Anda di halaman 1dari 3

Parafrasa ‘Hujan Bulan Juni’

Reinard Sandya Wisanggeni/KPP-3/16

Perlu, dan krusial untuk kita ketahui, bahwa puisi ini dibuat dengan konteks hujan yang jatuh
pada musim kemarau panjang pada masa dimana Pak Sapardi membuat puisi ini, hujan yang
sekaligus mengakhiri kekeringan dan memulai masa kesuburan. Berangkat ke maknanya, dalam
bait pertama Pak Sapardi mengungkapkan ketabahan dari hujan Bulan Juni, aspek ini sangat
vital bagi kita untuk menjelajahi puisi ini kedepannya sebagai inti dari seluruh larik yang ada.
Ketabahan hujan Bulan Juni ini dianalogikan sebagai ‘rintik rindu’ yang ‘dirahasiakan kepada
‘pohon berbunga.’ Lagi-lagi, seperti dalam puisi ‘Aku Ingin,’ unsur penting dalam bait pertama
ini terletak pada tiga frase dan kata, yang juga dapat diinterpretasikan sebagai kerinduan yang
terlepas dari kondisi awalnya dimana ‘rintik’ amat didambakan oleh pohon yang lama tak
mendapat air, sehingga pohon itu dapat mencapai kondisi ‘berbunga.’ Maka dari itu, ketabahan
‘pohon’ untuk dapat mencapai kondisi ‘berbunga’ setelah melepas kerinduan dari ‘rintik’ yang
awalnya ‘dirahasiakan’ ini menjadi sorotan utama yang digambarkan oleh Pak Sapardi.
Perubahan kondisi ‘pohon’ yang digambarkan Pak Sapardi ini menarik untuk didalami lebih
jauh, sebab interpretasi dari satu analogi ini dapat dilihat dari berbagai dimensi. Asmara,
harafiah, maupun dimensi korelasi larik dengan dunia nyata, yang tentunya bisa dijabarkan satu-
satu. Seperti dimensi asmara, rindu yang terbendung lepas saat bertemu orang yang kita cintai
setelah sekian lama. Harafiah, dimana pohon yang semula kering mulai menjemput mekarnya
bunga setelah diterpa hujan dari musim kemarau yang panjang, dan menurut saya, interpretasi
inilah yang paling masuk akal dilihat dari konteks kondisi kemarau pada masa itu. Korelasi larik
bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan selaras dengan kehidupan masing-masing pembaca.

Bait kedua menekankan kebijakan hujan Bulan Juni, yang jauh berbeda topiknya dari bait
pertama, yakni hujan yang ‘menghapus’ ‘jejak-jejak kaki’ yang ‘ragu’ di jalan. Dalam satu garis
besar yang sama, relevansi topik yang diangkat oleh Pak Sapardi dalam bait ini masih berkutat
dalam tema yang sama, namun dengan perincian yang sedikit berbeda. Dalam bait ini, atau frase
yang penting untuk ditelaah lebih dalam adalah ‘jejak-jejak kaki’ dan elemen ‘keraguan.’ Jejak-
jejak kaki ini bisa kita maknai sebagai noda ataupun tindakan yang didasari oleh rasa ragu,
sehingga bijak bagi hujan Bulan Juni untuk menghapus keraguan-keraguan itu. Dalam bait ini,
menurut saya dimensi yang paling rasional dari interpretasi puisi ini adalah dimensi harafiah,
dimana Pak Sapardi ingin menunjukkan bahwa hujan B

ulan Juni dengan keputusannya yang bijak menghapus jejak-jejak keraguan. Saya menekankan
bahwa Bulan Juni disini memutuskan untuk menurunkan hujan, karena kata bijak, sebagaimana
kita ketahui, adalah tindakan yang tepat untuk mendapatkan hasil yang baik, atau setidaknya
begitulah opini dan pemaknaan saya terhadap bait kedua puisi ini.

Bait ketiga ini memiliki kontekstualisasi yang agaknya terbilang kental dari peristiwa nyata
yang terjadi pada kemarau panjang dalam masa itu. Seperti digambarkan oleh unsur
“‘dibiarkannya’ yang ‘tak terucapkan’ itu ‘diserap akar pohon bunga’ itu,” kedalaman dan
korelasi bait ini sangat tergambar dengan peristiwa dari bait sebelumnya, dimana pohon yang
awalnya kering menjadi berbunga, dan sekarang menyerap lagi ‘yang tak terucapkan’ setelah
menjadi ‘pohon bunga.’ Akan tetapi, ‘tak terucapkan’ ini bermakna sangat luas dan butuh
dicerna lebih lama, hal ini juga didukung oleh sambungan kalimatnya, yakni ‘diserap akar pohon
bunga itu,’ sebab dua frase ini dapat dimaknai dari berbagai dimensi. Contohlah asmara, bisa
diartikan kalau kata-kata yang tak terucapkan dari orang yang mencintai telah habis terserap oleh
hati orang yang dicintai karena yang tak terucapkan itu telah diungkapkan lewat perbuatan.
Akan tetapi, saya memaknai dengan jelas bahwa terdapat suatu aktivitas yang menggabungkan
kedua frase ini, yakni aktivitas menyerap, yang telah disinggung dalam larik ‘diserap akar pohon
bunga itu.’ Maka, aktivitas penyerapan inilah yang membuat bait ketiga masuk akal. Setelah
semua itu terjabarkan, tak heran bila Pak Sapardi menggunakan kata arif untuk menggambarkan
sifat hujan Bulan Juni di bait ini.

Kedalaman personifikasi dari hujan Bulan Juni dan unsur-unsur metafora lainnya yang tergabung
dalam puisi ini disatukan dengan sangat rapi oleh Pak Sapardi. Namun puisi ini menggunakan
majas hiperbola yang melengkapi relevansi dari konteks situasi harafiah, sebab sedari awal, Pak
Sapardi telah mendeskripsikan kebaikan-kebaikan hujan Bulan Juni, dan digambarkan seakan
kebaikan-kebaikan ini adalah rahmat wahid dalam situasi kemarau panjang. Yang ditakutkan dari
majas hiperbola seperti digunakan dalam pola seperti ini adalah pembatasan dimensi perspektif
untuk menikmati puisi. Itu jugalah aspek yang membuat puisi ini melegenda, bahwa Pak Sapardi
dapat dengan rapi mengemas pembahasaan ini sedemikian rupa sehingga pembaca juga dapat
merasakan situasi hujan Bulan Juni yang arif, tabah, dan bijak itu. Walaupun disayangkan pola
yang digunakan kurang lebih sama dengan puisi ‘Aku Ingin,’ dan sifat puisi ini sangat terbuka
untuk interpretasi bebas, tetapi balutan romansa dengan kedalaman itu terbungkus secara rapi.
Jadi, selain menikmati dengan kontekstualisasi zaman yang terjebak di kemarau panjang itu,
pembaca juga dapat menjelajah dalam dunia Pak Sapardi atau bahkan dunia mereka sendiri.
Secara keseluruhan, puisi ini sangat mendalam dan interpretatif, namun dengan segala
keterbukaannya, puisi ini merangkum banyak dimensi, kesinambungan bait, dan korelasi faktual
yang terkonsep. Dari situlah kesimpulan bisa ditarik, bahwa keseluruhan puisi ini secara harafiah
menceritakan kondisi alam dan iklim kemarau panjang di masa itu.

Anda mungkin juga menyukai