Anda di halaman 1dari 30

PL4001 PENGANTAR PARIWISATA

KELAS 01

KELOMPOK 05

“Evolusi dan Perkembangan Daerah Tujuan Wisata”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Pariwisata pada semester I
Tahun Akademik 2022/2023

Disusun oleh :

Yogma Noor Dinara G. 15420058


Aga Sri Dharmestha 15420078
Abyan Fakhri 15420080
Geraldo Yoshua 15420081
Fidelia Naomi K. A. 15420087
Muhammad Fatanillah A. 15420091
Naufal Syafiq Haidar 15420095

SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN


KEBIJAKAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2022

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 3
1.1. Latar Belakang 3
1.2. Rumusan Masalah 4
1.3. Tujuan dan Sasaran 4
BAB II LANDASAN TEORI 6
2.1 Tinjauan Literatur 6
2.2 Kerangka Berpikir 13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 15
BAB IV HASIL PENELITIAN 16
4.1 Analisis Kondisi Studi Kasus Berhasil Evolusi Pariwisata di Indonesia 16
4.1.1 Gambaran Umum Wilayah 16
4.1.2 Kondisi Awal 17
4.1.3 Analisis Evolusi 18
4.1.3.1 Fase Exploration (Eksplorasi) 18
4.1.3.2 Fase Involvement (Pelibatan) 18
4.1.3.3 Fase Development (Pengembangan) 19
4.1.3.4 Fase Consolidation 19
4.1.4 Dampak Pembangunan Pariwisata 20
4.1.4.1 Dampak pada Sektor Ekonomi 20
4.1.4.2 Dampak pada Sektor Sarana dan Prasarana 20
4.1.5 Kondisi Akhir Desa Pujon Kidul 20
4.1.6 Analisis Jangka Panjang 21
4.2 Analisis Kondisi Studi Kasus Gagal Evolusi Pariwisata di Indonesia 22
4.2.4 Kondisi Akhir Wisata Kampung Gajah 26
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 28
5.1 Simpulan 28
5.1.1 Studi Kasus Gagal Evolusi Daerah Tujuan Wisata 28
5.1.2 Studi Kasus Berhasil Evolusi Daerah Tujuan Wisata 28
5.2 Saran 29
5.2.1 Studi Kasus Gagal Evolusi Daerah Tujuan Wisata 29
5.2.2 Studi Kasus Berhasil Evolusi Daerah Tujuan Wisata 29
DAFTAR PUSTAKA 30

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pariwisata merupakan aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk sementara
waktu dari tempat semula yang menjadi tempat tinggal ke tempat lain yang menjadi
daerah tujuan (Koen Meyers, 2009). Pariwisata tersebut memiliki perkembangan
yang cukup pesat sehingga terdapat model-model perkembangan pariwisata yang
menjadi dasar atas adanya evolusi. Evolusi tersebut dapat terjadi akibat adanya
perkembangan paradigma baru yang lahir atas kritik dari pakar yang menilai banyak
perkembangan pariwisata yang mengabaikan pariwisata berkelanjutan. Dengan
adanya evolusi tersebut, banyak masyarakat lokal yang tidak dapat berbuat banyak
akibat keterbatasan. Di dalam evolusi pariwisata, terdapat berbagai tahapan terkait
pengembangan dari daerah tujuan wisata yang dapat dijadikan tolak ukur terhadap
persiapan maupun pelaksanaan pengelolaan sebuah daerah tujuan wisata. Evolusi
tersebut dapat muncul sebagai sebuah respon atas adanya perubahan dalam suatu
daerah sehingga setiap daerah tujuan wisata selalu mengalami adanya evolusi
tersebut.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya yang
cukup beragam, baik dari sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sumber
daya tersebut dapat menjadi sebuah penggerak, termasuk dalam bidang pariwisata.
Terdapat berbagai pengelolaan yang dapat dilakukan terhadap sumber daya yang
dimiliki oleh suatu daerah yang nantinya dapat menjadi potensi pengembangan
pariwisata. Potensi dapat berasal dari lingkungan sekitar masyarakat yang kemudian
dapat dikembangkan lebih lanjut. Dengan demikian, pariwisata tersebut dapat
menggerakkan aktivitas perekonomian daerah. Salah satu daerah yang mengalami
hal tersebut adalah di Desa Pujon Kidul, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
Terdapat perkembangan pariwisata yang bersumber dari komoditas masyarakat
setempat yang kemudian dikembangkan dan membawa desa ke arah positif.
Pengembangan tersebut menjadi berhasil dan menjadi tujuan wisata andalan dari
Kabupaten Malang.
Pariwisata merupakan salah satu sektor yang cukup dinamis karena bergantung
pada sumber daya yang mengelola dan memanfaatkannya. Oleh karena itu,
terkadang dijumpai pula terdapat pariwisata yang awalnya mulai berkembang dan

3
kemudian mengalami penurunan hingga diakhiri dengan penonaktifan daerah tujuan
wisata. Hal tersebut merupakan hal yang sebaiknya dihindari karena dapat
memberikan dampak negatif. Salah satunya adalah yang terjadi di Kampung Gajah
Wonderland di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Destinasi wisata
yang mulai beroperasi pada tahun 2010 tersebut ditutup pada tahun 2017. Terdapat
berbagai penyebab dari gagalnya pengembangan destinasi wisata tersebut. Oleh
karena itu, pada kali ini, akan dilakukan sebuah penelitian terkait dengan analisis
dan komparasi evolusi dan perkembangan daerah tujuan wisata terhadap destinasi
wisata yang berhasil dan gagal dikembangkan di Indonesia.
Contoh daerah yang menjadi fokus utama dalam komparasi adalah Desa
Wisata Pujon Kidul dan Kampung Gajah Wonderland. Dengan demikian, dapat
diketahui perbandingan antara berbagai faktor yang terjadi dalam kedua destinasi
wisata tersebut sehingga dapat menjadi sebuah langkah motivasi dan antisipasi
dalam mengembangan daerah tujuan wisata.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang muncul, beberapa masalah yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kondisi awal pada di Kampung Gajah Wonderland dan di Desa
Wisata Pujon Kidul?
2. Bagaimana proses evolusi dan perkembangan daerah tujuan wisata yang terjadi
di Kampung Gajah Wonderland dan di Desa Wisata Pujon Kidul?
3. Bagaimana kondisi akhir setelah adanya evolusi di Kampung Gajah
Wonderland dan di Desa Wisata Pujon Kidul?
4. Bagaimana perbandingan evolusi dan perkembangan daerah tujuan wisata di
Kampung Gajah Wonderland dan di Desa Wisata Pujon Kidul?
5. Bagaimana alternatif rekomendasi terhadap evolusi dan perkembangan daerah
tujuan wisata?
1.3. Tujuan dan Sasaran
Dalam penelitian ini, tujuan yang tersusun adalah untuk menganalisis dan melakukan
komparasi terkait dengan evolusi dan dan perkembangan daerah tujuan wisata di
Kampung Gajah Wonderland dan di Desa Wisata Pujon Kidul Dari tujuan tersebut,
terdapat beberapa sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut.

4
1. Teridentifikasinya kondisi awal pada di Kampung Gajah Wonderland dan di
Desa Wisata Pujon Kidul.
2. Teridentifikasinya proses evolusi dan perkembangan daerah tujuan wisata yang
terjadi di Kampung Gajah Wonderland dan di Desa Wisata Pujon Kidul.
3. Teridentifikasinya kondisi akhir setelah adanya evolusi di Kampung Gajah
Wonderland dan di Desa Wisata Pujon Kidul.
4. Teridentifikasinya perbandingan evolusi dan perkembangan daerah tujuan
wisata di Kampung Gajah Wonderland dan di Desa Wisata Pujon Kidul.
5. Terumuskannya alternatif rekomendasi terhadap evolusi dan perkembangan
daerah tujuan wisata

5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Literatur

2.1.1 Grand Theory


● Tourism Area Life Cycle Model (Butler 1980)
TALC merupakan suatu konsep yang di terapkan atau digunakan dalam
pengembangan suatu daerah wisata. Kerangka ini merupakan sebuah alur natural
akan tetapi baru di teliti pada awal 1980 oleh Butler. Dibangun berdasarkan kurva
pertumbuhan sigmoid (S-shaped) yang menunjukkan tahapan pengembangan suatu
destinasi pariwisata berdasarkan peningkatan jumlah pengunjung. Bertujuan untuk
memberikan gambaran atas kedinamisan, pembangunan, serta penurunan destinasi
wisata sehingga dapat melakukan intervensi pada perencanaan dan pengembangan.
Menurutnya, terdapat kesamaan antara siklus hidup destinasi dengan siklus hidup
produk barang dan jasa: mula-mula berjalan lambat, kemudian tumbuh lebih cepat,
terus stabil, hingga akhirnya menurun mengikuti alur atau kurva dasar asimtosis.
Disebutkan, bahwa siklus hidup kawasan pariwisata terdiri dari 6 fase, yakni:
penemuan (exploration), keterlibatan (involvement), perkembangan (development),
konsolidasi (consolidation), stagnasi (stagnation) dan kemungkinan fase
peremajaan (rejunevation) atau penurunan (decline) (Butler, 1980).

Sumber: Butler, 1980


1. Fase Explorasi (Exploration)
Fase ini adalah fase dimana suatu daerah baru mulai akan
mengembangkan daerahnya menjadi destinasi wisata. Jenis atraksinya

6
mayoritas bertemakan alam dan budaya yang belum dikembangkan secara
serius. Fase ini merupakan fase awal ketika pemerintah daerah dan
masyarakatnya mulai memikirkan untuk mengembangkan pariwisata
daerahnya, melihat potensi yang dimilikinya. Inilah waktu yang tepat
dimana perencanaan visi pariwisata (tourism visioning) mulai dipikirkan.
Contoh daerah yang masuk tahap ini adalah Kawasan Ekonomi Khusus
yang baru ditetapkan oleh pemerintah seperti KEK Tanjung Gunung di
Pulau Bangka.
2. Fase Keterlibatan (Involvement)
Fase ini merupakan fase dimana pengembangan destinasi wisata
mulai serius dilakukan dan sektor pariwisata mulai dijadikan sebagai
sumber pemasukan. Homestay mulai berkembang, investor mulai tertarik
untuk berbisnis, pemerintah dituntut untuk mengembangkan infrastruktur
dasar seperti jalan, bandara, fasilitas kesehatan, dan program pemberdayaan
masyarakat. Pada fase ini juga sudah mulai terlihat musim kunjungan
wisatawan. Selain itu sering terjadi kontak antara wisatawan dengan
masyarakat lokal. Contoh daerah yang termasuk fase ini adalah Kabupaten
Kendal yang mulai mengembangkan pariwisatanya dibawah kepemimpinan
Bupati baru.
3. Fase Pengembangan (Development)
Pada fase ini, pasar wisatawan sudah terdefinisi dengan baik.
Kontrol dan keterlibatan masyarakat mulai berkurang akibat adanya campur
tangan pemerintah pusat dalam pengembangan pariwisata dan infrastruktur.
Atraksi utama mulai dikembangkan. Investor asing mulai masuk yang
terdorong karena adanya pertumbuhan angka kunjungan wisatawan yang
tinggi serta adanya potensi pasar wisatawan baru. Contoh destinasi yang
masuk di fase ini adalah Mandalika, Lombok yang sedang mengembangkan
Sports Tourism dengan sirkuit MotoGP Mandalika.
4. Fase Konsolidasi (Consolidation)
Saat fase konsolidasi, pertumbuhan pariwisata mulai melambat. Hal
ini bisa berarti dua kemungkinan. Yang pertama perlambatan ini disengaja
karena pengelola destinasi ingin membatasi kunjungan dengan
memberlakukan carrying capacity untuk menekan dampak negatif bagi

7
destinasi. Selain itu juga bisa jadi pengelola ingin merubah segmen pasar
menjadi lebih eksklusif. Kemungkinan yang kedua perlambatan tersebut
tidak disengaja dikarenakan kejenuhan pasar dan kurangnya inovasi produk.
Contoh destinasi yang tergolong fase ini adalah Labuan Bajo dengan
Komodonya. Pemerintah pusat mencanangkan destinasi ini menjadi super
premium yang mana hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga kelestarian
ekosistem dan kelangsungan hewan dilindungi Komodo agar terhindar dari
arus pariwisata massal.
5. Fase Stagnan (Stagnation)
Fase stagnan ditujukan untuk destinasi yang berada pada titik jenuh.
Dampak dari pariwisata massal sangat jelas terlihat seperti sampah,
degradasi sosial budaya, dan juga kebocoran ekonomi (economic leakage)
yang tinggi. Akibatnya destinasi wisata jika tidak melakukan inovasi atau
memikirkan ulang terhadap pola pembangunannya, wisatawan loyal tidak
akan berkunjung lagi dan berpotensi menyebabkan penurunan jumlah
kunjungan atau fase decline. Contoh destinasinya yang sedikit banyak
menunjukan gejala ini adalah Bali Selatan dengan Kuta dan Legian-nya.
6. Fase Peremajaan (Rejuvenation)
Ada dua kemungkinan jika suatu destinasi sudah terjebak dalam fase
stagnan. Pertama adalah terjadi penurunan atau declining dan yang kedua
adalah melakukan inovasi dan berhasil masuk ke fase peremajaan.
Peremajaan dan inovasi adalah fase yang dibutuhkan untuk dapat bertahan
setelah fase stagnan. Hal ini sangat bergantung terhadap perencanaan yang
matang dan rencana aksi yang syarat inovasi dan adaptif seperti mengubah
pemanfaatan kawasan, mencari pasar wisatawan baru, membuat kanal
pemasaran baru atau mereposisi atraksi wisata ke bentuk lain
7. Penurunan (Decline)
Karakteristik penurunan ini antara lain: wisatawan biasanya
meninggalkan kawasan kecuali untuk berakhir pekan, dan alih kepemilikan
usaha pariwisata terjadi secara intensif. Sejumlah fasilitas pariwisata
beralihfungsi menjadi fasilitas umum non-pariwisata dan penduduk lokal
berpeluang untuk membeli kembali properti itu dengan harga lebih murah.
Akibatnya, kawasan semakin tidak menarik bagi wisatawan. Pada kasus

8
yang ekstrem, kawasan tersebut bisa berubah menjadi daerah slum dan
kehilangan fungsi aslinya.
Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara
variabel berjalannya waktu dengan variabel jumlah kunjungan wisatawan. Apabila
kapasitas dari berbagai unsur pendukung kegiatan pariwisata tersebut telah
mencapai batasnya (stagnan), kelanjutan kegiatan pariwisata dapat menuju ke
beberapa macam alternatif (A, B, C, D, dan E). Salah satu kritik terhadap model
TALC adalah asumsi bahwa perkembangan kawasan pariwisata, apakah di level
mikro, meso atau makro, terjadi secara linear.
2.1.2 Middle Theory
● Doxey’s Irritation Index (Doxey 1975)
Doxey’s irritation index atau Irridex merupakan sebuah sebuah teori yang
digunakan dalam pembahasan terkait perubahan sikap penduduk terhadap
kehadiran para wisatawan dan pengembangan wisata. Perubahan tersebut terjadi
secara linear (Pitana & Gayatri, 2005). Perubahan sikap masyarakat yang terjadi
akibat berkembangnya industri pariwisata di suatu destinasi memiliki tingkatan
tersendiri untuk mendeskripsikan pandangan masyarakat terhadap kedatangan
wisatawan maupun perkembangan pariwisata di daerahnya. Ini digambarkan Doxey
ke dalam 4 tahap perubahan sikap masyarakat terhadap wisatawan:

Sumber: Doxey, 1975


1. Euphoria
Pada tahapan ini, Irridex Doxey’s memprestasikan kedatangan
wisatawan diterima baik oleh masyarakat dengan sejuta harapan. Ini dapat
terjadi pada fase-fase awal perkembangan pariwisata di suatu daerah tujuan

9
wisata, dan umumnya daerah tujuan wisata tersebut belum mempunyai
perencanaan. Dalam fase ini Doxey menjelaskan bahwa masyarakat
cenderung baru mengenal istilah-istilah kepariwisatan dan masih dalam
tahap perkenalan. Dimana keramahtamahan masyarakat merupakan prioritas
utama dan belum terlihat adanya kegiatan komersial dari industri pariwisata.
Dapat dikatakan bahwa keramahtamahan masih terlihat pada tahap ini dan
proses komoditisasi maupun komersialisasi belum terlihat. Selain itu
perencanaan daerah sebagai kawasan pariwisata tidak dijadikan prioritas
utama dan masih bertahan pada keadaan yang ada sekarang.
2. Apathy
Dalam tahapan ini, dipresentasikan Doxey bahwa masyarakat
menerima wisatawan sebagai sesuatu yang lumrah, serta hubungan antara
masyarakat dengan wisatawan didominasi oleh hubungan komersial.
Komersialisasi dan komoditisasi mulai terlihat bahkan berkembang di
daerah tujuan wisata. Selain itu, perencanaan yang dilakukan pada daerah
tujuan wisata di tahap ini umumnya hanya menekankan pada aspek
pemasaran. Dapat di deskripsikan bahwa masyarakat sudah tidak asing
dengan kedatangan wisatawan dan pengelola terus berfokus pada marketing
tanpa memperhatikan jangka panjang keberlangsungan destinasi dan respon
masyarakat setelahnya. Selain itu pada tahap masyarakat menganggap
pariwisata memberikan perkembangan positif karena dinilai dapat
memberikan nilai (value) dari produk/jasa yang ada
3. Irritation
Pada tahap ini, Doxey mepresentasikan bahwa titik kejenuhan sudah
hampir dicapai, dan masyarakat mulai merasa terganggu dengan kehadiran
wisatawan. Selain itu, perencanaan umumnya berusaha meningkatkan
prasarana dan sarana secara terus menerus, tetapi belum ada usaha
membatasi pertumbuhan. Pada tahap ini, apabila pengelola hanya berfokus
pada pengembangan sarana dan prasarana yang ada tanpa memperhatikan
dampak jangka panjang yang akan ditimbulkan, maka tidak menutup
kemungkinan akan timbul sikap antipati masyarakat terhadap
keberlangsungan pariwisata di daerahnya. Dimana hubungan komersial juga
sudah masuk ke dalam tahap serius karena masyarakat mulai membatasi

10
hubungan interaksi dengan wisatawan untuk memperoleh keuntungan lebih
banyak dari kegiatan wisata.
4. Antagonism
Saat memasuki tahap ini, Doxey’s mepresentasikan bahwa
masyarakat secara terbuka sudah menunjukkan ketidak senangannya, dan
melihat wisatawan sebagai sumber masalah. Selain itu, pada tahap ini
perencana atau pengelola baru menyadari pentingnya perencanaan
menyeluruh. Saat masyarakat menujukkan ketidak senangannya terhadap
wisatawan maka akan timbul tindakan-tindakan yang dapat mengganggu
kenyamanan wisatawan maupun masyarakat itu sendiri. Ini akan terjadi
apabila tindak kriminal terhadap wisatawan dan masyarakat dinilai sebagai
sesuatu yang lumrah di daerah mereka. Masalah juga dapat terjadi ketika
nilai dari suatu budaya lebih penting dibandingkan makna dari budaya
tersebut akibat tindak komoditisasi dan komersialisasi yang tidak terkendali.
Model Irridex dari Doxey ini lebih menitik beratkan sejauh mana
tingkatan iritasi dari wisatawan sebagai “tamu” terhadap masyarakat lokal
sebagai “tuan rumah” dalam proses pengembangan pariwisata di sebuah
destinasi wisata. Dilihat dari tingkatan model Irridex yang menujukkan
semakin tinggi tahapan iritasinya maka semakin besar dampak yang
ditimbulkan khususnya terhadap wisatawan (guest) dan masyakarat lokal
(host).
2.1.3 Applied Theory
● Siklus Pembangunan Pariwisata (Kementrian Pariwisata, 2014)
Model ini merupakan model yang dirancang oleh kementrian pariwisata
yang dimuat dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 5
Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perjalanan Wisata Pengenalan.
Memiliki tujuan untuk menciptakan pembangunan kepariwisataan bertumpu pada
keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam dengan tidak
mengabaikan kebutuhan masa yang akan datang, sehingga diharapkan mendorong
pertumbuhan ekonomi yang membawa manfaat pada kesejahteraan masyarakat.

11
Sumber: Permen Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif No.5 Tahun 2014
Berdasarkan siklus tersebut, Kementrian Pariwisata menjelaskan
karakteristik dari kriteria pada setiap tahapan sebagai berikut:

Kriteria Perintisan Pembangunan Pemantapan Revitalisasi

Kunjungan
Sudah
wisatawan
Meningkat pesat mencapai
masih
pada musim atau angka
sedikit, belum
Kunjungan bulan tertentu, tertinggi, Menurun
ada
Wisatawan pertumbuhan pertumbuhan Tajam
pertumbuhan
mulai stagnan atau
atau
tinggi bahkan
masih sangat
menurun
rendah

Belum ada
Mulai ada Pembangunan
fasilitas/baru Pembangunan
pengembangan sudah tidak
ada fasilitas masih berjalan,
fasilitas dalam terjadi,
Fasilitas dasar, Fasilitas dan
jumlah besar, Fasilitas dan
Infrastruktur infrastruktur infrastruktur
infrastruktur dg infrastruktur
baru mulai
kualitas baik kondisinya
dibangun oleh menurun.
tersedia. rusak
Pemerintah.

12
Mulai terlibat Semakin
dalam banyak
Mulai terbatas
Menyediakan Mulai terlibat berinvestasi di
akibat semakin
berbagai juga dalam daya
banyaknya
Keterlibatan pelayanan mempromosikan tarik wisata,
pendatang,
Masyarakat jasa, sebagian daya tarik wisata. tetapi
kebutuhan
Lokal kecil Investasi dari luar dominasi
masyarakat
mulai mulai masuk ke investasi
mulai
berinvestasi di daya tarik wisata oleh
tersisihkan.
daya tarik masyarakat
wisata. luar.

Dampak
negatif yang
Belum ada Dampak ditimbulkan
Dampak negatif
dampak negatif negatif sangat tinggi,
mulai
yang yang dan bahkan
Dampak bermunculan,
ditimbulkan, ditimbulkan mengancam
Negatif tetapi dengan
atau walaupun banyak dan keberlanjutan
peningkatan yang
ada sangat peningkatan daya
masih rendah
rendah. tinggi tarik wisata
dan
lingkungannya

2.2 Kerangka Berpikir

Kerangka pemikiran merupakan bentuk presentasi dari alur penelitian yang


dikemas ke dalam bentuk bagan guna menjelaskan pola atau alur penelitian yang
dilakukan. Kerangka pemikiran berikut menjelaskan bahwa untuk mengetahui
evolusi dan perkembangan pariwisata, pertama-tama dapat ditentukan terlebih
dahulu destinasi wisata yang ingin di tinjau. Setelah itu dilakukan pencarian
informasi dengan melakukan kajian literatur untuk mengumpulkan segala informasi
mengenai destinasi wisata tersebut. Secara garis besar, informasi yang dicari

13
meliputi gambaran umum, kondisi awal, dan kondisi akhir dari destinasi yang
dipilih. Setelah informasi-informasi tersebut ditemukan, dilakukan analisis proses
evolusi dan perkembangan destinasi wisata tersebut mengggunakan teori-teori yang
telah ditetapkan sebelumnya. Dari hasil analisis tersebut akan dihasilkan hasil
analisis terkait pada tahap apa sekarang posisi destinasi wisata tersebut menurut
teori yang ada, dampak-dampak dari pembangunan destinasi wisata tersebut, dan
keberhasilan atau kegagalan yang dialami destinasi wisata tersebut selama proses
evolusi dan perkembangannya. Semua output dari hasil analisis pada akhirnya akan
digunakan untuk merumuskan rekomendasi-rekomendasi terhadap evolusi dan
perkembangan destinasi wisata tersebut. Berikut merupakan bagan dari kerangka
pemikiran penelitian ini:

14
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini mencakup 2 bagian sebagai
proses dalam menjawab latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian dalam
laporan ini, yaitu:
3.1 Metode Pengambilan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder dengan metode Literature
Review terhadap referensi literatur, artikel dan penelitian terdahulu dengan topik
yang terkait dengan “Evolusi dan Perkembangan Daerah Tujuan Wisata.
3.2 Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data, metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif
kualitatif dengan meninjau studi kasus evolusi gagal dan berhasil daerah tujuan
wisata di Indonesia dengan delineasi wilayah sebagai berikut.:
1. Studi Kasus Evolusi Gagal Daerah Tujuan Wisata :
Kampung Gajah Wonderland, Kabupaten Bandung Barat
2. Studi Kasus Evolusi Berhasil Daerah Tujuan Wisata
Desa Wisata Pujon, Kabupaten Malang

15
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Analisis Kondisi Studi Kasus Berhasil Evolusi Pariwisata di Indonesia


4.1.1 Gambaran Umum Wilayah
Desa Wisata Pujon Kidul adalah sebuah Desa Wisata yang terletak di Kecamatan
Pujon, Kabupaten Malang dengan penduduk sebanyak 4279 Jiwa dan terletak sekitar
12.9 km Barat Kota Batu. Desa ini memiliki kondisi topografi yang sebagian besar
berada di dataran tinggi dengan rata-rata ketinggian di atas 1200 mdpl. Desa Pujon
Kidul memiliki luas sekitar 323.159 Ha. Dengan peruntukan untuk berbagai hal seperti
untuk fasilitas umum, pemukiman, pertanian, perkebunan, kegiatan ekonomi, dan
sebagainya. Peruntukan lahan di Desa Pujon Kidul terdiri atas Perumahan dan
Pekarangan seluas 45.807 Ha, Sawah, Ladang, dan Perkebunan seluas 171.844 Ha,
Perkebunan seluas 240 Ha, Lapangan seluas 0,5 Ha, Jalan seluas 8 Ha, Hutan Lindung
seluas 227 Ha, Hutan Produksi seluas 578 Ha.

Gambar 4.1.1.1 Peta Administrasi Kabupaten Malang


Sumber: Pemerintah Kabupaten Malang
Kemudian, jika ditinjau dari kondisi demografis, Desa Wisata Pujon Kidul ini
pada Tahun 2019 sebanyak 1368 atau 30 % dari Penduduk Desa Pujon Kidul bekerja
di sektor Pertanian/Perkebunan, tetapi sektor ini dirasa tidak cukup untuk
menumbuhkan perekonomian desa. Desa Pujon Kidul ini pun pernah mendapatkan
Desa Wisata Pertanian Terbaik 2018 oleh Kementerian Desa PDTT dan Indonesia

16
Sustainable Tourism Award (ISTA) 2018. Untuk daya tarik utama dari Desa Pujon
Kidul ini adalah Wisata Air Terjun Sumber Pitu dan Cafe Sawah Pujon Kidul
4.1.2 Kondisi Awal
Ditinjau dari beberapa aspek, berikut adalah kondisi awal dari Desa Pujon Kidul,
Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
a. Kondisi Masyarakat
i. Pemuda suka foya-foya dan pesta miras
ii. Minimnya sentuhan keagamaan dan keilmuan.
iii. Minimnya bekal keterampilan
b. Aktivitas Masyarakat
i. Bercocok tanam, bertani, dan buruh tani
ii. Peternakan (sapi, kambing, ayam dan itik) dan Perikanan
iii. Buruh bangunan
iv. Berdagang
c. Kondisi Wilayah
i. Berpotensi untuk mendatangkan wisatawan
ii. Memiliki kecantikan alam, sumber daya dan kegiatan penduduk yang
beragam.
iii. Merupakan area persawahan.
d. Kondisi Perekonomian
i. Identik dengan kemiskinan
ii. Banyak pengangguran
iii. Tingkat pendidikan rendah
iv. Keterbatasan Finansial
v. Tingkat pendapatan masyarakat belum mencukupi kebutuhan hidup
vi. Upah buruh yang kecil
vii. Mahalnya barang-barang kebutuhan sembako.
viii. Infrastruktur tidak memadai
ix. Tergolong desa tertinggal
x. Keterbelakangan Ekonomi dan sosial budaya

17
4.1.3 Analisis Evolusi
4.1.3.1 Fase Exploration (Eksplorasi)
Berawal dari visi Kepala Desa Pujon Kidul, Bapak Udi Hartoko yang
bertujuan mengembangkan SDA, ekonomi dan budaya untuk dapat menjadi desa
wisata. Bapak Udi Hartoko Ingin mengubah kondisi desa yang sangat identik
dengan kemiskinan, banyaknya pengangguran, tingkat pendidikan rendah,
keterbatasan finansial, dan infrastruktur yang jelek. Dengan begitu, terdapat
beberapa tahapan fase eksplorasi yang dilakukan Kepala Desa Pujon Kidul untuk
merealisasikan ide pengembangan ini seperti dengan mengkomunikasikan
kepada perangkat daerah dan melakukan proses difusi inovasi dengan
masyarakat.
Namun, ide tersebut ditolak oleh masyarakat karena dianggap tidak masuk
akal dan masyarakat khawatir dengan pengembangan ini dapat melunturkan nilai
budaya, tetapi Bapak Udi Hartoko tetap gigih dan pantang menyerah untuk
mengembangkan konsep ini sehingga terus dilakukan diskusi untuk memperoleh
aspirasi masyarakat dan mencari tahu akar masalah masyarakat tidak yakin akan
pengembangan pariwisata. Pada akhirnya pada fase ini berangkat dari Kepada
Desa Pujon Kidul yang terus melakukan edukasi dan sikap sadar wisata sampai
akhirnya mampu mengubah pola pikir masyarakat di desa tersebut walaupun
membutuhkan proses yang lama hingga 5 tahun lamanya
4.1.3.2 Fase Involvement (Pelibatan)
Pada fase ini terdapat beberapa penanaman prinsip dan konsep serta
pembentukan kelompok khusus dari Kepala Desa Pujon Kidul kepada seluruh
masyarakat agar menunjang proses realisasi ide dan pengembangan konsep desa
wisata. Contoh yang dilakukan dalam fase ini antara lain:
a. Perangkat desa harus menerapkan minimal 4 dari 7 prinsip sapta pesona
yaitu prinsip bersih, aman, sejuk, dan tertib.
b. Menerapkan prinsip 3S (Solid, Speed, Smart) untuk menciptakan budaya
aktif, kreatif, inovatif.
c. Mendirikan BUMDes sebagai upaya eksplorasi potensi desa sekaligus
sarana investasi dalam pemenuhan dana pembangunan
d. Membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang beranggotakan
pemuda desa untuk membantu mengedukasi dan mengarahkan masyarakat.

18
4.1.3.3 Fase Development (Pengembangan)
Pada fase ini terdapat beberapa pengembangan yang dilakukan oleh Desa
Wisata Pujon Kidul sebagai usaha untuk meningkatkan aksesibilitas dan
kelengkapan fasilitas di wilayah tersbeut. Pengembangan tersebut antara lain,
a. Pengembangan kegiatan usaha di Desa Pujon Kidul seperti cafe sawah,
wisata edukasi, live in, toko oleh-oleh, dan hiburan lainnya (ATV dan
berkuda).
b. Pemuda desa dan POKDARWIS berperan besar dalam merancang
kawasan dan membangun saung-saung di sekitar sawah.
c. Mengembangkan jaringan dengan pihak BUMN (BNI) untuk membangun
sarana dan prasarana penunjang wisata.
d. Pemerintah desa membatasi masuknya investasi swasta dalam
pengembangan wisata.
e. Pemerintah desa mengembangkan jaringan dengan media massa (cetak dan
elektronik) seperti Kompas, Jawa Pos, Net TV, Global TV, dsb. dalam
rangka mempromosikan desa wisata.
f. Memanfaatkan potensi keilmuan di lingkungan sekitarnya melalui
pengembangan jaringan dengan akademisi di Universitas Brawijaya
Malang.
4.1.3.4 Fase Consolidation
Pada fase ini Desa Wisata Kampung Pujon Kidul tetap mengalami
peningkatan wisatawan namun dengan pertumbuhan yang menurun. Desa ini
mulai tergantung terhadap sektor pariwisata yang sedang berkembang. Maka
untuk tetap dapat mempertahankan eksistensinya Desa Wisata Kampung Pujon
melakukan beberapa hal antara lain :
a. Diadakan forum evaluasi rutin antara Pemerintah Desa yang melibatkan
Organisasi Desa (BPD. LPMD, Pokdarwis) dan kelompok pemuda.
b. Dalam rangka pemantauan kondisi masyarakat dan transparansi anggaran
desa, dikembangkan aplikasi yang berisi data dan informasi terkait yang
terupdate secara real-time.
c. Untuk update data kondisi masyarakat, pemerintah desa menunjuk kader
IT (dua orang tiap RT) yang bertugas mengupdate data kependudukan
warga (orang mati, ibu hamil, sakit, dsb.) dan wisatawan.

19
d. Memanfaatkan potensi keilmuan di lingkungan sekitarnya melalui
pengembangan jaringan dengan akademisi di Universitas Brawijaya
Malang.
4.1.4 Dampak Pembangunan Pariwisata
Pengembangan Desa Wisata Kampung Pujon Kidul ini menghasilkan dampak
positif. Dampak ini sesuai dengan tujuan awal dari Inisiasi kepada Desa pembangunan
Desa ini sebagai desa wisata yaitu mendatangkan wisatawan dan memperbaiki kondisi
masyarakat dan perekonomian desa. Dampak dari pembangunan pariwisata di desa ini
dirasakan pada dua sektor yaitu sektor Ekonomi serta Sarana dan Prasarana.
4.1.4.1 Dampak pada Sektor Ekonomi
Dampak yang dihasilkan dari pembangunan pariwisata di Desa Wisata
Kampung Pujon Kidul pada sektor ekonomi antara lain,
a. Terdapat peningkatan kegiatan ekonomi di Desa Wisata Kampung Pujon
Kidul
b. Penyerapan tenaga kerja dari masyarakat sekitar Desa Pujon.
c. Meningkatnya pendapatan masyarakat Desa Pujon.
d. Terbuka peluang usaha baru bagi masyarakat Desa Pujon.
e. Perkembangan Desa yang sudah memiliki branding desa dan lebih dikenal
masyarakat luas
f. Meningkatnya pemasukan daerah Desa Pujon.
4.1.4.2 Dampak pada Sektor Sarana dan Prasarana
Dampak yang dihasilkan dari pembangunan pariwisata di Desa Wisata
Kampung Pujon Kidul pada sektor sarana dan prasarana antara lain,
a. Terjadi percepatan pembangunan kawasan di sekitar Desa Pujon.
b. Dibangun berbagai fasilitas penunjang kehidupan sehari-hari.
c. Terdapat berbagai pembangunan dari swasta maupun pemerintah.
4.1.5 Kondisi Akhir Desa Pujon Kidul

Kegiatan Usaha Penghargaan, Capaian, Pendapatan/Omzet


dan Apresiasi

1. Cafe sawah 1. 5 Desa dengan 1. 2018 pendapatan tahunan


2. The Roudh pengelolaan Homestay mencapai 14 miliar.
3. Fantasy Land Wisata Terbaik di Asia

20
4. Wisata Taman Budaya Tenggara (Forum 2. 2019 mencapai 19,7
5. Lentera Lampu ASEAN) miliar.
6. Berkuda 2. Desa Wisata Pertanian 3. 3 bulan awal tahun 2020
7. Paintball Terbaik 2018 sebelum pandemi datang,
8. Panahan (Kementerian Desa sudah mengantongi 9,4
9. Mobil bego PDTT) miliar.
10. Motor ATV 3. Penghargaan 4 Besar
11. Motor trail Sanitasi Cerdas
12. Tracking 4. Desa Tangguh (Pandemi
13. Inap Desa (Homestay) COVID-19)
14. Wisata Edukasi 5. Desa Mandiri Inspiratif
Pertanian (ADWI)
15. Wisata Edukasi 6. Kelompok kesadaran
16. Perternakan industri pariwisata
17. Wisata Olah Susu (Kementerian
18. Wisata Toga Pariwisata)
19. Wisata Petik Buah 7. Manajemen Keluarga
20. Kawasan Rumah Angkat Terbaik ASEAN
Pangan 21. Lestari 8. Penghargaan Program
Desa iklim (KLHK)
9. Penghargaan Pariwisata
Berkelanjutan
(Sustainable Tourism
Award (ISTA))

4.1.6 Analisis Jangka Panjang


Perkembangan Desa Wisata kampung Pujon Kidul ini sudah terintegrasi
dengan pekerjaan masyarakat yang bergantung terhadap pariwisata ini membuat
kesadaran masyarakat untuk turut membangun desa karena rasa memiliki. Seperti
ketika terjadi pandemi, Masyarakat tidak mencari pekerjaan lain, namun tetap berusaha
mengembangkan usahanya dan tetap bersatu-padu untuk mengembangkan dan
membangkitkan kegiatan wisata Desa.

21
Terdapat berbagai program Kreatifitas dan Inovasi yang sudah diterapkan pada
Desa Wisata Kawasan Kampung Pujon Kidul ini, seperti berkoordinasi dengan
destinasi wisata lain untuk memaksimalkan potensi yang ada. Selain itu pemerintah
desa juga memberdayakan PKK dalam peningkatan kualitas Homestay dan oleh-oleh.
Sebagai usaha membantu perekonomian masyarakat juga diterapkan simpan pinjam
untuk Masyarakat Desa. Pemerintah desa juga memikirkan isu lingkungan mengenai
limbah yang dihasilkan dari kegiatan wisata. Oleh karena itu pengelola mendirikan
TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu), yaitu memanfaatkan kembali limbah
dari kegiatan wisata lainnya.
Pengelola masih berusaha untuk mengubah pola pikir masyarakat agar sadar
terhadap potensi wisata yang ada di desa mereka. Selain itu pengelola juga terbuka
kepada masukan masyarakat dan pihak luar. Pengelola juga melakukan usaha
perbaikan fasilitas dan pelatihan-pelatihan peningkatan kualitas SDM pada saat ditutup
sementara akibat pandemi sebagai persiapan re-operasional. Kolaborasi dan koordinasi
secara PentaHelix dengan pihak-pihak terkait juga dirasa penting demi perkembangan
Desa Pujon.
Desa Wisata Kampung Pujon Kidul ini juga sudah mendapatkan dukungan dari
pemerintah. Dukungan yang diberikan adalah dalam bentuk pemberian motivasi dan
bantuan sesuai kebutuhan yang diperlukan oleh Desa. Bantuan tersebut seperti dana
dan pelatihan bagi masyarakat dan pengelola.
Dalam pelaksanaannya, Desa Wisata Kampung Pujon Kidul ini masih memiliki
berbagai kekurangan dan hambatan. Beberapa kekurangan dan hambatan yang ada
antara lain,
a. Harga paket wisata cenderung mahal
b. Promosi yang dilakukan tidak menyeluruh
c. Kualitas buah bergantung pada musim (menghambat wisata petik buah)
d. Inventarisasi aset, sinkronisasi unit usaha kepada induk BUMDes, dan pembagian
hasil usaha BUMDes yang persentasenya tetap dan tidak fleksibel
e. Beberapa regulasi masih berlawanan dengan pemahaman masyarakat
f. Masyarakat desa belum berpartisipasi penuh mendukung BUMDes/Desa Wisata
Pujon Kidul
4.2 Analisis Kondisi Studi Kasus Gagal Evolusi Pariwisata di Indonesia
4.2.1 Gambaran Umum Wilayah

22
Kampung Gajah Wonderland adalah salah satu wahana permainan baru di
Bandung, tepatnya di Kawasan Cihideung, Parongpong, Kabupaten Bandung Barat.
Tempat wisata ini mengusung sarana wisata, rekreasi, belanja dan kuliner dalam satu
spot di Bandung Barat. Kampung gajah ini didirikan pada tahun 2009 oleh PT. Kurnia
Cipta Wahana. Secara teknis, Kampung Gajah memiliki lahan seluas 60 hektar yang
terdiri dari 39 wahana bermain. Tempat wisata ini mengusung slogan “ Fun, Exotic, &
Recreation” dalam tiap wahana yang disediakan. Banyaknya variasi spot wisata yang
ditawarkan, maka Kampung Wisata ini menghadirkan one stop recreation centre
dengan menghadirkan restoran, shopping, arcade, dan guest house dalam satu lokasi.
Namun, Kampung Gajah Wonderland ini hanya berumur 7 tahun kurang seminggu
sebelum dinyatakan pailit pada 13 Desember 2017 lalu. PT Cahaya Adiputra Sentosa
(CAS) selaku pemegang lisensi Kampung Gajah Wonderland dinyatakan memiliki
total hutang sebesar Rp 651 miliar. PT Cahaya Adiputra Sentosa (CAS) dianggap
tidak mampu membayar sehingga diputus pailit dan menyisakan aset berupa lahan dan
bangunan Kampung Gajah yang kini keberadaanya tengah dilelang.

Gambar 4.2.1.1 Kondisi Kampung Gajah Sebelum dan Sesudah Pailit


Sumber: Liputan6.com
4.2.2 Kondisi Awal Wisata Kampung Gajah

Kampung Gajah Wonderland ini dibangun diatas kawasan dengan luas 60 hektar
dengan izin pengembangan sampai 200 hektar dengan jumlah wahana sekitar 30 wahana.
Di awal kemunculannya, tempat wisata ini selalu ramai dikunjungi wisatawan yang hendak
berlibur bersama keluarga hingga berwisata kuliner di sejumlah restoran yang ada di sana.
Macam-macam wahana yang ditawarkan adalah:
- Wahana Kolam Ombak, kolam anak
- Wahana Big Tornado

23
- Child Playground
- Rumah-rumahan mirip kartun
- Flying fox, Tubby Slide, ATV, Segway, Body Cycle, Delman Royal, Side Car,
Futuristic Train, Go-kart, Paintball, Mini Zoo, 4D Rider, Motogolf, Grass Skating,
Area Fishing Family, Face Painting
- Food stand, resto & cafe , serta bar & lounge
- dll.
Kampung gajah ini memiliki lokasi yang strategis karena terletak di dataran tinggi
dengan pesona alam yang indah. Akses menuju kampung gajah ini juga tergolong mudah
karena berada di jalan besar dan konektivitas cukup baik karena khusus wisatawan luar
kota bisa keluar melalui Gerbang Tol Pasteur. Banyaknya variasi wahana,spot, dan fasilitas
yang ada didalam dan di sekitar kawasan ini membuat segala kebutuhan wisatawan dapat
terpenuhi dengan baik, didukung dengan lokasi kampung gajah ini yang tidak jauh dari
perkotaan turut mendukung pemasokan barang dan kebutuhan ke area sekitar kawasan.
Kehadiran kampung gajah wonderland ini dinilai turut meningkatkan ekonomi
warga sekitar karena mayoritas tenaga kerja yang digunakan merupakan masyarakat yang
berdomisili di sekitar kawasan wisata. Hal ini menyebabkan jumlah pengangguran
berkurang karena meningkatnya lapangan pekerjaan. Tidak hanya dari sisi tenaga kerja,
kampung gajah ini juga banyak memanfaatkan potensi sekitar seperti rumah masyarakat
yang dialih fungsikan menjadi guest house dengan penawaran berupa experience,
restaurant, sentra souvenir dan lain lain. Hal ini juga menjadi keuntungan bagi pihak PT
CSA dan warga setempat, karena adanya hubungan transaksional yang terjadi, seperti PT
CSA tidak perlu melakukan banyak pembangunan dan warga setempat bisa mendapatkan
hasil sewa
4.2.3 Analisis Evolusi
4.2.3.1 Fase Exploration (Eksplorasi)
Lahan peruntukan kawasan wisata kampung gajah wonderland ini dulunya
ingin dikembangkan menjadi kawasan perumahan elit Century Hills. Namun pada
keberjalanan proses pembuatannya, para developer mulai melihat potensi lain yang
dimiliki oleh kawasan ini dari segi akses maupun minat wisatawan terkait hal hal
yang berbau alam. Pertimbangan yang dilakukan oleh developer ini membuat
peruntukan kawasan atau lahan kosong ini menjadi sebuah kawasan wisata.

24
Seiring pembangunan dan perkembangan Kawasan Wisata Kampung Gajah
ini ternyata didukung oleh kestrategisan lokasi yang dimiliki karena berada tidak jauh
dari Kota Bandun. Hal ini dapat terlihat dari jumlah pengunjung yang meningkat
setiap harinya dengan rata rata pengunjung adalah 500 - 2000 pengunjung
4.2.3.2 Fase Involvement (Pelibatan)
Pengelolaan kawasan wisata kampung gajah wonderland dilaksanakan
secara privat,. Kawasan ini pertama kali dibangun oleh PT. Kurnia Cipta Wahana,
yang kemudian setelah selesai tahap pembangunan, diserahkan pengelolaannya
kepada PT. Cahaya Adiputra Sentosa hingga akhir masa kejayaannya di tahun 2017.
Pada fase ini, partisipasi masyarakat mulai ditingkatkan ditandai dengan banyak
masyarakat sekitar yang mulai dilibatkan sebagai pegawai di lingkungan atraksi
pariwisata. Bentuk partisipasi dari masyarakat sendiri beragam, mulai menjadi
pegawai di masing masing wahana yang disediakan hingga menyewakan rumah
untuk dikembangkan menjadi guest house, restaurant, toko souvenir, dll
4.2.3.3 Fase Development
Pengembangan pembangunan kawasan wisata kampung gajah terbagi
menjadi dua tahap. Tahap pertama dimulai dengan pembangunan kawasan
Wonderland yang berisikan lebih dari 20 wahana, kemudian disusul dengan
pembangunan tahap kedua yaitu Waterpark dengan 5 wahana. Kedua pembangunan
ini dilakukan di atas lahan seluas 60 Hektar dengan mengusung slogan “Fun, Exotic,
& Recreation”. Setelah tahap pembangunan dan siap untuk di pasarkan, berbagai
bentuk promosi dilakukan untuk menarik wisatawan, dan didukung oleh letak
Kampung Gajah Wonderland ini yang cukup strategis karena berada di Jl. Sersan
Bajuri, Kabupaten Bandung Barat atau dikenal dengan area Lembang menjadikan
Kampung Gajah sebagai destinasi favorit dengan rata-rata jumlah pengunjung
500-2000 orang/hari
4.2.3.4 Fase Rejuvenation
Seiring berjalannya waktu, pihak pengelola mulai mendaptkan inputan
terkait hal hal yang harus dibenahi dalam kawasan wisata mereka, salah satunya
adalah harga tiket yang cenderung mahal. Keluhan ini kemudian ditanggapi oleh
pengelola Kampung Wisata dan dikeluarkanlah solusi terkait paket terusan sebagai
alternatif solusi jika dibandingkan membeli tiket terpisah. Kawasan wisata kampung
gajah menawarkan paket terusan seharga Rp. 200.000 untuk weekend dan Rp.

25
150.000 untuk weekday yang berlaku untuk 1x permainan pada 18 wahana saja tidak
termasuk wahana lainnya di luar tiket terusan. Selain itu, kawasan wisata kampung
gajah menghadirkan one stop recreation centre dengan menghadirkan restoran,
shopping arcade, dan guest house dalam satu lokasi
4.2.3.5 Fase Stagnation
Pada fase ini, kawasan wisata kampung gajah mulai mengalami fase kritis
karena sudah mulai terlihat tanda-tanda akan mengalami kemunduran. Hal tersebut
terlihat dari beberapa faktor berikut:
1. Sistem ticketing yang membagi tarif berdasarkan wahana seringkali
dikeluhkan oleh pengunjung karena menjadi mahal untuk berwisata di
Kampung Gajah.
2. Pelayanan yang dihadirkan dalam fasilitas penunjang seperti restoran dan
penginapan masih dirasa kurang baik sehingga banyak pengunjung yang
memilih akomodasi di luar Kampung Gajah meski berkonsep one-stop
recreational centre.
4.2.3.6 Fase Decline
Setelah mengalami masa stagnation, wisata kampung gajah akhirnya
mengalami kemunduran. Hal tersebut dikarenakan, wisata kampung gajah tidak
dapat mengatasi masalah-masalah yang dapat mengancam keberjalanannya,
sehingga tidak mampu mengarahkan kepada fase perbaikan atau peremajaan.
Kemunduran ini terlihat dari ditutupnya wisata kampung gajah tersebut.
Wisata Kampung Gajah hanya mampu beroperasi selama 8 tahun dimana
pada tahun 2018 ditutup karena pengelola PT. Cahaya Adiputra Sentosa dinyatakan
pailit karena tidak mampu membayar hutang sebesar 651 miliar
4.2.4 Kondisi Akhir Wisata Kampung Gajah

1. Ditutup
Setelah beroperasi selama kurang lebih 7 tahun, mulai dari tahap
pembangunan di tahun 2010 hingga akhirnya mengalami pailit di akhir tahun
2017, Kampung Gajah Wonderland akhirnya resmi ditutup pada bulan Mei
tahun 2018. Terdapat keluhan dari pengunjung sebelum kampung gajah ini
resmi ditutup yaitu berupa harga tiket yang menjadi mahal.
2. Pailit/Bangkrut

26
Wisata Kampung Gajah dinyatakan pailit/bangkrut berdasarkan putusan dari
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 13 Desember 2017. Hal tersebut
dikarenakan adanya kendala operasional untuk dapat melanjutkan kegiatan
wisatanya.
3. Dikenal Menjadi Tempat Angker
Setelah 4 tahun terbengkalai, Wisata Kampung Gajah dikenal sebagai wisata
horor oleh masyarakat sekitar. Dengan luas kawasan 60 hektare ditambah
dengan kondisi bangunan yg tidak terawat dan ditumbuhi banyak ilalang
menjadikan wisata Kampung Gajah seperti kota mati dan banyak masyarakat
yang mengabadikan momen ditempat tersebut.

27
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Tinjauan terhadap keberhasilan atau kegagalan daerah tujuan wisata dapat ditinjau
menggunakan tools Grand Theory TALC sebuah konsep yang diterapkan atau digunakan
dalam pengembangan suatu daerah wisata. Kerangka ini merupakan sebuah alur natural
yang terjadi pada sebuah lokasi destinasi wisata akan tetapi baru diteliti pada awal 1980
oleh Butler. Secara lebih lanjut kondisi evolusi dianalisis secara lebih lanjut melalui Middle
Theory Doxey’s irritation index atau Irridex merupakan sebuah sebuah teori yang
digunakan dalam pembahasan terkait perubahan sikap penduduk terhadap kehadiran para
wisatawan dan pengembangan wisata. Dan dalam konteks pengembangan destinasi
pariwisata di Indonesia diterapkan Applied Theory sebagai Siklus Pembangunan Pariwisata
(Kementerian Pariwisata, 2014) dimana model ini merupakan model yang dirancang oleh
kementrian pariwisata yang dimuat dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perjalanan Wisata
Pengenalan. Kemudian dilakukan studi kasus terhadap contoh kasus evolusi gagal dan
berhasil daerah tujuan wisata di Indonesia, dan diperoleh kesimpulan sebagai berikut
5.1.1 Studi Kasus Gagal Evolusi Daerah Tujuan Wisata
Kegagalan evolusi daerah tujuan wisata di Kampung Gajah Wonderland sudah
memasuki tahap Decline pada Tourism Area Life Cycle Model. Dimana faktor kegagalan
yang menyebabkan kemunduran pada kawasan Kampung Gajah Wonderland diantaranya
adalah:
1. Kurang peka dan tidak responsif terhadap faktor-faktor negatif yang muncul.
2. Memperoleh banyak kritik terhadap tiket tiap wahana yang dibanderol relatif tinggi,
tidak terawatnya fasilitas-fasilitas yang ada di dalamnya.
3. Kurang berinovasi dalam pengembangan wahana permainan sebagai daya tarik
pariwisata sehingga tidak ada perubahan signifikan dialami.
4. Tidak segera mengambil tindakan saat mengalami kerugian sehingga setidaknya PT
CAS tercatat memiliki utang mencapai Rp 651 miliar kepada lebih dari 17 kreditor.
5.1.2 Studi Kasus Berhasil Evolusi Daerah Tujuan Wisata
Desa Wisata Pujon Kidul merupakan salah satu contoh daerah yang sudah cukup
berhasil dikembangkan. Berawal dari keinginan seorang Kepala Desa dan sekarang sudah

28
berada pada tahap consolidation, walaupun terdapat beberapa hambatan. Pengembangan
desa wisata tersebut juga dapat mengubah kondisi kehidupan masyarakat menjadi lebih
baik. Banyak dampak yang dirasakan, baik oleh Desa Pujon Kidul, maupun Kab. Malang.
Pemerintah Desa Wisata Pujon Kidul Kabupaten Malang harus mampu menjaga agar
destinasi wisata yang ada wilayah tersebut tetap berkelanjutan sehingga tidak mencapai
fase stagnasi bahkan sampai menuju deklinasi atau penurunan pada pengembangan
kawasan wisata Desa Pujon Kidul.
5.2 Saran
5.2.1 Studi Kasus Gagal Evolusi Daerah Tujuan Wisata
Kegagalan evolusi daerah tujuan wisata di Kampung Gajah Wonderland
sudah memasuki tahap Decline pada Tourism Area Life Cycle Model. Sehingga
perlu dilakukan upaya pengembangan lebih lanjut terhadap Kampung Gajah
Wonderland sehingga memasuki fase Peremajaan (Rejuvenation)
1. Lebih peka dan responsif terhadap faktor-faktor negatif yang muncul.
2. Adaptif dan menerima kritik terhadap tiket tiap wahana yang dibanderol
relatif tinggi, tidak terawatnya fasilitas-fasilitas yang ada di dalamnya.
3. Berinovasi dalam pengembangan wahana permainan sebagai daya tarik
pariwisata sehingga tidak ada perubahan signifikan dialami.
4. Responsif mengambil tindakan saat mengalami kerugian sehingga
setidaknya PT CAS tercatat memiliki utang mencapai Rp 651 miliar kepada
lebih dari 17 kreditor.
5.2.2 Studi Kasus Berhasil Evolusi Daerah Tujuan Wisata
Dengan semakin berkembangnya Desa Wisata Pujon Kidul, perlu diimbangi
dengan dilakukan upaya untuk menghadapi fase stagnasi. Dengan demikian, Desa
Wisata Pujon Kidul tidak mengalami kemunduran, tetapi akan semakin berkembang
lebih baik terutama dengan memanfaatkan sumber daya Masyarakat Desa sehingga
mampu memiliki swadaya pengembangan pariwisata yang baik

29
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Raharjo. 2006. Membangun Desa Partisipastif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hadiwijoyo, Suryo Sakti. 2012. Perencanaan Pariwisata Pedesaan Berbasis Masyarakat.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Moleong, Lexy J. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Reamaja Roskadarya.

Muljadi, A.J dan H. Andri Warman. 2014. Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta:
Rajawali Pers.

Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: CV Andi
Offset.

Pitana, I Gde dan I Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Andi
Offset.

Sudriamunawar, Haryono. 2006. Kepemimpinan, Peran Serta, Produktivitas. Bandung:


Mandar Maju.

Tim RIP LPPM Unud. 2016. Rencana Induk Penelitian (RIP) Universitas Udayana
2017-2021. Bukit Jimbaran Badung : Lembaga Penelitian dan Pengabdian (LPPM)

Universitas Udayana Tim Fakultas Pariwisata Unud. 2017. “Kajian Grand Design
Pariwisata Kabupaten Luwu Timur-Provinsi Sulawesi Selatan”. Laporan yang Tidak
dipublikasikan. Denpasar : Universitas Udayana

30

Anda mungkin juga menyukai