kakak, ya? Kia kalau mau


bobok lagi, bobok aja. Nanti siang Papa telepon lagi.”

“Udah nggak ngantuk Papa. Papa kapan pulang?


Kia kangen. Kangen Mama juga. Pengin main masak-
masak sama Mama.”

“Hari Minggu Papa udah di rumah. Kia mau


dibawain apa? Adik-adik yang lucu mau nggak? Nanti
kalau mau, Papa bikinin.”

“Paaaaa!” protes Aksa, Ethan, dan Erlan yang


menolak keras memiliki adik lagi. Ketiganya merengut
sebal saat mendengar gelak tawa Rivaldo.
104 |Bonus Chapter
“Kia nggak mau punya adik, Papa! Pokoknya
nggak mau! Kata Kak Aksa kalau Kia punya adik, nanti
Kia bakalan dijadiin tumbal proyek ganda campuran. Kia
nggak mau, Papa! Kia takut. Kak Ethan sama Kak Erlan
aja yang dijadiin tumbal!”

Kia tentu saja mengingat baik ucapan kakak


sulungnya jika dia mempunyai adik maka dia akan
dijadikan tumbal proyek. Menurut penjelasan kakaknya,
tumbal proyek itu artinya dia akan dikutuk menjadi babi.
Setelah itu dia dibuang ke hutan yang banyak hantunya.
Kia tentu tidak mau itu terjadi padanya. Wajar saja jika
anak itu selalu menolak setiap kali ditawari soal adik.

“Kena lagi. Perasaan gue diem. Bener-bener ini


anak,” gerutu Ethan.

Suara tawa renyah Rivaldo terdengar. Kia memang


sudah diracuni pikirannya oleh kakak-kakaknya yang
menolak keras memiliki adik lagi. Mereka sepakat
menjadikan Kia sebagai maknae di unit keluarga Sultan
Januar. Tidak ada member baru yang didebutkan lagi.

105 |Bonus Chapter


“Mama mana, Pa?” tanya Aksa yang menyusul
berbaring di sebelah Kia. Cowok itu menguasai ponsel.

Sedetik kemudian, layar ponsel Erlan dipenuhi


oleh selimut putih yang membungkus tubuh Shilla. “Habis
lembur. Garap proyek besar-besaran, ganda campuran.
Kalian siap-siap, ya. Sebentar lagi debut.”

Meski tahu jika kalimat Rivaldo hanya bercanda,


namun Aksa dan yang lainnya tetap saja kesal. Erlan
merebut kembali ponselnya lalu memutus panggilan
secara sepihak. Cowok itu mencak-mencak tidak jelas
sambil meninggalkan kamar Aksa.

“Bapak gue nggak ada akhlak!”

Sebelum beranjak, Aksa menepuk kuat pundak


Ethan lalu berkata tegas, “bilangin ke bapak lo yang orang
kaya itu, Than. Gue bakal kasih pelajaran kalau bapak lo
hamilin emak gue lagi!”

“Bapak lo juga, Bege!” protes Ethan.

“Kia kok ditinggal sendirian?”

106 |Bonus Chapter


Saat itulah langkah ketiga anak laki-laki Rivaldo
terhenti. Mereka baru menyadari soal Kia. Ketiganya pun
menoleh ke belakang. Adik perempuan satu-satunya
tengah duduk menatap tidak suka padanya. Dari ekspresi
wajahnya, sepertinya anak itu akan menangis. Tangisan
Kia adalah bencana.

Sebelum bencana itu benar-benar datang,


ketiganya langsung berlari cepat untuk mengantisipasi.
Aksa lah yang berhasil meraih tubuh Kia pertama kali.
Cowok itu mengangkat tinggi-tinggi tubuh adiknya. Ethan
dan Erlan bersorak untuk mengembalikan suasana hati
anak itu. Apa yang mereka lakukan sukses membuat Kia
tertawa.

“Ayo berenang! Kia mau berenang.”

“Sarapan dulu, ya. Biar nanti Kia kuat berenang


lama-lama.”

“Iya. Kia mau makan banyak. Tiga piring!” balas


Kia dengan semangat penuh.

107 |Bonus Chapter


Ethan terbahak lalu mengusap perut kecil Kia.
“Emang ini perutnya muat kalau makan sebanyak itu?”

“Kuat dong. Kak Ethan sama Kak Erlan siap-siap,


ya. Nanti Kia mau ajak Kakak berantem lagi.”

“Mental gue yang sakit kalau gini terus. Jadi


pengin bunuh diri daripada depresi,” gerutu Ethan yang
paling awal meninggalkan kamar Kia.

***

Meskipun Rivaldo memperkerjakan dua pengasuh


khusus untuk putrinya, tapi putrinya itu lebih suka diasuh
oleh ketiga kakaknya setiap kali orangtuanya pergi. Ketiga
kakaknya memang jahil dan sering usil padanya jika tidak
ada Rivaldo, namun Kia tetap nyaman jika bersama
mereka.

Setelah puas berenang, kakak sulungnya


menjanjikan akan mengajaknya mengunjungi festival
makanan. Kia sangat antusias dengan itu dan menjadi
patuh pada apa yang kakaknya katakan agar dia bisa

108 |Bonus Chapter


segera ke sana. Bukan acara itu yang membuat Kia terlihat
begitu bersemangat. Namun siapa saja yang ikut ke sana.

Salah satu dari mereka adalah sosok yang paling


berpengaruh untuknya, Naufal Akhtar Regata. Kakak
Renata yang galak dan selalu mengolok-oloknya, namun
entah mengapa membuat Kia bersemangat untuk
memancing keributan dengannya. Kia belum berpuas hati
jika belum mengalahkan Naufal. Selama ini Kia selalu
dibuat menangis oleh anak itu. Hal itu membuat Kia
berambisi untuk berbalas dendam dengan membuat Naufal
menangis. Ya ... walaupun selalu gagal.

“Kia nggak boleh pecicilan di sana. Nanti kalau


pecicilan, Kakak jual kamu. Kia mau dijual, terus nggak
bisa ketemu sama Mama Papa lagi?” tanya Aksa yang
duduk di sofa menunggu Kia yang tengah diikat
rambutnya oleh pengasuh anak itu.

“Nggak mau!” jawab Kia lantang. “Kak Ethan


sama Kak Erlan aja yang dijual. Kia jangan. Kia, kan,
anak baik. Manis juga. Terus proyek kebanggaan Papa.”

109 |Bonus Chapter


“Bagus! Kalau nggak mau dijual, nanti nurut sama
Kakak.”

“Iya.” Kia melompat turun dari kursi dan


melangkah mendekati Aksa. Tanpa permisi, anak itu
merebut kotak susu yang tengah dinikmati kakaknya.
Untung Kia adalah partner-nya jadi Aksa tidak masalah
dengan apa yang Kia lakukan padanya.

“Habis,” ujar Kia lalu menyerahkan kembali kotak


susu yang sudah kosong pada Aksa. Anak itu mengisi sofa
di sebelah kakaknya. Duduk anteng di sana sembari
mengusap perutnya. Kia sedikit kekenyangan. Lihat saja
perutnya sekarang terlihat membuncit.

“Mau lagi?”

Kia menggeleng. “Nanti Kia mau beli makanan


banyak-banyak. Jadi perutnya nggak diisi penuh. Kak
Aksa bawa uang yang banyak.” Anak itu nyengir lebar
lalu merangkak dan duduk di pangkuan kakaknya.
Punggungnya disandarkan di dada Aksa, lalu anak itu
kembali mengelus perutnya.

110 |Bonus Chapter


“Kak Ethan sama Kak Erlan lama. Kia mau cepet-
cepet ke sana, Kak. Kak Ethan sama Kak Erlan ditinggal
aja,” ucap Kia.

“Tunggu lima menit lagi. Kalau nggak dateng,


nanti Kakak pukulin mereka.”

“Kia mau ikut pukulin juga,” sambar Kia.

“Perasaan seneng banget mukulin orang. Apa


nggak takut azab?” cibir Ethan yang muncul bersama
Erlan. Keduanya kompak mengenakan celana jeans hitam
dipadu dengan kaus berwarna senada dengan celana yang
mereka kenakan. Dalam segala hal, keduanya memang
sekompak itu.

“Kakak lama! Kia udah nungguin dari tadi!


Ngapain aja, sih? Nggak tambah ganteng juga!” omel Kia.

“Tuh dengerin. Anak kecil itu jujur. Percuma lo


lama-lama di dalem, nggak bawa perubahan apapun juga,”
celetuk Aksa.

Ethan menggulung lengan kausnya. “Mau ribut


lagi? Maju kalian berdua!”
111 |Bonus Chapter
Dengan sigap Erlan menahan tubuh kembarannya
agar tidak memulai pertempuran lagi. Dia sendiri belum
siap untuk itu. Badannya masih dalam tahap pemulihan
pasca digebukin Kia tadi malam.

“Ini kalau nggak berangkat sekarang, kita pasti


tawuran. Mending langsung berangkat aja, Kak,” usul
Erlan.

“Lo berdua bawa mobil sendiri. Gue mau jemput


Angel sama yang lain.”

***

“Kiaaa!”

Yang dipanggil namanya tidak memberi respons


apapun. Anak itu tetap berlari menerobos kerumunan. Dia
ingin menjelajah sampai puas dan membeli semua
makanan yang ada di festival untuk memuaskan perutnya.
Kia-lah yang terlihat paling bersemangat berburu makanan.
Tidak peduli dengan dua kantung plastik berisi aneka
makanan yang dia tenteng di masing-masing tangannya.
Dia belum puas dengan itu.
112 |Bonus Chapter
Aksa menarik napasnya dalam-dalam melihat Kia
yang tidak bisa diam. Cowok itu kewalahan menjaga
adiknya yang terus berlarian di tengah kerumunan. Tidak
hanya sekali, Kia sudah berkali-kali jatuh setelah
menabrak pengunjung lain, namun itu belum bisa
membuat Kia berhenti. Teguran darinya pun tidak berarti
apa-apa. Aksa juga sudah lelah mengikuti kemana kaki
aktif Kia pergi.

Dia sampai terheran-heran dari mana asal tenaga


super Kia yang tidak kunjung habis. Meskipun sudah
hampir satu jam berlarian kesana-kemari, belum ada
tanda-tanda bocah itu kelelahan. Aksa yang sudah dewasa
saja sudah kelelahan dan ingin berhenti mengikuti langkah
Kia. Tapi jika dibiarkan sendiri tanpa pengawasannya,
bisa-bisa Kia hilang. Tamatlah riwayatnya jika sampai itu
terjadi. Bisa-bisa sumpah serapah netizen padanya
terwujud. Namanya pasti berubah setelah didepak Rivaldo.
Aksa Kentang Januar. Netizen pasti akan mengolok-
oloknya habis-habisan.

113 |Bonus Chapter


“Kakak! Kia mau beli ini. Beliin sepuluh.” Kia
melompat-lompat di depan penjual sosis bakar. Tangannya
terus menunjuk ke arah sosis-sosis yang tengah dibakar.

“Bocah tengil itu bener-bener, ya,” gerutu Aksa.

Angel yang setia menemani Aksa, mengelus


lengan cowok itu. “Namanya juga anak-anak. Kamu
waktu seumuran Kia mungkin lebih nyebelin,” ujarnya.

Aksa berdecak. Seingatnya dia memang nakal dan


bandel, tapi levelnya masih di bawah Kia. Kenakalan Kia
paling pro. Ethan dan Erlan saja masih ada kalem-
kalemnya, sedikit. Tapi Kia ... tidak ada kekaleman yang
nampak ke permukaan. Padahal dulu Aksa sangat berharap
Kia menuruni sifat Mama Shilla yang lemah lembut. Tapi
yang terjadi ... ah sudahlah, Aksa tidak mau membahas itu
lebih jauh. Yang ada sesak dadanya saat ekspektasi tidak
sesuai dengan realita.

“Besok kalau aku mau unboxing kamu, kamu


jangan lupa ingetin aku biar baca doa, Pong. Nggak

114 |Bonus Chapter


kebayang akutuh kalau punya anak modelnya kayak Kia.
Bisa mati berdiri. Semoga mirip kamu aja. Kalem.”

“Tapi Kia lucu, Sa. Aku pengin yang kayak Kia.”

“Lucuan pantat penyu daripada Kia.” Aksa


melepaskan genggaman tangan Angel dan berlari cepat
menghampiri Kia yang tengah berbicara dengan penjual
sosis bakar. Bocah itu pasti sudah tidak sabar
menunggunya.

“Belinya jangan banyak-banyak. Itu aja belum


habis.” Aksa menunjuk jajanan yang Kia tenteng di tangan
kanan kirinya.

“Tapi Kia mau sepuluh! Nggak mau sedikit. Tadi


Papa bilang Kia boleh beli banyak-banyak. Kok Kak Aksa
jadi pelit, sih?!”

Tidak mau mengambil risiko jika Kia ngamuk di


tempat umum karena keinginannya tidak terwujud, Aksa
terpaksa mengizinkan. “Iya udah beli sepuluh. Tapi nanti
bagi ke Rere sama Kak Naufal juga, ya. Kalau dimakan
sendiri, nanti perut Kia meletus.”
115 |Bonus Chapter
“Perut bisa meletus kayak balonnya Kia yang
kemarin itu, Kak?” tanya Kia setengah tidak yakin.

“Iya. Makanya kamu jangan kebanyakan makan.


Ntar kalau perutnya meletus gimana? Kalau Kia nggak
punya perut, terus makanannya mau diwadahin di mana?”

Kia terdiam membayangkan perutnya meletus.


Anak itu bergidik ngeri lalu menggeleng. Dia tidak mau
perutnya meletus seperti yang dibayangkan saat ini.

“Bayarin Kakak,” pinta Kia yang sudah menerima


sosis bakar pesanannya.

Aksa pun mengeluarkan dompetnya dan membayar.


Isi dompetnya semakin menipis karena Kia tidak berhenti
membeli makanan. Makanan jenis apapun asal menarik
perhatian, Kia pasti akan merengek agar dibelikan
makanan itu walaupun tidak pasti dimakan olehnya.

“Terima kasih, Kak Aksa,” seru Kia terlihat begitu


senang.

Aksa mengangguk lemah. Cowok itu tidak


menolak saat Kia mengulurkan kedua tangannya meminta
116 |Bonus Chapter
digendong. Begitu berada di gendongan kakaknya, Kia
langsung melahap sosis bakarnya. Kunyahannya terhenti.
Anak itu mengarahkan sosis bakarnya ke mulut sang
kakak. “Kak Aksa gigit. Tapi jangan banyak-banyak, ya.
Dikit aja.”

Ingin menjadi baik dengan menuruti segala


keinginan Kia, Aksa menggigit sosis bakar yang
disodorkan anak itu. Cowok itu mengunyah sembari
membawa Kia agar bisa bergabung dengan Rere dan
Naufal. Aksa berharap, Kia akan anteng setelah ini
bersama makanannya. Dia sudah sangat kelelahan
mengawasi anak kalem itu.

Kia didudukkan bersama Renata dan Naufal yang


sejak sampai di tempat festival tidak banyak tingkah.
Sangat bertolak belakang dengan Kia. Begitu duduk, anak
itu membagikan makanan yang sudah dia beli pada Renata.
Naufal yang tidak mendapat bagian, menatap sengit ke
arah Kia.

117 |Bonus Chapter


“Ka Nau nanti dapet tusuk sosisnya. Tunggu ini
habis.” Kia mengatakan itu dengan tanpa merasa bersalah.

Naufal membawa kepalan tangannya hingga


berada di jarak yang sangat dekat dengan wajah Kia.
Bukannya merasa terancam, Kia justru tertawa lalu
meninju kepalan tangan Naufal hingga menyingkir dari
hadapannya.

“Jangan mulai. Tawurannya sama kakak kembar


aja. Sama Kak Nau harus akur,” peringat Aksa sebelum
tawuran antara Kia dan Naufal terjadi.

“Iya. Kia anak baik kok, nggak tawuran sama Kak


Naufal. Ini tusuk sosisnya aja mau Kia kasih ke Kak
Naufal,” balas anak itu lalu menyodorkan tusuk sosisnya
pada Naufal. Tentu saja Naufal menepis tangan Kia.

“Sekalian aja dimakan tusuknya biar kenyang,”


ketus Naufal.

Kia tertawa renyah. Tiba-tiba anak itu haus. “Susu


kotaknya Kia mana? Kia haus Kakak,” rengek Kia.

118 |Bonus Chapter


“Kan udah habis. Minum yang lain aja, ya? Mau
jus apa? Atau teh botol? Biar Kakak beliin buat Kia.”

“Nggak mau! Maunya susu. Susu kotak.”

Kia mengerucutkan bibirnya. Tanda-tanda akan


mengamuk sudah mulai terlihat. Untuk urusan susu, Kia
tidak mau diganggu gugat.

“Kamu nggak bawa susu dari rumah?” tanya Angel.

“Bawa. Tadi aku masukin ke tas. Tapi tasnya


dibawa sama Ethan dan nggak tau dia dimana sekarang.
Dari tadi keliling kayaknya juga nggak liat ada yang jual
susu kotak.”

“Telepon Ethan sekarang.”

Aksa mengangguk lalu menghubungi adiknya.


Butuh tiga kali percobaan sampai panggilannya dijawab
oleh Ethan.

“Titip Kia sebentar. Aku mau samperin Ethan


sebentar,” ujar Aksa sebelum melangkah tergesa menuju
tempat yang dimaksud Ethan.

119 |Bonus Chapter


“Tante Angel, Rere boleh minta tolong beliin es
krim vanila yang di sana? Rere pengin satu kalau boleh.
Yang kecil aja.”

Angel tentu saja mengangguk. Bagaimana


mungkin dia bisa menolak permintaan anak semanis
Renata? Apalagi cara anak itu meminta begitu sopan,
Angel tentu segan menolaknya. “Okay. Tante beliin buat
Rere.”

“Makasih, Tante Angel. Kak Nau sama Kia


dibeliin juga nggak?”

“Dibeliin dong. Rere tunggu sebentar, ya. Nau


jagain Rere sama Kia. Tante mau beliin kalian es krim.”

Sepeninggal Angel, Naufal melirik sinis ke arah


Kia yang tidak berhenti mengunyah. Sejak tadi, mulutnya
sudah gatal ingin menghujat Kia. Tapi karena ada Aksa
dan Angel, Naufal mencoba menahan semua hujatannya.
Begitu ada kesempatan, Naufal tidak mungkin menyia-
nyiakan itu. “Udah nggak pinter, gendut, doyan makan,
tukang ngabisin duit,” cibirnya.

120 |Bonus Chapter


Kia menoleh ke arah Naufal. Meskipun tidak
menyebut namanya, namun Kia sudah tahu siapa yang
dimaksud Naufal. Jelas dirinya. Memang siapa lagi yang
dimusuhi oleh Naufal? “Kia belajar setiap hari, kata Papa
sebentar lagi pinter. Kalau nggak makan nanti mati. Papa
bilang duitnya banyak, buat Kia semua. Kia disuruh
habisin buat beli apapun yang Kia mau.”

“Halah!”

“Kak Naufal jelek kayak monyet yang suka makan


wortel.”

“Tuh, kan, kamu bodoh. Gitu aja nggak tau.


Monyet mana yang suka makan wortel, bodoh?! Monyet
itu sukanya makan pisang!”

“Kia, kan, bukan monyet jadi nggak tau. Kak


Naufal monyet, ya?”

Naufal menarik napas dalam-dalam. “Kalau aku


monyet, kamu apa?”

“Aku Kia anaknya Papa Sultan Rivaldo Januar


orang kaya.”
121 |Bonus Chapter
Saat hendak membalas ucapan Kia, Renata
memberi isyarat dengan menarik lengan kaus yang dia
kenakan. Naufal urung membalas demi Renata yang pasti
kurang nyaman dengan keributan.

“Makannya pelan-pelan, anak orang kaya,” tegur


Naufal melihat kerakusan Kia.

“Makan yang bener bisa nggak, sih? Ngerepotin


orang aja!” omel Naufal lalu berdiri di hadapan Kia. Anak
itu tidak bisa diam saja melihat saus dan kecap yang
menodai pipi gembul Kia. Dia pun mengulurkan tangan
kanannya. Menggosok kasar pipi Kia untuk
menyingkirkan noda di pipi anak itu. Gosokan yang terlalu
keras membuat Kia mengaduh kesakitan.

“Jangan keras-keras! Sakit, Kak. Kia nggak boleh


disakitin,” protes anak itu. Bibirnya mengerucut begitu
lucu.

“Gitu aja kesakitan. Lemah.”

“Tapi beneran sakit. Kalau pelan-pelan pasti nggak


sakit.”
122 |Bonus Chapter
“Iya udah bersihin aja sendiri!”

Setelah mengatakan itu, Naufal kembali duduk di


tempatnya. Dia sempat melirik sekilas ke arah Kia yang
menatap jengkel ke arahnya. Refleks kepala Naufal
menoleh saat lengannya disenggol oleh Renata.

“Jangan marah-marah terus sama Kia. Kia anak


baik,” ujar Renata.

“Kakak nggak marah.”

Renata tersenyum lalu membagi sosis bakar yang


tadi Kia bagi dengannya. “Ini buat Kak Nau.”

“Buat kamu aja. Kakak udah kenyang.”

Setelahnya tidak ada yang berbicara. Renata sibuk


memakan sosis bakar dan Kia sekarang sibuk memakan
bakso tusuknya. Iseng-iseng, Naufal menendang sepatu
Kia cukup keras.

“Kak Nau kok tendang-tendang Kia?”

“Nggak sengaja.”

123 |Bonus Chapter


“Kok tendang lagi?” protes Kia saat kembali
ditendang.

“Nggak sengaja lagi.”

Bibir Kia semakin mengerucut. Gara-gara Naufal,


selera makannya hilang. Kepalanya menoleh ke sekitar
mencari keberadaan kakaknya.

“Kia kenapa?” tanya Angel begitu kembali. Dia


membagi satu es krim pada Kia namun ditolak. Tidak
biasanya anak itu menolak es krim.

“Kak Nau tadi tendang kakinya Kia dua kali. Kia


ngambek. Kia mau sama Kak Aksa. Kak Aksanya Kia
mana?”

“Kak Aksa, kan, lagi ngambil susu kotak buat Kia.


Kia di sini aja, bentar lagi Kak Aksa ke sini.” Angel
menahan Kia yang hendak pergi mencari kakaknya.

“Kia mau sama kakak. Kak Nau nakal.”

Angel menatap ke arah keponakannya. Lewat


tatapannya, Angel meminta Naufal berbuat sesuatu agar

124 |Bonus Chapter


bisa menahan Kia. “Kak Nau nggak nakal kok sama Kia.
Kia di sini aja. Sambil nunggu Kak Aksa, Kia makan es
krim bareng Rere sama Kak Nau. Gimana?”

Usaha Angel belum berhasil meruntuhkan kekeras


kepalaan Kia. Setelah berhasil melepaskan tangannya dari
Angel, Kia hendak berlari. Belum sempat itu terjadi,
pergelangannya dicekal begitu kuat oleh Naufal sampai
anak kecil itu meringis kesakitan.

“Jadi anak penurut bisa nggak, sih? Jangan


ngerepotin orang terus. Masih kecil udah banyak mau.
Kalau nggak diturutin ngamuk.”

“Ta-tapi Kia mau sama Kak Aksa. Nggak mau


sama Kak Nau. Kak Nau jahat terus sama Kia. Kia nggak
boleh main sama penjahat.”

Naufal melepaskan cekalannya. “Iya udah sana


pergi sendirian. Nggak bakal ada yang ngikutin kamu.
Terserah kamu mau nyari Kak Aksa ke mana. Nanti kalau
ada yang jahat, paling-paling kamu juga dimasukin karung
dan nggak ada yang nolongin kamu. Sana, pergi!”

125 |Bonus Chapter


Keberanian Kia menciut. Anak itu menunduk lalu
merapatkan tubuhnya ke tubuh Naufal untuk mencari
perlindungan. “Apa di sini banyak penjahat?”

“Banyak. Anak kecil kayak kamu kalau jalan


sendirian pasti langsung ditangkap dan dimasukin karung
buat dijual. Kamu sendirian, nggak bakal ada yang bisa
nolongin kamu.”

“Kia takut kalau nyari Kak Aksa sendirian. Kia


mau di sini sama Kak Nau. Kak Nau jagain Kia, kan?
Bakal tolong Kia kalau ada penjahat?” Tubuh mungilnya
yang hanya sebatas dada Naufal membuat Kia harus
mendongak untuk bisa melihat wajah Naufal. Tangannya
masih mencengkeram kemeja yang Naufal kenakan.

“Iya. Makanya nurut.” Naufal menyentuh


punggung Kia, mengajak anak itu untuk kembali duduk.

Angel tersenyum penuh arti melihat interaksi


Naufal dan Kia yang sangat menggemaskan. Di satu sisi,
Naufal adalah partner ribut untuk Kia. Tapi di sisi lain,
Naufal adalah tempat Kia mencari perlindungan. Pada

126 |Bonus Chapter


dasarnya, Naufal tidak seburuk yang Kia kira. Begitupun
sebaliknya.

“Kia makan es krimnya. Sebentar lagi Kak Aksa


pasti ke sini.”

“Nurut,” sambar Naufal yang membuat Kia cepat


mengiyakan ucapan Angel.

Tangan Naufal merebut es krim milik Kia. Baru


hendak protes karena miliknya dirampas, Naufal sudah
mengembalikannya. Rupanya anak itu hanya ingin
membantunya membuka bungkus es krimnya saja.

“Makannya jangan belepotan,” pesan Naufal.

“Iya.”

Naufal membuka bungkus es krim miliknya. Anak


itu terus memperhatikan Kia yang tengah menjilati es krim.
Kia terlihat kurang berminat dengan es krimnya. “Nggak
doyan?” tanyanya.

“Kia nggak suka yang rasa stroberi. Tapi Kia takut


sama Kak Nau kalau mau tolak.”

127 |Bonus Chapter


“Cobain punya Kakak,” pinta Naufal. Tidak perlu
meminta dua kali, Kia mengigit ujung es krim milik
Naufal.

“Gimana? Enak punya Kak Nau atau punya Kia?”


tanya Naufal.

“Enak punya Kak Nau.”

Sedetik kemudian Naufal merebut es krim di


tangan Kia. Menukar es krim dengan miliknya. “Makan
yang itu.”

“Iya. Terima kasih, Kak Nau,” ujar Kia.

“Hm.” Kini Naufal sudah beralih ke Renata.


Membantu membersihkan lelehan es krim yang menodai
sudut bibir anak itu.

“Punya Kia nggak dibersihin juga kayak punya


Rere?” tanya Kia tiba-tiba seraya menunjuk sudut bibirnya.

Angel yang menyaksikan semua itu hanya bisa


menahan tawanya agar tidak meledak. Drama apalagi yang
tengah dia saksikan sekarang ini? Ini kalau Kuda Nil tahu,

128 |Bonus Chapter


Kia pasti dihujat habis-habisan. Meskipun sudah menjadi
seorang bapak, profesi tukang hujat Daniel masih berjalan.
Segala jenis manusia tidak luput dari hujatannya, apalagi
untuk manusia yang memiliki marga Januar orang kaya
yang tidak sempat miskin karena semakin hari semakin
kaya.

***

“Itu dua bocil tumben nggak baku hantam? Itu


beneran Kia adikku, kan? Kok kalem, sih? Apa tadi aku
salah angkut orang? Nggak mungkin, kan, Kia kalem gitu,”
bisik Aksa pada Angel yang duduk di sebelahnya.

Sedetik pun Aksa tidak mengalihkan tatapan dari


Kia yang duduk anteng menatap panggung hiburan. Aksa
tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Untuk pertama
kalinya dalam sejarah, seorang Kia bisa sekalem itu.

“Bagus dong kalau Kia kalem nggak kayak


kakaknya.”

129 |Bonus Chapter


“Emang bagus. Tapi aku jadi ngeri liatnya. Apa
Kia diguna-guna? Kesurupan? Atau jangan-jangan berak
di celana makanya jadi diem kayak gitu.”

Tawa renyah Angel terdengar. Sudah menjadi


kebiasaannya saat tertawa, Angel memukuli pundak Aksa.
“Tau nggak Kia kalem gara-gara siapa?”

Aksa menggeleng. “Emangnya siapa?”

“Naufal. Sayang banget kamu nggak liat mereka


tadi.”

“Kia diancem? Pasti ancemannya nyeremin banget


sampai mental breakdance kayak gitu.”

“Nggak diancem, kamu tenang aja. Naufal itu


duplikatnya Kak Mian. Dia tau gimana buat handle orang
kayak Kia.”

“Tapi kok aku jadi kasian sama Kia. Itu anak biasa
pecicilan, jadi diem malah kayak tertekan gitu. Serius,
kayak bukan Kia anaknya orang kaya.”

“Nggak perlu khawatir, Sa. Kia baik-baik aja kok.”

130 |Bonus Chapter


Naufal merasa jika sedari tadi dirinya terus diawasi
gerak-geriknya. Firasatnya memang jarang salah. Jarak
beberapa meter darinya, kakak dari anak kecil yang duduk
di sebelahnya, terus mengawasinya. Naufal berusaha tidak
peduli dengan tatapan itu. “Di sini aja,” cegah Naufal
saat Kia akan beranjak dari tempatnya.

“Kia mau sama Kak Aksa. Mau minta susu kotak.”

“Jangan kebanyakan minum susu nanti giginya


keropos kayak giginya Tante Angel waktu kecil.”

“Tapi Kia mau susu kotak.” Sudah tidak bisa


menahan diri lebih lama lagi, Kia menepis tangan Naufal.
Sebelum mendapat kemarahan dari anak laki-laki itu, Kia
sudah berlari ke arah kakaknya. Dia langsung meminta
digendong dan setelah berada digendongan kakaknya dia
baru meminta susu kotak yang tadi dia minta.

“Ngel, tolong ambilin susu kotaknya,” pinta Aksa


pada tunangannya.

Angel cekatan. Dia langsung mengambil apa yang


Kia butuhkan.
131 |Bonus Chapter
“Kia ngantuk, ya? Udah pengin bobok siang?”
tanya Aksa melihat mata adiknya.

“Iya. Kia pengin bobok, Kak. Ayo kita pulang


sekarang.”

“Gimana, Ngel? Kia biasa tidur jam segini. Nggak


papa kalau pulang sekarang? Kalau nggak tidur siang,
malemnya pasti rewel banget. Bisa stres akutuh, mana
Mama nggak di rumah.”

“Pulang aja nggak papa. Rere juga kayaknya


ngantuk tuh.”

“Bawa Naufal sama Rere ke rumahku aja, ya?


Suruh tidur siang di rumahku, nanti sorean aku anterin
kalian pulang.”

“Terus Ethan sama Erlan gimana?”

“Mereka bawa mobil sendiri kok. Kayaknya


mereka bakalan lama di sini. Lagi ngumpul sama temen-
temennya.”

132 |Bonus Chapter


Angel pun mengajak dua keponakannya untuk
mengikuti langkah Aksa. Sepertinya Kia memang
mengantuk berat. Buktinya anak itu sudah tertidur di
gendongan kakaknya.

***

Bangun tidur, sepertinya tenaga Kia kembali penuh.


Anak itu menangis keras karena tidak menemukan
keberadaan ibunya. Dia sudah memanggil-manggil
ibunya namun tidak mendengar sahutan apapun.
Sepertinya Kia lupa jika orangtuanya sedang tidak ada di
rumah.

“Mamanya Kia, kan, lagi kerja sama papa juga.


Sekarang hari Sabtu, pulangnya hari minggu.” Pengasuh
anak itu mencoba menenangkannya yang duduk di ranjang
sembari menendang apapun yang berada di dekat anak itu.

“Tapi Kia mau mau sama Mama.”

“Iya. Nanti kalau mamanya Kia udah pulang, Kia


main sama Mama lagi.”

133 |Bonus Chapter


Aksa baru saja masuk ke kamar Kia. Tangisan
adiknya itu terdengar sampai ke ruang tengah. Cowok itu
mengisyaratkan pada dua pengasuh Kia untuk mundur.
Dia yang akan membereskannya.

“Kia kenapa nangis hm? Di bawah ada Rere sama


Kak Naufal. Kia nggak malu sama mereka kalau masih
suka nangis.”

Kia menghapus kasar air matanya. “Kia lupa kalau


Mama lagi pergi sama Papa, Kak. Kia jadi nangis.
Biasanya kalau bangun tidur siang ada Mama.”

“Sekarang, kan, udah inget. Kia udahan, ya,


nangisnya. Masa kalah sama Rere. Rere aja nggak nangis.”

“Kia udah nggak nangis kok,” elak anak itu lalu


merangkak mendekati Aksa. Tanpa meminta izin terlebih
dahulu, anak itu sudah mengalungkan tangan di leher
kakaknya.

“Kia laper nggak? Tadi Papa telepon tanyain Kia


udah makan apa belum.”

134 |Bonus Chapter


Anak kecil itu menggeleng. “Kia belum laper. Tadi
makan banyak. Kia mau main aja sama Rere.”

“Iya udah kita samperin Rere. Tapi, Kia cuci muka


dulu. Kakak temenin Kia.”

Wajah Kia jauh lebih segar setelah dibasuh dengan


air. Anak itu berlari cepat begitu diturunkan dari
gendongan. Aksa memekik saat Kia nyaris jatuh. Untung
saja Naufal sigap menangkap tubuh mungilnya.

“Pecicilan banget emang tuh bocah,” ucap Aksa


lalu berbaring di sofa ruang bermain dengan berbantal
paha Angel. Dia tidak meminta apapun pada Angel tapi
cewek itu tahu persis bagaimana cara untuk
menyenangkannya. Jemari lentik cewek itu sudah
bergerak membelai kepalanya.

Kia berlari ke sudut ruangan. Keranjang-keranjang


mainannya dibongkar hingga mainannya berserakan di
lantai. Anak itu menarik Renata untuk memilih mainan
apapun. Naufal sendiri memainkan robot mainan milik

135 |Bonus Chapter


Ethan dan Erlan yang masih tersimpan rapi di lemari
khusus robot.

“Kayaknya punya anak banyak seru juga. Rumah


jadi rame, kita nggak kesepian,” ujar Aksa tiba-tiba.
Cowok itu menatap ke atas, ke arah wajah Angel yang kini
menunduk membalas tatapannya.

“Kamu ini yang dipikirin anak mulu,” cibir Angel.

Aksa meraih tangan Angel. Dia suka sekali


memilin-milin cincin yang tersemat di jari tunangannya.
“Udah nggak sabar akutuh pengin berumah tangga sama
kamu. Aku udah bayangin yang iyaiya tiap hari. Pasti
bakalan seru banget.”

“Sabar, bentar lagi kok.”

“Dari TK aku udah sabar, Pong. Mau yang kayak


gimana lagi sabarnya? Besok, ya?”

Aksa terbahak kala Angel mencubit lengan atasnya.


Tidak ada lagi obrolan antara mereka karena keduanya
fokus mengawasi Kia dan Renata bermain.

136 |Bonus Chapter


***

137 |Bonus Chapter


Apartemen yang merupakan hadiah kelulusan
SMA dari Rivaldo, sudah menjadi rumah kedua untuk
Aksa. Jarak kampus ke rumah yang lumayan jauh,
terkadang membuatnya malas pulang dan lebih memilih
pulang ke apartemen. Jarak tempuhnya hanya lima belas
menit. Apartemen pula yang menjadi tempat paling aman
jika dia rindu berduaan dengan Angel tanpa diganggu oleh
adik-adiknya yang super menyebalkan.

Jika Angel ditinggal orangtua sendirian di rumah,


Aksa pasti mengajak Angel pulang ke apartemennya.
Seperti hari ini. Mommy dan yang lainnya berkunjung dan
menginap di rumah Daniel. Angel yang tidak bisa ikut ke
sana, terpaksa ditinggal sendirian. Kesempatan tidak
138 |Bonus Chapter
datang dua kali, Aksa langsung memboyong Angel ke
apartemennya. Tentu saja dia sudah mengantongi izin dari
calon mertuanya itu.

Sebelum mengajak cewek itu pulang ke


apartemennya, Angel mengajaknya berbelanja beberapa
bahan makanan. Cewek itu menjanjikan menu makan
malam yang lezat untuknya yang akan dimasak sendiri.
Memang seperti itulah Angel. Sekalipun Aksa sudah
mengatakan jika Angel tidak perlu lelah untuknya, namun
Angel tetap ingin melakukannya.

Apa yang Angel lakukan sekarang mungkin adalah


spoiler kehidupannya nanti setelah menikahi cewek itu.
Yang mana dia akan dilayani penuh oleh istrinya yang
serba bisa terutama urusan memuaskan perutnya. Tidak
ada unsur gombal, masakan Angel memang tidak pernah
gagal. Selalu enak dan membuat Aksa ketagihan.

“Semalem ada yang nginep di sini?” tanya Angel


saat kedatangannya disambut oleh kaleng minuman dan

139 |Bonus Chapter


susu kotak di meja. Tidak hanya itu, beberapa plastik
bungkus snack dan kulit kacang juga berserakan di sana.

“Biasa. Haikal sama yang lainnya. Maaf. Nggak


ada yang sempet beres-beres. Tadi pagi kesiangan, jadi
langsung siap-siap ngampus.”

“Nanti biar aku yang beresin.”

“Nggak usah, nanti biar aku telepon—”

“Aku aja, ya? Cuma beresin itu, aku bisa banget.”

Jika Angel sudah memasang ekspresi seperti itu,


Aksa hanya bisa mengiyakan apa yang Angel inginkan.

“Tapi aku bantuin,” putusnya.

Setelah membawa barang belanjaannya ke dapur,


Aksa membantu Angel membereskan kekacauan yang dia
perbuat semalam bersama sahabat-sahabatnya. Kaleng
minuman dan kotak susu dia kumpulkan di dalam kantong
plastik yang sudah dia persiapkan disusul sampah-sampah
lain. Jika bukan karena Angel, mungkin Aksa lebih

140 |Bonus Chapter


memilih menghubungi cleaning service untuk
membereskan semua ini.

Angel memunguti bantal sofa dan menata kembali


di tempatnya. Selimut yang teronggok di lantai, dia ambil.
“Semalem Mia telepon nanyain Akbar. Kayaknya mereka
ada masalah. Akbar semalem di sini juga?” tanya Angel di
tengah kegiatan melipat selimut.

“Iya. Ngajak dugem.”

“Terus kalian dugem?”

“Jelas nggaklah. Sayang banget akutuh sama kamu.


Kalau ketauan kayak gituan, bisa sia-sia perjuanganku
selama ini. Sakit jiwa akutuh kalau sampai gagal jadi
suamimu.”

“Selagi aku atau kakak-kakakku nggak tau, kan,


aman-aman aja.”

“Aku bukan tipe cowok kayak gitu. Kepercayaan


itu segala-galanya. Aku nggak mau rusak itu,” aku Aksa
jujur. Meskipun dia bisa bermain-main di belakang Angel,
namun tidak pernah sekalipun Aksa melakukan itu. Dia
141 |Bonus Chapter
ingin terus memantaskan diri untuk Angel dengan tidak
pernah mengecewakannya.

Angel sangat puas dengan jawaban Aksa. Sejauh


ini, Aksa selalu menepati semua ucapannya.
Konsistensinya dalam berusaha untuk menjadi lebih baik,
sudah dibuktikan dan mendapatkan dukungan penuh dari
Damian. Berkat itu, hubungan Aksa dan Damian tidak
kaku lagi seperti dulu.

“Udah beres. Aku mau lanjut masak.”

“Nggak mau mandi dulu?”

“Mandi di rumah aja, nggak bawa baju ganti. Ntar


anterin aku pulang.”

Tahu-tahu Aksa sudah berada di belakang Angel.


Mendekap cewek itu dari belakang lalu berbisik, “kan bisa
pake punyaku. Kamu sexy banget kalau pake bajuku.”
Bisikan itu diakhiri dengan kecupan seringan bulu di
tengkuk Angel.

“Entaran aja. Habis masak, mungkin.”

142 |Bonus Chapter


“Iya udah aku duluan yang mandi. Habis mandi,
aku bantuin kamu masak.”

“Bantuin atau gangguin? Kayaknya tiap aku masak


di sini, kamu nggak pernah bantuin apa-apa. Yang ada
kamu banyak modus.”

Aksa terbahak. Angel benar. Saat cewek itu


menguasai dapur, Aksa tidak bisa melewatkan kesempatan
dalam kesempitan. Terlebih hanya ada dirinya dan Angel.
Aksa semakin leluasa dan lebih berani. “Nanti aku mau
satu di sini,” ucapnya seraya menyentuh bibirnya sebelum
melenggang menuju kamarnya.

Angel menunjukkan dua kepalan tangannya ke


arah Aksa yang dibalas dengan senyum yang patut
dicurigai maksudnya.

***

Tidak mau melewatkan waktu terlalu lama, Aksa


mandi secepat yang dia bisa. Saking ingin segera
mengganggu calon istrinya yang tengah masak, Aksa
bahkan belum sempat mengenakan kaus. Cowok itu baru
143 |Bonus Chapter
mengenakan celana pendek selutut, langsung keluar dari
kamar. Kaus hitamnya disampirkan di pundak kiri. Dia
bersiul begitu sampai di dapur, menggoda Angel yang
memunggunginya.

“Cepet banget mandinya?” tanya Angel saat


mendengar siulan dan derap langkah kaki Aksa semakin
mendekat.

“Sengaja.”

Angel memutar tubuhnya dan langsung berkacak


pinggang menatap Aksa yang cengengesan. Cowok itu
menyandarkan punggung di sekat dinding pembatas dapur
dan ruang tengah.

“Sopankah begitu? Bagus?” ketus Angel.

“Bagus. Kamu suka, kan? Kalau mau pegang,


silakan,” balas Aksa kelewat santai seraya mengusap perut
yang merupakan salah satu aset kebanggaannya.

“Dipake dulu bajunya. Masuk angin entar.”

144 |Bonus Chapter


“Kan ada kamu. Masuk angin nggak masalah.
Malah seneng, jadi dimanja.”

Setelah membalas itu, Aksa melangkah mendekati


Angel. Punggungnya sengaja dibungkukkan agar dia bisa
menggapai pipi Angel untuk dia kecup. Belum
mendapatkan kecupan yang dia inginkan, Angel sudah
mendorong dadanya menjauh. Aksa mengerang kesal. Di
percobaan kedua pun tetap saja pipi Angel lolos dari
bibirnya.

Sembari marah-marah dengan gaya khasnya yang


begitu lucu di mata Aksa, Angel menyambar kaus yang
tersampir di pundak Aksa, membantu cowok itu
mengenakan kaus.

Mendapat omelan dari calon istrinya, Aksa tidak


merasa bersalah. Cowok itu masih bisa cengar-cengir
melihat Angel yang entah mengapa semakin
menggemaskan saat marah-marah seperti sekarang ini.

“Tanda terima kasih,” ucap Aksa penuh


kemenangan setelah mengecup ringan sudut bibir Angel.

145 |Bonus Chapter


“Kurang-kurangin modusnya!”

“Kalau modusin istri sendiri, harus ditingkatkan


biar makin mesra.”

Angel memutar bola matanya lalu melanjutkan


kegiatannya memotong beberapa sayuran. Dia berusaha
mengabaikan keberadaan Aksa namun tidak bisa. Aksa
terus mencari perhatiannya. Lihat saja sekarang cowok itu
tengah menenggelamkan kepalanya di punggung Angel.
Menyusuri tulang belakang cewek itu dengan ujung
hidungnya.

“Aksa!” protes Angel.

“Iya, iya, maaf.”

Permintaan maaf itu hanya bercanda. Buktinya


cowok itu masih saja mengganggu dengan mengecupi
tengkuknya. Omelan darinya tidak mempan untuk Aksa.
Sudah beberapa kali dia mengerang, namun Aksa tetaplah
Aksa yang tidak mungkin melewatkan kesempatan begitu
saja.

“Aksa!”
146 |Bonus Chapter
“Iya, Sayang,” balas Aksa lalu menopang dagu di
pundak kiri Angel. Sepasang tangannya sudah melilit
pinggang ramping calon istrinya.

“Gangguin sekali lagi, aku pulang,” ancam Angel.


Sejauh ini ancaman main-mainnya selalu berhasil
membuat Aksa menjadi cowok penurut.

“Jangan pulang. Di sini aja. Oke, aku nggak nakal.


Aku beneran mau bantuin kamu. Aku nggak tau harus
bantu apa. Peluk kamu, gimana? Biar kamu aman, nggak
kecipratan minyak.”

Angel refleks memukul pundak Aksa dengan


wortel. Pukulan yang justru membuat Aksa tertawa lepas.

“Serius. Kalau dipeluk, kamu nggak perlu khawatir


kecipratan minyak.”

“Mending kecipratan minyak daripada dimodusin


terus sama kamu.”

“Jelas-jelas lebih enak dipeluk aku,” gerutu Aksa.


Tangan kanannya terulur untuk mengambil alih pisau dan

147 |Bonus Chapter


wortel yang tengah Angel potong. Kini pekerjaan itu
sudah diambil alih olehnya.

Semenjak sering menghabiskan waktu hanya


berdua dengan Angel di apartemen, sedikit-sedikit Aksa
tahu ilmu di dapur. Sebelum itu, dia tidak tahu apa-apa.
Yang dia tahu hanya tinggal makan. Angel-lah yang
berbagi ilmu dengannya. Kalau boleh sombong, Aksa
sudah bisa membedakan beberapa bumbu dapur. Dia juga
pernah membanggakan diri atas pencapainnya itu pada
ayahnya yang ilmu memasaknya masih kalah jauh darinya.

“Tadi pas kamu mandi, Haikal telepon.”

“Kamu angkat? Ngomong apa mereka? Haikal


nggak godain kamu, kan? Jujur aja kalau kamu digodain
biar aku hajar dia kalau sampai godain kamu.”

“Mana berani godain kalau pawangnya model


kayak kamu. Katanya pada mau ke sini.”

Aksa menoleh cepat ke arah Angel. “Kamu izinin?”

“Iya. Nanti agak maleman. Mia juga ikut. Jadi aku


ada temen ceweknya. Mau pada nginep di sini.”
148 |Bonus Chapter
“Gagal terus,” kesal Aksa.

“Hayo pasti ngerancanain sesuatu, ya? Udah berani


macem-macem?”

Aksa meraih telunjuk Angel yang terus menunjuk-


nunjuk ke arah wajahnya. Tanpa permisi, cowok itu
memasukkan telunjuk itu ke mulut untuk digigit
menyalurkan kekesalannya. Hanya gigitan kecil, Angel
saja tidak kesakitan. Bahkan cewek itu tertawa renyah.

“Kapan bisa unyu-unyuan sama kamu tanpa ada


yang gangguin?”

“Mending lanjutin potong wortelnya.”

“Kamu nggak ngertiin aku banget, Pong.”

Satu jam lebih, Angel dan Aksa sibuk di dapur.


Walaupun proses memasak tidak berjalan dengan mulus
karena ulah tengil tangan Aksa yang tidak bisa diam,
namun keduanya cukup puas dengan hidangan yang
mereka buat. Soal rasa tentu tidak perlu diragukan. Angel
adalah jagonya di dapur. Apapun yang Angel masak
rasanya enak. Jika saja selama memasak Aksa tidak
149 |Bonus Chapter
kebanyakan modus, mungkin hasilnya akan sempurna.
Pasti ayam gorengnya tidak over cook.

“Kamu mandi sana! Biar aku sendiri yang lanjutin,”


titah Aksa.

“Emang bisa?”

“Suamimu nggak ganteng doang, tapi multi talenta.”

“Preeeeet.”

“Udah sana kamu mandi. Kalau boleh request,


nanti pake kemejaku yang warna putih. Suka banget
akutuh liat kamu pake itu.”

Angel mendengkus sebelum berlari ke arah kamar


Aksa.

***

“Kancingnya. Bisa khilaf akutuh. Kan nggak lucu


kalau aku main tubruk terus un-boxing kamu di meja
makan,” ucap Aksa seraya memasukkan kancing kemeja
yang Angel kenakan.

150 |Bonus Chapter


Aksa pikir Angel akan memilih hoodie daripada
kemeja putih seperti yang dia minta. Diluar dugaan, cewek
itu mengabulkan keinginannya. Aksa sampai kesulitan
menelan salivanya saat melihat Angel mengenakan itu.
Pikirannya kemana-mana melihat kemeja putihnya yang
hanya mampu menutup sampai paha cewek itu. Untung
saja pertahanan dan akal sehatnya masih kuat. Bisikan-
bisikan setan tidak ada yang meruntuhkan imannya.

Aksa menurunkan Angel dari meja makan setelah


kancing kemeja itu sudah dia bereskan. Dia mendudukkan
Angel lalu dengan cekatan mengisi piring kosong di
hadapan Angel dengan nasi dan beberapa lauk.

“Ini nggak kebalik? Bukannya aku yang harus


ambilin buat kamu?”

“Gantian. Aku juga pengin manjain kamu,” balas


Aksa lalu duduk di samping Angel setelah selesai
melayani calon istrinya.

“Makasih, Sayang,” bisik Angel menarik


senyuman Aksa.

151 |Bonus Chapter


“Emang paling bisa bikin aku seneng. Sayang
banget akutuh sama kamu.”

“Udah tau.”

Setelah itu, baik Aksa maupun Angel sama-sama


diam. Mereka sibuk menghabiskan makanan masing-
masing tanpa mengeluarkan suara. Tanpa malu-malu,
Aksa beserdawa cukup keras saat perutnya terisi penuh.
Bunyi serdawanya membuatnya dan Angel tertawa. Hanya
Angel-lah yang bisa membuatnya tertawa selepas itu
karena hal-hal sederhana.

“Kenyang banget akutuh. Kayaknya kalau aku


nikah sama kamu, perutku bakal buncit. Masakanmu
nggak bisa ditolak. Kamu nggak masalah, kan, kalau
punya suami perut buncit? Tapi walaupun buncit aku tetep
ganteng, terus kaya raya juga.”

“Kaya rayanya nggak pernah ketinggalan, ya,”


cibir Angel.

“Ya, kan, itu nama belakangku.” Aksa terkekeh


seraya mengusap-usap perutnya. Punggungnya dia
152 |Bonus Chapter
sandarkan di kursi. Dia bahkan hanya bisa duduk, tidak
membantu Angel yang sedang membereskan meja makan.

“Pada mau dateng jam berapa, Sa?”

Aksa menutup kelopak matanya. “Aku berharap


mereka nggak jadi dateng.”

“Kok gitu? Sama sahabat sendiri juga.”

“Aku, kan, pengin unyu-unyuan. Kalau ada mereka,


gimana caranya unyu-unyuin kamu? Yang ada mereka
ganggu dan bisa laporin aku ke Kak Mian. Terus besoknya
aku ditemuin tewas dibunuh calon kakak ipar.”

Tawa Angel mengudara. “Kak Mian nggak


sekejam itu juga.”

“Kalau sama kamu emang nggak. Beda cerita


kalau sama aku. Biarpun udah direstuin, tapi nyawaku
masih di tangan Kak Mian. Kalau kakakmu tau kelakuan
kita di semak-semak, kepalaku lepas dari leher.”

Ponsel Aksa berdering. Cowok itu terlihat begitu


malas menjawab panggilan masuk dari Haikal.

153 |Bonus Chapter


“Ngapain nelepon?”

“Kita udah di depan. Ini nggak ada upacara


penyambutan apa? Kebangetan banget lo jadi manusia.”

“Sambutan pala lo!”

“Bukain pintu atau gue telepon Kak Mian biar


apartemen lo disidak? Gue tau, ya, lo nggak mungkin
nggak ngapa-ngapain di dalem. Bocah nafsuan kek lo
mana bisa diem.”

“Bentar. Awas kalau macem-macem.” Aksa


memutus panggilan. Ponselnya kembali diletakkan di meja.

“Ngel ganti baju. Kayaknya di lemari paling bawah


ada piama-mu. Pake itu aja biar aman. Banyak bandot
kurang belai soalnya. Aku bukain pintu buat mereka.”

Angel tidak membantah, karena membantah pun


akan sia-sia.

Aksa membukakan pintu dan menatap malas ke


arah Haikal dan yang lainnya. Tanpa menunggu
dipersilakan, Haikal memimpin pasukan manusia tidak

154 |Bonus Chapter


tahu diri untuk menerobos masuk ke apartemen Aksa.
Mereka masih mengingat baik ucapan Rivaldo agar
menganggap apartemen Aksa adalah rumah sendiri. Tidak
perlu ada kata malu-malu di antara persahabatan mereka.

“Akhlak lo pada di mana coba?” protes Aksa


melihat Haikal dan Sendy mengeluarkan makanan dan
minuman dari kulkas tanpa meminta izin pada tuan rumah.
Randu membuka tudung saji. Melihat ada banyak
makanan, cowok itu langsung duduk diikuti Akbar dan
Mia. Haikal dan Sendy tidak mau kalah. Mereka bahkan
yang paling cepat mengambil nasi dan lauk.

“Makan aja, jangan malu-malu,” ujar Haikal


berlagak tuan rumah lalu memulai suapan pertamanya.
Urusan makan, Haikal memang menempati urutan
pertama. Perut cowok itu paling banyak menampung
makanan. Sebagai manusia pemakan segala, Haikal tidak
pernah pilih-pilih makanan.

155 |Bonus Chapter


“Di kulkas ada banyak daging. Kalau butuh,
angkut aja ke kosan kalian. Biar nggak mi instan terus,”
celetuk Sendy.

“Buah-buahan daripada cuma jadi pajangan di


kulkas sultan, mending lo bawa pulang, Bar. Ntar biar
Aksa beli lagi, biar ada gunanya tuh duit,” sambung
Haikal.

Aksa yang mendengarnya hanya bisa menghela


napas. “Udah curiga gue. Kalian ke sini cuma mau
ngerampok makanan gue.” Cowok itu menarik kursi di
sebelah Haikal untuk dia duduki.

“Ngomong-ngomong Angel mana, Sa?” tanya


Akbar tiba-tiba yang membuat Aksa dan Mia menoleh
cepat menatap penuh curiga.

“Ngapain lo nanyain istri gue? Cewek lo di sebelah


lo, tapi lo masih aja nanyain punya gue? Emang bener-
bener lo, ya!” murka Aksa. Cowok itu memang tidak bisa
biasa saja jika Akbar menyinggung soal Angel. Pasalnya
Akbar ini bibit unggul dan memiliki satu hal yang tidak

156 |Bonus Chapter


Aksa miliki yaitu kecerdasan. Kecerdasan Akbarlah yang
membuat Aksa insecure. Aksa bukannya takut kalah saing,
tapi hanya antisipasi.

“Gue cuma nanya. Nggak ada maksud lain, nggak


perlu setakut itu.”

“Di kamar gue.”

Selang beberapa detik, Angel muncul. Dia


mengenakan piama doraemon. Rambutnya dibiarkan
tergerai. Senyumnya terbit saat Mia menyapanya. Angel
pun melangkah dan duduk di sebelah Mia.

“Lo yang masak?” tanya Mia.

“Iya. Dibantu Aksa.”

“Bisa diandelin juga cowok lo. Kirain bisanya


cuma sombong harta orangtua. Hehe canda harta orangtua.”
Mia melirik ke arah Aksa untuk bisa melihat ekspresi
cowok itu.

“Remnya blong, kalau ngomong suka mancing


emosi,” cibir Aksa.

157 |Bonus Chapter


Adu mulut antara Aksa dan Mia bukan hal yang
asing lagi. Keduanya memang selalu begitu setiap kali
bertemu. Mia yang kalau ngomong suka blak-blakan dan
Aksa yang berani menyerang balik membuat pertikaian
keduanya tidak bisa dihindari lagi.

“Btw, ntar Dimas sama yang lainnya pada mau ke


sini. Gue bingung mau kumpul dimana. Jadi, gue suruh
mereka ke sini aja,” ucap Haikal.

Aksa menggosok wajahnya semakin frustrasi.


Kedatangan Haikal dan yang lainnya saja sudah sangat
mengganggu kebersamaannya dengan Angel. Ini ditambah
personil teman-teman kampusnya.

“Terserah lo. Ajakin satu angkatan ke sini juga


terserah.”

Haikal menyambar ponselnya yang berbunyi.


“Mereka udah di depan,” beritahunya.

Aksa langsung bangkit. Bukan untuk membukan


pintu dan menyambut tamunya melainkan untuk
mendekati Angel. Cowok itu mengulurkan tangan ke arah
158 |Bonus Chapter
tunangannya. “Ikut aku,” ajaknya. Begitu Angel
menyambut uluran tangannya, Aksa mengajaknya ke
kamar.

Sebenarnya Angel belum mengerti dari maksud


Aksa, dia hanya mengikuti apa yang Aksa mau.

“Di sini aja selama ada Dimas sama yang lain.”

Setelah mengatakan itu, Aksa melangkah ke arah


meja. Dia mengambil laptop, headphone, beserta charger
laptopnya. Memindahkan benda itu di ranjang tempat
Angel duduk. Dia keluar kamar sebentar. Cowok itu
kembali dengan membawa beberapa camilan dan
minuman.

“Nonton drama aja, jangan keluar dari kamar. Ada


banyak temen kampusku di sini.”

“Kenapa? Aku baru sadar kalau selama ini kamu


nggak pernah izinin aku ikut ngumpul sama temen-temen
cowokmu kecuali Haikal, Sendy, Randu, terus Akbar.
Nggak pede, ya, ngenalin aku yang biasa-biasa aja ke
mereka?”
159 |Bonus Chapter
Aksa bertekukuk lutut di hadapan Angel yang
menunduk. Satu tangannya mendarat di pundak Angel,
mengusap-usap lembut di sana.

“Bukan gitu, Sayang. Kamu sempurna dan aku


yang banyak kekurangan ini justru sangat bangga bisa
milikkin kamu.”

“Terus kenapa nggak dibolehin? Mia aja sering


diajak ngumpul sama Akbar. Aku juga pengin.”

“Mereka termasuk aku, brengsek. Kamu tau itu,


kan? Aku nggak pernah tau isi kepala mereka. Aku
khawatir kalau mereka sampai jadiin kamu objek fantasi
liar mereka. Aku larang kamu gabung, bukan kayak yang
kamu pikirin, Sayang. Aku cuma pengin lindungi kamu.
Itu aja. Kamu paham, kan?”

Angel mengangguk. “Sekarang aku ngerti.


Makasih, ya.”

“Kamu nggak masalah, kan, kalau di sini? Kamu


boleh ngapain aja yang penting nyaman. Makanan sama

160 |Bonus Chapter


minuman udah aku siapin. Kalau mereka udah pulang aku
ke sini.”

“Kamu nggak ngambek, kan, kalau aku nonton


drama? Ntar kayak kemarin, aku maraton nonton kamunya
ngambek.”

“Yang penting jangan sampe lupa suami apalagi


puji-puji cowok lain di depan aku.”

“Iya udah sana gabung sama yang lain.”

“Ok. Nggak usah kangen,” goda Aksa. Sebelum


pergi, cowok itu menyempatkan untuk meninggalkan
kecupan di puncak kepala Angel.

***

Akbar sudah pulang setelah Mia merengek minta


pulang dengan alasan mengantuk. Dimas dan dua cowok
lainnya juga sudah pulang. Haikal, Sendy, dan Randu
sudah tidur nyenyak di sofa setelah kenyang makan
makanan yang dikirim Rivaldo. Tahu jika teman-teman
Aksa ngumpul di apartemen, Rivaldo mengirimkan
banyak makanan dan minuman tanpa diminta.
161 |Bonus Chapter
Aksa menguap lebar. Dia pun sudah sangat
mengantuk. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul
01.30. Cowok itu bangkit dan melangkah menuju
kamarnya. Di ranjang yang biasa dia tempati, Angel
ketiduran dengan posisi miring. Laptop masih dalam
keadaan menyala. Aksa mempercepat langkahnya. Hal
yang pertama dia lakukan adalah membereskan benda-
benda di ranjang.

“Temen-temenmu udah pulang?” tanya Angel


yang terbangun saat Aksa hendak membenarkan posisi
tidurnya. Padahal Aksa sudah berusaha sepelan mungkin.

“Udah. Kamu tidurnya yang bener,” titah Aksa


yang sudah menata bantal untuk menyamankaan tidur
Angel.

“Kalau aku tidur di sini kamu tidur di mana?”

“Di sofa itu, kayak biasa. Kamu nggak perlu takut.


Aku bisa jaga diri kok.” Aksa menunjuk sofa yang biasa
menjadi tempat tidurnya saat Angel tidur di ranjangnya.

162 |Bonus Chapter


Sebelum berbaring di sofa, Aksa menarik selimut
untuk membungkus tubuh Angel agar tidak kedinginan.
Kecupan pengantar tidur tidak mungkin dia lupakan.

“Bobok. Besok ngampus, kan?” ujar Aksa saat


Angel masih menatapnya. Dia sendiri sudah berbaring di
sofa menatap ke arah ranjang.

Kelopak mata Aksa menutup beberapa detik


setelah melihat Angel juga menutup kelopak matanya.
Belum sampai bertemu dengan mimpi tidur Aksa diusik
oleh seseorang yang menyusup ke dalam selimutnya.
Tanpa melihatnya, Aksa sudah tahu siapa penyusup itu.
Aroma rambut dan tubuh yang sangat dia kenali. Hanya
Angel yang memiliki aroma memabukkan itu.

“Kenapa malah sempit-sempitan di sini hm?”


gumam Aksa lalu memiringkan tubuhnya agar tempat
untuk Angel lebih luas. Kepala cewek itu diangkat agar
Aksa bisa memberikan lengannya sebagai bantal.

“Nggak bisa tidur lagi gara-gara dibangunin tadi.


Dingin juga,” balas Angel terdengar manja. Tubuhnya

163 |Bonus Chapter


merapat ke tubuh calon suaminya, mencari kehangatan di
sana.

“Sekarang udah mulai nakal. Coba kasih tau siapa


yang ajarin kamu kayak gini.”

“Aksa Keanu Januar anaknya Papa Sultan Rivaldo


Januar orang kaya. Emangnya siapa lagi kalau bukan dia?”

Gemas dengan jawaban Angel, Aksa mengeratkan


pelukannya di tubuh mungil cewek itu. “Jadi mau di sini
atau pindah ke ranjang?”

“Di sini aja kayaknya lebih enak.”

Aksa tertawa pelan. “Sekarang udah dewasa, ya?


Udah tau yang enak-enak.” Tawa Aksa diikuti tawa Angel.

“Kayaknya besok aku mau ngomong ke Papa buat


cepet-cepet nikahin kita. Udah kebelet banget akutuh.
Iman udah makin lemah. Bisa-bisa ini main trobos aja.
Greget banget pengin un-boxing.”

Angel tertawa lepas. Hanya beberapa detik karena


tawanya diredam oleh pagutan bibir Aksa yang begitu

164 |Bonus Chapter


lembut. Angel kira Aksa akan berhenti sampai di situ.
Nyatanya cowok itu memang tidak pernah merasa cukup.
Sekarang cowok itu sudah melabuhkan ciuman nakal di
lehernya

***

165 |Bonus Chapter


Special Chapter

166 |Bonus Chapter


“Romeo udah tidur?”

“Udah. Kamu lagi sibuk banget, ya? Biasanya


nggak pernah lupa sama acara sekolahnya Meo. Kenapa
tadi siang bisa kelupaan?”

Setelah menutup pintu kamar, Angel mengayunkan


kaki mendekati suaminya. Handuk kecil di tangan pria itu
diambil alih olehnya. Dia pun meminta suaminya yang
baru selesai mandi untuk duduk. Tangannya mulai bekerja
membantu mengeringkan rambut Aksa yang basah.

Di sela kegiatannya, wanita itu kembali bersuara,


“kalau emang sibuk sama kerjaan, seenggaknya kamu

167 |Bonus Chapter


bilang ke aku tadi pagi. Biar aku bisa kasih pengertian ke
Meo kalau Papanya ini lagi sibuk. Bukan malah janjiin
macem-macem. Tau sendiri gimana Meo kalau ada yang
nggak sesuai sama kemauan dia.”

Helaan napas Aksa terdengar berat. Pria itu tak


melepas tatapan dari wajah istrinya.

“Oke. Ini salahku, aku ngaku salah. HP-ku yang


kehabisan baterai nggak bisa jadi alasan kuat. Jujur aku
emang lupa sama acara di sekolah Romeo. Padahal tadi
pagi kamu udah ingetin soal itu. Suamimu ini emang
payah, Ngel. Aku minta maaf,” balas Aksa lalu
membanting tubuh lelahnya di ranjang begitu rambutnya
sudah selesai dikeringkan.

Saat melihat pergerakan istrinya hendak pergi, pria


dua puluh delapan tahun itu bergerak mendahului untuk
mencegah. Hanya dengan satu tarikan, tubuh istrinya yang
terbilang mungil jika bersanding dengannya, jatuh di sisi
kirinya. Untuk menjaga agar wanitanya tidak kabur, Aksa
melilitkan tangannya di pinggang.

168 |Bonus Chapter


Kelopak matanya menutup tatkala jemari lentik
istrinya mengusap kepalanya dengan gerakan lembut.
Aksa selalu suka dengan cara sederhana istrinya yang
selalu bisa memberi ketenangan untuknya. Hanya Angel
yang bisa melakukan itu untuknya.

Pria itu bergerak. Kepalanya dia tenggelamkan di


antara caruk leher jenjang istrinya. Mencium aroma favorit
yang menguar dari tubuh Angel, Aksa menarik napas
dalam-dalam. Lengan berototnya mengambil peran, melilit
tubuh Angel untuk menghapus jarak yang ada.

“Jadi, mau kasih tau aku tentang sesuatu?


Kesibukanmu akhir-akhir ini, mungkin. Ya ... walaupun
aku nggak bisa bantu apapun, seenggaknya aku bisa kasih
kamu semangat, kan?” ujar Angel dengan terus mengusap
rambut suaminya.

Suara Angel terdengar begitu lembut. Kelembutan


yang membuat Aksa merasa jatuh cinta setiap harinya.
Kelembutan yang selalu membuatnya merasa menjadi pria
yang paling beruntung dicintai malaikat sesempurna Angel.

169 |Bonus Chapter


Aksa menangkap tangan istrinya, membawa tangan itu
mendekat ke bibirnya. Kecupan sayang dia tinggalkan di
punggung tangan wanitanya.

“Capek. Tapi aku tau, apa yang aku rasain


sekarang ini nggak seberapa dibanding capeknya kamu
jagain anak kita yang emm ... kamu tau sendiri gimana
Romeo.”

“Kalem, katanya mirip banget papanya.”

Angel terkekeh geli mengingat putranya yang


persis sekali dengan Aksa. Tidak hanya paras yang nyaris
serupa, sifat putranya itu juga sama persis dengan
suaminya di masa kecil. Angel seperti melihat Aksa
terlahir kembali dengan versi yang sedikit lebih baik.
Tidak seangkuh dan semenyebalkan Aksa di zamannya.

Kebiasaan-kebiasaan putranya pun tidak jauh


berbeda dengan Aksa, terutama soal susu kotak. Bahkan
saat dulu dia mengandung Romeo, dia menjadi pecinta
susu kotak juga.

170 |Bonus Chapter


Aksa dan Romeo seperti kembar beda generasi.
Kalau bapak dan anak itu akur, mereka akan menikmati
susu kotak bersama dengan tenang. Tapi, beda cerita kalau
mereka sedang tidak akur. Perkara sepele seputar susu
kotak saja bisa menjadi petaka. Angel-lah yang selalu
dibuat pusing dengan tingkah bapak dan anak itu ketika
bermusuhan. Terlebih Aksa yang kerap kali tidak mau
mengalah dengan Romeo. Harus ada ancaman dulu
darinya, Aksa baru mau mengalah. Lalu, di kamar nanti
Aksa pasti menjadi sangat manja dan banyak maunya.

Aksa berbaring miring menatap istrinya, kepalanya


ditopang dengan satu tangan. Tangannya yang bebas,
memainkan rambut panjang milik Angel dengan gerakan
memilin-milin, sesekali dibawa ke hidung untuk dia
nikmati aroma segarnya.

“Ceritain kegiatan kalian hari ini, aku pengin


denger seberapa kalem kloninganku itu,” pintanya.

Pria itu sudah siap untuk menyimak cerita yang


memang selalu dinantikan setiap malamnya. Mendengar

171 |Bonus Chapter


dongeng tentang tingkah Romeo adalah kegiatan rutin
yang harus dia lakukan sebelum tidur. Kegiatan itu selalu
ampuh mengusir rasa penat yang dirasa. Kebersamaannya
dengan Romeo yang sangat terbatas membuatnya hanya
bisa mencari tahu soal tumbuh kembang Romeo lewat
istrinya.

“Mau dari mana dulu?”

“Emm, kalau ada adegan ngamuk ... boleh dimulai


dari situ. Ah ceritain semuanya aja. Aku nggak mau ada
yang kelewatan. Aku suka denger dongeng tentang
kekaleman Romeo, apalagi kalau kamu yang dongengin,”
balas Aksa begitu antusias.

“Sebenarnya kegiatan Romeo masih kayak biasa.


Cuma emang tadi ada tambahan ngamuk sebentar gara-
gara kamu nggak dateng ke acara pentas seninya.”

“Apa yang Romeo lakuin? Nggak ada korban, kan?”


tanya Aksa dengan nada geli. Wajah cemberut bocah
dengan pipi berisi memenuhi isi kepalanya dan itu sangat
menggemaskan. Ah, andaikan saat Romeo ngamuk, Aksa

172 |Bonus Chapter


ada di situ. Pasti pipi gembul Romeo sudah menjadi
sasaran cubitannya. Hanya dengan membayangkannya
saja Aksa gemas sendiri.

“Romeo nggak mau tampil dan minta pulang.


Nggak sampe di situ, di rumah pun marah-marah terus.
Fotomu aja dimarahin. Apapun yang orang lain lakuin,
salah di matanya.”

“Termasuk kamu? Apa Romeo marahin kamu hm?


Atau main pukul? Bilang sama aku kalau Romeo berani
ngelakuin itu ke kamu. Biar aku sendiri yang ngasih
pelajaran ke dia.”

“Kamu kenal baik sama Romeo, kan? Kamu


sendiri yang ngajarin dia gimana buat bersikap sama aku.
Persis papanya, Romeo nggak mungkin marah apalagi
sampai mukul. Itu bukan Romeo kita.”

Aksa tersenyum puas dengan jawaban Angel. Dia


pikir Romeo melupakan apa yang dia tekankan pada anak
itu untuk tidak melukai ibunya. “Terus gimana cara kalian
buat balikin suasana hati Romeo?”

173 |Bonus Chapter


Angel tersenyum. “Emang ada cara lain selain susu
kotak? Waktu Romeo ngambek, aku biarin dia gitu aja.
Biar dia lepasin emosinya. Dan mungkin karena capek, dia
tiba-tiba meluk aku dan bisik-bisik gini. Mama, Meo mau
susu kotak.”

Tawa Aksa mengudara. Romeo Betara Januar


memang titisannya. “Biar aku tebak. Setelah minum susu
kotak pasti bocah itu langsung pecicilan. Nggak mungkin
kalem. Iya, kan?”

“Kamu banget, kan? Tapi, Romeo bilang ke aku


supaya ngingetin dia kalau lagi marah sama kamu. Satu
lagi, Romeo butuh permintaan maafmu.”

“Aku udah siapin banyak mainan dan susu kotak


buat jaga-jaga kalau anak itu mau mempersulit maafku,”
pungkasnya disusul senyum misterius.

Angel berdecak sebal. Wanita itu sangat tidak


setuju dengan plan B yang suaminya siapkan. Dia tidak
ingin putranya memiliki kepribadian yang kurang baik jika
diperlakukan seperti itu. Walaupun Angel belum menjadi

174 |Bonus Chapter


orang baik, tapi sebagai seorang ibu dia ingin mendidik
anaknya sebaik mungkin.

“Jangan ajarin anakku nggak bener. Nanti


kebiasaan apa-apa gitu.”

“Anak kita, Sayang. Kita atraksi bareng kalau


kamu lupa,” koreksi Aksa.

“Pokoknya aku nggak mau Romeo kayak kamu


pas kecil. Nggak papa masih ngedot atau maniak susu
kotak. Yang penting jangan songong. Nggak ada sogokan
dalam bentuk apapun kalau Romeo marah.”

“Padahal seru banget kalau Romeo bisa kayak aku.


Penasaran akutuh sama kesongongannya. Mana tau bisa
battle.”

Angel mengerucutkan bibirnya. Hal yang Aksa


anggap sebagai isyarat meminta kecupan. Pria itu pun
mendekatkan bibirnya, meninggalkan kecupan seringan
bulu di bibir istrinya.

175 |Bonus Chapter


“Nggak boleh! Aku nggak mau waras sendirian.
Kamu aja kalau lagi kumat, masih ngeselin. Padahal udah
tua juga. Nggak malu sama anak.”

“Iya deh. Lanjutin dongengnya. Aku masih pengin


denger banyak hal tentang Romeo.”

“Udah selesai. Susu kotak selalu jadi happy ending


buat Romeo, buat kamu juga.”

“Aku kangen,” bisik Aksa.

Tentu saja Angel sudah sangat paham dengan


maksud terselubung dari kata kangen itu. Bohong jika dia
tidak menginginkan suaminya yang memperlakukannya
dengan begitu lembut. “Pintunya dikunci dulu, takutnya
Romeo bangun terus nyariin aku.”

***

Pagi-pagi sekali, setelah diusir oleh istrinya dari


dapur karena dianggap pengganggu, Aksa melangkah
menuju kamar putranya. Pria itu tersenyum melihat putra
semata wayangnya masih tertidur nyenyak sembari

176 |Bonus Chapter


memeluk guling. Dia duduk di tepi ranjang. Kecupan
sayang dia tinggalkan di kening Romeo.

Benar kata orang-orang. Paras Romeo sangat mirip


dengannya di masa kecil. Mulai dari hidung, bibir, rahang,
dan terutama mata. Cara Romeo tersenyum dan berbicara,
juga sama dengannya. Semua yang ada pada Romeo,
selalu mengingatkannya pada masa kecil. Sepertinya
Angel tidak mewariskan apapun untuk fisik Romeo.

Dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak


membangunkan jagoannya, Aksa berbaring di samping
anak itu. Tubuh besarnya menyusup masuk ke selimut
yang membungkus tubuh Romeo. Kepala anak itu pun
dipindahkan ke lengannya. Aksa terdiam saat Romeo
bergerak mulai terusik. Masih dengan kelopak mata yang
tertutup, Romeo memeluk tubuhnya.

“Papa jahat banget, ya, sama Meo? Padahal Papa


udah janji mau nonton Meo nyanyi kemarin. Maafin Papa,
ya,.” Setelah mengatakan itu, Aksa kembali meninggalkan

177 |Bonus Chapter


kecupan. Kali ini di pipi. Hingga akhirnya pria itu kembali
terlelap dengan terus memeluk Romeo.

***

Angel menggelengkan kepala begitu memasuki


kamar Romeo. Sudah pukul delapan lebih tapi bapak dan
anak itu masih bergelung di bawah selimut. Sekarang
memang hari libur, tapi bukan berarti mereka boleh
bermalas-malasan dan bangun sesuka sendiri, kan?

Hal pertama yang Angel lakukan adalah membuka


tirai hingga cahaya matahari menerobos masuk mengusik
tidur suami dan putranya. Tapi ternyata itu belum bisa
membangunkan mereka. Baik Aksa maupun Romeo hanya
bergerak untuk mengubah posisi tidurnya.

“Udah siang loh. Papa sama Meo nggak mau


bangun? Ayo bangun! Mama udah siapin sarapan buat
kalian.”

Aksa lah yang pertama kali membuka kelopak


matanya. Pria itu melempar senyum pada istrinya yang
berdiri tidak jauh dari ranjang Romeo. “Maaf, ketiduran,”
178 |Bonus Chapter
akunya lalu beralih ke Romeo. Pundak kecil anak itu
diguncang pelan olehnya agar anak itu bangun.

“Papa?”

Jelas sekali jika Romeo terkejut saat membuka


kelopak mata, wajah ayahnya lah yang menyambut.
Tentunya dia tidak lupa tentang kemarahannya pada pria
itu.

“Meo marah sama Papa. Papa jauh-jauh,” tandas


anak itu lalu membentangkan jarak. Dia bergerak ke tepi
ranjang.

“Tapi tadi Meo peluk-peluk Papa pas bobok.


Berarti Meo nggak marah dong sama Papa. Kan kalau
marah nggak peluk.”

“Bohong! Meo nggak peluk Papa!” elak anak itu.

“Coba tanya Mama. Mama tadi liat kok pas Meo


peluk-peluk Papa.”

Romeo pun menoleh ke arah ibunya. “Mama, Meo


nggak peluk Papa, kan? Meo, kan, marah sama Papa.”

179 |Bonus Chapter


“Tapi tadi Meo emang peluk-peluk Papa. Mama
liat kok,” jawab Angel membuat Romeo mengerucutkan
bibir karena jawaban seperti itu bukan jawaban yang anak
itu harapkan.

“Tuh, kan, Mama aja liat. Emang tadi Meo peluk


Papa pas bobok. Berarti Meo nggak boleh marah lagi.”

Romeo pun bangkit dan meraih guling. Dengan


benda itu, dia memukul perut ayahnya. “Papa juga kenapa
ada di kamarnya Meo? Ceritanya, kan, Meo lagi marah
sama Papa. Masa Papa di sini.”

Tawa Aksa mengudara. Pria itu duduk bersandar di


kepala ranjang lalu meraih lengan kecil putranya. Pelan-
pelan dia membawa Romeo mendekatinya hingga kini
anak itu duduk di atas pangkuannya. “Meo marah sama
Papa gara-gara kemarin, ya?”

Romeo mengangguk cepat. “Papa udah janji mau


dateng. Tapi Papa bohong. Meo nggak suka dibohongi.
Meo sama Mama aja nggak pernah bohong sama Papa.

180 |Bonus Chapter


Tapi Papa bohongin Meo. Mama bilang berbohong itu
nggak boleh.”

“Kalau Papa minta maaf, Meo mau maafin Papa


nggak? Papa tuh kemarin banyak banget kerjaan. Mama-
nya Meo pernah bilang, kan, kalau Papa kerja itu buat
Meo sama Mama. Badan Papa aja sampai pegel-pegel,
nyeri. Sampai malem juga belum selesai. Kerja dari pagi,
capek banget. Mana pas Pulang, Mama ngasih tau Papa
kalau Meo marah. Papa jadi sedih.”

Aksa sengaja melebih-lebihkan keadaan agar


membuat Romeo kasihan padanya. Sejauh ini rasa kasihan
selalu membawa perdamaian untuknya dan Romeo.
Terlebih, anak itu memang tidak tegaan, persis seperti
ibunya.

“Apa Papa nggak bohong, Ma?” tanya Romeo


pada Angel untuk memastikan kebenarannya.

“Nggak, Sayang. Pas Papa pulang, Meo udah tidur.


Jadi, nggak tau,” sahut Angel.

181 |Bonus Chapter


Melihat perubahan raut wajah Romeo, Aksa
optimis jika dia akan mendapatkan kata maaf dari
putranya.

“Mana yang pegel-pegel, Pa? Biar Meo yang pijit-


pijit. Kemarin aja Meo pijit kakinya Mama. Kata Mama
pijitan Meo bikin kaki Mama sembuh, nggak sakit lagi.”

Aksa tersenyum puas. Kalimat Romeo barusan


sudah menjelaskan jika Romeo menerima permintaan
maafnya. Masih mempertahankan aktingnya, Aksa
menyentuh lengan atasnya. “Oh iya? Meo hebat banget
dong bisa sembuhin Mama. Papa mau disembuhin juga
sama Meo. Yang ini paling pegel-pegel.”

Romeo merangkak di ranjang mendekati Aksa.


Anak itu duduk di sebelah ayahnya lalu memijat bagian
yang katanya paling sakit.

“Mama bantuin pijit tangan Papa yang satunya, ya?


Terus nanti kita sarapan,” ujar Angel lalu mengisi sisi
kanan Aksa yang kosong. Meniru apa yang putranya
lakukan, perempuan itu mulai memijat lengan suaminya.

182 |Bonus Chapter


“Tangannya Papa kayak batu, keras,” komentar
Romeo.

***

“Cuma segitu, Pa? Pelit banget sama cucu sendiri,


katanya orang kaya. Jangan-jangan cuma ngaku-ngaku
kaya,” ejek Aksa dengan nada geli bermaksud bercanda
pada ayahnya yang baru saja sampai di rumahnya. Pria itu
menatap beberapa kardus yang baru saja diturunkan dari
mobil Rivaldo. Kardus-kardus itu pun dibawa masuk oleh
sopir. Tanpa membukanya, Aksa sudah tahu isinya. Apa
lagi kalau bukan mainan untuk Romeo?

“Aturan tuh beli sama tokonya, Pa. Malu sama


titel,” sambung Aksa. Empat kardus mainan pasti
nominalnya terlalu kecil untuk seorang Sultan Rivaldo
Januar.

“Sama-sama,” cibir Rivaldo pada tunggal putranya.


Alih-alih mengucapkan terima kasih padanya, tunggal
putranya itu malah mengejeknya. Aksa Keanu Januar
memang masih menjadi juara satu dalam urusan

183 |Bonus Chapter


membuatnya jengkel. Kelakuan tunggal putranya itu tidak
berubah meskipun sudah memiliki anak. Masih ceplas-
ceplos dan memancing keributan dengannya.

“Cuma segitu, jadi nggak perlu makasih. Beda lagi


kalau Papa ke sini bawa sertifikat tanah atau rumah buat
Romeo. Pasti aku bilang makasih, pake toa kalau perlu
biar sekomplek denger semua.”

“Akhlakmu di mana, Sa?”

Melihat cucu pertamanya muncul digandeng


menantunya, Rivaldo tersenyum hangat menyambut
duplikat Aksa. Pria itu bertekuk lutut seraya merentangkan
kedua tangan meminta sebuah pelukan. Beberapa detik
kemudian, Romeo menghambur ke dalam pelukannya.
Sangat merindukan cucunya, Rivaldo pun menghujani pipi
anak itu dengan kecupan sayang.

Shilla yang tidak mau kalah dengan suaminya pun


meminta gantian. Kini Romeo yang manis dan
menggemaskan berada dalam pelukannya. “Meo apa kabar?
Kok nggak main ke tempat Oma sama Opa?”

184 |Bonus Chapter


“Meo baik. Papanya Meo sibuk. Kemarin aja lupa
dateng ke sekolah Meo. Padahal Meo mau tampil nyanyi.
Gara-gara Papa nggak dateng, Meo nggak jadi nyanyi.”

Rivaldo yang mendengar aduan dari cucu


kesayangannya langsung melirik sinis ke arah Aksa yang
begitu payah. Bisa-bisanya Aksa mengecewakan Romeo.

“Meo mau konser tunggal? Nanti biar Opa yang


siapin semuanya. Papanya Meo payah.”

“Papa!” protes Aksa.

“Ya emang kenyataannya kamu payah, kan?”

Saat Aksa hendak membalas perkataan Rivaldo,


Angel sudah terlebih dahulu mencubit lengannya,
memberi isyarat padanya untuk diam. Sebagai bucinnya
Angel garis keras, Aksa tentu saja patuh.

“Meo nggak mau konser. Meo mau main bola. Ayo,


kita main bola!” ajak Romeo bersemangat.

“Lapangan di rumah Meo sempit, apa nggak mau


main bola di lapangan Opa yang jauh lebih luas?”

185 |Bonus Chapter


“Main di lapangan rumah Meo aja. Ayo!”

“Hati-hati, Pa. Takutnya encok,” ledek Aksa saat


Rivaldo ditarik paksa oleh Romeo untuk bermain bola.

“Aksa sama Papa kalau ketemu nggak bisa, ya,


kalau nggak ribut,” komentar Shilla seraya duduk bersama
menantunya.

“Papa auranya ngajak ribut terus, Ma. Aksa cuma


ladenin aja.”

“Angel sabar, kan, ngadepin Aksa?” tanya Shilla


pada menantunya.

“Kalau sama Angel beda cerita lagi, Ma.


Penginnya ngajak berantem terus di kamar terus. Biar
Romeo ada temen mainnya kalau mama papanya sibuk
ngurus proyek.” Bukan Angel yang menjawab melainkan
Aksa.

Shilla geleng-geleng kepala. “Bener-bener


keturunan Papa.”

186 |Bonus Chapter


“Ini kutu kupret nggak ada yang ikut, Ma? Mulut
gatel padahal, pengin bully beban keluarga.”

Kutu kupret yang dimaksud Aksa adalah ketiga


adiknya; Erlan, Ethan, dan Kia. Trio biang onar.

Baru juga disinggung, suara bising motor membuat


Aksa dan yang lainnya menoleh. Bagaimana Aksa tidak
menghujat adik-adiknya jika kelakuan mereka selalu
merangsang hujatannya agar mau keluar. Kia si bar-bar
yang duduk diboncengan motor Erlan, sudah berteriak
heboh sejak melewati gerbang. Aksa curiga jika setiap
malam adik bungsunya ngemil toa sehingga suaranya
sekeras itu.

“Jangan mulai,” peringat Angel pada suaminya.

“Kok baru nyampe? Bukannya tadi berangkat


duluan?” tanya Shilla pada ketiga anaknya yang
mengantre mencium punggung tangannya.

“Gara-gara Kia, Ma. Sepatunya nggak sengaja


keinjek Ethan, minta diganti yang baru. Jadi, kita mampir
dulu,” sahut Erlan.
187 |Bonus Chapter
Kia nyengir lebar saat Shilla menatapnya. “Cuma
beli yang empat jutaan kok, Ma. Mau beli yang mahal,
Kak Ethan nggak bolehin.”

Shilla tidak bisa berkata-kata lagi. Di antara


keempat anaknya, memang Kia lah yang paling boros.
Didukung penuh oleh Rivaldo ditambah ketiga kakaknya
membuat uang tidak ada harganya lagi untuk Kia.

“Kak Angel, Meo mana? Mau Kia ajak gibah. Kia


mau bongkar semua kelakuan jelek Kak Aksa, biar Meo
tau kelakuan bapaknya.”

“Bocil! Jangan macem-macem kamu!”

Kia menjulurkan lidahnya lalu berlari ke arah


keponakannya yang sedang bermain bola. “Meo! Ayo kita
gibahin Papanya Meo!” teriak Kia. Aksa yang tidak
tinggal diam langsung berlari cepat agar bisa
mengamankan Romeo sebelum terkontaminasi hal-hal
buruk dari Kia.

“Meo sama Papa aja, ya? Jangan deket-deket Tante


Kia, nanti Meo digigit. Sekarang Meo mau main apa? Biar
188 |Bonus Chapter
Papa temenin,” ujar Aksa begitu berhasil meraih Romeo
ke dalam gendongannya. Beruntung dia tidak terlambat.
Bisa hancur pencitraannya selama ini di depan Romeo jika
mulut gacor Kia membeberkan kelakuannya di masa
remaja.

“Meo mau main bola, Pa.”

“Takut banget kalau Kia sama Meo. Takut


kebongkar, ya?” cibir Rivaldo lalu tersenyum mengejek
seperti yang Kia lakukan. Bapak dan anak itu memang
selalu kompak. Terlebih dalam urusan yang melibatkan
kekayaan.

Tidak menggubris ucapan ayahnya, Aksa


menurunkan Romeo dan meminta anak itu untuk
menendang bola dan melanjutkan permainan tadi. Selama
itu juga Aksa berusaha untuk tidak terlalu jauh dengan
Romeo untuk memastikan ayah dan adiknya tidak berkata
macam-macam pada putranya.

***

189 |Bonus Chapter


“Apa nggak sebaiknya kita susul Romeo ke rumah
Papa?”

“Nanti kalau Romeo rewel gimana?”

“Nanti kalau Romeo nggak bisa tidur gimana?”

“Nanti kalau Romeo nangis gimana?”

“Nanti kalau—”

Aksa membungkam bibir istrinya dengan


menempelkan jari telunjuk di bibir perempuan itu. Dia
tahu, Angel pasti sangat mengkhawatirkan Romeo karena
menginap di rumah Rivaldo. Biasanya saat Romeo
menginap, Angel maupun dirinya pasti juga ikut menginap
di sana. Tapi, kali ini hanya Romeo yang menginap di
sana.

“Romeo baik-baik aja, kamu nggak perlu


sekhawatir itu. Papa sama Mama jagain Romeo dengan
baik.”

“Iya. Aku juga yakin Romeo dijaga baik-baik di


sana. Tapi, bukan itu yang aku khawatirin. Aku takut

190 |Bonus Chapter


Romeo bertingkah. Kasihan Papa sama Mama kalau
Romeo banyak tingkah.”

Kepala Angel dielus pelan lalu Aksa meninggalkan


beberapa kecupan di sana. “Papa sama Mama udah handal
ngurus bocah nakal. Ngurus aku, Ethan, Erlan, sama Kia
aja mereka sanggup. Kalau cuma ngurus Romeo, aku pikir
itu bukan masalah.”

“Beneran, aku nggak enak kalau Romeo banyak


ulah.”

Kali ini kecupan Aksa mendarat di hidung Angel,


turun perlahan hingga berhasil menggapai bibir
perempuan itu. Dicecapnya bibir manis itu dengan penuh
hasrat. Sepert biasa, Aksa mencium istrinya dengan
menggebu-gebu membuat Angel nyaris kehabisan napas.

Dengan remasan kuat di pundak Aksa, Angel


memberi tahu pria itu jika pasokan oksigennya sudah
sangat menipis. Aksa menyunggingkan senyum dan
mengakhiri ciumannya.

191 |Bonus Chapter


“Mumpung nggak ada Romeo. Yuk!” ajak Aksa
setelah melabuhkan ciuman nakal yang meninggalkan
jejak di leher Angel.

Angel memukul keras dada suaminya. “Nggak


mau.”

“Nggak mau?” beo Aksa.

“Masih kepikiran Romeo. Susul aja ke sana, yuk!


Biar kalau ada apa-apa sama Romeo, kita yang urus.
Kasihan loh papa sama Mama.”

Helaan napas Aksa terdengar. “Akutuh nggak bisa


nolak kemauan kamu dari dulu. Iya udah kita ke rumah
Papa sekarang. Nggak tega akutuh liat kamu gelisah dari
tadi.”

“Makasih.”

“Makasih doang nggak cukup, kamu tau itu, kan?”

Tahu apa yang suaminya inginkan darinya, Angel


melingkarkan lengannya di leher Aksa, kemudian
mencium bibir pria itu.

192 |Bonus Chapter


***

“Aku bilang apa? Romeo pasti baik-baik aja.


Mama sama papa pasti tau gimana cara ngadepin Romeo.
Kamu bisa liat sendiri, kan?” ujar Aksa yang berdiri di sisi
kiri istrinya.

Angel mengangguk. Akhirnya dia bisa bernapas


lega saat melihat Romeo aktif bermain dengan mainan-
mainan barunya. Memang seharusnya dia tidak perlu
khawatir terlalu berlebihan pada Romeo.

“Mama sama Papa kok ke sini?” tanya Romeo


dengan nada tidak suka saat menyadari keberadaan
orangtuanya. Anak itu meletakkan mainannya di lantai
sebelum akhirnya berlari mendekati Angel.

“Mama pulang aja sana! Mama berduaan aja sama


papa. Meo mau di sini sama Opa, sama Oma juga.”

“Meo usir Mama?”

“Iya. Mama di rumah aja sama Papa. Biar Romeo


cepet punya adik. Meo pengin punya adik, Mama. Kasih
Meo dedek bayi.”
193 |Bonus Chapter
Mendengar ucapan Romeo, refleks Angel melirik
penuh selidik pada suaminya. Mendadak dia mencurigai
jika pria itulah yang meracuni pemikiran polos putranya.
“Bukan aku, aku nggak ngomong apa-apa sama
Meo, Sayang.”

“Kalau bukan kamu, siapa lagi?”

Aksa menatap ke arah Rivaldo yang duduk di sofa,


pura-pura sangat sibuk dengan ponselnya. “Papaaaa,”
erang Aksa.

“Papa mau tidur dulu, ya. Ngantuk banget. Kalian


nginep aja di sini.”

“Papa kebiasaan, kalau mau dihujat pasti kabur.


Papa tanggung jawab dong! Balikin otak polosnya
Romeo!”

Rivaldo hanya menguap lebar lalu buru-buru kabur


menghindari amukan tunggal putranya.

***

194 |Bonus Chapter

Anda mungkin juga menyukai