Anda di halaman 1dari 14

MATERI-MATERI PRAKTEK IBADAH

1. SHALAT FARDHU (Wajib)


A. Arti dan Kedudukan Shalat
Menurut bahasa, sholatberarti ‫عاء‬ ُّ (do’a) atau rahmat. Shalat dalam arti do’a dapat ditemukan
َ ‫الد‬
dalam QS.Al-Taubah : 103.
ٔٓ١ ٌُ ١ٍِ ‫ ٌغ َػ‬١ِّ ‫ع‬ َّ َٚ ۡۗ ٌَُُّۡٙ ٓٞ ‫ع َى‬
َ ُ‫ٱَّلل‬ َ َِّْ‫ُۡ ۖۡ إ‬ِٙ ١ۡ ٍَ‫ص ًِّ َػ‬
َ ‫رَ َه‬َٰٛ ٍَ‫ص‬ َ َٚ ‫ب‬َٙ ِ‫ُ ث‬ِٙ ١‫رُ َض ِّو‬َٚ ُُۡ٘‫ ُش‬ِّٙ ‫ط‬ َ ُِۡٙ ٌَِٛ َٰ َِۡ‫ُخ ۡز ِِ ۡٓ أ‬
َ ُ‫ص َذلَ ٗخ ر‬
Artinya: "Ambillah (sebahagian) dari harta mereka menjadi sedekah (zakat), supaya dengannya engkau
membersihkan mereka (dari dosa) dan mensucikan mereka (dari akhlak yang buruk) dan
doakanlah untuk mereka, kerana sesungguhnya doamu itu menjadi ketenteraman bagi mereka.
Dan (ingatlah) Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui."
(Q.S At Taubah :103)
Sedangkan shalat dalam arti rahmat bisa ditemukan dalam QS. Al-Ahzab:43,

٣١ ‫ّب‬١ٗ ‫َٓ َس ِز‬١ِِِٕ ‫ َوبَْ ثِ ۡٱٌ ُّ ۡؤ‬َٚ ‫ ِس‬ٌُّٕٛ‫ ٱ‬ٌَِٝ‫ذ إ‬ ُّ ٌ‫ُ ۡخ ِش َخ ُىُ َِِّٓ ٱ‬١ٌِ ُ‫ َِ ٍَََٰٰٓئِ َىزُٗۥ‬َٚ ُۡ‫ ُى‬١ۡ ٍَ‫ َػ‬ٍِّٟ‫ص‬
ِ َّ َٰ ٍُ‫ظ‬ َ ُ٠ ٞ‫ ٱٌَّ ِز‬َٛ ُ٘
Artinya: “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu),
supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia
Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”.
(QS. Al-Ahzab : 43)
Adapun pengertian Shalat menurut istilah adalah yang artinya : “Suatu ibadah yang terdiri dari
ucapan dan perbuatan tertentu yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam.”
Dalam Islam, shalat mempunyai arti penting dan kedudukan yang sangat istimewa, antara lain:
1. Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah SWT yang perintahnya langsung di
terima di Rasulullah saw pada malam isra’- mi’raj.
2. Shalat merupakan tiang agama. Nabi saw bersabda:
‫ب ُد‬َٙ ‫عَٕب ِِ ِٗ ا ٌْ ِد‬
َ ُ‫ح‬َٚ ‫ ِر ْس‬َٚ ُ‫ص ََل ح‬
َّ ٌ ‫ ُدُٖ ا‬ْٛ ُّ ‫ َػ‬َٚ َُ ‫ع ََل‬
ْ ‫اْل‬ ُ ‫َس ْأ‬
ِ ْ ‫ط ْاْلَ ِْ ِش‬
Artinya : “Pokok perkara adalah islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad.”

Sebagai tiang agama, maka shalat harus selalu ditegakkan dan tidak boleh ditinggalkan dalam
keadaan bagaimanapun juga, baik itu dalam keadaan sakit, musafir, atau bahkan saat perang.
3. Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat. Nabi saw bersabda:
َ ‫ب َِ ِخ‬١َ ِ‫ ََ ا ٌْم‬ْٛ َ٠ ‫ت ِث ِٗ ا ٌْ َؼ ْج ُذ‬
… ُُٗ‫صَلَ ر‬ َ ‫ُ َسب‬٠ ‫ ُي َِب‬َّٚ َ‫إَِّْ أ‬
ُ ‫ع‬
Artinya : “Yang pertama kali dihisab (amalan) seorang hamba pada saat hari kiamat adalah shalatnya. .
(HR. Al- Tarmidzi).

Dalam riwayat al- Thabrani selanjutnya disebutkan :


“maka jika shalatnya baik maka baiklah semua amalnya, namun jika shalatnya rusak maka
rusaklah semua amalnya.”
Dijadikannya shalat sebagai standar awal dalam menilai keseluruhan amal menunjukan bahwa
kualitas pelaksanaan shalat seseorang dapat menunjukan kualitas amalan orang tersebut.
Itu pulalah sebabnya sehingga Nabi Ibrahim a.s. berdo’a kepada Allah SWT:
ِ َِ َِّْ‫ ْا فَئ‬ُٛ‫ٍِ ِۗۡۦٗ لًُۡ رَ َّزَّؼ‬١ِ‫عج‬
١ٓ ‫ ٱٌَّٕب ِس‬ٌَِٝ‫ َش ُوُۡ إ‬١‫ص‬ ِ ُ١ٌِّ ‫ ْا ِ ََّّللِ أَٔذَادٗ ا‬ٍُٛ‫ َخ َؼ‬َٚ
َ َٓ‫ ْا ػ‬ٍُّٛ‫ض‬
“Ya Tuhanku, jadikanlah hamba dan keturunan hamba orang-orang yang tetap mendirikan shalat.
Tuhan kami, perkenankanlah do’aku.” (QS. Ibrahim : 30)
B. Hukum Meninggalkan Shalat
Bagi muslim yang sudah baligh dan berakal, kemudia meninggalkan shalat dengan sengaja,
hukumnya syirik dan kufur. Nabi saw bersabda:
َّ ٌ‫ا ٌْ ُى ْف ِش ر َْش ُن ا‬َٚ ‫َْٓ اٌؾ ِّْش ِن‬١َ‫ث‬َٚ ًِ ‫َْٓ اٌ َّش ُخ‬١َ‫ث‬
‫ص ََل ِح‬
“(Beda) antara seorang (mu’min) dan antara syirik dan kekafiran ialah meninggalkan shalat.”
(HSR. Muslim).

“(Beda) antara kita dengan mereka (orang-orang kafir) itu, ialah: meninggalkan shalat. Maka
barang siapa meninggalkan shalat, sesungguhnya ia telah kufur.” (HHR Ahmad).

Hadist di atas begitu tegas menyatakan bahwa orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat
maka ia disamakan telah melakukan tindakan kufur, bukan kafir haqiqi karena bukan dalam masalah
aqidah. Bagi orang seeperti ini harus dinasehati dengan baik supaya mau segera bertaubat.

C. Tata Cara Shalat


Untuk terhindar dari bid’ah maka disini akan dijelaskan tentang bagaimana tata cara shalat Nabi
Muhammad SAW.
Shalat merupakan ibadah yang pertama kali yang bakal dihisab diakhirat nanti. Ibadah shalat
sudah ada tuntunannya dari Rasulullah SAW, baik dari segi gerakan maupun bacaannya. Bagaimana kita
bisa tahu seperti apa gerakan maupun bacaan shalat yang dicontohkan Nabi? Kita bisa tahu dari hadist-
hadist beliau yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat maupun istri beliau. Oleh karena shalat ini sudah
ada tuntunannya, maka kita sebagai umatnya tentu ibadah shalat yang kita lakukan juga harus sesuai
dengan yang dicontohkan beliau baik gerakan maupun bacaanya.
Bacaan shalat di organisasi Muhammadiyah adalah bacaan yang telah diputuskan oleh Majelis
Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Sebagaimana kita ketahui, Muhammadiyah hanya memilih hadist-
hadist yang Shahih atau yang kuat terutama dalam masalah ibadah termasuk dalam ibadah shalat ini.
Disamping itu Muhammadiyah juga tidak taklid terhadap satu mahzab saja, sehingga terkadang
Muhammadiyah mempunyai pendapat yang sama dengan mahzab Syafi’i, terkadang Maliki, Hanafi
maupun mahzab Hambali. Berbeda dengan umat islam di Indonesia umumnya yang hanya berpegang dan
terpaku pada mahzab Syafi’i saja.
Semoga bacaan shalat yang saya posting ini bermanfaat bagi kita semua terutama warga maupun
simpatisan Muhammadiyah.
1. Niat di dalam hati secara ikhlas karena Allah semata (QS. Al-Bayyinah: 5).
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat
dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Q.S Al Bayyinah :5)

Niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut sehingga tidak perlu di ucapkan. Niat secara
bahasa ialah mengyengaja sehingga siapapun yang menyengaja suatu perbuatan maka sebenarnya ia
telah mempunyai niat di dalam hatinya.
2. Berdiri sempurna menghadap arah qiblat.
ُ َ‫اَ ْمب‬
3. Bertakbir dengan mengucapkan ‫ر‬ ُ‫ هللا‬.
Takbir pertama ini disebut takbiratul-ihram. Disebut demikian karena setelah takbir ini
diharamkan melakukan gerakan lain diluar gerakan yang dituntunkan dalam shalat hingga salam.
Cara melakukan takbiratul-ihram:
ُ َ‫اَ ْمب‬
a. Mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga dan bahu sekaligus, sambil bertakbir ‫ر‬ ُ‫هللا‬.
b. Meletakan tangan kanan di atas punggung pergelangan lengen kiri, dan mengencangkan keduanya
di atas dada.
c. Pandangan kearah tempat sujud, tidak boleh menutup mata, tidak boleh menengadah ke atas, dan
tidak memalingkan pandangan ke kanan-kiri.
d. Kemudian membaca do’a iftitah berikut :
َ‫بَ َوّب‬٠‫ َِِٓ ا ٌْ َخطَب‬ِِّٕٝ‫ َُّ َٔم‬ُٙ ٌٍَّ‫ة * ا‬ ِ ‫ا ٌْ َّ ْغ ِش‬َٚ ‫ق‬
ِ ‫ؾ ِش‬ ْ َّ ٌْ ‫َْٓ ا‬١َ‫ َو َّب ثب َ َػذْدَ ث‬ٞ َ ‫َْٓ َخ‬١َ‫ث‬َٚ ِٕٝ١ْ َ‫ َُّ ثبَ ِػ ْذ ث‬ُٙ ٌٍَّ‫ا‬
َ َ ‫ب‬٠‫طب‬
‫ا ٌْجَ َش ِد‬َٚ ‫ح‬ِ ٍْ َّ‫اٌث‬َٚ ‫ ثب ِ ٌّْبَ ِء‬َٞ َ ‫ب‬٠‫غ ًْ َخطَب‬ ِ ‫ُ َُّ ا ْغ‬ٌٍَّٙ‫ظ * ا‬ ُ َ١‫ة ْاْلَ ْث‬
ِ َٔ‫ض َِِٓ اٌ َّذ‬ ُ ْٛ َّ‫ اٌث‬َّٝ‫َُٕم‬٠
“Ya Allah, jauhkanlah antara diriku dan di antara kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau
jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana
dibersihkannya kain putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju
dan embun.”

4. Membaca surat al-fatihah secara tartil dengan sebelumnya bermohon perlindungan dengan membaca
ta’awudz tanpa dikeraskan, lalu membaca basmalah.
5. Ruku’. Angkat kedua tangan seperti takbiratul-ihram sambil bertakbir Allohu Akbar menuju ke posisi
Ruku’, yang perlu diperhatikan adalah posisi kedua tangan saat ruku’ ada pada kedua lutut dalam
keadaan menggenggam, sehingga sudut ruku’ diperkirakan 90 derajat.
Bacaan saat ruku’:
ٌِٝ‫ َُّ ا ْغفِ ْش‬ُٙ ٌٍَّ‫ثِ َس ّْ ِذ َن ا‬َٚ َ‫ َُ َسثَّٕب‬ُٙ ٌٍّ‫ع ْج َسبَٔ َه ا‬
ُ
“Segala puji bagi-Mu, Ya Allah Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu yan Allah ampunilah aku”.

6. I’tidal setelah ruku’ yakni berdiri tegak dengan sempurna dan tenang (thuma’ninah).
Do’a I’tidal :
ِٗ ١ْ ِ‫ِّجًب ُِ َجب َس ًوب ف‬١َ‫ ًشا ط‬١ْ ِ‫ٌس ّْ ُذ َز ّْذًا َوث‬
َ ‫ٌَهَ ْا‬َٚ ‫َسثََّٕب‬
“Ya Tuhan kami, (hanya) untukMu lah (segala) pujian yang banyak, baik, dan diberkahi padanya”.

7. Sujud, bertakbirlah tanpa mengangkat tangan menuju gerakan sujud dengan meletakan kedua lutut
terlebih dahulu lalu kedua tangan, kemudian letakan wajah (dahi dan hidung).
Bacaan saat sujud:
ٌِٝ‫ُ َُّ ا ْغفِ ْش‬ٌٍَّٙ‫ثِ َس ّْ ِذ َن ا‬َٚ َ‫ُ َُّ َسثَّٕب‬ٌٍّٙ‫ع ْج َسبَٔ َه ا‬
ُ
“Segala puji bagi-Mu, Ya Allah Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu yan Allah ampunilah aku”.

8. Duduk diantara Dua Sujud


Bacaan Duduk diantara dua Sujud :
ِٕٝ‫اس ُص ْل‬
ْ َٚ ِٝٔ‫ا ْ٘ ِذ‬َٚ ِٝٔ‫اخجُ ْش‬ ْ َٚ ٌِٝ‫ َُّ ا ْغفِ ْش‬ُٙ ٌٍَّ‫ا‬
ْ َٚ ِّْٕٝ ‫اس َز‬
“Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupilah aku, tunjukilah aku, dan berilah rizki untukku”.

Lalu sujudlah untuk kedua kalinya dengan bertakbir dan membaca do’a sujud seperti sebelumnya.
Ketika bangkit dari sujud kedua pada rakaat ganjil dan akan berdiri pada rakaat genap, disunahkan
untuk duduk istirahat sejenak .
9. Tasyahud, pada saat tasyahud, bacalah tahiyyat dengan posisi jari-jari tangan kiri terjulur di atass
lutut, sedangkan jari-jari tangan kanan dalam posisi mengepal kecuali jari telunjuk yang menunjuk
untuk berdo’a.
Do’a Tasyahud:
َّ ٌَ‫ ا‬.ُُٗ‫ثَ َشوبَر‬َٚ ِ‫ َس ْز َّخُ هللا‬َٚ ُّٟ ِ‫ب َ إٌَّج‬ٙ٠ُّ َ‫ َه أ‬١ْ ٍَ‫غَلَ َُ َػ‬
ٍَٝ‫ َػ‬َٚ َ ‫ٕب‬١ْ ٍَ‫غَلَ َُ َػ‬ َّ ٌَ‫ ا‬. ُ‫ِّجبَد‬١َّ‫اٌط‬َٚ ُ‫اد‬َٛ ٍَ‫ص‬ َّ ٌ‫ا‬َٚ ِ‫َّبدُ ِ َّّلل‬١‫اٌَزَّ ِس‬
ُ ‫ َس‬َٚ ُٖ‫ ُذ أََّْ ُِ َس َّّذًا َػ ْج ُذ‬َٙ ‫ؽ‬
.ٌُُْٗٛ ‫ع‬ ْ َ‫أ‬َٚ ِ‫ ُذ اَْْ الَاٌََِٗ اِالَّ هللا‬َٙ ‫ؽ‬
ْ َ‫أ‬. َْٓ١‫صبٌِ ِس‬
َّ ٌ‫ِػجب َ ِدهللاِ ا‬
“Segala kehormatan, kebahagiaan dan kebagusan adalah kepunyaan Allah, Semoga keselamatan bagi
Engkau, ya Nabi Muhammad, beserta rahmat dan kebahagiaan Allah. Mudah-mudahan keselamatan
juga bagi kita sekalian dan hamba-hamba Allah yang baik-baik. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan utusan-Nya”.

Setelah membaca akhir do’a tasyahud awal, berdirilah untuk rakaat yang ketiga dengan takbir
sambil mengangkat tangan sejajar dengan bahu dan telinga, kemudian bacalah Al-Fatihah saja. Pada
raka’at terakhir setelah membaca tahiyyat akhir dan shalawat, Nabi saw menganjurkan untuk
berlindung kepada Allah dari empat hal dengan membaca do’a:
ِ َٚ َُ ١ْ ِ٘ ‫ إِ ْث َشا‬ٍَٝ‫ذَ َػ‬١ْ ٍَّ‫ص‬
‫ا ِي‬َٚ ‫ ُِ َس َّّ ٍذ‬ٍَٝ‫ثَب ِسنْ َػ‬َٚ َُ ١ْ ِ٘ ‫اي إِ ْث َشا‬ َ ‫اي ُِ َس َّّ ٍذ َو َّب‬ ِ ٍَٝ‫ َػ‬َٚ ‫ ُِ َس َّّ ٍذ‬ٍَٝ‫ص ًِّ َػ‬ َ َُّ ٌٍَُّٙ‫ا‬
.‫ ٌذ‬١ْ ‫ ٌذ َِ ِد‬١ْ ِّ ‫إَِّٔ َه َز‬. َُ ١ْ ِ٘ ‫ا ِي إِ ْث َشا‬َٚ َُ ١ْ ِ٘ ‫ إِ ْث َشا‬ٍَٝ‫ُِ َس َّّ ٍذ َو َّب ثَب َس ْوذَ َػ‬
“Ya Allah, limpahkanlah kemurahan-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Kau telah
limpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana
Kau telah berkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau yang Maha Terpuji dan Maha
Mulia”.

Do’a sesudah Tasyahud Awal :


ْ َٚ ‫ َِ ْغفِ َشحً ِِْٓ ِػ ْٕ ِذ َن‬ٌِٟ ‫ فَب ْغفِ ْش‬. َ‫ة إِالَّ أَ ْٔذ‬ٛ
،ِٟٕ ّْ ‫اس َز‬ ُّ ‫َ ْغفِ ُش‬٠ َ‫ال‬َٚ ً‫شا‬١‫ ظُ ٍّْب ً َو ِث‬ٟ‫غ‬
َ ُٔ‫اٌز‬ ِ ‫ ظٍََ ّْذُ َٔ ْف‬ِِّٟٔ‫ُ َُّ إ‬ٌٍَّٙ‫ا‬
ُُ ١‫ ُس اٌ َّش ِز‬ُٛ‫إَِّٔ َه أَ ْٔذَ ا ٌْ َغف‬
“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak. Tiada sesiapa yang
dapat mengampunkan dosa-dosa melainkan Engkau, maka ampunilah bagiku dengan keampunan
dariapda-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau maha pengampun lagi maha penyayang.”

Do’a sesudah Tasyahud Akhir :


‫ؽ ِّش فِ ْزَٕ ِخ‬ ِ ‫ا ٌْ َّ َّب‬َٚ َ ‫ب‬١‫ ِِْٓ فِ ْزَٕ ِخ ا ٌْ َّ ْس‬َٚ ,‫ة ا ٌْمَ ْج ِش‬
َ ِِْٓ َٚ ,‫د‬ ِ ‫ ُرثِ َه ِِْٓ َػ َزا‬ُْٛ ‫ أَػ‬ِِّٝٔ‫ُ َُّ إ‬ٌٍَّٙ‫ا‬
ِ ‫ ِِْٓ َػ َزا‬َٚ ,َُ ََّٕٙ ‫ة َخ‬
‫بي‬
ِ ‫ر اٌذ ََّّخ‬
ِ ١ْ ‫غ‬ِ َّ ٌْ ‫ا‬
“Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari siksa jahannam dan siksa kubur, begitu juga dari fitnah
hidup dan mati, serta dari jahatnya fitnah dajjal (pengembara yang dusta)”.

10. Salam. Setelah berdo’a dalam tasyahud akhir, kemudian salamlah dengan berpaling ke kanan dan ke
kiri hingga terlihat pipimu dari belakang dengan membaca:
ِ ُ‫ َس ْز َّخ‬َٚ ُْ ‫ ُى‬١ْ ٍَ‫غَلَ َُ َػ‬
ُُٗ‫ثَ َش َوبر‬َٚ ‫هللا‬ َّ ٌ‫ا‬
“ Berbahagialah kamu sekalian dengan rahmat dan berkah Allah”

11. Dzikir Dan Do’a Setelah Shalat


Setelah shalat di sunnatkan untuk duduk sejenak sambil melafalkan istghfar yakni permohonan
ُ ِ‫عزَ ْغف‬
ampun dengan do’a: )۳x( ‫شهللا‬ ْ ‫ا‬: ”Hamba mohon ampun pada Allah.”
Setelah istighfar, di tuntunkan membaca:
ِ ْ َٚ ‫َب َرا ا ٌْ َد ََل ٌؼ‬٠ َ‫غ ََل َُ رَجَب َس ْوذ‬
َ‫اال ْو َش ِا‬ َّ ٌ‫ ِِ ْٕ َه ا‬َٚ َُ ‫غ ََل‬
َّ ٌ‫ َُّ اَ ْٔذَ ا‬ُٙ ٌٍ‫ا‬
“ Ya Allah engkau maha sejahtera , engkaulah sumber kesejahteraan,engkau maha memberkahi
wahai yang mempunyai keagungan dan kemuiaan.”
(H.R.Muslim,Ahmad,Al-nasa’i, dari Tsawban).
kemudian membaca )۳x( ّ َُ‫ ُضب َْحا‬,
‫هللا‬ )۳x( ْ ِ ‫اَ ْى َح َْ ُذ‬,
‫ِل‬ )۳x( ْ‫ َهللاُ أ ْمبَر‬, dan kemudian di sempurnakan
dengan )۱x( ّ ‫ الَاِىََٔ ّاال‬sehingga genap menjadi 100, kemudian di tutup dengan do’a.
‫هللا‬
Sumber: Buku Fiqh Ibadah

2. SHALAT GERHANA ( KUSUF DAN KHUSUF )

Anggapan masyarakat dalam shalat kusuf berkaitan dengan sebab adanya kematian seseorang, Nabi
memberikan penjelasan di dalam hadisnya.
ُُ ١ْ ِ٘ ‫ ٍَ َِبدَ إِ ْث َشا‬ْٛ َ٠ ُُّ ‫ص‬ َّ ‫ ُي‬ْٛ ‫ع‬
ُ ِ‫هللا‬ ُ ‫ َذ َس‬َٙ ‫ َػ‬ٜ‫ب‬ْ ‫ظ َػ‬ ُ ّْ ‫ؾ‬ َّ ٌ‫ؾفَ ا‬ َ ‫ إِ ْٔ َى‬:‫ؽ ْؼجَ ْٗ لَب َي‬ ُ ِٓ ‫ َشحُ ا ْث‬١ْ ‫َػْٓ ُِ ِغ‬
ِِْٓ ِْ ‫َزَب‬٠َ‫ا ٌْمَ َّ َش أ‬َٚ ‫ظ‬ َ ّْ ‫ؾ‬
َّ ٌ‫صُ إَِّْ ا‬ ِ َّ ‫ ُي‬ْٛ ‫ع‬
ُ ‫هللا‬ ُ ‫ َُ فَمَب َي َس‬١ْ ِ٘ ‫ ِح إِ ْث َشا‬ْٛ َّ ٌِ ‫ظ‬ ُ ّْ ‫ؾ‬ َّ ٌ‫ذ ا‬ِ َ‫ؾف‬ َ ‫إِ ْٔ َى‬: ‫بط‬ُ ٌَّٕ‫فَمَب َي ا‬
َ‫ؾف‬ِ ‫ رَ ْٕ َى‬َّٝ‫ا َزز‬ْٛ ٍُّ‫ص‬ ّ ‫ ُ٘ َّب فَب ْد ُػ‬ْٛ ُّ ُ‫ز‬٠ْ َ‫َبرِ ِٗ فَئ ِ َرا َسأ‬١‫ َال ٌِ َس‬َٚ ‫د أَ َز ٍذ‬
َ َ‫هللاَ ف‬ٛ ِ ْٛ َّ ٌِ ِْ ‫ؾفَب‬ ّ ‫د‬
ِ ‫َ ْٕ َى‬٠ َ‫هللاِ ال‬ ِ ‫َب‬٠َ‫أ‬
)ٗ١ٍ‫(ِزفك ػ‬
Artinya: ”Dari Mughirah Ibnu Syu’bah ia berkata: bertepatan dengan adanya gerhana gerhana pada zaman
Rasulullah dihari wafatnya Ibrahim (putra nabi) para manusia berkata: Gerhana matahari matahari
Ini di kerenakan kematia ibrahim. Kemudian Rasulullah saw berkata:”Sesungguhnya matahari dan
rembulan keduanya adalah tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak ada kaitan dengan kematian dan
hidup seseorang maka ketika kamu melihat keduanya (gerhana) maka berdoalah kepada Allah dan
shalatlah sampai ia tertutup.” (muttafaq ‘alaih)

Yang dianjurkan dan dicontohkan oleh nabi berkenaan dengan shalat gerhana adalah:
1. Kaum muslimin berkumpul di Masjid dengan tanpa adzan dan iqamat. Namaun tidak ada salahnya
kaum Muslimin dipanggil dengan panggilan asshalaatu jaami’ah.
2. Disunahkan untuk memanjangkan bacaan dalam setiap gerakan shalat.
َ‫ي هللا صُ فمب‬ِٛ ‫ع‬ َ َ ‫صُ ف‬
ُ ‫ َس‬ٍَّٝ‫ص‬ ّ ‫ ِي‬ْٛ ‫ع‬
ُ ِ‫هللا‬ ُ ‫ ِذ َس‬ْٙ ‫ َػ‬ٍَٝ‫ظ َػ‬
ُ ّْ ‫ؾ‬
َّ ٌ‫ذ ا‬ َ ‫ إِ ْٔ َخ‬:‫بط لَب َي‬
ِ َ‫غف‬ َ َّ‫َػ ِٓ ا ْث ِٓ َػج‬
)ٍُ‫اٖ ِغ‬ٚ‫َل…(س‬٠ٛ‫ػب ط‬ٛ‫سحاٌجمشٖ ثُ سوغ سو‬ٛ‫ ِٓ لشائخ ع‬ٛ‫َل ٔس‬٠ٛ‫بِب ط‬١‫ل‬
Artinya: “Ketika terjadi gerhana di zaman Rasulullah maka beliau mengerjakan shalat, lalu berdiri dengan
lama sepadan dengan bacaan surat Al-Baqarah kemudian rukuk dengan dengan rukuk yang
lama…”. (HR. Muslim).

3. Waktu mengerjakan shalat Kusuf dimulai sejak awal terjadi gerhana sampai gerhana selesai (matahari
atau bulan terlihat kembali)
4. Tata cara shalat gerhana
a. Takbiratul ihram.
b. Membaca doa Iftitah, Al-Fatihah dan membaca ayat Al-Qur’an yang panjang.
c. Rukuk, I’tidal (bangun dari rukuk) dan melanjutkan membaca surat al-Fatihah dan ayat dari Al-
Qaur’an yang panjang.
d. Rukuk, I’tidal kemudian sujud.
e. Seusai dari sujud kemudian mengerjakan rakaat kedua sama seperti pada rakaat yang pertama.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa pada shalat Gerhana Nabi selalu membaca ayat yang panjang,
kemudian bertakbir, kemudian rukuk lama sekali, kemudian mengangkat kepalanya sambil berkata
“SamiAllahu liman Hamidah” kemudian berdiri lalu membaca surat panjang namun lebih pendek dari
yang sebelumnya. Kemudian takbir, kemudian rukuk yang lebih cepat dari yang sebelumnya . Kemudian
berkata “Sami’Allahu liman hamidah” kemudian sujud kemudian berbuat seperti itu pada rakaat
berikutnya hingga genap empat rukuk dan tempat sujud. (HR. Muslim)

Yang dianjurkan dan dicontohkan oleh nabi berkenaan dengan shalat gerhana adalah:
1. Kaum muslimin berkumpul di Masjid dengan tanpa adzan dan iqamat. Namaun tidak ada salahnya
kaum Muslimin dipanggil dengan panggilan asshalaatu jaami’ah.
2. Disunahkan untuk memanjangkan bacaan dalam setiap gerakan shalat
‫بِب‬١‫ي هللا صُ فمبَ ل‬ٛ‫ سع‬ٍّٝ‫ي هللا صُ فص‬ٛ‫ذ سع‬ٙ‫ ػ‬ٍٝ‫ إٔخغفذ اٌؾّظ ػ‬:‫ػٓ اثٓ ػجّبط لبي‬
ٍُ‫اٖ ِغ‬ٚ‫َل…س‬٠ٛ‫ػب ط‬ٛ‫سحاٌجمشٖ ثُ سوغ سو‬ٛ‫ ِٓ لشائخ ع‬ٛ‫َل ٔس‬٠ٛ‫ط‬
Artinya: “Ketika terjadi gerhana di zaman Rasulullah maka beliau mengerjakan shalat, lalu berdiri
dengan lama sepadan dengan bacaan surat Al-Baqarah kemudian rukuk dengan dengan
rukuk yang lama…”.(HR. Muslim).

3. Waktu mengerjakan shalat Kusuf dimulai sejak awal terjadi gerhana sampai gerhana selesai
(matahari atau bulan terlihat kembali).
4. Tata cara shalat gerhana
a. Takbiratul ihram.
b. Membaca doa Iftitah, Al-Fatihah dan membaca ayat Al-Qur’an yang panjang.
c. Rukuk, I’tidal (bangun dari rukuk) dan melanjutkan membaca surat al-Fatihah dan ayat dari Al-
Qur’an yang panjang.
d. Rukuk, I’tidal kemudian sujud.
e. Seusai dari sujud kemudian mengerjakan rakaat kedua sama seperti pada rakaat yang pertama.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa pada shalat Gerhana Nabi selalu membaca ayat yang panjang,
kemudian bertakbir, kemudian rukuk lama sekali, kemudian mengangkat kepalanya sambil
berkata “SamiAllahu liman Hamidah” kemudian berdiri lalu membaca surat panjang namun lebih
pendek dari yang sebelumnya. Kemudian takbir, kemudian rukuk yang lebih cepat dari yang
sebelumnya . Kemudian berkata “Sami’Allahu liman hamidah” kemudian sujud kemudian
berbuat seperti itu pada rakaat berikutnya hingga genap empat rukuk dan tempat sujud. (HR.
Muslim)

3. SHALAT JENAZAH

Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah, artinya apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum
muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya namun apabila tidak satupun yang melakukannya
maka seluruhnya berdosa.
Syarat sahnya shalat jenazah sama dengan shalat pada umumnya, yaitu suci badan dari najis dan
hadats, tempat dan pakaian bersih dari najis dan kotoran serta menutup aurat.
Tata Cara Shalat Jenazah:
1. Shalat jenazah dilakukan sebanyak empat kali takbir.
2. Shalat jenazah dapat dilakukan sendiri-sendiri dan lebih utama dilaksanakan secara berjamaah.
3. Adapun tata cara shalat jenazah adalah sebagai berikut :
a. Apabila mayitnya laki-laki Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit.
b. Apabila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya (perut/lambung).
c. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih.
Rasulullah SAW bersabda:
‫ َخ َت‬ْٚ َ‫ف فَمَ ْذ أ‬ٛ ُ ُ‫ ِٗ ثَ ََلثَخ‬١ْ ٍَ‫ َػ‬ٍَّٝ‫ص‬
ٍ ُ ‫صف‬ َ َِْٓ
“ Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni ”. [HR Tirmidzi]
d. Bacaan yang dibaca antara lain :
1) Setelah Takbir Pertama
a. Membaca Surat Al Fatihah
‫ اَ َّلر ْح ّٰم ِن‬# ‫ـح ْم ُد لِ ّٰلّ ِه َرب ال ّْٰعلَ ِم ْي َن‬ ِ َّ ‫الرحم ِن‬
َ ْ‫ اَ ل‬# ‫الرح ْيم‬ ْ َّ ‫الل‬ ِ ‫ بِس ِم‬# ‫الرِج ْي ِم‬
ْ َّ ‫ان‬ َّ ‫الل ِم َن‬
ِ َ‫الش ْيط‬ ِ ِ‫اَ ُعوذُ ب‬
ْ
‫ط الَّ ِذيْ َن‬ ِ # ‫ط الْمستَ ِق ْيم‬
َ ‫ص ّٰر‬ ِ ِ
َ ْ ُ َ ‫ ا ْهدنَا الص ّٰر‬# ‫اك نَ ْستَع ْي ُن‬
ِ َ َّ‫ إِي‬# ‫ك يَـ ْوِم الديْ ِن‬
َ َّ‫اك نَـ ْعبُ ُد َوإِي‬ ِ ِ‫ ّٰمل‬# ‫الرِح ْي ِم‬
َّ
‫ب َعلَْي ِه ْم َوَل ٱلضَّآ ل ْي َن‬ ِ ‫ض ْو‬
ُ ْ‫ت َعلَْي ِه ْم غَْي ِر ال َْمغ‬
َ ‫أَنْـ َع ْم‬
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk –Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang – Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam, – Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, – Yang menguasai hari pembalasan.– Hanya
kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan –
Tunjukilah kami jalan yang lurus, – (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat.

b. Shalawat Atas Nabi


ٍَٝ‫ثَب ِسنْ ػ‬َٚ ,َُ ١ْ ِ٘ ‫آ ِي اِ ْث َشا‬َٚ َُ ١ْ ِ٘ ‫ اِ ْث َشا‬ٍَٝ‫ذَ ػ‬١ْ ٍَّ‫ص‬ َٰ
َ ‫ َو َّب‬، ‫ آ ِي ُِ َس َّّ ٍذ‬ٍَٝ‫ػ‬َٚ ‫ ُِ َس َّّ ٍذ‬ٍَٝ‫ص ًِّ ػ‬ َ َُّ ُٙ ٌٍَّ‫ا‬
‫ ٌذ‬١ْ ‫ ٌذ َِ ِد‬١ْ ِّ ‫ َُ أَِّ َه َز‬١ْ ِ٘ ‫آي اِ ْث َشا‬
ِ َٚ َُ ١ْ ِ٘ ‫ اِ ْث َشا‬ٍَٝ‫ َو َّب ثَب َس ْوذَ ػ‬، ‫آ ِي ُِ َس َّّ ٍذ‬َٚ ‫ُِ َس َّّ ٍذ‬
“Ya Allah, limpahkanlah kemurahanMu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana
telah Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya. berkahilah Muhammad dan
keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberkahi pada Ibrahim dan keluarganya.
Sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Terpuji dan Maha Mulia”.

2) Setelah Takbir Kedua Membaca Doa Untuk Jenazah


َٰ
ٍ ٍْ َّ‫ ث‬َٚ ‫غ ٍُْٗ ِث َّب ٍء‬
‫ح‬ ِ ‫ا ْغ‬َٚ ٍَُٗ‫ع ْغ ُِذ َْخ‬ ِّ َٚ َٚ ٌَُٗ‫أَ ْو ِش َْ ُٔ ُض‬َٚ ُْٕٗ ‫اػْفُ َػ‬َٚ ِٗ ِ‫ػَبف‬َٚ ُّْٗ ‫اس َز‬ ْ َٚ ٌَُٗ ‫ُ َُّ ا ْغفِ ْش‬ٌٍَّٙ‫ا‬
‫أَ٘ ًَْل‬َٚ ِٖ ‫ ًشا ِِْٓ دَا ِس‬١ْ ‫أَ ْث ِذ ٌُْٗ دَا ًسا َخ‬َٚ ‫ظ‬ ِ َٔ‫ض َِِٓ اٌ َّذ‬ ُ ١َ ‫ة ْاْلَ ْث‬ُ ْٛ َّ‫ اٌث‬َّٝ‫َُٕم‬٠ ‫ب َو َّب‬٠َ ‫َٔمِّ ِٗ َِِٓ ا ٌْ َخطَب‬َٚ ‫ثَ َش ٍد‬َٚ
‫اة إٌَّب ِس‬ َ ‫ َػ َز‬َٚ ‫ لِ ِٗ فِ ْزَٕخَ ا ٌْمَ ْج ِش‬َٚ ِٗ ‫ ِخ‬ْٚ ‫ ًشا ِِْٓ َص‬١ْ ‫ ًخب َخ‬ْٚ ‫ َص‬َٚ ِٗ ٍِْ٘ َ‫ ًشا ِِْٓ أ‬١ْ ‫َخ‬
“Wahai, Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia.
Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan
salju. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari
kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari
keluarganya semula, isteri yang lebih baik dari isterinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga,
lindungilah dari adzab kubur dan adzab neraka.”

3) Setelah Takbir Ketiga Membaca Doa


َِْٓ َُّ ٌٍَُّٰٙ َ‫ َغب ِئجَِٕب ا‬َٚ ‫ؽَب ِ٘ ِذَٔب‬َٚ ‫أ ُ ْٔثَبَٔب‬َٚ ‫ َر َو ِشَٔب‬َٚ ‫ ِشَٔب‬١ْ ِ‫ َوج‬َٚ ‫ ِشَٔب‬١ْ ‫ص ِغ‬ َ َٚ ‫ِّزَِٕب‬١َِ َٚ ‫َِّٕب‬١‫ُ َُّ ا ْغفِ ْش ٌِ َس‬ٌٍَّٙ‫ا‬
َٰ
‫ َال‬َٚ ُٖ‫ُ َُّ َال ر َْس ِش َِْٕب أَ ْخ َش‬ٌٍَّٰٙ َ‫ َّب ِْ ا‬٠ْ ‫اْل‬
ِ ْ ٍَٝ‫فَُّٗ َػ‬َٛ َ‫زَُٗ َِِّٕب فَز‬١ْ َّ‫ف‬َٛ َ‫ َِْٓ ر‬َٚ َِ ‫ع ََل‬ ِ ْ ٍَٝ‫ِ ِٗ َػ‬١‫زَُٗ َِِّٕب فَأ َ ْز‬١ْ َ١‫أَ ْز‬
ْ ‫اْل‬
ُٖ‫ضٍََّٕب ثَ ْؼ َذ‬
ِ ُ‫ر‬
“Ya Allah ampunilah kami, baik yang masih hidup maupun yang telah mati, yang kecil maupun
yang besar, laki-laki maupun perempuan, yang tampak maupun yang tidak tempak, Ya Allah siapa
yang Engkau hidupkan dari kami maka hidupkanlah dia di atas Islam. Dan siapa yang engkau
wafatkan maka wafatkanlah dia di atas Iman. Ya Allah janganlah Engkau halangi kami akan
pahalanya dan janganlah Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.”
4) Setelah Takbir Keempat Membaca Salam
ِ ُ‫ َس ْز َّخ‬َٚ ُْ ‫ ُى‬١ْ ٍَ‫غَلَ َُ َػ‬
ُُٗ‫ثَ َش َوبر‬َٚ ‫هللا‬ َّ ٌَ‫ا‬
CATATAN:
Selain urutan di atas shalat jenazah dapat pula dilakukan dengan cara sebagi berikut :
1) Setelah takbir pertama membaca surat al fatihah
2) Setelah takbir kedua membaca shalawat atas nabi
3) Setelah takbir ketiga membaca doa untuk jenazah
.... ٌَُٗ‫أَ ْو ِش َْ ُٔ ُض‬َٚ ُْٕٗ ‫اػْفُ َػ‬َٚ ِٗ ِ‫ػَبف‬َٚ ُّْٗ ‫اس َز‬ َٰ
ْ َٚ ٌَُٗ ‫ُ َُّ ا ْغفِ ْش‬ٌٍَّٙ‫ا‬
4) Setelah takbir keempat membaca doa kemudian diakhiri dengan salam
....‫أ ُ ْٔثَبَٔب‬َٚ ‫ َر َو ِشَٔب‬َٚ ‫ ِشَٔب‬١ْ ِ‫ َوج‬َٚ ‫ ِشَٔب‬١ْ ‫ص ِغ‬ َٰ
َ َٚ ‫ِّزَِٕب‬١َِ َٚ ‫َِّٕب‬١‫ُ َُّ ا ْغفِ ْش ٌِ َس‬ٌٍَّٙ‫ا‬
Bagaimana jika jenazahnya adalah anak-anak ?
Apabila jenazahnya adalah anak-anak maka setelah membaca :
َٰ
ِ ُ‫ َال ر‬َٚ ُٖ‫ُ َُّ َال ر َْس ِش َِْٕب أَ ْخ َش‬ٌٍَّٙ‫ا‬
ُٖ‫ضٍََّٕب ثَ ْؼ َذ‬
Maka ditambah dengan doa :
‫أَ ْخ ًشا‬َٚ ‫ فَ َشطًب‬َٚ ‫عٍَفًب‬
َ ‫اخ َؼ ٍُْٗ ٌََٕب‬
ْ َُّ ُٙ ٌٍَّ‫ا‬
“Ya Allah jadikanlah dia tabungan, pendahulu dan pahala untuk kami”

Sumber bacaan :
1) Himpunan Putusan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
2) Asep Shalahudin, Tuntunan Ibadah Haji, 2012, Yogyakarta : Suara Muhamamdiyah.
3) Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qohthoni, Perisai Seorang Muslim, 2011, Sukoharjo : Al Ghuraba

4. SHALAT JAMA’ DAN QASHAR

1. Definisi Jama’ dan Qashar


Shalat Jama’ adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu, yakni melakukan shalat
Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di
waktu Ashar dan dinamakan Jama’ Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan
di waktu Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua
shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’
dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.
Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.

2. Status Jama’ dan Qashar


Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Alloh, sebagaimana firman-Nya,
yang artinya:
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu
…”., (QS: An-nisa: 101),
Dan Hadits Nabi:

‫ق أَ ْخجَ َشَٔب‬ ْ ِ‫ َُ (لَب َي إ‬١ْ ِ٘ ‫بق ْث ِٓ إِ ْث َشا‬


َ ‫ع َسب‬ ِ ‫ع َس‬ ْ ِ‫إ‬َٚ ‫ة‬ ٍ ‫ َش ْث ِٓ َز ْش‬١ْ َ٘ ‫ ُص‬َٚ ‫ت‬ِ ٠ْ ‫ َو ِش‬ْٛ ُ‫أَث‬َٚ َ‫جَخ‬١ْ ‫ؽ‬َ ْٟ ِ‫ ثَ ْى ٍش ْث ِٓ أَث‬ْٛ ُ‫ َز َّذثََٕب أَث‬َٚ
ّ ‫ َػ َّب ِس َػْٓ َػ ْج ِذ‬ْٟ ِ‫ ْح َػ ِٓ ا ْث ِٓ أَث‬٠ْ ‫ظ ) َػ ِٓ ا ْث ِٓ ُخ َش‬
ِٗ ١ْ َ‫هللاِ ْث ِٓ ثَبث‬ ّ ‫َْ َز َّذثََٕب َػ ْج ُذ‬ْٚ ‫خ ُش‬٢
ْ ٠ْ ‫هللاِ ْث ِٓ إِ ْد ِس‬ َ ‫لَب َي ْا‬َٚ
ُْ ُ‫ص ََل ِح إِْْ ِخ ْفز‬ َّ ٌ‫ا َِِٓ ا‬ْٚ ‫ص ُش‬ ُ ‫بذ أَْْ رَ ْم‬ٌ َٕ‫ ُى ُْ ُخ‬١ْ ٍَ‫ظ َػ‬َ ١ْ ٌَ { ‫ة‬ ِ ‫ٌخطَّب‬ َ ‫ لُ ٍْذُ ٌِ ُؼ َّ َش ْث ِٓ ْا‬: ‫َّ ِخ لَب َي‬١َِ ُ ‫ ْث ِٓ أ‬ٍَٟ‫َ ْؼ‬٠ ْٓ‫َػ‬
ُْٕٗ ِِ ْ‫بط فَمَب َي َػ ِد ْجذُ ِِ َّّب َػ ِد َجذ‬ ُ ٌَّٕ‫ ] فَمَ ْذ أَ ََِٓ ا‬101 – ‫خ‬٠٢‫ ا‬/ ‫ إٌغبء‬/ 4 [ } ‫ا‬ْٚ ‫َٓ َوفَ ُش‬٠ْ ‫َّ ْفزَِٕ ُى ُُ اٌَّ ِز‬٠ َْْ‫أ‬
َُٗ‫ص َذ ْلز‬َ ‫ا‬ْٛ ٍَُ‫ ُى ُْ فَب َ ْلج‬١ْ ٍَ‫ب َػ‬َٙ ‫هللا ِث‬
ّ ‫ق‬ ْ َ‫ص َذلَخٌ ر‬
ُ ‫ص ِذ‬ َ ‫عٍَّ َُ َػْٓ َرٌِ َه فَمَب َي‬ َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫هللا َػ‬ ّ ٍَّٝ‫ص‬ َ ‫هللا‬ ِ ّ ‫ ُي‬ْٛ ‫ع‬ ُ ‫غأ ٌََذْ َس‬ َ َ‫ف‬
“Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah swt., maka terimalah
shadaqahnya.” (HR: Muslim).

Apakah Qashar itu wajib (azimah) atau keringanan (rukhshah)?


Mengenai posisi qashar ini, para ulama saling berbeda pendapat, apakah itu wajib ataukah
rukhshah yang disunnatkan pelaksanaannya ?
Tiga Imam; Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad membolehkan penyempurnaan shalat, namun yang
lebih baik adalah mengqasharnya. Sedangkan Abu Hanifah mewajibkan qashar, yang juga didukung
Ibnu Hazm. Dia berkata, “Fardhunya musafir ialah shalat dua rakaat”.
Dalil orang yang mewajibkan qashar ialah tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
senantiasa mengqashar dalam perjalanan. Hal ini ditanggapi kelompok pertama bahwa perbuatan
tersebut tidak menunjukkan kewajiban. Begitulah pendapat jumhur. Mereka juga berhujjah dengan
hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha di dalam Ash-Shahihaian, “Shalat diwajibakan dua rakaat, lalu
ditetapkan shalat dalam perjalanan dan shalat orang yang menetap disempurnakan.
Hujjah ini ditanggapi Jumhur juga dengan beberapa jawaban. Ini merupakan perkataan Aisyah
yang tidak dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Aisyah juga tidak
mengikuti masa difardhulkannya shalat.
Adapun dalil-dalil jumhur tentang tidak wajibnya qashar ialah firman Allah. “Artinya: Maka
tidaklah mengapa kalian mengqashar shalat kalian” [An-Nisa : 101]
Penafian ‫خٕبذ‬ ‫ ال‬di dalam ayat ini menunjukkan bahwa qashar itu merupakan rukhshah dan
bukan sesuatu yang dipastikan. Di samping itu, dasarnya adalah penyempurnaannya. Adanya qashar
karena dirasa shalat itu terlalu panjang. Dalil lainnya adalah hadits Aisyah,
ِٓ ‫ ٍذ ػَْٓ َػطَب ِء ْث‬١‫ع ِؼ‬ ِ ‫ ػَب‬ُٛ‫ة َز َّذثََٕب أَث‬
َ ُٓ‫ص ٍُ َز َّذثََٕب ُػ َّ ُش ْث‬ ٍ ‫ا‬َٛ َ‫ ُذ ْثُٓ ُِ َس َّّ ِذ ْث ِٓ ث‬١‫ع ِؼ‬ َ ‫ َز َّذثََٕب‬ُّٝ ٍِِِ ‫َز َّذثََٕب ا ٌْ َّ َسب‬
ُُّ ِ‫ُز‬٠َٚ ‫غفَ ِش‬
َّ ٌ‫ ا‬ِٝ‫ص ُش ف‬ُ ‫َ ْم‬٠ َْ‫ َوب‬-ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ص‬- َّٝ ِ‫ب أََّْ إٌَّج‬ٕٙ‫ هللا ػ‬ٝ‫ؾخَ سض‬ َ ِ‫بذ ػَْٓ ػَبئ‬ ٍ َ‫ َسث‬ِٝ‫أَث‬
.‫ر‬١
ٌ ‫ص ِس‬ َ ‫عَٕب ٌد‬ ْ ِ‫ ُخ َ٘ َزا إ‬١ْ ‫ؾ‬َّ ٌ‫ لَب َي ا‬.َُ ٛ‫ص‬ ُ َ٠َٚ ‫ُ ْف ِط ُش‬٠َٚ
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqqashar dalam perjalanan dan
menyempurnakannya, pernah puasa dan tidak puasa [Diriwayatkan Ad-Daruquthni, yang menurutnya,
ini hadits Hasan]

Dalil-dalil jumhur ditanggapi sebagai berikut: Ayat ini disebutkan tentang qashar sifat dalam
shalat khauf dan hadits tentang hal ini dipermasalahkan. Sampai-sampai Ibnu Taimiyah berkata: “Ini
merupakan hadits yang didustakan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Akhirnya dapat dikatakan, bahwa sebaiknya musafir tidak meninggalkan qashar, karena
mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai cara untuk keluar dari perbedaan
pendapat dengan orang yang mewajibkannya, dan memang qashar inilah yang lebih baik menurut
mayoritas ulama.
Dikutip dari Ibnu Taimiyah di dalam Al-Ikhtiyarat, tentang kemakruhan menyempurnakannya.
Dia menyebutkan nukilan dari Al-Imam Ahmad, yang tidak mengomentari sahnya shalat orang yang
menyempurnakan shalat dalam perjalanan, Ibnu Taimiyah juga berkata: “Telah diketahui secara
mutawatir, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa shalat dua rakaat dalam
perjalanan, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar dan Umar setelah beliau. Hal ini menunjukkan bahwa
dua rakaat adalah lebih baik. Begitulah pendapat mayoritas ulama.

 Kondisi Dibolehkannya Jama’


Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan
oleh orang yang sedang bepergian (musafir). as Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk
orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir
yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak-balik ke masjid, atau bahkan tanpa alasan. Ini
berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
: ‫ قَا َه‬، ‫ش‬ ُّ ‫ ع َِْ أَبِي‬، ُ‫ا‬
ٍ ‫ َع ِِ ا ْب ِِ َعبَّا‬، ‫ ع َِْ َض ِعي ِذ ْب ِِ ُجبَي ٍْر‬، ‫اىسبَي ِْر‬ ُ َ‫ َح َّذثََْا ُض ْفي‬، ‫اق‬ ِ ‫َح َّذثََْا َع ْب ُذ اى َّر َّز‬
‫ت‬ُ ‫ قُ ْي‬: ‫ قَا َه‬، ‫ف‬ ٍ ْ٘‫ فِي َغي ِْر َضفَ ٍر َٗال َخ‬، ‫اىظٖ ِْر َٗ ْاى َعصْ ِر بِ ْاى ََ ِذيَْ ِت‬
ُّ َِ‫ بَ ْي‬، ٌَ َّ‫هللاُ َعيَ ْي ِٔ َٗ َضي‬
َّ ‫صيَّى‬ َ ‫َج ََ َع اىَّْبِ ُّي‬
(382 :1 :‫ (احَذ‬.ِٔ ِ‫ أَ َرا َد أَ ُْ الَ يُحْ ِر َج أَ َحذًا ٍِ ِْ أ ُ ٍَّت‬: ‫ل ؟ قَا َه‬ ِ ‫يَا أَبَا ْاى َعب‬
َ ِ‫ َٗىِ ٌَ فَ َع َو َرى‬: ‫َّاش‬
“Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ antara shalat Dhuhur dan Ashar
di Madinah bukan karena bepergian juga bukan takut. Saya bertannya; Wahai Ibnu Abbas, kenapa bisa
demikian? Dia menjawab: Dia tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya”.

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini
mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada
kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi
(kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu
Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin
memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena
sakit atau musafir”.
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk
seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena
sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab
yang membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy, Irwa’, III/40).
1. Pelaksanaan Jama’
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa menjama’ shalat merupakan keringanan yang diberikan
Allah swt, baik karena takut, hujan, bepergian atau tidak ada sebab apapun. Hal ini dikuatkan lagi
oleh beberapa hadits berikut:
“Rasulullah SAW menjamak sholat magrib dan isya pada malam yang hujan. Dalil lainnya yaitu salah
satu perbuatan sahabat, dari Nafi’: bahwa Abdullah Ibnu Umar sholat bersama para umara
(pemimpin) apabila para umara tersebut menjamak shalat magrib dan isya pada waktu hujan”.
(HR Bukhori)
“Rasulullah SAW menjamak antara sholat zuhur dan ashar dan antara sholat magrib dan Isya bukan
karena rasa takut dan hujan”. (HR Muslim)

Kesimpulannya: Dalam kondisi normal, shalat harus dilaksanakan secara terpisah-pisah


antara dhuhur dan ashar, dan antara maghrib dan isya’, maka keringanan menjama’ diberikan karena
adanya sebab tertentu. Meskipun dalam beberapa hadits tidak disebutkan sebab Nabi menjama’
shalat, namun sebagian ulama tetap meyakini Nabi memiliki sebab yang tidak diketahui oleh sahabat.
Karena itulah, sebaiknya shalat dikerjakan secara terpisah ketika dalam kondisi normal. Hanya saja
sebagaian ulama membolehkan jama’ shalat tanpa sebab dengan syarat sekali-kali saja dan tidak
menjadi kebiasaan.
Hadits-hadits cara menjama’ shalat
ًَ ١‫ع َّ ِؼ‬ْ ِ‫ت لَب َي َز َّذثََٕب َخبثِ ُش ْثُٓ إ‬ٍ ْ٘ َٚ ُٓ‫ لَب َي أَ ْٔجَأََٔب ا ْث‬ٚ‫ ِد ْث ِٓ َػ ّْ ٍش‬َٛ ‫ع‬ ْ َ‫ا ِد ْث ِٓ ْاْل‬َّٛ ‫ع‬ َ ُٓ‫ ْث‬ٚ‫ َػ ّْ ُش‬ِٟٔ‫أَ ْخجَ َش‬
ِٗ ِ‫عٍَّ َُ أََُّٔٗ َوبَْ إِ َرا َػ ِد ًَ ث‬ َّ ٍَّٝ‫ص‬
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫هللاُ َػ‬ َّ ‫ي‬ٛ
َ ِ‫هللا‬ ِ ‫ع‬ ُ ‫ة ػَْٓ أََٔظ ػَْٓ َس‬ ٍ ‫ب‬َٙ ‫ؽ‬ ِ ِٓ ‫ ًٍ ػَْٓ ا ْث‬١ْ َ‫ػَْٓ ُػم‬
َْٓ١َ‫ث‬َٚ ‫ب‬َٙ َٕ١ْ َ‫َ ْد َّ َغ ث‬٠ َّٝ‫ُ َؤ ِّخ ُش ا ٌْ َّ ْغ ِش َة َزز‬٠َٚ ‫ُ َّب‬َٕٙ١ْ َ‫َ ْد َّ ُغ ث‬١َ‫ص ِش ف‬
ْ ‫ذ ا ٌْ َؼ‬ِ ‫ ْل‬َٚ ٌَِٝ‫ َش إ‬ْٙ ‫ظ‬ ُّ ٌ‫ُ َؤ ِّخ ُش ا‬٠ ‫ ُش‬١ْ ‫غ‬
َّ ٌ‫ا‬
‫ؾفَك‬ َ ‫َ ِغ‬٠ َّٝ‫ا ٌْ ِؼؾَب ِء َزز‬
َّ ٌ‫ت ا‬١
ٓ‫ت ػٓ اث‬ ٍ ٠ْ ‫هللا ثٓ ػجبط ػٓ ُو َش‬ َّ ‫ ِذ‬١‫هللا ثٓ ػج‬ َّ ‫ٓ ث ِٓ ػَجذ‬١‫ ػٓ ُزغ‬ٟ‫س‬٠ ٟ‫ ) اثٓ أث‬: ‫(أخجشٔب‬
ٟ‫عٍُ ف‬ٚ ٗ١ٍ‫هللا ػ‬ َّ ٍٝ‫هللا ص‬ َّ ‫ي‬ٛ‫ – أالَ أُخجشوُ ػٓ صَل ِح سع‬: ‫ّب أٔٗ لبي‬ٕٙ‫هللا ػ‬ َّ ٟ‫ػجبط سض‬
ًَ ‫اي فئرا عبفش لج‬ٚ‫ اٌض‬ٟ‫اٌؼصش ف‬ٚ ‫ش‬ٙ‫ٓ اٌظ‬١‫ ِٕضٌٗ خّغ ث‬ٟ‫ ف‬ٛ٘ٚ ‫اٌؾّظ‬ ُ ‫ذ‬
ِ ٌ‫اٌغف ِش ؟ وبْ إرا صا‬
‫اٌؼصش‬
ْ ِ ‫ ْل‬ٚ ٟ‫َٓ اٌؼصش ف‬١‫ث‬ٚ ‫ّب‬ٕٙ١‫َ ْد َّ َغ ث‬٠ ٝ‫ َش زز‬ْٙ ‫ظ‬
‫ذ‬ ُّ ٌ‫أخ َش ا‬ ّ ‫اٌؾّظ‬
ُ ‫ي‬ٚ‫أْ رض‬
Dari Muadz bin Jabal bahwa Rasululloh SAW apabila beliau melakukan perjalanan sebelum matahari
condong (masuk waktu sholat zuhur), maka beliau mengakhirkan shalat zuhur kemudian
menjamaknya dengan sholat ashar pada waktu ashar, dan apabila beliau melakukan perjalanan
sesudah matahari condong, beliau menjamak sholat zuhur dan ashar (pada waktu zuhur) baru
kemudian beliau berangkat. Dan apabila beliau melakukan perjalanan sebelum magrib maka beliau
mengakhirkan sholat magrib dan menjamaknya dengan sholat isya, dan jika beliau berangkat sesudah
masuk waktu magrib, maka beliau menyegerakan sholat isya dan menjamaknya dengan sholat
magrib. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).

َْٓ‫ث ػ‬ ُ ١ْ ٌٍَّ‫ا‬ ‫ؽجَبثَخُ َز َّذثََٕب‬ َ ‫بذ َز َّذثََٕب‬


ِ َّ‫صج‬
َّ ٌ‫غُٓ ْثُٓ ُِ َس َّّ ِذ ْث ِٓ ا‬ َ ‫ ًَ َز َّذثََٕب ا ٌْ َس‬١‫ع َّب ِػ‬ َ ‫َز َّذثََٕب ا ٌْ ُس‬
ْ ِ‫ُٓ ْثُٓ إ‬١ْ ‫غ‬
َْٓ١َ‫َ ْد َّ َغ ث‬٠ َْْ‫ إِ َرا أَ َسا َد أ‬-ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ص‬- ِ‫هللا‬ َّ ‫ ُي‬ٛ‫ع‬ ُ ‫ظ لَب َي َوبَْ َس‬ ٍ ََٔ‫ة ػَْٓ أ‬ ِ ِٓ ‫ ًٍ َػ ِٓ ا ْث‬١ْ َ‫ُػم‬
ٍ ‫ب‬َٙ ‫ؽ‬
390/1 .‫ص ِش‬ ِ ‫ ْل‬َٚ ‫ ُي‬َّٚ َ‫َذ ُْخ ًَ أ‬٠ َّٝ‫ َش َزز‬ْٙ ‫ظ‬
ْ ‫ذ ا ٌْ َؼ‬ ُّ ٌ‫غفَ ِش أَ َّخ َش ا‬
َّ ٌ‫ ا‬ِٝ‫ص ِش ف‬ ُّ ٌ‫ا‬
ْ ‫ا ٌْ َؼ‬َٚ ‫ ِش‬ْٙ ‫ظ‬
Adalah Rasulullah SAW dalam peperangan Tabuk, apabila hendak berangkat sebelum tergelincir
matahari, maka beliau mengakhirkan Dzuhur hingga beliau mengumpulkannya dengan Ashar, lalu
beliau melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau hendak berangkat setelah tergelincir
matahari, maka beliau menyegerakan Ashar bersama Dzuhur dan melakukan shalat Dzuhur dan Ashar
sekalian. Kemudian beliau berjalan. Dan apabila beliau hendak berangkat sebelum Maghrib maka
beliau mengakhirkan Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya’, dan apabila beliau berangkat
setelah Maghrib maka beliau menyegerakan Isya’ dan melakukan shalat Isya’ bersama Maghrib“. (HR
Tirmidzi)
Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menjama antara Zhuhur dan Ashar jika berada dalam perjalanan, juga menjama antara
Maghrib dan Isya. (HR Bukhari)

 Mendahulukan shalat Ashar dan Isya’ pada Jama’ Ta’khir


Jumhur ulama’ sepakat mengenai urutan shalat yang dilakukan ketika jama’ taqdim; yaitu
dhuhur lalu ashar, dan maghrib lalu isya’. Mereka berbeda pendapat mengenai urutan tersebut
ketika dilakukan ketika melaksanakan jama’ ta’khir; apakah shalat dhuhur terlebih dahulu ataukah
ashar, maghrib ataukah Isya’ dulu?
Memang tidak ada dalil khusus mengenai urutan shalat yang dilakukan ketika jama’ ta’khir.
Berbagai hadits tidak menyebutkan urutan tersebut, kecuali hanya persepsi dan interpretasi yang
terlalu jauh. Karena itu, yang benar adalah kembali kepada urutan shalat dalam kondisi normal, yaitu
shalat dhuhur dulu baru ashar, maghrib dahulu baru isya’.
1. Safar Sebagai Syarat Qashar
Kebolehan atau kesunnahan shalat qashar selalu dikaitkan dengan safar. Karena itu berbagai
perbedaan pendapat mengenai shalat qashar berawal dari pengertian safar. Karena itu perlu
ditegaskan di sini pengertian safar.
ٌُ ٗٔ‫رٌه ْل‬ٚ ‫ٕخ‬١‫ال ِذح ِؼ‬ٚ ,‫ٕخ‬١‫زسذد رٌه ثّغبفخ ِؼ‬٠ ‫ال‬ٚ ,ً‫ف اٌغفش ِب عّبٖ إٌبط عفشا‬٠‫رؼش‬
ٛ٘ٚ, ٗ‫ فّب داَ اْلٔغبْ ِفبسلب ً ٌّسً إلبِز‬,‫ذ‬٠‫ رٌه رسذ‬ٟ‫عٍُ ف‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٟ‫ ص‬ٟ‫شد ػٓ إٌج‬٠
‫ عفش‬ٟ‫ ف‬ٛٙ‫ػٕذ إٌبط ِغبفش ف‬
Definisi safar adalah apa kondisi yang biasa dianggap orang itu safar, tidak bisa dibatasi oleh
jarak tertentu atau waktu tertentu. Hal itu karena tidak ditemukan adanya batasan dari Nabi. Selama
seseorang itu terpisah dari tempat tinggalnya dan menurut ukuran orang itu sudah dinggap safar,
maka berarti dia dalam kondisi safar.
Untuk mempertegas pengertian safar, perlu diperhatikan dua istilah yang terkait;
yaitu muqim dan muwathin. Isitilah muqim telah disebut dalam definisi di atas yang berarti
kebalikan dari musafir. Orang yang bertempat tinggal pada daerah tertentu dan dia bukan dari
penduduk asli maka dia disebut muqim, namun bila dia adalah penduduk asli maka disebut
muwathin. Sementara yang berada pada tempat bukan tempat tinggalnya, bukan muqim dan bukan
pula muwathin, maka disebut musafir.
Dengan demikian, apabila safar adalah syarat dibolehkannya qashar, maka selama seseorang
itu bepergian pada jarak yang menurut kebiasaan masyarakat sudah dianggap safar dan tidak
bermaksud muqim meskipun dalam waktu yang lama, maka dia berhak melakukan qashar.
Itulah pendapat pertama dari para ulama yang lebih condong bahwa safar itu mutlaq tidak
terbatas oleh jrak dan waktu. Hal ini karena batas jarak dan waktu yang disebutkan dalam beberapa
hadits tidak menunjukkan batas boleh dan tidak bolehnya menqashar, karena hadits itu hanya
menceritakan bahwa Nabi pernah melaksanakan dalam batas sekian atau pada waktu sekian, dan
tidak ada sedikitpun ketegasan bahwa jarak dan waktu tersebut adalah ketentuan.
Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat dan yang paling kuat adalah tidak
ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh mengqashar
shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla, 21/5).
Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat yang mengakui adanya batas minimal dan
waktu maksimal dibolehkannya qashar bagi seorang musafir.
Rasulullah SAW pernah meng-qashar shalat ketika perjalanannya kira-kira tiga mil atau tiga
farsakh dan enam mil Arab. Dan ini merupakan batas minimal jarak Nabi melakukan qashar
ِ‫ص ْبَِ ٍَاى‬َ ََّ‫اُ َح َّذثََْا ٍُ َح ََّ ُذ ب ُِْ ْاى َُ ْْ َن ِذ ِر َٗإِ ْب َرا ِٕي ٌُ ب ُِْ ٍَ ْي َط َرةَ َض َِ َعا أ‬
ُ َ‫ُ٘ر َح َّذثََْا ُض ْفي‬
ٍ ‫َح َّذثََْا َض ِعي ُذ ب ُِْ ٍَ ْْص‬
‫ص َش‬ َ َٚ ‫َٕ ِخ أَ ْسثَ ًؼب‬٠‫ َشثِب ٌْ َّ ِذ‬ْٙ ‫ظ‬
ْ ‫ذُ َِ َؼُٗ ا ٌْ َؼ‬١ْ ٍَّ‫ص‬ ُّ ٌ‫عٍَّ َُ ا‬
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫هللاُ َػ‬ َّ ٍَّٝ‫ص‬
َ ‫هللا‬ِ َّ ‫ ِي‬ٛ‫ع‬ ُ ‫ذُ َِ َغ َس‬١ْ ٍَّ‫ص‬ َ ‫ال‬ٛ ُ ُ‫َم‬٠ ‫ك‬
ٍ
ِٓ ١ْ َ‫فَ ِخ َس ْو َؼز‬١ْ ٍَ‫ ا ٌْ ُس‬ٞ‫ثِ ِز‬
“Saya pernah shalat dhuhur bersama Rasulullah saw di Madinah empat raka’at, tetapi saya shalat
ashar bersamanya di Dzil Hulaifah dua raka’at”. (HR Bukhari Muslim)

Jarak dari Madinah ke Dzil Hulaifah kira-kira enam mil Arab.


‫َر قَا َه أَبُ٘ بَ ْن ٍر َح َّذثََْا ٍُ َح ََّ ُذ ب ُِْ َج ْع َف‬
ٍ ‫ار ِم ََلُٕ ََا ع َِْ ُغ ْْذ‬ ٍ ‫ٗ َح َّذثََْآ أَبُ٘ بَ ْن ِر ب ُِْ أَبِي َش ْيبَتَ َٗ ٍُ َح ََّ ُذ ب ُِْ بَ َّش‬
‫ص ْبَِ ٍَاىِ ٍن َع ِْ قَصْ ِر اىص َََّل ِة فَقَا َه َماَُ َر‬ َ ََّ‫ت أ‬
ُ ‫ٍر ُغ ْْذَر ع َِْ ُش ْعبَتَ ع َِْ َيحْ َيى ب ِِْ يَ ِسي َذ ْاىَُْٖائِ ِّي قَا َه َضأ َ ْى‬
‫ َس ْو َؼ‬ٍَّٝ‫ص‬ َ ُّ‫ؽ ْؼجَخُ اٌؾَّبن‬ ُ ‫ع َخ‬ ِ ‫ ثَ ََلثَ ِخ فَ َشا‬ْٚ َ‫بي أ‬
ٍ َ١ِْ َ‫ َشحَ ثَ ََلثَ ِخأ‬١‫غ‬
ِ َِ ‫هللاُ َعيَ ْي ِٔ َٗ َضيَّ ٌَ إِ َرا َخ َش َج‬
َّ ‫صيَّى‬ َ ‫هللا‬ِ َّ ‫ضُ٘ ُه‬
ِٓ ١ْ َ‫ر‬
“Apabila Rasulullah saw keluar dalam perjalanan tiga mil (atau tiga farsakh), beliau sembahyang dua
raka’at”. (HR Muslim)

Rasulullah saw pernah meng-qashar shalat selama sembilan belas hari. Dan ini bisa dikadikan dalil
batas waktu maksimal nabi melakukan qashar.

َّ ٍَّٝ‫ص‬
‫هللاُ َػ‬ ٍ ‫َح َّذثََْا أَ ْض َ٘ ُد َح َّذثََْا َش ِريل َع ِِ ا ْب ِِ ْاْلَصْ بََٖاِّ ِّي ع َِْ ِع ْن ِر ٍَتَ َع ِِ اب ِِْ َعبَّا‬
َ ُّٟ ِ‫ش لَب َي فَز ََسبٌَّٕج‬
ِٓ ١ْ َ‫ َس ْو َؼز‬ٍِّٟ‫ص‬
َ ُ٠ َ‫ؾ َشح‬ َ ‫ب‬َٙ ١ِ‫عٍَّ َُ َِ َّىخَ أَلَب ََ ف‬
ْ ‫ع ْج َغ َػ‬ َ َٚ ِٗ ١ْ ٌَ
Tatkala Rasulullah saw menakhlukkan kota Makkah, beliau berada disana sembilan belas hari dengan
shalat (qashar) dua raka’at. (HR Ahmad)

Kesimpulannya; tidak ada ketetapan yang meyakinkan mengenai batas jarak dan batas
waktu dibolehkannya qashar bagi seorang musafir. Karena itu, ketika seseorang telah keluar dari
rumahnya pergi ke tempat lain dan tidak bermaksud untuk bermukim di sana, berapapun jarak dan
waktunya, maka dia diberi keringanan untuk mengqashar shalat. Untuk meyakinkan hal itu, dapat
dlihat pada beberapa pernyataan berikut:
ْ‫خ اٌغفش؛ ْل‬٠‫ب اٌمصش ال غب‬ِٕٙ ‫ء‬ٜ‫جزذ‬٠ ٟ‫ أْ اٌّشاد ثٗ اٌّغبفخ اٌز‬ٍٝ‫صر زٍّٗ ػ‬٠ ‫ال‬ٚ :‫لٍذ‬
‫مصش‬٠‫فخ أ‬ٛ‫ اٌى‬ٌٝ‫خٗ ِٓ اٌجصشح إ‬ٚ‫ هللا ػٕٗ ـ أخبة ثٗ ِٓ عأٌٗ ػٓ خش‬ٟ‫أٔظ ثٓ ِبٌه ـ سض‬
ْ‫ذ اٌغفش أ‬٠‫ أْ ٌّش‬ٍٝ‫ اٌفزر ػٓ اثٓ إٌّزس إخّبع أً٘ اٌؼٍُ ػ‬ٟ‫ضب ً فمذ ٔمً ف‬٠‫أ‬ٚ ،‫اٌصَلح‬
.‫ فشاعخ‬ٚ‫بي أ‬١ِ‫ص ثَلثخ أ‬ٚ‫زدب‬٠ ٌُ ْ‫إ‬ٚ ٟٕ‫ؼ‬٠ ،ٗ‫ز‬٠‫د لش‬ٛ١‫غ ث‬١ّ‫مصش إرا خشج ػٓ خ‬٠
،ِٕٗ ً‫ذا‬٠‫ىٓ رٌه رسذ‬٠ ٌُٚ ‫مصش اٌصَلح‬٠ ً ‫ِب‬ٛ٠ ٓ٠‫ن ػؾش‬ٛ‫عٍُ ثزج‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ ص‬ٟ‫لذ ألبَ إٌج‬ٚ
‫ اْللبِخ‬ٍٝ‫ؼضَ ػ‬٠ ٌُ َ‫أْ اٌّغبفش ِبدا‬ٚ ،‫ذ‬٠‫ٗ رسذ‬١‫ظ ف‬١ٌ ٗٔ‫سذد رٌه ْلِزٗ ػٍُ أ‬٠ ٌُ ‫فٍّب‬
.‫ زمٗ ثبق‬ٟ‫اٌّطٍمخ فئْ زىُ اٌغفش ف‬
ِٓ ‫سح‬ٛ‫ِخزصشح ْلعئٍخ ِزؼذدح اخزشٔب أْ ٔجؼث ٌىُ ص‬ٚ ‫طخ‬ٛ‫ثخ ِجغ‬ٛ‫ رٌه أخ‬ٟ‫لذ وزجٕب ف‬ٚ
.‫ب‬ٙ‫ٕفغ ث‬٠ ْ‫ب ٔغأي هللا أ‬ِٕٙ ‫عظ‬ٛ‫اٌّز‬
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa seorang musafir yang sudah
menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya
adalah pendapat lemah dan tidak berdasar sama sekali. Dalil bahwa Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika haji Wada’. tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar
shalatnya bukanlah dalil batas waktu Nabi melakukan qashar, apalagi ada dalil lain bahwa dalam
waktu 20 hari Nabi menqashar shalat.

 Awal Musafir Boleh Melakukan Qashar


Seorang musafir sudah boleh memulai melaksanakan shalat Qashar apabila ia telah keluar dari
kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi
menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”.

‫ هللا‬ٟ‫غشح ػٓ أٔظ سض‬١ِ ٓ‫ُ ث‬١٘‫إثشا‬ٚ ‫بْ ػٓ ِسّذ ثٓ إٌّٕىذس‬١‫ُ لبي زذثٕب عف‬١‫ ٔؼ‬ٛ‫زذثٕب أث‬
‫فخ‬١ٍ‫ اٌس‬ٞ‫اٌؼصش ثز‬ٚ ‫ٕخ أسثؼب‬٠‫ عٍُ ثبٌّذ‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ ص‬ٟ‫ إٌج‬ٟ‫ش ِغ إٌج‬ٙ‫ذ اٌظ‬١ٍ‫ػٕٗ لبي ص‬
ٍُ‫ػ أخشخٗ ِغ‬2824 ] [ ، 2491 ، 1121 ، 1121 ، 1441 ، 1443 – 1441 [ ٓ١‫سوؼز‬
‫فخ‬١ٍ‫ اٌس‬ٞ‫اٌؼصش ثز‬ٚ ( 190 ُ‫لمصش٘ب سل‬ٚ ٓ٠‫لصش٘ب ثبة صَلح اٌّغبفش‬ٚ ٓ٠‫ صَلح اٌّغبفش‬ٟ‫ف‬
ْ‫ب‬١ٕ‫جبذ ثؼذ ِغبدسح اٌج‬٠ ‫ أْ اٌمصش‬ٍٝ‫ً ػ‬١ٌ‫ د‬ٛ٘ٚ ‫سح‬ٛ‫فخ ِمص‬١ٍ‫ اٌس‬ٞ‫ اٌؼصش ثز‬ٍٝ‫ص‬ٚ ٞ‫) أ‬
Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,
(HR: Bukhari Muslim).

 Penyatuan Jama’ dan Qashar

Seorang yang menqashar shalatnya karena musafir tidak mesti harus menjama’ shalatnya begitu
juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya, seperti
melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Atau menjama’
shalat tanpa qashar, seperti shalat dhuhur dan ashar masing-masing 4 rekaat baik djama’ taqdim
maupun ta’khir. Atau menjama’ dan menqashar sekaligus. Hanya saja menurut Jumhur Ulama, qashar
bagi musafir adalah lebih afdhal.
Ada pendapat ulama mengenai seorang musafir tetapi dalam keadaan menetap tidak dalam
perjalanan, seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh
mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada
di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir
seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Tabuk. Pada kasus ini,
ketika dia dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena yang demikian lebih
ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ketika telah
menetap di sulewesi lebih afdhal menqashar saja tanpa menjama’nya. Wallahu a’lam.

 Jama’ah antara Musafir dan Muqim


Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh
menjadi imam bagi makmum yang muqim, dengan ketentuan:
1. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan
melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar), ketika dia mengikuti dari awal. Namun bila dia
mengikuti di pertengahan maka dia boleh melakukan qashar. Prinsipnya makmum tidak boleh
mendahului imam, maka makmum tidak boleh salam ketika imam belum salam, namun bila
imam sudah salam maka makmum boleh salam, meskipun dia shalat dua rekaat (qashar) pada
imam yang empat rekaat (itmam). Hal in berdasarkan pengertian hadits berikut:
ُ َْٓ‫ ثَ ْى ٍش ػ‬ُٛ‫ َّبَْ لَب َي َز َّذثََٕب أَث‬١ْ ٍَ‫ع‬
ِٓ ‫ َّبَْ ْث‬١ْ ٍَ‫ع‬ ُ ُٓ‫ة ْث‬ُٛ ُّ٠َ‫ لَب َي َز َّذثََٕب أ‬ٞ ْ ِ‫أَ ْخجَ َشَٔب ُِ َس َّّ ُذ ْثُٓ إ‬
ُّ ‫ ًَ اٌزِّ ْش ِِ ِز‬١‫ع َّ ِؼ‬
ً‫عٍَّ َُ لَب َي َِْٓ أَ ْد َس َن َس ْو َؼخ‬ َّ ٍَّٝ‫ص‬
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫هللاُ َػ‬ َ ‫هللا‬ ُ ‫عبٌِ ٍُ أََّْ َس‬
ِ َّ ‫ َي‬ٛ‫ع‬ َ َْٓ‫ة ػ‬ ٍ ‫ب‬َٙ ‫ؽ‬ ِ ِٓ ‫ظ ػَْٓ ا ْث‬ َ ُُٔٛ٠ َْٓ‫ثِ ََل ٍي ػ‬
)294 :1:ٟ‫ َِب فَبرَٗ(إٌغبئ‬ٟ‫ض‬ ِ ‫ ْم‬٠َ ََُّٗٔ‫ب إِ َّال أ‬َٙ ‫د فَمَ ْذ أَ ْد َس َو‬
ِ ‫ا‬َٛ ٍَ‫ص‬
َّ ٌ‫ص ََل ٍح ِِْٓ ا‬ َ ِِْٓ
Juga berdasarkan pada keumuman hadits nabi:
َ‫ظ ْث ِٓ َِبٌِ ٍه أ‬ ِ ََٔ‫ ًُ َػ ْٕأ‬٠ِٛ َّ‫ ٌذ اٌط‬١ْ َّ ‫َْ لَب َي أَ ْخجَ َشَٔب ُز‬ٚ‫ ُذ ْثُٓ َ٘ب ُس‬٠‫َ ِض‬٠ ‫ُ لَب َي َز َّذثََٕب‬١ ِ ‫َز َّذثََٕب ُِ َس َّّ ُذ ْثُٓ َػ ْج ِذ اٌ َّش ِز‬
‫ ًشا‬ْٙ ‫ؽ‬َ ِٗ ِ‫غبئ‬ َ ِٔ ِِْٓ ٌَٝ‫آ‬َٚ ُُٗ‫ َوزِف‬ْٚ َ ‫ُأ‬ُٙ‫عبل‬ َ ْ‫ع ِٗ فَ ُد ِسؾَذ‬ ِ ‫عمَظَ ػَْٓ فَ َش‬ َ َُ ٍَّ‫ع‬ َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫هللاُ َػ‬ َّ ٍَّٝ‫ص‬ َ ِ‫هللا‬َّ ‫ َي‬ٛ‫ع‬ ُ ‫َّْ َس‬
َ ‫َب ٌَ فٍََ َّّب‬١ِ‫ ُ٘ ُْ ل‬َٚ ‫غب‬
‫ع‬ ً ٌِ‫ ُْ َخب‬ِٙ ِ‫ ث‬ٍَّٝ‫ص‬ َ َ‫َُٔٗ ف‬ُٚ‫د‬ٛ‫َ ُؼ‬١ُٙ ُ‫ص َسبث‬ ْ َ‫ع فَأَرَبُٖ أ‬ٚ
ٍ ‫ب ِِْٓ ُخ ُز‬َٙ ُ‫ؾ ُشثَ ٍخ ٌَُٗ َد َس َخز‬ ْ َِ ِٟ‫ظ ف‬ َ ٍَ‫فَ َد‬
‫ لَب‬ٍَّٝ‫ص‬ َ ِْْ‫إ‬َٚ ‫ا‬ُٚ‫ع ُدذ‬ َ ‫إِ َرا‬َٚ ‫ا‬ُٛ‫بس َوؼ‬
ْ ‫ع َد َذ فَب‬ ْ َ‫إِ َرا َس َو َغ ف‬َٚ ‫ا‬ٚ‫ُ ْؤرَ َُّ ثِ ِٗ فَئ ِ َرا َوجَّ َش فَ َىجِّ ُش‬١ٌِ َُ ‫اْل َِب‬
ِ ْ ًَ ‫ٌَّ َُ لَب َي إَِّٔ َّب ُخ ِؼ‬
‫ ِػ‬َٛ ٌ‫غؼ‬ ْ ِ‫ َش ر‬ْٙ ‫ؾ‬َّ ٌ‫ ًشا فَمَب َي إَِّْ ا‬ْٙ ‫ؽ‬ َّ ‫ َي‬ٛ‫ع‬
َ َ‫ذ‬١ْ ٌَ‫هللاِ إَِّٔ َه آ‬ ُ ‫َب َس‬٠ ‫ا‬ٌُٛ‫َٓ فَمَب‬٠‫ؾ ِش‬ ْ ‫ ِػ‬َٚ ‫غ ٍغ‬ ْ ِ‫َٔ َض َي ٌِز‬َٚ ‫َب ًِب‬١ِ‫ا ل‬ٍُّٛ‫ص‬ َ َ‫ئِ ًّب ف‬
َْٚ‫ؽ ُش‬ ْ
“…Sesungguhnya seorang imam ditunjuk untuk diikuti, maka janganlah kamu sekalian menyelisihinya.
Apabila ia (imam) takbir maka takbirlah, apabila ia ruku’ maka ruku’lah dan apabila mereka sujud
maka sujudlah…” (HR Bukhari)

2. Ketika seorang musafir menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum
menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam. Berdasarkan hadits berikut:
ِ ‫هللا ع َِْ أَبِي ِٔ أَ َُّ ُع ََ َر ْبَْ ْاى َخطَّا‬
‫ب َماَُ إِ َرا‬ ِ َّ ‫ب ع َِْ َضاىِ ٌِ ْب ِِ َع ْب ِذ‬ٍ ‫َح َّذثَِْي يَحْ َيى ع َِْ ٍَاىِل ع َِْ اب ِِْ ِشَٖا‬
‫ع ْف ٌش‬ َ ‫ا‬ُّّٛ ِ‫َب أَ ْ٘ ًَ َِ َّىخَ أَر‬٠ ‫صيَّى بِ ِٖ ٌْ َر ْم َعتَ ْي ِِ ثُ ٌَّ يَقُ٘ ُه‬
َ ٌَ ْٛ َ‫ص ََلرَ ُى ّْفَئَِّٔب ل‬ َ َ‫قَ ِذ ًَ ٍَ َّنت‬
“Wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah sholatmu, karena sesungguhnya kami adalah sekelompok
musafir” (HR Malik)

 Shalat Sunnah bagi Musafir


Dianjurkan bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah
dan sebelum shalat wajib), karena Nabi tidak pernah melaukan itu ketika safar, Kecuali shalat witir
dan Tahajjud, karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam
keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga dibolehkan melakukan shalat-shalat sunah yang ada
penyebabnya seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah. Wallahu a’lam bis
Shawaab. Hal ini berdasarkan hadits:
ٓ‫ ثىش ثٓ ػّش ثٓ ػجذ اٌشزّٓ ثٓ ػجذ هللا ثٓ ػّش ث‬ٟ‫ ِبٌه ػٓ أث‬ٟٕ‫ً لبي زذث‬١‫زذثٕب إعّبػ‬
‫ذ فٍّب‬١‫ك ِىخ فمبي عؼ‬٠‫ش ِغ ػجذ هللا ثٓ ػّش ثطش‬١‫ وٕذ أع‬: ‫غبس أٔٗ لبي‬٠ ٓ‫ذ ث‬١‫اٌخطبة ػٓ عؼ‬
‫ذ اٌصجر‬١‫ٓ وٕذ ؟ فمٍذ خؾ‬٠‫رشد ثُ ٌسمزٗ فمبي ػجذ هللا ثٓ ػّش أ‬ٚ‫ذ اٌصجر ٔضٌذ فأ‬١‫خؾ‬
‫ح زغٕخ ؟ فمٍذ‬ٛ‫ عٍُ أع‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ي هللا ص‬ٛ‫ سع‬ٟ‫ظ ٌه ف‬١ٌ‫رشد فمبي ػجذ هللا أ‬ٚ‫فٕضٌذ فأ‬
، 1044 ، [ 955‫ش‬١‫ اٌجؼ‬ٍٝ‫رش ػ‬ٛ٠ ْ‫ عٍُ وب‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ي هللا ص‬ٛ‫هللا لبي فئْ سع‬ٚ ٍٝ‫ث‬
1054 ] ، 1050 ، 1047 ، 1045
‫ اٌغفش‬ٟ‫ اٌذاثخ ف‬ٍٝ‫اص صَلح إٌبفٍخ ػ‬ٛ‫لصش٘ب ثبة خ‬ٚ ٓ٠‫ صَلح اٌّغبفش‬ٟ‫[ ػ أخشخٗ ِغٍُ ف‬
400 ُ‫سل‬
ُ‫ ػّش ثٓ ِسّذ أْ زفص ثٓ ػبص‬ٟٕ‫٘ت لبي زذث‬ٚ ٓ‫ اث‬ٟٕ‫ّبْ لبي زذث‬١ٍ‫ ثٓ ع‬ٝ١‫س‬٠ ‫زذثٕب‬
ٖ‫ عٍُ فٍُ أسا‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ ص‬ٟ‫ّب فمبي صسجذ إٌج‬ٕٙ‫ هللا ػ‬ٟ‫ عبفش اثٓ ػّش سض‬: ‫زذثٗ لبي‬
: ‫ح زغٕخ } (اٌجخبسط‬ٛ‫ي هللا أع‬ٛ‫ سع‬ٟ‫لبي هللا خً روشٖ { ٌمذ وبْ ٌىُ ف‬ٚ ‫ اٌغفش‬ٟ‫غجر ف‬٠
)342/1
‫ أٔٗ عّغ اثٓ ػّش‬ٟ‫ أث‬ٟٕ‫ ثٓ زفص ثٓ ػبصُ لبي زذث‬ٝ‫غ‬١‫ ػؼٓ ػ‬ٝ١‫س‬٠ ‫زذثٕب ِغذد لبي زذثٕب‬
‫أثب ثىش‬ٚ ٓ١‫ سوؼز‬ٍٝ‫ اٌغفش ػ‬ٟ‫ذ ف‬٠‫ض‬٠ ‫ عٍُ فىبْ ال‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ي هللا ص‬ٛ‫ صسجذ سع‬: ‫ي‬ٛ‫م‬٠
)342/1 :ٞ‫ ] (اٌجخبس‬1032[ ُٕٙ‫ هللا ػ‬ٟ‫ػثّبْ وزٌه سض‬ٚ ‫ػّش‬ٚ
KESIMPULAN
1. Pensyaratan qashar adalah adanya safar dan shalat empat rakaat menjadi dua rakaat saja.
2. Qashar merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidun
dalam perjalanan mereka.
3. Qashar bersifat umum dalam perjalanan haji, jihad dan segala perjalanan untuk ketaatan. Para ulama
juga memasukkan perjalanan yang mubah. Menurut An-Nawawy, jumhur berpendapat bahwa dalam
semua perjalanan yang mubah boleh dilakukan qashar. Sebagian ulama tidak membolehkan qashar
dalam perjalanan kedurhakaan. Yang benar, rukhshah ini bersifat umum dan sama untuk semua orang.
4. Kasih sayang Allah terhadap makhlukNya dan keluwesan syari’at ini, yang memberi kemudahan dalam
beribadah kepada makhluk. Karena perjalanan lebih sering mendatangkan kesulitan, maka dibuat
keringanan untuk sebagian shalat, dengan mengurangi bilangan rakaat shalat. Jika tingkat kesulitan
semakin tinggi seperti karena memerangi musuh, maka sebagian shalat juga diringankan.
5. Perjalanan di dalam hal ini tidak terbatas, tidak dibatasi dengan jarak jauh. Yang lebih baik ialah
dibiarkan menurut kemutlakannya, lalu rukhshah diberikan kepada apapun yang disebut perjalanan.
Pembatasanya dengan tempo tertentu atau jarak farsakh tertetntu, tidak pernah disebutkan di dalam
nash. Syaihul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Perjalanan tidak pernah dibatasi oleh syari’at, tidak ada
pembatasan menurut bahasa. Hal ini dikembalikan kepada tradisi manusia. Apa yang mereka sebut
dengan perjalanan, maka itulah perjalanan.

Wallahu A’lam….

Anda mungkin juga menyukai