DISUSUN OLEH :
YETTI INDRIANI M
2022207209063
FAKULTAS KESEHATAN
2022
TINJAUAN PUSTAKA
Artritis Reumatoid
Mk : Nyeri Gangguan
Mk : Kelemahan fisik
akut mekanis &
Hambatan Perikarditis,
fungsional pd
mobilitas fisik miokarditis
sendi
dan radang
Mk : Defisit
Gambaran khas katup jantung
Perawatan diri
nodul subkutan Perubahan bentuk tubuh
pada tl. dan sendi
Mk : Risiko
Mk : cedera Kegagalan fungsi
Ansietas Mk : Gangguan jantung
Konsep Diri, Citra
Diri
F. Manifestasi
Peradangan Sendi Akibat Reaksi Imun pada Rheumatoid Arthritis Inflamasi kronis
yang terjadi akibat RA ini akan menyebabkan berbagai macam manifestasi. Dua
macam manifestasi yang paling banyak terjadi adalah kerusakan tulang rawan dan erosi
tulang.
a. Kerusakan Tulang Rawan
Pada penderita RA, terjadi kehilangan efek protektif dari sinovium (cairan sendi)
seperti menurunya ekspresi dari lubricin, mengubah karakter dari permukaan
protein binding pada kartilago, meningkatkan adhesi dan invasi FLS (Fibroblast-
Like Sinoviocyte). FLS akan mensintesis MMP (Matrix Metaloproteinase)
sehingga meningkatkan perombakan dari kolagen. Selain itu, enzim matriks lain
seperti ADAMTS akan mengurangi integritas dari kartilago. Berbagai macam
sitokin pada cairan sendi juga akan meningkatkan perombakan tulang rawan pada
persendian. Hal ini menyebabkan radiografi pada penderita RA menunjukan
adanya penyempitan jarak antar persendian (Mclnnes, 2011).
b. Erosi Tulang
Erosi pada tulang terjadi pada 80% penderita setelah 1 tahun terdiagnosa RA dan
berhubungan dengan inflamasi yang berkepanjangan dan progresif. Berbagai
macam sel imun seperti makrofag akan menyebabkan perubahan osteoklas dan
invasi pada permukaan periosteal. TNF alfa dan IL-6, IL-17, dan IL-1 akan
meningkatkan deferensiasi dari osteoclast dan aktivasinya. Osteoclast akan
menyebabkan reaksi enzimatik asam yang akn menghancurkan jaringan bermineral
termasuk tulang rawan dan tulang (Mclnnes, 2011).
(Bos
e, 2012).
Pada sel, beberapa protein struktural menjalani 'citrullination' di bawah
arahan enzim seluler. Residu arginin menjalani deimination untuk membentuk
asam amino non-standar citrulline. Peptida citrullinated lebih cocok ke dalam
HLA-DR4 molekul yang sangat terkait dengan perkembangan rheumatoid
arthritis, keparahan dan prognosis. Hal ini juga diketahui bahwa banyak jenis
peptida citrullinated hadir dalam tubuh, baik di dalam maupun di luar sendi.
Pada akhir 1990-an, antibodi terhadap peptida citrullinated yang 'ditemukan'.
Sera dari pasien dengan rheumatoid arthritis mengandung antibodi yang
bereaksi terhadap peptida citrullinated. Peptida buatan digunakan dalam tes
antibodi terhadap CCP (tes anti-CCP). Serum pasien dicampur dengan ini
peptida dan jika mengandung antibodi anti-CCP mereka akan mengikat
bersama-sama. Pengikatan ini dapat dideteksi oleh immunosorbent assay
enzim-linked (Langguth, 2006).
2) Anti MCV (Mutated Citrunilated Vimentin)
Anti MCV adalah suatu isoform antigenik baru dari vimentin yang
ditemukan pada pasien rheumatoid arthritis. Dan termasuk dalam golongan
ACPA. Marker alami anti-MCV merupakan pengembangan lebih lanjut dari
anti-CCP. Anti MCV menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dibanding
anti-CCP mauapun RF untuk diagnosis dini rheumatoid arthritis. vimentin
citrullinated identik dengan sebelumnya dikenal antigen Sa, yang merupakan
singkatan dari Savoie, nama pasien di antaranya respon autoantibody pertama
kali diidentifikasi. Antibodi anti-Sa memberikan spesifisitas yang tinggi>
98%, tetapi sensitivitas terbatas 22% sampai 40% untuk pasien dengan alat tes
komersial untuk mendeteksi antibodi anti-SA, studi yang dilakukan sejauh ini
menunjukkan kemungkinan nilai prognostik untuk klinis yang parah pada
rheumatoid arthritis. Selain itu, antibodi anti-Sa memiliki Nilai prediktif tinggi
sekitar 84% sampai 99% untuk rheumatoid arthritis dan yang terkait erat
dengan manifestasi extraartikular dan keterlibatan sendi yang parah. Penelitian
terbaru telah menunjukkan bahwa kedua citrullination dan mutasi dapat
mempengaruhi antigenitas vimentin. ELISA berdasarkan mutation
citrullinated vimentin (MCV) telah tersedia secara komersial untuk diagnosis
rheumatoid arthritis untuk beberapa waktu dan memiliki sekitar kepekaan
diagnostik yang sama dan spesifisitas sebagai antibodi anti-CCP (Egerer ,
2009)
3. X-RAY
X-ray sendi mungkin normal atau hanya menunjukkan pembengkakan
jaringan lunak pada awal penyakit. Sebagai penyakit berlangsung, X-ray dapat
memperlihatkan erosi tulang khas rheumatoid arthritis pada sendi. Sendi X-ray
dapat membantu dalam memantau perkembangan penyakit dan kerusakan sendi
dari waktu ke waktu. Scanning tulang, prosedurnya menggunakan sedikit zat
radioaktif, juga dapat digunakan untuk menunjukkan sendi yang meradang.
Pemindaian MRI juga dapat digunakan untuk menunjukkan kerusakan sendi
(Stoppler, 2013).
American College of Rheumatology telah mengembangkan sistem untuk
mengklasifikasikan rheumatoid arthritis yang terutama didasarkan pada
penampilan X-ray dari sendi. Sistem ini membantu para profesional medis
menggolongkan keparahan rheumatoid arthritis sehubungan dengan tulang rawan,
ligamen, dan tulang.
Tahap I
Tidak ada kerusakan terlihat pada X-ray, meskipun mungkin ada tanda-tanda
penipisan tulang
Tahap II
1. Pada X-ray terlihat bukti penipisan tulang di sekitar sendi dengan atau
tanpa/sedikit kerusakan tulang
2. Kemungkinan adanya sedikit kerusakan tulang rawan
3. Mobilitas sendi mungkin terbatas, tidak ada kelainan bentuk sendi
4. Atropi pada otot yang berdampingan
5. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak disekitar sendi
Tahap III
1. Pada X-ray, terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan penipisan
tulang di sekitar sendi
2. Deformitas sendi tanpa pengkakuan permanen atau fiksasi sendi
3. Atrofi otot yang ekstensif
4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak di sekitar sendi
Tahap IV
1. Pada X-ray terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan osteoporosis
di sekitar sendi
2. Deformitas sendi dengan fiksasi permanen sendi (disebut sebagai ankilosis)
3. Atrofi otot yang ekstensif
4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak sekitar sendi (Stoppler, 2013).
Reumatologis juga mengklasifikasikan status fungsional penderita RA sebagai
berikut:
Kelas I :benar-benar mampu melakukan aktivitas seperti biasa sehari-hari
Kelas II :mampu melakukan kegiatan perawatan diri dan pekerjaan biasa
tapi terbatas dalam kegiatan diluar pekerjaan (seperti berolahraga,
pekerjaan rumah tangga)
Kelas III :mampu melakukan aktivitas perawatan diri biasa tapi terbatas
dalam pekerjaan dan kegiatan lainnya
Kelas IV :terbatas dalam kemampuan untuk melakukan perawatan diri biasa,
pekerjaan, dan kegiatan lainnya (Stoppler, 2013).
4. Laju Endap Darah (Erythrocyte Sedimentation Rate)
Laju endap darah adalah uji yang umumnya digunakan untuk penilaian
aktivitas penyakit. Tes ini untuk memastikan keparahan inflamasi dan digunakan
untuk memonitor pekembangan pengobatan RA (McNeil, 2005).
Laju endap darah mengukur seberapa cepat eritrosit mengendap pada test
tube. Protein tertentu akan ada pada inflamasi yang melekat pada eritrosit, yang
menyebabkan mereka terikat bersama dan lebih cepat jatuh ke bawah test tube.
Kecepatan jatuh ESR diukur dalam jam (McNeil, 2005).
Pada RA laju endap darah biasanya meningkat, merefleksikan inflamasi dari
penyakit. RA merupakan penyakit yang tidak hanya pada sendi, namun seluruh
tubuh. Dan pasien yang mempunyai RA memiliki inflamasi sistemik yang merata
pada seluruh tubuh, dan ditunjukkan pada laju endap eritrosit (Ruderman, 2008).
Salah satu metode yang digunakan untuk pemeriksaan laju endap darah adalah
metode westergren.
a. Metode Westergren
Keseluruhan serum di anti koagulasi dengan sodium sitrat dan didiamkan.
Setelah 1 jam, jarak dalam milimeter antara bagian atas tube dan sedimen
eritrosit yang terukur. Nilai normal tidak disesuaikan dengan umur dan gender
pada beberapa laboratorium, padahal karakteristik ini mempengaruhi laju endap
darah. Laju endap darah umumnya meningkat bersamaan dengan usia dan agak
meningkat pada wanita. Batasan tinggi normal pada pria adalah sama dengan
usia dibagi 2, sedangkan pada wanita, ditambah usia ditambah 10 dan dibagi 2
(Klipple, 2008).
Laju endap darah dapat diguNakan untuk mengidentifikasi seberapa
keparahan yang diderita pasien awal dalam menentukan artritis mereka, dan
juga digunakan untuk memonitor terapi. Pasien yang pengobatannya tepat dan
perkembangan penyakit yang membaik, akan menunjukan laju endap eritrosit
yang menurun dan dapat menunjukan respon dari pengobatan (Ruderman,
2008).
b. C-Reactive Protein (CRP)
Selama proses inflamasi, protein abnormal spesifik yang disebut C-
reactive protein (CRP) muncul dalam darah pada respon inflamasi sitokin
seperti IL-6. Protein ini hampir tidak ada pada serum darah orang sehat. Level
CRP dapat meningkat dramatis (100 kali atau lebih) setelah trauma parah,
infeksi bakteri, inflamasi, bedah, atau proliferasi neoplastik. Pengukuran CRP
sudah banyak digunakan dalam aktivitas penilaian dari penyakit inflamasi,
untuk mendeteksi infeksi setelah bedah, untuk mendeteksi penolakan
transplantasi, dan memonitor progres inflamasi (Fishbach, 2009).
Level serum CRP berubah dengan cepat dibandingkan laju endap darah;
dengan stimulus yang adekuat, CRP dapat meningkat dalam waktu 4 sampai 6
jam dan normal dalam 1 minggu. CRP sering diukur secara simultan dengan
laju endap darah sebagai pengukuran inflamasi yang umum (McNeil, 2005).
c. Metode Nephelometri
Nephelometri menggunakan antibodi untuk berikatan dengan target
protein dan mengukur penyebaran cahaya oleh antigen-antibodi kompleks.
ELISA menggunakan coated plate untuk membentuk ikatan kompleks antibodi-
antigen. Ikatan kompleks ini dideteksi oleh tambahan antibodi kedua yang
dilabeli dengan enzin, kemudian dicampurkan dengan substrat, menghasilkan
warna yang dapat diukur dengan spektrofotometri. Karena CRP adalah serum
protein stabil dan pengukurannya tidak mempengaruhi komponen serum yang
lain, maka cenderung kurang tidak tetap dibandingkan laju endap darah. CRP
dipengaruhi oleh usia dan gender. Umumnya, level <0,2 mg/dL dinilai normal
dan level >1 mg/dL dianggap konsisten dengan inflamasi (McNeil, 2005).
5. Artroskopi Langsung
Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/ degenerasi tulang pada sendi
6. Aspirasi cairan sinovial
Mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari normal: buram, berkabut,
munculnya warna kuning ( respon inflamasi, produk-produk pembuangan
degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan komplemen ( C3
dan C4 ).
7. Biopsi membran sinovial
Menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.
8. Pemeriksaan cairan sendi melalui biopsi, FNA (Fine Needle Aspiration) atau
atroskopi; cairan sendi terlihat keruh karena mengandung banyak leukosit dan
kurang kental dibanding cairan sendi yang normal.
J. Diagnosis Rhematoid Arthritis
Pendekatan perawatan pasien dengan RA dapat digolongkan menjadi 2 grup :
1. RA dini (early RA/ERA) didefinisikan sebagai pasien dengan gejala yang terjadi
kurang dari 3 bulan
2. Pasien dengan penyakit tetap yang mempunyai gejala yang timbul karena inflamasi
dan /atau karena kerusakan sendi.
Membedakan Arthritis Dengan Inflamasi Dari Arthritis Tanpa Inflamasi
Ciri-ciri Dengan Inflamasi Tanpa Inflamasi
Nyeri sendi Dengan aktivitas dan pada Dengan aktivitas
saat istirahat
Pembengkakan sendi Jaringan lunak Pada banyak tulang
Erythema local Kadang-kadang Tidak ada
Panas Lokal Berkali-kali Tidak ada
Kekakuan pagi hari > 30 menit < 30 menit
Gejala sistematik Umum, khususnya keletihan Tidak ada
(Aleteha, et al, 2010).
Membedakan RA Dari Arthritis Dengan Inflamasi Lainnya
Kemungkinan RA Diagnosis pembeda Anjuran ciri-ciri
Diagnosis alternatif
Kekakuan pada Kristal arthropathy Mucosal ulcer,
pagi hari > 30 fotosensitif,
menit psoriasis, ruam
pada kulit
Raynaud’s
A. Pengkajian
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala :
a. Sendi karena gerakan,
b. Nyeri tekan, memburuk dengan stress pada sendi : Kekakuan pada pagi hari.
c. Keletihan
Tanda :
a. Malaise
b. Keterbatasan rentang gerak ; atrofi otot, kulit : kontraktur atau kelainan pada
sendi dan otot
2. Kardiovaskuler
Gejala :
a. Jantung cepat
b. Tekanan darah menurun
3. Integritas Ego
Gejala :
a. Faktor-faktor stress akut atau kronis, misalnya finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, factor-faktor hubungan
b. Keputusasaan dan ketidak berdayaan
c. Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi misalnya ketergantungan
pada orang lain
4. Makanan Atau Cairan
Gejala :
Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan adekuat :
mual.
5. Anoreksia
Gejala :Kesulitan untuk mengunyah
Tanda : Penurunan berat badan , Kekeringan pada membran mukosa
6. Hygiene
Gejala :
Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas pribadi, ketergantungan pada orang
lain.
7. Neurosensori
Gejala :
a. Kebas/kesemutan pada tangan dan kaki
b. Hilangnya sensasi pada jari tangan
Tanda :
Pembengkakan sendi
8. Nyeri / Kenyamanan
Gejala :
a. Fase akut dari nyeri
b. Terasa nyeri kronis dan kekakuan
9. Keamanan
Gejala:
a. Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga
b. Kekeringan pada mata dan membran mukosa
10. Interaksi Sosial
Gejala:
a. Kerusakan interaksi dan keluarga / orang lain
b. Perubahan peran: isolasi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungkan dengan : agen pencedera; distensi jaringan oleh akumulasi
cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh pada tulang dan
sendi
4. Risiko cedera berhubungan dengan kelemahan fisik
5. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi Keperawatan (NIC)
1. Nyeri akut berhubungkan dengan NOC : NIC :
: agen pencedera; distensi - Pain Level, Pain Management
jaringan oleh akumulasi cairan/ - Pain control, - Lakukan pengkajian nyeri secara
proses inflamasi, destruksi sendi. - Comfort level komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
Kriteria Hasil : presipitasi
- Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab - Observasi reaksi nonverbal dari
nyeri, mampu menggunakan tehnik ketidaknyamanan
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, - Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mencari bantuan) mengetahui pengalaman nyeri klien
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan - Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
menggunakan manajemen nyeri - Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
- Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, - Evaluasi bersama klien dan tim kesehatan lain
frekuensi dan tanda nyeri) tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa
- Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri lampau
berkurang - Bantu klien dan keluarga untuk mencari dan
- Tanda vital dalam rentang normal menemukan dukungan
- Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
- Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi
- Ajarkan tentang teknik non farmakologi
- Evaluasi keefektifan kontrol nyer
- Tingkatkan istirahat Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil
- Monitor penerimaan klien tentang manajemen
nyeri
Analgesic Administration
- Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum pemberian obat
- Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
- Cek riwayat alerg
- Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika pemberian
lebih dari satu
- Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
- Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
- Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
- Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
- Berikan analgesik tepat waktu terutama saat
nyeri hebat
- Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala
2. Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :
berhubungan dengan deformitas - Joint Movement : Active Exercise therapy : ambulation
skeletal - Mobility Level - Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan
- Self care : ADLs dan lihat respon klien saat latihan
- Transfer performance - Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
Kriteria Hasil : - Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
- Klien meningkat dalam aktivitas fisik berjalan dan cegah terhadap cedera
- Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas - Ajarkan klien atau tenaga kesehatan lain
- Memverbalisasikan perasaan dalam tentang teknik ambulasi
meningkatkan kekuatan dan kemampuan - Kaji kemampuan klien dalam mobilisas
berpindah - Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan
- Memperagakan penggunaan alat Bantu ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
untuk mobilisasi (walker) - Dampingi dan Bantu klien saat mobilisasi dan
bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
- Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
- Ajarkan klien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan
Aleteha, D., Neogi T., Silman, A.J., et al., 2010, Rheumathoid Arthritis Classification Criteria :
An American College Of Rheumathology/European League Against Rheumatism
Collaborative Initiative. Arthritis Rheum., 2010; 62(9): 2569-2581.
Blumental, 2012, Rheumatoid Arthritis And The Incidence Of Influenza And Influenza-Related
Complications: A Retrospective Cohort Study BMC Musculoskeletal Disorders 2012,
13:158, 2-10.
Egerer, K., 2009, The Serological Diagnosis of Rheumatoid Arthritis, Deutsches Ärzteblatt
International, Germani.
Eustice, C., 2007, Everything Health Guide To Arthritis, Adam Media, Avon, pp. 53.
Fischbach, F., dan Dunning, M.B., 2009, A Manual of Laboratory and Diagnosic Test, 8th
Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp. 634.
Gcelu, A., and Kalla, A.A., 2011, Current Diagnosis And Treatment Strategies In Rheumatoid
Arthritis, CME, August 2011, Vol.29, No.8.
Klareskog, 2006, A New Model for an Etiology of Rheumatoid Arthritis Smoking May Trigger
HLA–DR (Shared Epitope)–Restricted Immune Reactions to Autoantigens Modified by
Citrullinationm, American College of Rheumatology, vol 54 no 1 pp : 38-46.
Klipple, J.H., Crofford, L.J., dan Stone, J.H., 2008, Primer On The Rheumatic Disease,
Springer, London, pp.15-16.
Lynda, Jual. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. alih bahasa Monica Ester,
Skp.EGC : Jakarta
Marc, 2009, Hypersensitivity Reactions and Methods of Detection, Neuroscience, vol 372,
pp.1-4.
Mclnnes, 2011, The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis, N Engl j med, vol 365, pp : 2205-
2219.
McNeil, M.E.A., 2005, The First Year: Rheumatoid Arthritis, Da Capo Press, Cambridge, pp.
58.
Ming Dai, 2003, Prevalence of Rheumatic Symptoms, Rheumatoid Arthritis, Ankylosing
Spondylitis, and Gout in Shanghai, China: A COPCORD Study, The Journal of
Rheumatology, 2245-2251.
Nerl, 2012, Accutex Rheumatoid Factor (RF) Latwx Test, Nerl Diagnostics LLC, Washington
DC.
Mustaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Editor, Eko Karioni. Jakarta : EGC
Prapti Utami dan Tim Lentera. (2003). Tanaman Obat untuk Mengatasi Rematik dan Asam
Urat. Jakarta: Agro Media Pustaka.
Ruderman, E., 2008, What is Erythrocyte Sedimentation Rate (Sed Rate) And How Is It Used
To Diagnose Rheumatoid Arthritis ?, http://abcnews.go.com/Health/PainArthritis, diakses
pada tanggal 17 April 2013.
Singh, J.A., et al, 2012, 2012 Update of the 2008 American College of Rheumatology
Recommendations for the Use of Disease-Modifying Antirheumatic Drugs and Biologic
Agents in the Treatment of Rheumatoid Arthritis, Arthritis Care & Research, Vol. 64,
No. 5, May 2012, pp 625–639.
Sjaifoellah Noer. (1996). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: FKUI.
Swannalai , P.,2011, The Fine Specificity of IgM Anti-citrullinated Protein Antibodies (ACPA)
is Different From That Of IgG ACPA, Biomed Central, Netherland.
Ursum, 2010, Different Properties Of ACPA and Igm-RF Derived From A Large Dataset:
Further Evidence Of Two Distinct Autoantibody Systems, Rhinitis Research and
Therapy, 11, no3, pp: 1-6.
Jhonson R. dan Leny R (2010). Keperawatan Keluarga Plus Contoh Askep Keluarga.
Yogyakarta : Nuha Medika
.
Wahyudi Nugroho. (2000). Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.