Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI KONSEP


POLITIK
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Politik
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Sarbaini, M.Pd

Oleh :
Kelompok 11
1. Nurshohib (2210112210006)
2. Noor Sanita (2210112220008)
3. Yulia Fitri (2210112220032)
4. Ananda Shofia Adelly (2210112220031)

KELAS A1
JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. Atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah berjudul “PENGAMBILAN KEPUTUSAN
SEBAGAI KONSEP POLITIK” dapat kami selesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada
dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Politik yang telah memberikan tugas terhadap kami. Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang pengambilan keputusan di
berbagai bidang pemerintahan di Indonesia bagi para pembaca dan kami sebagai penulis.

Kami jauh dari kata sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan
saran yang membangun senantiasa kami harapkan.

Banjarmasin, 10 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................

KATA PENGANTAR...........................................................................................

DAFTAR ISI..........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................

a. Latar Belakang..................................................................................................................
b. Rumusan Masalah.............................................................................................................
c. Tujuan Masalah.................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................

1. Bagaimana proses musyawarah yang digunakan sebagai pengambilan keputusan


dalam masyarakat Indonesia?...........................................................................................
2. Mengapa demokrasi digunakan sebagai proses pengambilan keputusan politik?...........
3. Bagaimana bentuk proses pengambilan keputusan di MPR, DPR, DPD, DPRD dan
Partai politik?....................................................................................................................

BAB III PENUTUP...............................................................................................

A. Kesimpulan.......................................................................................................................
B. Saran.................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Keputusan didefinisikan sebagai proses penelusuran masalah yang berawal dari latar
belakang masalah, identifikasi masalah hingga kepada terbentuknya kesimpulan atau
rekomendasi (Fahmi, 2013). Sedangkan Desicion making (pengambilan keputusan) adalah
sebuah mekanisme dalam melakukan penilaian dan menyeleksi sebuah atau beberapa pilihan.
Ketetapan desicion making dirumuskan setelah menjalani beberapa proses perhitungan
rasional dan peninjauan alternatif.

Adapun menurut salah satu ahli, pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif
perilaku atau kelakuan tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada (George R. Terry).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa keputusan itu diambil dengan sengaja, tidak secara
kebetulan, dan tidak boleh sembarangan. Pengambilan keputuan itu sendiri suatu cara yang
digunakan untuk memberikan suatu pendapat yang dapat menyelesaikan suatu masalah
dengan cara atau teknik tertentu agar lebih diterima oleh semua pihak.

B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana proses musyawarah yang digunakan sebagai pengambilan keputusan
dalam masyarakat Indonesia?
2. Mengapa demokrasi digunakan sebagai proses pengambilan keputusan politik?
3. Bagaimana bentuk proses pengambilan keputusan di MPR, DPR, DPD, DPRD dan
Partai politik?
C. Tujuan Masalah.
1. Untuk memahami proses musyawarah yang digunakan oleh masyarakat Indonesia
dalam pengambilan keputusan.
2. Untuk memahami demokrasi yang digunakan sebagai proses pengambilan keputusan
politik.
3. Untuk mengetahui proses pengambilan keputusan di MPR, DPR, DPD, DPRD dan
Partai politik.
BAB II

PEMBAHASAN

Keputusan berasal dari kata decision. Hal ini dapat diartikan sebagai hasil dari suatu
argumen yang disepakati bersama atau disepakati oleh orang-orang yang berbicara. Suatu
keputusan disebut keputusan bersama apabila dibuat dan dilakukan oleh beberapa orang
secara bersama-sama untuk kepentingan bersama. Penetapan bersama adalah keputusan yang
dibuat dan dilaksanakan secara bersama-sama untuk kepentingan umum atau melibatkan
seluruh pemangku kepentingan.

Keputusan bersama adalah keputusan yang dibuat oleh sekelompok orang mengenai suatu
isu atau isu. Orang berdiskusi, berunding, atau berunding sebelum membuat keputusan
bersama. Pembicaraan saling memberi ide, gagasan, pendapat, atau saran tentang masalah
masa depan. Jadi dalam diskusi ada masalah yang perlu diselesaikan dan rencana yang perlu
diimplementasikan. Masalah atau rencana adalah milik bersama dan bukan milik orang lain.
Oleh karena itu, perlu untuk berbicara, bertemu, atau berdiskusi untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu, dalam penentuan bersama, bukan pendapat siapa pun atau
pendapat wajib yang menjadi konsensus. Namun, dalam penentuan bersama, pendapat ini
adalah pendapat konsensus atau pendapat yang disepakati dengan persetujuan bersama
antara orang-orang. Meskipun disetujui maka itu menjadi pendapat bersama dan keputusan
bersama, bukan lagi dianggap sebagai pendapat orang itu.

1. Musyawarah sebagai proses pengambilan keputusan dalam


masyarakat Indonesia.

Salah satu bentuk keputusan bersama adalah musyawarah untuk mufakat. Musyawarah
merupakan bentuk pengambilan keputusan bersama yang mengutamakan kesatuan.
Musyawarah dilakukan berdasarkan berbagai pendapat. Setelah semua pendapat telah
didengar dan dipertimbangkan, pendapat yang paling menguntungkan akan disepakati
bersama. Tentu saja, tidak mudah untuk memutuskan pendapat mana yang terbaik dari semua
pendapat yang berbeda. Semua orang biasanya mengatakan pendapat mereka adalah yang
terbaik. Setelah semua pendapat diungkapkan, percakapan akan dilakukan. Setelah
musyawarah, akhirnya kami sepakat. Ini disebut konsensus atau kesepakatan perundingan
bersama. Konsensus berharap bahwa keputusan bersama yang dibuat oleh akan
mencerminkan semua pandangan. Oleh karena itu, tidak satu pun dari anggota merasa
pendapat mereka tidak dipertimbangkan. Konsultasi konsensus biasanya dilakukan dalam
organisasi dengan sejumlah kecil anggota. Misalnya keluarga, Rukun Tetanga (RT), Desa.
Mereka akan bertemu di untuk pertemuan dan pertemuan di mana mereka semua akan duduk
bersama dan mendiskusikan topik yang perlu didiskusikan.

2. Demokrasi sebagai proses pengambilan keputusan politik.

Istilah demokrasi berasal dari dua asal kata bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “kratos”
atau “kratein”. Menurut artinya secara harfiah yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu
“demos” yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan, sehingga kata
demokrasi berarti suatu pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Demokrasi menyiratkan
arti kekuasaan itu pada hakikatnya yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sekalipun sejelas itu arti istilah demokrasi menurut bunyi kata-kata asalnya, akan tetapi
dalam praktek demokrasi itu dipahami dan dijalankan secara berbeda-beda, bahkan
perkembangannya sangat tidak terkontrol. Ilmu politik bukanlah ilmu pasti. Berpolitik adalah
bertindak sesuai dengan kondisi dan situasi tertentu dalam mengarahkan tindakan pada
sebuah tujuan. Tanpa harus menghalalkan segala cara, sebagaimana yang dilakukan Niccolò
Machiavelli seorang diplomat dan politikus serta filsuf Italia yang sangat disegani di Eropa
pada masa Renaisans. Rennaissance adalah sebuah periode yang menandakan kelahiran
kembali peradaban dan kebudayaan Eropa. Zaman Renaissance ditandai dengan munculnya
penghargaan terhadap etika, estetika dan rasionalitas. Kajian ilmu politik yang menjadikan
kebijakan sebagai bidang kajiannya berasumsi bahwa setiap orang, masyarakat ataupun
negara mempunyai tujuan bersama dan untuk melaksanakan tujuan tersebut dibutuhkan
suatu aturan yang mengikat. Aturan tersebut dibuat dalam bentuk kebijakan-kebijakan.

Dalam konteks pengambilan keputusan, pendapat Mirriam Budiardjo (1992:11) yang


mengatakan bahwa keputusan (decision) adalah membuat pilihan di antara beberapa
alternatif, sejalan dengan Joys Micthel “Collective decision making or the making of public
policies for entire society”. Pendapat ini sama juga dengan pendapat Karl W. Deutsch
dalam bukunya Politics and Government, How people decide their Fate menyatakan:
“Politics is the making of decisions by publics means”. Beberapa contoh yang termasuk
dalam kebijakan negara, antara lain memelihara ketertiban umum, memajukan
perkembangan masyarakat dalam berbagai hal, mengorganisir berbagai aktivitas dan
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.

Seperti dikutip A. Hoogerwerf (1985:46) dalam bukunya Politikologi, antara lain :


Kehidupan politik menurut pendirian yang lazim, meliputi semua aktifitas yang berpengaruh
terhadap kebijakan yang diterima baik bagi suatu masyarakat dan terhadap cara pelaksanaan
kebijakn tersebut. (David Easton). Politik adalah aspek dari semua perbuatan yang berkenaan
dengan usaha kolektif bagi tujuan-tujuan (Talcott Parson 1966:71-72) yang diartikan
dengan proses politik adalah sustu proses pembentukan kebijakan, pelaksanaan kebijakan
atau pembentukan kekuasaan dalam suatu sistem politik baik yang terorganisir maupun
tidak. (G. Kuypers 1973:164)

Pengambilan keputusan adalah suatu proses menentukan pilihan berdasarkan alternatif-


alternatif yang disusun. Kajian ilmu politik yang menempatkan pengambilan keputusan
sebagai obyek studinya berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan pusat dari
proses politik, hal ini terutama didasarkan suatu kenyataan bahwa suatu kebijakan adalah
sebagai pengejawantahan kekuasaan merupakan hasil dari pengambilan keputusan.

Adapun proses pengambilan keputusan itu sendiri dilakukan melalui beberapa tahapan,
diantaranya :

 Tahap pertama, mengetahui atau mempelajari persoalan-persoalan yang perlu


diambil keputusannya.
 Tahap kedua, merumuskan persoalan/masalah dengan jelas.
 Tahap ketiga, membuat daftar tujuan yang mungkin dicapai berdasarkan urutan
kebutuhan-kebutuhan yang lebih penting.
 Tahap keempat adalah mengetahui semua sarana yang mungkin dibutuhkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang disusun serta merencanakan biaya yang
dibutuhkan untuk tiap alternatif yang diharapkan akan dapat mencapai tujuan.
 Tahap kelima adalah membuat seleksi tentang tujuan mana yang akan dicapai
dengan biaya seminimal mungkin dan hasil yang semaksimal mungkin.

3. Proses pengambilan keputusan di MPR, DPR, DPD, DPRD dan


Partai politik.
A. Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR).
Melalui sidang yang telah di atur dalam Undang-Undang, diantaranya :

- Pasal 59.

“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak anggota MPR diatur
dengan peraturan MPR tentang tata tertib.”

- Pasal 60.
1. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 (lima) tahun di ibu kota negara.
2. Persidangan MPR di selenggarakan untuk melaksanakan tugas dan kewenangan
MPR sebagaimana dimaksud pasal 4.
- Pasal 61.

“Ketentuan mengenai tata cara persidangan diatur dengan MPR tentang tata tertib.”

- Pasal 62
Sidang MPR dapat mengambil keputusan apabila:
1. Di hadiri sekurang - kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR dan di
setujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) Ditambah 1 (satu)
anggota dari seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-
Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945.
2. Di hadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga per empat) dari anggota MPR yang
disetujui sekurang-kurangnya 2\3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR yang
hadir untuk memutuskan usulan dari DPR tentang pemberhentian Presiden\ wakil
Presiden.
3. Di hadiri sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota MPR
di tambah 1% (satu persen) dari anggota MPR yang hadir untuk sidang selain
sebagaimana yang di maksud huruf A dan B.

B. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya diusahakan sejauh mungkin
dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila tidak terpenuhi, keputusan
diambil berdasarkan suara terbanyak. Setiap rapat DPR dapat mengambil keputusan apabila
dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat (kuorum), apabila tidak tercapai, rapat
ditunda sebanyak-banyaknya 2 kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari
24 jam. Setelah 2 kali penundaan kuorum belum juga tercapai, cara penyelesaiannya
diserahkan kepada Bamus (apabila terjadi dalam rapat Alat Kelengkapan DPR), atau kepada
Bamun dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi (apabila terjadi dalam rapat
Bamus). Secara lengkap dapat dilihat pada Tata tertib DPR RI BAB XVII. Pengambilan
keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada anggota rapat yang hadir diberikan
kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, dan dipandang cukup untuk diterima
oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi penyelesaian masalah yang
sedang dimusyawarahkan. Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam
rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh semua yang hadir. Keputusan
berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak
terpenuhi karena adanya pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi
dengan pendirian anggota rapat yang lain. Pengambilan keputusan secara terbuka dilakukan
apabila menyangkut kebijakan dan dilakukan secara tertutup apabila menyangkut orang atau
masalah lain yang dianggap perlu. Pemberian suara secara tertutup dilakukan dengan cara
tertulis, tanpa mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi suara atau tanda lain yang
dapat menghilangkan sifat kerahasiaan, atau dapat juga dilakukan dengan cara lain yang tetap
menjamin sifat kerahasiaan. Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila
diambil dalam rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh lebih separuh jumlah
anggota yang hadir.

C. Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

DPD selama menjalankan tugas dan fungsi dengan tugas kecil serta dengan jumlah
anggota tidak lebih dari anggota DPR. Dengan desain yang tidak seimbang tersebut DPD
kesulitan mengoptimalkan fungsi. Karena dengan kewenangan dan jumlah yang minim
tersebut maka suara DPD bila dilakukan sidang MPR maka tidak akan berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan. Posisi demikian kian menjadi lembaga DPD kian terpinggirkan
bahkan hanya sebagai lembaga antara ada dan tiada. Yang berdampak pula terhadap rusaknya
tatanan sistem check and balances di Parlemen. Tujuan awal pembentukan serta pentingnya
DPD sebagai penyeimbang yang seharusnya dijaga, bukan diobrak-abrik secara struktural
melalui undang-undang. Pelemahan DPD melalui undang-undang telah terjadi sejak Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2003 Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 27 Tentang 2009 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 itulah yang diajukan permohonan
Judicial review ke Mahkamah Konsitusi, melalui Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 itu
permohonan DPD dikabulkan. Setelah lahir Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta undang-undang terbaru yaitu Undang-undang Nomor 42
Tahun 2014 masih bermasalah dan mereduksi tugas bahkan DPD.

Undang-undang yang dibentuk seharusnya murni aspirasi rakyat untuk membangun


tatanan sistem yang ideal dan mampu memberikan keadilan serta bukan untuk tujuan lain
selain tujuan politik praktis. Namun sering kali undang-undang yang bermasalah dan
dibatalkan oleh Mahkamah konstitusi. Telah banyak yang berpendapat bahwa hal ini terjadi
karena “kekhilafan” para perancang undang-undang yang masih sangat dipengaruhi oleh
kepentingan politik tertentu. Deteminasi unsur politik (partai politik) terhadap hukum
tersebutlah yang kemudian melahirkan undang-undang yang kerap bermasalah.
Perkembangan politik saat memang menyenangkan kuatnya menarik minat di antara berbagai
kekuatan politik di parlemen. Dinamika politik yang mempengaruhi proses rancangan
rancangan undang-undang itu sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang
terlibat di dalamnya. Mengutip pernyataan Barbara Geddes dari University of California yang
mengatakan: " Apa pun kepentingan tambahan yang mungkin mereka miliki, sebagian besar
pemimpin politik ingin tetap menjabat, tujuan mereka hanya dapat dicapai di kantor,
kemungkinan besar akan berhasil ". Geddes menyebut para politisi tertarik untuk selalu
mempertahankan posisinya sehingga menjadi motivasi utama dalam setiap proses pembuatan
undang-undang. Logikanya sangat sederhana, kerapkali hukum dengan politik berada pada
dua kutub yang berbeda. Hukum yang bertujuan untuk memberikan-pembatasan terhadap
kelengkapan institusi negara bertujuan untuk menguasai secara lebih luas dengan cara-cara
tertentu. Dengan posisi yang berbeda seperti lahirnya hukum yang bebas dari kepentingan
politik praktis sangat sulit terjadi. Kekuasaan yang selalu melekat dalam diri partai politik,
sementara dominasi politik dominan dikendalikannya. Seperti yang dikata Robert Michell,
dalam partai politik selalu ada kelompok elit penentu yang memiliki posisi strategis sehingga
mengendalikan proses pengambilan keputusan. Termasuk keputusan dalam pembuatan suatu
undang-undang.

Saat berbagai masalah yang terus menghambat kinerja DPD dalam melaksanakan tugas
dan fungsi, serta di tengah upaya perjuangan DPD untuk memperkuat kewenangan
institusional lembaga tersebut beberapa anggota DPD pada tahun 2017 memutuskan saya
masuk kepengurusan partai politik. setidaknya ada 70 anggota DPD berbondong-bondong
masuk partai politik dan berafiliasi ke partai lainnya. Situation ini memunculkan bahwa DPD
akan menjadi penambahan tangan fraksi politik. Memang secara teori maupun praktik yang
diterapkan di berbagai negara, senat atau DPD memang tidak diharamkan untuk diisi kader
partai politik. Hanya saja, maksud asli UUD 1945 tidak menghendaki demikian.
Permasalahan Keterlibatan Anggota DPD dalam partai politik bukan merupakan suatu hal
yang baru. Hal tersebut dapat ditemukan dengan mudah sejak tahun pertama DPD terbentuk
dimana banyak anggota DPD terafiliasi dalam partai politik. Fenomena migrasi anggota DPD
secara hukum sah saja (legal) tidak ada norma hukum yang melarang hal tersebut. Meskipun
pernah ada aturan yang mewajibkan untuk menjadi anggota DPD tidak boleh berasal dari
partai politik seperti pada era Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan
Umum DPD, DPR dan DPRD . Namun pada era Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
syarat penghapusan tersebut, hingga dilakukan Judicial review ke Mahkamah Konstitusi
dengan nomor perkara 10/PUU-VI/2008. Mahkamah kemudian memutuskan keanggotaan
DPD yang berasal dari partai politik tidak bertentangan dengan konsitusi syarat “bukan
pengurus dan/atau anggota partai politik” untuk calon anggota DPD bukan merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut seolah-akan mengukuhkan dan benarkan mengikuti ketentuan
keanggotaan DPD yang berasal dari partai politik tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut akhirnya membuka ruang bagi pengurus partai politik untuk mencalonkan diri
sebagai anggota DPD tanpa harus melepaskan baju partai politiknya. Bahkan sampai dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang
menjadi payung hukum penyelenggaraan pemilihan anggota DPD tidak lagi memunculkan
larangan anggota DPD dari partai politik.

Melihat kondisi Indonesia saat ini yang sangat didominasi oleh partai politik. Maka akan
sangat sulit bagi anggota DPD yang terafiliasi dengan partai politik untuk memperjuangkan
kepentingan daerahnya secara mandiri dan independen, tanpa campur tangan partai politik.
Dalam hal ini antara posisi sebagai anggota DPD sekaligus sebagai pengurus partai politik
memisahkan yang bertentangan satu sama lain. Keterlibatan anggota DPD dalam partai
politik sangat rawan pengambilan kebijakan DPD berdampak paling fatal terhadap
kemandirian dan kemandirian kelembagaan DPD. Kondisi tersebut akan mengacaukan check
and balances istem yang diupayakan dalam parlemen pasca reformasi. Hingga DPD yang
seharusnya berfungsi sebagai kamar penyeimbang DPR menjadi tidak berarti sama sekali.
Solusi untuk menjaga DPD menjalankan fungsi check and balances dalam pertemuan
menemui jalan yang terjal karena penyuupan anggota partai politik dalam tubuh DPD.
kondisi yang menjadikan DPD layak sebagai satelit dari DPR, diperparah pula dengan
kondisi awal DPD dalam bidang legislatif yang tidak pula kuat. Maka realisasi untuk
mengubah undang-undang Pemilihan Umum serta undang-undang MD3 agar dapat
mensterilkan pengaruh partai politik ditubuh DPD akan sulit terwujud. Padahal perubahan
undang-undang tersebut menjadi sangat penting dalam mengatur relasi kekuasaan yang ada di
Parlemen serta berguna untuk memperkuat demokrasi. Setelah berbagai macam masalah
dalam DPD yang mengganggu lembaga tersebut, DPD bisa saja sampai ke bagian ujung
sejarahnya. Bukan karena lembaga tersebut dibubarkan tapi karena lembaga tersebut telah
kehilangan “roh”nya sebagai institusi yang merepsentasikan aspirasi daerah. Roh DPD yang
telah berganti dengan roh partai politik yang telah terjadi sewarna dengan apa yang di DPR
saat ini. Bukan mungkin berbagai masalah DPR saat ini turut pula menjangkiti tubuh DPD.

D. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (disingkat DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat
daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan wilayah di provinsi/
daerah kabupaten/kota) di Indonesia. DPRD disebutkan dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 3:
"Pemerintahan wilayah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum". DPRD kemudian
diatur lebih lanjut dengan undang-undang, terakhir melalui Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014.

- Pasal 372 (1)

Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD kabupaten/kota pada dasarnya dilakukan


dengan cara musyawarah untuk mufakat. (2) Apabila cara pengambilan keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak.

E. Partai Politik.

Pembenahan sistem kepartaian dan pemilihan umum (pemilu) untuk mencegah


munculnya oligarki politik. Pengambilan keputusan dalam partai politik (parpol) masih
dikuasai segelintir orang. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, biasanya
keputusan dalam partai ditentukan ketua umum dan sekretaris jenderal. Sementara itu,
pengurus dan anggota partai lainnya tidak memiliki akses yang memadai. Dia juga menyoroti
terus meningkatnya ambang batas partai untuk masuk parlemen. Sekarang ambang batas
parlemen 4 persen dan diwacanakan akan naik menjadi 7 persen pada pemilu 2024.
Masalahnya, partai dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak pernah transparan mengenai
metode ilmiah penentuan ambang batas itu. Peningkatan ambang batas hanya dilihat untuk
menyederhanakan jumlah partai. Di tingkat global itu ada rumusannya. Kita menerima saja
(ambang batas) 3,5 persen dan 4 persen. Logika rasional dibalik itu tidak pernah (diungkap)
kepada publik. Perempuan lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menerangkan, Indonesia
juga tidak memiliki pemilu sela. Padahal keberadaan pemilu sela ini bisa bermanfaat untuk
mengoreksi kebijakan dan perilaku anggota parlemen dengan cepat sehingga tidak harus
menunggu lima tahun. Kita ditinggalkan dalam pembahasan RUU Minerba, KPK, omnibus
law. Kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengoreksi partai yang semakin elitis," tuturnya.
Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), kuasa dewan pimpinan pusat (DPP) sebuah partai
itu sangat besar. Usulan calon dari daerah bisa mental karena selembar surat dukungan dari
DPP.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Keputusan adalah pilihan yang dibuat dari sejumlah pilihan yang tersedia. Keputusan
kolaboratif adalah keputusan yang dibuat bersama untuk kebaikan bersama dan dilaksanakan
bersama. Keputusan bersama dapat diambil dengan dua cara yaitu musyawarah untuk
mufakat dan dengan keputusan mayoritas. Suara mayoritas digunakan jika diskusi tidak
mencapai konsensus. Apa yang telah disepakati adalah milik bersama. Oleh karena itu, semua
pihak harus bertanggung jawab untuk melakukannya dengan tulus dan jujur demi kebaikan
dan kesuksesan bersama. Keputusan bersama harus dijunjung tinggi dengan sungguh-
sungguh dan sepenuhnya kejujuran, solidaritas, keikhlasan, keikhlasan, keikhlasan dan
tanggung jawab adalah nilai-nilai demokrasi Pancasila. Nilai ini harus diwujudkan dan
dipertahankan selama pengambilan keputusan dan implementasi. Cara yang tidak demokratis
dilakukan dngan paksaan, tekanan dan kekerasan. Sedangkan cara demokrasi dilaksanakan
melalui pertemuan, konsultasi dan dialog.

B. Saran.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, baik dari segi
penulisan maupun pengolah kata. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca untuk menyempurnakan untuk makalah selanjutnya. Kami
juga berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pendidikan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syaekhu, S. (2020). Teori Pengambilan Keputusan. Yogyakarta: Zahir Publishing.

Al Hakim, S. d. (2009). Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SD/MI Kelas 5. Jakarta: Pusat Perbukuan.

Sari, F. (2018). Metode dalam pengambilan keputusan. Yogyakarta: Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai