Anda di halaman 1dari 33

1.

STUNTING DAN DELAY ERUPSI GIGI


Stunting adalah gangguan pertumbuhan linear
yang tidak sesuai dengan usia karena terjadinya
malnutrisi. Penyebab terjadinya stunting adalah
defisiensi zinc, efek metabolit GH (Growth
Hormone) yang dihambat sehingga sintesis dan
sekresi IGF-I (Insuline Like Growth FFa actor)
menjadi berkurang. Berkurangnya IGF-I itulah
yang akan menyebabkan terjadinya stunting.
Pertumbuhan dan perkembangan tubuh sangat
dipengaruhi oleh zat gizi, baik secara sistemik
maupun secara lokal. Pada tahap dini pertumbuhan
zat gizi yang dibutuhkan, yaitu protein, kalsium,
dan fosfor yang sangat penting pada masa
pertumbuhan. Kekurangan protein, kalsium, dan
fosfor akan menyebabkan reterdasi pertumbuhan
dan kematangan tulang, hingga dapat menyebabkan
keterlambatan erupsi gigi, karena protein, kalsium,
dan fosfor merupakan zat gizi essensial dalam
pertumbuhan.1,2
Menurut data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2018 prevalensi stunting di Indonesia
tercatat sebanyak 30,8%, jika dibandingkan dengan
tahun 2013 prevalensi kasus stunting sebanyak
37,2%. Walaupun terbilang mengalami penurunan,
angka kejadian stunting di Indonesia masih
terbilang cukup tinggi. Provinsi Kalimantan Selatan
merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang
memiliki kasus stunting cukup tinggi sebesar
19,18%. Kota Banjarbaru memiliki prevalensi
kasus stunting terbilang besar menduduki posisi
urutan kedua tertinggi di Kalimantan Selatan
sebanyak 12,32% setelah Tabalong yang
menduduki posisi pertama tertinggi di Kalimantan
Selatan tahun 2018 prevalensi anak stunting
sebanyak 12,41% ditinjau pada usia 5-12 tahun.3
Stunting yang terjadi pada masa pertumbuhan
merupakan defisiensi nutrisi yang mengakibatkan
berbagai permasalahan, salah satunya
mempengaruhi waktu erupsi gigi. Erupsi gigi
merupakan gerak normal gigi kearah rongga mulut
dari posisi pertumbuhannya dalamdtulang alveolar.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Virginia
(2015) di Sekolah Dasar Negeri 70 Manado
diketahui terdapat 44,57% anak yang mengalami
malnutrisi belum mengalami erupsi gigi.4,5
Kecukupan nutrisi dalam tubuh dipengaruhi
oleh cara mengonsumsi, jenis dan waktu pemberian
makanan yang semuanya akan berpengaruh pada
kesehatan gigi dan mulut. Kalsium dan fosfor
merupakan bahan utama untuk pembentukan dentin
dan email gigi. Asupan kalsium dan fosfor yang
kurang maka akan mempengaruhi perkembangan
dan pertumbuhan tulang dan gigi. Magnesium juga
memiliki fungsi untuk mencegah kerusakan gigi,
dengan cara menahan kalsium pada email gigi,
sedangkan flour berperan dalam proses mineralisasi
dan pengerasan email gigi. Pembentukan struktur
gigi yang baik dan sempurna didukung oleh gizi
yang mencukupi.6
Beberapa penyebab terlambatnya erupsi gigi
antara lain karena mempunyai pola erupsi yang
berbeda akibat posisinya berada pada sisi labial atau
lingual lebih tepatnya mengalami erupsi rotasi.
Seperti hal nya, gigi kaninus yang merupakan gigi
terakhir tumbuh jika mengalami keterlambatan
maka besar kemungkingan tidak memiliki ruang
yang cukup untuk erupsi ke arah mesial dari gigi
premolar. Erupsi kaninus yang mengalami
keterlambatan terjadi karena posisi awal yang tidak
tepat, kurangnya panjang lengkung rahang hingga
menyebabkan gigi menjadi tumbuh secara ektopik.7
Hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan
oleh peneliti di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan
Sungai Tiung Kecamatan Cempaka Kota
Banjarbaru siswa yang mengalami stunting berusia
11-12 tahun mencapai angka 52% dari 98 anak. Hal
yang menjadi alasan kuat peneliti menetapkan
lokasi penelitian di SDN Kelurahan Sungai Tiung
Kecamatan Cempaka Kota Banjarbaru adalah data
yang diperoleh dari Riskesdas tahun 2018 bahwa
kota Banjarbaru merupakan prevalensi tertinggi
kedua di Kalimantan Selatan anak yang mengalami
stunting. Berdasarkan hal tersebut maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah stunting
yang dapat menyebabkan keterlambatan erupsi gigi
kaninus atas permanen pada anak usia 11-12 tahun
di Kota Banjarbaru. Pada penelitian sebelumnya
hanya membahas status gizi buruk yang
mempengaruhi erupsi gigi. Oleh sebab itu, dari
permasalahan tersebut maka diperlukan penelitian
lebih lanjut terhadap hubungan stunting terhadap
keterlambatan erupsi gigi kaninus atas permanen
pada anak usia 11-12 tahun di Sekolah Dasar Negeri
Kelurahan Sungai Tiung Kecamatan Cempaka Kota
Banjarbaru.

2. Terutama pada anak usia 11 – 12 dan perempuan


Hal ini disebabkan karena
perempuan pada usia 11-12 tahun tersebut
merupakan usia pubertas dan awal mula terjadinya
menstruasi. Perempuan yang sudah memasuki usia
fase menstruasi sangat rentan mengalami
kekurangan nutrisi. Karena saat perempuan
mengalami menstruasi kondisi tubuh memerlukan
asupan zat gizi berlebih. Jika dalam kondisi tersebut
asupan nutrisi tidak tercukupi, maka perempuan
lebih beresiko mengalami tinggi badan yang kurang
sesuai dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut
sejalan dengan penelitian Rostika (2019)
menyebutkan bahwa stunting merupakan indikator
terjadinya malnutrisi akibat kekurangan asupan zat
gizi. Salah satu asupan zat gizi yang dibutuhkan
adalah zat besi. Anak dengan status gizi stunting
beresiko 2,7 kali lebih besar mengalami anemia
(kekurangan darah), terlebih jika anak tersebut
sudah memasuki fase menstruasi.9 Karena hal itulah
perempuan memiliki keterlambatan pertumbuhan
dibandingkan dengan laki-laki terlebih jika dalam
kondisi tersebut asupan nutrisi berlebih yang
diperlukan oleh tubuh kurang terpenuhi, dan usia
dalam penelitian ini mengambil pada usia 11-12

3. Gigi caninus delay erupsi


tahun..karena pada usia tersebut termasuk dalam
kelompok rentan gizi. Kelompok rentan gizi
merupakan kelompok yang mudah mengalami
kekurangan gizi.6
Proses terjadinya erupsi gigi sangat
membutuhkan nutrisi yang cukup pada masa
pertumbuhan. Seperti juga halnya pada
pertumbuhan gigi kaninus. Gigi kaninus merupakan
gigi permanen yang paling terakhir tumbuh. Maka
dari itu gigi kaninus berpotensi mengalami
keterlambatan dalam erupsinya, selain itu gigi
kaninus tumbuh pada usia 11-12 tahun. Sehingga,
gigi kaninus dapat menjadi tolak ukur terjadinya
keterlambatan erupsi pada penelitian ini.7 Erupsi
gigi sering mengalami keterlambatan, hal ini
dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya
defisiensi nutrisi. Apabila asupan nutrisi pada anak
di masa pertumbuhan tidak tercukupi, maka pola
erupsi akan terganggu. Menurut penelitian
sebelumnya keterlambatan erupsi gigi terbagi
menjadi dua, yaitu secara lokal dan menyeluruh.
Lokal diartikan sebagai suatu bentuk abnormalitas
erupsi yang hanya melibatkan satu atau beberapa
gigi. Keterlambatan erupsi menyeluruh diartikan
sebagai suatu abnormalitas erupsi yang melibatkan
banyak gigi hingga menyeluruh.10
Hasil dari
penelitian ini anak dengan keterlambatan erupsi
lebih mayoritas daripada anak dengan erupsi
normal. Sebab, keterlambatan erupsi gigi memiliki
banyak faktor contohnya selain nutrisi yaitu
genetik, hormonal, jenis kelamin, faktor sosial dan
ekonomi, jaringan sekitar gigi misalnya
ligamentum periodontal..dan trauma pada gigi
sulung, seperti gigi sulung yang terlalu dini
mengalami pencabutan sehingga mengakibatkan
keterlambatan erupsi gigi pemanennya.10,11
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Agnes
(2019) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara status gizi terhadap erupsi gigi.12 Sebab,
keterlambatan erupsi itu memiliki sangat banyak
faktor, yaitu genetik, jenis kelamin, ras, penyakit
sistemik, hormon, serta nutrisi. Namun, faktor
nutrisi yang dikaitkan dalam penelitian ini ternyata
hanya memiliki porsi (1%) saja dalam
menyebabkan keterlambatan erupsi gigi, sedangkan
yang menjadi faktor terbesar terjadinya
keterlambatan erupsi gigi yaitu genetik dengan
porsi (78%).10
Nutrisi terhadap keterlambatan erupsi hanya
satu dari beberapa faktor yang mungkin saja
mendominasi, seperti yang sudah di sebutkan
sebelumnya. Hal-hal diatas mungkin saja lebih
berpengaruh dibandingkan dengan status gizi
stunting. Sehingga pada penelitian ini tidak
memdapatkan hubungan yang bermakna. Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Anie (2017) menyatakan bahwa
antara status gizi dan keterlambatan erupsi itu tidak
memiliki hubungan yang bermakna, karena selain
faktor nutrisi banyak faktor lain yang mungkin saja
bisa mendominasi adanya keterlambatan erupsi
gigi.13 Seperti penelitian yang dilakukan Agnes
menyebutkan bahwa faktor yang mendominasi
adanya keterlambatan erupsi gigi itu adalah genetik
dan nutrisi hanya terlibat sedikit dalam terjadinya
keterlambatan erupsi gigi.10
Adapun faktor lain yang menyebab
keterlambatan erupsi gigi permanen khususnya gigi
terakhir atau gigi kaninus yaitu adanya penyakit
berupa Relative generalized macrodontia. Penyakit
ini menyebabkan gigi yang tumbuh pada anak
berukuran lebih besar dibandingkan luas lengkung
rahangnya sehingga gigi yang urutan erupsinya
terakhir tidak mendapatkan tempat dan berdampak
pada keterlambatan erupsinya, bahkan kegagalan
erupsi gigi. Selain itu, trauma yang terjadi pada gigi
sulung juga dapat menyebabkan gangguan erupsi
secara lokal atau menyeluruh pada gigi permanen.
Adanya trauma seperti ankilosis (infeksi kronis
pada jaringan periodontal atau akar), dilaserasi
(penyimpangan arah aksial erupsi gigi), konresensi
(hilangnya tulang interseptal jaringan periodontal),
kista erupsi (adanya jaringan fibrotik yang
menebal), dan eksfoliasi prematur gigi sulung
(dicabut terlalu dini) karena karies.14
sumber : 1

stunting adalah
Sumber : Stop Stunting Dengan Konseling
Gizi
By PERSATUAN AHLI GIZI INDONESIA (PERSAGI)
status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi keadaan kesehatan dan
perkembangan janin.
Sejak janin sampai anak berumur dua tahun atau 1000 hari pertama
kehidupan, kecukupan
gizi sangat berpengaruh terhadap perkembangan fisik dan kognitif.
World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa 20% kejadian stunting
sudah terjadi sejak bayi masih
berada di dalam kandungan. Kondisi ini diakibatkan oleh asupan gizi
ibu selama kehamilan
kurang berkualitas, sehingga nutrisi yang diterima janin sedikit.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan faktor pola konsumsi, riwayat penyakit infeksi
dan personal hygiene
dengan status gizi ibu hamil di wilayah lokus stunting Kabupaten
Timor Tengah Utara.
Pola konsumsi pangan mengarahkan agar
pemanfaatan pangan dalam tubuh (utility food) dapat optimal, dengan
peningkatan atas kesadaran
pentingnya pola konsumsi yang beragam, dengan gizi seimbang
mencakup energi, protein,
vitamin dan mineral serta aman. Pola konsumsi yang baik dan jenis
hidangan yang
beranekaragam dapat menjamin terpenuhinya kecukupan sumber
tenaga, zat pembangun dan zat
pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang, sehingga status gizi
seseorang akan lebih baik dan
memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit.

Hasil penelitian Picauly, dkk (2017) pada keluarga Pra Sejahtera


dan Sejahtera di
Kabupaten Kupang Provinsi NTT, menunjukkan bahwa pola
konsumsi pangan yang baik
dapat memperbaiki status gizi ibu hamil 2 kali lebih baik
dibanding kelompok ibu hamil
yang mempunyai pola konsumsi pangannya buruk. Hal ini berarti
bahwa dengan
memperhatikan aspek frekuensi makan, jenis makanan, dan
jumlah makanan yang
dimakan akan sangat berpengaruh pada tingkat kecukupan gizi
ibu hamil baik pada
trimester 1-3.
Personal hygiene merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi status gizi
seseorang. Personal hygiene yang baik akan meminimalkan
pintu masuk mikroorganisme
dan pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit
infeksi (Risa Harmeida, dkk
2017). Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penting
yang mempengaruhi status
gizi seseorang secara langsung. Gizi yang tidak optimal
berkaitan dengan kesehatan yang
buruk dan meningkatkan resiko penyakit infeksi (PMK No. 41
Tahun 2014).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan
tujuan utnuk mengetahui hubungan faktor pola konsumsi,
riwayat penyakit infeksi dan
personal hygiene dengan status gizi ibu hamil di wilayah lokus
stunting Kabupaten TTU.
pangan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral
≤ 2 yang berarti
termasuk dalam kategori kurang, dengan jenis bahan pangan
yang paling banyak
dikonsumsi selama satu minggu yaitu sebanyak 19 bahan
pangan atau sama dengan 2-3
jenis pangan yang dikonsumsi dalam sehari dan didominasi oleh
jenis pangan sumber
karbohidrat. Peneilitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Farida Hidayati
(2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara pola konsumsi
(makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, dan buah-
buahan) dengan resiko
KEK pada ibu hamil. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
pola konsumsi memiliki
kontribusi yang besar dalam pemenuhan status gizi ibu hamil.
Karena, dengan
mengkonsumsi beragam bahan pangan akan meningkatkan
status gizi ibu hamil.
Hasil analisis secara simultan dari tiga variabel independen
diketahui bahwa ibu
hamil yang memiliki pola konsumsi yang kurang baik berisiko
16,667 kali memiliki
status gizi yang kurang. Hal ini berarti bahwa faktor dominan
yang paling mempengaruhi
Status Gizi Ibu Hamil di Wilayah Lokus Stunting Kabupaten TTU
adalah pola konsumsi
pangan ibu hamil. Hal tersebut disebabkan karena kebiasaan
makan ibu hamil yang tidak
beragam dan porsi makan yang sedikit. Ketersediaan pangan
yang terbatas yang dapat
menyebabkan ibu hamil mengonsumsi makanan yang tidak
beragam dan dengan porsi
yang sedikit. Ketersediaan pangan yang terbatas disebabkan
karena sebagian besar
responden memiliki tingkat pendapatan yang kurang dari UMR
Kabupaten TTU yaitu
kurang dari Rp 1.010.000 per bulan. Selain itu, meskipun
sebagian besar masyarakat di
wilayah lokus stunting bekerja sebagai petani, tetapi hasil tani
mereka tidak dikonsumsi
melainkan di jual dan hasilnya untuk kepentingan lain bukan
untuk membeli makanan
sehingga berdampak pada status gizi ibu hamil yang kurang.
Personal hygiene adalah upaya seseorang dalam memelihara
kebersihan dan
kesehatan dirinya untuk memperoleh kesejahteraan fisik dan
psikologis (Wartonah,
2010). Atau dapat diartikan sebagai suatu perilaku yang
mencerminkan upaya dalam diri
suatu individu untuk mempertahankan kebersihan pada dirinya,
sehingga tidak mudah
terjangkit penyakit dan kesehatan dapat dijaga dengan baik.
Secara tidak langsung
Personal hygiene dapat mempengaruhi status gizi. Tetapi,
dengan melakukan personal
hygiene yang baik akan mencegah dan memberantas penyakit
infeksi yang merupakan
salah satu faktor penyabab langsung terhadap status gizi
seseorang. Hal ini berarti bahwa
penyakit infeksi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
kesehatan dan keselamatan
ibu hamil
Hasil uji statistik regresi logistik sederhana diperoleh ρ-value =
0,023 (ρ<0,25)
yang berarti bahwa ada hubungan antara personal hygiene ibu
hamil dengan status gizi
ibu hamil. Hal ini dapat disebabkan karena responden yang
memiliki personal hygiene
kurang cenderung memiliki status gizi kurang yaitu sebesar
76,31% dibandingkan dengan
yang memiliki status gizi baik sebesar 23,69%. Dari penelitian ini
diketahui bahwa
beberapa kebiasaan sehari-hari responden yang kurang
menjaga kebersihan diri seperti
jarang membersihkan kuku, mencuci rambut, dan menggosok
gigi bahlan jarang mandi.
Responden mengatakan bahwa bangun pagi yang mereka
lakukan adalah bukan
menggosok gigi dengan sikat gigi dan odol tetapi langsung
menggosok gigi dengan
pinang yang merupakan kebiasaan mereka setiap hari. Kuku
yang jarang dibersihkan
disebabkan karena mereka tidak punya waktu untuk
membersihkan, hal terebut juga dapat
disebabkan karena kurangnya informasi sehingga mereka tidak
tahu bahwa kuman
penyakit banyak terdapat pada kuku yang kotor.
Hygienes pada ibu hamil sangat dibutuhkan agar bayi yang
dikandungnya terlahir
sehat dan ibu sendiri terjaga kesehatannya. Penyakit infeksi
yang terjadi pada ibu hamil
dapat disebabkan oleh bakteri, parasit ataupun jamur. Hal
penelitian menunjukkan bahwa
responden lebih banyak mempunyai kebiasaan tidak mencuci
tangan sebelum dan
sesudah makan dan jarang menggunakan sendok untuk makan.
Hal ini tentulah dapat
menyebabkan terjadinya penyakit infeksi seperti diare yang juga
dapat mempengaruhi
status gizi. Adapun responden yang mengatakan bahwa dalam
sehari mereka hanya
mandi satu kali saja yaitu pagi atau siang hari, disebabkan
karena adanya rasa malas
ketika lelah bekerja dan ditambah lagi dengan cuaca yang
dingin. Adapun kebiasaan
responden yang tidak mengganti pakaian mereka dengan alasan
pakaian yang mereka
gunakan masih bersih dan untuk mengurangi banyaknya
pakaian yang dicuci.
Kebiasaan yang terbentuk pada kehidupan responden ini
tentunya bertentangan
dengan hasil kajian dari Kusmiyati Y, dkk (2008) dan
menyatakan bahwa kebersihan
harus dijaga pada masa hamil. Mandi dianjurkan sedikitnya dua
kali sehari karena ibu
hamil cenderung untuk mengeluarkan banyak keringat, menjaga
kebersihan diri terutama
lipatan kulit (ketiak, bawah buah dada, daerah genetalia) dengan
cara dibersihkan dengan
air dan dikeringkan. Kebersihan gigi dan mulut perlu mendapat
perhatian karena
seringkali mudah terjadi gigi berlubang, terutama pada ibu yang
kekurangan kalsium.
Rasa mual selama masa hamil dapat mengakibatkan
perburukan hygiene mulut dan dapat
menimbulkan karies gigi.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pada triwulan pertama ibu hamil
mengalami rasa mual
(morning sickness). Keadaan ini menyebabkan peran perawatan
gigi tidak diperhatikan
dengan baik, sehingga timbul karies, gingivitis, dan sebagainya.
Tindakan penembalan
gigi dan pencabutan gigi jarang merupakan kontraindikasi. Bila
kerusakan-kerusakan gigi
ini tidak diperhatikan dengan baik hal ini dapat mengakibatkan
komplilkasi, seperti
nefritis, septikemia, sespsis puerperalis, oloeh karena infeksi di
rongga mulut misalnya
pulpitis yang telah menahun, dapat menjadi sarang infeksi yang
menyebar kemana-mana.
Maka dari itu bila keadaan mengijinkan, tiap wanita hamil harus
memeriksakan giginya
secara teratur sewaktu hamil (Wiknjosastro dalam Prawihardjo,
2005 dalam Rukiyah
A.Y, dkk.2009).

Aspek personal hygiene dan sanitasi lingkungan mempunyai peran penting terhadap
masalah
kekurangan gizi termasuk stunting, seperti seringnya anak terkena penyakit infeksi
(diare dan
ISPA), rendahnya kebiasaan mencuci tangan pakai sabun dengan benar juga dapat
meningkatkan
frekuensi diare. Hal yang dianggap sepele seperti buang air besar sembarangan bisa
berdampak
luas terhadap kesehatan, status gizi, dan ekonomi bangsa [3]. Stunting pada anak
merupakan
dampak yang bersifat kronis dari konsumsi diet berkualitas rendah yang terus menerus
dan
didukung oleh penyakit infeksi dan masalah lingkungan. Praktik hygiene buruk dapat
menyebabkan
balita terserang penyakit diare yang nantinya dapat menyebabkan anak kehilangan zat-
zat gizi yang
penting bagi pertumbuhan.

ecara umum, lingkungan tempat tinggal balita pada kedua kelompok (stunting dan tidak
stunting) adalah sama, yang membedakan adalah praktik personal hygiene dari masing-
masing
keluarga, masih banyak keluarga terutama pada kelompok anak stunting yang memiliki
kesadaran
yang rendah akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggal.
Praktik personal hygiene yang buruk akan menimbulkan risiko yang tinggi munculnya
bakteri. Bakteri-bakteri ini lah yang akan masuk ke tubuh anak melalui makanan yang
biasa
disajikan di rumah dan dapat berdampak kepada kesehatan anak tersebut, sehingga
bila tidak segera
ditindaklanjuti dan diimbangi dengan asupan yang sesuai maka akan terjadi gagal
tumbuh. Anak
yang kurang gizi akan memiiki daya tahan tubuh terhadap penyakit yang rendah
sehingga mudah
terkena penyakit infeksi dan dampak penyalit infeksi ini dapat mempengaruhi
perkembangan
kognitif anak dan menghambat pertumbuhan badan [4].
Personal hygiene merupakan suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan
seseorang untuk kesejahteraan, baik fisik maupun psikisnya [6]. Sehat bukan hanya
terbebas dari
penyakit, tetapi meliputi seluruh kehidupan manusia, termasuk aspek sosial, psikologis,
spiritul,
faktor-faktor lingkungan, ekonomi, pendidikan, dan rekreasi. Bila salah satu faktor tidak
terpenuhi
atau terganggu, dapat menyebabkan gangguan perasaan yang akan menimbulkan
keadaan tidak
sehat walaupun tidak terdapat penyakit atau keadaan patologis [7].
Menurut Irianto, dkk tahun 2004, terdapat beberapa macam hal yang harus diperhatikan
dalam praktik personal hygiene yaitu [7]:
a. Perawatan kulit, dengan cara mandi 2 kali dalam sehari dengan menggunakan air
bersih serta
sabun mandi
b. Perawatan kaki, tangan, dan kuku dilakukan dengan cara memotong kuku kaki
maupun tangan,
serta menjaga kebersihan tangan dan kaki dengan cara mencuci menggunakan sabun
c. Perawatan rongga mulut dan gigi, dengan cara menggosok gigi setelah makan
d. Perawatan rambut dilakukan dengan cara keramas paling sedikit 2 kali dalam
seminggu dan
menggunakan sampo
e. Perawatan mata, telinga, dan hidung dilakukan dengan cara dibersihkan ketika mandi
dan
memberikan tetes mata/telinga/hidung
f. Kebersihan pakaian, dilakukan dengan cara mengganti pakaian secara teratur
g. Tidur yang cukup.

Hasil yang signifikan dapat disebabkan oleh banyaknya pengasuh balita yang masih
menerapkan praktik higiene yang buruk, sehingga dapat berdampak kepada asupan
yang
dikonsumsi oleh balita. Balita yang mengonsumsi makanan sebagai hasil dari praktik
higiene yang
buruk dapat meningkatkan risiko anak tersebut terkena penyakit infeksi yang biasa
ditandai dengan
gangguan nafsu makan, muntah-muntah, ataupun diare sehingga asupan balita tersebut
tidak
memenuhi kebutuhannya dan kondisi seperti ini yang nantinya akan berimplikasi buruk
terhadap
pertumbuhan anak. Pengasuh balita dan balita dengan praktik higiene yang baik, seperti
mencuci
tangan menggunakan sabun setelah melakukan BAB (Buang Air Besar) dan sebelum
makan, dapat
menurunkan risiko balita terkena stunting sebanyak 14% dan jika mencuci tangan
menggunakan
sabun sebelum makan anak menurunkan risiko stunting sebanyak 15%. Sebuah
penelitian
menjelaskan bahwa prilaku higiene yang baik yang dilakukan ibu atau pengasuh balita
dapat
memberikan efek protektif terhadap kejadian stunting [4]. Penelitian serupa dilakukan
oleh
maryam, dkk tahun 2017 menunjukkan bahwa rendahnya tindakan praktik hygiene
sanitasi bukan
dikarenakan kurangnya pengetahuan tetapi dikarenakan faktor kebiasaan dan respon
pribadi
sesorang, terutama seseorang yang biasa mengolah makanan atau penjamah makanan
[13]

Dalam membangun dan menjaga kebersihan rumah harus diperhatikan beberapa


ketentuan.
Rumah sehat yang diajukan oleh Winslow ; 1) harus memenuhi kebutuhan fisiologis. 2)
harus
memenuhi kebutuhan psikologis. 3) harus dapat menghindarkan terjadinya kecelakaan.
Dan 4)
harus menghindarkan terjadinya [3].
Kriteria untuk rumah sehat sederhana (RSS) di Indonesia [14] :
a. luas tanah antara 60-90 meter persegi.
b. luas bangunan antara 21-36 meter persegi.
c. memiliki fasilitas kamar tidur, WC (kamar mandi), dan dapur.
d. Berdinding batu bata dan diplester.
e. Memiliki lantai dari ubin keramik dan langit-langit dari triplek.
f. Memiliki sumur atau air PAM.
g. Memiliki fasilitas listrik minimal 450 watt.
h. Memiliki bak sampah dan saluran air kotor
Air minum juga harus mendapat perhatian khusus. Hendaknya air minum dijaga agar
tidak
mudah tercemar oleh bahan-bahan berbahaya, sehingga bila air minum diragukan
keamanannya,
sebaiknya direbus sampai mendidih. Air yang memenuhi syarat untuk diminum adalah
air yang
tidak berasa, tidak berbau, tidak mengandung zat yang berbahaya dan jernih. Dengan
menangani
akar masalah penyebab penyakit tentunya air minum dan sanitasi dapat mengurangi
perasalahan
penyakit secara global akibat lingkungan [15].
Agar persyaratan rumah sehat terpenuhi maka tiap-tiap rumah harus memiliki jamban
sendiri
(di darat), selalu bersih dan tidak berbau (konstruksi leher angsa). Dengan jarak yang
cukup jauh
dari sumber air dan terletak di bagian hilir tanah. Pembuangan tinja tidak disemberang
tempat,
tidak bleh dibuang ke parit/aliran air, ke kebun atau kehalaman belakang. Bila sulit
tanah, usahakan
membuat saptik tank secara kolektif. Apabila terjadi wabah sakit perut, maka kotoran
penderita
(mutah dan tinja) harus diawasi pembuangnnya. Kamar kecil (WC) harus selalu bersih,
mudah
dibersihkan, cukup cahaya, dan cukup ventilasi, harus rapat sehingga terjamin rasa
aman bagi
pemakainya [11].
Pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga yang
menghasilkan sampah, bila halaman cukup sebaiknya membangun atau mengadakan
tempat khusus
untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan
sampah
tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah, dan
selanjutnya ke
tempat penampungan akhir (TPA). Pada umumnya sampah didaerah pedesaan dikelola
oleh
masing-masing keluarga tanpa memerlukan TPS dan TPA. Jangan dibiarkan
membuang sampah ke
parit, ke kolong atau ke sungai [16]

dampak stuning
dampak stunting dapat dilihat dari jangka pendek dan jangka panjang.
Beberapa dampak jangka pendek stunting di antaranya yaitu terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan berkurang, gangguan pertumbuhan fisik, dan
gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan jangka panjang di antaranya
yaitu menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunya
sistem kekebalan tubuh, sehingga anak lebih rentan terpapar penyakit, dan
meningkatnya risiko memiliki penyakit seperti diabetes, obesitas, jantung,
strok, dan disabilitas pada usia tua (Wahidin, 2022).

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol I. No 1. Maret 2016
HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI PENDEK (STUNTING)
DENGAN TINGKAT KARIES GIGI
Tinjauan pada Siswa-siswi Taman Kanak-kanak di Kecamatan Kertak Hanyar
Kabupaten Banjar Tahun 2014
Stunting atau
kegagalan pertumbuhan tubuh pada balita dapat
menyebabkan berbagai masalah bagi balita,
diantaranya yaitu dapat mempengaruhi waktu
erupsi gigi susu dan meningkatkan resiko terjadinya
karies gigi.

Karies gigi sulung juga berpengaruh


terhadap kesehatan tubuh anak secara
umum khususnya gangguan fungsi pengu-
nyahan yang menyebabkan terganggunya
penyerapan dan pencernaan makanan. Oleh
karena itu, karies gigi pada akhirnya dapat
mengganggu gizi anak sehingga menyebab-
kan terjadinya malnutrisi. Keadaan malnu-
trisi yang berlangsung lama atau kronis
menyebabkan anak menjadi stunting, yaitu
kondisi terhambatnya pertumbuhan akibat
kekurangan gizi bersifat kronis sehingga
anak terlalu pendek untuk usianya.2
Seperti halnya karies gigi, stunting pada
anak masih menjadi masalah yang dihadapi
dunia termasuk Indonesia. Stunting terjadi
karena terhambatnya pertumbuhan akibat
kekurangan gizi bersifat kronis dari keadaan
yang berlangsung lama seperti perilaku
hidup tidak sehat dan pola makan yang
kurang baik sejak anak dilahirkan, terlebih
pada 1000 HPK (hari pertama kehidupan).2
Stunting dapat menyebabkan masalah
baru seperti pendek lintas generasi, terham-
batnya perkembangan kognitif anak, dan
lebih rentan terhadap infeksi serta penyakit
tidak menular.3 Menurut data prevalensi
stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO), Indonesia termasuk
negara dengan prevalensi tertinggi ketiga di
Regional Asia Tenggara.4 Hasil Riskesdas
tahun 2018 menunjukkan prevalensi stun-
ting di Indonesia berada di angka 30,8%,
masih jauh mencapai level yang direkomen-
dasikan WHO yakni sebesar 20%.1
Telah diketahui bahwa 1000 HPK
terdiri dari 270 hari masa kehamilan ibu
ditambah 730 hari setelah anak lahir, men-
jadi masa yang penting karena sangat berpe-
ngaruh terhadap kesehatan tubuh anak
secara umum maupun kesehatan rongga
mulut.2 Kekurangan gizi pada masa-masa
kritis ini dapat menyebabkan stunting pada
anak serta tumbuh kembang gigi yang tidaknormal sehingga gigi
anak lebih rentan
mengalami karies.5,6 Anak yang lahir
normal dengan gizi baik pun tidak lepas dari
risiko stunting karena asupan gizi anak yang
kurang dan tidak sesuai dengan kebutuhan
gizi dalam waktu lama atau kronis dapat
menyebabkan stunting pada anak.7 Kondisi
kekurangan gizi kronis ini juga berpengaruh
terhadap kesehatan gigi dan mulut seperti
dapat menyebabkan gangguan perkembang-
an kelenjar saliva yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya karies gigi.8
Sejalan dengan penelitian Rahman9 di
Kabupaten Banjar yang menyatakan indeks
def-t pada anak stunting lebih tinggi secara
bermakna daripada anak tidak stunting.
Menurut penelitian longitudinal Delgado-
Angulo di Peru, anak stunting mengalami
kenaikan jumlah karies yang tinggi diban-
dingkan anak tidak stunting setelah follow
up selama tiga setengah tahun.8 Dengan
demikian karies gigi sulung pada anak
stunting dapat menjadi masalah yang lebih
serius dibandingkan anak tidak stunting.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penu-
lis tertarik untuk membahas dan menelaah
berbagai informasi ilmiah mengenai gam-
baran karies gigi sulung pada anak stunting
di Indonesia.
Anak stunting yang menderita karies
gigi sulung, dengan rerata tingkat keparahan
karies sedang sampai tinggi, dan sedikit
yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian
Simorangkir et al10 di Kabupaten Deli Ser-
dang, terdapat sebanyak 87% anak stunting
memiliki karies tinggi dan 13% yang memi-
liki karies rendah, serta penelitian Ningtias
et al13 di Kabupaten Brebes yang mendapat-
kan 81,25% anak stunting memiliki karies
sedang sampai tinggi dan 18,75% yang
memiliki karies rendah. Hal ini terjadi
karena malnutrisi dikorelasikan sebagai
faktor host yang dikaitkan dengan perkem-
bangan lesi karies, terutama kelainan struk-
tur gigi dan kelenjar saliva. Kelainan stru-
ktur gigi yaitu hipoplasia berpotensi mem-
buat suasana rongga mulut menjadi kario-
genik akibat meningkatnya proses demine-
ralisasi dari enamel protektif yang tipis.14
Karies pada anak stunting cenderung
lebih parah karena perkembangan kelenjar
saliva yang mengalami atrofi sehingga
fungsi buffer dan self- cleansing berkurang.
Laju aliran saliva memiliki hubungan secara
langsung dengan terjadinya karies melalui
oral clearance yang membantu menying-
kirkan patogen (virus, bakteria, jamur) dari
gigi dan permukaan mukosa. Buffer ber-
fungsi menetralisir pH setelah makan dan
meminimalkan waktu untuk terjadinya
demineralisasi. Di bawah pH kritis, materi
anorganik gigi akan terlarut. Kurangnya
protein dan defisiensi mikronutrien seperti
vitamin, zink, dan zat besi, dapat memenga-
ruhi jumlah dan komposisi saliva sehingga
menyebabkan keterbatasan efek protektif
saliva.8,15
Anak yang memiliki pengalaman karies
tinggi juga berisiko menderita stunting.
Berdasarkan hasil penelitian Simorangkir et
al10 di Kabupaten Deli Serdang diperoleh
PR= 2,15>1 dengan skor CI 1,2616-3,799
yang berarti anak dengan pengalaman karies
tinggi 2,15 kali lebih mungkin menjadi
stunting dibanding anak dengan pengalaman
karies rendah. Sejalan dengan penelitian
longitudinal Dimaisip-Nabuab et al11 di
Indonesia yang menyebutkan bahwa anak
yang memiliki dt lebih tinggi pada usia 6-7
tahun memiliki peluang tinggi menjadi
stunting di usia 8-9 tahun. Hal ini dapat
disebabkan karena menderita karies gigi
merupakan faktor penyebab stunting yang
dikaitkan dengan kejadian infeksi pada
anak. Kejadian infeksi dapat menyebabkan
penurunan nafsu makan, penurunan absorb-
si, yang berakibat lanjut penurunan mikro-nutrien dalam tubuh.
Menderita karies gigi
dalam waktu lama menjadi variabel penye-
bab terganggunya fungsi pengunyahan yang
berakibat memengaruhi nafsu makan serta
gangguan pencernaan dan intake gizi
sehingga berdampak terhadap gangguan
pertumbuhan hingga memengaruhi status
gizi anak. Oleh karena itu, anak dengan
pengalaman karies tinggi lebih berisiko
menderita stunting di kemudian hari
dibanding anak normal.16,17
Hasil penelitian dalam pustaka yang
telah dipaparkan menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara karies gigi sulung
dan stunting pada anak. Hal ini sesuai
dengan faktor utama penyebab stunting
pada anak yang dikaitkan dengan 1000 HPK
bahwa malnutrisi pada ibu dan malnutrisi
pada anak sebelum usia 2 tahun menye-
babkan anak menjadi stunting. Defisiensi
nutrisi pada masa ini juga mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan struktur
gigi sulung. Oleh karena itu, tingkat karies
gigi sulung pada anak stunting menjadi lebih
tinggi daripada anak normal.17
Hasil penelitian Oktarina dan Sudiarti18
di Sumatera menunjukkan bahwa balita
yang ibunya memiliki tinggi badan pendek,
tingkat asupan lemak rendah, jumlah
anggota keluarga banyak, dan memiliki
sumber air minum yang tidak terlindung
berisiko mengalami stunting berturut-turut
1,36, 1,30, 1.38, dan 1,36 kali dibandingkan
kelompok pembandingnya (p<0,05). Peneli-
tian lainnya oleh Aryastami et al19 di
Indonesia menyebutkan kondisi ibu pada
saat kehamilan yang mengalami malnutrisi,
kekurangan energi kronis (KEK), atau
anemia, berisiko melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR). Bayi
BBLR terkait dengan mortalitas, mobilitas
janin, neonatal, gangguan pertumbuhan,
gangguan perkembangan kognitif, dan
penyakit kronis di masa mendatang. Keja-
dian BBLR memengaruhi sekitar 20% dari
terjadinya stunting.19
Kondisi gizi ibu saat kehamilan juga
kaitkan dengan kejadian karies gigi pada
anak. Hal ini disebabkan karena gigi sulung
mulai terbentuk pada minggu ke-4 periode
pertumbuhan janin, dan proses mineralisasi
dimulai selama minggu ke-12. Hal ini
merupakan fase kritis karena proses aposisi
matriks yang membangun struktur jaringan
keras gigi sulung terjadi. Selain kekurangan
makronutrien, mikronutrien juga berperan
penting. Vitamin A penting untuk integritas
dan diferensiasi epitel. Defisiensi vitamin A
dapat memengaruhi aktivitas sel ameloblas
dalam membentuk enamel gigi. Vitamin D
juga diperlukan dalam metabolisme kalsium
dan fosfor, yang penting untuk pertumbuhan
gigi dan tulang. Zat gizi mikro lain yang
penting dalam perkembangan struktur ena-
mel gigi ialah kalsium, fosfor, dan magne-
sium.20 Sejalan dengan hasil penelitian
Tanaka et al21 di Jepang yang melaporkan
hubungan antara asupan vitamin D ibu yang
lebih tinggi selama kehamilan dan pengu-
rangan risiko karies gigi pada anak.
Penelitian oleh Badruddin et al22 di Kota
Depok menunjukkan terdapat hubungan
bermakna antara status gizi ibu saat keha-
milan dengan karies gigi sulung pada anak
(p<0,001). Oleh karena itu, malnutrisi ter-
masuk defisiensi makronutrien dan mikro-
nutrien pada ibu hamil akan memengaruhi
integritas gigi sulung anak kelak.
Gambaran Karies Gigi Sulung pada Anak Stunting di
Indonesia
Novia N. Aviva,1 Damajanty H. C. Pangemanan,2 Pritartha S.
Anindita1

Anda mungkin juga menyukai