Anda di halaman 1dari 10

BAB XI

DEMAM REMATIK AKUT PADA JANTUNG

A. DEFINISI
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung
didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan
katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama
mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak
pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan
stenosis atau insufisiensi atau keduanya.

B. ETIOLOGI
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik. Demam
reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah infeksi
Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai factor predisposisi. Keterlibatan
kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium
melalui suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi
yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik
karditis yang paling banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup
mitral dan katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15
tahun.

C. PATOGENESIS
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif misalnya
faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit non supuratif
misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon inflamasi akut
yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan
leukositosis. Pasien masih tetap terinfeksi selama bermingguminggu setelah gejala
faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak
langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit.
Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan
atau mengaktifkan kembali demam rematik.

Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik berkelanjutan yang


melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari 60% penyakit rheumatic
fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease. Adapun kerusakan yang
ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan katup jantung akan
menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan
menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan
dapat berkembang menjadi valvular stenosis.

Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang berperan
dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme, faktor host dan
faktor sistem imun.
Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme penginfeksi memiliki
peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini sering berkolonisasi dan
berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang
dapat berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang
akan berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin
dan menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang
terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan
eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-
ase, dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.
Antibodi yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk
menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga
menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang
mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga terjadi
reaktivitas silang antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada
kerusakan jaringan tubuh.

Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1) Urutan asam amino yang
identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik, 3) Epitop pada
molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptida.
Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan
sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.

Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta
hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama dengan protein miosin,
tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan Nasetilglukosamin pada tubuh
manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang mengarah pada
terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang
mirip miosin dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel
T anti miosin dan anti protein M. Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari
karbohidrat, Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan
jaringan katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular.

Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan peranan
dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi memiliki potensi
terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker menunjukan bahwa gen
human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan
penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak
pada kromosom 6 berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan
dalam presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem
imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling
berhubungan dengan rheumatic heart disease pada lesi-lesi valvular.
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang
disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses inflamasi
mereda, verurucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan
terus berulang veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian
mural dari endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.

Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65- 70% kasus).
Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda tendinea
menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume yang
masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan
berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan
menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada
mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.

Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta akibat dari
sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri diikuti dengan
dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. Di sisi lain, dapat terjadi stenosis dari katup
mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur
dari daun katup, corda dan otot papilari. Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan
peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena
pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan kelainan jantung kanan.

D. MANIFESTASI KLINIK

Kriteria Jones untuk demam rematik akut (1992)


Manifestasi mayor Manifestasi minor Bukti pendukung pada infeksi
(Mnemonic: CACES) Streptokokus kelompok A
antecedent
1. Karditis * 1. Temuan klinis: 1. Kultur tenggorokan
2. Poliartritis *  Artralgia positif atau laju tes
3. Chorea  Demam antigen streptokokus
4. Marginatum eritema 2. Peningkatan atau
2. Temuan laboratorium:
5. Nodul subkutan kenaikan titer antibodi
 Reaktan fase akut streptokokus.
meningkat
 Laju sedimentasi eritrosit
 Protein C-reaktif
 Interval PR
berkepanjangan
Jika didukung oleh bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya, (+) titer ASO,
kehadiran:
A. Dua manifestasi mayor, atau
B. Satu manifestasi mayor dan dua manifestasi minor, mengindikasikan probabilitas
yang tinggi pada demam rematik akut
* Karditis: (1) murmur signifikan baru biasanya regurgitasi mitral atau regurgitasi
aorta, (2) menggosok gesekan perikardial atau tanda-tanda efusi perikardium, (3)
meningkatkan ukuran jantung, atau (4) gagal jantung kongestif
** Artritis ≥ 2 sendi dan bermigrasi
Catatan: di negara-negara Asia, manifestasi utama pada kriteria Jones tidak sering
terjadi dibandingkan dengan negara-negara barat.

E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar bertujuan
untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A, menekan inflamasi
dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal jantung kongestif.
Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah rheumatic heart disease
berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta gejala sisa dari rheumatic heart
disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi medikamentosa, aspek diet dan juga
aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai
penanganan kasus-kasus parah

Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat penting untuk
mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus
grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring
seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai perlindungan
terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang berulang.

Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi dan


efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang ditentukan
(frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan juga efek
samping.

Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral adalah obat
pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa
riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam, pasien tidak
lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta hemolyticus group A.
Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan penisilin G benzathine karena lebih
resisten terhadap asam lambung. Namun terapi dengan penisilin G benzathine lebih
dipilih pada pasien yang tidak dapat menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan
riwayat rheumatic fever atau gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di
lingkungan dengan faktor risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat penduduk,
status sosio-ekonomi rendah).
Obat-obatan Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever
Agen Dosis Evidence

rating
Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal, 1 g) oral 1B

satu kali sehari selama 10 hari


Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 1B

600,000 unit IM sekali


Pasien dengan BB > 27 kg:

1,200,000 unit IM sekali


Penicillin V potassium Pasien dengan BB < 27 kg 1B
diberikan 250 mg oral 2-3x sehari
selama 10 hari
Pasien dengan BB > 27 kg: 500
mg oral 2-3x sehari selama 10 hari
Untuk pasien alergi penisilin
Narrow-spectrum cephalosporin Bervariasi 1B
(cephalexin [Keflex], cefadroxil
[formerly Duricef])
Azithromycin (Zithromax) 12 mg/kgBB/hari (maksimal, 500 2aB

mg) oral 1x sehari selama 5 hari


Clarithromycin (Biaxin) 15 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 2aB
2 dosis (maksimal, 250 mg 2x
sehari), selama 10 hari
Clindamycin (Cleocin) 20 mg/kgBB/hari oral (maksimal, 2aB
1.8 g/hari), dibagi menjadi 3 dosis,
untuk 10 hari
Profilaksis Sekunder

Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya rheumatic


heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada
faring yang berulang adalah metode yang paing efektif untuk mencegah rheumatic heart
disease yang parah.

Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever

Agen Dosis Evidence

rating
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb) 1A
600,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Pasien berat > 27 kg:
1,200,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari 1B
Sulfadiazine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 1B
0.5 g oral 1x sehari
Pasien berat > 27 kg (60 lb)
kg: 1 g oral 1x sehari
Macrolide atau antibiotik azalide Bervariasi 1C
(untuk pasien alergi penicillin dan
sulfadiazine)
Durasi Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever

Tipe Durasi setelah serangan Evidence

Rating
Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 40 tahun 1C
dan penyakit jantung residu (pilih yang terlama) ; profilaksis
(penyakit katup persisten) seumur hidup mungkin diperlukan
Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 21 tahun 1C
tapi tanpa penyakit jantung residu (pilih yang terlama)
(tanpa penyakit katup persisten)
Rheumatic Fever tanpa karditis 5 tahun atau sampai usia 40 tahun 1C

(pilih yang terlama)

Terapi Anti Inflamasi

Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon cepat terhadap
terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk pasien
dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih
adalah kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak
membaik dengan aspirin dan terus mengalami perburukan.

Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai diagnosis


rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125 mg/kg/hari,
setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi
60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin bisa
digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.

Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan dosis
2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali sehari. Setelah
terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang
mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi
terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi.

Terapi Gagal Jantung

Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah baring,
restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan gejala yang
berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya, pasien harus
melakukan diet restriksi garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa
ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin.

Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic Fever


Obat Dosis
Digoxin 30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5 mcg/kg/hari dosis

Pemeliharaan
Diuretik:

 Furosemide 0,5 – 2 mg/kg/hari,

 Metolazone 0,2 – 0,4 mg/kg/hari


Vasodilator:

 Captopril Dimulai 0,25 mg/kg dosis percobaan, dinaikkan 1,5 – 3


mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis.
0,5 – 10 mcg/kg/min infus, digunakan bila gagal jantung sulit
 Sodium
dikontrol. Monitor kadar sianida.
nitroprusside
Inotropik:

 Dobutamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus

 Dopamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus


 Milrinone 0,5 – 1 mcg/kg/menit per-infus

Anda mungkin juga menyukai