Anda di halaman 1dari 5

Catatan PJR:

 Kenapa Usia muda?


Karena pada penyebaran Demam rematik dalam bentuk droplet atau sekresi saluran napas, sehingga
diperlukan hygine yang baik seperti mencuci tangan sebelum dan setelah makan, serta setelah batuk.
Pada masa anak-anak, anak anak mulai belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan
mereka akan cenderung lebih aktif untuk mengembangkan rasa ingin tahunya yang besar serta
bergaul bersama teman sebayanya. Karena hal tersebutlah anak-anak cenderung mengabaikan
kebersihan tubuh, dan perilaku sehat.
 Apa itu hemoliticus?
Artinya dapat melisiskan darah pada media kultur agar darah.
 Katup apa yang paling sering terinfeksi?
Mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid dan tidak pernah menyerang katup
pulmonal.
 Komplikasi apa yang sering selain PJR?
1. Poliartritis Migrans ( terjadi pada sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30
hari setelah infeksi Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif
ditandai dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat
yang semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas)
2. Chorea Sydenham (Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan setelah infeksi
Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses radang
pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari
chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever.
Gejala awal biasanya emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan
yang tidak disengaja, tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat
terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok)
3. Eritema Marginatum ( terjadi kurang dari 10% kasus. Ruam berbentuk anular berwarna
kemerahan yang kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah
berkelok-kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan
ekstremitas)
4. Nodulus Subkutan (Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus, Nodul
berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal, mobile, dengan diameter
0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu setelah rheumatic fever muncul
dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini selalu menyertai karditis rematik yang
berat.)
5. Gagal jantung kiri (Terjadi akibat kelainan pada katup mitral dimana Perubahan struktur
katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda tendinea menyebabkan terjadinya
insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume yang masuk dan proses inflamasi
ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah.
Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal
jantung kiri.)
6. Gagal jantung kanan (Terjadi akibat Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan
peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal
yang selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan)

 Manifestasi apa pada katup yang terjadi?


Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya pada katup
mitral.
1. Stenosis adalah kondisi dimana terjadi hambatan aliran darah dari atrium kiri ke
ventrikel kiri pada fase diastolic akibat penyempitan katup mitral. (Stenosis akibat
Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada
katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang
menjadi valvular stenosis)
2. Regurgitasi katup mitral paling sering (65- 70% kasus), Regurgutasi katup mitral
adalah suatu keadaan ketidak mampuan katup mitral menutup dengan sempurna
sehingga menyebabkan aliran darah balik dari ventrikel. (Regurgitasi akibat adanya
pemendekan dan penebalan korda tendinea sehingga tidak ada yang dapat
menutup katup terjadilah kebocoran).
 Apakah jika gejala faringitis pasien masih dikatakan terinfeksi?
Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-minggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga
menjadi reservoir infeksi bagi orang lain.
 Kenapa streptococcus mengenai epitel pharing?
Karena Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi
penyakit.
 Kenapa Streptococcus Group A beta hemolitikus?
Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan atau
mengaktifkan kembali demam rematik.
 Apa saja kemiripan yang dimirip oleh struktur streptococcus dengan jaringan tubuh?
Kemiripan atau mimikri yang ada yakni:
1) Urutan asam amino yang identik,
2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik,
3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptide.
Patogenesis
Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan
respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan
leukositosis.

Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki
supra-antigen yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang
akan berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi
sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis
rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu,
bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin,
streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.
Sehingga tubuh membentuk Antibodi yang antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir
toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan kerusakan
patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus
beta hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara antibody spesifik tersebut dengan struktur
jaringan tubuh yang memiliki kemiripan dengan struktur streprococcus.

Struktur dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki
struktur imunologi yang sama dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang
mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang
mirip miosin dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan
anti protein M.

Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang disusun fibrin
dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang
dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae
yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.

Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan katup jantung
akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan menyebabkan
penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular
stenosis.

Regurgitasi katup mitral (65- 70% kasus). Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan
penebalan korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume
yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat
regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal
jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan juga dapat
terjadi.

Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta akibat dari sklerosis
katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari
ventrikel kiri.

Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium
kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan.
Pemeriksaan penujang:

1. Kultur Tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya streptococcus beta
hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum pemberian
antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala rheumatic fever atau rheumatic
heart disease mulai muncul.
2. Titer Antibodi
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis
rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan adalah
antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B. Pemeriksaan
ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan dilakukan
pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai meningkat pada minggu 1,
dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada
anak-anak, dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat
minggu 1-2 dan mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1:
60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah.
3. Acute Phase Reactans
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada pemeriksaan
darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase akut/aktif, namun
sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-reactive protein (CRP) dan
laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non spesifik
untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun
normal pada pasien dengan congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP
merupakan indikator dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat
aktivitas penyakit. CRP yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever
aktif.
Pada populasi risiko rendah, nilai LED ≥ 60 mm/jam dinyatakan positif, sedangkan
pada populasi risiko tinggi, nilai LED ≥ 30 mm/jam dinyatakan positif. Kadar CRP >
3 mg/dL sudah dinyatakan positif.
4. Radiologi dan ekg
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan kongesti
pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis. Sedangkan
pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR yang bersifat
tidak spesifik.
5. Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk mengidentifikasi
dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi perikardium, dan disfungsi
ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan karditis ringan, regurgitasi mitral
akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada rheumatic fever dengan
karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi mitral/aorta yang menetap.
Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae
mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero lateral
Tatalaksana

Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar


bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk
gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada
juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.

Anda mungkin juga menyukai