Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki
supra-antigen yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang
akan berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi
sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis
rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu,
bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin,
streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.
Sehingga tubuh membentuk Antibodi yang antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir
toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan kerusakan
patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus
beta hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara antibody spesifik tersebut dengan struktur
jaringan tubuh yang memiliki kemiripan dengan struktur streprococcus.
Struktur dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki
struktur imunologi yang sama dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang
mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang
mirip miosin dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan
anti protein M.
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang disusun fibrin
dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses inflamasi mereda, verurucae akan menghilang
dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae
yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.
Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan katup jantung
akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan menyebabkan
penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular
stenosis.
Regurgitasi katup mitral (65- 70% kasus). Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan
penebalan korda tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume
yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan berdilatasi akibat
regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal
jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan juga dapat
terjadi.
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta akibat dari sklerosis
katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari
ventrikel kiri.
Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium
kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan.
Pemeriksaan penujang:
1. Kultur Tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya streptococcus beta
hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum pemberian
antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala rheumatic fever atau rheumatic
heart disease mulai muncul.
2. Titer Antibodi
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis
rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakan adalah
antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B. Pemeriksaan
ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan dilakukan
pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai meningkat pada minggu 1,
dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada
anak-anak, dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat
minggu 1-2 dan mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-DNase B= 1:
60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah.
3. Acute Phase Reactans
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada pemeriksaan
darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase akut/aktif, namun
sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-reactive protein (CRP) dan
laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non spesifik
untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED, namun
normal pada pasien dengan congestive failure atau meningkat pada anemia. CRP
merupakan indikator dalam menetukan adanya jaringan radang dan tingkat
aktivitas penyakit. CRP yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever
aktif.
Pada populasi risiko rendah, nilai LED ≥ 60 mm/jam dinyatakan positif, sedangkan
pada populasi risiko tinggi, nilai LED ≥ 30 mm/jam dinyatakan positif. Kadar CRP >
3 mg/dL sudah dinyatakan positif.
4. Radiologi dan ekg
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan kongesti
pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis. Sedangkan
pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR yang bersifat
tidak spesifik.
5. Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk mengidentifikasi
dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi perikardium, dan disfungsi
ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan karditis ringan, regurgitasi mitral
akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada rheumatic fever dengan
karditis sedang dan berat memiliki regurgitasi mitral/aorta yang menetap.
Gambaran ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae
mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero lateral
Tatalaksana