Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ANALISIS WAKAF PADA SAAT ZAMAN DAULAH MUAWIYAH


DAN PADA SAAT INI

Dosen Pengampu:
Dr. Widita Kurniasari, S.E.,M.E.
Dr. Zakik, S.E.,M.Si.

Disusun Oleh:

MOH.SALAMAN
NIM. 2102311001

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
2022

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmad dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang
telah menuntun kita dari zaman jahiliyah menuju ke zaman terang benderang yakni
addinul islam wal iman

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca


mengenai wakaf dan pelaksanaannya ,sebagai salah satu tugas mata kuliah Islam &
Ekonomi di Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Trunojoyo Madura.

Penulis mengucapkan banyak sekali terima kasih kepada Bapak Dr. Zakik, S.E.,
M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Iskam & Ekonomi. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu proses penulisan
makalah ini,sehimgga penulis dapat dengan lancar menyelesaikan makalah ini

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam


penulisan maupun penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapakan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sehingga penulis dapat
memperbaiki makalah ini.,umtuk kedepannya.

Bangkalan, 5 Desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Content
BAB I................................................................................................................................4
PENDAHULUAN............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................5
1.3 Tujuan................................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN...............................................................................................................6
2.1 Konsep Jaminan Sosial dalam Perspektif Islam............................................6
2.2 Jaminan Sosial pada masa Daulah Umayah..................................................7
2.3 Jaminan Sosial pada Masa Kini....................................................................10
BAB III...........................................................................................................................13
PENUTUP......................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan......................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wakaf merupakan salah satu tuntunan ajaran agama islam yang
menyangkut aspek kehidupan bermasyarakat dalam rangka ibadah ijtima’iyah
(ibadah sosial). Karna wakaf adalah ibadah, maka tujuan utamanya adalah yaitu
pengabdian terhadap tuhan yang maha esa Allah SWT.dan secara ihlas untuk
mendapat ridhonya. Dengan kata lain pelaksanaan wakaf harus di lakukan secara
lillahita’ala.yaitu dengan murni ihlas berniat untuk mengapdi kepada Allah
SWT.
Syariat wakaf telah dikenal sejak zaman Rasulullah, tepatnya ketika
hijrah ke Madinah. Rasulullah SAW sendiri yang pertama kali mewakafkan
tanah milik untuk di bangun Masjid. Masjid yang di bangun atas dasar takwa itu
kini dikenal dengan sebutan Masjid Quba. Setelah itu, wakaf banyak
dipraktekkan para sahabat selanjutnya.
praktek wakaf juga berjaya di era selanjutnya, salah satunya di masa
khilafah Umayyah. Seiring dengan terus meluasnya wilayah kekuasaan umat di
era dinasti Umayyah, Islam telah menjadi negara yang kuat dan damai. Para
pakar menyebut dinasti Umayyah sebagai masa keemasan pencapaian kejayaan
pemerintahan Islam. Meski memerintah kurang dari satu abad, berbagai
kemajuan telah banyak diraih. Berbagai praktik ekonomi Islam makin
dikembangkan, mulai dari sedekah, Zakat, infak, dan wakaf.
Selama ini Perwakafan belum di lakukan peraturan secara
tuntas ,khususnya dalam peraturan perundang undangan yang sudah ada ,yaitu
banyak sekali terjadi penyimpangan yang sangat jauh bertolak belakang dengan
tujuan dari wakaf itu sendiri,dan juga kurangnya ketertiban dalam pendataan
yang menyebabkan banyak wakaf yang malah masuk kedalam siklus
perdaganan.

Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada
tahun 41 H/661 M dan berlangsung hingga tahun 132 H/750 M. Muawiyah bin

4
Abu Sufyan adalah seorang politisi handal yang menjadi gubernur Syam sejak
zaman khalifah Usman bin Affan, kemudian ia mampu menyerahkan diri untuk
mengambil alih kekuasaan dari Ali bin Abi Talib penguasa saat itu.
Kepemimpinan Muawi tidak didasarkan pada prinsip musyawarah dan
demokrasi umat Islam, seperti yang telah dilakukan oleh para khalifah yang
telah mendahuluinya, bahkan kepemimpinannya berdasarkan ashobiyah dan
monarki.
Hal ini mengakibatkan perpecahan umat Islam menjadi beberapa
kelompok karena perbedaan pandangan dalam politik yang mengharuskan
mereka mengambil jalan sendiri. Meski banyak sejarawan yang memandang
negatif Muawiyah, karena keberhasilannya meraih kepemimpinan melalui
metode arbitrase yang dianggap curang. Namun demikian kita tidak dapat
menyangkal kemajuan yang dibuat oleh khalifah Bani Umayyah dalam hal
politik, pendidikan, ekonomi dan budaya.
Jika dibandingkan dengan bidang keilmuan lainnya, kontribusi
pemerintahan terhadap kekhalifahan Umayyah di bidang ekonomi tidak begitu
monumental, karena di era pemerintahan ini, pemikiran ekonomi lahir bukan
dari ekonomi intelektual muslim murni, tetapi berasal dari penafsiran kalangan
ilmiah lintas disiplin dengan latar belakang fiqh, tasawuf, filsafat, sosiologi dan
politik. Namun, ada juga beberapa kontribusi pemikiran mereka terhadap
kemajuan ekonomi syariah, antara lain perbaikan konsep pelaksanaan transaksi
salam, muzara'ah dan lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep jaminan sosial dalam perspektif islam?
2. Bagaimana implementasi jaminan sosial pada masa Daulah Muawiyah?
3. Bagaimana implementasi jaminan sosial dalam perspektif islam pada
masa kini?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menginformasikan kepada
pembaca mengenai analisis jaminan sosial dalam perspektif islam pada masa
Daulah Umayah dan masa kini.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Jaminan Sosial dalam Perspektif Islam


Jaminan sosial secara etimologis terdiri dari dua kata, yaitu jaminan dan
sosial. Dalam hal ini, jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima
atau janji salah satu pihak untuk menanggung kewajiban pihak lain. Sedangkan
sosial adalah sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat atau rakyat. Kedua
makna tersebut, jika dianalogikan dengan salah satu pihak adalah negara dan
pihak lainnya adalah masyarakat (citizen), sehingga dapat diambil pemahaman
bahwa seseorang di suatu negara berkewajiban untuk menyetorkan iuran kepada
negara secara kolektif dan universal dalam rangka menanggung dan menjamin
kehidupan setiap warga negara yang membutuhkan (Syufa'at 2015).
Islam meninggalkan pesan melalui sejarah budaya yang terkait erat
dengan keadilan dan kesejahteraan. Keadilan sosial ini tentu bukan hanya untuk
negara Islam, tetapi konsep ini harus dimiliki oleh semua negara di dunia. Jika
Anda meninjau skema jaminan sosial yang mengarah pada kesejahteraan, maka
dalam prosesnya ada distribusi kekayaan dalam bentuk jaminan. Sedangkan
salah satu dana jaminan dalam hal ini diambil dari dana warganya, yaitu dalam
bentuk zakat, infak, dan sedekah (al-Qashim 2006).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa jaminan sosial merupakan
bentuk perlindungan sosial yang diberikan kepada masyarakat, baik berupa
sandang, pangan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan keadilan
bagi kaum produktif dan lansia. Dengan tambahan penjelasan bahwa tunjangan
hari tua hanya akan diberikan setelah seseorang melewati batas usia produktif.
Sedangkan jaminan keamanan, keadilan, pemerataan ekonomi yang terangkum
dalam sandang, pangan, dan papan adalah hak masyarakat baik di usia produktif
maupun non produktif.
Islam telah menugaskan negara untuk memberikan jaminan sosial untuk
menjaga standar hidup semua individu dalam masyarakat Islam. Biasanya,
negara memenuhi kewajiban ini dalam dua bentuk. Pertama, negara memberi

6
individu banyak kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang produktif,
sehingga ia dapat memenuhi kebutuhan dari pekerjaan dan usahanya sendiri.
Namun, ketika seorang individu tidak mampu melakukan pekerjaan yang
produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari usahanya sendiri atau ketika
ada keadaan khusus di mana negara tidak dapat memberikan kesempatan kerja
baginya, maka bentuk kedua berlaku. Dalam hal ini, bentuk kedua adalah agar
negara menerapkan prinsip jaminan sosial dengan menyediakan jumlah uang
yang cukup untuk membiayai kebutuhan individu dan untuk meningkatkan
standar hidupnya.
Dengan demikian, jaminan sosial merupakan instrumen yang sangat
penting dalam ekonomi syariah. Oleh karena itu, melaksanakan jaminan sosial
adalah upaya manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT,
sehingga menjadikan harta benda mereka bersih dan berkembang
menghilangkan ketamakan dan kerakusan, serta keegoisan. Namun, jelas bahwa
kebutuhan dasar rakyat, berupa kebutuhan dasar, keamanan, kesehatan, dan
pendidikan, harus disediakan oleh negara secara gratis bagi seluruh rakyatnya,
baik kaya maupun miskin, tanpa diskriminasi sedikit pun.

2.2 Jaminan Sosial pada masa Daulah Umayah


Bangkitnya Muawiyyah dalam kekuasaan Islam merupakan awal dari
pemerintahan Bani Umayyah. Memasuki masa pemerintahan Muawiyah, sistem
pemerintahan Islam yang dulunya demokratis berubah menjadi monarki. Tidak
ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan prinsip musyawarah dalam
menentukan pemimpin baru. Muawiyah telah mengubah model kekuasaan
dengan model kerajaan yang membenarkan stateisasi kekuasaan dengan
memberikannya kepada putra mahkota. Sejak Bani Umayyah berkuasa, seorang
khalifah tidak lagi harus menjadi ahli hukum agama (fuqaha).
Pada masa pemerintahan dinasti ini, telah terjadi pergeseran nilai-nilai
kepemimpinan Islam yang sangat mengedepankan prinsip musyawarah dan
kebersamaan menjadi kepemimpinan otoriter. Situasi ini memacu keinginan
sebagian besar khalifah Umayyah untuk menggunakan kekuasaan sebagai sarana

7
memperkaya diri sendiri dan keluarga mereka. Baitul Mal, yang merupakan
kantor perbendaharaan rakyat, tampaknya menjadi milik pribadi para pangeran.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, ada dua jenis Baitul Mal;
umum dan khusus. Pendapatan Baitul Mal Umum adalah untuk seluruh
masyarakat umum. Sementara itu, Baitul Mal khusus diperuntukkan bagi sultan
dan keluarganya. Namun, dalam praktiknya, tidak jarang terjadi berbagai
penyimpangan dalam distribusi properti Baitul Mal. Banyak pengeluaran untuk
kebutuhan para sultan, keluarganya, dan teman-teman dekatnya diambil dari
perbendaharaan Baitul Mal Umum. Demikian pula, pengeluaran lain tidak
terkait dengan kesejahteraan umat Islam secara keseluruhan. Dengan demikian
telah terjadi disfungsi penggunaan dana Baitul Mal pada masa dinasti Umayyah
(Amalia, 2010).
Baitul Mal yang pada masa pemerintahan sebelumnya berfungsi sebagai
dana swadaya masyarakat untuk kepentingan rakyat namun pada masa
Muawiyah telah berubah fungsi menjadi milik keluarga negara. Rakyat hanya
wajib menyetor pajak tanpa memiliki hak untuk bertanya tentang
penggunaannya. Pada saat ini pajak negara ditetapkan penggunaannya sebagai
milik pribadi para khalifah, kecuali pada masa kepemimpinannya Umar Bin
Abdul Aziz, ia tidak pernah mengambil bagian dari baitul mal bahkan semua itu
dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.
Ketika Islam berada di bawah kekuasaan bani umayyah, kondisi baitul
mal berubah. Pada awalnya, baitul mal hanya dikelola dengan amanah penuh
sebagai titipan dari Allah SWT dan titipan rakyat, sedangkan pada masa
pemerintahan Bani Umayyah mal mal mal ini sepenuhnya merupakan
kewibawaan khalifah dan tanpa melibatkan atau dikenal oleh rakyat (Iwan,
2019). Kejadian ini berlangsung hingga pimpinan umar.
Umaar bin Abdul Aziz adalah khalifah ke-8 bani Umayyah. Pada awal
kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, khalifah lebih fokus menjalankan
kebijakan seperti melakukan perbaikan di tanah air terlebih dahulu dengan
melakukan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, memperhatikan
kebijakan terkait egaliter dan tidak memperluas atau memperluas wilayah lagi.

8
Pada kepemimpinannya ia melakukan upaya untuk membersihkan baitul
mal dari kasus dan pendapatan properti dari dana yang tidak sah dan syubhat dan
berusaha untuk mendistribusikan properti kepada mereka yang berhak
menerimanya. Dia mengumpulkan keluarga dari kalangan kerajaan dan gubernur
dan meminta untuk menyerahkan semua properti yang bersumber dari non-halal
dan syubhat. Selain itu, Umar juga menyerahkan harta pribadinya berupa lahan
perkebunan yang berada di Mesir dan Syam (Muhammad, 2021). Selain itu,
umar juga mengembalikan hartanya berupa 40.000 dinar per tahun, perhiasan
dan pakaian keluarga ke lembaga baitul mal (Lisa, 2021).
Umar pun membuat beberapa kebijakan terhadap rakyatnya. Kebijakan
yang sangat menguras perhatian adalah kebijakan penghapusan ketimpangan
sosial atau disebut penghapusan diskriminasi, dimana dalam kebijakan ini umar
menghilangkan kesenjangan sosial antara masyarakat adat penduduk Arab
dengan masyarakat non-Arab (Qoyum, et al., 2021). Efek dari kebijakan ini
adalah tidak ada hak istimewa yang dipisahkan karena perbedaan status sosial di
masyarakat, sehingga semua memiliki status yang sama.
Umar bin Abdul Aziz pernah menggunakan dana dari mal baitul yang
terletak di Irak untuk membayar kompensasi kepada orang-orang yang
diperlakukan tidak adil oleh para pemimpin sebelumnya. Bahkan untuk
memenuhi biaya tersebut, umar juga menggunakan dana dari baitul mall yang
terletak di kota Syam. Dalam hal zakat, Umar memberikan kebebasan kepada
masing-masing daerah dalam mengatur regulasi zakat, sehingga nantinya pajak
tidak akan diserahkan kepada pemerintah pusat, sehingga apabila terjadi
kekurangan pajak dan zakat akan diberikan bantuan berupa subsidi dari
pemerintah pusat. Kebijakan ini mengakibatkan banyak daerah mendapatkan
surplus.
Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ini, telah tercatat dalam
sejarah bahwa kesejahteraan rakyatnya benar-benar terjamin. Hal ini terbukti
ketika para amil zakat yang kesulitan mencari penerima zakat (mustahiq) karena
sebagian besar rakyatnya telah menjadi pemberi zakat (muzakki).

9
2.3 Jaminan Sosial pada Masa Kini
Jaminan sosial sering didefinisikan sebagai kesejahteraan sosial. Istilah
kesejahteraan sosial merupakan syarat pemenuhan kebutuhan material dan non
material. Jaminan sosial tidak hanya berporos pada perwujudan kesejahteraan
rakyat. Namun demikian, jaminan sosial telah bermetamorfosis menjadi sebuah
sistem, di mana sistem tersebut dibangun sesuai dengan identitas dan kondisi
masing-masing negara. Menurut Prabowo Subianto, jaminan sosial sebagai
suatu sistem akan mampu memberikan energi bagi setiap warga negara untuk
membangun cita-cita negaranya menuju masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera (Prabowo Subianto 2011).
Jaminan masyarakat dapat diwujudkan melalui zakat. Untuk itu, zakat
erat kaitannya dengan dimensi sosial, moral, dan ekonomi. Dalam dimensi
sosial, zakat merupakan kewajiban sosial yaitu ibadah, karena zakat yang
dikenakan pada harta individu ditujukan kepada masyarakat dalam rangka
memenuhi kebutuhan dan mengentaskan kemiskinan. Pada dimensi moral, zakat
mengikis keserakahan dan keserakahan orang kaya. Sementara dalam dimensi
ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir orang tertentu
(Mannan 1993).
Zakat sebagai jaminan sosial dalam masyarakat bertujuan untuk
menciptakan pembangunan ekonomi yang lebih berkeadilan. Zakat sejalan
dengan prinsip utama distribusi dalam ajaran Islam, yaitu agar kekayaan tidak
hanya beredar di kalangan orang kaya (Noor 2013). Prinsip ini merupakan rule
of the game yang harus dijalankan. Jika diabaikan, itu akan menciptakan jurang
yang dalam antara si miskin dan si kaya, dan tidak akan ada keadilan ekonomi di
masyarakat.
Jaminan sosial lainnya di masyarakat, juga dapat diwujudkan melalui
infak dan sedekah. Dalam hal ini, infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta
atau penghasilan untuk kepentingan yang diperintahkan Islam. Jika zakat
memiliki ni ṣ ab, maka infak tidak memiliki niṣab. Selain tidak adanya
ketentuan niṣab dalam infak, ketentuan tentang delapan kelompok yang
menerima zakat juga tidak berlaku dalam infak. Jadi, infak bisa diberikan
kepada siapa saja (Riyadi 2015).

10
Sedangkan sedekah adalah hadiah dari seorang muslim secara sukarela
tanpa dibatasi waktu dan jumlah tertentu, atau hadiah yang dibuat oleh seseorang
sebagai kebaikan yang mengharapkan berkah dan pahala Allah semata.
Berdasarkan pemahaman tersebut, infak masuk dalam kategori sedekah. Selain
itu, sedekah dalam konsep Islam memiliki makna yang lebih luas dan tidak
hanya sebatas memberikan sesuatu yang materiil. Namun lebih dari itu, sedekah
mencakup semua perbuatan baik, jasmani dan non fisik.
Penekanan pada infak dan sedekah merupakan sarana yang tepat untuk
membantu menciptakan masyarakat yang peduli dengan kondisi sosial, karena
pada dasarnya setiap manusia harus menyadari bahwa setiap individu tidak bisa
hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain.
Jaminan sosial lainnya di masyarakat juga bisa melalui wakaf. Dalam hal
ini, wakaf diartikan sebagai jenis pemberian yang dilakukan dengan cara
menahan (kepemilikan) untuk digunakan demi kepentingan umum (Noor 2013).
Wakaf pada dasarnya sejalan dengan tujuan ekonomi, yaitu menjadi cara yang
lebih baik dalam menyalurkan pendapatan di masyarakat dengan memberikan
solusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Cizakca 1998).
Kesadaran untuk memahami dan mewakili sebagian hartanya
berkontribusi signifikan terhadap terciptanya keadilan distribusi di tengah-
tengah masyarakat. Pada dasarnya, keberadaan harta wakaf berkaitan dengan
kepentingan harta benda untuk kepentingan rakyat. Jika keberadaannya
terealisasi dengan baik, maka secara langsung dapat meningkatkan kesejahteraan
sosial di masyarakat. Dengan demikian, jaminan sosial di masyarakat bisa
melalui zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Jika dilihat dari perspektif makro,
instrumen ini akan membentuk mekanisme jaminan sosial yang komprehensif.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada masa pemerintahan Daulah Muawiyah, Baitul mal telah
difungsikan dan diubah menjadi milik keluarga negara. Rakyat hanya wajib
menyetor pajak tanpa memiliki hak untuk bertanya tentang penggunaannya.
Pajak negara menetapkan penggunaannya menjadi milik pribadi para khalifah.
Hingga masa pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz, baitul mal dikembalikan
untuk kesejahteraan rakyat. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ini,
telah tercatat dalam sejarah bahwa kesejahteraan rakyatnya benar-benar
terjamin. Hal ini terbukti ketika para amil zakat yang kesulitan mencari
penerima zakat (mustahiq) karena sebagian besar rakyatnya telah menjadi
pemberi zakat (muzakki).
Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
memastikan seluruh masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kehidupan
yang layak. Bentuk jaminan sosial saat ini dilakukan melalui zakat, infaq &
sedekah, dan wakaf. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa jaminan sosial
merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang diberikan kepada
masyarakat dalam rangka menjaga taraf hidup seluruh individu dalam
masyarakat Islam.

12
DAFTAR PUSTAKA

Huda, M.N. (2021) “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Daulah Bani
Umayyah dan Bani Abbasiyah.”The Journal of Social Sciences & Humanities
“ESTORIA”, 1(2) 136-
148https://journal.unindra.ac.id/index.php/estoria/article/download/
466/416Diakses pada 4 Desember 2022 pukul 21.06
Rofiqo, A. & Rizal, F. (2019) “Kebijakan Ekonomi Pada Masa Kekhalifahan Bani
Umayyah (Studi Kasus keberhasilan Kebijakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
dan Kegagalan Gubernus Nasar bin Sayyar Pada Masa Khalifah Marwan II 744-
750 Masehi).” Al-Tsaqafa: Jurnal Ilmiah Peradaban Islam, 16(2) 227-
236https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jat/article/view/5832Diakses pada 4
Desember 2022 pukul 21.14
Maulida. S. (2022) “Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Daulah Umayyah.” Al-Ibar:
Artikel Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
1(1)https://osf.io/k7dgf/downloadDiakses pada 4 Desember 2022 pukul 21.16
Lianaeni &Kurniawan, R.R. (2022) “Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Daulah
Umayyah.” Al-Ibar: Artikel Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 1(1)
https://osf.io/x4w5v/download Dikses pada 4 Desember 2022 pukul 21.19
Aprianto, N.E.K. (2017) “Kontruksi Sistem Jaminan Sosial dalam Perspektif Ekonomi
Islam.” Economica: Jurnal Ekonomi Islam, 8(2) 237-
262https://media.neliti.com/media/publications/255577-kontruksi-sistem-
jaminan-sosial-dalam-pe-0e9ab7fc.pdfDiakses pada 4 Desember 2022 pukul
22.42

13

Anda mungkin juga menyukai