Anda di halaman 1dari 13

Makalah Farmakoterapi II

Gangguan Tulang Dan Sendi (Rheumatoid Arthritis, Gout Dan


Hiperurisemia)

Oleh:

Nama : Sarmita

NIM : 1804081

Kelompok : 3

Kelas :B

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

PADANG

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................i
Gangguan Tulang Dan Sendi.....................................................................................................1
A. Rheumatoid Arthritis.......................................................................................................1
1. Definisi Rheumatoid Arthritis.....................................................................................1
2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis..............................................................................1
3. Etiologi Rheumatoid Arthritis.....................................................................................2
4. Gejala Rheumatoid Arthritis........................................................................................2
5. Faktor Resiko Rheumatoid Arthritis...........................................................................3
6. Terapi non Farmakologis.............................................................................................3
7. Terapi Farmakologis....................................................................................................3
8. Komplikasi Rheumatoid Arthritis...............................................................................4
B. Gout dan Hiperurisemia..................................................................................................5
1. Definisi gout dan hiperurisemia......................................................................................5
2. Patofisiologi Gout........................................................................................................6
3. Etiologi........................................................................................................................7
5. Faktor resiko................................................................................................................8
6. Diagnosis.....................................................................................................................8
7. Terapi non farmakologi...............................................................................................8
8. Terapi farmakologi......................................................................................................9
9. Komplikasi................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................11

i
Gangguan Tulang Dan Sendi

1. Rheumatoid Arthritis

2. Definisi Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum


diketahui dan ditandai oleh synovitis erosive yang simetris pada beberapa kasus dan
disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Rheumatoid arthritis ialah peradangan sendi
akibat sistem kekebalan tubuh yang menyerang jaringannya sendiri. Radang sendi ini
menimbulkan keluhan bengkak dan nyeri sendi, serta sendi terasa kaku. Penyakit ini
merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan sendi
yang simetris (Dipiro, 2015).

3. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang


sendi. Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan synovial. Kerusakan sendi dimulai terjadi
dari proliferasi makrofag dan fibroblast synovial. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-
sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat terjadinya pertumbuhan yang iregular pada
jaringan sinovial yang mengalami inflamasi. Pannus kemudian menginvasi dan merusak
rawan sendi dan tulang respon imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin,
proteinase, dan faktor pertumbuhan. Sel T dan sel B merupakan respon imunologi
spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT. Sitokin dan sel B
merupakan respon imunologi spesifik humoral, sel B berupa IgG, IgA, IgM, IgE, IgD.
Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara respon sel T dengan share epitop dari
major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan peptide para antigen-
presenting cell (APC) pada sinovium atau sistemik. Dan peran sel B dalam
imunopatologis RA belum diketahui secara pasti (Suarjana, 2009).
Peradangan sendi pada penyakit rheumatoid arthritis terjadi saat sistem kekebalan
tubuh sendiri menyerang jaringan yang membentuk sendi, yaitu lapisan penghasil
minyak sendi, jaringan penghubung antar tulang (ligamen), jaringan penghubung tulang
dengan sendi (tendon), dan tulang rawan. Penyakit ini dapat membuat sendi kehilangan
bentuk dan akhirnya hancur. Kondisi di mana sistem kekebalan tubuh yang seharusnya
melindungi tubuh justru berbalik menyerang tubuh sendiri dinamakan autoimun.
Penyebab timbulnya penyakit autoimun sendiri belum diketahui secara pasti, namun
diduga terkait dengan faktor genetik

4. Etiologi Rheumatoid Arthritis

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiaannya dikorelasikan


dengan interaksi yang kompleks antara factor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009).
1. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB 1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).
2. Hormon sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron
(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan
stimulus esterogen dan progesterone pada respon imun humoral (TH2) dan
menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap
perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).
3. Faktor infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang
(host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya
penyakit RA (Suarjana, 2009).
4. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amini homolog.
Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga menyebabkan terjadinya
reaksi silang limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis
(Suarjana, 2009).

5. Gejala Rheumatoid Arthritis

Berikut beberapa keluhan pada sendi yang dirasakan oleh penderita, antara lain:
a. Nyeri sendi
b. Sendi bengkak
c. Sendi kemerahan, terasa hangat atau kaku (terutama pada pagi hari atau setelah
lama tidak digerakkan)
Keluhan pada sendi ini biasanya berawal dari sendi di kaki, sehingga dapat
menimbulkan keluhan:
a. Nyeri pada pergelangan kaki saat berjalan di tanjakan.
b. Nyeri pada tumit dan tulang kering saat berjalan di atas tanah yang tidak rata.

2
c. Perubahan bentuk telapak kaki sehingga sulit memakai sepatu, serta bentuk jari
kuku dan kuku kaki.

6. Faktor Resiko Rheumatoid Arthritis

Faktor resiko dalam terjadinya RA antara lain jenis kelamin perempuan, ada
riwayat keluarga menderita RA, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok. Resiko
mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir dalam sehari (Suarjana,
2009).

7. Terapi non Farmakologis

Istirahat yang cukup, pengurangan berat jika kegemukan, terapi fisik, terapi
occupational (terapi dengan aktivitas untuk merangsang penyembuhan), dan
penggunaan peralatan pembantu bisa memperbaiki simtom dan mempertahankan fungsi
sendi.
Terapi khusus untuk rheumatoid arthritis :
 Fisioterapi
Terapi ini dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot dan fleksibilitas sendi
 Terapi okupasi
Terapi ini diberikan untuk membantu penderita menjalani aktivitas sehari-hari.
Pasien dengan penyakit yang parah bisa mendapat manfaat dari tindakan operasi
seperti tenosynovectomy, perbaikan tendon, dan penggantian sendi.
1. Operasi perbaikan tendon
Operasi ini dilakukan untuk memperbaiki tendon yang putus atau mengendur
2. Sinovektomi
Operasi ini dilakukan dengan mengangkat lapisan sendi yang mengalami
peradangan.
3. Penggantian sendi total
Operasi ini mengangkat bagian sendi yang rusak dan menggantinya dengan sendi
buatan dari bahan logam atau plastik.
4. Operasi penggabungan sendi
Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat jaringan yang rusak dan
menyambungkan kembali dengan pen. Bila perlu, tulang penderita yang sudah rusak
ditambahkan dengan tulang dari bagian tubuh lain

8. Terapi Farmakologis

 NSAID
NSAID terutama bekerja dengan menginhibisi sintesis prostaglandin, yang
hanya merupakan sebagian kecil dari rangkaian inflamasi. NSAID mempunyai efek
analgesik dan anti inflamasi tapi tidak memperlambat progres penyakit atau
mencegah erosi tulang atau deformitas sendi. NSAID umumnya diterima sebagai
terapi pertama untuk perawatan simtom dari RA ringan.
 DMARD

3
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi
oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat
diberikan tunggal maupun kombinasi
 Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah seperti prednison 5-7,5mg/hari untuk
mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul
setelah 4-16 minggu, membantu mengurangi peradangan dan rasa sakit, serta
memperlambat kerusakan sendi.

Tabel 1. Terapi DMARD untuk rheumatoid arthtritis


Obat Jangka Dosis Keterangan
waktu
Sulfasalazine 1-2 bulan 1 x 500 mg/hari Digunakan sebagai
ditingkatkan setiap lini pertama
minggu hingga 4 x
500 mg/hari
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 Diberikan pada
mg/minggu/IV atau kasus lanjut dan
peroral 12,5-17,5 berat
mg/minggu dalam 8- ES: rentan infeksi,
12 minggu intoleransi GIT,
gangguan fungsi
hati dan
hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari ES: penurunan
tajam penglihatan,
mual, diare, anemia
hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari ES: gangguan hati,
gejala GIT,
peningkatan TFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750 mg/hari ES: stomatitis,
proteinuria, rash

9. Komplikasi Rheumatoid Arthritis

Penyakit rheumatoid arthritis dapat menyebabkan beberapa kondisi kesehatan


lain, yang lebih bahaya dan terkadang bisa mengancam nyawa. Beberapa komplikasi
dari penyakit rheumatoid arthritis atau rematik adalah:

4
a. Osteoporosis
Penyakit rematik berikut dengan pengobatannya dapat meningkatkan risiko
terjadinya osteoporosis, yaitu kondisi yang melemahkan tulang dan bisa membuat
tulang menjadi rentan patah.
b. Rheumatoid nodules
Rheumatoid nodules adalah benjolan keras yang muncul di bawah kulit.
Benjolan ini paling sering terbentuk di sekitar titik-titik tekanan, seperti siku, tetapi
bisa juga terbentuk di bagian tubuh manapun, termasuk paru-paru.
c. Sindrom Sjogren
Penderita rheumatoid arthritis lebih mungkin mengalami sindrom Sjogren, yaitu
kelainan yang menurunkan jumlah kelembapan di mata dan mulut, sehingga
menyebabkan mata dan mulut menjadi kering.
d. Infeksi
Penyakit rematik dan pengobatan yang dijalani dapat merusak sistem kekebalan.
Adapun kondisi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi.
e. Carpal tunnel syndrome
Carpal tunnel syndrome adalah tekanan pada saraf di pergelangan tangan. Jika
rheumatoid arthritis memengaruhi sendi di pergelangan tangan, peradangan dapat
menekan saraf di tangan dan jari, sehingga timbul carpal tunnel syndrome dengan
gejala sakit, mati rasa, dan kesemutan di jari dan sebagian tangan.
f. Masalah jantung
Rematik dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah pada jantung. Pasalnya
penyakit ini dapat menimbulkan penyumbatan dan pengerasan pembuluh darah
arteri, serta peradangan pada kantung yang membungkus jantung.
g. Penyakit paru-paru
Seseorang dengan penyakit RA dapat berisiko mengalami peradangan di
jaringan paru-paru, yang dapat menyebabkan gejala sesak napas.
h. Limfoma
Limfoma adalah salah satu jenis kanker darah yang berkembang di sistem
limfatik. Jika memiliki RA, lebih berisiko terkena penyakit ini.

10. Gout dan Hiperurisemia

1. Definisi gout dan hiperurisemia

5
Gout adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan penyakit yang
berkaitan dengan hiperurisemia, sedangkan Hiperuisemia didefinisikan sebagai
kadar Asam Urat serum lebih dari 7 mg / dL pada laki-laki dan lebih dari 6 mg/dL pada
wanita.
Hiperurisemia yang lama dapat merusak sendi, jaringan lunak dan ginjal.
Hiperurisemia bisa juga tidak menampakkan gejala klinis/asimptomatis. Hiperurisemia
terjadi akibat peningkatan produksi asam urat karena diet tinggi purin atau penurunan
ekskresi karena pemecahaan asam nukleat yang berlebihan atau sering merupakan
kombinasi keduanya. Sedangkan gout (pirai) adalah penyakit yang sering ditemukan,
merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium
urat pada jaringan, akibat gangguan metabolism berupa hiperurisemia.

2. Patofisiologi Gout

Patofisiologi hiperurisemia berkaitan dengan gout yaitu segala kondisi yang dapat
meningkatkan kadar asam urat di tubuh, termasuk peningkatan produksi ataupun
penurunan ekskresi.
Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin pada manusia. Pembentukan
asam urat berasal dari dua rute, yakni melalui asupan makanan secara oral dan melalui
biosintesis. Makanan yang tinggi purin dan dapat meningkatkan kadar asam urat
misalnya jeroan, bir, dan makanan laut. Selain itu, produksi endogen purin dapat
dipercepat dengan aktivitas sintesis phosphoribosylpyrophosphate (PRPP) dan juga
defek pada enzim pengatur hipoksantin phosphoribosyltransferase (HPRT).

Metabolisme Purin dan Hiperurisemia


Kadar asam urat yang tinggi (hiperurisemia) adalah penyebab gout dan batu
ginjal karena pembentukan dan deposisi kristal monosodium urat. Asam urat pada
konsentrasi melebihi 6,8 mg/dl dapat menyebabkan bentukan kristal secara spontan.
Selain itu, solubilitas asam urat juga menurun dengan peningkatan kadar natrium,
penurunan suhu, dan penurunan pH.
Asupan purin yang tinggi dan alkohol akan meningkatkan kebutuhan ekskresi
purin. Selain itu, peningkatan asupan fruktosa juga dilaporkan akan meningkatkan
kadar serum asam urat. Purin akan diubah menjadi hipoxanthin, kemudian menjadi
xanthin, dan akhirnya asam urat. Ekskresi asam urat utamanya terjadi melalui urin, dan
hanya sekitar sepertiga akan diekskresikan di feses. Asam urat beredar dalam tubuh
tidak berikatan dengan protein. Asam urat akan difiltrasi secara bebas di glomerulus,
tetapi 90% akan direabsorpsi.
Jumlah purin dari diet yang tinggi, degradasi purin endogen yang meningkat, dan
ekskresi asam urat di ginjal dan intestinal yang menurun akan menyebabkan
peningkatan kadar asam urat serum.
Tahapan gout ada 4 fase yaitu:
a. Tanpa gejala

6
Pada tahap ini terjadi kelebihan asam urat tetapi tidak menimbulkan gejala
klinik. Penderitan hiperurisemia ini harus di upayakan untuk menurunkan kelebihan
urat tersebut dengan mengubah pola makan atau gaya hidup.
b. Gout akut
Pada tahap ini gejalanya muncul tiba– tiba dan biasanya menyerang satu atau
beberapa persendian. Sakit yang di rasakan penderita sering di mulai di malam hari,
dan rasanya berdenyut-denyut atau nyeri seperti di tusuk jarum. Persendian yang
terserang meradang, merah, terasa panas dan bengkak. Rasa sakit pada persendian
tersebut mungkin dapat berkurang dalam beberapa hari, tapi bisa muncul kembali
pada interval yang tidak menentu. Serangan susulan biasanya berlangsung lebih
lama, pada beberapa penderita berlanjut menjadi artritis gout yang kronis, sedang di
lain pihak banyak pula yang tidak akan mengalaminya lagi.
c. Interkritikal
Pada tahap ini penderita mengalami serangan asam urat yang berulang–ulang
tapi waktunya tidak menentu.
d. Kronis
Pada tahap ini masa kristal asam urat (tofi) menumpuk di berbagai wilayah
jaringan lunak tubuh penderitanya. Penumpukan asam urat yang berakibat
peradangan sendi tersebut bisa juga di cetuskan oleh cidera ringan akibat memakai
sepatu yang tidak sesuai ukuran kaki, selain terlalu banyak makan yang mengandung
senyawa purin (misal jeroan), konsumsi alkohol, stress, karena infeksi atau efek
samping penggunaan obat–obat tertentu (diuretik).

3. Etiologi

Gout adalah peningkatan kadar asam urat darah yang berasal dari metabolisme
purin. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh penurunan ekskresi maupun overproduksi
asam urat. Penurunan ekskresi asam urat dapat terjadi pada keadaan insufisiensi renal,
nefropati, dehidrasi, maupun konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama. Peningkatan
produksi asam urat dapat terjadi pada Sindroma Lesch-Nyhan, defisiensi glukosa-6-
fosfat, dan superaktifitas phosphoribosyl pyrophosphate synthetase. Peningkatan asam
urat ini akan menimbulkan pembentukan kristal monosodium urat yang terdeposit pada
sendi dan saluran kemih.
4. Gejala

 Berikut beberapa gejala penyakit asam urat :


a. Nyeri sendi yang terjadi secara tiba-tiba (akut), seringkali muncul pada malam hari
dan dini hari
b. Pembengkakan di area sendi yang terserang
c. Kemerahan di area sendi yang terserang
d. Rasa hangat di area sendi yang terserang
e. Demam

7
Pada 4–12 jam pertama, nyeri biasanya terasa parah. Namun setelah itu, nyeri akan
berkurang, tetapi masih bisa berlangsung hingga 10 hari atau lebih. Meski telah mereda,
gejala dapat muncul lagi dalam 6–12 bulan.
Pada penyakit asam urat yang sudah berlangsung lama, struktur sendi dapat
mengalami kerusakan akibat peradangan yang berulang. Hal ini berpotensi
menyebabkan sendi menjadi kaku. Asam urat juga dapat menumpuk pada kulit di
sekitar sendi dan menimbulkan benjolan yang disebut dengan tofus.

5. Faktor resiko

Penyakit asam urat dapat menimpa siapa saja. Akan tetapi, seseorang dengan
kondisi di bawah ini lebih berisiko mengalaminya:
a. Berjenis kelamin pria, terutama yang berusia 30–50 tahun
b. Sudah mengalami menopause, bila pada wanita
c. Memiliki riwayat penyakit asam urat dalam keluarga
d. Mengonsumsi makanan tinggi purin, seperti daging merah, jeroan, dan beberapa
jenis hidangan laut, seperti teri, sarden, kerang, dan tuna
e. Mengonsumsi minuman beralkohol dan minuman tinggi gula
f. Memiliki berat badan berlebih

6. Diagnosis

Pasien dengan penyakit gout biasanya memiliki riwayat hiperurisemia sebelumnya,


namun pasien dengan kadar asam urat normal juga berisiko mengalami gout. Untuk
mendapatkan diagnosis yang lebih akurat, perlu melakukan pemeriksaan, seperti:
a. Tes darah, untuk mengukur kadar asam urat dan kreatinin dalam darah
b. Tes urine 24 jam, untuk memeriksa kadar asam urat dalam urine yang dikeluarkan
dan dikumpulkan pasien selama 24 jam
c. Tes cairan sendi, untuk mengidentifikasi kristal asam urat pada sendi dengan
mengambil sampel cairan pada sendi
d. Foto Rontgen, untuk melihat keadaan sendi
e. USG diagnostik, untuk mendeteksi kristal asam urat pada sendi dan tofus
f.Dual energy CT scan, untuk mendeteksi kristal asam urat di sendi tanpa
menggunakan cara invasif (dengan jarum suntik)

g. Biopsi sinovial, untuk mengidentifikasi kristal asam urat dengan mengambil


sebagian kecil jaringan (membran sinovial) di sekitar sendi yang terasa sakit

7. Terapi non farmakologi

a. Menghindari makanan berkadar purin tinggi


b. Mengurangi konsumsi minuman tinggi gula dan minuman beralkohol
c. Memenuhi asupan protein dengan mengonsumsi susu rendah lemak
d. Berolahraga secara rutin untuk mencapai dan menjaga berat badan ideal

8
8. Terapi farmakologi

a. Kolkisin
Dosis : 0,5 – 0,6 mg tiap satu jam atau 1,2 mg sebagai dosis awal dan diikuti 0,5 –
0,6 mg tiap 2 jam sampai gejala penyakit hilang atau mulai timbul gejala saluran
cerna, misalnya muntah dan diare. Dapat diberikan dosis maksimum sampai 7 – 8
mg tetapi tidak melebihi 7,5 mg dalam waktu 24 jam. Untuk profilaksis diberikan
0,5 – 1,0 mg sehari.
b. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Memiliki kemanjuran yang sangat baik dan toksisitas minimal dengan penggunaan
jangka pendek.Contohnya: indometasin, fenilbutazon

Inhibitor siklooksigenase-2 (COX-2) selektif (misalnya, celecoxib) dapat menjadi


pilihan untuk pasien yang tidak dapat menggunakan NSAID nonselektif

c.

Kortikosteroid
Kortikosteroid sering digunakan untuk menghilangkan gejala gout akut dan akan
mengontrol serangan. Kortikosteroid ini sangat berguna bagi pasien yang
dikontraindikasikan terhadap golongan NSAID. Jika goutnya monarticular,
pemberian antraarticular yang paling efektif. Contohnmya: dexametason,
hidrokortison, prednisone
d. Obat urikosurik/ anti hiperurisemia
Contohnya: alopurinol, probenesid, sulfinpirazon, dan febuxostat
Allopurinol menurunkan kadar asam urat. Pasien dengan penyakit ginjal kronis
(stadium 4 atau lebih buruk) harus dimulai dari dosis tidak lebih dari 50 mg per
hari. Dosis konservatif dimaksudkan untuk menghindari sindrom hipersensitivitas
allopurinol dan mencegah serangan asam urat akut yang umum terjadi selama
inisiasi terapi penurun asam urat.

9
9. Komplikasi

a. Gout kronik bertophus


Merupakan serangan gout yang disertai benjolan-benjolan (tofi) di sekitar
sendi yang sering meradang. Tofi adalah timbunan kristal monosodium urat di
sekitar persendian seperti di tulang rawan sendi, sinovial, bursa atau tendon. Tofi
bisa juga ditemukan di jaringan lunak dan otot jantung, katub mitral jantung, retina
mata, pangkal tenggorokan.
b. Nefropati gout kronik
Penyakit tersering yang ditimbulkan karena hiperurisemia. terjadi akibat dari
pengendapan kristal asam urat dalam tubulus ginjal. Pada jaringan ginjal bisa
terbentuk mikrotofi yang menyumbat dan merusak glomerulus.
c. Nefrolitiasis asam urat (batu ginjal)
Terjadi pembentukan massa keras seperti batu di dalam ginjal, bisa
menyebabkan nyeri, pendarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Air
kemih jenuh dengan garamgaram yang dapat membentuk batu seperti kalsium,
asam urat, sistin dan mineral struvit (campuran magnesium, ammonium, fosfat).
d. Persendian menjadi rusak hingga menyebabkan pincang.

DAFTAR PUSTAKA

10
Dianati, N. A. (2015). Gout and hyperuricemia. Faculty of Medicine, University of
Lampung. Jurnal Majority, 4(3).

DiPiro, B. G. W. J. T., & DiPiro, T. L. S. C. V. (2015). Pharmacotherapy Handbook Ninth


Edition, Barbara G. Wells, PharmD, FASHP, FCCP. McGraw-Hill Education.

Suarjana, I. N. (2009). Arthritis Rheumatoid Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V.
Sudoyo, AW, Setiyohadi, B., Alwi Idrus. Jakarta: Interna Publishing.

11

Anda mungkin juga menyukai