Kata Pengantar
Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan
Kajian Disabilitas
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia :
Aspek Sosio-Ekonomi dan Yuridis
Laporan Rekomendasi Kebijakan
Copyright © Staf Ahli Menteri Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan,
Kementerian PPN/Bappenas, 2021
Tim Pengarah:
Sekretaris Kementerian PPN/Sestama Bappenas
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Penulis:
Dr. Vivi Yulaswati, MSc (editor)
Fajri Nursyamsi, S.H., M.H
Muhammad Nur Ramadhan, S.H.
Herman Palani, S.E.
Ega Kurnia Yazid, S.E.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Da ar Isi iii
Da ar Grafik iv
Da ar Tabel dan Kotak v
Bab 1. Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Tujuan Kajian 6
Lampiran 82
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
iv Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Tingkat kemiskinan penyandang disabilitas dan nonpenyandang disabilitas 3
Grafik 2. Perbandingkan tingkat kemiskinan PD dan PMD 3
Grafik 3. Tingkat pendidikan kelompok penyandang disabilitas 4
Grafik 4. Tingkat Kebekerjaan PD dan Non-PD 4
Grafik 5. Tingkat Kepemilikan Kepemilikan Rekening PD dan Non-PD 5
Grafik 6. Tingkat Kepemilikan Telepon Genggam PD dan Non-PD 5
Grafik 7. Indeks Inklusivitas Global 2020 22
Grafik 8. Persentase Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jenis dan Tingkat 111
Keparahannya 23
Grafik 9. Proporsi Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jumlah Gangguan 24
Grafik 10. Piramida Penduduk Nasional dan PD Berdasarkan Kelompok Umur 25
Grafik 11. Persentase PD Miskin Relatif terhadap Populasi PD Provinsi dan 111
Perubahannya 26
Grafik 12. Tren Konsumsi Pangan PD dan Persentase Perubahannya, 2018-2020 28
Grafik 13. Jumlah PD Tanpa Jaminan Kesehatan Relatif terhadap Total PD, 2018-2020 29
Grafik 14. Rata-rata Pengeluaran Kesehatan Out-of-Pocket (OOP) Rumah Tangga PD 111
per Provinsi 30
Grafik 15. Tren Capaian Pendidikan PD 2018-2020 32
Grafik 16. Perbandingan Pendidikan Terakhir PD vs Non-PD 33
Grafik 17. Pendidikan Terakhir PD di Kota dan Desa 33
Grafik 18. Kuadran Tingkat dan Perubahan Kebekerjaan PD 2018-2020 36
Grafik 19. Persentase Pekerja Sektor Informal PD vs Non-PD 37
Grafik 20. Persentase PD Bekerja Sektor Informal vs Persentase PD tanpa Jaminan 111
Kesehatan 38
Grafik 21. Tingkat Kepemilikan Rekening Tabungan PD dan Non-PD 40
Grafik 22. Tingkat Kepemilikan Kepemilikan Telepon Genggam PD dan Non-PD 40
Grafik 23. Tingkat Penggunaan Internet PD dan Non-PD 40
Grafik 24. Tingkat Kepemilikan Rekening, Kepemilikan Telepon Genggam, dan Akses 111
Internet Penyandang Disabilitas per Total PD Provinsi, 2020 42
Grafik 25. Persentase Kabupaten/Kota per Provinsi yang Memiliki Perda Disabilitas 62
Grafik 26. Capaian 1 Tahun RIPD dalam Aspek Yuridis 73
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis v
DAFTAR TABEL
DAN KOTAK
Tabel 1. Peraturan Daerah dan Peraturan Menteri yang Masih Menggunakan Istilah 144
“Penyandang Cacat” dan/atau “Cacat” 14
Tabel 2. Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah yang Menggunakan Istilah 111
“Berkebutuhan Khusus” untuk merujuk “Penyandang Disabilitas” 15
Tabel 3. Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah yang 111
Menggunakan Istilah “Difabel” atau “Difable” untuk merujuk “Penyandang 111
Disabilitas” 17
Tabel 4. Proporsi Sektor Pekerjaan Penyandang Disabilitas Berdasarkan BPS 17 111
Sektor, 2020 35
Tabel 5. Ketentuan-Ketentuan Pembentukan Peraturan Pelaksanaan dalam UU 111
8/2016 47
Tabel 6. Peraturan Pelaksanaan UU 8/2016 yang Sudah Dibentuk Sampai Desember 111
2021 49
Kotak 1. RS Universitas Udayana Ramah PD, Sarana JBI dan Alternatifnya Masih 111
Diperlukan 31
Kotak 2. Penyelenggaran Pendidikan Ramah Disabilitas masih Menjadi PR 34
Kotak 3. Balai Rehabilitas Sosial Menjadi Kunci, Kerjasama dengan Usaha Lokal Perlu 111
Ditingkatkan 38
Kotak 4. Penyandang Disabilitas Berhak Mendapatkan Layanan Keuangan yang 111
Aman 41
Kotak 5. Keterkaitan RIPD SDGs, dan UNCRPD 51
vi
1
Bab 1
PENDAHULUAN
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
2 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Non-
PD 9,63% 9,44% 9,63%
Miskin
PD
11,42%
Miskin
¹Economic and Social Commission for Asia and the Pacific. (2015). Disability at a Glance 2015: Strengthening Employment
Prospects for Persons with Disabilities in Asia and the Pacific. In United Nation.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
4 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Oleh karena itu, melalui studi ini, terdapat tiga fokus utama kaitannya dengan
kesejahteraan dan aksesibilitas penyandang disabilitas. Ketiga aspek tersebut ialah,
kesejahteraan (well-being), akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, dan akses kepada
teknologi dan inklusi keuangan. Aspek well-being mencakup kondisi ekonomi, kesehatan
fisik dan mental, akses pada fasilitas kesehatan, dan perilaku hidup bersih dan sehat.
Grafik 1 dan 2 menunjukkan tingginya tingkat kemiskinan penyandang disabilitas (PD)
relatif terhadap non penyandang disabilitas (Non-PD). Sebesar 11,42% kelompok PD
hidup di bawah garis kemiskinan sementara Non-PD sebesar 9,63%. Sementara itu tingkat
kemiskinan pada PD ganda atau multi (lebih dari satu) lebih tinggi lagi yakni sebesar
13,38%.
Grafik 3. Tingkat Pendidikan Kelompok Grafik 4. Tingkat Kebekerjaan
Penyandang Disabilitas PD dan Non-PD
5,12% 70%
60,3% 60,6% 60,2%
60% 58,0% 56,7% 55,5%
10,26%
50%
29,61%
40%
13,02%
30%
14,25% 20%
27,74% 10%
0%
PD
PD
PD
PD
PD
PD
n-
n-
n-
SD Sederajat Tidak/Belum
No
No
No
Pernah Bersekolah
Tidak Tamat SD
SMP Sederajat 2018 2019 2020
SMA Sederajat
PT Sederajat
Sumber : Susenas (2018-2020)
Selanjutnya, pada aspek pendidikan dan pekerjaan mencakup tingkat pendidikan
penyandang disabilitas dan implikasinya dalam mendapatkan pekerjaan yang layak.
Berdasarkan Grafik 3 ditunjukkan bahwa 29,61% adalah lulusan pendidikan dasar dan
27,74% bahkan tidak menamatkan pendidikan dasar. Mereka yang mampu
menyelesaikan pendidikan menengah pertama dan atas hanya 24,51%, angka ini
semakin kecil jika melihat pada pendidikan tinggi yang hanya mencapai 5,12%. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan kelompok penyandang disabilitas pelu mendapatkan
perhatian serius karena berkaitan dengan tingkat penerimaan bekerja dan dan skill yang
berguna untuk mata pencaharian. Sementara itu Grafik 4 menunjukkan tingkat
Kebekerjaan pada kelompok disabilitas dan nondisabilitas yang mana tingkat
kebekerjaan pada kelompok PD lebih rendah dibandingkan dengan Non-PD walaupun
selisihnya tidak terlalu besar. Akan tetapi, tren tingkat keberkerjaan pada PD selalu
mengalami penurunan dari tahun 2018. Hingga tahun 2020, tingkat keberkerjaan PD
adalah sebesar 55,5%.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 5
30,00%
30,00% 26,24%
20,00% 20,00%
10,00% 10,00%
0,00% 0,00%
Non-PD PD Non-PD PD
Aspek terakhir ialah akses teknologi dan inklusi keuangan. Akses pada layanan
keuangan menjadi salah satu prasyarat penting untuk mengeluarkan masyarakat dari
kemiskinan dan memberikan akses terhadap berbagai jenis pekerjaan. Tanpa rekening
bank, misalnya, individu seringkali menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk melakukan
transaksi keuangan melalui penyedia layanan keuangan alternatif. Namun, layanan
keuangan tidak selalu dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Berdasarkan Grafik 5,
terlihat bahwa masih ada 73,76% penyandang disabilitas yang tidak mempunyai rekening
perbankan. Selain itu, kepemilikan telepon genggam pada kelompok disabilitas juga
relatif rendah yakni hanya mencapai 36,74%.
Berdasarkan paparan diatas, dapat
disimpulkan bahwa penting untuk memetakan situasi
penyandang disabilitas dalam rangka mewujudkan
komitmen Indonesia pada Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan dan penyelenggaraan penghormatan
hak-hak disabilitas di Indonesia. Selain itu, dibutuhkan
juga evaluasi terhadap undang-undang disabilitas
yang sudah diimplementasikan tahun-tahun
sebelumnya dan hal-hal apa saja yang perlu dibenahi
di masa mendatang.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
6 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Bab 2
DEFINISI DAN
RUANG LINGKUP
KAJIAN
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
8 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Beragamnya istilah yang dikenal menjadi modal awal dalam penelitian ini untuk
menemukan kata-kata tersebut dalam judul dan rumusan peraturan perundang-
undangan. Pencarian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dalam
periode 2006-2021, yaitu periode ketika Indonesia sudah menandatangani CRPD. Setelah
melakukan pencarian menggunakan website pencarian peraturan perundang-undangan,
seperti jdih.bappenas.go.id; peraturan.go.id; peraturan.bpk.go.id; dan hukumonline.com,
tidak seluruh istilah ditemukan tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
Adapun istilah yang berhasil ditemukan adalah “Penyandang Disabilitas”, “Penyandang
Cacat”, “Difabel”, “Difable”, dan “Berkebutuhan Khusus”, yang menjadi obyek analisa
dalam penelitian ini.
Selain sebagai suatu istilah,
memaknai “Penyandang Disabilitas” juga
perlu dilihat dari segi ruang lingkupnya, atau
biasa juga disebut dalam lingkup ragam
disabilitas. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016,
ragam disabilitas dibagi menjadi empat,
yaitu disabilitas fisik, disabilitas intelektual,
disabilitas mental, dan/atau disabilitas
sensorik. Selain itu pada Pasal 4 ayat (2) UU 8/2016, lingkup disabilitas juga dilihat
berdasarkan jumlah hambatannya, apakah disabilitas tunggal, ganda (dua ragam
disabilitas), atau multi (lebih dari dua ragam disabilitas). Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)
UU 8/2016 dijelaskan satu per satu ragam disabilitas, dan menyebutkan contoh
kondisinya dengan menggunakan istilah “antara lain” yang berarti tidak terbatas pada apa
yang disebutkan dalam penjelasan tersebut. Hal itu dilakukan untuk mengakomodasi
konsep disabilitas yang digunakan dalam CRPD, yang bersifat fleksibel, tidak mengunci
pada kondisi tertentu, dan menjadikannya konsep yang terbuka, sehingga dapat terus
berkembang dari waktu ke waktu. Dalam artikel 1 paragraf 2 CRPD disebutkan bahwa,
“Persons with disabilities include those who have long-term physical,
mental, intellectual or sensory impairments which when interacting with
various barriers, may hinder their full and effective participation in society
on an equal basis with others.”
(“Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki gangguan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka Panjang yang Ketika
berinteraksi dengan berbagai hambatan, dapat menghambat partisipasi
penuh dan efektif mereka dalam masyarakat atas dasar kesetaraan
dengan orang lain”)
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
10 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Dari konsep itu CRPD tidak membatas kondisi apa saja yang termasuk disabilitas. Dengan
begitu, konsepnya akan terus berkembang seiring kondisi zaman, dan dipengaruhi oleh
banyak aspek yang terus berkembang.
Selain ragamnya, lingkup disabilitas juga dapat dilihat dari tingkatan hambatan,
yaitu ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). Kategori itu digunakan oleh data
statistik yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik, khususnya dalam Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 yang digunakan dalam laporan penelitian ini. Ruang
lingkup ringan, sedang, dan berat yang digunakan dalam Susenas 2020 dalam
menggambarkan kondisi penyandang disabilitas di Indonesia menggunakan pendataan
dengan model Washington Group, yang merumuskan pertanyaan dalam kuesionernya
berdasarkan hambatan-hambatan yang dialami oleh seseorang. Adapun hambatan yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Mengalami kesulitan/gangguan penglihatan
2. Mengalami kesulitan/gangguan pendengaran
3. Mengalami kesulitan/gangguan berjalan atau naik tangga(mobilitas)
4. Mengalami kesulitan/gangguan menggunakan damn menggerakkan tangan/jari
5. Mengalami kesulitan/gangguan dalam hal mengingat atau konsentrasi
6. Mengalami kesulitan dalam mengendalikan perilaku dan atau emosional
7. Mengalami kesulitan/gangguan berbicara dan atau memahami/berkomunikasi
dengan orang lain
8. Mengalami kesulitan/gangguan untuk mengurus diri sendiri (seperti mandi,
makan, berpakaian, buang air besar, buang air kecil.
Ruang lingkup yang juga kerap digunakan oleh Washington Group adalah “some difficulty”,
“a lot of difficulty”, dan “unable to do it”.
Dalam diskusi ini data-data terkait penyandang disabilitas diperoleh dari Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari tahun 2018-2020 yang mengelompokkan
penyandang disabilitas 3 tingkat keparahan yaitu ringan, sedang, dan berat. Selain itu
penyandang disabilitas juga terbagi menjadi 8 jenis seperti yang disebutkan di atas.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 11
bertujuan untuk memastikan sumber daya anggaran dapat teralokasi secara efektif dan
efisien untuk menunjang pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas,
begitu pula di tingkat daerah. Dalam pelaksanaannya, panduan atau rujukan suatu
Kementerian/Lembaga atau pemerintah daerah dalam mengajukan perencanaan dan
penganggaran adalah peraturan perundang-undangan, sehingga istilah yang digunakan
haruslah dilakukan secara seragam.
Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yang diatur
dalam Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan adalah asas kejelasan rumusan. Dalam penjelasannya,
yang dimaksud dengan asas kejelasan rumusan adalah
“…setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan
teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.”
Salah satu cara untuk mengaplikasikan asas tersebut adalah dengan penggunaan istilah
yang konsisten antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. Penyeragaman itu
diperlukan semata-mata untuk menghindari interpretasi yang beragam dalam
memahami suatu rumusan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat
memudahkan dalam memahami dan melaksanakan peraturan tersebut.
Dalam praktiknya, masih ada peraturan perundang-undangan baru atau
perubahan yang menggunakan istilah “Penyandang Cacat” atau menggunakan kata
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 13
No Judul Peraturan
Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Kabupaten Kayong Utara Nomor 4 tahun 2016 tentang Pembinaan dan
1 Pengembangan Olahraga Prestasi
Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
2 Ketenagakerjaan
Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
3 Ketenagakerjaan
Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan
4 Daerah Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan Di Kota Pontianak
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 25 Tahun 2016 tentang Penetapan Kecacatan, Pemberian
1
Santunan Cacat, dan Tunjangan Cacat Serta Alat Bantu Tubuh Bagi Veteran Republik Indonesia
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Santunan
2
dan Tunjangan Cacat Prajurit Tentara Nasional Indonesia
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 8 Tahun 2017 tentang Status Tingkat dan Golongan
3
Kecacatan Bagi Prajurit Tentara Nasional Indonesia
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 5 Tahun 2018 tentang
4 Pemberian Delegasi Wewenang Penetapan Kecelakaan Kerja untuk Perawatan Aparatur Sipil
Negara Kepada Pejabat Tertentu di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja
5
Migran Indonesia
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan
6
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan
7
Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua
Dalam tabel diatas dapat diketahui bahwa penggunaan istilah penyandang cacat pada
peraturan daerah dalam bidang ketenagakerjaan dan olahraga. Hal itu dapat disebabkan
karena rujukan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam UU, yang masih
menggunakan istilah “Penyandang Cacat”, sehingga perlu untuk disesuaikan. Seperti
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang
masih menggunakan istilah Penyandang Cacat, yang kemudian dirujuk oleh Peraturan
Daerah Kabupaten Kayong Utara Nomor 4 tahun 2016 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Olahraga Prestasi dalam pembentukannya. Sedangkan dalam peraturan
Menteri, penggunaan istilah “Penyandang Cacat” dan “Cacat” yang dilekatkan kepada
manusia terdapat dapat bidang pertahanan; ketenagakerjaan; serta riset, teknologi, dan
pendidikan tinggi. Bidang pertahanan dan ketenagakerjaan menjadi bidang yang masih
mempertahankan istilah “cacat”, sehingga perlu untuk disesuaikan dengan Pasal 148 UU
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 15
8/2016.
Tantangan lain dalam melakukan harmonisasi penggunaan istilah “Penyandang
Disabilitas” adalah masih adanya istilah lain seperti “Berkebutuhan Khusus”, “Difabel”,
atau “Difable” dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penggunaan istilah
“Berkebutuhan Khusus” digunakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan; dan Peraturan Presiden Nomor 125
Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, yang sebenarnya secara
konsep sama dengan istilah “Penyandang Disabilitas”. Kondisi serupa juga terjadi dalam
peraturan perundang-undangan lain di bawah PP dan Perpres, yaitu Peraturan Menteri
dan Peraturan Daerah, yaitu sebagai berikut.
Tabel 2. Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah yang Masih Menggunakan
Istilah “Berkebutuhan Khusus” untuk merujuk “Penyandang Disabilitas”
No Judul Peraturan
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 98 Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas
1
Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik Bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penilaian Hasil
2
Belajar Oleh Pemerintah Dan Penilaian Hasil Belajar Oleh Satuan Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan
3 Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,
Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 25 Tahun 2017 tentang
4 Perubahan Atas Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Nomor 6 Tahun 2017
Tentang Statuta Institut Teknologi Kalimantan
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 38 Tahun 2017 tentang
5
Statuta Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 48 Tahun 2017 tentang
6
Statuta Politeknik Negeri Media Kreatif
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 Tahun 2017 tentang
7
Statuta Politeknik Negeri Ketapang
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 84 Tahun 2017 tentang
8
Statuta Universitas Terbuka
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 22 Tahun 2017 tentang
9
Statuta Politeknik Negeri Banjarmasin
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 25 Tahun 2017 tentang
10
Statuta Politeknik Negeri Samarinda
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 29 Tahun 2017 tentang
11
Statuta Politeknik Negeri Medan
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 30 Tahun 2018 tentang
12
Statuta Politeknik Negeri Bandung
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
16 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penyediaan
13
Layanan Pendidikan Anak Usia Dini
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 63 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimum
14
Angkutan Orang Dengan Kereta Api
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun
15
2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 30 tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Minimal
16
Penumpang Angkutan Udara
Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas
1
Dan Angkutan Jalan
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 7 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan
2
Kabupaten Layak Anak
3 Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 8 Tahun 2018 tentang Kabupaten Layak Anak
4 Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 4 Tahun 2016 tentang Kabupaten Layak Anak
Peraturan Daerah Kabupaten Sikka Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
5
Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif
Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
6
Perlindungan Anak
7 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2017 tentang Upaya Kesehatan
8 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pendidikan
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
9
Pendidikan
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
10
Pendidikan
Peraturan Daerah Provinsi Di Yogyakarta Nomor 15 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
11
Pendidikan Menengah
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Permen dan Perda yang masih banyak
menggunakan istilah “Berkebutuhan Khusus” ada dalam bidang perhubungan dan
pendidikan. Penggunaan istilah tersebut lebih diakibatkan karena suatu proses berulang
dibandingkan merujuk kepada peraturan yang lebih tinggi. Istilah “Berkebutuhan Khusus”
tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas), yang seharusnya menjadi rujukan peraturan-peraturan
pelaksanaannya. Istilah yang merujuk kepada “Penyandang Disabilitas” dalam UU
Sisdiknas tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa,
“Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 17
Dalam Pasal itu istilah “Penyandang Disabilitas” disebut dengan “kelainan fisik,
emosional, mental, sosial”. Istilah “Berkebutuhan Khusus” ditemukan dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20
Januari 2003 tentang Pendidikan Inklusif. SE Dirjen itu memerintahkan bahwa setiap
kabupaten/kota wajib menyelenggarakan dan mengembangkan Pendidikan inklusif
sekurang-kurangnya di empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK, agar setiap
anak berkebutuhan khusus mampu mengakses haknya memperoleh pendidikan yang
sama dengan anak pada umumnya.
Selain itu, istilah “Berkebutuhan Khusus” tidak selalu merujuk kepada
“Penyandang Disabilitas”, tetapi dapat juga kepada lansia (dalam bidang perhubungan)
atau peserta didik yang memiliki bakat istimewa (dalam bidang pendidikan), sehingga
dalam kondisi itu perlu untuk dijabarkan lebih lanjut, karena dalam praktiknya kebutuhan
penanganan atau dukungannya berbeda. Berdasarkan pada Tabel 2 juga dapat diketahui
bahwa istilah “Berkebutuhan Khusus” digunakan dalam Statuta beberapa politeknik,
sehingga penggunaannya berulang di beberapa Permen. Hal itu perlu didalami lebih
lanjut bagaimana pelaksanaannya di politeknik bersangkutan, apakah hanya istilah
“Berkebutuhan Khusus” hanya merujuk kepada “Penyandang Disabilitas” atau ada
kelompok masyarakat lain.
Sedangkan untuk istilah “Difabel” atau “Difable” digunakan dalam berbagai
Permen dan Perda sebagai berikut.
Tabel 3. Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan Peraturan Kepala Daerah yang Menggunakan
Istilah “Difabel” atau “Difable” untuk merujuk “Penyandang Disabilitas”
No Judul Peraturan
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.68/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2017
1 Tahun 2017 tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Penugasan
Bidang Lingkungan Hidup Dan Kehutanan
Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2016 tentang Rencana Induk Pembangunan
1 Kepariwisataan Daerah Tahun 2016-2026
Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 3 Tahun 2016 tentang Urusan Pemerintahan
2 yang Menjadi Kewenangan Desa
3 Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pasar Desa
Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas
4 Dan Angkutan Jalan
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa istilah “Difabel” atau “Difable”
digunakan dalam peraturan dalam tingkat teknis baik di K/L atau pemerintah daerah.
Penggunaan istilah itu sangat mungkin dipengaruhi
o l e h p i l i h a n p e n g g u n a a n i s t i l a h d a r i p a ra
pembentuknya, dan lebih banyak dipengaruhi oleh
aspek sosiologis dan kultural. Namun masih perlu
didalami bagaimana proses pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut sehingga
menggunakan istilah yang berbeda dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam peraturan perundang-undangan
lainnya yang masih berlaku, khususnya yang dibentuk
pada periode 1999-2016, ada berbagai istilah lain yang digunakan untuk menyebut
“Penyandang Disabilitas” atau menyebut suatu kelompok yang di dalamnya termasuk
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 19
penyandang disabilitas. Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik menggunakan istilah “Masyarakat Tertentu” yang di dalamnya
termasuk penyandang disabilitas. Dalam Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia digunakan istilah “Kelompok Masyarakat yang Rentan”, yang dalam
penjelasannya memasukan penyandang disabilitas di dalamnya. Istilah “Kelompok
Rentan” yang memasukan penyandang disabilitas juga diatur dalam Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Istilah yang sedikit
berbeda adalah “Kelompok Rentan Administrasi” yang diatur dalam Pasal 25 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang sudah diubah
satu kali melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.
Beragamnya istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan untuk
merujuk pada konsep “Penyandang Disabilitas” perlu untuk didalami dan didiskusikan,
dibandingkan diperselisihkan. Di satu sisi ada kebutuhan untuk melakukan harmonisasi
dengan kesatuan istilah dari perspektif yuridis, tetapi tetap menghormati keragaman
istilah demi mendorong perkembangan budaya dalam perspektif sosiologis. Pasal 148 UU
8/2016 dapat menjadi rujukan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dalam
menggunakan “Penyandang Disabilitas” sebagai kesatuan istilah. Namun, dari aspek
sosiologis, dan dalam jangka Panjang, perlu untuk terus dikembangkan dan didalami,
sehingga bukan tidak mungkin akan ada perkembangan istilah yang disepakati bersama
seiring dengan perkembangan perspektif terhadap disabilitas di tengah masyarakat
Indonesia.
20
21
Bab 3
KONDISI DAN
CAPAIAN
ASPEK SOSIOEKONOMI
DAN AKSESIBILITAS
PENYANDANG DISABILITAS
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
22 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Netherlands 100
Sweden 83,04
Norway 80,78
TOP 10 Global
Portugal 74,89
Ireland 72,64
Finland 70,74
Canada 68,52
Denmark 67,57
Philippines 45,34
Vietnam 39,84
Negara ASEAN
Singapore 31,92
Thailand 29,22
Malaysia 17,45
Myanmar 12,14
nd an
at
at
n
n
r
r
Pe iri
Pe iri
m u
m u
ng ang asi
ur gan i
ri
ri
Ko nga
Ko nga
s
la
la
/E rilak
/E rilak
ih
ih
Ga us D /Ja
Ga s D /Ja
Ta ika
an nd
an nd
Me at
Me at
rja
rja
k
i
l
l
g
g
os
os
i
Me
Me
e
e
gu Se
gu Se
un
un
n
/In
/In
Be
Be
a
m
m
ng iri
ng iri
si
si
n
tra
tra
T
u
en
en
ur
ns
ns
ng
Ko
Ko
Me
Me
Ringan Sedang Parah
Sumber : Susenas (2020), diolah
²Perlu dicatat penjumlahan dari persentase ini bisa lebih dari 100% mengingat bahwa penyandang disabilitas bisa saja
menyandang lebih dari satu jenis gangguan / masalah. Dengan kata lain bagan ini menunjukkan persentase PD yang tidak mutually
exclusive.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
24 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Pola berbeda ditunjukkan dengan tingkat keparahannya (lihat Grafik 8 panel B).
Meskipun orang-orang dengan gangguan penglihatan dominan, namun gangguan
tersebut didominasi oleh gangguan-gangguan yang relatif ringan. Penyandang disabilitas
yang memiliki tingkat keparahan cukup tinggi secara proporsi justru terlihat pada orang-
orang dengan gangguan dalam mengurus diri sendiri, berjalan, dan berkomunikasi.
Grafik 9. Proporsi Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jumlah Gangguan
48,7% 51,3%
PD Tunggal PMD
42,1%
50,0%
39,5%
38,7%
47,1%
51,2%
43,7%
43,6%
43,5%
49,6%
47,3%
47,7%
51,7%
47,1%
48,7%
46,2%
45,8%
45,2%
44,8%
44,2%
44,1%
51,0%
49,0%
48,0%
46,7%
43,9%
43,8%
41,4%
48,0%
42,3%
51,9%
50,1%
48,2%
50,6%
51,3%
51,0%
56,2%
57,9%
58,6%
48,8%
56,3%
56,4%
56,5%
57,7%
50,4%
52,7%
48,1%
49,9%
48,3%
52,3%
49,4%
51,8%
52,9%
53,8%
54,2%
55,2%
55,8%
55,9%
49,0%
52,0%
53,3%
56,1%
50,0%
60,5%
61,3%
52,9%
52,0%
54,8%
Sumut
Bali
Jateng
Kalbar
Sulsel
NTT
Aceh
Jabar
Sumbar
DIY
Jambi
Papua
NTB
Lampung
Kalsel
DKI
Banten
Gorontalo
Papua Barat
Kep Babel
Kaltim
Kalteng
Sulteng
Sumsel
Bengkulu
Maluku Utara
Sulut
Riau
Sultra
Maluku
Sulbar
Kalut
Kepri
Jatim
PD Tunggal PMD
Sumber : Susenas (2020), diolah
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 25
Grafik 10. Piramida Penduduk Nasional dan PD Berdasarkan Kelompok Umur (dalam %)
(b) Piramida Umur Penduduk
(a) Piramida Umur Penduduk Indonesia
Penyandang Disabilitas
75+ 75+
70-74 70-74
65-69 65-69
60-64 60-64
55-59 55-59
50-54 50-54
45-49 45-49
40-44 40-44
35-39 35-39
30-34 30-34
25-29 25-29
20-24 20-24
15-19 15-19
10-14 10-14
5-9 5-9
0-4 0-4
0 100000 200000
2020 2019 2018
Sumber : Susenas (2018-2020)
Indikator lain yang dapat dilihat untuk mengevaluasi tingkat kesejahteraan (well-
being) penyandang disabilitas adalah dengan melihat pola konsumsinya. Grafik 12
menunjukkan beberapa hal penting yakni pertama terdapat peningkatan alokasi
pengeluaran terhadap rokok dan tembakau yakni sebesar 8,81% dari tahun 2018.
Peningkatan ini tentunya buruk bagi penyandang disabilitas untuk kesehatan mereka
pribadi. Jika dibandingkan dengan angka nasional, terdapat tren yang berkebalikan
dalam konsumsi rokok dan tembakau.
Di sisi lain, konsumsi pada makanan kemasan dan jadi mengalami penurunan dari
tahun 2018 ke 2020 (1,96%). Penurunan ini baik karena mengonsumsi makanan kemasan,
instan, dan jadi dalam jumlah yang besar berdampak negatif terhadap kesehatan. Lalu,
konsumsi padi dan umbi-umbian juga mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni
sebesar 3,37%. Kemudian komponen yang diharapkan meningkat namun turun adalah
protein (daging, ayam, ikan, dan telur) dengan tingkat penurunan 0,73% dari tahun 2018.
Grafik 13. Jumlah PD Tanpa Jaminan Kesehatan Relatif terhadap Total PD,
2018-2020 (dalam persen)
(a) Tren Perubahan Sejak 2018 (b) Presentase PD Tanpa Jaminan Kesehatan
Relatif terhadap Tottal PD Provinsi
Temuan lainnya ditunjukkan oleh rata-rata pengeluaran kesehatan OOP atau di luar
asuransi/jaminan kesehatan bagi rumah tangga yang memiliki anggota keluarga seorang
penyandang disabilitas. Secara umum, rata-rata pengeluaran kesehatan OOP provinsi
cukup memiliki rentang dari Rp58.957 hingga Rp264.125 dengan rata-rata nasional
Rp150.947. Trennya menunjukkan hasil yang relatif beragam, Sulawesi Utara, Maluku
Utara, dan Kep. Bangka Belitung menjadi provinsi-provinsi dengan penurunan
pengeluaran Kesehatan OOP terdalam dibandingkan provinsi-provinsi lainnya.
Sedangkan DKI Jakarta, Maluku, dan NTT menjadi provinsi-provinsi dengan peningkatan
rata-rata pengeluaran kesehatan OOP tertinggi. Tentunya angka ini dapat cukup
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
32 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
bermakna jika dibenturkan dengan grafik sebelumnya yakni Grafik 13. Untuk wilayah-
wilayah dengan tingkat penetrasi asuransi/jaminan kesehatan tinggi seperti DKI Jakarta,
peningkatan pengeluaran kesehatan OOP dapat berasal dari perbaikan kualitas layanan
maupun pelengkap kesehatan. Sampai saat ini, jaminan kesehatan masih relatif terbatas
pada pengeluaran kesehatan yang sifatnya esensial, sedangkan alat bantu masih belum
dapat diakomodasi. Sedangkan wilayah dengan penetrasi jaminan kesehatan rendah,
peningkatan pengeluaran kesehatan OOP dapat berasal dari rendahnya cakupan jaminan
kesehatan. Menariknya, beberapa wilayah justru mencatatkan pengurangan pengeluaran
Kesehatan OOP yang dapat berasal dari meningkatnya cakupan jaminan kesehatan.
27,74%
35,0%
30,0%
25,0%
14,70%
14,31%
13,20%
12,91%
20,0%
11,01%
10,35%
15,0%
5,19%
5,12%
10,0%
5,0%
0,0%
Tidak/belum Tidak tamat SD SD sederajat SMP sederajat SMA sederajat PT sederajat
pernah
bersekolah
2018 2020
30,90%
29,5%
35,0%
27,5%
24,2%
23,1%
30,0%
25,0%
14,2%
20,0%
12,9%
10,9%
10,0%
15,0% 9,3%
5,0%
10,0%
2,4%
5,0%
0,0%
Tidak/belum Tidak tamat SD SD sederajat SMP sederajat SMA sederajat PT sederajat
pernah
bersekolah
Non-PD PD Liniear (Non-PD) Liniear (PD)
Sumber : Susenas (2020), diolah
Grafik 17. Pendidikan Terakhir PD di Kota dan Desa
32,4%
30,9%
28,1%
35,0%
30,0%
22,6%
19,4%
25,0%
16,9%
20,0%
13,2%
9,0%
8,6%
8,6%
15,0% 7,7%
10,0% 2,3%
5,0%
0,0%
Tidak/belum Tidak tamat SD SD sederajat SMP sederajat SMA sederajat PT sederajat
pernah
bersekolah
Non-PD PD Liniear (Non-PD) Liniear (PD)
Sumber : Susenas (2020), diolah
³Menurut definisi BPS, sektor pekerja formal adalah mereka yang bekerja sebagai: (1) buruh/karyawan/pegawai, dan (2) berusaha
dibantu buruh tetap/ buruh dibayar.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 35
sederhana, dan produktivitas relatif rendah. Sebaliknya, proporsinya sangat kontras bila
dibandingkan dengan lapangan usaha dengan tingkat kompleksitas dan produktivitas
tinggi seperti sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (0,24%) serta sektor Jasa
Keuangan dan Asuransi (0,44%) yang bahkan komposisinya di bawah 1%.
Tabel 4. Proporsi Sektor Pekerjaan Penyandang Disabilitas Berdasarkan BPS 17 Sektor, 2020
Kepri
Perubahan Tingkat Kebekerjaan PD 2018-2020
2% DKI
Sumbar
1% Kalut
Banten NTB
Jatim
Nasional Kalbar
Jabar Sumut
Jambi Lampung Jateng
0% Kaltim Bengkulu
Sultra Papua Barat Sulsel KalselSumsel DIY
Sulbar Gorontalo
Riau Sulut Kep Babel
Sulteng Kalteng
-1%
NTT Bali
Maluku
-2% Maluku Utara
Papua
-3%
49% 54% 59% 64% 69%
Tingkat Kebekerjaan PD
PD di tengah kebutuhan khusus yang mereka punya. Namun, bekerja di sektor informal
tidak terlepas dari risiko seperti fluktuasi pendapatan, ketiadaaan jaminan kesehatan,
dan jaminan-jaminan lainnya. Berbagai fasilitas publik seperti jaminan kesehatan kadang
harus dibayar oleh individu sendiri, berbeda dengan pekerja formal yang sudah
mendapatkan jaminan dari kantor atau tempat mereka bekerja.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 37
80% Mengingat
71,4%
Tangan
70% Berjalan
Mendengar
60%
50,5%
49,5%
Melihat
50% Mengurus dirisendiri
Komunikasi
40%
28,6%
Emosi
Formal
30% Mengingat
Tangan
20%
Berjalan
10% Mendengar
Melihat
0%
Non-PD PD 0% 20% 40% 60% 80% 100%
yang banyak bekerja di sektor informal cenderung juga daerah dengan PD tanpa jaminan
Kesehatan tertinggi—dengan catatan korelasi bukan sebab-akibat (causation). Meskipun
korelasinya cenderung lemah, namun hasil ini dapat menjadi temuan awal yang dapat
ditinjau lebih lanjut mengenai keterkaitan antara sektor kebekerjaan dan akses terhadap
jaminan kesehatannya.
Grafik 20. Presentase PD Berkerja Sektor Informal vs Presentase PD tanpa Jaminan Kesehatan
90%
NTT
85%
80%
Presentase PD Berkerja Sektor Informal
Papua
Sultra Maluku Utara
75% Sulbar Kalsel Sumbar Bengkulu NTB
Sulsel Lampung Maluku
Sulteng Kalbar
70% Gorontalo Jatim
Sumsel
Aceh Jateng
DIY Sumut
65% Papua Barat Sulut Kalteng
Kalut Bali Jambi
Kep Babel Riau
Kaltim Banten
60% Jabar
55%
50% DKI
Kepri
45%
40%
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45%
Presentase PD tanpa Jamkes
Kotak 3. Balai Rehabilitas Sosial Menjadi Kunci, Kerjasama dengan Usaha Lokal Perlu Ditingkatkan
Bali Mahatmiya Bali adalah balai pelatihan khusus
Penyandang Disabilitas yang dikelola oleh
Kementerian Sosial. Balai ini dikhususkan untuk
penyandang disabilitas tuna netra yang pesertanya
berasal dari Bali dan luar Bali. Sebagian besar
pesertanya ialah penyandang disabilitas muda di
usia produktif. Balai pelatihan ini memberikan
bermacam-macam variasi pelatihan mulai dari
pelatihan pijat, spa, barista, hingga pemrograman
bagi tuna netra. Kondisi Balai pelatihan pun
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 39
36,5%
40% 33,6%
35% 30,0%
26,2%
30% 24,8%
23,2%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
NON PD PD NON PD PD NON PD PD
Grafik 22. Presentase Kepemilikan Telepon Grafik 23. Tingkat Penggunaan Internet
Genggam PD dan Non-PD PD dan Non-PD
100% 100%
90% 90%
80%
78,3% 80%
65,3% 70%
70%
59,4%
60% 52,0% 60% 51,2% 52,7%
50% 42,4% 50% 43,4%
36,7%
40% 40%
30% 30%
15,9% 17,3% 18,9%
20% 20%
10% 10%
0% 0%
NON PD PD NON PD PD NON PD PD NON PD PD NON PD PD NON PD PD
2018 2019 2020 2018 2019 2020
Dalam hal akses terhadap teknologi yang dicerminkan dari dua indikator yakni
kepemilikan telepon genggam (handphone) dan penggunaan internet, persentase
penyandang disabilitas yang menggunakan kedua indikator tersebut masih relatif lebih
rendah dibandingkan dengan nondisabilitas. Grafik 22 memperlihatkan tren penggunaan
handphone yang naik di tahun 2019 lalu turun kembali di tahun 2020. Penggunaan
handphone di tahun 2020 pada kelompok nondisabilitas mencapai 59,4% dan kelompok
disabilitas sebesar 36,7%. Angka-angka ini adalah yang terendah selama 3 tahun terakhir
mengingat penggunaan di tahun 2018 sebesar 65,3% (nondisabilitas) dan 42,4%
(disabilitas). Turunnya penggunaan handphone ini ditenggarai oleh adanya krisis
pandemi Covid-19.
Grafik 24. Tingkat Kepemilikan Rekening, Kepemilikan Telepon Genggam, dan Akses Internet
Penyandang Disabilitas per Total PD Provinsi, 2020 (dalam persen)
(a) Presentase PD Tidak (b) Presentase PD Tidak ( c) Presentase PD Tidak
Memilik Rekening Memilik Telepon Genggam Memilik Akses Internet
perkembangan informasi dunia. Selain itu, akses pada internet juga membuat berbagai
peluang pekerjaan seperti jual beli online, pekerjaan jarak jauh, dan pekerjaan lainnya
yang membutuhkan pengusaan teknologi.
Pada grafik 24 ditunjukkan persentase PD di setiap provinsi yang tidak memiliki
rekening perbankan, gawai, dan akses pada internet. Secara umum provinsi di Jawa
khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah provinsi tertinggi yang tidak mempunyai
akses terhadap rekening perbankan dan gawai yakni di atas 70%. Artinya, hanya 3 dari 10
orang di provinsi tersebut yang mempunyai akses terhadap perbankan dan memiliki alat
komunikasi gawai. Sementara untuk akses terhadap internet, provinsi-provinsi di
kawasan timur masih mendominasi ketidakadaan akses ini. Di Provinsi NTT, secara rata-
rata hanya 1 dari 10 PD yang memiliki akses terhadap internet, dikuti oleh Provinsi Sulbar,
NTB, dan Maluku. Ketidakadaan akses ini juga dipengaruhi oleh infrastruktur daerah yang
mana di kawasan Indonesia timur, infrakstruktur terkait internet tidak semasif seperti di
Jawa.
44
45
Bab 4
KONDISI DAN
CAPAIAN
PELAKSAAN ASPEK YURIDIS
TENTANG
PENYANDANG DISABILITAS
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
46 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
No Judul Peraturan
Peraturan Daerah
1 Pasal 27 ayat (3) Perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi
2 Pasal 36 ayat (2) Akomodasi yang layak dalam peradilan
3 Pasal 42 ayat (8) Mekanisme sanksi administratif pendidikan
4 Pasal 43 ayat (2) Akomodasi yang layak dalam pelaksanaan pendidikan
5 Pasal 43 ayat (4) Mekanisme sanksi administratif pendidikan
6 Pasal 54 ayat (2) Pemberian insentif
7 Pasal 55 ayat (4) Unit layanan disabilitas Ketenagakerjaan
8 Pasal 86 ayat (2) Pemberian insentif
9 Pasal 96 Rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial
10 Pasal 104 ayat (4) Pemukiman yang mudah diakses
11 Pasal 108 Pelayanan publik yang mudah diakses
12 Pasal 109 ayat (4) Penanganan bencana
13 Pasal 113 Layanan habilitasi dan rehabilitasi
14 Pasal 114 ayat (2) Besar dan jenis konsesi
15 Pasal 116 ayat (2) Pemberian insentif
Peraturan Presiden
16 Pasal 134 Komisi Nasional Disabilitas
17 Pasal 141 Pemberian Penghargaan
Peraturan Menteri Sosial
18 Pasal 121 ayat (3) Kartu Penyandang Disabilitas
Berbeda dengan RPP, proses pembentukan Perpres dan Permensos delegasi dari
UU 8/2016 tidak menghadapi hambatan. Hal itu terjadi karena dua RPerpres dan satu
Permensos diprakarsai oleh Kementerian Sosial. Peraturan pelaksanaan dari UU 8/2016
pertama yang dibentuk adalah Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2017 tentang
Penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas. Namun, begitu Permensos itu mendapatkan
penolakan dari Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas karena materi muatan
yang terlalu sentralistik di Kementerian Sosial, padahal penerbitan kartu penyandang
disabilitas yang diharapkan dapat terkait dan menggunakan jalur dari administrasi
kependudukan, sehingga kartu tersebut dapat bersifat lebih inklusif. Setelah 4 tahun
berjalan, akhirnya Permensos itu direvisi melalui Permensos Nomor 2 Tahun 2021 tentang
Kartu Penyandang Disabilitas.
Secara keseluruhan, sampai Desember 2021, sudah ada 7 PP, 2 Perpes, dan 1
Permensos yang sudah dibentuk sebagai peraturan pelaksana dari UU 8/2016. Hanya 1
RPP yang belum dituntaskan, yaitu RPP tentang Konsesi dan Insentif, sebagai
pelaksanaan dari ketentuan Pasal 114 ayat (2) dan 86 ayat (2) UU 8/2016. Adapun
keseluruhan peraturan pelaksanaan yang sudah dibentuk adalah sebagai berikut.
Tabel 6. Peraturan Pelaksanaan UU 8/2016 yang Sudah Dibentuk Sampai Desember 2021
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa ada 6 kementerian berbeda yang menjadi
pemrakarsa pembentukan 6 peratuan pelaksanaan UU 8/2016. Hal itu menunjukan
bahwa disabilitas adalah isu multisektor. Selain itu, pembahasan masing-masing
peraturan pelaksanaan, khususnya PP dan Perpres juga melibatkan kementerian lain.
Contohnya pembentukan PP Nomor 39 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Untuk
Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan, Kemenkumham membahasnya dengan
melibatkan lembaga penegak hukum, yaitu Kepolisian RI, Kejaksanaan RI, dan Mahkamah
Agung; sedangkan PP Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman,
Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas dibahas
dengan melibatkan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Berikut penjelasan
singkat dari kesepuluh peraturan pelaksanaan tersebut.
SDGs, UNCRPD, dan RIPD adalah agenda yang saling berkaitan karena RIPD adalah
implementasi dari pelaksaan SDGs dan UNCRPD. Kotak 5 menunjukkan 7 sasaran statagis
RIPD yang sesuai dengan 17 tujuan SGDs. Terdapat tujuh sasaran stategis RIPD yang
diantaranya adalah (1) pendataan dan perencanaan yang inklusif (2) penyediaan
lingkungan tanpa hambatan (3) perlindungan hak dan akses politik dan keadilan (4)
pemberdayaan dan kemandirian (5) perwujudan ekonomi inklusif (6) pendidikan dan
keterampilan (7) akses dan pemerataan layanan kesehatan.
Bencana bagi Penyandang Disabilitas (PP 42/2020) yang ditetapkan pada 24 Juli 2020 dan
menjadikan pemerintah pusat sekaligus pemerintah daerah sebagai pihak yang
menjamin pelaksanaaan pelayanan publik dan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) yang bertugas untuk menjamin pelindungan kebencanaan terhadap
penyandang disabilitas. PP 42/2020 bertujuan untuk mewujudkan kesamaan hak dan
kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera dan mandiri
dalam bentuk kemudahan akses terhadap permukiman, pelayanan publik, dan
pelindungan dari bencana. Peraturan ini mengatur tentang permukiman yang mudah
diakses bagi penyandang disabilitas, pelayanan publik yang mudah diakses bagi
Penyandang Disabilitas, pelindungan dari bencana bagi penyandang disabilitas,
pembinaan, pendanaan dan pelaporan.
h. Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Penghargaan Dalam Penghormatan, Pelindungan, dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Pembentukan Perpres 67/2020 merupakan
amanat dari Pasal 141 UU 8/2016. Peraturan ini
ditetapkan pada 8 Juni 2020 dan menjadikan
Kementerian Sosial sebagai leading sector dari
pelaksanaan Perpres tersebut. Pemberian
penghargaan yang dimaksud dalam Perpres
67/2020 bertujuan untuk memotivasi orang
perseorangan, badan hukum, lembaga negara,
d a n p e n y e d i a f a s i l i ta s p u b l i k d a l a m
mewujudkan Penghormatan, Pelindungan,
dan Pemenuhan hak penyandang disabilitas
dalam segala aspek kehidupan. Perpres ini juga mengatur kriteria dan tata cara pemberian
penghargaan, sistem evaluasi dan pendanaannya.
yang aksesibel diperkuat kebali dengan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 2019 tentang Fasilitasi Akses Terhadap Ciptaan Bagi Penyandang Disabilitas
dalam Membaca dan Menggunakan Huruf Braille, Buku Audio, dan Sarana Lainnya (PP
27/2019). PP ini menjamin akses penyandang disabilitas terhadap karya cipta di bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Dalam Pasal 2 PP 27/2019 disebutkan bahwa “Manfaat
Fasilitasi Akses diperuntukkan bagi Penyandang Disabilitas”. PP ini merupakan peraturan
pelaksanaan dari ketentuan yang mengecualikan hak cipta dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Hak Penyandang Disabilitas juga dijamin dalam sebuah dokumen Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 3 Peraturan Presiden
Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Perpres 53/2021)
dijelaskan bahwa RANHAM memuat sasaran strategis dalam rangka melaksanakan
penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM terhadap
kelompok sasaran salah satunya ialah penyandang disabilitas. Selanjutnya dalam
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (Perpres 18/2020) dimuat berbagai perencanaan terhadap
penyandang disabilitas yakni meningkatkan presentase anak penyandang disabilitas usia
sekolah yang memiliki akses terhadap layanan pendidikan, meningkatkan jumlah
penyandang disabilitas yang menerima rehabilitasi sosial, pengadaan literasi khusus bagi
penyandang disabilitas, melakukan kegiatan pendidikan pemilih kepada penyandang
disabilitas, dan melakikan akreditasi terhadap lembaga yang menyelenggarakan layanan
terhadap penyandang disabilitas.
Terakhir, ada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Perpres 59/2017) yang mengatur
tentang pelaksanaan program SDGs di Indonesia. Dalam SDGs salah satu yang menjadi
sasaran global adalah pada tahun 2030, menghilangkan disparitas gender dalam
pendidikan, dan menjamin akses yang sama untuk semua tingkat pendidikan dan
pelatihan kejuruan, bagi masyarakat rentan termasuk penyandang cacat, masyarakat
penduduk asli, dan anak-anak dalam kondisi rentan.
jaminan penyediaan akses fasilitas olahraga, maka penyandang disabilitas dapat lebih
berprestasi. Selain itu, kegiatan olahraga juga dapat berdampak positif bagi para
penyandang disabilitas, baik dari aspek kesehatan atau hiburan.
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (RUU Pendidikan Kedokteran) memuat asas
kesetaraan dalam penyelenggaraan pendidikan. Asas itu berarti bahwa pendidikan
kedokteran dilakukan secara adil, tidak memihak, ketepatan kelompok sasaran afirmatif,
berimbang mutu dan jumlah lulusan antar fakultas dan antar daerah, serta antar
perguruan tinggi negeri dengan antar perguruan tinggi swasta. Dengan adanya jaminan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam pendidikan kedokteran, maka akan
membuka peluang penyandang disabilitas untuk menjadi peserta didik dalam
pendidikan kedokteran atau bahkan menjadi seorang Dokter.
Tidak kalah penting, ada Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual) dapat melindungi
penyandang disabilitas dari tindak kekerasan seksual. Dalam RUU disebutkan bahwa
apabila terjadi kekerasan terhadap penyandang disabilitas maka dapat diberlakukan
pemberatan tindak pidana. Selain itu, tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan
terhadap penyandang disabilitas juga dapat dilakukan pengaduan oleh korban ataupun
orang lain.
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) yang menjamin penerapan merit
system. Penerapan merit system ini
merupakan kebijakan dan manajemen
ASN yang berdasarkan pada kualifikasi,
kompetensi, dan kinerja secara adil dan
wajar dengan tanpa membedakan latar
belakang politik, ras, warna kulit, agama,
asal usul, jenis kelamin, ststus
p e r n i k a h a n , u m u r, a t a u k o n d i s i
disabilitas. Selain itu, RUU ASN juga harus
memasukan kuota 2% untuk
mempekerjakan penyandang disabilitas
dari total keseluruhan ASN. Dalam upaya
pemenuhannya, RUU ASN perlu untuk mengatur pintu masuk penyandang disabilitas
untuk menjadi ASN, apakah melalui tes atau seleksi atau ada jalur pencarian bakat yang
khusus merekrut penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan dan prestasi baik.
Pada bidang profesi, terdapat Rancangan Undang-Undang tentang Profesi
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 61
Psikologi (RUU Profesi Psikologi) memberikan dasar hukum dalam praktik psikoterapi
yang bertujuan membantu klien dengan berbagai gangguan mental dan/atau kesulitas
emosional agar hidup lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih produktif. Di samping itu,
terdapat Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi (RUU
Perlindungan Data Pribadi) yang mengatur bahwa salah satu jenis data pribadi yang
bersifat spesifik adalah informasi kesehatan, termasuk kesehatan fisik dan mental.
Sebagai catatan dalam RUU ini masih mencantumkan ketidakcakapan jasmani sebagai
keadaan dimana seseorang dapat diberhentikan dari pekerjaannya.
Pada ranah proses peradilan, Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara
Perdata (RUU Hukum Acara Perdata) mengatur mengenai keberadaan saksi dalam
beracara pada sengketa perdata yang bersinggungan dengan penyandang disabilitas.
Dalam kesaksian perdata disebutkan bahwa seseorang tidak dapat dijadikan saksi
apabila sedang dalam kondisi sakit pikirannya walaupun hal itu berjalan secara periodik.
Hal itu jelas keliru dan diskriminatif, karena kondisi seseorang tidak dapat menghilangkan
haknya. Mekanisme hukum acara perdata seharusnya mampu untuk mendukung setiap
orang, termasuk penyandang disabilitas mental, untuk tetap menggunakan haknya
dalam bersaksi. Selain itu, ada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (RUU KUHP) yang mengatur tentang cara penjatuhan hukuman terhadap
terdakwa yang merupakan penyandang disabilitas. Selain itu, memberikan ketentuan
terkait dengan pemberian rehabilitasi. RUU KUHP juga memberikan perlindungan
terhadap penyandang disabilitas atas tindak penghinaan.
Selanjutnya, ada Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Kepulauan (RUU
Daerah Kepulauan) memuat materi tentang pembangunan kelautan yang salah satu
pasalnya membicarakan tentang pembangunan infrastruktur kelautan dan sarana
pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien sesuai kebutuhan dan karakteristik
daerah. Dalam proses pembangunan infrastruktur di daerah perlu memperhatikan prinsip
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Terakhir, ada Rancangan Undang-Undang
Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentag Kejaksaan RI (RUU Kejaksaan) yang masih
mencantumkan syarat sehat jasmani dan rohani untuk menjadi seorang Jaksa atau Jaksa
Agung. Syarat itu dalam pelaksanaannya kerap mendiskriminasi penyandang disabilitas,
dan menjadi batu ganjalan bagi penyandang disabilitas untuk bekerja atau menemapati
suatu jabatan.
95 ketentuan yang mengatur perihal tugas dan fungsi pemerintah daerah. Oleh karena itu,
perlu untuk diatur lebih lanjut dalam Perda, agar kemudian dapat dilaksanakan,
khususnya untuk masuk dalam perencanaan dan penggaran daerah. Pemetaan Perda
dalam bagian ini akan menunjukan sejauh mana pembentukan Perda tentang
penyandang disabilitas sudah dilakukan di wilayah-wilayah Indonesia. Dengan data dan
informasi dari pemetaan ini akan mempermudah untuk menentukan langkah-langkah
lanjutan dalam upaya mendorong pembentukan dasar hukum yang leboh operasional
dalam penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Sampai Desember 2021, Peraturan Daerah (Perda) tentang penyandang disabilitas
sudah dibentuk di 109 dari 548 (19,8%) daerah di Indonesia. Dari 109 daerah tersebut, 21
diantaranya adalah Provinsi (61,7%); 25 Kota (26,8%); dan 63 Kabupaten (15,1%). Berikut
adalah rincian 109 Perda tentang penyandang disabilitas di Indonesia (lihat lampiran 1
dan 2).
Grafik 25. Persentase Kabupaten/Kota per Provinsi yang Memiliki Perda Disabilitas
DKI 100%
DIY 100%
Bali 55,50%
Jateng 51,40%
Kalbar 42,80%
Kaltim 30%
NTB 30%
Jabar 29,60%
Kep Babel 28,50%
NTT 27,20%
Jambi 27,20%
Sulsel 25%
Banten 25%
Jatim 23,60%
Kalsel 23%
Riau 16,60%
Sumbar 15,70%
Kepri 14,20%
Lampung 13,30%
Papua Barat 7,60%
Aceh 4%
Sumut 3%
Papua 0%
Maluku Utara 0%
Maluku 0%
Sulbar 0%
Gorontalo 0%
Sultara 0%
Sulteng 0% Catatan : persentase menunjukkan
Sulut 0% rasio kabupaten kota yang memiliki
Kalut 0% peraturan daerah tentang
Kalteng 0% disabilitas per total kabupaten kota
Bengkulu 0% di suatu provinsi
Sumsel 0%
Dari Grafik 25 diatas dapat diketahui bahwa masih ada 13 Provinsi yang kabupaten/kota di
wilayahnya belum ada yang memiliki Perda tentang penyandang disabilitas. Provinsi yang
kabupaten/kotanya sudah mencapai 100% memiliki Perda tentang penyandang
disabilitas baru D.I. Yogyakarta dan DKI Jakarta, sedangkan yang capaiannya lebih dari
50% baru kabupaten/kota di Provinsi Bali dan Jawa Tengah. Selebihnya masih di bawah
50%. Angka tersebut menunjukan bahwa upaya mendorong pembentukan Perda tentang
penyandang disabilitas masih perlu diperkuat. Catatan untuk DKI Jakarta, capaian 100%
didapat karena Perda DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan
Penyandang Disabilitas mencakup lingkup urusan pemerintahan Provinsi dan
Kabupaten/Kota, sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Temuan lain yang dapat dilihat dari Tabel adalah jumlah Perda yang dibentuk
pasca 2016 lebih dominan dari Perda yang dibentuk sebelum 2016. Hal itu menunjukan
bahwa pembentukan Perda tentang penyandang disabilitas dipicu karena pembentukan
UU 8/2016. Namu, perlu untuk diteliti lebih dalam, bagaimana materi muatan dari Perda-
Perda tersebut. Apakah sudah sesuai dengan UU 8/2016 atau tidak, dan apakah
substansinya berhasil mendorong penyelesaian permasalahan daerah, atau hanya
menyalin dari UU 8/2016.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
64 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya Peraturan Menteri tentang pedoman
penyelenggaraan sistem data terpilah Penyandang Disabilitas
bagi setiap sektor di tingkat pusat dan daerah pertahun.
Kondisi saat ini :Belum tersedia
Rekomendasi :Peraturan Menteri segera dibentuk
Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya standar dan pedoman bagi pelayanan penanganan
kebencanaan bagi Penyandang Disabilitas sesuai dengan
ketentuan Standar Pelayanan Minimal.
Kondisi saat ini :· Belum tersedia
· Catatan : Saat ini sudah ada Peraturan Kepala BNPB Nomor
14/2014 tentang Penanganan, Perlindungan, dan Partisipasi
Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana,
tetapi substansinya belum dapat dikatakan sebagai pedoman
dan sudah harus disesuaikan dengan UU 8/2016 dan PP
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
66 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
42/2020
Rekomendasi :Perlu revisi Peraturan Kepala BNPB Nomor 14/2014 tentang
Penanganan, Perlindungan, dan Partisipasi Penyandang
Disabilitas
Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya kebijakan yang mengatur tentang partisipasi
Penyandang Disabilitas dalam pemilihan umum (sebagai
pemilih dan penyelenggara pemilihan umum).
Kondisi saat ini :· Sudah tersedia
· Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi sebagai
penyelenggara pemilihan umum. Karena dalam penjelasan
pasal 21 huruf h UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
menjelaskan bahwa syarat untuk menjadi anggota KPU, KPU
Prov, KPU Kab/Kota salah satunya adalah mampu secara
jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika.
Lalu dalam penjelasannya disebutkan bahwa cacat tubuh
tidak termasuk gangguan kesehatan.
· Lalu dalam pasal 72 diatur mengenai syarat menjadi anggota
PPK, PPS, KPPS, PPLN dan KPPSLN yang salah satunya adalah
mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari
penyalahgunaan narkotika. Dalam penjelasan pasal 72
dijelaskan bahwa cacat tubuh tidak termasuk kategori tidak
mampu secara jasmani dan rohani.
· Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 Tahun
2019 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam
Pemilihan Umum diatur juga mengenai jaminan hak untuk
penyandang disabilitas. Yakni dalam pasal 8 (1) Pemilih yang
terda ar dalam DPT sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
huruf b merupakan Pemilih yang karena keadaan tertentu
tidak dapat memberikan suara di TPS tempat asal Pemilih
terda ar dalam DPT dan memberikan suara di TPS lain atau
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
68 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya pedoman layanan habilitasi dan rehabilitasi bagi
Penyandang Disabilitas.
Kondisi saat ini :· Sudah tersedia
· Peraturan Menteri Sosial Nomor 7 Tahun 2017 tentang Standar
Habilitasi dan Rehabilitasi pada Penyandang Disabilitas.
Rekomendasi :-
Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya panduan dan standar operasional ketenagakerjaan
disabilitas di sektor publik dan swasta, mencakup antara lain
proses pemagangan, perekrutan, penempatan, pelatihan, dan
pengembangan karir.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
70 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tercapainya peningkatan jumlah daerah yang memiliki
Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pendidikan inklusif
bagi Penyandang Disabilitas.
Kondisi saat ini :· Belum terlaksana
· Baseline data :
• Sudah ada 29 daerah dari 548 daerah (5,3%) yang
memiliki peraturan (Perda atau Peraturan Kepala
Daerah) terkait dengan Pendidikan inklusif
• 2 Perda, 6 Peraturan Gubernur, 16 Peraturan Bupati,
dan 5 Peraturan Walikota
• 5 peraturan diantaranya dibentuk sebelum UU 8/2016
disahkan.
Rekomendasi :Perda untuk segera dibentuk di setiap daerah, dengan opsi
berdiri sendiri dalam satu peraturan atau digabung dengan
Perda yang lebih umum.
Target RIPD 2 :Tersedianya standar atas lembaga pendidikan yang inklusif bagi
Penyandang Disabilitas (ketersediaan sarana prasarana, tenaga
pendidik, dan tenaga profesional) sesuai dengan ketentuan
mengenai Standar Pelayanan Minimal.
Kondisi saat ini :Standar lembaga pendidikan inklusif sudah tersedia melalui
Permendiknas 70/2009 tentang Pendidikan Inklusif. Namun,
belum sesuai dengan PP Nomor 13 Tahun 2020 tentang
Akomodasi yang layak bagi Peserta Didik Penyandang
Disabilitas. Perlu pembaruan Permendikbud.
(pasal 15).
· Perlu disesuaikan dengan Permendikbud 70/2009 yang
menjadi rujukan pelaksanaan di lapangan
Rekomendasi :Sesuaikan Permendiknas 70/2009 tentang Pendidikan Inklusif
dengan PP 13/2020.
Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya pedoman pelayanan kesehatan yang akomodatif
bagi Penyandang Disabilitas sesuai Standar Pelayanan Minimal
bidang kesehatan.
Kondisi saat ini :· Masa Pandemi Covid-19. Pedoman ini didalamnya juga
mengatur tentang pelayanan terhadap penyandang
disabilitas.
· Pedoman Perlindungan Kesehatan dan Dukungan Psikososial
Terhadap Penyandang Disabilitas Sehubungan dengan
Terjadinya Wabah Covid-19 di Lingkungan Balai
Besar/Balai/Loka Disabilitas Lembaga Kesejahteraan Sosial
(LKS) Disabilitas, dan Lembaga lainnya.
· Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas
Rekomendasi :-
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 73
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sudah ada 5 (24%) target capaian yang sudah
terealisasikan, yaitu dalam bidang Pemilu, Rehabilitas dan Habilitasi, Transportasi, dan
Kesehatan. Sedangkan 6 target capaian lain masih perlu revisi atau penyempurnaan
terhadap produk hukum tertentu. Sedangkan masih ada 10 target capaian yang
memerlukan pembentukan baru suatu produk hukum. Dari pemetaan dan analisa itu,
maka dapat dijadikan penentuan strategi dan prioritas untuk mencapai dalam tahun-
tahun berikutnya. Pencapaian target capaian dalam kategori pertama ini akan
menentukan seberapa cepat target capaian dalam kategori kedua dan ketiga dapat
terlaksana.
Grafik 26. Capaian 1 Tahun RIPD dalam Aspek Yuridis
Sudah Tersedia
Perlu Pembentukan Baru
48%
Bab 5
KESIMPULAN
DAN
REKOMENDASI
KEBIJAKAN
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
76 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
5.1. Kesimpulan
Komitmen Indonesia dalam memperbaiki taraf hidup penyandang disabilitas telah
tertuang pada UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas yang kemudian
diterjemahkan secara teknis di level nasional melalui RIPD pada PP Nomor 70 Tahun 2019.
Hal ini merupakan bukti keseriusan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan target
CRPD dan SDGs. Dalam perjalanannya, usaha terhadap penghormatan hak-hak
penyandang disabilitas telah menghasilkan berbagai capaian dan juga tantangan yang
dapat dibagi menjadi dua yakni aspek sosio-ekonomi dan aspek yuridis.
Berdasarkan aspek sosioekonomi, terdapat hasil yang beragam ketika
mendiskusikan indikator-indikator capaian perbaikan taraf hidup penyandang disabilitas.
Mengacu pada data Susenas, terdapat tren positif ketika berdiskusi terkait kemiskinan dan
pendidikan. Namun, tren yang kurang baik masih terlihat dari pola konsumsi pangan dan
aspek kesehatannya. Sedangkan, capaian akses keuangan dan teknologi sempat
mengalami perbaikan namun sedikit melambat di tahun 2020 yang mungkin juga akibat
dari pandemi Covid-19.
Secara yuridis, terdapat catatan-catatan dari segi definisi dan pemetaan
perundang-undangan. Dalam perkembangannya, perspektif atas definisi penyandang
disabilitas sudah menuju ke arah yang lebih baik. Adanya penggunaan istilah selain
“Penyandang Disabilitas” mengakibatkan tidak tercapainya asas kejelasan rumusan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal itu juga menimbulkan
perdebatan dan ketidaksepahaman mulai dari konsep sampai ruang lingkup
“penyandang disabiltias”, yang berdampak kepada terhambatnya implementasi di
lapangan. Perbedaan istilah dalam peraturan perundang-undangan juga berdampak
kepada terhambatnya perwujudan anggaran yang inklusif atau proses penandaan pada
APBN/APBD; dan menyulitkan penyusunan data terpilah, sehingga menghambat proses
pemantauan dan evaluasi regulasi terkait.
Selanjutnya, dari pemetaan perundang-undangan, dari sebelas peraturan
perundang-undangan delegasi dari UU 8/2016, sepuluh diantaranya sudah dibentuk,
tinggal menyisakan satu PP, yaitu RPP tentang Konsesi dan Insentif. Selain peraturan
pelaksanaan dari UU 8/2016, lahir berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur isu disabilitas, walaupun belum merata untuk semua urusan pemerintahan. Hal
itu menunjukan bahwa isu disabilitas sudah semakin diakui menjadi isu multisektor,
walaupun belum semua peraturan perundang-undangan terkait sudah menggunakan
perspektif yang dibawa dalam CRPD, salah satu penyebabnya karena pelibatan
penyandang disabilitas dalam pembentukannya yang minim. Selain itu, hal yang perlu
diperhatikan dalam perspektif yuridis terhadap isu disabilitas adalah belum adanya
upaya untuk melakukan pemantauan dan penilaian terhadap UU 8/2016, khususnya
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 77
Relevansi SDGs :
Sasaran 1 : Pendataan dan Perencanaan
Inklusif
Relevansi SDGs :
Sasaran 2 : Penyediaan Lingkungan
tanpa Hambatan
Relevansi SDGs :
Sasaran 3 : Perlindungan Hak dan Akses
Politik dan Keadilan
Relevansi SDGs :
Sasaran 4 : Pemberdayaan
dan Kemandirian
Relevansi SDGs :
Sasaran 5 : Perwujudan Ekonomi
Inklusif
Relevansi SDGs :
Sasaran 6 : Pendidikan dan Keterampilan
Relevansi SDGs :
Sasaran 7 : Akses dan Pemerataan
Layanan Kesehatan
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur
2 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan 15 Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perlindungan
Penyandang Disabilitas dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat
3 11 Tahun 2014 tentang Pemenuhan Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penghormatan,
Hak Disabilitas 16
Perlindungan, dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor
4 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas 17 Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan
dan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta Nomor
5 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Nomor 10 Tahun 2019 tentang Perlindungan
18
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat
6 Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
19
Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 18
7 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perlindungan
20
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau
8 Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5
dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Tahun 2013 tentang Perlindungan Terhadap
21
Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan
9
dan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan
1 11 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan 2 Nomor 18 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Perlindungan Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 15 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 16 Tahun
1 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan 5 2019 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9
5 6 Tahun 2019 tentang Perlindungan 14 Tahun 2020 tentang Perlindungan dan
Penyandang Dsabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 1 Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor
7 Tahun 2020 tentang Perlindungan 16 9 Tahun 2020 tentang Pelindungan dan
Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor
8 2 Tahun 2020 tentang Perlindungan dan 17 1 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 6 Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 3 Tahun
1 Tahun 2017 tentang Pemenuhan dan 3 2015 tentang Pemenuhan dan Perlindungan
Perlindungan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor Peraturan Daerah Kota Dumai Nomor 1 Tahun
1 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan 2 2020 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Hak Penyadang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Utara Peraturan Daerah Kota Metro Utara Nomor 13
1 Nomor 8 Tahun 2019 tentang Perlindungan 2 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Peraturan Daerah Kota Banjarbaru Nomor 1
1 Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perlindungan 3 Tahun 2020 tentang Perlindungan dan
dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
86 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis
Peraturan Daerah Kabupaten Kayong Utara Peraturan Daerah Kabupaten Sambas Nomor 4
1 Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perlindungan 4 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Landak Nomor Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 13
2 13 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan 5 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemberdayaan Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Melawi Nomor 8 Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor
3 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan 6 5 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Aksesibilitas Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Dompu Nomor 1 Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 6
1 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan 3 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Belu Nomor 7 Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Barat
1 Tahun 2020 tentang Penghormatan, T 4 Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan
Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Nomor Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 2 Tahun
3 6 Tahun 2015 tentang Kesetaraan dan 6 2019 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Hak Penyandang Disabilitas
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 87
Peraturan Daerah Kabupaten Bone Nomor 5 Peraturan Daerah Kabupaten Wajo Nomor 13
1 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan 4 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
2 Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6
Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perlindungan 5 Tahun 2013 tentang Pemenuhan
dan Pelayanan Penyandang Disabilitas Hak Penyandang Disabilitas