Anda di halaman 1dari 21

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN

DAN HIPOTESIS

2.1 Konsep Rumah Tangga dan Kebutuhan Dasar

Rumah tangga secara garis besar dikelompokkan menjadi dua, yaitu rumah

tangga biasa dan rumah tangga khusus (BPS, 2013). Rumah tangga biasa adalah

seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan

fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Yang

dimaksud dengan satu dapur adalah bahwa pembiayaan keperluan juga

pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama. Rumah

tangga khusus adalah sekelompok orang yang tinggal di asrama atau tempat

tinggal yang pengurusan sehari-harinya diatur oleh yayasan atau badan,

misalnya asrama mahasiswa, lembaga pemasyarakatan, orang-orang yang

berjumlah lebih dari 10 orang yang kos dengan makan dan lain sebagainya.

Sementara keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal

dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah

karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Keluarga dapat dibagi

menjadi 2 tipe yaitu: keluarga inti (Nuclear family), yaitu keluarga yang terdiri

dari ayah, ibu dan anak-anak kandung, anak angkat maupun adopsi yang belum

kawin, atau ayah dengan anak-anak yang belum kawin atau ibu dengan anak-anak

yang belum kawin, dan keluarga luas (extended family), yaitu keluarga yang

terdiri dari ayah, ibu anak-anak baik yang sudah kawin atau belum, cucu, orang
tua, mertua maupun kerabat-kerabat lain yang menjadi tanggungan kepala

keluarga.

Istilah rumah tangga dan keluarga sering digunakan dalam kehidupan

sehari-hari. Pengertian rumah tangga lebih mengacu pada sisi ekonomi,

sedangkan keluarga lebih mengacu pada hubungan kekerabatan, fungsi sosial

dan lain

sebagainya (BPS 2013). Penelitian ini memfokuskan pada kebutuhan dasar rumah

tangga khususnya pangan, yaitu rumah tangga biasa, mengingat yang menjadi

perhatian lebih kepada aspek ekonomi.

Rumah tangga juga dapat diukur kelayakan atau standar hidupnya

berdasarkan kemampuan konsumsinya. Ketidakmampuan rumah tangga untuk

memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,

pendidikan, dan kesehatan akan mengantarkan pada kemiskinan. Oleh karena itu

standar hidup layak sering dihubungkan dengan perkiraan kebutuhan dasar yang

paling minimum sebagai indikatornya.

BPS (2005) membagi konsumsi/pengeluaran menjadi dua kelompok, yaitu

konsumsi/pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Tingkat kebutuhan

permintaan terhadap kedua kelompok pengeluaran tersebut pada dasarnya

berbeda. Dalam kondisi pendapatan terbatas, konsumen akan mendahulukan

pemenuhan kebutuhan makanan, sehingga pada kelompok masyarakat

berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya

digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan

maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi

pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan


yang dibelanjakan untuk bukan makanan (BPS 2005). Pengeluaran rumah tangga

berdasarkan kategori makanan dan bukan makanan dapat dilihat pada Tabel II-1.

Tabel II-1 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Penduduk Indonesia

Kategori Pengeluaran Rumah Tangga


Pangan Non Pangan
1 Padi padian 1 Perumahan
2 Umbi umbian 2 Aneka barang dan jasa
3 Ikan 3 Biaya Pendidikan
4 Daging 4 Biaya Kesehatan
5 Telur dan Susu 5 Pakaian
6 Sayur sayuran 6 Barang tahan lama
7 Kacang-kacangan 7 Pajak dan Asuransi
8 Buah buahan 8 Keperluan Pesta
9 Minyak dan Lemak
10 Bahan Minuman
11 Bumbu-bumbuan
12 Konsumsi lainnya
13 Makanan dan Minuman
14 Minuman alkohol
15 Tembakau dan sirih
Sumber: BPS, 2005

Dalam penelitian ini yang menjadi fokus perhatian adalah pada kebutuhan

dasar rumah tangga berupa pangan. Sebagai kebutuhan rumah tangga paling

mendasar, ketersediaan komoditas pangan sebagai sumber energi baik yang

bersumber dari pangan hewani maupun nabati, perlu dijaga konsistensinya agar

tetap dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Di Provinsi Jawa Barat,

perkembangan ketersediaan energi dan protein selama tahun 2009 – 2013 dapat

dilihat pada grafik di bawah ini.


Sumber: Badan Ketahanan Pangan, 2014

Gambar II-1 Tingkat Ketersediaan Energi dan Protein di Jawa Barat Tahun
2009 - 2013

Dari ketersediaan energi tersebut ternyata rata-rata konsumsi energi

penduduk di Jawa Barat, cenderung mengalami penurunan (Gambar II-2), bahkan

pada tahun 2012 berada pada posisi paling rendah. Hal ini sesuai dengan data

sebelumnya bahwa jumlah penduduk sangat rawan pangan berada pada jumlah

tertinggi di Jawa Barat pada tahun tersebut.

Sumber: Badan Ketahanan Pangan Daerah Prov. Jabar, 2014

Gambar II-2 Konsumsi Energi Penduduk Jawa Barat, Tahun 2008 - 2012
2.2 Tinjauan tentang Kerawanan Pangan Rumah Tangga

Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang

dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu

untukmemenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan

masyarakat(Dewan Ketahanan Pangan, 2010). Sementara menurut Saliemet al.

(2002) dalam Ariningsih dan Rachman (2008) kerawanan pangan di tingkat

wilayahmaupun tingkat rumah tangga/individu merupakan kondisi tidak

tercapainyaketahanan pangan di tingkat wilayah maupun rumah tangga/individu.

Oleh karenaitu, membahas kerawanan pangan tidak terlepas dari konsep

ketahanan pangan.Ketahanan pangan merupakan terjemahan darifood security,

secara luas diartikansebagai terjaminnya akses pangan bagi setiap individu untuk

memenuhi kebutuhanpangannya agar dapat hidup sehat dan beraktivitas

Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang pada waktu-waktu

tertentu (kronis) dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana

alam maupun bencana sosial (transien). Menurut Dewan Ketahanan Pangan

(2010), kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang atau

yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini

biasanya terkait dengan faktor strukural, yang tidak dapat berubah dengan cepat,

seperti iklim setempat, jenis tanah,sistem pemerintah daerah, kepemilikan lahan,

hubungan antar etnis, tingkat pendidikan.

Kerawanan pangan sementara (transitory food insecurity) adalah

ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan

pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang
berubah dengan cepat seperti penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian,

berubahnya fungsi pasar, tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk

(migrasi). Kerawanan pangan sementara yang terjadi secara terus menerus dapat

menyebabkan menurunnya kualitas penghidupan rumah tangga, menurunnya daya

tahan, dan bahkan bisa berubah menjadi kerawanan pangan kronis.

Menurut Pratiwi et al. (2013), jika kondisi kerawanan pangan pada rumah

tangga tidak segera diatasi, dapat memunculkan kondisi yang lebih buruk yaitu

munculnya penyakit kekurangan energi dan protein (KEP) yang biasa diderita

balita, anak yang sedang tumbuh dan ibu hamil. Hal tersebut tentu menyebabkan

tumbuh kembang anak-anak generasi penerus bangsa menjadi terganggu. Kondisi

ini menimbulkan dampak jangka panjang, yaitu menjadi rendahnya kualitas

sumber daya manusia. Selain itu, kerawanan pangan yang terjadi dapat

menimbulkan gangguan fungsional lain seperti menurunnya produktivitas kerja,

naiknya frekuensi terkena penyakit infeksi dan lebih parah yaitu meningkatnya

angka kesakitan dan kematian.

2.3 Indikator Rawan Pangan Rumah Tangga

Pada level mikro atau rumah tangga, kerawanan pangan dapat diukur

dengan berbagai pendekatan. Menurut Smith dan Subandoro (2007), FAO pada

World Food Summit (1996) merumuskan keamanan pangan dicapai ketika semua

orang pada setiap waktu memiliki akses fisik dan ekonomi untuk memenuhi

kebutuhan makanan yang cukup dan bergizi mereka dan menunjang kehidupan

yang aktif dan sehat. Indikator ketahanan/kerawanan pangan seperti ditunjukkan

pada Tabel berikut.


Tabel II-2. Indikator Ketahanan/Kerawanan Pangan Rumah Tangga

INDIKATOR UKURAN TINGKAT RUMAH TANGGA


Kuantitas Kalori
Konsumsi kalori makanan Kalori dalam makanan yang diperoleh oleh
harian per kapita rumah tangga selama periode tertentu dibagi
dengan jumlah anggota rumah tangga dan jumlah
hari pada periode tersebut
Persentase rumah tangga Apakah rumah tangga memperoleh makanan
atau orang-orang yang cukup selama periode tertentu untuk memenuhi
kekurangan kalori makanan kebutuhan energi dari semua anggotanya untuk
fungsi metabolisme dan aktivitas ringan.
Kualitas Kalori
Keragaman kalori Jumlah makanan atau nutrisi dari sejumlah
kelompok makanan yang berbeda yang diperoleh
oleh rumah tangga selama periode tertentu
Persentase kalori makanan Persentase kalori yang diperoleh oleh rumah
dari bahan makanan pokok tangga selama periode tertentu yang berasal dari
makanan pokok (sereal, umbi-umbian)
Kuantitas makanan yang Jumlah makanan tertentu yang diperoleh selama
dikonsumsi sehari-hari per periode tertentu dibagi dengan jumlah anggota
kapita rumah tangga dan jumlah hari pada periode
tersebut.
Kerentanan Ekonomi
Persentase pengeluaran Persentase dari total pengeluaran rumah tangga
pangan untuk makanan selama periode tertentu
Sumber : Smith dan Subandoro (2007)

Pada tabel di atas, terdapat indikator untuk kelompok populasi dan ukuran

yang terkait di tingkat rumah tangga. Indikator pertama, yaitu kuantitas

kalori,berkaitan erat dengan akses masyarakat terhadap makanan yang merupakan

komponen fundamental dari definisi ketahanan pangan. Energi dalam bentuk

kalori dari makanan merupakan nutrisi yang paling penting untuk menunjang

kelangsungan hidup, aktivitas fisik, dan kesehatan masyarakat. Rumah tangga

adalah unit di mana orang-orang umumnya mengakses makanan. Indikator ini

juga berkaitan dengan jumlah dan kecukupan energi/kalori dalam makanan yang
tersedia untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga yang merupakan indikasi yang

jelas dari kemampuan mereka untuk mengakses pangan yang cukup.

Indikator kedua, yaitu kualitas kalori, juga dapat digunakan untuk

mengukur kemampuan rumah tangga mencapai ketahanan pangan. Hal ini sangat

penting bagi anggota rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan energi dan hidup

secara sehat dan aktif melalui pemenuhan nutrisi, khususnya protein dan

mikronutrien seperti zat besi, vitamin A, dan yodium (Welch (2004) dalam Smith

dan Subandoro (2007)). Kualitas nutrisi yang tidak memadai telah menjadi

persoalan makanan utama yang dihadapi masyarakat miskin di seluruh dunia

(Ruel et al (2003); Graham, Welch, dan Bouis (2004) dalam Smith dan Subandoro

(2007)). Inilah yang mendasari indikator kualitas gizi dari makanan yang

dikonsumsi masyarakat dimasukkan dalam analisis ketahanan pangan.

Indikator ketahanan pangan terakhir adalah persentase dari total

pengeluaran rumah tangga untuk makanan, yaitu indikator kerentanan ekonomi.

Rumah tangga yang menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka pada

makanan sangat rentan terhadap kekurangan makanan karena jika mereka

mengalami penurunan pendapatan, kemungkinan besar akan disertai dengan

pengurangan konsumsi makanan atau kualitas makanan yang dikonsumsi.

Dalam penelitian ini indikator ketahanan/kerawanan pangan diambil dari

indikator jumlah kalori per kapita per hari yang diukur berdasarkan Angka

Kecukupan Gizi (AKG). Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat

kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi, yang dihitung berdasarkan

besarnya kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan
protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi

dengan besarnya kandungan kalori dan protein setiap jenis makanan, kemudian

hasilnya dijumlahkan(BPS 2012).

Angka kecukupan konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia

berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan

patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-

masing 2.000 kkal dan 52 gram protein(BPS 2012). Badan Ketahanan Pangan

Kementerian Pertanian (2014) dalam laporan Statistik Ketahanan Pangan Tahun

2013 disebutkan bahwa penduduk sangat rawan pangan jika konsumsi energi

lebih rendah dari 70% AKG atau hanya mengkonsumsi energi sebesar 1.400 kkal

per kapita per hari, dan yang termasuk penduduk rawan pangan yaitu ketika

konsumsi energi kurang dari 90% AKG atau 1.800 kkal per kapita per hari.

Indikator lain yang dapat digunakan untuk menilai kerawanan pangan

adalah dari kerentanan ekonomi yang diukur dengan besarnya persentase

pengeluaran rumah tangga untuk makanan. Proporsi antara pengeluaran pangan

dan bukan pangan sering digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat

kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga (Ariani dan Purwantini 2005;

Rachman dan Supriyati 2004). Proporsi pengeluaran pangan rumah tangga

merupakan ukuran yang terbukti secara empiris memiliki hubungan yang sangat

erat dengan kerawanan pangan rumah tangga (Webb et al. 2006).


2.4 Kajian Empiris

Upaya untuk memahami faktor-faktor yang diduga memiliki pengaruh

terhadap kerawanan pangan rumah tangga, ditempuh melalui penelaahan beberapa

kajian empirik yang telah dilakukan oleh para ahli dan peneliti. Beberapa hasil

penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan untuk mempertegas dasar-

dasar pengambilan variabel yang akan digunakan dalam penelitian dalam

mengestimasi kemungkinan suatu rumah tangga terkategori pada rawan pangan.

Indikator kerawanan pangan yang banyak digunakan pada penelitian

sebelumnya adalah jumlah asupan kalori. Standar kebutuhan minimum kalori

berbeda-beda di setiap waktu dan tempat, misal untuk penelitian yang dilakukan

di Pakistan adalah minimum sebesar 2.450 kkal/kapita/hari(Khalid et al. 2012;

Bashir et al. 2013), sementara di Nigeria kebutuhan minimum kalori sebesar 2.260

kkal/kapita/hari (Babatunde et al. 2007), atau di Bangladesh sebesar 2.122

kkal/kapita/hari (Alam 2014), bahkan di Afrika Selatan kebutuhan minimum

konsumsi energi orang dewasa mencapai 2.650 kkal/kapita/hari (Sekhampu 2013).

Rumah tangga atau individu yang konsumsi energi per hari kurang dari kebutuhan

minimum tersebut terkategori pada rumah tangga atau individu rawan pangan dan

sebaliknya jika mampu memenuhi kebutuhan kalori sesuai kebutuhan minimum

maka terkategori tahan pangan. Adapun beberapa faktor yang pada penelitian

sebelumnya memiliki korelasi yang cukup kuat dengan status ketahanan atau

kerawanan pangan rumah tangga diuraikan sebagai berikut.

Pendapatan rumah tangga merupakan variabel bebas yang selalu ada

dalam setiap model pada penelitian sebelumnya karena memiliki korelasi


signifikan dengan ketahanan/kerawanan pangan rumah tangga hingga pada tingkat

kepercayaan 99%(Sari & Prishardoyo 2009; Khalid et al. 2012; Sekhampu 2013;

Alam 2014) atau tingkat kepercayaan 95% (Babatunde et al. 2007; Bashir et al.

2013). Pendapatan rumah tangga terbukti secara signifikan menjadi salah satu

faktor penentu yang memiliki korelasi berlawanan dengan kerawanan rumah

tangga. Artinya semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka akan semakin

kecil kemungkinan rumah tangga terkategori pada status rawan pangan. Dengan

kata lain setiap peningkatan pada pendapatan rumah tangga maka akan semakin

rendah peluang rumah tangga untuk menjadi rawan pangan dan sebaliknya

pendapatan yang rendah akan menyebabkan semakin rentan suatu rumah tangga

menjadi rawan pangan.

Secara teoritis hal di atas dapat dijelaskan berdasarkan konsep hukum

Engel, yaitu ketika pendapatan individu atau rumah tangga mengalami

peningkatan maka dengan asumsi selera tidak berubah, akan tersedia alokasi

belanja yang lebih luas untuk berbagai kebutuhan hingga proporsi pengeluaran

untuk kebutuhan pokok menjadi lebih rendah seiring dengan meningkatnya

alokasi untuk tabungan atau investasi. Dengan demikian rendahnya proporsi

pengeluaran untuk pangan menjadi indikator ketahanan pangan rumah tangga.

Dari beberapa penelitian sebelumnya, faktor yang memiliki pengaruh

cukup signifikan selain pendapatan rumah tangga adalah jumlah anggota rumah

tangga. Rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga yang lebih banyak,

dengan asumsi faktor lainnya sama, maka kemungkinan rumah tangga tersebut

menjadi rawan pangan cukup besar dan signifikan pada tingkat kepercayaan 99%
(Khalid et al. 2012; Bashir et al. 2013; Sekhampu 2013; Alam 2014) atau tingkat

kepercayaan 95% (Babatunde et al. 2007).

Usia kepala rumah tangga memiliki korelasi dengan kemapanan suatu

rumah tangga. Sesuai teori Life-Cycle Hypothesis, bahwa tingkat konsumsi

seseorang dipengaruhi oleh usia produktif, yaitu usia dimana seseorang bisa

memperoleh pendapatan yang terus meningkat, maka ketahanan pangan rumah

tangga akan semakin kuat ketika kepala rumah tangga berada pada usia produktif.

Ada perbedaan fenomena pada penelitian sebelumnya dimana usia kepala rumah

tangga berhubungan positif dengan ketahanan pangan rumah tangga dan

signifikan pada tingkat kepercayaan 99% (Bashir et al. 2013; Khalid et al. 2012)

atau pada 90% (Babatunde et al. 2007). Namun pada penelitian lainnya ternyata

memiliki korelasi negatif dengan ketahanan pangan pada tingkat kepercayaan

95% (Sekhampu 2013).

Pendidikan kepala rumah tangga merupakan faktor penting yang

berhubungan dengan kerawanan pangan rumah tangga disebabkan tingkat

pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan dan pendapatan yang

diperoleh. Semakin tinggi pendidikan maka jenis pekerjaan dan pendapatan yang

diterima akan lebih baik sehingga dengan pendapatan yang lebih memadai bisa

terhindar dari kerawanan pangan. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa

pendidikan salah satu faktor penentu kerawanan pangan rumah tangga baik baik

pada tingkat kepercayaan 95% (Babatunde et al. 2007; Bashir et al. 2013; Khalid

et al. 2012) maupun pada 99% (Sari & Prishardoyo 2009). Akan tetapi pada

beberapa penelitian tidak menunjukkan pengaruh signifikan namun tetap


menunjukkan korelasi positif dengan ketahanan pangan (Alam 2014; Sekhampu

2013).

Variabel lain yang perlu untuk diteliti adalah sektor pekerjaan kepala

rumah tangga. Pada penelitian Alam (2014), yang menguji apakah kecukupan

ketersediaan pangan dapat menjadi jaminan berakhirnya kelaparan di Bangladesh,

ternyata jenis pekerjaan kepala rumah tangga tidak berdampak secara signifikan

pada kerawanan pangan rumah tangga. Namun salah satu hasil penelitian di

Indonesia berdasarkan data SUSENAS 1999-2005, menunjukkan adanya

peningkatan pada proporsi rumah tangga rentan dan rawan pangan yang

didominasi oleh mereka yang mengandalkan pekerjaandi sektor pertanian,

khususnya buruh tani yang tergolong kelompok berpendapatan rendah (Saliem &

Ariningsih 2007). Hal ini berhubungan dengan rendahnya produktivitas dan

kualitas petani dan pertanian, terbatasnya akses petani terhadap sumber daya

permodalan, serta rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur pertanian dan

perdesaan. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat di perdesaan, yang mencakup

sekitar 60 persen penduduk Indonesia, khususnya petani, masih sangat rendah

(Ariningsih & Rachman 2008).

Di samping itu karena sebagian besar masyarakat bekerja di sektor

pertanian dan berpendapatan rendah berada di perdesaan, maka domisili rumah

tangga juga dapat menjadi variabel penjelas yang bisa menjelaskan fenomena

kerawanan pangan rumah tangga.Berdasarkan penelitian Rachman et al. (2004),

ditemukan bahwa secara nasional lebih dari 30 persen rumah tangga di Indonesia

tergolong rawan pangan, di daerah perkotaan sekitar 27 persen dan di pedesaan


sekitar 33 persen. Adapun proporsi rumah tangga yang tergolong rentan pangan di

Indonesia mencapai lebih dari 47 persen, di perkotaan dan perdesaan masing-

masing sekitar 34 persen dan 56 persen, dan proporsi rumah tangga yang termasuk

kurang pangan sekitar 10 persen, di perkotaan dan pedesaan masing-masing

sebesar 18 persen dan 5 persen.

Secara ringkas hasil penelitian sebelumnya dapat dilihat dalam tabel II-4

sebagai berikut:
Tabel II- 4 Hasil Penelitian Sebelumnya yang Menjadi Referensi Penelitian
Nama Metode Variabel Penelitian
No Peneliti / Judul Penelitian Unit Alat Hasil Penelitian
Analisis Analisis Dependent Independent
Tahun
74% rumah tangga berstatus
rawan pangan. Variabel yang
1. Pendapatan RT
Determination of memiliki pengaruh terhadap
Status 2. Ukuran RT
The Factors ketahanan pangan rumah tangga,
ketahanan 3. Usia KRT
Affecting The Food Rumah antara lain; pendapatan rumah
Sekhampu Regresi pangan rumah 4. Gender KRT,
1 Security Status of tangga : tangga, ukuran rumah tangga, usia
(2013) logit biner tangga (1: tahan 5. Status bekerja KRT,
Households in 585 sampel kepala rumah tangga, gender
pangan, 0: 6. Status perkawinan KRT
Bophelong, South kepala rumah tangga, status
rawan pangan) 7. Pendidikan KRT
Africa bekerja kepala rumah tangga, dan
status perkawinan kepala rumah
tangga.
1. Pendapatan RT
Faktor penentu ketahanan pangan
Factors Influencing 2. Luas lahan usahatani
Status rumah tangga petani di perdesaan
Food Security 3. Keanggotaan koperasi
ketahanan antara lain; pendapatan rumah
Babatunde Status of Rural Rumah 4. Jumlah pangan
Regresi pangan rumah tangga, ukuran rumah tangga, usia
2 et. al Farming tangga: 94 hasil produksi
logit biner tangga (1: tahan kepala rumah tangga, pendidikan
(2007) Households in sampel sendiri
pangan, 0: kepala rumah tangga, dan
North Central 5. Akses thd kredit konsumsi
rawan pangan) banyaknya pangan hasil usahatani
Nigeria 6. Ukuran RT
rumah tangga
7. Usia KRT
8. Pendidikan KRT
1. Pendapatan/kapita /bulan
Is Sufficiency in Status 2. Ukuran RT Faktor-faktor yang mempengaruhi
Food Alone- A Rumah kerawanan 3. Akses thd listrik status kerawanan pangan rumah
Alam Guarantee of An tangga: Regresi pangan rumah 4. Kepemilikan lahan tangga secara signifikan antara
3
(2014) End of Hunger? 1.212 logit biner tangga (1: rawan 5. Jenis pekerjaan KRT, lain; ukuran rumah tangga,
Evidences from sampel pangan, 0: tahan 6. Lama sekolah KRT kepemilikan lahan, dan
Rural Bangladesh pangan) 7. Gender KRT pendapatan per kapita.

15
Nama Metode Variabel Penelitian
No Peneliti / Judul Penelitian Unit Alat Hasil Penelitian
Analisis Analisis Dependent Independent
Tahun
1. Pendapatan RT
2. Ukuran RT Faktor yang secara signifikan
Regional Status
3. ART bekerja berpengaruh terhadap ketahanan
Sensitivity Of Rumah ketahanan
4. Kategori RT pangan rumah tangga, yaitu :
Bashir et. al Rural Household tangga: Regresi pangan rumah
4 5. Jumlah ternak kecil pendapatan rumah tangga, ukuran
(2013) Food Security : 1.152 logit biner tangga (1: tahan
6. Jumlah ternak besar rumah tangga, usia kepala rumah
The Case Of sampel pangan, 0:
7. Usia KRT tangga, dan pendidikan kepala
Punjab, Pakistan rawan pangan)
8. Jenjang Pendidikan KRT rumah tangga

1. Pendapatan RT
Pendapatan bulanan rumah tangga
2. Ukuran RT
The Determinants dan tingkat pendidikan kepala
Status 3. Jumlah pencari nafkah
of Rural rumah tangga tingkat menengah
ketahanan 4. ART bekerja
Household Food Rumah berdampak positif terhadap
Khalid et. al Regresi pangan rumah 5. Tipe RT
5 Security in the tangga : ketahanan pangan rumah tangga.
(2012) logit biner tangga (1: tahan 6. Jumlah ternak kecil
Punjab, Pakistan : 576 sampel Di sisi lain, usia kepala rumah
pangan, 0: 7. Jumlah ternak besar
An Econometric tangga dan ukuran keluarga
rawan pangan) 8. Usia KRT
Analysis berdampak negatif pada
9. Level Pendidikan KRT
ketahanan pangan rumah tangga.
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Semakin tinggi pendapatan,
1. Pendapatan
Kerawanan Pangan pendidikan dan kepemilikan aset
Sari & Rumah Regresi Kerawanan 2. Pendidikan
Rumah Tangga produktif dari keluarga, maka
6 Prihardoyo tangga : 86 berganda pangan rumah 3. Kepemilikan aset
Miskin Di Desa keluarga akan memiliki risiko
(2009) sampel OLS tangga miskin produktif
Wiru Kecamatan yang lebih kecil untuk mengalami
Bringin Kabupaten krisis pangan.
Semarang

16
Fokus penelitian ini adalah ingin mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi kerawanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat.

Kerawanan pangan diukur dengan besarnya konsumsi energi/kalori yang kurang

1.800 kkal/kapita/hari untuk kategori rawan pangan. Dengan demikian variabel

terikat dalam penelitian ini merupakan variabel dummy, dimana rumah tangga

yang rawan pangan bernilai 1, dan rumah tangga tahan pangan bernilai 0.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada model

regresi yang menggunakan logistic regression disebabkan variabel terikat

merupakan dummy variable. Selain itu pada pemilihan variabel bebas juga

sebagian besar merupakan variabel yang secara teori memiliki hubungan yang

kuat dengan kerawanan pangan rumah tangga antara lain pendapatan rumah

tangga, ukuran rumah tangga, karakteristik kepala rumah tangga (usia,

pendidikan, dan status pekerjaan).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, adalah pada

penggunaan variabel yang menggabungkan dari beberapa hasil penelitian

sebelumnya, serta adanya penggunaan dummy pada beberapa variabel yang

diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih spesifik atas perbedaan

karakteristik kepala rumah tangga yaitu pada tingkat pendidikan. Variabel lain

yang tidak digunakan pada beberapa penelitian sebelumnya namun dimasukkan

dalam penelitian ini adalah domisili rumah tangga dengan membedakan desa dan

kota yang diharapkan dapat mengestimasi perbedaan tempat tinggal rumah tangga

yang lebih beresiko rawan pangan jika dikaitkan dengan fenomena kemiskinan di

17
18

Indonesia yang lebih banyak ditemui di perdesaan dibandingkan di perkotaan

(BPS, 2013).

Tabel II-3Variabel Penelitian Berdasarkan Penelitian Terdahulu

Variabel Terikat (Status Rumah Tangga Rawan Pangan)


Variabel Babatunde Bashir Khalid Sari &
Sekhampu Alam
Bebas et. al et. al et. al Prihardoyo
(2013) (2014)
(2007) (2013) (2012) (2009)
Pendapatan
rumah tangga –*** –** –*** –** –*** –***
Ukuran
rumah tangga +*** +** +*** +*** +*** NA
Usia KRT –** +* NA +*** +*** NA
Pendidikan
KRT – –** – –** –** –***
Status
pekerjaan
KRT
–* NA + NA NA NA
(bekerja/tani)

Keterangan: *** : Significant 1%


** : Significant 5%
* : Significant 10%
NA : Not Available (tidak masuk variabel yang diteliti)

2.5 Kerangka Pemikiran

Atas dasar tinjauan teoritis dan hasil penelitian sebelumnya, dapat

diketahui terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kemungkinan suatu rumah

tangga menjadi rawan pangan. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang diduga

memiliki hubungan dengan kerawanan pangan rumah tangga dijelaskan melalui

alur sebagai berikut.


19

Gambar II-3Kerangka Pemikiran Penelitian

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut,

terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menentukan kerawanan

pangan rumah tangga, salah satunya yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dari aspek pemenuhan kalori/energi, yaitu ditentukan oleh rata-rata harian

kecukupan gizi yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga. Berdasarkan

rumusan yang ditetapkan oleh BPS bahwa suatu rumah tangga dikatakan rawan

pangan jika konsumsi per kapita per hari setiap anggota rumah tangganya kurang

dari 90% AKG, dimana AKG yang ditetapkan pada tahun 2012 masih mengikuti

hasil Widya Karya Pangan Nasional tahun 2004, yaitu sebesar 2000
20

kkal/kapita/hari. Jadi rumah tangga rawan pangan adalah mereka yang konsumsi

kalori per kapita per hari nya kurang dari 1800 kkal.

Pendidikan kepala rumah tangga diduga memberikan pengaruh terhadap

kerentanan suatu rumah tangga menjadi rawan pangan, dimana mereka yang

berpendidikan lebih tinggi akan memiliki peluang memperoleh pekerjaan dan

pendapatan yang lebih baik sehingga kemungkinan untuk menjadi rawan pangan

lebih kecil dibandingkan yang berpendidikan lebih rendah. Status pekerjaan

kepala rumah tangga dibedakan antara pertanian dan non pertanian. Sektor

pertanian masih mendominasi jumlah rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Barat

dan tingkat pendapatan petani, khususnya buruh tani masih sangat rendah

sehingga lebih rentan untuk menjadi rawan pangan dibanding pekerjaan lainnya.

Variabel yang merupakan yang memiliki hubungan sangat kuat dengan

kerentanan kerawanan pangan rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga.

Variabel ini merupakan variabel penting dan selalu digunakan dalam setiap

penelitian sebelumnya, serta menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap

ketahanan atau kerawanan pangan rumah tangga.

Usia kepala rumah tangga juga memiliki keterkaitan dengan kemapanan

suatu rumah tangga secara ekonomi. Bertambahnya usia kepala rumah tangga

mengikuti siklus hidup seperti dikemukakan Ando, Brumberg, dan Modigliani

dengan teori konsumsi Hipotesis Siklus Hidup (Life-Cycle Hypothesis). Menurut

Mankiw (2010), dasar teori ini didasarkan pada perbedaan pendapatan

berdasarkan siklus hidup yang terpola dalam 3 bagian. Bagian pertama diawali

dari umur nol tahun hingga berusia tertentu ketika individu tersebut memiliki

pendapatan sendiri. Sebelum dapat menghasilkan pendapatan sendiri ia

mengalami dissaving. Bagian kedua dimana seseorang memasuki usia kerja dan
21

dapat menghasilkan pendapatan sendiri lebih besar dari pengeluaran

konsumsinya, pada bagian ini mengalami saving. Bagian ketiga adalah ketika

seseorang berada pada usia tidak bekerja lagi (usia tua) dan tidak mampu

menghasilkan pendapatan sendiri, akhirnya mengalami dissaving lagi.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, usia kepala rumah tangga berkorelasi negatif

dengan kerawanan pangan. Artinya semakin tinggi usia kepala rumah tangga

hingga pada usia tertentu, maka kemungkinan rumah tangga untuk rawan pangan

menjadi lebih rendah.

Domisili rumah tangga juga dapat menjadi penentu terhadap akses dalam

perekonomian, dimana penduduk yang tinggal di perkotaan cenderung memiliki

pilihan pekerjaan dengan penghasilan yang beragam dibandingkan di perdesaan.

Selain itu kemiskinan di Indonesia, juga di Provinsi Jawa Barat, masih lebih

banyak ditemui di perdesaan dibandingkan di perkotaan.

2.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor pendapatan rumah tangga berpengaruh negatif terhadap kerawanan

pangan rumah tangga.

2. Faktor ukuran rumah tangga berpengaruh positif terhadap kerawanan pangan

rumah tangga.

3. Faktor usia kepala rumah tangga berpengaruh negatifterhadap kerawanan

pangan rumah tangga.

4. Terdapat perbedaan pada kerawanan pangan rumah tangga berdasarkan

perbedaan tingkat pendidikan kepala rumah tangga

Terdapat perbedaan pada kerawanan pangan rumah tangga

berdasarkan perbedaan domisili rumah tangga.

Anda mungkin juga menyukai