Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Definisi Pangan


Pangan sesuatu yang dikonsumsi setiap hari oleh manusia dan berasal dari
sumber air dan hayati yang merupakan salah satu kebutuhan dasar yang paling
utama bagi seluruh umat manusia (Fauzi et al., 2019). Pangan merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang paling esensial dalam rangka mempertahankan
kehidupannya. Pangan merupakan sumber nutrisi yang menjadi dasar utama
manusia dalam mencapai hidup sehat dan sejahtera sepanjang hidupnya. Semua
kalangan dari mulai janin hingga menjadi manusia lanjut usia membutuhkan asupan
pangan yang sesuai dengan syarat gizi untuk tumbuh dan berkembang (Karsin,
2004).

Berdasarkan UU No. 18 tahun 2012 mengenai pangan yang menjelaskan


jika pangan adalah kebutuhan primer manusia yang paling utama serta dalam
pemenuhan-nya adalah bagian dari hak asasi manusia yang telah dijamin dalam
UUD RI Tahun 1945 sebagai komponen utama dalam mewujudkan kualitas sumber
daya manusia yang baik. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun
2002, pangan merupakan segala sesuatu yang diperoleh dari sumber hayati dan air,
baik itu yang diolah ataupun tidak dan ditujukan sebagai bahan konsumsi bagi
manusia yang di dalamnya termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan
serta bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan
pembuatan makanan atau minuman. Pengertian pangan diatas diadaptasi dari
definisi yang dikeluarkan oleh Food and Agricultural Organization.

Bahan pangan pokok berperan penting pada aspek sosial, ekonomi, serta
politik. Namun hingga saat ini pemerintah belum memiliki klasifikasi komoditi
bahan pangan pokok yang tetap (Prabowo, 2014). Pada Rencana Strategis Badan
Ketahanan Pangan 2010-2014 (Kementerian Pertanian, 2010) mengklasifikasikan
komoditas pangan pokok menjadi 2 kelompok yaitu pangan nabati dan pangan
8
9

hewani. Pangan Nabati terdiri dari 10 jenis komoditi diantaranya ada beras, jagung,
kedelai kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayuran, buah-buahan, minyak goreng
serta gula putih. Pangan hewani meliputi 5 komoditi yaitu daging sapi dan kerbau,
daging ayam, telur, susu, serta ikan. Dalam Rencana Strategis Kementerian
Perdagangan 2010-2014 pengelompokan komoditi pangan sebagai indikator
kinerja stabilisasi harga yaitu pangan pokok beras, gula, minyak goreng, daging
ayam, daging sapi, dan telur.

Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian No.


115/MPP/KEP/2/1998 mengenai Jenis Barang Kebutuhan Masyarakat
mengelompokkan pangan yang terdiri dari beras, minyak goreng, gula pasir,
mentega, daging ayam, daging sapi, telur ayam, jagung, susu, garam beryodium dan
minyak tanah. Dalam Surat Keputusan Menteri Perekonomian No. Kep-
28/M.EKON/05/2010 Tahun 2010 mengenai Tim Koordinasi Stabilisasi Pangan
Pokok, yang termasuk dalam bahan pokok pangan yaitu beras, minyak goreng, gula,
kedelai, terigu, daging ayam, daging sapi, dan telur ayam. Pengelompokan pangan
pokok dilihat beberapa kebijakan yang tidak konsisten diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4: Komoditi Pangan Pokok

SK Renstra
Renstra BKP SK Menko
Komoditi Memperindag Kemendag
2010-2014 No.28/2010
No. 155/1998 2010-2014
Beras ✓ ✓ ✓ ✓
Jagung ✓ ✓ ✓
Kedelai ✓ ✓
Kacang Tanah ✓
Ubi Kayu ✓
Ubi Jalar ✓
Sayuran ✓
Buah-buahan ✓
Minyak Goreng ✓ ✓ ✓ ✓
Gula ✓ ✓ ✓ ✓
Daging Sapi ✓ ✓ ✓ ✓
Daging Kerbau ✓
Daging Ayam ✓ ✓ ✓ ✓
Telur ✓ ✓ ✓ ✓
Susu ✓ ✓ ✓
Ikan ✓
10

SK Renstra
Renstra BKP SK Menko
Komoditi Memperindag Kemendag
2010-2014 No.28/2010
No. 155/1998 2010-2014
Mentega ✓
Minyak Tanah ✓
Garam Beryodium ✓
Tepung Terigu ✓ ✓
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2014
Dalam Neraca Bahan Makanan yang disusun oleh BKP Kementerian
Pertanian yang bekerjasama dengan BPS 2019 mengklasifikasikan bahan pangan
dalam 11 kelompok berdasarkan jenis serta prosesnya, diawali dengan produksi
hingga dipasarkan dan siap untuk dikonsumsi, baik dalam bentuk dasar ataupun
turunannya. Bahan pangan turunan diklasifikasikan pada kelompok pangan yang
sama atau berbeda jenis dari bahan pangan asalnya. Tabel 5 menjelaskan tentang
Pengklasifikasian Bahan Pangan Dalam Neraca Bahan Makanan yang disusun oleh
BKP Kementerian Pertanian yang bekerjasama dengan BPS pada tahun 2019.

Tabel 5: Pengklasifikasian Bahan Pangan

Kelompok Bahan
No. Keterangan/Jenis Bahan Makanan
Makanan
1. Padi-padian Padi – padian terdiri atas: gabah (gabah kering
giling) beserta produksi turunannya beras, jagung
(pipilan), dan jagung basah gandum beserta
produksi turunannya tepung gandum (tepung
terigu).
2. Makanan Berpati Makanan berpati adalah bahan makanan yang
mengandung pati yang berasal dari akar/umbi dan
lain – lain bagian tanaman yang merupakan bahan
makanan pokok lainnya. Kelompok ini terdiri atas;
ubi jalar, ubi kayu dengan produksi turunannya
yaitu gaplek dan tapioca, tepung sagu yang
merupakan produksi turunan dari sagu.
3. Gula Kelompok ini terdiri atas gula pasir dan gula merah
(gula mangkok, gula aren, gula semut, gula
siwalan, dan lain – lain), baik yang merupakan hasil
olahan pabrik maupun rumah tangga.
4. Buah/biji berminyak Buah/biji berminyak adalah kelompok bahan
makanan yang mengandung minyak yang berasal
dari buah dan biji – bijian. Bahan makanan dalam
kelompok ini adalah; kacang tanah berkulit beserta
produksi turunannya kacang tanah lepas kulit,
11

Kelompok Bahan
No. Keterangan/Jenis Bahan Makanan
Makanan
kedelai, kacang hijau, kelapa daging (produksi
turunan dari kelapa berkulit), dan kopra (turunan
dari kelapa daging)
5. Buah-buahan Kelompok ini terdiri atas; alpokat, jeruk, duku,
durian, jambu, mangga, nenas, pepaya, pisang,
rambutan, salak, sawo, dan lainnya
6. Sayur-Sayuran Kelompok ini terdiri atas; alpokat, jeruk, duku,
durian, jambu, mangga, nenas, pepaya, pisang,
rambutan, salak, sawo, dan lainnya
7. Daging Kelompok ini terdiri atas; daging sapi, daging
kerbau, daging kambing, daging domba, daging
kuda/lainnya, daging babi, daging ayam buras,
daging ayam ras, daging itik, dan jeroan semua
jenis.
8. Telur Mencakup telur ayam buras, telur ayam ras, telur
itik, dan telur unggas lainnya.
9. Susu Terdiri atas susu sapi termasuk susu olahan impor
yang disetarakan susu segar.
10. Ikan Ikan yang dimaksud adalah komoditas yang berupa
binatang air dan biota perairan lainnya yang
meliputi jenis ikan darat dan ikan laut, baik
budidaya maupun tangkap serta rumput laut.
11. Minyak dan Lemak Minyak nabati: minyak kacang tanah, minyak
goreng kelapa, minyak goreng sawit. Lemak
hewani: lemak sapi, lemak kerbau, lemak kambing,
lemak domba, lemak babi.
Sumber: BKP Kementerian Pertanian Bekerja dan BPS 2019.
2.1.2. Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan adalah topik multidimensi yang sangat kompleks, meliputi
aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan politik. Aspek politik sering menjadi faktor
yang dominan pada proses pengambilan keputusan dalam menentukan suatu
kebijakan mengenai pangan. Mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan
menjadi topik juga agenda utama dalam berbagai forum yang diadakan oleh
berbagai negara serta lembaga internasional (Suryana, 2014). Berdasarkan UU No.
18 Tahun 2012 mengenai pangan mendefinisikan Ketahanan Pangan merupakan
suatu kondisi pangan yang cukup bagi negara hingga individu, yang terlihat dalam
segi jumlah serta memiliki mutu yang, aman, bergizi, beragam, merata, dan
12

terjangkau juga tidak bertentangan dengan budaya serta keyakinan masyarakat,


agar dapat hidup sehat, aktif, juga produktif dalam jangka panjang.

Ketahanan pangan mencakup beragam aspek yang luas, sehingga banyak ahli
yang mencoba membuat definisi berdasarkan tujuan dan data yang dimilikinya.
Reutlinger (1987) mengungkapkan bahwa ketahanan pangan dapat
diinterpretasikan melalui cara yang beragam. Braun et. al. (1992) berpendapat jika
penggunaan istilah ketahanan pangan mampu mengakibatkan perbedaan pendapat
serta banyak bahasan yang rumit, disebabkan oleh indikator ketahanan pangan yang
begitu banyak serta luas definisinya. Namun, konsep ketahanan pangan adalah hal
penting bagi seluruh umat manusia di dunia ini. Begitupun dari masa ke masa
selanjutnya, ketahanan pangan selalu memiliki definisi yang berubah. Di tahun
1970-an, topik ketahanan pangan memberi banyak perhatian terhadap ketersediaan
pangan baik pada tingkat global ataupun nasional dibandingkan dengan ketahanan
pangan tingkat rumah tangga. Pada tahun 1980an lebih terkonsentrasi pada akses
pangan di tingkat rumah tangga dan individu.

Soekirman (1996) menyatakan bahwa kecukupan pangan yang tersedia


mampu mempengaruhi harga pangan itu sendiri. Kenaikan pada harga pangan
mengancam ketahanan pangan pada tingkat keluarga, begitupun dengan harga
pangan yang stabil pun jika tidak diimbangi dengan daya beli masyarakat maka
ketersediaan pangan itu sendiri tidak akan efektif. Untuk meningkatkan daya beli
masyarakat maka perlu ada peningkatan pada Sumber Daya Manusia, sehingga
dapat mewujudkan keseimbangan dan keselarasan antara kebijakan sistem pangan
serta kebijaksanaan sosial misalnya penanggulangan kemiskinan, kesehatan,
pendidikan dan sebagainya.

Pada Konferensi Food and Agriculture Organization pada tahun 1984,


Soetrisno (1995) menggagaskan bahwa inti dari ketahanan pangan adalah
terpenuhinya ketersediaan pangan seluruh umat manusia serta jaminan individu
untuk dapat memperoleh kebutuhan pangan. Kemudian ungkapan tersebut
dikembangkan pada saat International Congres of Nutrition tahun 1992. Dalam
Suhardjo (1996), ketahanan pangan rumah tangga merupakan kemampuan rumah
13

tangga dalam memenuhi kecukupan semua anggotanya setiap saat untuk dapat
hidup sehat serta mampu melaksanakan kegiatannya. Pada Commite on Work Food
Security tahun 1995 dalam Soetrisno (1997) ungkapan sebelumnya lebih diperluas
melalui syarat kesesuaian dengan budaya setempat. Pengertian tersebut ditegaskan
kembali pada Deklarasi Roma mengenai Ketahanan Pangan Dunia serta rencana
tindak lanjut Konferensi Tingkat Tinggi terhadap Pangan Dunia pada tahun 1996
yaitu ketahanan pangan dapat terjadi jika setiap orang dapat mengakses pangan
setiap saat secara fisik ataupun ekonomi secara aman, bergizi, dan serta dapat
memenuhi kebutuhan pangan untuk menjalankan aktivitas sehari hari dengan aktif
dan sehat.

Konsep ketahanan pangan bisa digunakan dalam mendeskripsikan kondisi


pangan ditingkat individu, rumah tangga, daerah, nasional ataupun global
(Soehardjo, 1996), Simatupang (1999) mendefinisikan jika ketahanan pangan
dalam tingkat global, nasional, komunitas lokal, rumah tangga bahkan individu
merupakan sebuah rangkaian sistem yang hierarkis. Artinya, ketahanan pangan
dalam tingkat rumah tangga tidak menjamin ketahanan pangan pada tingkat
individu karena kaitan antara ketahanan pangan rumah tangga dan individu dapat
dilihat dari beberapa indikator seperti alokasi dan pengolahan pangan dalam rumah
tangga, status kesehatan anggota keluarga serta kondisi lingkungan. Selain
indikator tersebut, budaya, faktor pendidikan anggota keluarga, dan infrastruktur
menjadi faktor penentu dalam ketahanan pangan di tingkat rumah tangga ataupun
individu.

Dari beragamnya rangkaian konsep ketahanan pangan, dapat diambil bahasan


pokoknya yaitu terpenuhinya ketersediaan pangan seluruh masyarakat terjamin
setiap saat juga tercukupi tiap individu dalam mendapatkan akses pangan sesuai
kebutuhannya agar bisa hidup sehat dalam menjalankan aktivitasnya. Selain
tercukupi setiap saat, pangan yang diperoleh harus diperhatikan beberapa aspek
seperti keamanan pangan, mutu, kelestarian lingkungan, dan budaya sekitar. Pada
penyusunan kebijakan mengenai ketahanan pangan, penerapan konsep pada
14

ketahanan pangan ini sangat penting diterapkan sesuai dengan standar sistem yang
dipakai agar sesuai dengan hasil yang diinginkan.

Ketahanan pangan adalah konsep yang bersifat fleksibel yang biasanya


diterapkan pada tiga tingkat agregasi, yaitu nasional, regional, dan rumah tangga
atau individu. Pilar pertama yang menentukan ketahanan pangan adalah
Ketersediaan pangan, yaitu suatu keadaan dimana pangan dari hasil produksi lokal
pangan cadangan, juga pemasukan pangan apabila kedua sumber utama tidak
terpenuhi kebutuhannya. Pilar kedua yaitu akses terhadap pangan merupakan
kondisi rumah tangga yang mampu untuk mendapatkan pangan yang cukup dan
bergizi, yang bersumber dari berbagai kombinasi seperti hasil produksi sendiri,
hasil jual beli, barter, pinjaman, hadiah serta bantuan pangan. Pangan yang tersedia
di suatu daerah tidak selalu dapat diakses oleh rumah tangga di sekitar apabila
kondisi rumah tangga tersebut tidak mampu secara fisik, sosial atau ekonomi, untuk
dapat memperoleh pangan yang cukup. Pilar ketiga yaitu pemanfaatan pangan yang
dapat didefinisikan sebagai penggunaan pangan rumah tangga serta individu untuk
dapat menyerap dan memetabolisme gizi dan zat yang ada dalam bahan pangan.

2.1.3. Analisis Spasial


Analisis spasial merupakan serangkaian metode yang bertujuan untuk
menemukan dan menggambarkan tingkatan pola dari sebuah fenomena spasial agar
dapat dimengerti dengan lebih baik. Dengan adanya analisis spasial, diharapkan
akan muncul informasi baru yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan pada bidang yang sedang dikaji. Metode yang digunakan sangat
beragam, mulai observasi visual sampai memanfaatkan matematika/statistik
terapan (Sadahiro, 2006). Analisis spasial mengacu pada berbagai macam konsep
dan operasi, termasuk di dalamnya ada perhitungan dasar, penataan,
pengelompokan, serta penyusunan secara geometris dan pemodelan kartografis.
Statistik spasial merupakan teknik analisis yang dapat mengukur sebuah peristiwa
yang di dasarkan pada konsep keruangan (Scott & Warmerdam, 2006). Keruangan
adalah suatu variable yang terdapat pada permukaan bumi seperti kondisi vegetasi,
topografi, perairan dan lain sebagainya.
15

Terdapat berbagai macam metode untuk menjalankan analisis spasial.


Analisis spasial dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan tujuannya yaitu:

1. Analisis Spasial Exploratory

Analisis Spasial Exploratory dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi suatu


pola yang lebih khusus terhadap suatu fenomena spasial dalam membentuk suatu
hipotesa pada penelitian. Analisis spasial dapat digunakan saat objek penelitiannya
bersifat baru, disebabkan fenomena spasial yang sedang diamati belum banyak
diketahui peneliti.

2. Analisis Spasial Confirmatory

Analisis Spasial Confirmatory digunakan untuk dapat mengkonfirmasi suatu


hipotesis pada penelitian. Analisis spasial confirmatory sangat tepat digunakan
apabila informasi mengenai fenomena spasial yang diamati cukup banyak diketahui
oleh peneliti. Oleh karena itu, kebenaran dari suatu hipotesis tersebut sudah dapat
dibuktikan kebenarannya.

Scott & Warmerdam (2006) mengungkapkan bahwa dalam pengukuran


distribusi kejadian yang di dasarkan pada fenomena spasial dibedakan menjadi 2
jenis:

1. Identifikasi karakteristik pada suatu pola distribusi

2. Kuantifikasi pola geografi pada suatu pola distribusi.

Pola distribusi spasial umumnya dibagi menjadi 3 jenis, (Briggs, 2007):

1. Mengelompok (Clustered) artinya beberapa titik yang terkonsentrasi dan


berdekatan satu sama lain serta terdapat area besar yang berisi sedikit titik
yang diduga memiliki jarak yang tidak bermakna.

2. Menyebar (Dispersed) artinya setiap titik yang berjauhan satu sama lain
atau secara jarak tidak dekat secara bermakna.

3. Acak (Random) artinya titik-titik yang muncul pada lokasi yang acak dan
posisi satu titik dengan titik lainnya tidak saling terkait.
16

Sistem Informasi Geografis (SIG) atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan
Geographic Information System (GIS) adalah suatu sistem informasi yang dapat
mengelola data secara khusus pada data yang memiliki informasi spasial
(keruangan). Sistem Informasi Geografis juga dapat diartikan sebagai sistem
komputer yang dapat digunakan untuk membangun, mengelola, menyimpan dan
menampilkan informasi tentang geografis maupun data geospasial yang dapat
membantu dalam suatu pengambilan keputusan pada perencanaan serta
pengelolaan suatu wilayah, contohnya seperti data yang diidentifikasi menurut
lokasinya, pada suatu database.

Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dimanfaatkan sebagai alat


investigasi ilmiah, perencanaan pembangunan, pengelolaan sumber daya,
kartografi dan perencanaan rute. Salah satu contohnya adalah, Sistem Informasi
Geografis ini dapat membatu dalam penyusunan rencana secara cepat dan tepat
apabila terjadi sesuatu yang dianggap darurat seperti saat terjadinya bencana alam.
Sistem Informasi Geografis (SIG) juga dapat membantu dalam mencari lahan basah
(wetlands) yang tahan pada daerah berpolusi juga dapat membantu dalam mencari
sebuah informasi tempat khusus serta banyak manfaat lain yang dapat
dikembangkan dalam penggunaan sistem informasi geografis ini (Suseno & Agus,
2012).

2.1.4. Perencanaan Wilayah


Perencanaan merupakan suatu upaya gagasan masyarakat untuk membuat
arah kebijakan pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah baik nasional
ataupun regional dengan memperhatikan keunggulan dan kelemahan wilayah
tersebut. Dalam proses perencanaan, Lembaga perencanaan harus memperhatikan
kondisi sosial budaya, ekonomi, keamanan, kondisi fisik, modal, serta kualitas
sumber daya yang terdapat pada wilayah tersebut (Widodo, 2009).

Ilmu wilayah merupakan suatu ilmu yang dikategorikan ke dalam ilmu sosial.
Ilmu yang berkaitan dengan perencanaan pengembangan suatu wilayah, sering
dianggap sebagai cabang dari ilmu sosial dan ekonomi (Nir & Zilberstein-Levy,
2006). Sasaran utama dari sebuah pembangunan yaitu manusia dan segala
17

aktivitasnya, maka perencanaan pembangunan wilayah sering masuk ke dalam


kategori ilmu sosial. Menurut Isard pada tahun 1956, Ilmu wilayah ada karena
untuk memperbaiki kerangka berfikir manusia tentang tatanan sosial dan ekonomi,
sehingga dapat disusun teori umum yang lebih menyeluruh.

Manusia dan lingkungan adalah dua hal berbeda yang tidak dapat dipisahkan
sebab kedua hal tersebut merupakan bagian dari suatu sistem (Nir & Zilberstein-
Levy, 2006). Manusia melakukan aktivitasnya, beradaptasi dan berinteraksi dengan
lingkungan fisik, merupakan alasan kuat untuk perumusan teori umum yang
menyeluruh dengan mempertimbangkan keduanya (Isard, 1956). Dalam
Perkembangannya, ilmu wilayah tidak hanya menyangkut aspek sosial dan
ekonomi, namun ada hal lain yang berkaitan dengan interaksinya seperti
geobiofisik, ekonomi, kelembagaan serta keadaan politik pada wilayah tersebut.

Singkatnya ilmu wilayah merupakan suatu ilmu interdisiplin. Oleh karena itu
definisi ilmu wilayah saat ini sudah jauh berkembang yang awalnya didefinisikan
oleh (Isard, 1975), dengan pembatasan domain regional science yang tidak
memasuki aspek-aspek kebijakan. Lalu (Isard, 1956) menegaskan kembali
pengertian regional science sebagai salah satu konsep interdisiplin dengan
pengkhususan dalam integrasi analisis-analisis fenomena sosial dan ekonomi
wilayah, mencakup berbagai aspek perubahan, memprediksi berbagai perubahan
dalam perencanaan pembangunan di masa yang akan datang dengan penekanan
pada pemodelan - pemodelan matematis.

2.1.5. Pertanian Berkelanjutan


Masyarakat dunia sejak lama sudah menyetujui penerapan dan
pengembangan konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan (Sustainable
Development) sebagai pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di bidang
Pertanian dan Pangan. Pada awalnya, pertanian berkelanjutan bisa juga disebut
dengan istilah agroekonomi, istilah tersebut digunakan sejak tahun 1980-an oleh
para pakar pertanian di FAO. Agroekonomi mengarah pada modifikasi ekosistem
alamiah dengan peranan manusia di dalamnya untuk memperoleh bahan pangan,
serat, dan kayu dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan umat
18

manusia. Jadi, konsep agroekonomi dan pertanian berkelanjutan merupakan sebuah


solusi untuk mengatasi rasa takut terhadap dampak revolusi hijau yang di sertai
dengan semakin merosotnya produktivitas pada sektor pertanian. Revolusi hijau
memang dapat dikatakan berhasil dalam merekayasa pertanian dengan teknologi-
nya, namun hal tersebut masih menyimpan berbagai polemik dari masalah
kemanusiaan dan rusaknya ekosistem di alam (Mahmuddin, 2013).

Pembangunan pertanian merupakan proses yang bertujuan untuk selalu dapat


meningkatkan produksi pertanian untuk setiap konsumen, sekaligus meningkatkan
pendapatan, produktivitas usaha pada petani dengan cara menambah jumlah skil
dan modal, yang bertujuan untuk meningkatkan peranan manusia pada
perkembangan hewan dan tumbuhan. Pertanian berkelanjutan pada dasarnya dapat
diartikan sebagai kemampuan manusia untuk tetap produktif dalam upaya
mempertahankan basis sumber daya. Pengetahuan modern sebagai alat dalam
kemajuan pertanian modern yaitu predikat yang mengarah pada sikap rasional,
jaringan kelembagaan impersonal, orientasi pasar, orientasi masa depan serta
aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat untuk melaksanakan
pekerjaan dan mencapai suatu tujuan (Sudalmi, 2010).

Pembangunan pertanian pada hakikatnya merupakan upaya dalam


meningkatkan kualitas hidup petani yang dapat diperoleh melalui strategi investasi
dan kebijaksanaan pengembangan produktivitas dan profesionalitas tenaga kerja
pertanian, pengembangan sarana dan prasarana ekonomi, pengembangan iptek
disertai dengan penataan dan pengembangan kelembagaan pedesaan. Pembangunan
Pertanian berlangsung sebagai proses menuju keseimbangan antara perubahan
dalam sumbangan sumberdaya, sumbangan kultural, teknologi dan kelembagaan
(Hayami dan Ruttan, 1985).

Secara konsep, pertanian berkelanjutan adalah pola dan cara pandang yang
harus dikembangkan dengan menerapkan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan
secara harmonis. Pendekatan ekonomi berkelanjutan yang berbasis pada suatu
konsep memaksimalkan aliran pendapatan antar generasi melaui perawatan dan
penjagaan cadangan sumber daya atau modal yang dapat menghasilkan sebuah
19

keuntungan yang optimal. Upaya dalam mengoptimalkan serta efisiensi


penggunaan sumber daya merupakan hal wajib untuk menghadapi berbagai isu
yang tidak pasti baik itu dalam aspek alam ataupun non alam. Konsep sosial yang
berkelanjutan bertujuan untuk pelestarian stabilitas sosial serta sistem budaya,
termasuk upaya dalam mengatasi konflik sosial. Pada konsep sosial ini, tujuan
utamanya adalah untuk pemerataan, pelestarian, keanekaragaman budaya, dan
pemanfaatan pengetahuan yang berkelanjutan. Tinjauan aspek lingkungan
berkelanjutan bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem biologis dan lingkungan
fisik dalam rangka menjaga kelangsungan hidup dari berbagai subsistem menuju
sebuah stabilitas yang dinamis serta menyeluruh (Salikin, 2003).

Sistem Pertanian berkelanjutan adalah suatu sistem pertanian yang


menggunakan input luar minimal untuk produktivitas yang maksimal dengan
mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi, kelestarian alam serta budaya
masyarakat. Jadi, pertanian berkelanjutan ini disokong oleh sumberdaya manusia,
pengetahuan dan teknologi, serta permodalan hingga dapat mengatasi masalah
kestabilan pertanian dalam pembangunan (Husodo,2004). Konsep pertanian
berkelanjutan sangat tepat digunakan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan
petani, serta pijakan bagi pemerintah untuk tetap dapat mendukung kemajuan sektor
pertanian sebagai sektor unggulan dalam peningkatan devisa negara. Hal ini sangat
beralasan untuk tidak mengulang kembali pola pertanian yang telah diinstruksikan
pemerintah pada kebijakan sebelumnya, yang cenderung berpola top down sepihak
dimana kekuatan pusat menjadi pelaku utama pembangunan yang malah
mematikan pengetahuan lokal dan kelembagaan lokal dalam peningkatan sektor
pembangun pertanian. Pada tahapan ini akhirnya yang harus terbangun adanya
sinergi antara pola top down dan juga bottom up untuk melibatkan secara penuh
petani sebagai pelaku pembangunan dan bukan malah menjadi objek pembangunan
(Mahmuddin, 2013).
20

2.2. Penelitian Terdahulu

Tabel 6: Penelitian Terdahulu

No. Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan

1. Allifia Analisis Situasi Secara umum Kabupaten Garut Analisis situasi Situasi ketahanan
Maygitasari Ketahanan Pangan dan belum dapat dikatakan tahan Ketahanan pangan di pangan dianalisis
Gizi di Kabupaten Garut pangan dan masih membutuhkan Kabupaten Garut secara deskriptif
Tahun 2009-2014 perbaikan baik dari aspek
ketersediaan pangan, akses
pangan, konsumsi pangan maupun
status gizi.

2. Reny Analisis Ketahanan Hasil penelitian menunjukkan Penelitian bertujuan Indikator analisis
Oktarika Pangan Rumah Tangga bahwa besarnya rata-rata proporsi untuk mengetahui dilihat dari 3 pilar
Ermawati Miskin pada Daerah pengeluaran konsumsi pangan situasi ketahanan ketahanan pangan
Rawan Banjir Di terhadap total pengeluaran adalah Pangan yaitu, ketersediaan,
Kecamatan Jebres Kota 64,96% artinya konsumsi pangan akses dan
Surakarta masih mengambil bagian terbesar pemanfaatan pangan.
dari total pengeluaran rumah Objek penelitian yaitu
tangga miskin masyarakat umum.
3. Nyak Ilham, Penggunaan Pangsa Hasil analisis menyimpulkan Penelitian ini Indikator analisis
dan Bonar Pengeluaran Pangan bahwa pangsa pengeluaran pangan bertujuan untuk dilihat dari 3 pilar
M.Sinaga Sebagai Indikator layak dijadikan indikator menghitung pangsa ketahanan pangan
Komposit Ketahanan ketahanan pangan karena pengeluaran pangan yaitu, ketersediaan,
Pangan mempunyai hubungan yang erat
21

No. Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan

dengan berbagai ukuran ketahanan penduduk pada akses dan


pangan yaitu tingkat konsumsi, berbagai kelompok pemanfaatan pangan.
keanekaragaman pangan, dan
pendapatan
4. Ening Strategi Peningkatan Hasil analisis menunjukkan bahwa Bertujuan untuk Objek penelitian
Ariningsih Ketahanan Pangan (1) proporsi rumah tangga rawan menganalisis merupakan ketahanan
dan Handewi Rumah Tangga Rawan pangan di provinsi -provinsi luar permasalahan pangan daerah di
P.S. Pangan Jawa khususnya wilayah Kawasan kerawanan pangan Kabupaten Garut
Rachaman Timur Indonesia dan daerah rumah tangga dan
perdesaan relatif tinggi dibanding alternatif strategi
wilayah Kawasan Barat Indonesia penanggulangan nya
dan daerah perkotaan,
implikasinya adalah penanganan
masalah rawan pangan perlu
diprioritaskan pada wilayah-
wilayah tersebut agar kesenjangan
antara Kawasan Timur dan Barat
Indonesia serta kesenjangan desa -
kota tidak semakin melebar; (2)
perwujudan ketahanan pangan
merupakan tanggung jawab
bersama antara pemerintah dan
masyarakat, masing-masing
tingkatan pemerintahan
melaksanakan kebijakan dan
22

No. Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan

program ketahanan pangan dan


penanganan masalah kerawanan
pangan sesuai dengan mandat dan
bagiannya.
5. Sri Pujiati et Analisis Ketersediaan, Pemerintah perlu mengkaji lebih Analisis ketahanan Penelitian
al. Keterjangkauan, dan dalam terhadap variabel apa saja pangan ditinjau dari 3 menggunakan
Pemanfaatan Pangan yang mempengaruhi indeks pilar ketahanan analisis spasial dan
dalam Mendukung ketahanan pangan agar dapat pangan. Multi Criteria
Tercapainya Ketahanan menyusun suatu strategi yang Decision Analysis
Pangan Masyarakat di lebih sesuai untuk meningkatkan
Provinsi Jawa Tengah ketahanan pangan di Provinsi
Jawa Tengah pada era revolusi
industri 4.0 ini.
6. Refnaldo et Analisis Ketahanan Hasil penelitian menunjukkan Analisis ketahanan Metode yang
al. Pangan Provinsi bahwa variabel jumlah penduduk pangan yang digunakan adalah
Sumatera Barat dengan berpengaruh negatif dan bertujuan sebagai analisis spasial dan
Metode Regresi Data signifikan terhadap rasio rujukan perumusan Multi Criteria
Panel ketersediaan beras dan variabel kebijakan pemerintah Decision Analysis
luas areal panen padi serta setempat.
produktivitas lahan berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
rasio ketersediaan beras.
7. Rakha Zahra Menentukan kondisi Daerah dengan kondisi tahan Analisis ditinjau dari Menggunakan
Raihan et al. Ketahanan Pangan Jawa pangan yaitu Kabupaten Ciamis, 3 indikator ketahanan Analisis Spasial serta
Barat Wilayah IV Kabupaten Bandung Barat, pangan yaitu
23

No. Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan

Menggunakan Food Kabupaten Pangandaran, Kota ketersediaan, Multi Criteria


Security Quotient (FSQ) Bandung, Kota Cimahi, Kota keterjangkauan serta Decision Analysis
Tasikmalaya dan Kota Banjar. pemanfaatan.
Namun jika ditilik lebih dalam,
masih banyak variabel – variable
dari daerah – daerah tersebut yang
masih butuh penanganan dan
strategi untuk menunjang
ketahanan pangan.
24

2.3. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan yang


menjelaskan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
utama dan pemenuhan-nya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin
di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Serta
bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan
pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang,
baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan
memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Berdasarkan isi dari
Undang - Undang tersebut maka ketahanan pangan merupakan salah satu upaya
dalam pertahanan mengingat Food and Agriculture Organization (FAO) telah
memperingati bahwa akan ada krisis pangan dunia, yang harus diantisipasi secara
cepat salah satunya yaitu dengan membuat cadangan pangan strategis.

Masalah fundamental dalam ketahanan pangan saat ini meliputi distribusi


pangan, aksesibilitas pangan serta kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019,
Kebijakan umum kedaulatan pangan mengarah pada pemantapan ketahanan pangan
menuju kemandirian pangan dengan peningkatan produksi pangan pokok,
stabilisasi harga bahan pangan, terjaminnya bahan pangan yang aman dan
berkualitas dengan nilai gizi yang meningkat serta peningkatan kesejahteraan
pelaku usaha pangan. Ketahanan pangan memiliki sifat yang multidimensi, maka
dalam menentukan penilaian untuk kondisi ketahanan pangan diperlukan suatu
pengukuran menyeluruh dengan menggunakan berbagai indikator.

Kedaulatan pangan dapat tercapai apabila ketahanan pangan diperkuat,


ketahanan pangan akan kuat apabila kemandirian pangan dapat tercapai, serta
kemandirian pangan akan tercapai apabila swasembada pangan terpenuhi. Dalam
upaya tersebut, pemerintah harus lebih fokus untuk mengimplementasikan
beberapa program terkait, misalnya yaitu dalam program perbaikan distribusi serta
25

konsumsi pangan di masyarakat. Instansi terkait juga harus bersinergi dan


terkoordinasi dalam perencanaan serta pelaksanaan program dan kebijakan-nya
agar perbaikan distribusi dan konsumsi dapat memperbaiki kondisi kesejahteraan
masyarakat. Untuk menentukan strategi yang tepat maka diperlukan banyak kajian
terhadap masalah ini. Oleh karena itu Analisis spasial dan strategi pengembangan
ketahanan pangan daerah di Kabupaten Garut dijabarkan dalam kerangka pemikiran
yang dapat dilihat pada Gambar.2

Ketahanan Pangan Daerah

Program Kegiatan 3 Pilar Ketahanan Pangan

Ketersediaan Aksesibilitas Pemanfaatan

Skenario Strategi
Kondisi di Kabupaten Garut
Ketahanan Pangan

Gambar 2: Diagram Alur Kerangka Pemikiran

2.4. Hipotesis

Berikut beberapa hipotesis yang di paparkan

1. Tingkat ketahanan pangan daerah di Kabupaten Garut masih belum optimal,


karena masih terdapat beberapa desa di Kabupaten Garut yang
dikategorikan daerah rawan pangan.

2. Ketahanan pangan daerah Kabupaten Garut masih belum optimal


diakibatkan oleh faktor aksesibilitas dan pemanfaatan pangan yang masih
kurang.

Anda mungkin juga menyukai