Anda di halaman 1dari 100

Kajian Disabilitas

TINJAUAN PENINGKATAN AKSES DAN TARAF HIDUP


PENYANDANG DISABILITAS INDONESIA :
ASPEK SOSIOEKONOMI DAN YURIDIS
Laporan Rekomendasi Kebijakan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Kajian Disabilitas
TINJAUAN PENINGKATAN AKSES DAN TARAF HIDUP
PENYANDANG DISABILITAS INDONESIA :
ASPEK SOSIOEKONOMI DAN YURIDIS
Staf Ahli Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis i

Kata Pengantar
Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan

Penghormatan hak-hak penyandang disabilitas adalah aspek penting dalam


perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 70 Tahun 2019 disusunlah Rencana Induk Penyandang Disabilitas (RIPD). RIPD
menjadikan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas lebih terarah melalui tujuh sasaran strategis yang ingin dicapai untuk
memastikan pembangunan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Pembangunan yang inklusif bagi penyandang disabilitas sejalan dengan
komitmen global Sustainable Development Goals (SDGs), yang ingin memastikan tidak ada
satupun kelompok yang tertinggal (no one le behind) dalam proses pembangunan. Oleh
karenanya, setelah hampir 5 tahun ditetapkannya UU Nomor 8 Tahun 2016, perlu
dilakukan kajian terhadap perkembangan penyelenggaraan inklusivitas disabilitas,
termasuk implementasi berbagai aturan pelaksana dari UU tersebut.
Melalui kajian bertema “Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis” diharapkan
dapat memberikan gambaran perkembangan kondisi disabilitas Indonesia dan hal-hal
yang telah diupayakan pemerintah baik pusat maupun daerah. Dalam studi ini kami juga
memuat rekomendasi kebijakan baik untuk Bappenas sendiri, Kementerian/Lembaga
terkait, maupun pemerintah daerah. Harapannya, kolaborasi dan komunikasi antar
Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, dan organisasi penyandang disabilitas dapat
diperkuat agar berbagai target RIPD yang telah ditetapkan dapat dicapai sejalan dengan
pencapaian target-target SDGs.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
terlibat dalam berbagai kegiatan dari kajian ini. Kami berharap agar laporan ini dapat
menjadi landasan bagi kajian lebih lanjut dan penyusunan strategi dan kebijakan ke
depan.

Jakarta, 16 Desember 2021

Dr. Vivi Yulaswati, M.Sc.


Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
ii Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Kajian Disabilitas
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia :
Aspek Sosio-Ekonomi dan Yuridis
Laporan Rekomendasi Kebijakan
Copyright © Staf Ahli Menteri Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan,
Kementerian PPN/Bappenas, 2021

Tim Pengarah:
Sekretaris Kementerian PPN/Sestama Bappenas
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan

Penulis:
Dr. Vivi Yulaswati, MSc (editor)
Fajri Nursyamsi, S.H., M.H
Muhammad Nur Ramadhan, S.H.
Herman Palani, S.E.
Ega Kurnia Yazid, S.E.

Desain Sampul & Tata Letak:


Muhammad Mursyid Ash Shiddieqy, S.E.

Dokumentasi & Foto Cover:


Ega Kurnia Yazid, Herman Palani, Mohammad Showam,
dan sumber lainnya: PUSPADI BALI, HWDI, dll

i-vi + 89 hlm; 210 x 297 mm


ISBN: 978-623-92694-1-8
Diterbitkan oleh: Staf Ahli Menteri Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan,
Kementerian PPN/Bappenas. Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat 10310
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis iii

DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Da ar Isi iii
Da ar Grafik iv
Da ar Tabel dan Kotak v

Bab 1. Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Tujuan Kajian 6

Bab 2. Definisi dan Ruang Lingkup Kajian 7


2.1 Istilah dan Ruang Lingkup Penyandang Disabilitas 8
2.2 Tantangan Penggunaan Istilah “Penyandang Disabilitas” dalam Prespektif
Yuridis 11

Bab 3. Kondisi dan Capaian Aspek Sosioekonomi dan Aksesibilitas Penyandang 21


Disabilitas
3.1 Disabilitas dalam Angka 22
3.1.1 Perkembangan Global Terkait Pembangunan Inklusif Termasuk
Penyandang Disabilitas 22
3.1.2 Gambaran Umum Data Disabilitas di Indonesia 23
3.2 Taraf Hidup Penyandang Disabilitas 26
3.3 Penyelenggaraan Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas 32
3.4 Akses Pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas 34
3.5 Akses Keuangan dan Teknologi bagi Penyandang Disabilitas 39

Bab 4. Kondisi dan Capaian Pelaksanaan Aspek Yuridis tentang Penyandang


Disabilitas 45
4.1 Pemetaan Regulasi Penyandang Disabilitas 46
4.1.1 Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 2016 47
4.1.2 Pemetaan Peraturan Perundang-undangan Terkait dengan Isu
Disabilitas Pasca Pembentukan UU 8/2016 55
4.1.3 Pemetaan Peraturan Perundang-undangan dalam Prolegnas
2021 yang Terkait dengan Isu Disabilitas 57
4.1.4 Pemetaan Pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyandang
Disabilitas 61
4.2 Capaian Rencana Induk Penyandang Disabilitas 2020-2021 64

Bab 5. Kesimpulan dan Rekomendasi 75


5.1 Kesimpulan 76
5.2 Rekomendasi Kebijakan 78

Lampiran 82
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
iv Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Tingkat kemiskinan penyandang disabilitas dan nonpenyandang disabilitas 3
Grafik 2. Perbandingkan tingkat kemiskinan PD dan PMD 3
Grafik 3. Tingkat pendidikan kelompok penyandang disabilitas 4
Grafik 4. Tingkat Kebekerjaan PD dan Non-PD 4
Grafik 5. Tingkat Kepemilikan Kepemilikan Rekening PD dan Non-PD 5
Grafik 6. Tingkat Kepemilikan Telepon Genggam PD dan Non-PD 5
Grafik 7. Indeks Inklusivitas Global 2020 22
Grafik 8. Persentase Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jenis dan Tingkat 111
Keparahannya 23
Grafik 9. Proporsi Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jumlah Gangguan 24
Grafik 10. Piramida Penduduk Nasional dan PD Berdasarkan Kelompok Umur 25
Grafik 11. Persentase PD Miskin Relatif terhadap Populasi PD Provinsi dan 111
Perubahannya 26
Grafik 12. Tren Konsumsi Pangan PD dan Persentase Perubahannya, 2018-2020 28
Grafik 13. Jumlah PD Tanpa Jaminan Kesehatan Relatif terhadap Total PD, 2018-2020 29
Grafik 14. Rata-rata Pengeluaran Kesehatan Out-of-Pocket (OOP) Rumah Tangga PD 111
per Provinsi 30
Grafik 15. Tren Capaian Pendidikan PD 2018-2020 32
Grafik 16. Perbandingan Pendidikan Terakhir PD vs Non-PD 33
Grafik 17. Pendidikan Terakhir PD di Kota dan Desa 33
Grafik 18. Kuadran Tingkat dan Perubahan Kebekerjaan PD 2018-2020 36
Grafik 19. Persentase Pekerja Sektor Informal PD vs Non-PD 37
Grafik 20. Persentase PD Bekerja Sektor Informal vs Persentase PD tanpa Jaminan 111
Kesehatan 38
Grafik 21. Tingkat Kepemilikan Rekening Tabungan PD dan Non-PD 40
Grafik 22. Tingkat Kepemilikan Kepemilikan Telepon Genggam PD dan Non-PD 40
Grafik 23. Tingkat Penggunaan Internet PD dan Non-PD 40
Grafik 24. Tingkat Kepemilikan Rekening, Kepemilikan Telepon Genggam, dan Akses 111
Internet Penyandang Disabilitas per Total PD Provinsi, 2020 42
Grafik 25. Persentase Kabupaten/Kota per Provinsi yang Memiliki Perda Disabilitas 62
Grafik 26. Capaian 1 Tahun RIPD dalam Aspek Yuridis 73
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis v

DAFTAR TABEL
DAN KOTAK
Tabel 1. Peraturan Daerah dan Peraturan Menteri yang Masih Menggunakan Istilah 144
“Penyandang Cacat” dan/atau “Cacat” 14
Tabel 2. Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah yang Menggunakan Istilah 111
“Berkebutuhan Khusus” untuk merujuk “Penyandang Disabilitas” 15
Tabel 3. Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah yang 111
Menggunakan Istilah “Difabel” atau “Difable” untuk merujuk “Penyandang 111
Disabilitas” 17
Tabel 4. Proporsi Sektor Pekerjaan Penyandang Disabilitas Berdasarkan BPS 17 111
Sektor, 2020 35
Tabel 5. Ketentuan-Ketentuan Pembentukan Peraturan Pelaksanaan dalam UU 111
8/2016 47
Tabel 6. Peraturan Pelaksanaan UU 8/2016 yang Sudah Dibentuk Sampai Desember 111
2021 49
Kotak 1. RS Universitas Udayana Ramah PD, Sarana JBI dan Alternatifnya Masih 111
Diperlukan 31
Kotak 2. Penyelenggaran Pendidikan Ramah Disabilitas masih Menjadi PR 34
Kotak 3. Balai Rehabilitas Sosial Menjadi Kunci, Kerjasama dengan Usaha Lokal Perlu 111
Ditingkatkan 38
Kotak 4. Penyandang Disabilitas Berhak Mendapatkan Layanan Keuangan yang 111
Aman 41
Kotak 5. Keterkaitan RIPD SDGs, dan UNCRPD 51
vi
1

Bab 1
PENDAHULUAN
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
2 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

1.1 Latar Belakang


Keberadaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals
(SDGs) merupakan komitmen 193 negara di dunia termasuk Indonesia dalam mencapai 17
tujuan hingga 2030. Bentuk komitmen tersebut
ditunjukkan dengan ditetapkannya Peraturan
P r e s i d e n N o m o r. 5 9 Ta h u n 2 0 1 7 t e n ta n g
Pelaksanaan Pencapaian TPB/SDGs. Agenda SDGs
secara jelas menekankan target berkelanjutan pada
setiap orang tanpa meninggalkan pihak-pihak
tertentu (no one le behind) dalam proses
pencapaiannya termasuk kelompok penyandang
disabilitas.
Dalam upaya penghormatan hak-hak
penyandang disabilitas, jauh sebelum komitmen
SDGs dibuat, PBB telah merumuskan Convention on
the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) sebagi
komitmen bersama untuk mewujudkan
pembangunan inklusif ramah disabilitas. Konvensi
ini telah diratifikasi oleh 182 negara di dunia untuk
Sumber Gambar : Galeri PUSPADI Bali
kemudian membuat rancangan nasional masing-
masing berupa program kerja demi mendukung
penyelenggaran penghormatan hak-hak disabilitas.
Terkhusus di Indonesia, penerbitan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas adalah landasan hukum
untuk memastikan terselenggaranya aksi-aksi nyata penghormatan disabilitas di
Indonesia dan merupakan lanjutan dari ratifikasi CRPD. Tiga tahun setelahnya,
pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 tentang
Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Pelaksanaan peraturan pemerintah ini dibagi
menjadi jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Perencanaan terhadap
penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas jangka
panjang di tingkat pusat disusun di dalam Rencana Induk Penyandang Disabilitas (RIPD).
Sementara untuk ditingkat daerah disusun Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas
(RADPD) yang merupakan penjabaran RIPD di tingkat daerah.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 3

Beberapa indikator sosial ekonomi menunjukkan bahwa penyandang disabilitas


belum sepenuhnya mendapatkan kesejahteraan yang diharapkan. Sebagai contoh, di
Indonesia sendiri, 71,4% penduduk penyandang disabilitas adalah pekerja informal. Hal
ini dikarenakan oleh kurangnya akses ke pasar tenaga kerja¹.

Tingkat prevalensi yang tinggi ditambah ketidakmerataan akses bagi penduduk


penyandang disabilitas berdampak pada tujuan pembangunan berkelanjutan utamanya
dalam memenuhi indikator SDGs seperti, tanpa kemiskinan dan kelaparan (SDGs 1 & 2),
kesehatan dan kesejahteraan (SDGs 3), pendidikan yang berkualitas (SDGs 4), pekerjaan
yang layak (SDGs 8), pemerataan akses (SDGs 10), dan akses pada informasi dan keadilan
(SDGs 16). Dalam hal memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, Indonesia juga
dihadapkan pada berbagai tantangan yang diantaranya adalah kurangnya data yang
berkualitas dan perbedaan definisi disabilitas dan metodologi pengukuran.

Grafik 1. Tingkat Kemiskinan Penyandang Grafik 2. Perbandingan Tingkat Kemiskinan


Disabilitas dan Non Penyandang Disabilitas PD dan PMD
13,38%

Non-
PD 9,63% 9,44% 9,63%
Miskin

PD
11,42%
Miskin

PD Tunggal Non-PD PD Ganda/Multi

Sumber : Susenas (2020)

 ¹Economic and Social Commission for Asia and the Pacific. (2015). Disability at a Glance 2015: Strengthening Employment
Prospects for Persons with Disabilities in Asia and the Pacific. In United Nation.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
4 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Oleh karena itu, melalui studi ini, terdapat tiga fokus utama kaitannya dengan
kesejahteraan dan aksesibilitas penyandang disabilitas. Ketiga aspek tersebut ialah,
kesejahteraan (well-being), akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, dan akses kepada
teknologi dan inklusi keuangan. Aspek well-being mencakup kondisi ekonomi, kesehatan
fisik dan mental, akses pada fasilitas kesehatan, dan perilaku hidup bersih dan sehat.
Grafik 1 dan 2 menunjukkan tingginya tingkat kemiskinan penyandang disabilitas (PD)
relatif terhadap non penyandang disabilitas (Non-PD). Sebesar 11,42% kelompok PD
hidup di bawah garis kemiskinan sementara Non-PD sebesar 9,63%. Sementara itu tingkat
kemiskinan pada PD ganda atau multi (lebih dari satu) lebih tinggi lagi yakni sebesar
13,38%.
Grafik 3. Tingkat Pendidikan Kelompok Grafik 4. Tingkat Kebekerjaan
Penyandang Disabilitas PD dan Non-PD
5,12% 70%
60,3% 60,6% 60,2%
60% 58,0% 56,7% 55,5%
10,26%
50%
29,61%
40%
13,02%
30%

14,25% 20%
27,74% 10%
0%
PD

PD

PD
PD

PD

PD
n-

n-

n-
SD Sederajat Tidak/Belum
No

No

No
Pernah Bersekolah
Tidak Tamat SD
SMP Sederajat 2018 2019 2020
SMA Sederajat
PT Sederajat
Sumber : Susenas (2018-2020)
Selanjutnya, pada aspek pendidikan dan pekerjaan mencakup tingkat pendidikan
penyandang disabilitas dan implikasinya dalam mendapatkan pekerjaan yang layak.
Berdasarkan Grafik 3 ditunjukkan bahwa 29,61% adalah lulusan pendidikan dasar dan
27,74% bahkan tidak menamatkan pendidikan dasar. Mereka yang mampu
menyelesaikan pendidikan menengah pertama dan atas hanya 24,51%, angka ini
semakin kecil jika melihat pada pendidikan tinggi yang hanya mencapai 5,12%. Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan kelompok penyandang disabilitas pelu mendapatkan
perhatian serius karena berkaitan dengan tingkat penerimaan bekerja dan dan skill yang
berguna untuk mata pencaharian. Sementara itu Grafik 4 menunjukkan tingkat
Kebekerjaan pada kelompok disabilitas dan nondisabilitas yang mana tingkat
kebekerjaan pada kelompok PD lebih rendah dibandingkan dengan Non-PD walaupun
selisihnya tidak terlalu besar. Akan tetapi, tren tingkat keberkerjaan pada PD selalu
mengalami penurunan dari tahun 2018. Hingga tahun 2020, tingkat keberkerjaan PD
adalah sebesar 55,5%.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 5

Grafik 5. Tingkat Kepemilikan Rekening Grafik 6. Tingkat Kepemilikan Telepon


Tabungan PD dan Non-PD Genggam PD dan Non-PD
80,00%
73,76% 70,00%
63,26%
70,00% 59,41%
63,55% 60,00%
60,00%
50,00%
50,00%
40,59%
40,00% 36,74%
40,00% 36,45%

30,00%
30,00% 26,24%

20,00% 20,00%

10,00% 10,00%

0,00% 0,00%
Non-PD PD Non-PD PD

Memiliki Tabungan Memiliki Telepon Genggam


Tidak Memiliki Tabungan Tidak Memiliki Telepon Genggam

Sumber : Susenas (2020)

Aspek terakhir ialah akses teknologi dan inklusi keuangan. Akses pada layanan
keuangan menjadi salah satu prasyarat penting untuk mengeluarkan masyarakat dari
kemiskinan dan memberikan akses terhadap berbagai jenis pekerjaan. Tanpa rekening
bank, misalnya, individu seringkali menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk melakukan
transaksi keuangan melalui penyedia layanan keuangan alternatif. Namun, layanan
keuangan tidak selalu dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Berdasarkan Grafik 5,
terlihat bahwa masih ada 73,76% penyandang disabilitas yang tidak mempunyai rekening
perbankan. Selain itu, kepemilikan telepon genggam pada kelompok disabilitas juga
relatif rendah yakni hanya mencapai 36,74%.
Berdasarkan paparan diatas, dapat
disimpulkan bahwa penting untuk memetakan situasi
penyandang disabilitas dalam rangka mewujudkan
komitmen Indonesia pada Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan dan penyelenggaraan penghormatan
hak-hak disabilitas di Indonesia. Selain itu, dibutuhkan
juga evaluasi terhadap undang-undang disabilitas
yang sudah diimplementasikan tahun-tahun
sebelumnya dan hal-hal apa saja yang perlu dibenahi
di masa mendatang.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
6 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

1.2 Tujuan Kajian


Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan dari kajian ini adalah:
· Mengkaji mengenai perbaikan akses kebutuhan dasar serta taraf hidup kelompok
penyandang disabilitas di tengah agenda SDGs.
· Mengkaji efektivitas peraturan pelaksanaan UU No.8/2016 terhadap pemenuhan
hak-hak penyandang disabilitas.
· Menjaring pendapat terkait kendala yang masih dialami oleh kelompok
penyandang disabilitas terkait akses layanan publik.
· Menghimpun harapan, saran, dan gagasan dari komunitas penyandang disabilitas
terutama terkait akses terhadap kebutuhan dasar, pendidikan dan pelatihan, dan
kesempatan kerja.
7

Bab 2
DEFINISI DAN
RUANG LINGKUP
KAJIAN
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
8 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

2.1 Istilah dan Ruang Lingkup Penyandang Disabilitas


Istilah “Penyandang Disabilitas” dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas (UU 8/2016) dimaknai sebagai,
“setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,
dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak”.
Konsep itu merupakan hasil dari pembahasan UU 8/2016, sebagai bagian dari upaya
mengadaptasi prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on
the Rights for Persons with Disabilities - CRPD) dalam hukum positif sekaligus birokrasi
pemerintahan di Indonesia. Namun begitu, UU 8/2016 bukanlah UU pertama yang
menggunakan istilah penyandang disabilitas, melainkan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UU 19/2011).

Dalam UU 19/2011, istilah tersebut digunakan sebagai terjemahan dalam Bahasa


Indonesia untuk istilah “persons with disabilities” yang digunakan dalam CRPD, setelah
Indonesia ikut menandatanganinya pada 2006. CRPD inilah yang kemudian menjadi
landasan pembaruan cara pandang dan prinsip-prinsip dalam penghormatan,
pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia sampai saat ini.
Namun begitu, perlu diakui bahwa istilah “Penyandang Disabilitas” bukan satu-satunya
yang digunakan di Indonesia. Ada istilah lain seperti “Difabel”, “Berkebutuhan Khusus”,
atau “Orang Dengan Disabilitas”. Istilah lain yang juga kerap digunakan adalah
penyebutan berdasarkan ragam disabilitas seperti menggunakan kata “tuna”, atau lebih
spesifik dengan istilah “tuli”, “buta”, “orang dengan gangguan jiwa”, dan istilah lainnya
yang berasal dari bahasa daerah di Indonesia. Perkembangan istilah itu harus dihormat
dan didukung perkembangannya secara sosiologis, agar tercipta kenyamanan dalam
penggunaannya sebagai media komunikasi, seiring dengan perlu terus dikembangkannya
perspektif terhadap disabilitas berdasarkan CRPD.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 9

Beragamnya istilah yang dikenal menjadi modal awal dalam penelitian ini untuk
menemukan kata-kata tersebut dalam judul dan rumusan peraturan perundang-
undangan. Pencarian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dalam
periode 2006-2021, yaitu periode ketika Indonesia sudah menandatangani CRPD. Setelah
melakukan pencarian menggunakan website pencarian peraturan perundang-undangan,
seperti jdih.bappenas.go.id; peraturan.go.id; peraturan.bpk.go.id; dan hukumonline.com,
tidak seluruh istilah ditemukan tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
Adapun istilah yang berhasil ditemukan adalah “Penyandang Disabilitas”, “Penyandang
Cacat”, “Difabel”, “Difable”, dan “Berkebutuhan Khusus”, yang menjadi obyek analisa
dalam penelitian ini.
Selain sebagai suatu istilah,
memaknai “Penyandang Disabilitas” juga
perlu dilihat dari segi ruang lingkupnya, atau
biasa juga disebut dalam lingkup ragam
disabilitas. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016,
ragam disabilitas dibagi menjadi empat,
yaitu disabilitas fisik, disabilitas intelektual,
disabilitas mental, dan/atau disabilitas
sensorik. Selain itu pada Pasal 4 ayat (2) UU 8/2016, lingkup disabilitas juga dilihat
berdasarkan jumlah hambatannya, apakah disabilitas tunggal, ganda (dua ragam
disabilitas), atau multi (lebih dari dua ragam disabilitas). Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)
UU 8/2016 dijelaskan satu per satu ragam disabilitas, dan menyebutkan contoh
kondisinya dengan menggunakan istilah “antara lain” yang berarti tidak terbatas pada apa
yang disebutkan dalam penjelasan tersebut. Hal itu dilakukan untuk mengakomodasi
konsep disabilitas yang digunakan dalam CRPD, yang bersifat fleksibel, tidak mengunci
pada kondisi tertentu, dan menjadikannya konsep yang terbuka, sehingga dapat terus
berkembang dari waktu ke waktu. Dalam artikel 1 paragraf 2 CRPD disebutkan bahwa,
“Persons with disabilities include those who have long-term physical,
mental, intellectual or sensory impairments which when interacting with
various barriers, may hinder their full and effective participation in society
on an equal basis with others.”
(“Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki gangguan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka Panjang yang Ketika
berinteraksi dengan berbagai hambatan, dapat menghambat partisipasi
penuh dan efektif mereka dalam masyarakat atas dasar kesetaraan
dengan orang lain”)
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
10 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Dari konsep itu CRPD tidak membatas kondisi apa saja yang termasuk disabilitas. Dengan
begitu, konsepnya akan terus berkembang seiring kondisi zaman, dan dipengaruhi oleh
banyak aspek yang terus berkembang.
Selain ragamnya, lingkup disabilitas juga dapat dilihat dari tingkatan hambatan,
yaitu ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). Kategori itu digunakan oleh data
statistik yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik, khususnya dalam Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 yang digunakan dalam laporan penelitian ini. Ruang
lingkup ringan, sedang, dan berat yang digunakan dalam Susenas 2020 dalam
menggambarkan kondisi penyandang disabilitas di Indonesia menggunakan pendataan
dengan model Washington Group, yang merumuskan pertanyaan dalam kuesionernya
berdasarkan hambatan-hambatan yang dialami oleh seseorang. Adapun hambatan yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Mengalami kesulitan/gangguan penglihatan
2. Mengalami kesulitan/gangguan pendengaran
3. Mengalami kesulitan/gangguan berjalan atau naik tangga(mobilitas)
4. Mengalami kesulitan/gangguan menggunakan damn menggerakkan tangan/jari
5. Mengalami kesulitan/gangguan dalam hal mengingat atau konsentrasi
6. Mengalami kesulitan dalam mengendalikan perilaku dan atau emosional
7. Mengalami kesulitan/gangguan berbicara dan atau memahami/berkomunikasi
dengan orang lain
8. Mengalami kesulitan/gangguan untuk mengurus diri sendiri (seperti mandi,
makan, berpakaian, buang air besar, buang air kecil.
Ruang lingkup yang juga kerap digunakan oleh Washington Group adalah “some difficulty”,
“a lot of difficulty”, dan “unable to do it”.

Dalam diskusi ini data-data terkait penyandang disabilitas diperoleh dari Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari tahun 2018-2020 yang mengelompokkan
penyandang disabilitas 3 tingkat keparahan yaitu ringan, sedang, dan berat. Selain itu
penyandang disabilitas juga terbagi menjadi 8 jenis seperti yang disebutkan di atas.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 11

Perlu dipahami bahwa seorang dapat penyandang disabilitas dapat mengalami


satu jenis kesulitan atau gangguan yang kemudian disebut sebagai penyandang
disabilitas ganda/multidisabilitas. Hal lain yang perlu dicatat adalah data-data Susenas
tidak bisa digunakan untuk mengestimasi jumlah penyandang disabilitas secara akurat,
menimbang desain sampel acak Susenas yang memang tidak spesifik untuk
mengestimasi penyandang disabilitas. Namun, studi ini tetap menggunakan Susenas
karena mempertimbangkan tiga alasan utama yang disediakan oleh survei ini :
1. Meskipun tidak bisa mengestimasi frekuensi, Susenas dapat digunakan untuk
mengukur segregrasi indikator antara PD dan Non-PD seperti persentase akses
internet PD dan Non-PD.
2. Susenas dapat menangkap tren dari capaian indikator-indikator umum sasaran
RIPD.
3. Susenas dapat menunjukkan capaian indikator dalam level daerah setidaknya
pada skala provinsi.
Dengan mempertimbangkan alasan-alasan di atas, studi ini menggunakan data Susenas
untuk mengukur capaian indikator-indikator umum dari sasaran RIPD.

2.2 Tantangan Penggunaan Istilah “Penyandang Disabilitas” dalam


Perspektif Yuridis
Dalam perspektif yuridis, istilah “penyandang
d i s a b i l i ta s ” re s m i d i g u n a ka n s e ba ga i
pengganti dari istilah “penyandang cacat”
pasca DPR dan Presiden resmi mensahkan UU
8/2016 menggantikan Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Dalam Pasal 148 UU 8/2016 mengatur bahwa,
“Istilah Penyandang Cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-
undangan yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus
dibaca dan dimaknai sebagai Penyandang Disabilitas, sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
Dengan adanya Pasal itu, maka seharusnya tidak ada lagi peraturan perundang-
undangan yang menggunakan istilah “penyandang cacat”. Ketentuan itu juga
menegaskan bahwa setelah berlakunya UU 8/2016, maka peraturan perundang-
undangan baru atau perubahan sudah menggunakan istilah “Penyandang Disabilitas”.
Harmonisasi penggunaan istilah dalam peraturan perundang-undangan penting
untuk dilakukan. Selain untuk membangun konsistensi pemahaman, harmonisasi istilah
juga akan memudahkan operasionalisasi pelaksanaan di lapangan. Salah satu contoh
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
12 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

kebutuhan untuk menyeragamkan istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-


undangan adalah dalam bidang perencanaan dan penganggaran.
Dalam rangka pelaksaan PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan,
Penyelenggaraan, dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan
Hak Penyandang Disabilitas (PP 70/2019), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
membentuk Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 2021 (Permen 3/2021). Dalam Pasal 20
Permen 3/2021 itu diatur mengenai Penandaan Anggaran Penyandang Disabilitas yang

bertujuan untuk memastikan sumber daya anggaran dapat teralokasi secara efektif dan
efisien untuk menunjang pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas,
begitu pula di tingkat daerah. Dalam pelaksanaannya, panduan atau rujukan suatu
Kementerian/Lembaga atau pemerintah daerah dalam mengajukan perencanaan dan
penganggaran adalah peraturan perundang-undangan, sehingga istilah yang digunakan
haruslah dilakukan secara seragam.
Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yang diatur
dalam Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan adalah asas kejelasan rumusan. Dalam penjelasannya,
yang dimaksud dengan asas kejelasan rumusan adalah
“…setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan
teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.”
Salah satu cara untuk mengaplikasikan asas tersebut adalah dengan penggunaan istilah
yang konsisten antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. Penyeragaman itu
diperlukan semata-mata untuk menghindari interpretasi yang beragam dalam
memahami suatu rumusan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat
memudahkan dalam memahami dan melaksanakan peraturan tersebut.
Dalam praktiknya, masih ada peraturan perundang-undangan baru atau
perubahan yang menggunakan istilah “Penyandang Cacat” atau menggunakan kata
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 13

“Cacat” yang dilekatkan kepada manusia. Contoh peraturan perundang-undangan yang


masih menggunakan istilah tersebut adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Penggunaan istilah
“Penyandang Cacat” pada UU Cipta Kerja terdapat pada
Pa s a l - Pa s a l p e r u b a h a n , s e h i n g g a r u m u s a n n y a
menggunakan rumusan lama atau bawaan dari UU yang
direvisi. Namun begitu, berdasar Pasal 148 UU 8/2016
seharusnya istilah “Penyandang Cacat” dimaknai sebagai
“Penyandang Disabilitas”, dan istilah baru itu yang digunakan
dalam ketentuan perubahannya.
Selain dalam UU Cipta Kerja, istilah “penyandang
cacat” atau “cacat” yang dilekatkan kepada manusia
terdapat pada regulasi di bidang pertahanan, seperti
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun
2015 Tentang Asuransi Sosial Prajurit Tentara Nasional
Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan
Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia; Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2014 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Veteran Republik Indonesia;
dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2019 tentang Penetapan Pensiun Pokok
Purnawirawan, Warakawuri/Duda, Tunjangan Anak Yatim/Piatu, Anak Yatim Piatu, dan
Tunjangan Orang Tua Anggota Tentara Nasional Indonesia. Adapun dalam bidang
ketenagakerjaan dan jaminan Kesehatan yang masih menggunakan istilah “cacat” yang
dilekatkan kepada manusia terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 Tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian; dan
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sedangkan dalam
bidang administrasi kependudukan, PP Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan dari
UU Administrasi Kependudukan juga masih menggunakan istilah cacat untuk merujuk
pada salah satu data yang harus dirahasiakan, yang diatur dalam Pasal 54.
Istilah “Penyandang Cacat” dan “Cacat” yang dilekatkan kepada manusia juga
digunakan dalam peraturan perundang-undangan di bawah UU dan PP yang disahkan
pada periode 2016-2021, mencakup peraturan daerah dan peraturan menteri yaitu
sebagai berikut.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
14 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Tabel 1. Peraturan Daerah dan Peraturan Mentri yang Masih Menggunakan


Istilah “Penyandang Cacat” dan/atau “Cacat”

No Judul Peraturan
Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Kabupaten Kayong Utara Nomor 4 tahun 2016 tentang Pembinaan dan
1 Pengembangan Olahraga Prestasi
Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
2 Ketenagakerjaan
Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
3 Ketenagakerjaan
Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan
4 Daerah Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan Di Kota Pontianak

Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 25 Tahun 2016 tentang Penetapan Kecacatan, Pemberian
1
Santunan Cacat, dan Tunjangan Cacat Serta Alat Bantu Tubuh Bagi Veteran Republik Indonesia
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Santunan
2
dan Tunjangan Cacat Prajurit Tentara Nasional Indonesia
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 8 Tahun 2017 tentang Status Tingkat dan Golongan
3
Kecacatan Bagi Prajurit Tentara Nasional Indonesia
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 5 Tahun 2018 tentang
4 Pemberian Delegasi Wewenang Penetapan Kecelakaan Kerja untuk Perawatan Aparatur Sipil
Negara Kepada Pejabat Tertentu di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja
5
Migran Indonesia
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan
6
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan
7
Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua

Dalam tabel diatas dapat diketahui bahwa penggunaan istilah penyandang cacat pada
peraturan daerah dalam bidang ketenagakerjaan dan olahraga. Hal itu dapat disebabkan
karena rujukan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam UU, yang masih
menggunakan istilah “Penyandang Cacat”, sehingga perlu untuk disesuaikan. Seperti
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang
masih menggunakan istilah Penyandang Cacat, yang kemudian dirujuk oleh Peraturan
Daerah Kabupaten Kayong Utara Nomor 4 tahun 2016 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Olahraga Prestasi dalam pembentukannya. Sedangkan dalam peraturan
Menteri, penggunaan istilah “Penyandang Cacat” dan “Cacat” yang dilekatkan kepada
manusia terdapat dapat bidang pertahanan; ketenagakerjaan; serta riset, teknologi, dan
pendidikan tinggi. Bidang pertahanan dan ketenagakerjaan menjadi bidang yang masih
mempertahankan istilah “cacat”, sehingga perlu untuk disesuaikan dengan Pasal 148 UU
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 15

8/2016.
Tantangan lain dalam melakukan harmonisasi penggunaan istilah “Penyandang
Disabilitas” adalah masih adanya istilah lain seperti “Berkebutuhan Khusus”, “Difabel”,
atau “Difable” dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penggunaan istilah
“Berkebutuhan Khusus” digunakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Bidang Penerbangan; dan Peraturan Presiden Nomor 125
Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, yang sebenarnya secara
konsep sama dengan istilah “Penyandang Disabilitas”. Kondisi serupa juga terjadi dalam
peraturan perundang-undangan lain di bawah PP dan Perpres, yaitu Peraturan Menteri
dan Peraturan Daerah, yaitu sebagai berikut.
Tabel 2. Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah yang Masih Menggunakan
Istilah “Berkebutuhan Khusus” untuk merujuk “Penyandang Disabilitas”

No Judul Peraturan
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 98 Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas
1
Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik Bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penilaian Hasil
2
Belajar Oleh Pemerintah Dan Penilaian Hasil Belajar Oleh Satuan Pendidikan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan
3 Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,
Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 25 Tahun 2017 tentang
4 Perubahan Atas Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Nomor 6 Tahun 2017
Tentang Statuta Institut Teknologi Kalimantan
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 38 Tahun 2017 tentang
5
Statuta Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 48 Tahun 2017 tentang
6
Statuta Politeknik Negeri Media Kreatif
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 Tahun 2017 tentang
7
Statuta Politeknik Negeri Ketapang
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 84 Tahun 2017 tentang
8
Statuta Universitas Terbuka
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 22 Tahun 2017 tentang
9
Statuta Politeknik Negeri Banjarmasin
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 25 Tahun 2017 tentang
10
Statuta Politeknik Negeri Samarinda
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 29 Tahun 2017 tentang
11
Statuta Politeknik Negeri Medan
Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 30 Tahun 2018 tentang
12
Statuta Politeknik Negeri Bandung
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
16 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penyediaan
13
Layanan Pendidikan Anak Usia Dini
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 63 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimum
14
Angkutan Orang Dengan Kereta Api
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun
15
2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 30 tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Minimal
16
Penumpang Angkutan Udara

Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas
1
Dan Angkutan Jalan
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 7 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan
2
Kabupaten Layak Anak
3 Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 8 Tahun 2018 tentang Kabupaten Layak Anak
4 Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 4 Tahun 2016 tentang Kabupaten Layak Anak
Peraturan Daerah Kabupaten Sikka Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
5
Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif
Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
6
Perlindungan Anak
7 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2017 tentang Upaya Kesehatan
8 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pendidikan
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
9
Pendidikan
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
10
Pendidikan
Peraturan Daerah Provinsi Di Yogyakarta Nomor 15 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
11
Pendidikan Menengah

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Permen dan Perda yang masih banyak
menggunakan istilah “Berkebutuhan Khusus” ada dalam bidang perhubungan dan
pendidikan. Penggunaan istilah tersebut lebih diakibatkan karena suatu proses berulang
dibandingkan merujuk kepada peraturan yang lebih tinggi. Istilah “Berkebutuhan Khusus”
tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas), yang seharusnya menjadi rujukan peraturan-peraturan
pelaksanaannya. Istilah yang merujuk kepada “Penyandang Disabilitas” dalam UU
Sisdiknas tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa,
“Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 17

Dalam Pasal itu istilah “Penyandang Disabilitas” disebut dengan “kelainan fisik,
emosional, mental, sosial”. Istilah “Berkebutuhan Khusus” ditemukan dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20
Januari 2003 tentang Pendidikan Inklusif. SE Dirjen itu memerintahkan bahwa setiap
kabupaten/kota wajib menyelenggarakan dan mengembangkan Pendidikan inklusif
sekurang-kurangnya di empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK, agar setiap
anak berkebutuhan khusus mampu mengakses haknya memperoleh pendidikan yang
sama dengan anak pada umumnya.
Selain itu, istilah “Berkebutuhan Khusus” tidak selalu merujuk kepada
“Penyandang Disabilitas”, tetapi dapat juga kepada lansia (dalam bidang perhubungan)
atau peserta didik yang memiliki bakat istimewa (dalam bidang pendidikan), sehingga
dalam kondisi itu perlu untuk dijabarkan lebih lanjut, karena dalam praktiknya kebutuhan
penanganan atau dukungannya berbeda. Berdasarkan pada Tabel 2 juga dapat diketahui
bahwa istilah “Berkebutuhan Khusus” digunakan dalam Statuta beberapa politeknik,
sehingga penggunaannya berulang di beberapa Permen. Hal itu perlu didalami lebih
lanjut bagaimana pelaksanaannya di politeknik bersangkutan, apakah hanya istilah
“Berkebutuhan Khusus” hanya merujuk kepada “Penyandang Disabilitas” atau ada
kelompok masyarakat lain.
Sedangkan untuk istilah “Difabel” atau “Difable” digunakan dalam berbagai
Permen dan Perda sebagai berikut.
Tabel 3. Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan Peraturan Kepala Daerah yang Menggunakan
Istilah “Difabel” atau “Difable” untuk merujuk “Penyandang Disabilitas”

No Judul Peraturan
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.68/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2017
1 Tahun 2017 tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Penugasan
Bidang Lingkungan Hidup Dan Kehutanan

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.104/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018


2 Tahun 2018 tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Penugasan
Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan
3
Kewajiban Pasien
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun
4
2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.7/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2020
5 Tahun 2020 tentang Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Penugasan Bidang Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Tahun Anggaran 2020
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
18 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2016 tentang Rencana Induk Pembangunan
1 Kepariwisataan Daerah Tahun 2016-2026
Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 3 Tahun 2016 tentang Urusan Pemerintahan
2 yang Menjadi Kewenangan Desa
3 Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pasar Desa
Peraturan Daerah Kabupaten Blitar Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas
4 Dan Angkutan Jalan

Peraturan Kepala Daerah


Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 213 Tahun 2016 tentang Standardisasi
1 Kebutuhan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 92 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas
2 Dengan Sistem Ganjil-Genap Menjelang dan Selama Penyelenggaraan Asian Para Games 2018
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 147 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan
3 Panduan Rancang Kota
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 123 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan
4 Kebutuhan Sarana dan Prasarana Ruang Publik Terpadu Ramah Anak
Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 22 Tahun 2018 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan
5 Bupati Banyuwangi Nomor 37 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penganggaran Pelaksanaan dan
Penatausahaan Pertanggungjawaban dan Pelaporan Serta Monitoring dan Evaluasi
Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 811 Tahun 2018 tentang Peraturan Wali Kota Bandung
6 Nomor 811 Tahun 2018 Tentang Panduan Rancang Kota Pusat Pelayanan Kota Alun-Alun
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 95 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimum
7 Angkutan Orang dengan Moda Raya Terpadu/Mass Rapid Transit dan
Lintas Raya Terpadu/Light Rail Transit

  Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa istilah “Difabel” atau “Difable”
digunakan dalam peraturan dalam tingkat teknis baik di K/L atau pemerintah daerah.
Penggunaan istilah itu sangat mungkin dipengaruhi
o l e h p i l i h a n p e n g g u n a a n i s t i l a h d a r i p a ra
pembentuknya, dan lebih banyak dipengaruhi oleh
aspek sosiologis dan kultural. Namun masih perlu
didalami bagaimana proses pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut sehingga
menggunakan istilah yang berbeda dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam peraturan perundang-undangan
lainnya yang masih berlaku, khususnya yang dibentuk
pada periode 1999-2016, ada berbagai istilah lain yang digunakan untuk menyebut
“Penyandang Disabilitas” atau menyebut suatu kelompok yang di dalamnya termasuk
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 19

penyandang disabilitas. Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik menggunakan istilah “Masyarakat Tertentu” yang di dalamnya
termasuk penyandang disabilitas. Dalam Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia digunakan istilah “Kelompok Masyarakat yang Rentan”, yang dalam
penjelasannya memasukan penyandang disabilitas di dalamnya. Istilah “Kelompok
Rentan” yang memasukan penyandang disabilitas juga diatur dalam Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Istilah yang sedikit
berbeda adalah “Kelompok Rentan Administrasi” yang diatur dalam Pasal 25 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang sudah diubah
satu kali melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.
Beragamnya istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan untuk
merujuk pada konsep “Penyandang Disabilitas” perlu untuk didalami dan didiskusikan,
dibandingkan diperselisihkan. Di satu sisi ada kebutuhan untuk melakukan harmonisasi
dengan kesatuan istilah dari perspektif yuridis, tetapi tetap menghormati keragaman
istilah demi mendorong perkembangan budaya dalam perspektif sosiologis. Pasal 148 UU
8/2016 dapat menjadi rujukan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dalam
menggunakan “Penyandang Disabilitas” sebagai kesatuan istilah. Namun, dari aspek
sosiologis, dan dalam jangka Panjang, perlu untuk terus dikembangkan dan didalami,
sehingga bukan tidak mungkin akan ada perkembangan istilah yang disepakati bersama
seiring dengan perkembangan perspektif terhadap disabilitas di tengah masyarakat
Indonesia.
20
21

Bab 3
KONDISI DAN
CAPAIAN
ASPEK SOSIOEKONOMI
DAN AKSESIBILITAS
PENYANDANG DISABILITAS
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
22 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

3.1 Disabilitas dalam Angka


3.1.1 Perkembangan Global Terkait Pembangunan Inklusif Termasuk
Penyandang Disabilitas
Salah satu indikator yang menjadi acuan perkembangan disabilitas global adalah
indeks indklusivitas. Indeks inklusivitas adalah ukuran holistik dari pembangunan inklusif
yang berfokus pada kesetaraan ras/etnis, agama, gender, dan disabilitas di ranah
perwakilan politik, kekerasan di luar kelompok, ketimpangan pendapatan, tingkat
penahanan, dan kebijakan imigrasi dan pengungsi.
Grafik 7. Indeks Inklusivitas Global 2020

Netherlands 100

New Zealand 83,59

Sweden 83,04

Norway 80,78
TOP 10 Global

Portugal 74,89

Ireland 72,64

United Kingdom 70,74

Finland 70,74

Canada 68,52

Denmark 67,57

Philippines 45,34

Vietnam 39,84
Negara ASEAN

Singapore 31,92

Thailand 29,22

Indonesia 26,50 Peringkat 125

Malaysia 17,45

Myanmar 12,14

Sumber : 2020 Inclusiveness Index : Measuring Global Inclusion dan Marginality

Pada Grafik 7 memperlihatkan bahwa di tahun 2020 Indonesia secara global


menempati peringkat 125 (nilai=26,5) dalam pelakasanaan pembangunan inklusif. Angka
tentu masih jauh tertinggal dari negara-negara maju seperti, Belanda, Selandia Baru,
Swedia, UK, dll. Di antara negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia pun masih di bawah
Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand namun masih di atas Malaysia dan Myanmar.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 23

3.1.2 Gambaran Umum Data Disabilitas di Indonesia


Grafik 8. Presentase Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jenis dan Tingkat
Keparahannya
(b) Presentase PD (b) Proporsi Tingkat Keparahan PD
Berdasarkan Jenisnya Berdasarkan Jenisnya
70%
63,7%
100%
60%
90%
50% 80%
70%
38,3%
40% 60%
29,7% 29,0% 50%
30%
40%
20% 16,5%16,0% 30%
13,5%13,5%
20%
10%
10%
0% 0%
nd an

nd an
at

at
n

n
r

r
Pe iri

Pe iri
m u

m u
ng ang asi

ur gan i
ri

ri
Ko nga

Ko nga

s
la

la
/E rilak

/E rilak
ih

ih
Ga us D /Ja

Ga s D /Ja
Ta ika
an nd

an nd
Me at

Me at
rja

rja
k

i
l

l
g

g
os

os
i
Me

Me
e

e
gu Se

gu Se
un

un
n
/In

/In
Be

Be
a
m

m
ng iri

ng iri
si

si

n
tra

tra
T

u
en

en
ur
ns

ns

ng
Ko

Ko
Me

Me
Ringan Sedang Parah
Sumber : Susenas (2020), diolah

Dalam survei yang dilakukan oleh BPS, penyandang disabilitas dikelompokkan


menjadi 8 jenis yakni kesulitan atau masalah dalam (i) melihat, (ii) berjalan, (iii)
konsentrasi / ingatan, (iv) mendengar, (v) berkomunikasi, (vi) menggunakan tangan / jari,
(vii) mengurus diri sendiri, (viii) gangguan perilaku / emosi. Grafik 8 panel a menunjukkan
perentase PD terhadap total sampel PD berdasarkan jenisnya². Secara umum, jenis
disabilitas yang paling banyak di Indonesia ialah orang-orang dengan gangguan melihat
yakni sekitar 64% dari total jumlah penyandang disabilitas, disusul dengan orang-orang
dengan gangguan berjalan dan konsentrasi / mengingat yang masing-masing berjumlah
38,3% dan 29,7%. Sedangkan jenis masalah / gangguan yang relatif paling sedikit di
Indonesia yakni masalah emosi atau perilaku, mengurus diri sendiri, dan menggunakan
tangan / jari.

 ²Perlu dicatat penjumlahan dari persentase ini bisa lebih dari 100% mengingat bahwa penyandang disabilitas bisa saja
menyandang lebih dari satu jenis gangguan / masalah. Dengan kata lain bagan ini menunjukkan persentase PD yang tidak mutually
exclusive.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
24 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Pola berbeda ditunjukkan dengan tingkat keparahannya (lihat Grafik 8 panel B).
Meskipun orang-orang dengan gangguan penglihatan dominan, namun gangguan
tersebut didominasi oleh gangguan-gangguan yang relatif ringan. Penyandang disabilitas
yang memiliki tingkat keparahan cukup tinggi secara proporsi justru terlihat pada orang-
orang dengan gangguan dalam mengurus diri sendiri, berjalan, dan berkomunikasi.
Grafik 9. Proporsi Penyandang Disabilitas Berdasarkan Jumlah Gangguan

(a) Proporsi PD Tunggal vs PMD Nasional

48,7% 51,3%

PD Tunggal PMD

(b) Proporsi PD Tunggal vs PMD per Provinsi

42,1%
50,0%

39,5%
38,7%
47,1%
51,2%

43,7%
43,6%
43,5%
49,6%

47,3%
47,7%
51,7%

47,1%
48,7%

46,2%
45,8%
45,2%
44,8%
44,2%
44,1%
51,0%

49,0%

48,0%

46,7%

43,9%
43,8%

41,4%
48,0%

42,3%
51,9%

50,1%

48,2%
50,6%

51,3%
51,0%

56,2%

57,9%
58,6%
48,8%

56,3%
56,4%
56,5%
57,7%
50,4%

52,7%
48,1%

49,9%
48,3%

52,3%
49,4%

51,8%

52,9%

53,8%
54,2%

55,2%
55,8%
55,9%
49,0%

52,0%

53,3%

56,1%
50,0%

60,5%
61,3%
52,9%
52,0%

54,8%
Sumut
Bali
Jateng
Kalbar

Sulsel
NTT
Aceh
Jabar
Sumbar
DIY
Jambi
Papua
NTB
Lampung
Kalsel
DKI
Banten
Gorontalo
Papua Barat
Kep Babel
Kaltim
Kalteng
Sulteng
Sumsel
Bengkulu
Maluku Utara
Sulut
Riau
Sultra
Maluku
Sulbar
Kalut
Kepri
Jatim

PD Tunggal PMD
Sumber : Susenas (2020), diolah
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 25

Adapun sebaran penyandang disabilitas berdasarkan jumlah jenis disabilitas yang


disandang ditunjukkan oleh Grafik 9. Memahami sebaran penyandang disabilitas
berdasarkan jumlah jenisnya menjadi penting karena PMD—yakni PD dengan dua jenis
disabilitas atau lebih—cenderung memiliki hambatan atau tantangan yang lebih sulit
dibandingkan penyandang disabilitas tunggal. Seiring itu, penanganan dan fasilitas bagi
penyandang disabilitas ganda pun
memerlukan perhatian khusus yang lebih
banyak dari penyandang disabilitas tunggal.
Berdasarkan Grafik 9 panel a, terdapat
proporsi yang cukup seimbang antara PD
tunggal dan PMD. Pola serupa juga terlihat di
tiap provinsi yang rata-rata menunjukkan
proporsi jenis PD yang seimbang juga (lihat
panel b). Apabila diurutkan berdasarkan
proporsi PMD tertinggi, maka Sumatera Utara,
Bali, Jawa Tengah, dan Kalimantan Barat
menjadi provinsi teratas dengan proporsi PMD terbanyak. Sebaliknya, Kepulauan Riau,
Kalimantan Utara, dan Sulawesi Barat memiliki proporsi PMD terendah. Terlepas tinggi-
rendahnya proporsi tersebut, otoritas daerah perlu memberi perhatian lebih pada PMD di
wilayahnya dan mendesain program atau kebijakan-kebijakan yang akurat dalam
mengurangi kendala-kendala yang dihadapinya sehingga dapat tercipta kesempatan
yang setara bagi PD tunggal dan PMD dengan non-PD.

Grafik 10. Piramida Penduduk Nasional dan PD Berdasarkan Kelompok Umur (dalam %)
(b) Piramida Umur Penduduk
(a) Piramida Umur Penduduk Indonesia
Penyandang Disabilitas
75+ 75+
70-74 70-74
65-69 65-69
60-64 60-64
55-59 55-59
50-54 50-54
45-49 45-49
40-44 40-44
35-39 35-39
30-34 30-34
25-29 25-29
20-24 20-24
15-19 15-19
10-14 10-14
5-9 5-9
0-4 0-4

Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki

Sumber : BPS (2019) & Susenas (2020)


Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
26 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Berdasarkan kelompok umurnya, penyandang disabilitas cenderung


menunjukkan piramida umur yang kontras dengan piramida umur penduduk Indonesia
(lihat Grafik 10 panel a dan b). Artinya, penyandang disabilitas cenderung didominasi oleh
penduduk berusia lanjut (lansia). Hal ini selaras dengan turunnya fungsi fisik maupun
mental/emosi akibat dari proses penuaan. Ini juga berarti bahwa desain kebijakan atau
bantuan yang selanjutnya disusun perlu juga mempertimbangkan permasalahan-
permasalahan yang dialami oleh lansia juga agar menjadi efektif dan efisien karena
menyasar kelompok demografi yang sama.

3.2 Taraf Hidup Penyandang Disabilitas


Grafik 11. Persentase PD Miskin Relatif terhadap Populasi PD Provinsi dan Perubahannya

Perubahan 2018-2020 (%) Presentase PD Miskin Relatif teradap Populasi PD Provinsi

-5,9% Papua 20,62%


4,7% DIY 20,16%
-0,5% NTT 20,02%
-1,1% Papua Barat 18,02%
-0,6% NTB 17,18%
2,8% Jateng 15,90%
-0,9% Bengkulu 15,72%
0,6% Jatim 15,26%
-0,5% Lampung 14,71%
-2,4% Maluku 14,59%
-1,3% Gorontalo 13,06%
-4,3% Aceh 12,99%
0,6% Sultra 11,32%
-1,6% Sumsel 10,78%
0,6% Sulsel 9,97%
-1,9% Sulteng 9,87%
1,6% Kalbar 9,35%
1,9% Sulut 9,26%
-0,8% Jabar 8,77%
-0,5% Sumut 8,09%
1,0% Kepri 7,46%
-4,0% Sulbar 7,45%
-0,8% Jambi 7,11%
1,3% Kalsel 6,83%
1,1% Banten 6,81%
-0,7% Kaltim 6,47%
-0,5% Bali 6,12%
-0,1% Sumbar 5,82%
-2,9% Riau 5,67%
0,9% Kalteng 4,95%
1,8% DKI 4,84%
-0,5% Maluku Utara 4,74%
-4,6% Kalut 4,37%
-2,0% Kep Babel 4,05%

Sumber : Susenas (2018 & 2020), diolah


Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 27

Grafik 11 menunjukkan persentase dan perubahan tingkat kemiskinan penyandang


disabilitas per provinsi dalam kurun waktu tahun 2018-2020. Di tahun 2020, tingkat
kemiskinan penyandang disabilitas terbesar berada
di Provinsi Papua yakni sebesar 20,62%, diikuti DIY
(20,16%), dan NTT (20,02%), artinya 1 dari 5
penyandang disabilitas di tiga provinsi tersebut
masuk dalam kategori kelompok miskin. Hal ini tentu
perlu menjadi perhatian bersama bagi pemerintah
daerah maupun nasional dalam merumuskan
kebijakan terkait penyandang disabilitas. Di sisi lain,
provinsi dengan tingkat kemiskinan disabilitas paling
rendah adalah Kepulauan Bangka Belitung (4,05%), Kalimantan Utara (4,37%), dan
Maluku Utara (4,74%).
Kendati Papua menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan penyandang
disabilitas tertinggi, tren penurunan kemiskinannya adalah yang paling besar yakni 5,9%
(tahun 2018=26,52%). Sementara peningkatan
kemiskinan terbesar adalah Provinsi DIY dengan 4,7%
dari tahun 2018. Peningkatan kemiskinan kelompok
disabilitas di berbagai provinsi seperti DIY, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, dan Kepulauan Riau perlu menjadi catatan
penting untuk program pengentasan kemiskinan di
wilayah-wilayah tersebut.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
28 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Grafik 12. Tren Konsumsi Pangan PD dan Persentase Perubahannya, 2018-2020


Perubahan 2018-2020 (%) Tren Konsumsi Pangan PD 2018-2020
Rp 97.196
Rokok dan
8,81% Rp 95.702
Tembakau Rp 89.324
Rp 155.066
Makanan Kemasan
-1,96% Rp 156.248
dan Jadi Rp 158.162
Rp 12.654
0,10% Minyak dan Kelapa Rp 12.145
Rp 12.642
Rp 63.098
3,54% Sayur dan Buah Rp 56.747
Rp 60.941
Rp 97.287
Protein (Daging, Ayam, Rp 96.690
-0,73%
Ikan, Telur) Rp 98.005
Rp 67.727
-3,37% Padi, dan Umbi-umbian Rp 67.298
Rp 70.090

0 100000 200000
2020 2019 2018
Sumber : Susenas (2018-2020)

Indikator lain yang dapat dilihat untuk mengevaluasi tingkat kesejahteraan (well-
being) penyandang disabilitas adalah dengan melihat pola konsumsinya. Grafik 12
menunjukkan beberapa hal penting yakni pertama terdapat peningkatan alokasi
pengeluaran terhadap rokok dan tembakau yakni sebesar 8,81% dari tahun 2018.
Peningkatan ini tentunya buruk bagi penyandang disabilitas untuk kesehatan mereka
pribadi. Jika dibandingkan dengan angka nasional, terdapat tren yang berkebalikan
dalam konsumsi rokok dan tembakau.

Angka nasional menunjukkan tren penurunan sementara pada kelompok


disabilitas yang terjadi adalah sebaliknya. Selain itu, komponen yang juga mengalami
peningkatan adalah konsumsi buah dan sayur (3,54%), minyak dan kelapa (0,10%).
Peningkatan buah dan sayur mengindikasikan pola konsumsi yang membaik—hal ini
dikarenakan adanya pandemi Covid-19 yang membuat perilaku hidup sehat menjadi
lebih diperhatikan.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 29

Di sisi lain, konsumsi pada makanan kemasan dan jadi mengalami penurunan dari
tahun 2018 ke 2020 (1,96%). Penurunan ini baik karena mengonsumsi makanan kemasan,
instan, dan jadi dalam jumlah yang besar berdampak negatif terhadap kesehatan. Lalu,
konsumsi padi dan umbi-umbian juga mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni
sebesar 3,37%. Kemudian komponen yang diharapkan meningkat namun turun adalah
protein (daging, ayam, ikan, dan telur) dengan tingkat penurunan 0,73% dari tahun 2018.
Grafik 13. Jumlah PD Tanpa Jaminan Kesehatan Relatif terhadap Total PD,
2018-2020 (dalam persen)
(a) Tren Perubahan Sejak 2018 (b) Presentase PD Tanpa Jaminan Kesehatan
Relatif terhadap Tottal PD Provinsi

-3,9% Jambi 39,78%


-5,2% NTB 36,92%
-8,4% Maluku 32,80%
-8,1% Sumut 32,79%
-17,7% Kalbar 32,57%
19,7% Sumsel 32,39%
-3,8% Jabar 32,27%
-9,5% Riau 32,19%
-5,9% Banten 31,48%
-10,1% Bengkulu 30,28%
-4,7% Jatim 29,97%
-7,8% Kalteng 29,93%
-5,7% NTT 26,95%
-16,7% Lampung 26,93%
-5,4% Nasional 26,8%
-10,7% Maluku Utara 26,52%
-6,7% Kep Babel 24,20%
-5,1% Jateng 23,82%
-4,5% Sumbar 23,45%
-9,9% Sulteng 23,38%
-7,9% Kepri 21,50%
-11,2% Sultra 20,57%
-13,5% Kalsel 20,27%
-5,5% Sulsel 19,87%
-17,8% Bali 18,44%
-6,0% Kaltim 18,43%
-9,7% Sulut 17,77%
-8,4% Papua Barat 17,06%
-4,1% Kalut 14,47%
-7,6% Gorontalo 14,12%
-2,1% DIY 13,25%
-4,0% Sulbar 11,79%
-7,1% Papua 11,62%
-5,0% DKI 6,91%
-3,0% Aceh 1,86%
Sumber : Susenas (2018 & 2020), diolah
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
30 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Grafik 14. Rata-rata Pengeluaran Kesehatan Out-of-Pocket (OOP)


Rumah Tangga PD per Provinsi
(a) Tren Pengeluaran Kesehatan OOP PD (b) Pengeluaran Kesehatan OOP PD
34,4% DKI Rp 264.125
17,0% DIY Rp 252.510
-2,6% Bali Rp 226.988
1,7% Kaltim Rp 221.227
11,8% Kepri Rp 178.539
18,3% Jabar Rp 167.873
-3,0% Jateng Rp 164.195
6,3% Riau Rp 163.791
27,2% Bengkulu Rp 163.316
-1,9% Banten Rp 162.483
14,4% Kalut Rp 161 886
-4,0% Jatim Rp 158.646
-16,8% Kep Babel Rp 158.125
4,1% Nasional Rp 150.947
2,6% Sumbar Rp 145.598
6,8% Kalsel Rp 144.840
-3,2% Sumut Rp 142.950
10,8% Sumsel Rp 130.010
3,2% Aceh Rp 129.582
-0,9% Kalbar Rp 122.085
15,1% Kalteng Rp 121.738
1,1% Lampung Rp 115.192
-8,9% Jambi Rp 114.015
8,2% Papua Barat Rp 107.248
-1,6% Sulsel Rp 102.922
21,8% Gorontalo Rp 102.038
-9,5% NTB Rp 101.670
-24,4% Sulut Rp 93.131
-11,0% Papua Rp 77.734
-20,6% Maluku Utara Rp 73.286
27,5% Sulbar Rp 69.294
-7,4% Sultra Rp 68.792
11,4% Sulteng Rp 66.266
31,1% Maluku Rp 64.260
28,6% NTT Rp 58.957
Sumber : Susenas (2018 & 2020), diolah
Salah satu aspek taraf hidup penyandang disabilitas yang juga perlu diperhatikan
lebih mendalam ialah terkait akses terhadap fasilitas kesehatan. Akses terhadap fasilitas
dan pelayanan kesehatan menjadi suatu kebutuhan yang cukup mendasar bagi
penyandang disabilitas karena penyandang disabilitas perlu melakukan terapi maupun
menggunakan alat bantu yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan professional. Hal ini
dapat berarti bahwa akses terhadap kesehatan menjadi pintu pertama bagi penyandang
disabilitas dalam meningkatkan taraf hidupnya, yakni melalui terapi maupun alat bantu
yang dapat mengurangi kendala yang dialami. Adapun beberapa indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur progress atau perbaikan akses kesehatan penyandang
disabilitas, seperti kepemilkan jaminan kesehatan dan pengeluaran kesehatan out-of-
pocket (OOP).
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 31

Pada Grafik 14 menunjukkan aksesibilitas penyandang disabilitas terhadap jaminan


kesehatan—minimal memiliki salah satunya dari asuransi atau jaminan kesehatan yang
disediakan oleh pemerintah maupun swasta. Selama tiga tahun terakhir (Panel a)
mengindikasikan peningkatan kepemilikan penyandang jaminan kesehatan bagi
penyandang disabilitas di seluruh provinsi (kecuali Sumatera Selatan) dengan tingkat
yang beragam. Bali, Kalimantan Barat, Lampung, dan Kalimantan Selatan menjadi
provinsi-provinsi dengan tingkat penetrasi asuransi tertinggi untuk penyandang
disabilitas dalam tiga tahun terakhir. Sedangkan berdasarkan tingkat kepemilikannya,
rata-rata 2 hingga 3 dari 10 penyandang disabilitas masih belum memiliki jaminan
kesehatan. Provinsi Jambi, NTB, dan Maluku menjadi 3 provinsi dengan kepemilikan
jaminan kesehatan penyandang disabilitas paling sedikit relatif terhadap populasi
penyandag disabilitasnya, sedangkan Provinsi Aceh, DKI, dan Papua menjadi wilayah
dengan kepemilikan jaminan kesehatan terbanyak relatif terhadap populasi penyandang
disabilitasnya.
Kotak 1. RS Universitas Udayana Ramah PD, Sarana JBI dan Alternatifnya Masih Diperlukan

Secara umum, RS Universitas Udayana sudah


memiliki fasilitas yang ramah disablitas yang
diindikasikan dengan bidang miring pada koridor
rumah sakit, handrail atau pegangan tangan untuk
membantu mobilitas, hingga kondisi jalan yang
dibuat kasar agar tidak terpeleset. Namun, di
rumah sakit ini belum ada tenaga kesehatan yang
dapat menggunakan bahasa isyarat maupun alat
bantu komunikasi untuk memfasilitasi teman tuli
yang hadir ke rumah sakit tersebut secara
independent / mandiri.

Temuan lainnya ditunjukkan oleh rata-rata pengeluaran kesehatan OOP atau di luar
asuransi/jaminan kesehatan bagi rumah tangga yang memiliki anggota keluarga seorang
penyandang disabilitas. Secara umum, rata-rata pengeluaran kesehatan OOP provinsi
cukup memiliki rentang dari Rp58.957 hingga Rp264.125 dengan rata-rata nasional
Rp150.947. Trennya menunjukkan hasil yang relatif beragam, Sulawesi Utara, Maluku
Utara, dan Kep. Bangka Belitung menjadi provinsi-provinsi dengan penurunan
pengeluaran Kesehatan OOP terdalam dibandingkan provinsi-provinsi lainnya.
Sedangkan DKI Jakarta, Maluku, dan NTT menjadi provinsi-provinsi dengan peningkatan
rata-rata pengeluaran kesehatan OOP tertinggi. Tentunya angka ini dapat cukup
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
32 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

bermakna jika dibenturkan dengan grafik sebelumnya yakni Grafik 13. Untuk wilayah-
wilayah dengan tingkat penetrasi asuransi/jaminan kesehatan tinggi seperti DKI Jakarta,
peningkatan pengeluaran kesehatan OOP dapat berasal dari perbaikan kualitas layanan
maupun pelengkap kesehatan. Sampai saat ini, jaminan kesehatan masih relatif terbatas
pada pengeluaran kesehatan yang sifatnya esensial, sedangkan alat bantu masih belum
dapat diakomodasi. Sedangkan wilayah dengan penetrasi jaminan kesehatan rendah,
peningkatan pengeluaran kesehatan OOP dapat berasal dari rendahnya cakupan jaminan
kesehatan. Menariknya, beberapa wilayah justru mencatatkan pengurangan pengeluaran
Kesehatan OOP yang dapat berasal dari meningkatnya cakupan jaminan kesehatan.

3.3 Penyelenggaraan Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas


Grafik 15. Tren Capaian Pendidikan PD 2018-2020
29,58%
28,19%
27,70%

27,74%

35,0%
30,0%
25,0%
14,70%

14,31%
13,20%

12,91%

20,0%
11,01%

10,35%

15,0%

5,19%

5,12%
10,0%
5,0%
0,0%
Tidak/belum Tidak tamat SD SD sederajat SMP sederajat SMA sederajat PT sederajat
pernah
bersekolah
2018 2020

Sumber : Susenas (2018 & 2020), diolah


Pendidikan menjadi gerbang bagi
penyandang disabilitas untuk menjadi
tenaga kerja terampil sehingga bisa
memperbaiki taraf hidupnya. Grafik 15
menunjukkan tren persentase capaian
pendidikan terakhir yang dienyam oleh
penyandang disabilitas usia 15 tahun ke atas
dari 2018 hingga 2020. Perubahan yang
cukup terlihat ialah adanya penurunan
penyandang yang tidak pernah sekolah dari 13,20% ke 12,91% diiringi dengan
peningkatan cukup tinggi dari penyandang disabilitas yang memiliki pendidikan terakhir
setara SD dari 28,2% ke 29,60%.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 33

Grafik 16. Perbandingan Pendidikan Terakhir PD vs Non-PD

30,90%
29,5%
35,0%

27,5%

24,2%

23,1%
30,0%
25,0%

14,2%
20,0%
12,9%

10,9%

10,0%
15,0% 9,3%

5,0%
10,0%
2,4%

5,0%
0,0%
Tidak/belum Tidak tamat SD SD sederajat SMP sederajat SMA sederajat PT sederajat
pernah
bersekolah
Non-PD PD Liniear (Non-PD) Liniear (PD)
Sumber : Susenas (2020), diolah
Grafik 17. Pendidikan Terakhir PD di Kota dan Desa
32,4%

30,9%
28,1%

35,0%

30,0%
22,6%

19,4%

25,0%
16,9%

20,0%
13,2%
9,0%

8,6%
8,6%

15,0% 7,7%

10,0% 2,3%

5,0%

0,0%
Tidak/belum Tidak tamat SD SD sederajat SMP sederajat SMA sederajat PT sederajat
pernah
bersekolah
Non-PD PD Liniear (Non-PD) Liniear (PD)
Sumber : Susenas (2020), diolah

Sedangkan apabila dibandingkan dengan non-PD, capaian pendidikan terakhir


penyandang disabilitas relatif lebih rendah di jenjang pendidikan tinggi. Sebagaimana
diindikasikan oleh Grafik 16, tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan oleh non-PD
khususnya pada jenjang setara SMA dan perguruan tinggi (PT) hampir dua kali lipat
persentase PD. Sebaliknya, proporsi penyandang disabilitas sebagian besar justru berada
di jenjang pendidikan terakhir di level yang lebih rendah (SD sederajat ke bawah).Hal ini
terlihat jelas dari tren linier yang ditunjukkan pada Grafik 16 yang mana pendidikan
kelompok PD turun ketika harus memasuki jenjang pendidikan SMP ke atas. Sebaliknya,
pada kelompok Non-PD, persentase pendidikan cenderung meningkat. Hasil ini
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
34 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

mengindikasikan bahwa masih terdapat kesenjangan cukup besar bagi penyandang


disabilitas yang mengenyam pendidikan menengah pertama ke atas.

Kotak 2. Penyelenggara Pendidikan Ramah Disabilitas Masih Menjadi PR

Penyelenggaran pendidikan yang ramah bagi


disabilitas masih menemui berbagai kendala
khususnya terkait infrastruktur pendukung.
Kunjungan kami ke SMA Negeri 4 Denpasar
menunjukkan bahwa kendala-kendala seperti
ketiadaan li , bidang miring, dan toilet khusus
disabilitas membuat akses bagi PD menjadi
terhambat.
Di SMA tersebut hanya terdapat 1 PD
dengan kesulitan berjalan. Setiap tahunnya tidak
selalu ada PD yang menda ar di SMA ini sementara
terdapat kuota khusus yang disediakan.

Apabila ditinjau berdasarkan status tempat tinggalnya (kota-desa), secara umum


partisipasi sekolah atau tingkat pendidikan penyandang disabilitas di wilayah perdesaan
masih relatife rendah dibandingkan dengan penyandang disabilitas di wilayah urban.
Grafik 17, menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok antara kelompok PD dan Non-
PD terutama pada tingkat partisipasi sekolah menengah ke atas. Garis tren linier pada
grafik tersebut menunjukkan garis pendidikan PD di desa yang lebih curam. Artinya,
partisipasi PD dalam pendidikan menengah dan tinggi menurun drastis dibandingkan
dengan PD yang tinggal di wilayah kota/urban.

3.4 Akses Pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas


Akses mendapatkan kesempatan kerja yang setara bagi penyandang disabilitas
merupakan kunci perbaikan taraf hidup serta misi SDGs dalam mengurangi kesenjangan
kesempatan terutama bagi kelompok minoritas penyandang disabilitas. Secara umum,
Sebagian besar PD bekerja di sektor primer, diikut oleh sektor tersier, dan sektor sekunder.
Seiring itu, masih minim pula PD yang menempati pekerjaan-pekerjaan formal.³
Lebih spesifik, ditunjukkan pada Tabel 4, hampir setengah PD berusia kerja bekerja
di sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (45,9%) diikuti oleh sektor Perdangan
Besar, Eceran, dan Reparasi (15,4%) serta Industri Pengolahan dan Manufaktur (8,7%).
Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar komposisi PD yang bekerja masih
mendominasi lapangan usaha yang cenderung memiliki karakteristik informal,

 ³Menurut definisi BPS, sektor pekerja formal adalah mereka yang bekerja sebagai: (1) buruh/karyawan/pegawai, dan (2) berusaha
dibantu buruh tetap/ buruh dibayar.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 35

sederhana, dan produktivitas relatif rendah. Sebaliknya, proporsinya sangat kontras bila
dibandingkan dengan lapangan usaha dengan tingkat kompleksitas dan produktivitas
tinggi seperti sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (0,24%) serta sektor Jasa
Keuangan dan Asuransi (0,44%) yang bahkan komposisinya di bawah 1%.

Tabel 4. Proporsi Sektor Pekerjaan Penyandang Disabilitas Berdasarkan BPS 17 Sektor, 2020

Lapangan Usaha Presentase


Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 45,92%
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 15,38%
Industri Pengolahan dan Manufaktur 8,70%
Jasa Lainnya 7,64%
Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum 5,41%
Konstruksi 4,89%
Jasa Pendidikan 3,16%
Transportasi dan Pergudangan 2,84%
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajin 2,21%
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 0,84%
Pertambangan dan Penggalian 0,79%
Jasa Perusahaan 0,59%
Manajemen Air dan Limbah 0,45%
Jasa Keuangan dan Asuransi 0,44%
Perumahan (Real Estate) 0,29%
Informasi dan Komunikasi 0,24%
Pengadaan Listrik dan Gas 0,22%

Sumber : Susenas (2020), diolah

Sejauh ini tingkat kebekerjaan PD (persentase PD yang bekerja) secara nasional


adalah 56,98%. Berdasarkan Grafik 18, Bali menjadi provinsi dengan tingkat kebekerjaan
paling tinggi yakni 70,59%, sementara Maluku adalah yang terendah (51%). Sepanjang
tahun 2018-2020 sebagian provinsi mengalami peningkatan kebekerjaan, sedangkan
yang lainnya mengalami penurunan. Terdapat banyak sekali provinsi yang mengalami
penurunan tingkat kebekerjaan (awalnya bekerja menjadi tidak bekerja) yang dapat
dilihat pada kuadran di bawah garis horizontal. Sebagian besar provinsi seperti NTT, Bali,
Kalteng, Sumsel, dan DIY, walaupun turun, tetapi angka kebekerjaannya masih relatif
tinggi di atas angka nasional. Provinsi-provinsi yang perlu mendapatkan perhatian serius
adalah provinsi yang berada di kuadran bawah kiri yang mana tingkat kebekerjaannya
menurun, dan persentase orang yang bekerja relatif masih di bawah nasional. Provinsi-
provinsi tersebut di antaranya adalah Maluku, Maluku Utara, Papua, Sulteng, Sulbar,
Sultra, Papua, Riau, Aceh, Papua Barat, dan Kalimantan Timur.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
36 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Grafik 18. Kuadran Tingkat dan Perubahan Kebekerjaan


PD 2018-2020

Kepri
Perubahan Tingkat Kebekerjaan PD 2018-2020

2% DKI

Sumbar
1% Kalut
Banten NTB
Jatim
Nasional Kalbar
Jabar Sumut
Jambi Lampung Jateng
0% Kaltim Bengkulu
Sultra Papua Barat Sulsel KalselSumsel DIY
Sulbar Gorontalo
Riau Sulut Kep Babel
Sulteng Kalteng
-1%
NTT Bali
Maluku
-2% Maluku Utara

Papua
-3%
49% 54% 59% 64% 69%
Tingkat Kebekerjaan PD

Sumber : Susenas (2018-2020), diolah


Di antara kelompok PD yang bekerja sebagian besar mereka bekerja di sektor
informal. Grafik 19 memperlihatkan bahwa sebanyak 71,4% penyandang disabilitas
bekerja di sektor informal, sementara kelompok Non-PD hanya 50,5% yang bekerja di
sektor informal. Banyaknya pekerja di sektor informal ini bukan tanpa alasan, selain
disebabkan kemudahan akses karena tidak terlalu banyak persyaratan yang dibutuhkan
dibandingkan pekerja formal, juga karena lingkungan kerja yang relatif lebih fleksibel baik
dari segi waktu, maupun aturan-aturan. Fleksibilitas inilah yang kerap kali dicari kelompok

PD di tengah kebutuhan khusus yang mereka punya. Namun, bekerja di sektor informal
tidak terlepas dari risiko seperti fluktuasi pendapatan, ketiadaaan jaminan kesehatan,
dan jaminan-jaminan lainnya. Berbagai fasilitas publik seperti jaminan kesehatan kadang
harus dibayar oleh individu sendiri, berbeda dengan pekerja formal yang sudah
mendapatkan jaminan dari kantor atau tempat mereka bekerja.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 37

Menurut tingkat keparahannya (Grafik 19 panel b), penyandang disabilitas baik di


sektor formal maupun sektor informal sama-sama didominasi oleh penyandang
disabilitas dengan tingkat keparahan ringan. Penyandang disabilitas yang bekerja dengan
tingkat keparahan sedang hingga berat justru didominasi oleh penyandang disabilitas
dengan kendala komunikasi dan mengurus diri sendiri. Tiga pesan yang dapat
disimpulkan dari grafik ini ialah: (i) penyandang disabilitas cenderung mendominasi
sektor tenaga kerja informal, (ii) proporsi penyandang disabilitas yang bekerja adalah
penyandang disabilitas ringan, dan (iii) penyandang disabilitas yang bekerja dengan
tingkat keparahan sedang dan berat paling banyak dengan hambatan mengurus diri
sendiri dan komnikasi.
Grafik 19. Presentase Pekerja Sektor Informal PD vs Non-PD
(a) Presentase Pekerja Sektor (b) Populasi Pekerja Per Sektor Berdasarkan Jenis
Informal PD vs Non-PD dan Tingkat Keparahannya

100% Mengurus dirisendiri


Komunikasi
90%
Emosi
Informal

80% Mengingat
71,4%

Tangan
70% Berjalan
Mendengar
60%
50,5%
49,5%

Melihat
50% Mengurus dirisendiri
Komunikasi
40%
28,6%

Emosi
Formal

30% Mengingat
Tangan
20%
Berjalan
10% Mendengar
Melihat
0%
Non-PD PD 0% 20% 40% 60% 80% 100%

Formal Informal Ringan Sedang Berat/Parah

Sumber : Susenas (2020), diolah


Selanjutnya, menarik ketika membandingkan persentase PD yang bekerja di
sektor informal dengan persentase PD tanpa jaminan kesehatan / asuransi. Data ini dapat
mengindikasikan adanya asosiasi antara sektor kebekerjaan dengan akses PD terhadap
jaminan kesehatannya. Grafik 20 menunjukkan plot dari kedua indikator tersebut.
Berdasarkan grafik tersebut, dapat terlihat asosiasi positif yang berarti daerah dengan PD
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
38 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

yang banyak bekerja di sektor informal cenderung juga daerah dengan PD tanpa jaminan
Kesehatan tertinggi—dengan catatan korelasi bukan sebab-akibat (causation). Meskipun
korelasinya cenderung lemah, namun hasil ini dapat menjadi temuan awal yang dapat
ditinjau lebih lanjut mengenai keterkaitan antara sektor kebekerjaan dan akses terhadap
jaminan kesehatannya.
Grafik 20. Presentase PD Berkerja Sektor Informal vs Presentase PD tanpa Jaminan Kesehatan

90%
NTT
85%

80%
Presentase PD Berkerja Sektor Informal

Papua
Sultra Maluku Utara
75% Sulbar Kalsel Sumbar Bengkulu NTB
Sulsel Lampung Maluku
Sulteng Kalbar
70% Gorontalo Jatim
Sumsel
Aceh Jateng
DIY Sumut
65% Papua Barat Sulut Kalteng
Kalut Bali Jambi
Kep Babel Riau
Kaltim Banten
60% Jabar

55%

50% DKI

Kepri
45%

40%
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45%
Presentase PD tanpa Jamkes

Sumber : Susenas (2020), diolah

Kotak 3. Balai Rehabilitas Sosial Menjadi Kunci, Kerjasama dengan Usaha Lokal Perlu Ditingkatkan
Bali Mahatmiya Bali adalah balai pelatihan khusus
Penyandang Disabilitas yang dikelola oleh
Kementerian Sosial. Balai ini dikhususkan untuk
penyandang disabilitas tuna netra yang pesertanya
berasal dari Bali dan luar Bali. Sebagian besar
pesertanya ialah penyandang disabilitas muda di
usia produktif. Balai pelatihan ini memberikan
bermacam-macam variasi pelatihan mulai dari
pelatihan pijat, spa, barista, hingga pemrograman
bagi tuna netra. Kondisi Balai pelatihan pun
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 39

tergolong baik didukung dengan jalur dan toilet


khusus penyandang disabilitas. Selain
menyediakan pelatihan, Balai ini juga membantu
menjual produk-produk hasil karya penyandang
disabilitas salah satunya kopi. Salah satu kendala
yang menjadi masalah utama dari balai ini ialah
beberapa penyandang disabilitas tidak mendapat
dukungan dari keluarganya sehingga tidak mampu
mendapatkan pelatihan dari balai ini. Sedangkan,
pelajaran menarik ialah balai ini telah melakukan
kerjasama dengan swasta terkait penyediaan
tenaga kerja.
Upaya Balai Mahatmiya Bali bekerjasama
dengan usaha lokal bisa jadi praktik baik yang
dapat dicontoh di berbagai daerah lainnya. Balai
Mahatmiya Bali bekerja sama sebagian besar
dengan pelaku usaha di sektor pariwisata untuk
menyalurkan penyandang disabilitas tuna netra
sebagai therapist di spa-spa yang sudah terafiliasi.

3.5 Akses PD terhadap Keuangan dan Teknologi


Capaian terkait akses keuangan dan teknologi bagi penyandang disabilitas perlu
diperhatikan mengingat akses-akses ini merupakan pintu masuk kebijakan-kebijakan
maupun bantuan dari pemerintah untuk masyarakat. Akses-akses tersebut dapat diukur
dari beberapa indikator umum seperti kepemilikan rekening
tabungan—mengindikasikan inklusi keuangan—kepemilikan gawai, serta kebiasaan
mengakses internet penyandang disabilitas.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
40 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Grafik 21. Presentase Kepemilikan Rekening Tabungan PD dan Non-PD

36,5%
40% 33,6%

35% 30,0%
26,2%
30% 24,8%
23,2%
25%

20%

15%

10%

5%

0%
NON PD PD NON PD PD NON PD PD

2018 2019 2020


Sumber : Susenas (2018-2020), diolah
Secara umum terjadi peningkatan kepemilikan rekening tabungan baik pada
penyandang disabilitas maupun nondisabilitas. Hanya saja angka keduanya masih relatif
kecil yakni di bawah 40% penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan nondisabilitas,
penyandang disabilitas mempunyai persentase yang relatif lebih kecil secara signifikan. Di
tahun 2020 persentase kepemilikan rekening pada penyandang disabilitas sebesar 26,2%
sementara nondisabilitas sebesar 36,5%. Dalam tiga tahun terakhir, secara pertumbuhan,
nondisabilitas mengalami pertumbuhan relatif lebih tinggi yakni sebesar 21,66%,
sementara penyandang disabilitas kepemilikan rekening tabungannya hanya tumbuh
12,93%. Masih rendahnya akses kepemilikan rekening tabungan ini dapat disebabkan
oleh infrastruktur dan akses informasi yang kurang memadai, serta masih adanya praktik
diskriminasi layanan bagi penyandang disabilitas.

Grafik 22. Presentase Kepemilikan Telepon Grafik 23. Tingkat Penggunaan Internet
Genggam PD dan Non-PD PD dan Non-PD

100% 100%

90% 90%
80%
78,3% 80%
65,3% 70%
70%
59,4%
60% 52,0% 60% 51,2% 52,7%
50% 42,4% 50% 43,4%
36,7%
40% 40%
30% 30%
15,9% 17,3% 18,9%
20% 20%
10% 10%
0% 0%
NON PD PD NON PD PD NON PD PD NON PD PD NON PD PD NON PD PD
2018 2019 2020 2018 2019 2020

Sumber : Susenas (2018-2020), diolah


Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 41

Dalam hal akses terhadap teknologi yang dicerminkan dari dua indikator yakni
kepemilikan telepon genggam (handphone) dan penggunaan internet, persentase
penyandang disabilitas yang menggunakan kedua indikator tersebut masih relatif lebih
rendah dibandingkan dengan nondisabilitas. Grafik 22 memperlihatkan tren penggunaan
handphone yang naik di tahun 2019 lalu turun kembali di tahun 2020. Penggunaan
handphone di tahun 2020 pada kelompok nondisabilitas mencapai 59,4% dan kelompok
disabilitas sebesar 36,7%. Angka-angka ini adalah yang terendah selama 3 tahun terakhir
mengingat penggunaan di tahun 2018 sebesar 65,3% (nondisabilitas) dan 42,4%
(disabilitas). Turunnya penggunaan handphone ini ditenggarai oleh adanya krisis
pandemi Covid-19.

Kotak 4. Penyandang Disabilitas Berhak Mendapatkan Layanan Keuangan yang Aman

Dalam diskusi dengan Organisasi


Penyandang Disabilitas (OPD) Provinsi
Bali terdapat konsen terkait tanda
tangan di buku rekening bagi
penyandang disabilitas netra. Sejauh ini
metode yang digunakan oleh perbankan
adalah TTD garis. Lantas apakah metode
tersebut aman bagi penyandang
disabilitas Netra dalam menjaga
keamanan data mereka?
Kemudian, penyediaan ATM saat ini
tidak semuanya sudah ramah dengan disabilitas. Ke depan, perlu memperbanyak ATM
yang ramah disabilitas dan pelayanan perbankan yang menghormati hak-hak
penyandang
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
42 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Grafik 24. Tingkat Kepemilikan Rekening, Kepemilikan Telepon Genggam, dan Akses Internet
Penyandang Disabilitas per Total PD Provinsi, 2020 (dalam persen)
(a) Presentase PD Tidak (b) Presentase PD Tidak ( c) Presentase PD Tidak
Memilik Rekening Memilik Telepon Genggam Memilik Akses Internet

Jatim 77,6 Jateng 73,5 NTT 90,6


Jateng 77,3 Jatim 70,6 Sulbar 88,0
Sumsel 76,7 NTT 70,5 NTB 86,9
Kalsel 76,7 NTB 68,8 Maluku 86,8
Banten 76,6 Bali 68,2 Maluku Utara 86,8
NTB 76,4 Jabar 65,7 Bengkulu 86,0
Jabar 76,4 DIY 65,5 Sumut 85,4
Kep Babel 75,3 Sulbar 63,9 Sulteng 85,3
Lampung 75,2 Nasional 63,3 Aceh 85,3
Maluku Utara 73,8 Lampung 62,2 Jateng 85,2
Nasional 73,8 Kalbar 62,0 Sultra 84,8
Sulut 73,2 Banten 61,8 Gorontalo 84,4
Sulteng 73,0 Kalsel 60,9 Sulsel 84,0
Sulbar 72,1 Papua 60,4 Sumbar 83,9
Bengkulu 72,1 Aceh 60,1 Bali 83,7
Sumut 71,7 Sulsel 60,1 Sulut 83,5
Kalbar 71,4 Sulteng 59,9 Lampung 83,4
Kalteng 71,3 Maluku Utara 58,1 Kalsel 83,1
Riau 70,7 Sumsel 57,9 Jatim 83,0
NTT 70,6 Bengkulu 57,9 Sumsel 82,8
Sulsel 70,5 Gorontalo 57,7 Kalbar 82,7
Aceh 70,3 Kep Babel 56,2 Papua 82,1
Jambi 70,2 Maluku 55,9 Kep Babel 81,9
Bali 70,1 Sultra 55,8 Jambi 81,9
Sumbar 69,9 Sulut 55,5 Nasional 81,1
Gorontalo 69,2 Sumut 55,5 Riau 79,9
Sultra 68,4 Jambi 55,0 Kalteng 79,4
DIY 66,5 Sumbar 52,0 Jabar 77,8
Maluku 65,7 Kalteng 50,1 DIY 76,0
Kaltim 64,1 Riau 48,2 Kalut 73,5
Papua 61,4 DKI 45,1 Banten 73,0
Kalut 58,8 Papua Barat 43,6 Kaltim 72,9
DKI 55,6 Kalut 42,5 Papua Barat 71,6
Kepri 54,8 Kaltim 41,0 Kepri 59,5
Papua Barat 53,6 Kepri 34,9 DKI 54,7

Sumber : Susenas (2020), diolah

Grafik 23 menunjukkan tren positif penggunaan internet selama tiga tahun


terakhir baik pada kelompok disabilitas maupun nondisabilitas. Di tahun 2020, kelompok
disabilitas yang menggunakan internet mencapai 18,9%, sementara kelompok
nondisabilitas sudah 52,7% yang menggunakan internet. Penambahan pengguna
internet bagi penyandang disabilitas relatif lebih kecil dibandingkan dengan
nondisabilitas yakni 3%, sementara pengguna internet pada nondisabilitas bertambah
9,3%. Timpangnya jumlah pengguna dan penambahan pengguna menjadi pekerjaan
besar untuk membuat kelompok disabilitas lebih terinklusi dengan dunia digital dan
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 43

perkembangan informasi dunia. Selain itu, akses pada internet juga membuat berbagai
peluang pekerjaan seperti jual beli online, pekerjaan jarak jauh, dan pekerjaan lainnya
yang membutuhkan pengusaan teknologi.
Pada grafik 24 ditunjukkan persentase PD di setiap provinsi yang tidak memiliki
rekening perbankan, gawai, dan akses pada internet. Secara umum provinsi di Jawa
khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah provinsi tertinggi yang tidak mempunyai
akses terhadap rekening perbankan dan gawai yakni di atas 70%. Artinya, hanya 3 dari 10
orang di provinsi tersebut yang mempunyai akses terhadap perbankan dan memiliki alat
komunikasi gawai. Sementara untuk akses terhadap internet, provinsi-provinsi di
kawasan timur masih mendominasi ketidakadaan akses ini. Di Provinsi NTT, secara rata-
rata hanya 1 dari 10 PD yang memiliki akses terhadap internet, dikuti oleh Provinsi Sulbar,
NTB, dan Maluku. Ketidakadaan akses ini juga dipengaruhi oleh infrastruktur daerah yang
mana di kawasan Indonesia timur, infrakstruktur terkait internet tidak semasif seperti di
Jawa.
44
45

Bab 4
KONDISI DAN
CAPAIAN
PELAKSAAN ASPEK YURIDIS
TENTANG
PENYANDANG DISABILITAS
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
46 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

4.1 Pemetaan Regulasi Penyandang Disabilitas


Lahirnya UU 8/2016 membuka lembaran baru dalam upaya menjamin penghormatan,
pelindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. UU ini membawa
perspektif baru dibandingkan UU terdahulu, yaitu UU Nomor 4 tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat. Disabilitas ditempatkan sebagai isu multisektor, yang terkait dengan
berbagai urusan pemerintahan, tidak hanya terkait dengan aspek jaminan dan
kesejahteraan sosial. Selain itu, UU
8/2016 lebih banyak menggunakan
pendekatan Hak Asasi Manusia dalam
perumusan pasal-pasalnya.
Dalam lima tahun keberlakuannya,
UU 8/2016 telah memberikan warna
tersendiri dalam materi muatan
berabagai peraturan perundang-
undangan, baik yang menjadi delegasi
langsung ataupun hanya yang terkait
dengan aspek disabilitas. Pada bagian
ini akan membahas terkait pemetaan
regulasi penyandang disabilitas pasca
disahkannya UU 8/2016. Pemetaan itu
akan ditinjau dari beberapa aspek, yakni
pemetaan terhadap peraturan
pelaksana UU 8/2016, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden
(Perpres), dan Peraturan Menteri Sosial (Permensos); pemetaan peraturan perundang-
undangan terkait dengan disabilitas di luar peraturan pelaksanaan UU 8/2016, baik dalam
bentuk UU, PP, atau Perpres; pemetaan rancangan undang-undang (RUU) prioritas 2021
yang substansinya terkait dengan isu disabilitas; dan pemetaan Peraturan Daerah (Perda)
tentang penyandang disabilitas di berbagai daerah.
Penjabaran data dan analisa mengenai pemetaan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan penyandang disabilitas ini bertujuan untuk menunjukan
sudah sejauh mana isu disabilitas terkait dengan berbagai urusan pemerintahan. Selain
itu, pemetaan regulasi ini dapat digunakan sebagai data atau informasi dasar untuk
dijadikan penelitian, analisa, dan evaluasi terhadap implementasi dari suatu peraturan
perundang-undangan. Khusus untuk pemetaan Perda, hasil analisanya dapat dijadikan
bahan evaluasi untuk mendorong daerah-daerah yang belum membentuk Perda serupa,
agar upaya penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas
dapat dilakukan dengan baik di semua daerah di Indonesia. Sedangkan pemetaan
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 47

terhadap RUU prioritas untuk menunjukan urgensi adanya pelibatan penyandang


disabilitas dalam proses legislasi di Indonesia.

4.1.1 Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 2016


Secara umum, terdapat 18 ketentuan dalam UU 8/2016 yang mengatur perihal
pembentukan peraturan pelaksanaan, yang terdiri dari 15 ketentuan memerintahkan
pembentukan PP, 2 ketentuan memerintahkan pembentukan Perpres, dan 1 ketentuan
memerintahkan pembentukan Permensos. Adapun ketentuan-ketentuan itu adalah
sebagai berikut.
Tabel 5. Ketentuan-ketentuan Pembentukan Peraturan Pelaksanaan dalam UU 8/2016

No Judul Peraturan
Peraturan Daerah
1 Pasal 27 ayat (3) Perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi
2 Pasal 36 ayat (2) Akomodasi yang layak dalam peradilan
3 Pasal 42 ayat (8) Mekanisme sanksi administratif pendidikan
4 Pasal 43 ayat (2) Akomodasi yang layak dalam pelaksanaan pendidikan
5 Pasal 43 ayat (4) Mekanisme sanksi administratif pendidikan
6 Pasal 54 ayat (2) Pemberian insentif
7 Pasal 55 ayat (4) Unit layanan disabilitas Ketenagakerjaan
8 Pasal 86 ayat (2) Pemberian insentif
9 Pasal 96 Rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial
10 Pasal 104 ayat (4) Pemukiman yang mudah diakses
11 Pasal 108 Pelayanan publik yang mudah diakses
12 Pasal 109 ayat (4) Penanganan bencana
13 Pasal 113 Layanan habilitasi dan rehabilitasi
14 Pasal 114 ayat (2) Besar dan jenis konsesi
15 Pasal 116 ayat (2) Pemberian insentif
Peraturan Presiden
16 Pasal 134 Komisi Nasional Disabilitas
17 Pasal 141 Pemberian Penghargaan
Peraturan Menteri Sosial
18 Pasal 121 ayat (3) Kartu Penyandang Disabilitas

Dalam perjalanannya, pada 2017, dari 15 ketentuan yang memerintahkan


pembentukan PP dalam UU 8/2016, Pemerintah berencana hanya akan membentuk 1 PP
dengan judul “PP tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas”. Perencanaan itu sudah tertuang dalam Keputusan Presiden
Nomor 20 Tahun 2017 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah. Namun,
rencana tersebut mendapatkan penolakan dari masyarakat penyandang disabilitas,
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
48 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

yang mendesak pemerintah agar 18 ketentuan pembentukan PP itu disebar kepada


beberapa PP sesuai sektor atau urusan pemerintahan, dan setiap PP dibentuk oleh
Kementerian yang berbeda.
Alasan penolakan adalah agar pelaksanaan dari UU 8/2016 tetap dilakukan secara
multisektor, dan tidak hanya bertumpu kepada Kementerian Sosial sebagai pemrakrasa
dari pembentukan PP. Setelah melalui rangkaian pertemuan yang melibatkan perwakilan
dari Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas, Kementerian terkait, dan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai inisiator pertemuan, maka
diputuskan bahwa dari 15 ketentuan delegasi tersebut akan dibentuk menjadi 8 PP

terpisah, yang masing-masing PP akan diprakarsai oleh Kementerian berbeda sesuai


dengan tugas dan fungsinya. Kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam Program
Penyusunan Peraturan Pemerintah 2018 dalam Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2018.
Namun begitu, dari 8 RPP yang akan dibentuk, baru ada 4 RPP yang masuk dalam
perencanaan tahun 2018 tersebut. Adapun keempat RPP itu adalah sebagai berikut.
1. RPP tentang Akomodasi yang Layak Bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas
(melaksanakan Pasal 43 ayat (2) UU 8/2016);
2. RPP tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas (melaksanakan pasal 27 ayat (3) UU 8/2016);
3. RPP tentang Pemenuhan Hak Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas
(melaksanakan pasal 96 UU 8/2016); dan
4. RPP tentang Layanan Habilitasi dan Rehabilitasi Bagi Penyandang Rehabilitasi
(melaksanakan pasal 113 UU 8/2016).
Proses perencanaan pembentukan RPP delegasi dari UU 8/2016 berlanjut pada tahun
2020. Dalam Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2020, tercantum satu RPP yang
melaksanakan ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU 8/2016, yaitu tentang Unit Layanan
Disabilitas Ketenagakerjaan. Setelah itu praktis tidak ada lagi RPP yang masuk dalam
perencanaan pembentukan Peraturan Pemerintah.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 49

Berbeda dengan RPP, proses pembentukan Perpres dan Permensos delegasi dari
UU 8/2016 tidak menghadapi hambatan. Hal itu terjadi karena dua RPerpres dan satu
Permensos diprakarsai oleh Kementerian Sosial. Peraturan pelaksanaan dari UU 8/2016
pertama yang dibentuk adalah Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2017 tentang
Penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas. Namun, begitu Permensos itu mendapatkan
penolakan dari Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas karena materi muatan
yang terlalu sentralistik di Kementerian Sosial, padahal penerbitan kartu penyandang
disabilitas yang diharapkan dapat terkait dan menggunakan jalur dari administrasi
kependudukan, sehingga kartu tersebut dapat bersifat lebih inklusif. Setelah 4 tahun
berjalan, akhirnya Permensos itu direvisi melalui Permensos Nomor 2 Tahun 2021 tentang
Kartu Penyandang Disabilitas.
Secara keseluruhan, sampai Desember 2021, sudah ada 7 PP, 2 Perpes, dan 1
Permensos yang sudah dibentuk sebagai peraturan pelaksana dari UU 8/2016. Hanya 1
RPP yang belum dituntaskan, yaitu RPP tentang Konsesi dan Insentif, sebagai
pelaksanaan dari ketentuan Pasal 114 ayat (2) dan 86 ayat (2) UU 8/2016. Adapun
keseluruhan peraturan pelaksanaan yang sudah dibentuk adalah sebagai berikut.
Tabel 6. Peraturan Pelaksanaan UU 8/2016 yang Sudah Dibentuk Sampai Desember 2021

No Judul Peraturan Pelaksana


PP Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial
1
bagi Penyandang Disabilitas
PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Kementerian
2 Evaluasi Terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Perencanaan
Hak Penyandang Disabilitas Pembangunan Nasional
PP Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Untuk Peserta Kementerian Pendidikan
3
Didik Penyandang Disabilitas dan Kebudayaan
PP Nomor 39 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Untuk Kementerian Hukum
4
Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan dan HAM
PP Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Kementerian Pekerjaan
5 Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana bagi Umum dan
Penyandang Disabilitas Perumahan Rakyat
PP Nomor 60 Tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas bidang Kementerian
6
Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan
PP Nomor 75 Tahun 2020 tentang Pelayanan Habilitasi dan Rehabilitasi
7 Kementerian Sosial
bagi Penyandang Disabilitas
Perpres Nomor 67 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian
8 Penghargaan dan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Kementerian Sosial
Hak Penyandang Disabilitas.
9 Perpres Nomor 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Kementerian Sosial
Permensos Nomor 2 Tahun 2021 tentang Kartu Penyandang Disabilitas
10 (menggantikan Permensos 21 Tahun 2017 tentang Penerbitan Kartu Kementerian Sosial
Penyandang Disabilitas)
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
50 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa ada 6 kementerian berbeda yang menjadi
pemrakarsa pembentukan 6 peratuan pelaksanaan UU 8/2016. Hal itu menunjukan
bahwa disabilitas adalah isu multisektor. Selain itu, pembahasan masing-masing
peraturan pelaksanaan, khususnya PP dan Perpres juga melibatkan kementerian lain.
Contohnya pembentukan PP Nomor 39 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Untuk
Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan, Kemenkumham membahasnya dengan
melibatkan lembaga penegak hukum, yaitu Kepolisian RI, Kejaksanaan RI, dan Mahkamah
Agung; sedangkan PP Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman,
Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas dibahas
dengan melibatkan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Berikut penjelasan
singkat dari kesepuluh peraturan pelaksanaan tersebut.

a. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan


Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas
B e r d a s a r k a n Pa s a l 9 6 U U 8 / 2 0 1 6 ,
Pemerintah diamanatkan untuk
membentuk PP yang mengatur lebih lanjut
tentang penyelenggaraan kesejahteraan
sosial bagi penyandang disabilitas.
Peraturan ini disahkan pada tanggal 26 Juli
2019 dengan menjadikan Kementerian
Sosial sebagai leading actor pelaksanaan
peraturan ini. PP 52/2019 bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar penyandang
disabilitas, menjamin pelaksanaan fungsi sosial penyandang disabilitas, meningkatkan
kesejahteraan sosial yang bermartabat bagi penyandang disabilitas, dan mewujudkan
masyarakat inklusi. Lalu peraturan ini mengatur prihal rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, peran masyarakat, pembinaan dan
pengawasan, serta yang terakhir adalah pendanaan.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan,


Penyelenggaraan, dan Evaluasi Terhadap Penghormatan,
Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
PP ini dibentuk berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU 8/2016. PP yang disahkan pada 2 Oktober
2019 ini menjadikan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai leading
actor. PP 70/2019 memuat tentang skema perencanaan terhadap penghormatan,
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 51

pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dengan membuat Rencana


Induk Penyandang Disabilitas (RIPD). Sedangkan penyelenggaraannya diserahkan
kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai tindak lanjut dari PP 70/2019,
Kementerian PPN per 17 Juni 2021 sudah mengesahkan Peraturan Menteri PPN Nomor 3
Tahun 2021 tentang Pelaksanaan dari PP 70/2019. Permen itu dilengkapi empat lampiran,
yaitu Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas 2021-2024 (Lampiran I); Tata Cara
Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas Provins (Lampiran II); Tata Cara
Penyusunan Instrumen Perencanaan dan Penganggaran dalam rangka Penghormatan,
Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (Lampiran III); dan Tata Cara
Evaluasi Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas Provinsi
(Lampiran IV).
Kotak 5. Keterkaitan SDGs, UNCRPD, dan RIPD

SDGs, UNCRPD, dan RIPD adalah agenda yang saling berkaitan karena RIPD adalah
implementasi dari pelaksaan SDGs dan UNCRPD. Kotak 5 menunjukkan 7 sasaran statagis
RIPD yang sesuai dengan 17 tujuan SGDs. Terdapat tujuh sasaran stategis RIPD yang
diantaranya adalah (1) pendataan dan perencanaan yang inklusif (2) penyediaan
lingkungan tanpa hambatan (3) perlindungan hak dan akses politik dan keadilan (4)
pemberdayaan dan kemandirian (5) perwujudan ekonomi inklusif (6) pendidikan dan
keterampilan (7) akses dan pemerataan layanan kesehatan.

Sumber : Memantau Pemenuhan Hak PD, JPODI


Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
52 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

c. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang


Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas
Di samping itu, untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 43 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (4) UU 8/2016
diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun
2020 tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Peserta
Didik Penyandang Disabilitas (PP 13/2020) yang
ditetapkan pada 20 Februari 2020. PP ini
menjadikan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai pelaksana. PP 13/2020
bertujuan untuk menjamin terselenggaranya
dan/atau terfasilitasinya pendidikan untuk peserta didik penyandang disabilitas oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Aturan ini mengatur tentang fasilitas
akomodasi yang layak, unit layanan disabilitas bidang pendidikan, pemantauan dan
evaluasi, sanksi administratif serta pendanaannya.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang


Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan
Berkaitan dengan penyediaan akomodasi yang layak dalam proses peradilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU 8/2016 Pemerintah membentuk Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Penyandang
Disabilitas Dalam Proses Peradilan (PP 39/2020) yang
ditetapkan pada 20 Juli 2020 dan melibatkan beberapa
pemangku kepentingan yakni Kepolisian Negara RI,
Kejaksaan RI, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.
Tujuan dari peraturan ini adalah memberikan standar
akomodasi jika ada penyandang disabilitas yang terlibat
dalam proses peradilan. PP 39/2020 memuat ketentuan
akomodasi yang layak di peradilan, peran masyarakat,
pendanaan.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas


terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari
Bencana bagi Penyandang Disabilitas
Sedangkan, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 104 ayat (4), Pasal 108 dan Pasal 109
ayat (4) UU 8/2016 Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020
tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 53

Bencana bagi Penyandang Disabilitas (PP 42/2020) yang ditetapkan pada 24 Juli 2020 dan
menjadikan pemerintah pusat sekaligus pemerintah daerah sebagai pihak yang
menjamin pelaksanaaan pelayanan publik dan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) yang bertugas untuk menjamin pelindungan kebencanaan terhadap
penyandang disabilitas. PP 42/2020 bertujuan untuk mewujudkan kesamaan hak dan
kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera dan mandiri
dalam bentuk kemudahan akses terhadap permukiman, pelayanan publik, dan
pelindungan dari bencana. Peraturan ini mengatur tentang permukiman yang mudah
diakses bagi penyandang disabilitas, pelayanan publik yang mudah diakses bagi
Penyandang Disabilitas, pelindungan dari bencana bagi penyandang disabilitas,
pembinaan, pendanaan dan pelaporan.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2020 tentang Unit Layanan


Disabilitas Bidang Ketenagakerjaan
Dalam bidang ketenagakerjaan berdasarkan
Pasal 55 ayat (4) UU 8/2016 Pemerintah
membentuk Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas
Bidang Ketenagakerjaan (PP 60/2020) yang
ditetapkan pada 13 Oktober 2020 dan
menjadikan dinas ketenagakerjaan di tiap
daerah untuk menjadi pelaksananya. PP
60/2020 bertujuan untuk membentuk suatu
unit yang melayani kebutuhan penyandang
disbailitas dalam bidang ketenagakerjaan. Nantinya unit layanan disabilitas ini akan
bertugas untuk merencanakan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak atas
pekerjaan penyandang disabilitas, pendampingan kepada tenaga kerja penyandang
disabilitas, menyediakan pendampingan kepada pemberikerja yang menerima
penyandang disabilitas. Aturan ini meliputi sumber daya beserta tugas unit layanan
disabilitas, pemantauan dan evaluasi serta pelaporan, pembinaan dan pengawasan dan
yang terakhir ialah pendanaan.

g. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2020 tentang Habilitasi dan


Rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas
Selanjutnya, untuk menjalankan Pasal 113 UU 8 /2016 dibuat Peraturan Pemerintah
Nomor 75 Tahun 2020 tentang Habilitasi dan Rehabilitasi bagi Penyandang Disabilitas (PP
75/2020) yang ditetapkan pada 15 Desember 2020 dan menjadikan Kementerian Sosial
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
54 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

sebagai leading sector dalam penyelenggaraannya. PP 75/2020 ini bertujuan untuk


mencapai, mempertahankan, dan mengembangkan kemandirian, kemampuan fisik,
mental, sosial, dan keterampilan penyandang disabilitas secara maksimal dan memberi
kesempatan untuk berpartisipasi dan berinklusi di seluruh aspek kehidupan. PP 75/2020
juga memuat mengenai penanganan habilitasi dan rehabilitasi, kelembagaan habiltasi
dan rehabilitasi, standar pelayanan habilitasi dan rehabilitasi, pembinaan dan
pengawasan, pengaduan, dan pendanaan.

h. Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Penghargaan Dalam Penghormatan, Pelindungan, dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Pembentukan Perpres 67/2020 merupakan
amanat dari Pasal 141 UU 8/2016. Peraturan ini
ditetapkan pada 8 Juni 2020 dan menjadikan
Kementerian Sosial sebagai leading sector dari
pelaksanaan Perpres tersebut. Pemberian
penghargaan yang dimaksud dalam Perpres
67/2020 bertujuan untuk memotivasi orang
perseorangan, badan hukum, lembaga negara,
d a n p e n y e d i a f a s i l i ta s p u b l i k d a l a m
mewujudkan Penghormatan, Pelindungan,
dan Pemenuhan hak penyandang disabilitas
dalam segala aspek kehidupan. Perpres ini juga mengatur kriteria dan tata cara pemberian
penghargaan, sistem evaluasi dan pendanaannya.

i. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional


Disabilitas
Dalam Pasal 134 UU 8/2016 Pemerintah diharuskan membentuk Komisi Nasional
Disabilitas. Perihal hal tersebut telah diatur dalam Perpres 69/2020 yang ditetapkan pada 8
Juni 2020 dan yang memimpin dalam pembentukan Komisi Nasional Disabilitas adalah
Kementerian Sosial. Perpres 68/2020 menjadi dasar hukum dalam pembentukan Komisi
Nasional Disabilitas yang nantinya Komisi akan bertugas melaksanakan pemantauan,
evaluasi, dan advokasi pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak
penyandang disabilitas. Perpres ini juga mengatur mengenai struktur organisasi Komisi,
mekanisme pengangkatan dan pemberhentian, mekanisme kerja, pertanggungjawaban
dan pendanaan.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 55

j. Peraturan Menteri Sosial Nomor 2 Tahun 2021 tentang Kartu


Penyandang Disabilitas
Sedangkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 121 UU 8/2016 mengenai kartu
penyandang disabilitas dibuat Permensos 2/2021. Peraturan ini ditetapkan pada 15 April
2021 dengan Kementerian Sosial sebagai instansi penyelenggara. Penerbitan kartu
penyandang disabilitas bertujuan untuk memberikan identitas bagi penyandang
disabilitas yang telah masuk dalam data
nasional penyandang disabilitas untuk
memperoleh akses layanan termasuk
konsesi dalam penghormatan,
pemajuan, dan pelindungan, dan
pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Aturan ini mengatur mengenai
mekanisme penetapan, penerbitan, dan
pendistribusian kartu penyandang
disabilitas, format kartu penyandang
disabilitas, pengawasan, serte
pembiayaannya.

4.1.2 Pemetaan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Dengan Isu Disabilitas


Pasca Pembentukan UU 8/2016
Dalam bidang pendidikan, ada dua UU yang mendukung pelindungan hak penyandang
disabilitas, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan (UU
3/2017) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak
dan Karya Rekam (UU 12/2018). Dalam Pasal 9 UU 3/2017 menyatakan bahwa,
“Masyarakat penyandang disabilitas berhak memperoleh kemudahan membaca buku
sesuai dengan kebutuhannya”. Pasal itu menjadi dasar pelindungan hak disabilitas atas
akses terhadap buku. Pasal itu pula yang dapat digunakan untuk mewujudkan berbagai
bahan bacaan yang aksesibel, baik bagi penyandang disabilitas dengan hambatan
penglihatan atau pendengaran. Apa yang sudah diatur dalam UU 3/2017 itu kemudian
diperkuat dalam aspek lebih teknis, khususnya ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU 12/2018 yang
menyatakan bahwa,
“Dalam hal Perpustakaan Nasional memerlukan salinan digital atas
Karya Cetak untuk kepentingan disabilitas, penerbit wajib menyerahkan
salinan digital kepada Perpustakaan Nasional.”
Ketentuan ini menjadikan jaminan atas buku yang akses tidak hanya berada dalam
tataran prinsip, tetapi juga dalam tataran teknis. Jaminan akan tersedianay bahan bacaan
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
56 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

yang aksesibel diperkuat kebali dengan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 2019 tentang Fasilitasi Akses Terhadap Ciptaan Bagi Penyandang Disabilitas
dalam Membaca dan Menggunakan Huruf Braille, Buku Audio, dan Sarana Lainnya (PP
27/2019). PP ini menjamin akses penyandang disabilitas terhadap karya cipta di bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Dalam Pasal 2 PP 27/2019 disebutkan bahwa “Manfaat
Fasilitasi Akses diperuntukkan bagi Penyandang Disabilitas”. PP ini merupakan peraturan
pelaksanaan dari ketentuan yang mengecualikan hak cipta dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Selanjutnya PP yang terkait dengan disabilitas adalah Peraturan Pemerintah


Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan UU Administrasi Kependudukan (PP
44/2019). PP, yang ditetapkan pada 23 Mei 2019 ini, menjadi dasar hukum bagi
perlindungan data pribadi penduduk. Pada Pasal 54 PP 44/2019 mengatur bahwa data
tentang keterangan cacat fisik dan/atau mental termasuk dalam data pribadi penduduk
yang harus dilindungi.
Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2019 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (PP 82/2019) dinyatakan
dalam Pasal 25 bahwa setiap peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan kerja
berupa santunan berupa uang yang meliputi santunan cacat sebagian anatomis, cacat
sebagian fungsi, dan cacat total tetap. Lalu ada Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun
2019 tentang Kesehatan Kerja(PP 88/2019). PP 88/2019 memiliki hubungan erat dengan
PP 82/2019, karena dalam Pasal 6 ayat (6) PP 88/2019 dijelaskan jika dalam diagnosis dan
tata laksana penyakit akibat kerja ditemukan kecacatan, dilakukan penilaian kecacatan.
Lalu pada Pasal 6 ayat (7) PP 88/2019 dinyatakan bahwa hasil penilaian kecacatan
digunakan sebagai pertimbangan untuk mendapatkan jaminan kecelakaan kerja sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat penting bagi setiap
tenaga kerja apabila terjadi kecelakaan kerja.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 57

Hak Penyandang Disabilitas juga dijamin dalam sebuah dokumen Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 3 Peraturan Presiden
Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Perpres 53/2021)
dijelaskan bahwa RANHAM memuat sasaran strategis dalam rangka melaksanakan
penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM terhadap
kelompok sasaran salah satunya ialah penyandang disabilitas. Selanjutnya dalam
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (Perpres 18/2020) dimuat berbagai perencanaan terhadap
penyandang disabilitas yakni meningkatkan presentase anak penyandang disabilitas usia
sekolah yang memiliki akses terhadap layanan pendidikan, meningkatkan jumlah
penyandang disabilitas yang menerima rehabilitasi sosial, pengadaan literasi khusus bagi
penyandang disabilitas, melakukan kegiatan pendidikan pemilih kepada penyandang
disabilitas, dan melakikan akreditasi terhadap lembaga yang menyelenggarakan layanan
terhadap penyandang disabilitas.
Terakhir, ada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Perpres 59/2017) yang mengatur
tentang pelaksanaan program SDGs di Indonesia. Dalam SDGs salah satu yang menjadi
sasaran global adalah pada tahun 2030, menghilangkan disparitas gender dalam
pendidikan, dan menjamin akses yang sama untuk semua tingkat pendidikan dan
pelatihan kejuruan, bagi masyarakat rentan termasuk penyandang cacat, masyarakat
penduduk asli, dan anak-anak dalam kondisi rentan.

4.1.3 Pemetaan Rancangan Undang-Undang dalam Prolegnas 2021 yang Terkait


dengan Isu Disabilitas
Selain undang-undang yang telah disahkan, Rancang Undang-Undang juga memiliki
keterkaitan dengan isu disabilitas. Pemetaan terhadap RUU prioritas 2021 ini diharapkan
dapat menjadi informasi bagi para pembentuk UU untuk melibatkan penyandang
disabilitas dalam pembahasannya. Adapun RUU Prioritas 2021 yang terkait dengan isu
disabilitas adalah sebagai berikut.
1. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran
2. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum
3. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang
Jalan
4. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
58 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

5. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana
6. RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan
7. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Sistem Keolahragaan Nasional
8. RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
9. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang
Pendidikan Kedokteran
10. RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual
11. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara
12. RUU tentang Profesi Psikologi
13. RUU tentang Pelindungan Data Pribadi
14. RUU tentang tentang Ibu Kota Negara
15. RUU tentang Hukum Acara Perdata
16. RUU tentang Wabah
17. RUU tentang Daerah Kepulauan.
18. RUU tentang Badan Usaha Milik Desa
19. RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
20. RUU Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) memiliki hubungan yang erat dengan
penyandang disabilitas mengingat penyiaran
adalah salah satu medium untuk memperoleh
informasi. Oleh karena itu, perlu ada jaminan
dalam UU ini terkait dengan aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas untuk menikmati
informasi yang disebarluaskan. Contoh jaminan
yang dimaksud antara lain adalah penyediaan
juru bahasa isyarat dalam siaran televisi atau
bentuk aksesibilitas visual lainnya. Selanjunya,
ada Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) mengatur mengenai mekanisme
pelaksanaan pemilihan umum. Dalam hal ini, RUU Pemilu menjadi instrumen yang dapat
menegaskan hak penyandang disabilitas berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 59

penyelenggara, pemilih, atau


calon. Jaminan hak yang
dimaksud dapat terkait dengan
persyaratan, aksesibilitas pada
saat pengambilan suara, atau
aksesibilitas informasi terkait
dengan pelaksanaan Pemilu.
Ra n ca n ga n U n d a n g - U n d a n g
tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2004
tentang Jalan (RUU Jalan) terkait dengan hak mendapat aksesibilitas untuk mendukung
mobilitas penyandang disabilitas. RUU Jalan mengatur perihal fasilitas di sekitar ruas
jalan yang seharusnya menjadi fasilitas bagi penyandang disabilitas seperti ketersediaan
lantai pemandu, bidang miring, atau rambu-rambu dalam bentuk audio dan visual.
Dalam sektor BUMN, terdapat Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (RUU
BUMN) salah satu pengaturannya terkait dengan syarat untuk menjadi direktur, komisaris,
atau dewan pengawas BUMN yang harus sehat jasmani dan rohani, sehingga dapat
merugikan penyandang disabilitas yang kerap dikategorikan tidak sehat jasmani dan
rohani. Selain itu, dalam RUU BUMN ini terkait dengan upaya pemenuhan kuota 2%
mempekerjakan penyandang disabilitas. Oleh karena itu, dalam RUU BUMN harus ada
jaminan serupa untuk direalisasikan dalam waktu tertentu, sehingga implementasinya
dapat lebih kuat terjamin.
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (RUU Penanggulangan Bencana) memiliki
pengaruh terhadap penanganan penyandang disabilitas dalam proses penanggulangan
bencana dimulai pada saat pra bencana, darurat bencana, dan pasca bencana.
penyandang disabilitas adalah salah satu kelompok yang mendapatkan prioritas
tindakan ketika terjadi bencana. Selain itu, RUU ini perlu untuk membuka lebar peluang
penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam penanganannya, karena tidak
selamanya penyandang disabilitas adalah korban dalam bencana alam. Selain itu,
penyandang disabilitas punya kemampuan lebih untuk memahami kebutuhan
penyandang disabilitas lain, sehingga upaya penanggulangan bencana dapat lebih tepat
sasaran.
Selanjunya, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (RUU SKN) perlu
untuk mengakomodasi olahraga bagi penyandang disabilitas. Dengan adanya penguatan
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
60 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

jaminan penyediaan akses fasilitas olahraga, maka penyandang disabilitas dapat lebih
berprestasi. Selain itu, kegiatan olahraga juga dapat berdampak positif bagi para
penyandang disabilitas, baik dari aspek kesehatan atau hiburan.
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (RUU Pendidikan Kedokteran) memuat asas
kesetaraan dalam penyelenggaraan pendidikan. Asas itu berarti bahwa pendidikan
kedokteran dilakukan secara adil, tidak memihak, ketepatan kelompok sasaran afirmatif,
berimbang mutu dan jumlah lulusan antar fakultas dan antar daerah, serta antar
perguruan tinggi negeri dengan antar perguruan tinggi swasta. Dengan adanya jaminan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam pendidikan kedokteran, maka akan
membuka peluang penyandang disabilitas untuk menjadi peserta didik dalam
pendidikan kedokteran atau bahkan menjadi seorang Dokter.
Tidak kalah penting, ada Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual) dapat melindungi
penyandang disabilitas dari tindak kekerasan seksual. Dalam RUU disebutkan bahwa
apabila terjadi kekerasan terhadap penyandang disabilitas maka dapat diberlakukan
pemberatan tindak pidana. Selain itu, tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan
terhadap penyandang disabilitas juga dapat dilakukan pengaduan oleh korban ataupun
orang lain.
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) yang menjamin penerapan merit
system. Penerapan merit system ini
merupakan kebijakan dan manajemen
ASN yang berdasarkan pada kualifikasi,
kompetensi, dan kinerja secara adil dan
wajar dengan tanpa membedakan latar
belakang politik, ras, warna kulit, agama,
asal usul, jenis kelamin, ststus
p e r n i k a h a n , u m u r, a t a u k o n d i s i
disabilitas. Selain itu, RUU ASN juga harus
memasukan kuota 2% untuk
mempekerjakan penyandang disabilitas
dari total keseluruhan ASN. Dalam upaya
pemenuhannya, RUU ASN perlu untuk mengatur pintu masuk penyandang disabilitas
untuk menjadi ASN, apakah melalui tes atau seleksi atau ada jalur pencarian bakat yang
khusus merekrut penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan dan prestasi baik.
Pada bidang profesi, terdapat Rancangan Undang-Undang tentang Profesi
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 61

Psikologi (RUU Profesi Psikologi) memberikan dasar hukum dalam praktik psikoterapi
yang bertujuan membantu klien dengan berbagai gangguan mental dan/atau kesulitas
emosional agar hidup lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih produktif. Di samping itu,
terdapat Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi (RUU
Perlindungan Data Pribadi) yang mengatur bahwa salah satu jenis data pribadi yang
bersifat spesifik adalah informasi kesehatan, termasuk kesehatan fisik dan mental.
Sebagai catatan dalam RUU ini masih mencantumkan ketidakcakapan jasmani sebagai
keadaan dimana seseorang dapat diberhentikan dari pekerjaannya.
Pada ranah proses peradilan, Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara
Perdata (RUU Hukum Acara Perdata) mengatur mengenai keberadaan saksi dalam
beracara pada sengketa perdata yang bersinggungan dengan penyandang disabilitas.
Dalam kesaksian perdata disebutkan bahwa seseorang tidak dapat dijadikan saksi
apabila sedang dalam kondisi sakit pikirannya walaupun hal itu berjalan secara periodik.
Hal itu jelas keliru dan diskriminatif, karena kondisi seseorang tidak dapat menghilangkan
haknya. Mekanisme hukum acara perdata seharusnya mampu untuk mendukung setiap
orang, termasuk penyandang disabilitas mental, untuk tetap menggunakan haknya
dalam bersaksi. Selain itu, ada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (RUU KUHP) yang mengatur tentang cara penjatuhan hukuman terhadap
terdakwa yang merupakan penyandang disabilitas. Selain itu, memberikan ketentuan
terkait dengan pemberian rehabilitasi. RUU KUHP juga memberikan perlindungan
terhadap penyandang disabilitas atas tindak penghinaan.
Selanjutnya, ada Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Kepulauan (RUU
Daerah Kepulauan) memuat materi tentang pembangunan kelautan yang salah satu
pasalnya membicarakan tentang pembangunan infrastruktur kelautan dan sarana
pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien sesuai kebutuhan dan karakteristik
daerah. Dalam proses pembangunan infrastruktur di daerah perlu memperhatikan prinsip
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Terakhir, ada Rancangan Undang-Undang
Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentag Kejaksaan RI (RUU Kejaksaan) yang masih
mencantumkan syarat sehat jasmani dan rohani untuk menjadi seorang Jaksa atau Jaksa
Agung. Syarat itu dalam pelaksanaannya kerap mendiskriminasi penyandang disabilitas,
dan menjadi batu ganjalan bagi penyandang disabilitas untuk bekerja atau menemapati
suatu jabatan.

4.1.4 Pemetaan Pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyandang


Disabilitas
UU 8/2016 pada dasarnya tidak mendelegasikan secara langsung untuk pemerintah
daerah membentuk Perda tentang penyandang disabilitas. Namun, dalam UU 8/2016 ada
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
62 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

95 ketentuan yang mengatur perihal tugas dan fungsi pemerintah daerah. Oleh karena itu,
perlu untuk diatur lebih lanjut dalam Perda, agar kemudian dapat dilaksanakan,
khususnya untuk masuk dalam perencanaan dan penggaran daerah. Pemetaan Perda
dalam bagian ini akan menunjukan sejauh mana pembentukan Perda tentang
penyandang disabilitas sudah dilakukan di wilayah-wilayah Indonesia. Dengan data dan
informasi dari pemetaan ini akan mempermudah untuk menentukan langkah-langkah
lanjutan dalam upaya mendorong pembentukan dasar hukum yang leboh operasional
dalam penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Sampai Desember 2021, Peraturan Daerah (Perda) tentang penyandang disabilitas
sudah dibentuk di 109 dari 548 (19,8%) daerah di Indonesia. Dari 109 daerah tersebut, 21
diantaranya adalah Provinsi (61,7%); 25 Kota (26,8%); dan 63 Kabupaten (15,1%). Berikut
adalah rincian 109 Perda tentang penyandang disabilitas di Indonesia (lihat lampiran 1
dan 2).
Grafik 25. Persentase Kabupaten/Kota per Provinsi yang Memiliki Perda Disabilitas
DKI 100%
DIY 100%
Bali 55,50%
Jateng 51,40%
Kalbar 42,80%
Kaltim 30%
NTB 30%
Jabar 29,60%
Kep Babel 28,50%
NTT 27,20%
Jambi 27,20%
Sulsel 25%
Banten 25%
Jatim 23,60%
Kalsel 23%
Riau 16,60%
Sumbar 15,70%
Kepri 14,20%
Lampung 13,30%
Papua Barat 7,60%
Aceh 4%
Sumut 3%
Papua 0%
Maluku Utara 0%
Maluku 0%
Sulbar 0%
Gorontalo 0%
Sultara 0%
Sulteng 0% Catatan : persentase menunjukkan
Sulut 0% rasio kabupaten kota yang memiliki
Kalut 0% peraturan daerah tentang
Kalteng 0% disabilitas per total kabupaten kota
Bengkulu 0% di suatu provinsi
Sumsel 0%

Sumber : Pemetaan dan Pengolahan data oleh peneliti


Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 63

Dari Grafik 25 diatas dapat diketahui bahwa masih ada 13 Provinsi yang kabupaten/kota di
wilayahnya belum ada yang memiliki Perda tentang penyandang disabilitas. Provinsi yang
kabupaten/kotanya sudah mencapai 100% memiliki Perda tentang penyandang
disabilitas baru D.I. Yogyakarta dan DKI Jakarta, sedangkan yang capaiannya lebih dari
50% baru kabupaten/kota di Provinsi Bali dan Jawa Tengah. Selebihnya masih di bawah
50%. Angka tersebut menunjukan bahwa upaya mendorong pembentukan Perda tentang
penyandang disabilitas masih perlu diperkuat. Catatan untuk DKI Jakarta, capaian 100%
didapat karena Perda DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan
Penyandang Disabilitas mencakup lingkup urusan pemerintahan Provinsi dan
Kabupaten/Kota, sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Temuan lain yang dapat dilihat dari Tabel adalah jumlah Perda yang dibentuk
pasca 2016 lebih dominan dari Perda yang dibentuk sebelum 2016. Hal itu menunjukan
bahwa pembentukan Perda tentang penyandang disabilitas dipicu karena pembentukan
UU 8/2016. Namu, perlu untuk diteliti lebih dalam, bagaimana materi muatan dari Perda-
Perda tersebut. Apakah sudah sesuai dengan UU 8/2016 atau tidak, dan apakah
substansinya berhasil mendorong penyelesaian permasalahan daerah, atau hanya
menyalin dari UU 8/2016.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
64 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

4.2 Capaian Rencana Induk Penyandang Disabilitas 2020-2021


Rencana Induk Penyandang Disabilitas (RIPD) yang terlampir dalam PP 70/2019 pada
dasarnya memuat tiga kategori target capaian, yaitu Ketersediaan Dasar Hukum
Pelaksanaan, Pelaksanaan Program atau Penyediaan Fasilitas; dan Peningkatan Manfaat
yang Diterima Penyandang Disabilitas. Dalam kategori yang pertama, yaitu “Ketersediaan
Dasar Hukum Pelaksanaan” dapat diambil contoh seperti, tersedianya Peraturan Menteri
tentang pedoman penyelenggaraan sistem data terpilah Penyandang Disabilitas bagi
setiap sektor di tingkat pusat dan daerah pertahun; dan tersedianya Peraturan
Daerah/kebijakan yang mendukung pemenuhan hak Penyandang Disabilitas sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Sedangkan, untuk kategori kedua, yaitu “Pelaksanaan Program atau Penyediaan
Fasilitas”, contohnya adalah tercapainya peningkatan jumlah fasilitasi kompetisi bidang
seni dan olahraga bagi Penyandang Disabilitas; dan Tercapainya peningkatan jumlah

program pengembangan potensi Penyandang Disabilitas di bidang seni dan olahraga.


Kategori ketiga adalah peningkatan manfaat yang diterima Penyandang Disabilitas,
contohnya adalah terlaksananya keterlibatan Penyandang Disabilitas dalam proses
akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan; dan tercapainya peningkatan jumlah
Penyandang Disabilitas dalam mengikuti kompetisi bidang seni dan olahraga.
Dalam laporan ini, capaian RIPD selama 1 tahun yang akan dijabarkan dan
dianalisa adalah untuk kategori yang pertama, yaitu “Ketersediaan Dasar Hukum
Pelaksanaan”. Kategori ini dipilih karena basis analisa yang akan dilakukan adalah secara
kualitatif normatif. Selain itu, kategori pertama adalah aspek dasar untuk melaksanakan
dengan baik kategori 2 dan 3. Secara umum ada 21 target capaian dalam kategori yang
pertama tersebut, yang dijabarkan dalam Tabel di bawah ini.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 65

Sasaran 1 : Pendataan dan Perencanaan Inklusif

Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya Peraturan Menteri tentang pedoman
penyelenggaraan sistem data terpilah Penyandang Disabilitas
bagi setiap sektor di tingkat pusat dan daerah pertahun.
Kondisi saat ini :Belum tersedia
Rekomendasi :Peraturan Menteri segera dibentuk

Target RIPD 2 :Tersedianya Peraturan Daerah/kebijakan yang mendukung


pemenuhan hak Penyandang Disabilitas sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kondisi saat ini :· Peraturan Daerah/kebijakan yang mendukung pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas belum tersedia di semua daerah.
Berikut data Perda tentang Penyandang Disabilitas yang sudah
tersedia.
· Sampai Desember 2021 :
• Sudah ada 113 dari 548 (20,6%) daerah di Indonesia
yang memiliki Perda tentang penyandang disabilitas
• 20 diantaranya adalah Provinsi (59%);
• 27 Kota (27,5%); dan
• 66 Kabupaten (15,8%)
Rekomendasi :Perda segera dibentuk di setiap daerah.

Sasaran 2 : Penyediaan Lingkungan tanpa Hambatan

Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya standar dan pedoman bagi pelayanan penanganan
kebencanaan bagi Penyandang Disabilitas sesuai dengan
ketentuan Standar Pelayanan Minimal.
Kondisi saat ini :· Belum tersedia
· Catatan : Saat ini sudah ada Peraturan Kepala BNPB Nomor
14/2014 tentang Penanganan, Perlindungan, dan Partisipasi
Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana,
tetapi substansinya belum dapat dikatakan sebagai pedoman
dan sudah harus disesuaikan dengan UU 8/2016 dan PP
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
66 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

42/2020
Rekomendasi :Perlu revisi Peraturan Kepala BNPB Nomor 14/2014 tentang
Penanganan, Perlindungan, dan Partisipasi Penyandang
Disabilitas

Target RIPD 2 :Tersedianya instrumen penilaian pelayanan dan fasilitas publik


yang memasukkan variable disabilitas.
Kondisi saat ini :· Belum tersedia
· sedang dikembangkan oleh Ombudsman
Rekomendasi :Instrumen penilaian pelayanan dan fasilitas publik untuk segera
dibentuk

Target RIPD 3 :Tersedianya Peraturan Daerah mengenai bangunan Gedung


yang menerapkan standar bangunan yang mudah diakses oleh
Penyandang Disabilitas sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat.
Kondisi saat ini : · Belum tersedia di Peda Bangunan Gedung seluruh daerah
· Baseline data : sudah ada 76 daerah yang memiliki Peraturan
Daerah mengenai bangunan gedung yang menerapkan
standar bangunan yang mudah diakses oleh Penyandang
Disabilitas sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat.
Rekomendasi :· Melakukan evaluasi terhadap peraturan yang mengatur
bangunan Gedung di daerah
· Melakukan evaluasi terhadap peraturan yang mengatur
bangunan Gedung di daerah.
Segera membentuk peraturan daerah terkait pada daerah
yang belum memiliki peraturan daerah tersebut.

Target RIPD 4 :Tersedianya kebijakan dan standar operasional layanan


transportasi publik, baik darat, laut, maupun udara yang mudah
diakses dan ramah disabilitas.
Kondisi saat ini :· Sudah tersedia
· Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 98 Tahun 2017 tentang
Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Trasnportasi
Publik Bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus
Rekomendasi :-
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 67

Target RIPD 5 :Tersedianya kebijakan dan standar operasional layanan


komunikasi dan informasi publik yang mudah diakses, andal,
dan responsif terhadapkebutuhan Penyandang Disabilitas.
Kondisi saat ini :Belum tersedia
Rekomendasi :Kebijakan dan standar operasional layanan komunikasi dan
informasi publik untuk segera dibentuk

Sasaran 3 : Perlindungan Hak dan Akses Politik dan Keadilan

Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya kebijakan yang mengatur tentang partisipasi
Penyandang Disabilitas dalam pemilihan umum (sebagai
pemilih dan penyelenggara pemilihan umum).
Kondisi saat ini :· Sudah tersedia
· Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi sebagai
penyelenggara pemilihan umum. Karena dalam penjelasan
pasal 21 huruf h UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
menjelaskan bahwa syarat untuk menjadi anggota KPU, KPU
Prov, KPU Kab/Kota salah satunya adalah mampu secara
jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika.
Lalu dalam penjelasannya disebutkan bahwa cacat tubuh
tidak termasuk gangguan kesehatan.
· Lalu dalam pasal 72 diatur mengenai syarat menjadi anggota
PPK, PPS, KPPS, PPLN dan KPPSLN yang salah satunya adalah
mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari
penyalahgunaan narkotika. Dalam penjelasan pasal 72
dijelaskan bahwa cacat tubuh tidak termasuk kategori tidak
mampu secara jasmani dan rohani.
· Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 Tahun
2019 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam
Pemilihan Umum diatur juga mengenai jaminan hak untuk
penyandang disabilitas. Yakni dalam pasal 8 (1) Pemilih yang
terda ar dalam DPT sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
huruf b merupakan Pemilih yang karena keadaan tertentu
tidak dapat memberikan suara di TPS tempat asal Pemilih
terda ar dalam DPT dan memberikan suara di TPS lain atau
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
68 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

TPSLN. Sedangkan dalam ayat (2) Keadaan tertentu yang


dimaksud ialah salah satunya penyandang disabilitas yang
menjalani perawatan di panti sosial/panti rehabilitasi.
· Selain itu, dalam pasal 13 diatur mengenai formulir model C6-
KPU harus disebutkan adanya kemudahan bagi penyandang
disabilitas dalam memberikan suara di TPS.
· Adapun hak-hak lain bagi penyandang disabilitas dalam
proses pemilihan adalah hak untuk didahulukan pasal 38; dan
hak untuk dibantu Pendamping dalam pasal 43.
Rekomendasi :-

Target RIPD 2 :Tersusunnya standar pemeriksaan yang layak bagi peradilan


Penyandang Disabilitas dengan melibatkan organisasi
Penyandang Disabilitas
Kondisi saat ini :· Belum tersedia
· Secara umum perintah yang sama sudah diatur dalam PP
39/2020, dan kemudian harus diatur lebih lanjut oleh aparat
penegak hukum
· Di kepolisian belum ada pengaturan, baru ada Perjanjian
Kerjasama dengan HWDI
· Di kejaksaan sedang proses penyusunan
· Di pengadilan baru ada pedoman di Badan Peradilan Umum
dan Badan Peradilan Agama, tetapi belum secara umum
tertuang dalam SK KMA atau Perma
· Di lapas sedang dalam proses penyusunan, baru ada terkait
dengan pembentukan ULD
· Di advokat/paralegal belum tersedia, sudah ada
Permenkumham 4/2021 tentang standar layanan bantuan
hukum, tapi tidak sampai kepada standar pemeriksaan bagi
disabilitas.
Rekomendasi :Setiap lembaga yang terkait dengan system peradilan segera
membuat standar pemeriksaan di lingkup tugas dan fungsinya

Target RIPD 3 :Tersedianya mekanisme pengaduan masyarakat. (bagi


penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum).
Kondisi saat ini :· Belum tersedia pedoman mekanisme yang aksesibel
· Pengaduan masyarakat selama ini dilayangkan ke
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 69

Ombudsman, Yankomas Kemenkumham, kepolisian,


pengadilan, atau KY
Rekomendasi :Perlu didiskusikan apakah perlu mekanisme baru dan tersendiri
atau memaksimalkan jalur yang sudah ada.

Target RIPD 4 :Tersedianya mekanisme penanganan dan penyelesaian


pengaduan. (bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan
hukum).
Kondisi saat ini :Belum tersedia
Rekomendasi :Perlu didiskusikan apakah perlu mekanisme baru dan tersendiri
atau memaksimalkan jalur yang sudah ada.

Sasaran 4 : Pemberdayaan dan Kemandirian

Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya pedoman layanan habilitasi dan rehabilitasi bagi
Penyandang Disabilitas.
Kondisi saat ini :· Sudah tersedia
· Peraturan Menteri Sosial Nomor 7 Tahun 2017 tentang Standar
Habilitasi dan Rehabilitasi pada Penyandang Disabilitas.
Rekomendasi :-

Target RIPD 2 :Tersedianya kurikulum dan pedoman layanan habilitasi dan


rehabilitasi berbasis masyarakat di seluruh provinsi.
Kondisi saat ini :Kurikulum dan pedoman layanan habilitasi dan rehabilitasi
berbasis masyarakat sudah tersedia yang berbentuk Peraturan
Menteri Sosial Nomor 7 Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi
dan Rehabilitasi pada Penyandang Disabilitas.
Rekomendasi :-

Sasaran 5 : Perwujudan Ekonomi Inklusif

Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya panduan dan standar operasional ketenagakerjaan
disabilitas di sektor publik dan swasta, mencakup antara lain
proses pemagangan, perekrutan, penempatan, pelatihan, dan
pengembangan karir.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
70 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Kondisi saat ini :· Belum tersedia/disahkan


· Pada tahun 2020 Pemerintah melalui Kementerian
Ketenagakerjaan dan Asosiasi Pengusaha Indonesia
bekerjasama dengan USAID membuat sebuah buku yang
berjudul Panduan Kesetaraan dan Inklusifitas di Tempat Kerja.
Buku ini memuat konsep kesetaraan dan inklusivitas di
perusahaan agar lebih aksesible terhadap Penyandang
Disabilitas.
Rekomendasi :Panduan Kesetaraan dan Inklusivitas di tempat kerja yang
sedang dibahas diharapkan untuk segera disahkan.

Target RIPD 2 :Tersedianya standar penyediaan akomodasi yang layak bagi


pekerja Penyandang Disabilitas.
Kondisi saat ini :Standar penyediaan akomodasi yang layak bagi pekerja
Penyandang Disabilitas masih belum tersedia. Namun, pada
tahun 2020 Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan
dan Asosiasi Pengusaha Indonesia bekerjasama dengan USAID
membuat sebuah buku yang berjudul Panduan Kesetaraan dan
Inklusivitas di Tempat Kerja. Buku ini memuat konsep
kesetaraan dan inklusivitas di perusahaan agar lebih aksesible
terhadap Penyandang Disabilitas.
Rekomendasi :Standar penyediaan akomodasi yang layak bagi pekerja
penyandang disabilitas yang sedang dibahas diharapkan untuk
segera disahkan.

Target RIPD 3 :Tersedianya standar operasional tentang penyediaan layanan


keuangan inklusif yang mudah diakses oleh Penyandang
Disabilitas.
Kondisi saat ini :· Belum tersedia
· Yang sudah tersedia adalah terkait keuangan inklusif secara
umum melalui Perpres 114 Tahun 2020 tentang Strategi
Nasional Keuangan Inklusif, tetapi belum ada yang konkrit
terkait penyediaan akses bagi penyandang disabilitas.
Rekomendasi :Standar operasional tentang penyediaan layanan keuangan
inklusif untuk segera dibentuk
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 71

Sasaran 6 : Pendidikan dan Keterampilan

Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tercapainya peningkatan jumlah daerah yang memiliki
Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pendidikan inklusif
bagi Penyandang Disabilitas.
Kondisi saat ini :· Belum terlaksana
· Baseline data :
• Sudah ada 29 daerah dari 548 daerah (5,3%) yang
memiliki peraturan (Perda atau Peraturan Kepala
Daerah) terkait dengan Pendidikan inklusif
• 2 Perda, 6 Peraturan Gubernur, 16 Peraturan Bupati,
dan 5 Peraturan Walikota
• 5 peraturan diantaranya dibentuk sebelum UU 8/2016
disahkan.
Rekomendasi :Perda untuk segera dibentuk di setiap daerah, dengan opsi
berdiri sendiri dalam satu peraturan atau digabung dengan
Perda yang lebih umum.

Target RIPD 2 :Tersedianya standar atas lembaga pendidikan yang inklusif bagi
Penyandang Disabilitas (ketersediaan sarana prasarana, tenaga
pendidik, dan tenaga profesional) sesuai dengan ketentuan
mengenai Standar Pelayanan Minimal.
Kondisi saat ini :Standar lembaga pendidikan inklusif sudah tersedia melalui
Permendiknas 70/2009 tentang Pendidikan Inklusif. Namun,
belum sesuai dengan PP Nomor 13 Tahun 2020 tentang
Akomodasi yang layak bagi Peserta Didik Penyandang
Disabilitas. Perlu pembaruan Permendikbud.

Target RIPD 3 :Tersedianya kebijakan tentang Guru Pembimbing Khusus di


sekolah inklusif bagi Penyandang Disabilitas.
Kondisi saat ini :· Sudah tersedia
· Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang
Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang
Disbailitas yakni Pendidik khusus untuk penyandang
disabilitas mental (pasal 14), Penyediaan juru bahasa isyarat
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
72 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

(pasal 15).
· Perlu disesuaikan dengan Permendikbud 70/2009 yang
menjadi rujukan pelaksanaan di lapangan
Rekomendasi :Sesuaikan Permendiknas 70/2009 tentang Pendidikan Inklusif
dengan PP 13/2020.

Target RIPD 4 :Tersedianya pedoman supervise yang memasukkan variable


nondiskriminasi dan inklusivitas bagi Penyandang Disabilitas
dalam mengakses pendidikan.
Kondisi saat ini :Belum tersedia
Rekomendasi :Pedoman supervise untuk segera dibentuk

Sasaran 7 : Akses dan Pemerataan Layanan Kesehatan

Rekomendasi Yuridis :
Target RIPD 1 :Tersedianya pedoman pelayanan kesehatan yang akomodatif
bagi Penyandang Disabilitas sesuai Standar Pelayanan Minimal
bidang kesehatan.
Kondisi saat ini :· Masa Pandemi Covid-19. Pedoman ini didalamnya juga
mengatur tentang pelayanan terhadap penyandang
disabilitas.
· Pedoman Perlindungan Kesehatan dan Dukungan Psikososial
Terhadap Penyandang Disabilitas Sehubungan dengan
Terjadinya Wabah Covid-19 di Lingkungan Balai
Besar/Balai/Loka Disabilitas Lembaga Kesejahteraan Sosial
(LKS) Disabilitas, dan Lembaga lainnya.
· Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas
Rekomendasi :-
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 73

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sudah ada 5 (24%) target capaian yang sudah
terealisasikan, yaitu dalam bidang Pemilu, Rehabilitas dan Habilitasi, Transportasi, dan
Kesehatan. Sedangkan 6 target capaian lain masih perlu revisi atau penyempurnaan
terhadap produk hukum tertentu. Sedangkan masih ada 10 target capaian yang
memerlukan pembentukan baru suatu produk hukum. Dari pemetaan dan analisa itu,
maka dapat dijadikan penentuan strategi dan prioritas untuk mencapai dalam tahun-
tahun berikutnya. Pencapaian target capaian dalam kategori pertama ini akan
menentukan seberapa cepat target capaian dalam kategori kedua dan ketiga dapat
terlaksana.
Grafik 26. Capaian 1 Tahun RIPD dalam Aspek Yuridis

Sudah Tersedia
Perlu Pembentukan Baru

24% Perlu Revisi atau Penyempurnaan


28%

48%

Sumber : Perhitungan pribadi peneliti


74
75

Bab 5
KESIMPULAN
DAN
REKOMENDASI
KEBIJAKAN
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
76 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

5.1. Kesimpulan
Komitmen Indonesia dalam memperbaiki taraf hidup penyandang disabilitas telah
tertuang pada UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas yang kemudian
diterjemahkan secara teknis di level nasional melalui RIPD pada PP Nomor 70 Tahun 2019.
Hal ini merupakan bukti keseriusan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan target
CRPD dan SDGs. Dalam perjalanannya, usaha terhadap penghormatan hak-hak
penyandang disabilitas telah menghasilkan berbagai capaian dan juga tantangan yang
dapat dibagi menjadi dua yakni aspek sosio-ekonomi dan aspek yuridis.
Berdasarkan aspek sosioekonomi, terdapat hasil yang beragam ketika
mendiskusikan indikator-indikator capaian perbaikan taraf hidup penyandang disabilitas.
Mengacu pada data Susenas, terdapat tren positif ketika berdiskusi terkait kemiskinan dan
pendidikan. Namun, tren yang kurang baik masih terlihat dari pola konsumsi pangan dan
aspek kesehatannya. Sedangkan, capaian akses keuangan dan teknologi sempat
mengalami perbaikan namun sedikit melambat di tahun 2020 yang mungkin juga akibat
dari pandemi Covid-19.
Secara yuridis, terdapat catatan-catatan dari segi definisi dan pemetaan
perundang-undangan. Dalam perkembangannya, perspektif atas definisi penyandang
disabilitas sudah menuju ke arah yang lebih baik. Adanya penggunaan istilah selain
“Penyandang Disabilitas” mengakibatkan tidak tercapainya asas kejelasan rumusan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal itu juga menimbulkan
perdebatan dan ketidaksepahaman mulai dari konsep sampai ruang lingkup
“penyandang disabiltias”, yang berdampak kepada terhambatnya implementasi di
lapangan. Perbedaan istilah dalam peraturan perundang-undangan juga berdampak
kepada terhambatnya perwujudan anggaran yang inklusif atau proses penandaan pada
APBN/APBD; dan menyulitkan penyusunan data terpilah, sehingga menghambat proses
pemantauan dan evaluasi regulasi terkait.
Selanjutnya, dari pemetaan perundang-undangan, dari sebelas peraturan
perundang-undangan delegasi dari UU 8/2016, sepuluh diantaranya sudah dibentuk,
tinggal menyisakan satu PP, yaitu RPP tentang Konsesi dan Insentif. Selain peraturan
pelaksanaan dari UU 8/2016, lahir berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur isu disabilitas, walaupun belum merata untuk semua urusan pemerintahan. Hal
itu menunjukan bahwa isu disabilitas sudah semakin diakui menjadi isu multisektor,
walaupun belum semua peraturan perundang-undangan terkait sudah menggunakan
perspektif yang dibawa dalam CRPD, salah satu penyebabnya karena pelibatan
penyandang disabilitas dalam pembentukannya yang minim. Selain itu, hal yang perlu
diperhatikan dalam perspektif yuridis terhadap isu disabilitas adalah belum adanya
upaya untuk melakukan pemantauan dan penilaian terhadap UU 8/2016, khususnya
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 77

untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaannya di lapangan, dan hasilnya dalam


mewujudkan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Khusus untuk peraturan di tingkat daerah, sampai Desember 2021, Peraturan Daerah
(Perda) tentang penyandang disabilitas sudah dibentuk di 109 dari 548 (19,8%) daerah di
Indonesia. Dari 109 daerah tersebut, 21 diantaranya adalah Provinsi (61,7%); 25 Kota
(26,8%); dan 63 Kabupaten (15,1%). Secara spesifik masih ada 13 Provinsi yang
kabupaten/kota di wilayahnya belum memiliki Perda tentang penyandang disabilitas.
Selain itu, baru satu Provinsi yang kabupaten/kotanya sudah 100% memiliki Perda
tentang penyandang disabilitas, yaitu D.I. Yogyakarta. Sedangkan, yang capaiannya lebih
dari 50% baru kabupaten/kota di Provinsi Bali dan Jawa Tengah, dan selebihnya masih di
bawah 50%.
Diterbitkannya Undang-Undang dan berbagai peraturan yang telah dikeluarkan
sejak tahun 2016 dan sebelum tahun 2016 menjadi acuan untuk mengevaluasi jalannya
Rencana Induk Penyandang Disabilitas khususnya pada aspek yuridis. Studi ini
menunjukkan bahwa sejauh ini capaian aspek yuridis RIPD terbagi menjadi 3 yakni sudah
tersedia (24%), perlu pembentukan baru (48%), dan perlu revisi atau penyempurnaan
(28%). Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus
dituntaskan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Temuan ini dapat
menjadi landasan awal untuk mengevaluasi pemenuhan aspek yuridis RIPD ke depannya.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
78 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

5.2 Rekomendasi Kebijakan


Berdasarkan kesimpulan yang telah dirumuskan, studi ini memberikan rekomendasi
kebijakan baik dari aspek praktis (mencakup sosio-ekonomi) maupun aspek yuridis.
Terkhusus untuk rekomendasi aspek yuridis yang lebih detail dapat dilihat pada Bab 4
dalam bahasan capaian RIPD. Rekomendasi kebijakan ini mengacu pada tujuh sasaran
strategis Rencana Induk Penyandang Disabiitas (RIPD) yang telah disusun pada tahun
2019.

Relevansi SDGs :
Sasaran 1 : Pendataan dan Perencanaan
Inklusif

• Mengoptimalkan peran data sekunder dalam perencanaan dan evaluasi RIPD


dan SDGs di daerah seperti data pilah Susenas yang telah dihasilkan BPS
khususnya terkait data disabilitas tahun 2018-2020.
• Melibatkan Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) dalam penyusunan
Rencana Aksi Nasional/Daerah Penyandang Disabilitas yang tersebar di berbagai
daerah. Pemerintah pusat dan daerah dapat mengadakan forum diskusi
tahunan dengan OPD dan menyediakan platform khusus untuk menampung
aspirasi dan juga berkomunikasi.
• Meningkatkan peran Kartu Penyandang Disabilitas (KPD) untuk pendataan dan
akses terhadap program-program pemerintah seperti, kemudahan dalam
mengakses transportasi umum dan layanan perbankan.
Pembentukan regulasi dan instrumen perencanaan serta penganggaran perlu
menggunakan istilah yang sama, dalam hal ini perlu konsisten dengan UU
8/2016, yaitu “Penyandang Disabilitas”.
Penyediaan data yang mengarah pada pemantauan dan penilaian implementasi
dari UU 8/2016 dan undang-undang terkait lainnya.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 79

Relevansi SDGs :
Sasaran 2 : Penyediaan Lingkungan
tanpa Hambatan

· Menyediakan infrastruktur layanan dasar digital yang ramah disabilitas,


termasuk infrastruktur digital yang dapat menyesuaikan dengan kebutuhan PD.
Sebagai contoh, kementerian dan lembaga dan pemerintah daerah dapat
menyediakan website yang ramah disabilitas dengan adanya konversi tulisan
menjadi suara. Selain itu, ATM yang ramah disabilitas perlu ditingkatkan dengan
melibatkan peran serta institusi perbankan dan regulasi yang jelas dari Otoritas
Jasa Keuangan.
· Mendorong riset-riset berbasis bukti dalam skala lokal yang dapat membantu
aksesibilitas PD terhadap fasilitas publik (terutama terkait layanan dasar). Riset
riset dapat dipimpin langsung oleh Kementerian Sosial dengan melibatkan
lembaga lain seperti BRIN dan perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi
yang mempunyai pusat kajian disabilitas. Dalam jangka pendek, riset-riset yang
perlu diprioritaskan adalah terkait pemetaan disabilitas menggunakan
metodologi khusus kajian disabilitas.

Relevansi SDGs :
Sasaran 3 : Perlindungan Hak dan Akses
Politik dan Keadilan

· Memasifkan peran serta disabilitas dalam pemilu dengan adanya mekanisme


khusus pencoblosan khusus PD misalnya door to door. Sekarang ini sudah ada
sistem tersebut, tetapi perlu ditingkatkan terutama di daerah daerah pelosok
dan pedesaaan.
· Setiap penyandang disabilitas mempunyai hak untuk tahu kondisi pemilihan
umum yang sedang berlangsung. Misalnya, ketika sedang adanya kampanye, PD
mendapatkan informasi yang sama dengan pemilih lainnya dengan cara
sosialisasi masif di forum-forum disabilitas dan organisasi penyandang
disabilitas.
Memastikan pelibatan penyandang disabilitas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang materi muatannya terkait dengan isu penyandang
disabilitas.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
80 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Memastikan proses pembentukan peraturan perundang-undangan aksesibel


bagi penyandang disabilitas.
Mendorong pengarusutamaan isu penyandang disabilitas dalam berbagai
undang-undang sektoral, sehingga perubahan perspektif terkait penyandang
disabilitas tidak hanya diatur dalam UU 8/2016 tetapi juga masuk dalam
undang-undang sektoral lainnya.
Mempercepat pembantukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Konsesi
dan Insentif.
Mendorong pembentukan Perda Penyandang Disabilitas di semua daerah di
Indonesia, hal tersebut dimaksudkan guna memastikan pelaksanaan
penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di
daerah.

Relevansi SDGs :
Sasaran 4 : Pemberdayaan
dan Kemandirian

· Mempermudah akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi penyandang disabilitas


· Menambah Unit Pelaksana Teknis Badan Rehabilitasi Sosial Penyandang
Disabilitas (BRSPD) berdasarkan kebutuhan daerah
· Memperkuat fungsi pendamping pembangunan di daerah untuk keluarga
dengan penyandang disabilitas
· Menyusun sasaran pengentasan kemiskinan khusus penyandang disabilitas di
daerah.

Relevansi SDGs :
Sasaran 5 : Perwujudan Ekonomi
Inklusif

· Mendorong akses layanan keuangan bagi penyandang disabilitas (ATM, buku


rekening, dll)
· Mewajibkan adanya layanan juru bahasa isyarat (JBI) untuk tiap publikasi atau
pidato kenegaraan.
· Meratakan akses teknologi informasi bagi penyandang disabilitas di daerah.
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 81

Perlu memperbanyak edukasi dan sosialisasi yang menjelaskan penggunaan


istilah “Penyandang Disabilitas” dalam peraturan perundang-undangan dan
dokumen perencanaan dan penganggaran.
Secara jangka panjang, perlu melakukan riset dan pendalaman mengenai istilah
yang tepat digunakan dan dapat disepakati bersama untuk menggantikan istilah
“Penyandang Cacat”.
Menyediakan la[pangan pekerjaan yang inklusif, termasuk membuat persyaratan
kerja yang tidak multi tafsir seperti syarat “sehat jasmani rohani” yang bisa
diinterpretasikan sebagai tidak boleh disabilitas

Relevansi SDGs :
Sasaran 6 : Pendidikan dan Keterampilan

· Memberikan kuota khusus dan mempermudah beasiswa bagi penyandang


disabilitas daerah
· Standarisasi sekolah inklusif percontohan minimal satu per kabupaten-kota
· Mendorong penyediaan layanan edutech ramah disabilitas
· Menyusun kurikulum dan menyediakan perangkat pembelajaran bagi PD di
sekolah umum

Relevansi SDGs :
Sasaran 7 : Akses dan Pemerataan
Layanan Kesehatan

· Meningkatkan kepemilikan asuransi atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)


bagi penyandang disabilitas
Memperbaiki pola konsumsi pangan pada keluarga penyandang disabilitas yang
menunjukkan konsumsi rokok yang masih tinggi. Desain bantuan pangan untuk
pemenuhan konsumsi yang lebih sehat perlu diperkuat agar tidak menimbulkan
masalah kesehatan lainnya.
· Memperluas komponen claim asuransi ke alat bantu yang dibutuhkan PD
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
82 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Lampiran 1. Peraturan Daerah Provinsi tentang Penyandang Disabilitas

No Peraturan Daerah No Peraturan Daerah


Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
1 7 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan 14 Nompr 4 Tahun 2019 tentang Perlindungan
Perlindungan Penyandang Disabilitas dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur
2 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan 15 Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perlindungan
Penyandang Disabilitas dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Barat
3 11 Tahun 2014 tentang Pemenuhan Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penghormatan,
Hak Disabilitas 16
Perlindungan, dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor
4 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas 17 Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan
dan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta Nomor
5 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Nomor 10 Tahun 2019 tentang Perlindungan
18
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat
6 Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
19
Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 18
7 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perlindungan
20
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau
8 Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5
dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Tahun 2013 tentang Perlindungan Terhadap
21
Penyandang Disabilitas
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan
9
dan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10


10 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah


11 Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka


Belitung Nomor 10 Tahun 2010 tentang
12
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pelayanan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat


13 Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perlindungan
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 83

Lampiran 2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Tentang Disabilitas

Provinsi Banten (2 dari 8 kabupaten/kota (25%))

Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan
1 11 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan 2 Nomor 18 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Perlindungan Penyandang Disabilitas

Provinsi DKI Jakarta (6 dari 6 kabupaten/kota (100%))


Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Penyandang Disabilitas
Provinsi Jawa Barat (8 dari 27 kabupaten/kota (29,6%))

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 15 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 16 Tahun
1 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan 5 2019 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor


Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 2 Tahun
5 Tahun 2020 tentang Penghormatan,
2 6 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan
Perlindungan, dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka


Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 20
Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan
3 7 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan
Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 10


Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta
Tahun 2018 tentang Penghormatan,
4 Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan 8
Pelindungan, dan Pemenuhan Hak
Perlindungan Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas

Provinsi Jawa Tengah (18 dari 35 kabupaten/kota (51,4%))

Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor


1 Nomor 27 Tahun 2017 tentang Penyandang 10 29 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan
Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten BanyumasNomor Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan


2 19 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan 11 Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perlindungan
Pelayanan bagi Penyandang Disabilitas dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga


Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor
3 12 Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemenuhan
06 Tahun 2019 tentang Penyandang Disabilitas
Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo


Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor
4 13 Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perlindungan
13 Tahun 2019 tentang Penyandang Disabilitas
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9
5 6 Tahun 2019 tentang Perlindungan 14 Tahun 2020 tentang Perlindungan dan
Penyandang Dsabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 1 Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo


6 Tahun 2020 tentang Perlindungan dan 15 Nomor18 Tahun 2017 tentang
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Penyandang Disabilitas
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
84 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 1 Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor
7 Tahun 2020 tentang Perlindungan 16 9 Tahun 2020 tentang Pelindungan dan
Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor
8 2 Tahun 2020 tentang Perlindungan dan 17 1 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 9


9 Nomor 12 Tahun 2018 tentang 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan dan
Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Provinsi Jawa Timur (9 dari 38 kabupaten/kota (23,6%))

Peraturan Daerah Kabupaten Magetan Nomor


Peraturan Daerah Kabupaten Bangkalan
5 Tahun 2021 tentang Penghormatan
1 Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perlindungan 6
Perlindungan dan Pemenuhan Hak
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 11


2 Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan 7 Tahun 2018 tentang Perlindungan
Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro Peraturan Daerah Kabupaten Situbondo Nomor


3 Nomor 2 Tahun 2021 Penyelenggaraan 8 3 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan
Hak-hak Penyandang Disabilitas Pemberdayaan Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Bondowoso


Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun
Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
4 9 2014 tentang Perlindungan dan
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak
Pemberdayaan Disabilitas
Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 7


5 Tahun 2016 Perlindungan dan Pemenuhan
Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (5 dari 5 kabupaten/kota (100%))

Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 1


Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor
Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan
4 11 Tahun 2015 Pemenuhan Hak-hak 4
Pelindungan dan Pemenuhan Hak Hak
Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 4


2 Nomor 9 Tahun 2016 Penyelenggaraan 5 Tahun 2019 tentang Pemajuan, Perlindungan
Perlindungan hak-hak Penyandang Disabilitas dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo


Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
3
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak
Penyandang Disabilitas
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 85

Provinsi Aceh (1 dari 23 kabupaten/kota (4%))


Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 4 Tahun 2021 Peneyelenggaraan Perlindungan dan Pemenuhan Hak
1
Penyandang Disabilitas
Provinsi Sumatra Utara (1 dari 33 kabupaten/kota (3%))
Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir Nomor 10 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
1
Hak Penyandang Disabilitas
Provinsi Sumatra Barat (3 dari 19 kabupaten/kota (15,7%))

Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 6 Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 3 Tahun
1 Tahun 2017 tentang Pemenuhan dan 3 2015 tentang Pemenuhan dan Perlindungan
Perlindungan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kota Bukittinggi Nomor


2
10 Tahun 2019 tentang Penyandang Disabilitas
Provinsi Sumatra Selatan (0%)
Tidak Ada
Provinsi Riau (2 dari 12 kabupaten/kota (16,6%)

Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor Peraturan Daerah Kota Dumai Nomor 1 Tahun
1 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan 2 2020 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Hak Penyadang Disabilitas

Provinsi Kepulauan Riau (1 dari 7 kabupaten/kota (14,2%)


Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Hak Penyandang
1
Disabilitas
Provinsi Bengkulu (0%)
Tidak Ada
Provinsi Bangka Belitung (2 dari 7 kabupaten/kota (28,5%)

Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat Nomor


Peraturan Daerah Kota Pangkal Pinang Nomor
14 Tahun 2012 tentang Peneyelenggaraan
1 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan 2
Perlindungan dan Pelayanan Kesejahteraan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Sosial Penyandang Disabilitas

Provinsi Lampung (2 dari 15 kabupaten/kota (13,3%)

Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Utara Peraturan Daerah Kota Metro Utara Nomor 13
1 Nomor 8 Tahun 2019 tentang Perlindungan 2 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Provinsi Lampung (2 dari 11 kabupaten/kota (27,2%)

Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung


Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 2 Tahun
Timur Nomor 5 Tahun 2016 tentang
1 2 2019 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Perlindungan dan Pelayanan Bagi
Bagi Lanjut Usia dan Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas

Provinsi Kalimantan Utara (0%)


Tidak Ada
Provinsi Kalimantan Selatan (3 dari 10 kabupaten/kota (30%)

Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Peraturan Daerah Kota Banjarbaru Nomor 1
1 Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perlindungan 3 Tahun 2020 tentang Perlindungan dan
dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
86 Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis

Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 9


2 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemnuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Provinsi Kalimantan Barat (6 dari 14 kabupaten/kota (42,8%))

Peraturan Daerah Kabupaten Kayong Utara Peraturan Daerah Kabupaten Sambas Nomor 4
1 Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perlindungan 4 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Landak Nomor Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 13
2 13 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan 5 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemberdayaan Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Melawi Nomor 8 Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor
3 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan 6 5 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Aksesibilitas Penyandang Disabilitas

Provinsi Bali (5 dari 9 kabupaten/kota (55,5%))

Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 9 Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem


1 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan 4 Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perlindungan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung


Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 8
Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
2 Tahun 2018 tentang Pemenuhan Hak 5
Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor


3 2 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Provinsi Nusa Tenggara Barat (3 dari 10 kabupaten/kota (30%))

Peraturan Daerah Kabupaten Dompu Nomor 1 Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 6
1 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan 3 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara


2 Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Provinsi Nusa Tenggara Timur (6 dari 22 kabupaten/kota (27,2%))

Peraturan Daerah Kabupaten Belu Nomor 7 Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Barat
1 Tahun 2020 tentang Penghormatan, T 4 Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan
Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah


Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur
Selatan Nomor 5 Tahun 2020 tentang
2 Nomor 5 Tahun 2017 tentang Kesetaraan dan 5
Penghormatan, Pelindungan dan Pemenuhan
Pemberdayaan Penyandang Disabilitas
Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Nomor Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 2 Tahun
3 6 Tahun 2015 tentang Kesetaraan dan 6 2019 tentang Perlindungan dan Pemenuhan
Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Hak Penyandang Disabilitas
Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup
Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis 87

Provinsi Sulawesi Barat (0%)


Tidak Ada
Provinsi Sulawesi Selatan (0%)
Tidak Ada
Provinsi Sulawesi Tengah (0%)
Tidak Ada
Provinsi Sulawesi Tenggara (0%)
Tidak Ada
Provinsi Sumatra Barat (3 dari 19 kabupaten/kota (15,7%))

Peraturan Daerah Kabupaten Bone Nomor 5 Peraturan Daerah Kabupaten Wajo Nomor 13
1 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan 4 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

2 Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6
Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perlindungan 5 Tahun 2013 tentang Pemenuhan
dan Pelayanan Penyandang Disabilitas Hak Penyandang Disabilitas

Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Peraturan Daerah Kabupaten Soppeng Nomor


3 Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan 6 2 Tahun 2020 tentang Perlindungan
Pelayanan Penyandang Disabilitas Penyandang Disabilitas

Provinsi Gorontalo (0%)


Tidak Ada
Provinsi Maluku (0%)
Tidak Ada
Provinsi Maluku Utara (0%)
Tidak Ada
Provinsi Papua Barat (1 dari 13 kabupaten/kota (7,6%))
Peraturan Daerah Kota Sorong Nomor 11 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan
1
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Provinsi Papua (0%)
Tidak Ada
GLOSARIUM
ASN : Aparatur Sipil Negara
ATM : Anjungan Tunai Mandiri
Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BNPB : Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPS : Badan Pusat Statistik
BRIN : Badan Riset dan Inovasi Nasional
BRSPD : Balai Rehabilitas Sosial Penyandang Disabilitas
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
DPT : Da ar Pemilih Tetap
HWDI : Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
JBI : Juru Bahasa Isyarat
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
KPD : Kartu Penyandang Disabilitas
KPPS : Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
KPPSLN : Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri
KPU : Komisi Pemilihan Umum
KUHP : Kitab Undang - Undang Hukum Pidana
KUR : Kredit Usaha Rakyat
KY : Komisi Yudisial
LKS : Lembaga Kesejahteraan Sosial
PMD : Penyandang Multi-Disabilitas
Non-PD : Non-Penyandang Disabilitas
OOP : Out-of-Pocket
OPD : Organisasi Penyandang Disabilitas
PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa
PD : Penyandang Disabilitas
Perda : Peraturan Daerah
Permen : Peraturan Mentri
Permenkumham : Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Permensos : Peraturan Menteri Sosial
Perpres : Peraturan Presiden
PKPU : Peraturan Komisi Pemilihan Umum
PMD : Penyandang Multi-Disabilitas (lebih dari satu jenis disabilitas)
PP : Peraturan Pemerintah
PPK : Panitia Pemilihan Kecamatan
PPLN : Panitia Pemilihan Luar Negeri
PPS : Panitia Pemungutan Suara
PT : Perguruan Tinggi
RAD PD : Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas
RANHAM : Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
RIPD : Rancangan Induk Penyandang Disabilitas
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Panjang
RPP : Rancangan Peraturan Pemerintah
RUU : Rancangan Undang-Undang
SDGs / TPB :11
Sustainable Development Goals / Tujuan Pembangunan
s 1 Berkelanjutan
SE : Surat Edaran
Sidiknas : Sistem Pendidikan Nasional
SK : Surat Keputusan
SK KMA / Perma : Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
SKN : Sistem Keolahragaan Nasional
Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional
TPS : Tempat Pemungutan Suara
TPSLN : Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri
TTD : Tertanda
ULD : Unit Layanan Disabiltas
UNCRPD : The UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities
USAID : United States Agency for International Development
UU : Undang-undang
Yankomas : Pelayanan Komunikasi Masyarakat Kementerian Hukum dan
Kemenkumham HAM
Copyright © Staf Ahli Menteri Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan,
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2021
Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat 10310
Telp. - (021) 3193 6207, Fax - (021) 3145 374

Anda mungkin juga menyukai