Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN

RHEMATOID ARTHRITIS (RA)

DISUSUN OLEH :

YETTI INDRIANI M

2022207209063

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU

2022
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Rhematoid Arthritis


Rheumatoid arthritis adalah suatu keadaan kronis dan biasanya merupakan
kelainan inflamasi progresif dengan etiologi yang belum diketahui yang dikarakterisasi
dengan sendi simetrik poliartikular dan manifestasi sistemik (Sukandar, 2009).
Rheumatoid arthritis juga didefinisikan sebagai inflamasi kronis yang umum
disebabkan oleh kelainan autoimun dengan etiologi yang belum diketahui. Inflamasi
pada RA akan mengakibatkan penghancuran pada kartilago dan tulang persendian.
Kejadian inflamasi ini melibatkan bagian-bagian sendi terutama membran sinovial
(membran yang membungkus sendi berisi cairan sinovial). Kesehatan penderita RA
akan menurun dikarenakan rasa nyeri, kelelahan, ketidakmampuan fungsional tubuh,
serta ekonomi pasien yang dapat melemah akibat perkembangan penyakit yang
progresif (Gibofsky, 2012).
Rheumatoid Arthritis kerap dikaitkan dengan kelainan hipersensitivitas tipe III.
Hal ini dikarenakan dalam pemeriksaanya kerap ditemukan adanya kompleks
imunoglobulin G yang berada pada cairan sendi yang menyebabkan terjadinya
inflamasi. Selain itu, RA merupakan kelainan sistem imun yang merupakan autoimun
disease. Hal ini dikarenakan pada dasarnya terjadi kelainan pada sel-sel limfosit yang
mengakibatkan teraktivasinya jalur-jalur imun dan protein-protein imun sehingga
terjadi reaksi inflamasi.

B. Etiologi Rhematoid Arthritis


Penyebab dari Reumatik hingga saat ini masih belum terungkap, namun beberapa
faktor resiko untuk timbulnya Reumatik antara lain adalah :
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya rheumatoid arthritis, faktor ketuaan
adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya orteoartritis semakin meningkat
dengan bertambahnya umur. Rheumatoid arthritis hampir tak pernah pada anak-
anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.
2. Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena rheumatoid arthritis lutut dan sendi , dan lelaki lebih
sering terkena rheumatoid arthritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara
keeluruhan dibawah 45 tahun frekuensi rheumatoid arthritis kurang lebih sama
pada laki dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi rheumatoid arthritis lebih
banyak pada wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal
pada patogenesis rheumatoid arthritis.
3. Genetic
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya rheumatoid arthritis missal, pada ibu
dari seorang wanita dengan rheumatoid arthritis pada sendi-sendi inter falang distal
terdapat dua kali lebih sering rheumatoid arthritis pada sendi-sendi tersebut, dan
anakanaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibu
dananak perempuan dari wanita tanpa rheumatoid arthritis.
4. Suku
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada rheumatoid arthritis nampaknya terdapat
perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya rheumatoid arthritis
paha lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia.
5. Kegemukan
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk
timbulnya rheumatoid arthritis baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan
ternyata tak hanya berkaitan dengan rheumatoid arthritis pada sendi yang
menanggung beban, tapi juga dengan rheumatoid arthritis sendi lain (tangan atau
sternoklavikula).

C. Tanda dan Gejala Rhematoid Arthritis


Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat
peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika
jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan
atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun.
Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat
ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali (AHRQ, 2008).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi,
kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot
dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi
klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta
beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi
merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (AHRQ, 2008).
Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu,
takikardi, berat badan menurun, anemia. Pola karakteristik dari persendian yang terkena
adalah : mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif
mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang
serviks, dan temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris.
Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih
dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki adalah hal yang umum (AHRQ, 2008).

D. Patofisiologi Rhematoid Arthritis


Rheumatoid arthritis (RA) merupakan perubahan konformasi pada sendi akibat
adanya inflamasi kronis pada persendian tersebut. Inflamasi ini disebabkan karena
adanya kelainan pada sistem imun. RA kerap dihubungkan dengan adanya
hipersensitivitas tipe III dan adanya kelainan autoimun yang memicu teraktivasinya
sistem imun secara berlebihan.
1. Patofisiologi Hipersensitivitas tipe III
Secara umum, hipersensitivitas tipe III adalah kelainan sistem imun yang
disebabkan adanya kompleks antibodi (imunoglobulin) yang kemudian menjadi
suatu antigen yang mengaktivasi jalur komplemen. Karena kompleks antibodi
ini mengaktivasi jalur komplemen klasik, maka akan terjadi sekresi protein-
protein imun dan sel-sel imun yang kemudian dapat memicu reaksi inflamasi
sehingga dapat melukai sel ataupun bagian dimana kompleks imun tersebut
terbentuk seperti persendian dan glomerulus nefron.
Berbeda dengan hipersensitivitas tipe II, kompleks imun yang terbentuk
disebabkan oleh antigen yang terlarut dalam cairan (plasma, sinovial, dan cairan
tubuh lain) sehingga tidak terjadi kompleks dengan sel tubuh. Hipersensitivitas
tipe III ini dipicu oleh berbagai sebab seperti kelainan autoimun, toxin bakteri,
maupun antigen yang terpapar dari luar seperti spora jamur (Marc, 2009).
Proses yang terjadi adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Pembentukan kompleks imun (Immunopaedia.org, 2010)
Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus
yang dapat memicu pembentukan kompleks dari imunoglobulin tertentu.
Beberapa antigen yang dapat memicu kompleks antibodi adalah antigen dari
dalam diri (autoimun) seperti vimetin, fibrin, dll, kemudian dikatakan adanya
infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya alergen seperti spoa dari aspergilus
yang menyebabkan terjadinya kompleks antibodi ada paru-paru. Kompleks
antibodi kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat (Marc, 2009).

Gambar 2. Aktivasi jalur komplemen klasik (Immunopaedia.org, 2010)


Adanya timbunan kompleks imun pada jaringan ini menyebabkan
teraktivasinya protein komplemen tipe 1 (C1) yang kemudian memicu
teraktivasinya komplemen jalur klasik. Protein C1 akan menempel pada Fc di
kompleks imun tersebut. Protein C1 (terdiri dari C1 q,r,s) akan membelah
protein C4 menjadi C4a dan C4b dimana C4b akan menempel pada kompleks
imun sebagai anafilotoksin yang memacu inflamasi. Selain itu, protein C1
akan membelah protein C2 menjadi protein C2a dan C2b dimana protein C2b
akan menempel pada C4b membentuk C3 konvertase yang mengubah C3
menjadi C3a dan C3b. C3b memiliki 2 peran yang pertama bergabung dengan
C3 konvertase membentuk C5 konvertase dan yang kedua menempel pada
permukaan kompleks imun dan berperan sebagai opsonin bagi fagosit. C5
konvertase akan membelah C5 menjadi C5a sebagai opsonin dan C5b sebagai
MAC (membrane attack complex) bersama dengan protein komplemen lain
(C7, C8, dan C9).

Gambar 3.Inflamasi pada sel target (Immunopaedia.org, 2010)


Pada akhirnya, akan terjadi migrasi sel-sel imun seperti netrofil,
basofil, dan eosinofil yang juga melepaskan mediator-mediator inflamasi dan
menyebabkan peradangan sendi.
2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Terkait Hipersensitivitas Tipe III
Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang dapat terjadi karena
penyebab internal berupa genetik maupun eksternal berupa antigen-antigen
khusus (toksin bakteri dan rokok). Dari segi genetik, seseorang akan mengalami
peningkatan prosentase menderita RA apabila pada DNA nya terdapat gen
HLA-DRB1 yang diekspresikan. Pengekspresian gen ini akan menyebabkan
perubahan epitope pada sel limfosti yang nantinya akan berikatan dengan MHC
dan menghasilkan antibodi IgG yang berbeda pada orang normal. Antibodi ini
disebut dengan ACPA (Anti Citrunillated Protein Antigen). ACPA akan
berikatan dengan protein-protein tersitrunilasi dan menyebabkan pembentukan
kompleks imun pada sendi yang disebut Rheumatoid Factor (RF) (Mclnnes,
2011).
Selain adanya gen HLA-DRB1 yang diekspresikan, beberapa faktor
eksternal juga mempengaruhi terjadinya RA. Salah satu agen yang paling
banyak menyebabkan RA adalah rokok. Rokok dapat memicu terjadinya
sitrunilasi pada protein-protein yang berada dalam jaringan ikat seperti vimetin.
Vimetin merupakan protein yang terdapat banyak pada sel-sel jaringan ikat
terutama persendian. Pada penderita RA, vimetin tersitrunilasi merupakan
antigen utama pemicu kelainan ini. Selain itu, beberapa sekret bakteri dapat
menyebabkan terjadinya sitrunilasi tersebut (Klareskog, 2006). Apabila terdapat
sitrunilasi protein maka akan terbentuk antigen tersitrunilasi dan ACPA akan
berikatan dengan antigen tersebut sehingga terjadilah kompleks imun (RF).
Dalam diagnosisnya, ACPA positif belum tentu menunjukkan adanya RF. Hal
ini dikarenakan walaupun terdapat ACPA, namun belum tentu seorang penderita
terpapar dengan antigen tersitrunilasi sehingga belum tentu terbentuk kompleks
imun (Scott, 2010). Selain itu, walaupun tidak diekspresikanya gen HLA-
DRB1, dengan adanya antigen RA (protein tersitrunilasi), aktivasi sel-sel imun
pada cairan sinovial akan terjadi sehingga menyebabkan terbentuknya IgG yang
berlebihan dan membentuk kompleks (Ursum, 2009).
3. Peradangan Sendi Akibat Reaksi Imun pada Rheumatoid Arthritis
Pada penderita RA, dalam cairan sinovialnya terdapat banyak sel
myeloid dan sel dendrit yang melimpah. Sel-sel ini akan terkatifasi dengan
adanya antigen berupa protein tersitrunilasi. Sel T helper terutama Th 1 dan
Th17 yang teraktivasi akan menghasilkan berbagai mediator-mediator inflamasi
seperti IL-17, IL-17F, IL-22, dan TNF alfa sedangkan sel dendrit dan myeloid
akan menghasilkan IL-1beta, IL-6, IL-21, dan, TGF-beta. Protein-protein
inflamasi ini akan menyebabkan deferensiasi IL-17 meningkat dan menurunkan
deferensiasi sel T regulatory (sel T yang dapat menekan sistem imun). Pada
penderita RA, ditemukan dalam cairan sinovialnya sel T regulatory yang
memiliki penurunan fungsi, sehingga tidak ada proses supresi dari mediator-
mediator inflamasi. Hal ini mengakibatkan adanya inflamasi pada daerah
persendian. Sel B (CD20) yang membantu Sel T pada membran sinovial juga
akan membentuk sel B plasma yang akan mensekresikan IgG. Pada orang
dengan alele HSL-DRB1, IgG yang dihasilkan merupakan IgG dengan FC anti
protein tersitrunilasi (ACPA) sehingga akan membentuk kompleks imun dengan
protein tersitrunilasi. Akibatnya, protein komplemen akan teraktivasi
menggunakan jalur klasik sehingga terjadi kerusakan pada persendian (Mclnnes,
2011).
Gambar 4. Regulasi sel-sel imun pada proses inflamasi sendi
Selain itu, sel-sel imun yang lain juga berperan dalam proses inflamasi
seperti netrofil, makrofag, sel mast, dan NK-cells. Makrofag akan
mensekresikan mediator-mediator inflamasi seperti IL-6, IL-1, (juga 12, 15,
18, dan 23) dan TNF alfa. Selain itu, makrofag akan memfagositosis sel-sel
tulang pada persendian sehingga menyebabkan kerusakan sendi. Selain
makrofag, netrofil juga berperan dalam patogenesis RA, sebagai pensintesis
sitokin dan senyawa oksigen reaktif. Sel Mast juga berperan dalam mensintesis
beberapa kemokin dan amina vasoaktif penyebab inflamasi pada sendi (Scott,
2010).
Beberapa sitokin yang berperan penting dalam patogenesis RA adalah
IL-1, IL-6, dan TNF alfa. Ketiga sitokin ini akan menyebabkan osteoklas
sehingga menyebabkan deformasi sendi. Keseluruhan sitokin yang
diseksresikan oleh sel-sel imun melalui protein reseptor tirosin kinase dengan
jalur JAK
(Mclnnes, 2011).
E. Pathway Rhematoid Arthritis
Inflamasi non – bacterial disebabkan oleh infeksi,
endokrin, autoimun, metabolic dan faktor
genetik, serta faktor lingkungan

Artritis Reumatoid

Sinovili Tenosinovitis Kelainan pd Kelainan pd jaringan Gambaran khas


s tulang ekstra - artikular nodul subkutan

Hiperemia & Invasi kolagen


pembengkaka Erosi tl. & Miopati Sistemik saraf Kelenjar limfe Inflamasi
n kerusakan pd keluar ekstra -
tl. rawan artikular

Atrofi otot Neuropati


Instabilitas dan Splenomegali perifer
Nekrosis & Ruptur tendo deformitas
kerusakan dlm secara parsial sendi Anemia
ruang sendi atau lokal OsteAoporosis
generalisata

Mk : Nyeri Gangguan
Mk : Kelemahan fisik
akut mekanis &
Hambatan Perikarditis,
fungsional pd
mobilitas fisik miokarditis
sendi
dan radang
Mk : Defisit
Gambaran khas katup jantung
Perawatan diri
nodul subkutan Perubahan bentuk tubuh
pada tl. dan sendi
Mk : Risiko
Mk : cedera Kegagalan fungsi
Ansietas Mk : Gangguan jantung
Konsep Diri, Citra
Diri
F. Manifestasi
Peradangan Sendi Akibat Reaksi Imun pada Rheumatoid Arthritis Inflamasi kronis
yang terjadi akibat RA ini akan menyebabkan berbagai macam manifestasi. Dua
macam manifestasi yang paling banyak terjadi adalah kerusakan tulang rawan dan erosi
tulang.
a. Kerusakan Tulang Rawan
Pada penderita RA, terjadi kehilangan efek protektif dari sinovium (cairan sendi)
seperti menurunya ekspresi dari lubricin, mengubah karakter dari permukaan
protein binding pada kartilago, meningkatkan adhesi dan invasi FLS (Fibroblast-
Like Sinoviocyte). FLS akan mensintesis MMP (Matrix Metaloproteinase)
sehingga meningkatkan perombakan dari kolagen. Selain itu, enzim matriks lain
seperti ADAMTS akan mengurangi integritas dari kartilago. Berbagai macam
sitokin pada cairan sendi juga akan meningkatkan perombakan tulang rawan pada
persendian. Hal ini menyebabkan radiografi pada penderita RA menunjukan
adanya penyempitan jarak antar persendian (Mclnnes, 2011).
b. Erosi Tulang
Erosi pada tulang terjadi pada 80% penderita setelah 1 tahun terdiagnosa RA dan
berhubungan dengan inflamasi yang berkepanjangan dan progresif. Berbagai
macam sel imun seperti makrofag akan menyebabkan perubahan osteoklas dan
invasi pada permukaan periosteal. TNF alfa dan IL-6, IL-17, dan IL-1 akan
meningkatkan deferensiasi dari osteoclast dan aktivasinya. Osteoclast akan
menyebabkan reaksi enzimatik asam yang akn menghancurkan jaringan bermineral
termasuk tulang rawan dan tulang (Mclnnes, 2011).

G. Komplikasi Rhematoid Arthritis


1. Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya proses granulasi
di bawah kulit yang disebut subcutan nodule.
2. Pada otot dapat terjadi myositis(kelemahan otot), yaitu proses granulasi jaringan
otot.
3. Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli.(bekuan darah) Tromboemboli adalah
adanya sumbatan pada pembuluh darah yang disebabkan oleh adanya darah yang
membeku.
4. Terjadi splenomegali. Slenomegali merupakan pembesaran limfa,jika limfa
membesar kemampuannya untuk menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah
putih dan trombosit dalam sirkulasi menangkap dan menyimpan sel-sel darah akan
meningkat
H. Penatalaksanaan Terapi Rhematoid Arthritis
1. Non-farmakologi (lifestyle)
Terapi non-farmakologi RA, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Berhenti merokok
b. Melakukan operasi penggantian sendi
c. Memelihara aktivitas fisik
d. Melakukan diet sehat
e. Menjaga berat badan agar tetap ideal
 Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
 Melakukan olahraga teratur
 Melakukan terapi okupasi
 Hidroterapi
 Memberikan edukasi kepada pasien
(Gcelu and Kalla, 2011).
Istirahat merupakan hal yang dibutuhkan untuk terapi non-farmakologi.
Istirahat menjadi pengobatan dalam mengurangi sakit. okupasi dan terapi fisik
dapat dilakukan pasien dengan olahraga ringan atau menjaga mobilitas
(pergerakkan). Mengurangi berat badan dapat membantu mengurangi radang pada
sendi (Singh, et al 2012).
2. Farmakologi
Terapi farmakologi RA menggunakan obat-obatan sebagai berikut :
a. Symptom-modifying anti-rheumatic drugs (SMARDs)
Obat golongan SMARDs ini merupakan golongan obat analgesik
sederhana berupa NSAID (Gcelu and Kalla, 2011). NSAIDs atau golongan
kortikosteroid digunakan untuk mengurangi gejala-gejala rematik jika
dibutuhkan. NSAID jarang digunakan sebagai monoterapi untuk rheumatoid
arthritis karena NSAIDs tidak menyembuhkan penyakit melainkan hanya
sebagai tambahan bagi obat golongan DMARDs. Kortikosteroid dapat
digunakan untuk mengontrol gejala RA sebelum memulai penggunaan
DMARDs (Singh, et al 2012).
b. Glukokortikoid
Pada awal inflamasi arthritis, steroid dapat diberikan sebagai dosis
tunggal, baik secara intramuskuler atau intra-arterikuler untuk menginduksi
berkurangnya inflamasi. Prednison pada dosis rendah dapat digunakan untuk
meredakan gejala jangka pendek dan tanda-tanda penyakit dari RA (Gcelu and
Kalla, 2011).
c. Disease-modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs)
Ada bukti kuat bahwa terpai dini dengan menggunakan sintetis DMARDs
dapat mengurangi perkembangan radiografi, dan juga terapi DMARD tidak
harus ditunda. Pada pasien dengan inflamasi artritis sebelum memenuhi
kriteria ACR untuk RA, terapi menggunakan sintetis DMARDs mengurangi
proses kerusakan karena radiografi (Gcelu and Kalla, 2011).
DMARDs menjadi first-line terapi untuk RA. Untuk terapi dengan
DMARD harus dimulai pada 3 bulan pertama setelah simptomnya muncul.
Pengobatan dini dengan menggunakan DMARD dapat mengurangi resiko
kematian. Pasien yang menderita RA, resiko kematiannya lebih tinggi
dibanding dengan orang-orang yang tidak terkena RA (Singh, et al 2012).
1) Methotrexate
Methotrexate dianggap sebagai obat pilihan DMARD oleh pakar
rematologi untuk mengobati RA. Methotrexate memiliki kontraindikasi
dengan kehamilan dan ibu menyusui. Selain itu, Methotrexate memiliki
kontraindikasi dengan pasien penyakit hati kronik, imunodefisiensi,
kelainan darah, leukopenia, trombositopenia, dan dengan pasien yang
memiliki klirens kreatinin kurang dari 40 mL/menit. Methotrexate bersifat
teratogenik, sehingga harus dihindari pada pasian yang sedang hamil.
Selain itu, Methotrexate juga merupakan antagonis asam folat, sehingga
dapat menyebabkan defisiensi asam folat dalam tubuh. Methotrexate
menghambat produksi sitokin, menghambat biosintesis purin, dan
menstimulasi pelepasan adenosin, yang semuanya dapat sebagai
antiinflamasi. Obat ini memiliki onset yang cepat, hasilnya dapat dilihat 2-
3 minggu setelah terapi. Pemberian Methotrexate dapat dilakukan dengan
cara oral, intramuskular (i.m), atau secara subkutan (Singh, et al 2012).
2) Leflunomide
Leflunomide merupakan DMARDs yang menghambat sintesis
pirimidin, menurunkan proliferasi limfosit dan modulasi dari inflamasi.
Leflunomide diberikan secara oral dengan dosis awal 100 mg perhari
selama 3 hari, dan diikuti dosis harian 20 mg sehari. Leflunomide
memiliki memiliki efektivitas yang sama dengan MTX. Leflunomide
dapat menyebabkan toksisitas di hari dan memiliki kontraindikasi dengan
pasien yang memiliki riwayat penyakit hati. Selain itu juga, Leflunomide
dapat menyebabkan toksisitas pada sumsum tulang dan juga bersifat
teratogenik (Singh, et al 2012).
3) Hydroxychloroquine
Farmakokinetik obat hydroxychloroquine kurang dipahami.
Hydroxychloroquine memiliki keuntungan yaitu kurangnya toksisitas
myelosuppresive, hati, dan ginjal yang mungkin terdapat pada DMARD
yang lain. Hydroxychloroquine diberikan secara oral dengan dosis awal
berkisar 200-300 mg, setelah 1-2 bulan dapat diturunkan menjadi 200 mg
perhari (Singh, et al 2012).
4) Sulfasalazine
Sulfasalazine merupakan prodrug yang diubah oleh bakteri di kolon
menjadi sulfapyridine dan asam 5-aminosalisilat. Ketika sulfasalazine
mencapai kolon, bakteri-bakteri yang berada di kolon akan memutuskan
hubungan antara kedua molekul-molekul. Setelah memisah dari 5-ASA,
sulfapyridine diserap kedalam tubuh dan kemudian dikeluarkan dalam
urin. Efek-efek sampingan ini termasuk mual, rasa panas di dada
(heartburn), sakit kepala, anemia, ruam kulit (skin rashes), dan, dalam
kejadian-kejadian yang jarang, hepatitis dan peradangan ginjal. Pada pria-
pria, sulfasalazine dapat mengurangi jumlah sperma. Pengurangan jumlah
sperma kembali normal setelah pemberhentian sulfasalazine atau oleh
perubahan ke suatu senyawa 5- ASA yang berbeda. Sulfasalazine
digunakan dalam dosis hingga 2-4 g / hari (Singh, et al 2012).
5) Minocycline
Minocycline merupakan obat yang diresepkan untuk pasien dengan
gejala rheumatoid arthritis ringan. Minocycline juga kadang-kadang
dikombinasi dengan obat lain untuk mengobati pasien dengan gejala
persisten dari bentuk arthritis. Minocycline mengurangi produksi zat yang
menyebabkan peradangan, seperti prostaglandin dan leukotrien, sambil
meningkatkan produksi interleukin-10, suatu zat yang mengurangi
peradangan. Minocycline biasanya diberikan sebagai kapsul (mg) 100
miligram dua kali sehari. Penggunaan Minocyline selama kehamilan dapat
memperlambat pertumbuhan gigi atau tulang pada bayi setelah lahir serta
menyebabkan perubahan warna gigi bayi yang baru lahir ketika diambil
selama paruh terakhir kehamilan. Minocycline dapat mengurangi
efektivitas beberapa pil KB (Singh, et al, 2012).
6) Garam Emas
Garam emas merupakan DMARD yang sekarang sedang banyak
digunakan di negara-negara maju. Bentuk sediaan yang biasa digunakan
adalah injeksi dengan dosis 50mg/minggu. Cara kerja dari obat ini belum
banyak diketahui dengan pasti (Singh, et al 2012).
d. Terapi DMARD Biologis
DMARDs biologis memberikan kontrol peradangan yang cepat dan telah
terbukti keampuhannya baik dari segi hasil klinis dan kerusakan struktural
pada awal penyakit. Terapi biologis efektif ketika obat DMARDs tidak
berhasil dalam terapi RA. Namun, DMARDs biologis lebih mahal daripada
DMARDs tradisional, dan ini membatasi penggunaannya pada awal penyakit
(Gcelu and Kalla, 2011). Terapi biologis adalah rekayasa genetika molekul
protein yang memblok proinflamasi sitokin TNF-alfa dan IL-1, mengurangi sel
B perifer, atau berikatan dengan CD80/86 pada sel T untuk mencegah co-
stimulasi yang dibutuhkan untuk melengkapi aktivitas sel T. Obat-obat
penghambat sitokin TNF-alfa antara lain infliximab, etanercept, adalimumab,
penghambat IL-1 yaitu anakinra, pengurang sel B perifer yaitu rituximab dan
yang berikatan dengan CD80/86 yaitu abatecept (Singh, et al 2012).
1) Etanercept
Etanercept adalah protein fusi yang terdiri dari 2 reseptor TNF p75
terkait dengan fragmen fc dari IgG1 manusia. Ikatan obat dengan TNF,
sehingga secara biologis membuat etanercept aktif dan mencegahnya
berinteraksi dengan permukaan sel reseptor TNF yang menyebabbkan
aktivasi sel. Obat ini diberikan secara injeksi subkutan, 50 mg sekali
seminggu atau 25 mg dua kali seminggu. Pemberian etanercept dihindari
oleh pasien dengan multipel sklerosis. Banyak uji klinik telah
menggunakan etanercept pada pasien yang gagal terapinya menggunakan
DMARDs (Singh, et al 2012).
2) Infliximab
Infliximab merupakan antibodi simerik gabungan dari IgG1 tikus
dan manusia. sebuah antibodi anti-TNF yang diciptakan dengan
mengekspos tikus ke TNF manusia. Bagian yang berikatan dari antibodi
tersebut digabungkan ke bagian IgG kontan manusia untuk mengurangi
antigenitas dari protein asing. Antibodi tersebut, ketika diinjeksikan pada
manusia, berikatan dengan TNF dan mencegah interaksi dengan reseptor
TNF pada sel inflamasi. Infliximab diberikan secara infusi intavena
dengan dosis 3 mg/kg pada 0, 2, dan 6 minggu dan kemudian setiap 8
minggu. Untuk mencegah pembentukan antibodi karena ada protein asing,
methotrexate seharusnya diberikan secara oral pada dosis tipikal yang
digunakan untuk terapi RA sepanjang pasien menggunakan infliximab.
Infliximab diindikasikan untuk psoriatrik artritis dan ankylosing
spondylitis (Singh, et al 2012).
3) Adalimumab
Adalimumab merupakan antibodi IgG1 manusia terhadap TNF.
Karena tidak ada komponen protein asing, adalimumab kurang antigenik
dari pada infliximab. Obat ini disediakan dalam bentuk injeksi 40 mg,
yang diaplikasikan secara subkutan setiap 14 hari (Singh, et al 2012).
4) Antagonis reseptor IL-1
Anakinra adalah sebuah antagonis reseptor IL-1 yang merupakan
antiinflamasi yang terjadi secara alami. Dengan berikatan pada reseptor
IL-1 pada sel target dapat mencegah interaksi antara IL-1 dengan sel. IL-1
sangat penting dalam patogenesis RA. IL-1 menstimulasi pelepasan faktor
kemotaksis dan molekul adhesi, dan memperantarai perpindahan dari
leukosit ke jaringan. Selain itu juga melepaskan faktor yang diketahui
dapat memperbesar pembuluh darah dan direct sitotoksin yang
menghasilkan kerusakan jaringan (Singh, et al 2012).
5) Abatacept
Abatacept merupakan modulator co-stimulan yang terbukti
mengobati RA pada pasien dengan untuk penyakit sedang hingga berat
yang gagal mencapai respon yang memadai dari satu atau lebih DMARD.
Dengan berikatan pada reseptor CD80/CD86 di sel antigen, abatacept
menghambat interaksi antara sel antigen dan sel T, mencegah sel T
mengativasi proses inflamasi, yang mana menghasilkan pengurangan
sitokin, proliferasi sel T, dan konsekuensi lainnya dari aktivasi sel T.
Abatacept adalah perpaduan protein yang digunakan pada ekstraseluler
dari domain 4 dari antigen sitotoksik limfosit T ( bagian yang berikatan
dengan obat) dan fragmen dari domain fc dari modifikasi IgG manusia
untuk mencegah fiksasi komplemen. Obat ini diberikan dengan cara infus
intravena berdasarkan berat pasien ( < 60 kg : 500 mg ; 60-100 kg : 750
mg ; > 100 kg ; 1000 mg) setiap 2 minggu untuk 2 dosis setelah dosis
awal dan kemudian setiap 4 minggu. Untuk pasien yang gagal mencapai
respon yang memadai dengan inhibitor TNF-alfa, setengahnya memiliki
respon klinis terhadap abatacept (Singh, et al 2012).
6) Rituximab
Rituximab merupakan antibodi monoklonal simerik yang terdiri dari
protein utama manusia dengan bagian antigen berikatan berasal dari
antibodi tikus untuk mendapatkan protein CD20 pada permukaan sel dari
sel limfosit B dewasa. Ikatan rituximab dengan sel B menghasilkan
deplesi perifer sel B, dengan pemulihan bertahap setelah beberapa bulan.
Efek berkepanjangan pada sel B menghasilkan durasi aksi yang
memungkinkan untuk terapi intermiten yang bervariasi berdasarkan reaksi
gejala arthritis. Rituximab berguna bagi pasien yang terapinya gagal
menggunakan methotrexate atau inhibitor TNF. 2 infus 1000 mg diberikan
2 minggu secara terpisah (Singh, et al 2012).
7) Tocilizumab
Tocilizumab  adalah yang pertama dikelas  pengobatan RA dengan
menargetkan reseptor interleukin-6 (IL-6) yang merupakan zat kimia
dalam tubuh  yang menyebabkan rasa sakit dan peradangan yang sistemik
menetap yang dialami penderita Artritis Rematoid. Tocilizumab adalah
suatu antibodi yang menghambat titik dimana IL-6 menempel pada
permukaan sel. Ketika IL-6 tidak dapat menempel pada sel, sel tidak dapat
mengaktifkan sistem inflamasi pada RA. Tujuan dari terapi dengan
Tocilizumab adalah untuk mengurangi gejala dari RA, termasuk nyeri dan
bengkak. Studi lain juga menunjukkan hasil terapi dengan tocilizumab
memperlambat dan mencegah kerusakan lanjut pada sendi akibat penyakit
RA. Tocilizumab diberikan 4 mg per kg berat badan dengan cara
diinjeksikan sekali setiap 4 minggu (Singh, et al, 2012).
8) Certolizumab pegol
Certolizumab pegol direkomendasikan untuk terapi penyakit
Rheumatoid arthritis yang telah mencoba MTX dan DMARDs lainnya
selama 6 bulan, serta memiliki rheumatoid arthritis “aktif” yang parah.
Certolizumab pegol memiliki struktur yang berbeda dengan inhibitor TNF
lainnya. Certolizumab pegol terdiri dari fragmen ikatan antibodi (Fab) dari
antibodi monoklonal manusia terhadap konjugasi PEG TNF, karena itu,
tidak seperti agen lainnya, tidak mengandung fragmen Ig konstan. Dosis
yang direkomendasikan untuk RA adalah 400 mg ( 2 kali injeksi 200 mg)
untuk awal dan pada minggu kedua dan keempat, diikuti dengan dosis 20
mg setiap minggu (Singh, et al, 2012).
9) Golimumab
Golimumab adalah inhibitor TNF-antibodi monoklonal yang
menargetkan dan menetralkan membran yang terikat TNF-alpha.
Golimumab sedang diselidiki untuk administrasi oleh subkutan (SC)
injeksi dan intravena (IV) infus. Untuk awal, Golimumab diberikan 50 mg
secara subkutan sebulan sekali (Singh, et al, 2012).
Terapi kombinasi dengan 2 atau lebih DMARDs mungkin efektif ketika terapi
single DMARDs tidak berhasil. Kombinasi antara siklosporine plus methotrexate dan
methotrexate plus sulfasalazine dan Hydroxychloroquine khususnya efektif. Suatu
penelitian menyarankan bahwa terapi kombinasi awal dengan salah satunya
menggunakan methotrexate, sulfasalazine plus prednisone, atau infliximab plus
methotrexate merupakan kombinasi DMARDs pada rheumatoid arthritis awal (Singh,
et al 2012).

I. Pemeriksaan Labolatorium Rhematoid Arthritis


Beberapa tes yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan RA. Pemeriksaan tersebut antara
lain :
1. Rheumatoid Factor
Rheumatoid Factor (RF) merupakan antibodi atau immunoglobulin yang
dimiliki oleh sekitar 70 sampai 80 persen orang dewasa yang memiliki rheumatoid
arthritis. Beberapa orang dengan kondisi kronis lainnya peradangan, dan sampai 5
persen orang sehat, juga positif memiliki faktor rheumatoid. Tes untuk faktor
rheumatoid dilakukan dengan menggunakan aglutinasi lateks atau nephelometry.
Jika hasil tes positif untuk faktor rheumatoid, sampel darah Anda lebih lanjut
dianalisis menggunakan seri pengenceran untuk mendapatkan titer yang
(pengenceran darah pasien masih menghasilkan hasil yang positif). Menggunakan
uji aglutinasi lateks, titer lebih besar dari 1:20 tidak normal. Titer tinggi juga
berkorelasi dengan keparahan penyakit. Sebagai contoh, 1:320 kemungkinan akan
mencerminkan keparahan dari rheumatoid arthritis dibandingkan 1:40.
Menggunakan nephelometry, hasil lebih dari 23 unit dan titer lebih dari 1:80 tidak
normal. Beberapa tes faktor rheumatoid kini dilaporkan dalam IU (International
Unit) (Eustice, 2007).
Rheumatoid Arthritic Factor (RF) adalah pemeriksaan penyaring untuk
mendeteksi adanya antibodi golongan IgM , IgG atau IgA yang terdapat dalam
serum pada penderita rheumatoid arthritis ( Nerl, 2012).
Serum dari pasien dengan rheumatoid arthritis biasanya berisi autoantibodi
ke bagian Fc IgG manusia. Autoantibodi ini disebut "faktor rematik" karena
hubungan mereka dengan penyakit terkait. Faktor Rheumatoid terutama dimiliki
untuk kelas IgM imunoglobulin. Namun, faktor rheumatoid telah dikaitkan dengan
masing-masing subclass IgG manusia dan dengan IgA dan IgE. Peningkatan kadar
faktor rheumatoid tidak hadir dalam penyakit sendi lainnya seperti osteoarthritis,
ankylosing spondylitis, gout, demam rematik, arthritis supuratif, psoriatic arthritis,
arthritis colitic dan sindrom Reiter. Karena ini tingkat kekhususan, deteksi
arthritis. Faktor sangat berguna sebagai indikator rheumatoid arthritis. tes RF dapat
membantu dokter dalam deteksi, diagnosis, prognosis, dan pemantauan terapi
rheumatoid arthritis. Tes untuk faktor rheumatoid adalah tes serologi yang paling
banyak digunakan sebagai bantuan untuk diagnosis rheumatoid arthritis. Metode
penentuan RF meliputi presipitasi kapiler, radioimmunoassay, laser dan tingkat
nephelometry dan tes aglutinasi partikel (Nerl, 2012).
2. UJI ACPA
Test ACPA dikenal juga sebagai tes antibody anti-cyclic citrullinated peptide
(anti-CCP) yang merupakan enzyme-linked immunosorbent assay dimana tes ini
untuk melihat kehadiran antibodi yang mengenali antigen tertentu yang
mengandung citrulline. Citrulline merupakan non-standar asam amino yang dibuat
dengan modifikasi enzimatik arginin (proses yang dikenal sebagai citrullination)
(Suwannalai, 2011).
Antibody protein anti-citrullinated (ACPA) terlibat dalam patogenesis
penyakit rheumatoid arthritis (RA). ACPA dapat ditemukan pada awal perjalanan
penyakit bahkan sebelum onset penyakit, dan adanya ACPA pada saat diagnosis
dapat memprediksi perjalanan penyakit. Selain itu, ACPA dapat berkontribusi
untuk patogenesis penyakit dengan mengaktifkan sel-sel kekebalan tubuh dan
sistem komplemen. Respon ACPA kemungkinan merupakan respon B-sel T-cell-
dependent, mengingat sifat protein dari antigen yang dikenali dan mengikat kuat
dengan antigen leukosit manusia bersama-sama dengan alel epitop. Evolusi seperti
respon biasanya ditandai dengan gelombang pertama antibodi IgM setelah kontak
dengan antigen pertama, segera diikuti oleh kehadiran IgG. Setelah paparan
antigen berulang, respon IgG yang lebih didorong sedangkan penurunan puncak
IgM. Pengamatan terakhir ini dijelaskan oleh kehadiran Ig-switched, afinitas
matang, sel memori B yang terbentuk dalam kehadiran sel T CD4 +. Sel-sel T
helper memberikan aktivitas yang diperlukan untuk pematangan afinitas, switching
isotipe dan pembentukan sel memori (Suwannalai, 2011).
ACPA tes didasarkan pada deteksi autoantibodi dengan ELISA atau MEIA
atau immunoenzymofluorimetry. Pemeriksaan ACPA meliputi anti-cyclic
citrullinated peptide (Anti- CCP) dan anti-mutated citrullinated vimentin (anti-
MCV).
1) Anti-Cyclic Citrullinated Peptide (Anti- CCP)
Antibodi Anti –CCP adalah singkatan anti-cyclic antibodi peptida
citrullinated. Ini adalah protein yang diproduksi sebagai bagian dari proses
yang mengarah ke peradangan sendi pada rheumatoid arthritis. Ini adalah tes
yang digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis rheumatoid arthritis. Saat
ini, antibodi anti-CCP adalah penanda paling spesifik untuk rheumatoid
arthritis. Dengan spesifisitas sekitar 98%, itu adalah penanda diandalkan untuk
mengkonfirmasi diagnosis rheumatoid arthritis.
Pada pasien RA sering menghasilkan autoantibodi diarahkan terhadap
protein dan peptida yang mengandung citrulline asam amino. Citrulline
dihasilkan dalam lingkungan inflamasi oleh modifikasi asam amino arginine
oleh enzim peptidylarginine deiminase. Sehingga metode anti-CCP ini dapat
digunakan sebagai metode uji untuk mendiagnosis penyakit RA (Langguth,
2006).

(Bos
e, 2012).
Pada sel, beberapa protein struktural menjalani 'citrullination' di bawah
arahan enzim seluler. Residu arginin menjalani deimination untuk membentuk
asam amino non-standar citrulline. Peptida citrullinated lebih cocok ke dalam
HLA-DR4 molekul yang sangat terkait dengan perkembangan rheumatoid
arthritis, keparahan dan prognosis. Hal ini juga diketahui bahwa banyak jenis
peptida citrullinated hadir dalam tubuh, baik di dalam maupun di luar sendi.
Pada akhir 1990-an, antibodi terhadap peptida citrullinated yang 'ditemukan'.
Sera dari pasien dengan rheumatoid arthritis mengandung antibodi yang
bereaksi terhadap peptida citrullinated. Peptida buatan digunakan dalam tes
antibodi terhadap CCP (tes anti-CCP). Serum pasien dicampur dengan ini
peptida dan jika mengandung antibodi anti-CCP mereka akan mengikat
bersama-sama. Pengikatan ini dapat dideteksi oleh immunosorbent assay
enzim-linked (Langguth, 2006).
2) Anti MCV (Mutated Citrunilated Vimentin)
Anti MCV adalah suatu isoform antigenik baru dari vimentin yang
ditemukan pada pasien rheumatoid arthritis. Dan termasuk dalam golongan
ACPA. Marker alami anti-MCV merupakan pengembangan lebih lanjut dari
anti-CCP. Anti MCV menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dibanding
anti-CCP mauapun RF untuk diagnosis dini rheumatoid arthritis. vimentin
citrullinated identik dengan sebelumnya dikenal antigen Sa, yang merupakan
singkatan dari Savoie, nama pasien di antaranya respon autoantibody pertama
kali diidentifikasi. Antibodi anti-Sa memberikan spesifisitas yang tinggi>
98%, tetapi sensitivitas terbatas 22% sampai 40% untuk pasien dengan alat tes
komersial untuk mendeteksi antibodi anti-SA, studi yang dilakukan sejauh ini
menunjukkan kemungkinan nilai prognostik untuk klinis yang parah pada
rheumatoid arthritis. Selain itu, antibodi anti-Sa memiliki Nilai prediktif tinggi
sekitar 84% sampai 99% untuk rheumatoid arthritis dan yang terkait erat
dengan manifestasi extraartikular dan keterlibatan sendi yang parah. Penelitian
terbaru telah menunjukkan bahwa kedua citrullination dan mutasi dapat
mempengaruhi antigenitas vimentin. ELISA berdasarkan mutation
citrullinated vimentin (MCV) telah tersedia secara komersial untuk diagnosis
rheumatoid arthritis untuk beberapa waktu dan memiliki sekitar kepekaan
diagnostik yang sama dan spesifisitas sebagai antibodi anti-CCP (Egerer ,
2009)

3. X-RAY
X-ray sendi mungkin normal atau hanya menunjukkan pembengkakan
jaringan lunak pada awal penyakit. Sebagai penyakit berlangsung, X-ray dapat
memperlihatkan erosi tulang khas rheumatoid arthritis pada sendi. Sendi X-ray
dapat membantu dalam memantau perkembangan penyakit dan kerusakan sendi
dari waktu ke waktu. Scanning tulang, prosedurnya menggunakan sedikit zat
radioaktif, juga dapat digunakan untuk menunjukkan sendi yang meradang.
Pemindaian MRI juga dapat digunakan untuk menunjukkan kerusakan sendi
(Stoppler, 2013).
American College of Rheumatology telah mengembangkan sistem untuk
mengklasifikasikan rheumatoid arthritis yang terutama didasarkan pada
penampilan X-ray dari sendi. Sistem ini membantu para profesional medis
menggolongkan keparahan rheumatoid arthritis sehubungan dengan tulang rawan,
ligamen, dan tulang.
Tahap I
Tidak ada kerusakan terlihat pada X-ray, meskipun mungkin ada tanda-tanda
penipisan tulang
Tahap II
1. Pada X-ray terlihat bukti penipisan tulang di sekitar sendi dengan atau
tanpa/sedikit kerusakan tulang
2. Kemungkinan adanya sedikit kerusakan tulang rawan
3. Mobilitas sendi mungkin terbatas, tidak ada kelainan bentuk sendi
4. Atropi pada otot yang berdampingan
5. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak disekitar sendi
Tahap III
1. Pada X-ray, terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan penipisan
tulang di sekitar sendi
2. Deformitas sendi tanpa pengkakuan permanen atau fiksasi sendi
3. Atrofi otot yang ekstensif
4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak di sekitar sendi
Tahap IV
1. Pada X-ray terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan osteoporosis
di sekitar sendi
2. Deformitas sendi dengan fiksasi permanen sendi (disebut sebagai ankilosis)
3. Atrofi otot yang ekstensif
4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak sekitar sendi (Stoppler, 2013).
Reumatologis juga mengklasifikasikan status fungsional penderita RA sebagai
berikut:
Kelas I :benar-benar mampu melakukan aktivitas seperti biasa sehari-hari
Kelas II :mampu melakukan kegiatan perawatan diri dan pekerjaan biasa
tapi terbatas dalam kegiatan diluar pekerjaan (seperti berolahraga,
pekerjaan rumah tangga)
Kelas III :mampu melakukan aktivitas perawatan diri biasa tapi terbatas
dalam pekerjaan dan kegiatan lainnya
Kelas IV :terbatas dalam kemampuan untuk melakukan perawatan diri biasa,
pekerjaan, dan kegiatan lainnya (Stoppler, 2013).
4. Laju Endap Darah (Erythrocyte Sedimentation Rate)
Laju endap darah adalah uji yang umumnya digunakan untuk penilaian
aktivitas penyakit. Tes ini untuk memastikan keparahan inflamasi dan digunakan
untuk memonitor pekembangan pengobatan RA (McNeil, 2005).
Laju endap darah mengukur seberapa cepat eritrosit mengendap pada test
tube. Protein tertentu akan ada pada inflamasi yang melekat pada eritrosit, yang
menyebabkan mereka terikat bersama dan lebih cepat jatuh ke bawah test tube.
Kecepatan jatuh ESR diukur dalam jam (McNeil, 2005).
Pada RA laju endap darah biasanya meningkat, merefleksikan inflamasi dari
penyakit. RA merupakan penyakit yang tidak hanya pada sendi, namun seluruh
tubuh. Dan pasien yang mempunyai RA memiliki inflamasi sistemik yang merata
pada seluruh tubuh, dan ditunjukkan pada laju endap eritrosit (Ruderman, 2008).
Salah satu metode yang digunakan untuk pemeriksaan laju endap darah adalah
metode westergren.
a. Metode Westergren
Keseluruhan serum di anti koagulasi dengan sodium sitrat dan didiamkan.
Setelah 1 jam, jarak dalam milimeter antara bagian atas tube dan sedimen
eritrosit yang terukur. Nilai normal tidak disesuaikan dengan umur dan gender
pada beberapa laboratorium, padahal karakteristik ini mempengaruhi laju endap
darah. Laju endap darah umumnya meningkat bersamaan dengan usia dan agak
meningkat pada wanita. Batasan tinggi normal pada pria adalah sama dengan
usia dibagi 2, sedangkan pada wanita, ditambah usia ditambah 10 dan dibagi 2
(Klipple, 2008).
Laju endap darah dapat diguNakan untuk mengidentifikasi seberapa
keparahan yang diderita pasien awal dalam menentukan artritis mereka, dan
juga digunakan untuk memonitor terapi. Pasien yang pengobatannya tepat dan
perkembangan penyakit yang membaik, akan menunjukan laju endap eritrosit
yang menurun dan dapat menunjukan respon dari pengobatan (Ruderman,
2008).
b. C-Reactive Protein (CRP)
Selama proses inflamasi, protein abnormal spesifik yang disebut C-
reactive protein (CRP) muncul dalam darah pada respon inflamasi sitokin
seperti IL-6. Protein ini hampir tidak ada pada serum darah orang sehat. Level
CRP dapat meningkat dramatis (100 kali atau lebih) setelah trauma parah,
infeksi bakteri, inflamasi, bedah, atau proliferasi neoplastik. Pengukuran CRP
sudah banyak digunakan dalam aktivitas penilaian dari penyakit inflamasi,
untuk mendeteksi infeksi setelah bedah, untuk mendeteksi penolakan
transplantasi, dan memonitor progres inflamasi (Fishbach, 2009).
Level serum CRP berubah dengan cepat dibandingkan laju endap darah;
dengan stimulus yang adekuat, CRP dapat meningkat dalam waktu 4 sampai 6
jam dan normal dalam 1 minggu. CRP sering diukur secara simultan dengan
laju endap darah sebagai pengukuran inflamasi yang umum (McNeil, 2005).
c. Metode Nephelometri
Nephelometri menggunakan antibodi untuk berikatan dengan target
protein dan mengukur penyebaran cahaya oleh antigen-antibodi kompleks.
ELISA menggunakan coated plate untuk membentuk ikatan kompleks antibodi-
antigen. Ikatan kompleks ini dideteksi oleh tambahan antibodi kedua yang
dilabeli dengan enzin, kemudian dicampurkan dengan substrat, menghasilkan
warna yang dapat diukur dengan spektrofotometri. Karena CRP adalah serum
protein stabil dan pengukurannya tidak mempengaruhi komponen serum yang
lain, maka cenderung kurang tidak tetap dibandingkan laju endap darah. CRP
dipengaruhi oleh usia dan gender. Umumnya, level <0,2 mg/dL dinilai normal
dan level >1 mg/dL dianggap konsisten dengan inflamasi (McNeil, 2005).
5. Artroskopi Langsung
Visualisasi dari area yang menunjukkan irregularitas/ degenerasi tulang pada sendi
6. Aspirasi cairan sinovial
Mungkin menunjukkan volume yang lebih besar dari normal: buram, berkabut,
munculnya warna kuning ( respon inflamasi, produk-produk pembuangan
degeneratif ); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan komplemen ( C3
dan C4 ).
7. Biopsi membran sinovial
Menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.
8. Pemeriksaan cairan sendi melalui biopsi, FNA (Fine Needle Aspiration) atau
atroskopi; cairan sendi terlihat keruh karena mengandung banyak leukosit dan
kurang kental dibanding cairan sendi yang normal.
J. Diagnosis Rhematoid Arthritis
Pendekatan perawatan pasien dengan RA dapat digolongkan menjadi 2 grup :
1. RA dini (early RA/ERA) didefinisikan sebagai pasien dengan gejala yang terjadi
kurang dari 3 bulan
2. Pasien dengan penyakit tetap yang mempunyai gejala yang timbul karena inflamasi
dan /atau karena kerusakan sendi.
Membedakan Arthritis Dengan Inflamasi Dari Arthritis Tanpa Inflamasi
Ciri-ciri Dengan Inflamasi Tanpa Inflamasi
Nyeri sendi Dengan aktivitas dan pada Dengan aktivitas
saat istirahat
Pembengkakan sendi Jaringan lunak Pada banyak tulang
Erythema local Kadang-kadang Tidak ada
Panas Lokal Berkali-kali Tidak ada
Kekakuan pagi hari > 30 menit < 30 menit
Gejala sistematik Umum, khususnya keletihan Tidak ada
(Aleteha, et al, 2010).
Membedakan RA Dari Arthritis Dengan Inflamasi Lainnya
Kemungkinan RA Diagnosis pembeda Anjuran ciri-ciri
Diagnosis alternatif
 Kekakuan pada  Kristal arthropathy  Mucosal ulcer,
pagi hari > 30 fotosensitif,
menit psoriasis, ruam
pada kulit
 Raynaud’s

 Pembengkakan  Psoriatic arthritis  Raynaud’s


atau nyeri sendi  Lupus  Inflamasi okular-
pada 3 atau lebih iritis/uveitis
sendi  Urethritis
 Keterlibatan  Reaktif arthritis  Inflammatory
simetris dari  Spondyloathropaties bowel disease
tangan dan kaki  Polyarticular sepsis  Infeksius diare
(khususnya  Nephritis
metacarpophalang  Isolated distal
eal, interphalangeal
metatarsophalange joint inflammation
al)
 Durasi 4 minggu
atau lebih
Source : www. BCGuidelines.ca (BCGuidelines.ca : Rheumathoids Arthritis : Diagnosis,
Manajemen and Monitoring, 2012)
Diagnosis Reumathoid Arthritis (RA) dilakukan secara klinis didasarkan
terutama pada temuan pemeriksaan fisik.  Ada 2 kriteria klasifikasi utama diringkas
dalam Tabel1. Kriteria klasifikasi yang diterbitkan pada tahun 1987 oleh American
College of Rheumathology (ACR), sebelumnya American Rheumatism Assosiation,
telah dikritik untuk fokus mereka pada identifikasi pasien dengan penyakit RA lebih
pasti (yaitu, mereka yang telah mengembangkan erosif kronis penyakit), sehingga
kriteria yang dibuat tahun 1987 gagal mengidentifikasi pasien dengan penyakit dini,
yang memberikan keuntungan, bisa mendapatkan manfaat paling banyak dari terapi
yang tersedia (Aleteha, et al, 2010).
Baru-baru ini, ACR dan European League Against Rheumatism (EULAR)
menciptakan kelompok kerja sama dengan tujuan utama untuk mengembangkan
kriteria klasifikasi untuk mengidentifikasi pasien RA awal (dini) selama proses
perkembangan penyakit. Seperti pada usaha kriteria tahun 1987, kriteria klasifikasi
tahun 2010 adalah sarana untuk mengidentifikasi pasien untuk uji klinis, untuk
membedakan pasien dengan sinovitis, dan untuk menentukan kelompok resiko
tertinggi untuk mengembangkan persisten atau erosif RA. Namun, klasifikasi
ACR/EULAR tahun 2010 juga diciptakan secara skematis untuk mengidentifikasi RA
tetap (Aleteha, et al, 2010).
Ada beberapa perbedaan penting antara kriteria RA 1987 dan kriteria klasifikasi
2010 untuk RA, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Kriteria 1987 dipersyaratkan
score minimal 4 dari keseluruhan 7 domain meliputi : kekakuan di pagi hari, jumlah
keseluruhan sendi yang terlibat, presence of symmethry, Rheumathoid nodule, uji
faktor rheumatoid positif (RF), dan tes perubahan radiografi. Dalam kriteria 2010,
penilaian pasien ditujukan bagi mereka dengan sinovitis klinis setidaknya 1 sendi
(joint) tidak dijelaskan oleh penyakit lain. Sistem penilaian penyakit menggunakan
dari 0-5 berdasarkan dari angka dan tipe joint yang terlibat. Joint yang terlibat
didefinisikan sebagai pembengkakan sendi atau nyeri sendi pada pemeriksaan indikasi
sinovitis aktif. sendi besar (Large Joint) meliputi bahu, siku, pinggul, lutut, dan
pergelangan kaki. Sendi kecil (Small Joint) mengacu pada metacarpophalangeal
(MCP), proximal interphalangeal (PIP), 2-5 Metarshophalangeal (MTP), sendi
interphalangeal jempol, dan pergelangan tangan, dan sendi metatarsophalangeal
kecuali dari assessment karena tergabung dalam ostheoarthritis (Aleteha, et al, 2010).
Tidak ada persyaratan khusus untuk rheumathoid tangan, arthritis nodul, atau
arthritis simetris dalam kriteria 2010. Penulis mencatat bahwa keterlibatan simetris
bukan merupakan kriteria independen dari RA, meskipun kemungkinan dari
presentasi bilateral meningkat dengan adanya peningkatan lebih besar sendi-sendi
yang terlibat dan lebih progresifnya penyakit (Aleteha, et al, 2010).
Mirip dengan kriteria 1987, kriteria 2010 memanfaatkan ada atau tidak adanya
RF (afinitas tinggi auto-antibodi terhadap bagian Fc immunoglobulin) sebagai salah
satu domain. Disamping itu, kriteria 2010 memanfaatkan adanya atau tidak adanya
yang baru-baru in diidentifikasi yaitu anti-citrullinated protein antibody (ACPA).
Nilai dari RF dan ACPA merupakan penanda dari disfungsi autoimun, dinilai
berdasarkan range nilai; dimana “Normal” didefinisikan sebagai kurang dari upper
limit normal (ULN) dari hasil laboratorium, positif-rendah diantara ULN dan kurang
dari 3 kali nilai ULN, dan positif tinggi lebih dari 3 kali nilai ULN. Penanda (marker)
inflamasi, kecepatan sedimentasi eritrosit (ESR) dan C-reactive protein (CRP) level
dinilai berdasarkan referensi standar laboratorium (Aleteha, et al, 2010).
Tidak seperti pada kriteria 1987, pada kriteria 2010 durasi terapi
dipertimbangkan, tetapi tidak dengan perubahan raiografik, sebagai faktor dari nilai
akhir. Pada kriteria 2010 nilai paling tidak 6-10 dianggap cukup indikatif untuk RA,
dan karenanya pasien akan dipertimbangkan untuk menjalani pengobatan (Aleteha, et
al, 2010).
Karena itu disarankan menggunakan kriteria 2010 ACR/EULAR untuk
assessmentdari pasien yang telah ada dan yang akan datang untuk memfasilitasi lebih
awal pengobatan yang mampu mengubah perkembangan penyakit.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN RHEUMATOID ARTHRITIS

A. Pengkajian
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala :
a. Sendi karena gerakan,
b. Nyeri tekan, memburuk dengan stress pada sendi : Kekakuan pada pagi hari.
c. Keletihan
Tanda :
a. Malaise
b. Keterbatasan rentang gerak ; atrofi otot, kulit : kontraktur atau kelainan pada
sendi dan otot
2. Kardiovaskuler
Gejala :
a. Jantung cepat
b. Tekanan darah menurun
3. Integritas Ego
Gejala :
a. Faktor-faktor stress akut atau kronis, misalnya finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, factor-faktor hubungan
b. Keputusasaan dan ketidak berdayaan
c. Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi misalnya ketergantungan
pada orang lain
4. Makanan Atau Cairan
Gejala :
Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan adekuat :
mual.
5. Anoreksia
Gejala :Kesulitan untuk mengunyah
Tanda : Penurunan berat badan , Kekeringan pada membran mukosa
6. Hygiene
Gejala :
Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas pribadi, ketergantungan pada orang
lain.
7. Neurosensori
Gejala :
a. Kebas/kesemutan pada tangan dan kaki
b. Hilangnya sensasi pada jari tangan
Tanda :
Pembengkakan sendi
8. Nyeri / Kenyamanan
Gejala :
a. Fase akut dari nyeri
b. Terasa nyeri kronis dan kekakuan
9. Keamanan
Gejala:
a. Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga
b. Kekeringan pada mata dan membran mukosa
10. Interaksi Sosial
Gejala:
a. Kerusakan interaksi dan keluarga / orang lain
b. Perubahan peran: isolasi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungkan dengan : agen pencedera; distensi jaringan oleh akumulasi
cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh pada tulang dan
sendi
4. Risiko cedera berhubungan dengan kelemahan fisik
5. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi Keperawatan (NIC)
1. Nyeri akut berhubungkan dengan NOC : NIC :
: agen pencedera; distensi - Pain Level, Pain Management
jaringan oleh akumulasi cairan/ - Pain control, - Lakukan pengkajian nyeri secara
proses inflamasi, destruksi sendi. - Comfort level komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
Kriteria Hasil : presipitasi
- Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab -  Observasi reaksi nonverbal dari
nyeri, mampu menggunakan tehnik ketidaknyamanan
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, - Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mencari bantuan) mengetahui pengalaman nyeri klien
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan - Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
menggunakan manajemen nyeri - Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
- Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, - Evaluasi bersama klien dan tim kesehatan lain
frekuensi dan tanda nyeri) tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa
- Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri lampau
berkurang - Bantu klien dan keluarga untuk mencari dan
- Tanda vital dalam rentang normal menemukan dukungan
- Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
-  Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi
-  Ajarkan tentang teknik non farmakologi
- Evaluasi keefektifan kontrol nyer
- Tingkatkan istirahat Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil
- Monitor penerimaan klien tentang manajemen
nyeri

Analgesic Administration
- Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum pemberian obat
- Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
- Cek riwayat alerg
- Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika pemberian
lebih dari satu
- Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
- Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
- Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
- Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
- Berikan analgesik tepat waktu terutama saat
nyeri hebat
- Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala
2. Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :
berhubungan dengan deformitas - Joint Movement : Active Exercise therapy : ambulation
skeletal - Mobility Level - Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan
- Self care : ADLs dan lihat respon klien saat latihan
- Transfer performance - Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
Kriteria Hasil : - Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
- Klien meningkat dalam aktivitas fisik berjalan dan cegah terhadap cedera
- Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas - Ajarkan klien atau tenaga kesehatan lain
- Memverbalisasikan perasaan dalam tentang teknik ambulasi
meningkatkan kekuatan dan kemampuan - Kaji kemampuan klien dalam mobilisas
berpindah - Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan
- Memperagakan penggunaan alat Bantu ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
untuk mobilisasi (walker) - Dampingi dan Bantu klien saat mobilisasi dan
bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
- Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
- Ajarkan klien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan

3 Gangguan citra tubuh NOC NICBody image enhancement


berhubungan dengan perubahan - Body image - Kaji secara verbal dan non verbal respon klien
bentuk tubuh pada tulang. dan - Self esteem terhadap tubuhnya
sendi - Monitor frekuensi mengkritik dirinya
Kriteria Hasil : - Jelaskan tentang pengobatan, perawatan,
- Body image positif kemajuan dan prognosis penyakit
- Mampu mengidentifikasi kekuatan persona - Dorong klien mengungkapkan perasaannya
- Mendiskripsikan secara faktual perubahan - Identifikasi arti pengurangan melalui
fungsi tubuh pemakaian alat bantu
- Mempertahankan interaksi sosial - Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam
kelompok kecil
4 Risiko cedera berhubungan NOC : Risk Kontrol NIC : Environment Management (Manajemen
dengan kelemahan fisik Kriteria Hasil : lingkungan)
- Klien terbebas dari cedera - Sediakan lingkungan yang aman untuk klien
- Klien mampu menjelaskan cara/metode - Identifikasi kebutuhan keamanan klien, sesuai
untukmencegah injury/ceder dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif  klien
- Klien mampu menjelaskan factor resiko dari dan riwayat penyakit terdahulu klien
lingkungan/perilaku persona - Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
- Mampumemodifikasi gaya hidup (misalnya memindahkan perabotan)
untukmencegah injur - Memasang side rail tempat tidur
- Menggunakan fasilitas kesehatan yang ad - Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan
- Mampu mengenali perubahan status bersih
kesehatan - Menempatkan saklar lampu ditempat yang
mudah dijangkau klien.
- Membatasi pengunjung
- Memberikan penerangan yang cukup
- Menganjurkan keluarga untuk menemani
klien.
- Mengontrol lingkungan dari kebisingan
- Memindahkan barang-barang yang dapat
membahayakan
- Berikan penjelasan pada klien dan keluarga
atau pengunjung adanya perubahan status
kesehatan dan penyebab penyakit.

5 Ansietas berhubungan dengan NOC : NIC :


proses penyakit - Anxiety control Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
- Coping - Gunakan pendekatan yang menenangkan
- Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
Kriteria Hasil : pelaku klien
- Klien mampu mengidentifikasi dan - Jelaskan semua prosedur dan apa yang
mengungkapkan gejala cemas dirasakan selama prosedur
- Mengidentifikasi, mengungkapkan dan
menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas - Temani klien untuk memberikan keamanan
- Vital sign dalam batas normal dan mengurangi takut
- Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh - Berikan informasi faktual mengenai diagnosis,
dan tingkat aktivitas menunjukkan tindakan prognosis
berkurangnya kecemasan - Dorong keluarga untuk menemani anak
- Lakukan back / neck rub
- Dengarkan dengan penuh perhatian
- Identifikasi tingkat kecemasan
- Bantu klien mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
- Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
- Instruksikan klien menggunakan teknik
relaksasi
- Barikan obat untuk mengurangi kecemasan

6 Defisit perawatan diri NIC :


berhubungan dengan kelemahan NOC : Self Care assistane : ADLs
fisik - Self care : Activity of Daily Living (ADLs)
- Monitor kemempuan klien untuk perawatan
diri yang mandiri.
Kriteria Hasil : - Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu
- Klien terbebas dari bau badan untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias,
- Menyatakan kenyamanan terhadap toileting dan makan.
kemampuan untuk melakukan ADLs - Sediakan bantuan sampai klien mampu secara
- Dapat melakukan ADLS dengan bantuan utuh untuk melakukan self-care.
- Dorong klien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari yang normal sesuai kemampuan
yang dimiliki.
- Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi
beri bantuan ketika klien tidak mampu
melakukannya.
- Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong
kemandirian, untuk memberikan bantuan
hanya jika klien tidak mampu untuk
melakukannya.
- Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai
kemampuan
- Pertimbangkan usia klien jika mendorong
pelaksanaan aktivitas sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

AHRQ, 2008, Rheumatoid Arthritis Medicines: A Guide for Adults,


http://www.effectivehealthcare.ahrq.gov/repFiles/RheumArthritisConsumerGuide_Single
page.pdf, diakses pada tanggal 18 April 2013.

Aleteha, D., Neogi T., Silman, A.J., et al., 2010, Rheumathoid Arthritis Classification Criteria :
An American College Of Rheumathology/European League Against Rheumatism
Collaborative Initiative. Arthritis Rheum., 2010; 62(9): 2569-2581.

Blumental, 2012, Rheumatoid Arthritis And The Incidence Of Influenza And Influenza-Related
Complications: A Retrospective Cohort Study BMC Musculoskeletal Disorders 2012,
13:158, 2-10.

Bose , N, MD ., 2012 , Should I Order An Anti-CCP Antibody Tes to Diagnose Rheumatoid


Arthritis? , Cleveland Clinic Journal Of Medicine, Ohio.

Egerer, K., 2009, The Serological Diagnosis of Rheumatoid Arthritis, Deutsches Ärzteblatt
International, Germani.

Eustice, C., 2007, Everything Health Guide To Arthritis, Adam Media, Avon, pp. 53.

Fischbach, F., dan Dunning, M.B., 2009, A Manual of Laboratory and Diagnosic Test, 8th
Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp. 634.

Gcelu, A., and Kalla, A.A., 2011, Current Diagnosis And Treatment Strategies In Rheumatoid
Arthritis, CME, August 2011, Vol.29, No.8.

Gibofsky, 2012, Overview of Epidemiology, Pathophysiology, and Diagnosis of Rheumatoid


Arthritis, The American Journal of Managed Care, VOL. 18, No. 13, pp :295-302.

Klareskog, 2006, A New Model for an Etiology of Rheumatoid Arthritis Smoking May Trigger
HLA–DR (Shared Epitope)–Restricted Immune Reactions to Autoantigens Modified by
Citrullinationm, American College of Rheumatology, vol 54 no 1 pp : 38-46.

Klipple, J.H., Crofford, L.J., dan Stone, J.H., 2008, Primer On The Rheumatic Disease,
Springer, London, pp.15-16.

Langguth ,D ., 2006 , Antibodies to Cyclic Citrullinated Peptides: HowTthey Assist In The


Diagnosis of Rheumatoid Arthritis , Autralian Precriber , Australia.

Lynda, Jual. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. alih bahasa Monica Ester,
Skp.EGC : Jakarta
Marc, 2009, Hypersensitivity Reactions and Methods of Detection, Neuroscience, vol 372,
pp.1-4.

Mclnnes, 2011, The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis, N Engl j med, vol 365, pp : 2205-
2219.

McNeil, M.E.A., 2005, The First Year: Rheumatoid Arthritis, Da Capo Press, Cambridge, pp.
58.
Ming Dai, 2003, Prevalence of Rheumatic Symptoms, Rheumatoid Arthritis, Ankylosing
Spondylitis, and Gout in Shanghai, China: A COPCORD Study, The Journal of
Rheumatology, 2245-2251.

Nerl, 2012, Accutex Rheumatoid Factor (RF) Latwx Test, Nerl Diagnostics LLC, Washington
DC.

Mustaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Editor, Eko Karioni. Jakarta : EGC

NHS, 2012, Symptoms Of Rheumatoid Arthritis, http://www.nhs.uk/Conditions/Rheumatoid-


arthritis/Pages/Symptoms.aspx, diakses pada tanggal 18 April 2013.

Prapti Utami dan Tim Lentera. (2003). Tanaman Obat untuk Mengatasi Rematik dan Asam
Urat. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Ruderman, E., 2008, What is Erythrocyte Sedimentation Rate (Sed Rate) And How Is It Used
To Diagnose Rheumatoid Arthritis ?, http://abcnews.go.com/Health/PainArthritis, diakses
pada tanggal 17 April 2013.

Scott, 2010, Rheumatoid arthritis, Lancet, vol 376, 1094-1108.

Singh, J.A., et al, 2012, 2012 Update of the 2008 American College of Rheumatology
Recommendations for the Use of Disease-Modifying Antirheumatic Drugs and Biologic
Agents in the Treatment of Rheumatoid Arthritis, Arthritis Care & Research, Vol. 64,
No. 5, May 2012, pp 625–639.

Sjaifoellah Noer. (1996). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: FKUI.

Stoppler, M.C., 2013, Rheumatoid Arthritis, http://www.medicinenet.com/rheumatoid_arthritis,


diakses pada tanggal 17 April 2013.

Sukandar, 2009, ISO Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan, Jakarta, pp. 659.

Swannalai , P.,2011, The Fine Specificity of IgM Anti-citrullinated Protein Antibodies (ACPA)
is Different From That Of IgG ACPA, Biomed Central, Netherland.
Ursum, 2010, Different Properties Of ACPA and Igm-RF Derived From A Large Dataset:
Further Evidence Of Two Distinct Autoantibody Systems, Rhinitis Research and
Therapy, 11, no3, pp: 1-6.

Jhonson R. dan Leny R (2010). Keperawatan Keluarga Plus Contoh Askep Keluarga.
Yogyakarta : Nuha Medika
.
Wahyudi Nugroho. (2000). Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai