٣١ ّب١ٗ َٓ َس ِز١ِِِٕ َوبَْ ثِ ۡٱٌ ُّ ۡؤَٚ ِسٌُّٕٛ ٱٌَِٝذ إ ُّ ٌُ ۡخ ِش َخ ُىُ َِِّٓ ٱ١ٌِ ُ َِ ٍَََٰٰٓئِ َىزُٗۥَٚ ُۡ ُى١ۡ ٍَ َػٍِّٟص
ِ َّ َٰ ٍُظ َ ُ٠ ٞ ٱٌَّ ِزَٛ ُ٘
Artinya: “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu),
supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia
Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”.
(QS. Al-Ahzab : 43)
Adapun pengertian Shalat menurut istilah adalah yang artinya : “Suatu ibadah yang terdiri dari
ucapan dan perbuatan tertentu yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam.”
Dalam Islam, shalat mempunyai arti penting dan kedudukan yang sangat istimewa, antara lain:
1. Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diwajibkan oleh Allah SWT yang perintahnya langsung di
terima di Rasulullah saw pada malam isra’- mi’raj.
2. Shalat merupakan tiang agama. Nabi saw bersabda:
ب ُدَٙ عَٕب ِِ ِٗ ا ٌْ ِد
َ ُحَٚ ِر ْسَٚ ُص ََل ح
َّ ٌ ُدُٖ اْٛ ُّ َػَٚ َُ ع ََل
ْ اْل ُ َس ْأ
ِ ْ ط ْاْلَ ِْ ِش
Artinya : “Pokok perkara adalah islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad.”
Sebagai tiang agama, maka shalat harus selalu ditegakkan dan tidak boleh ditinggalkan dalam
keadaan bagaimanapun juga, baik itu dalam keadaan sakit, musafir, atau bahkan saat perang.
3. Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat. Nabi saw bersabda:
َ ب َِ ِخ١َ ِ ََ ا ٌْمْٛ َ٠ ت ِث ِٗ ا ٌْ َؼ ْج ُذ
… ُُٗصَلَ ر َ ُ َسب٠ ُي َِبَّٚ َإَِّْ أ
ُ ع
Artinya : “Yang pertama kali dihisab (amalan) seorang hamba pada saat hari kiamat adalah shalatnya. .
(HR. Al- Tarmidzi).
“(Beda) antara kita dengan mereka (orang-orang kafir) itu, ialah: meninggalkan shalat. Maka
barang siapa meninggalkan shalat, sesungguhnya ia telah kufur.” (HHR Ahmad).
Hadist di atas begitu tegas menyatakan bahwa orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat
maka ia disamakan telah melakukan tindakan kufur, bukan kafir haqiqi karena bukan dalam masalah
aqidah. Bagi orang seeperti ini harus dinasehati dengan baik supaya mau segera bertaubat.
Niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut sehingga tidak perlu di ucapkan. Niat secara
bahasa ialah mengyengaja sehingga siapapun yang menyengaja suatu perbuatan maka sebenarnya ia
telah mempunyai niat di dalam hatinya.
2. Berdiri sempurna menghadap arah qiblat.
ُ َاَ ْمب
3. Bertakbir dengan mengucapkan ر ُ هللا.
Takbir pertama ini disebut takbiratul-ihram. Disebut demikian karena setelah takbir ini
diharamkan melakukan gerakan lain diluar gerakan yang dituntunkan dalam shalat hingga salam.
Cara melakukan takbiratul-ihram:
ُ َاَ ْمب
a. Mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga dan bahu sekaligus, sambil bertakbir ر ُهللا.
b. Meletakan tangan kanan di atas punggung pergelangan lengen kiri, dan mengencangkan keduanya
di atas dada.
c. Pandangan kearah tempat sujud, tidak boleh menutup mata, tidak boleh menengadah ke atas, dan
tidak memalingkan pandangan ke kanan-kiri.
d. Kemudian membaca do’a iftitah berikut :
َبَ َوّب٠ َِِٓ ا ٌْ َخطَبِِّٕٝ َُّ َٔمُٙ ٌٍَّة * ا ِ ا ٌْ َّ ْغ ِشَٚ ق
ِ ؾ ِش ْ َّ ٌْ َْٓ ا١َ َو َّب ثب َ َػذْدَ ثٞ َ َْٓ َخ١َثَٚ ِٕٝ١ْ َ َُّ ثبَ ِػ ْذ ثُٙ ٌٍَّا
َ َ ب٠طب
ا ٌْجَ َش ِدَٚ حِ ٍْ َّاٌثَٚ ثب ِ ٌّْبَ ِءَٞ َ ب٠غ ًْ َخطَب ِ ُ َُّ ا ْغٌٍَّٙظ * ا ُ َ١ة ْاْلَ ْث
ِ َٔض َِِٓ اٌ َّذ ُ ْٛ َّ اٌثََُّٕٝم٠
“Ya Allah, jauhkanlah antara diriku dan di antara kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau
jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana
dibersihkannya kain putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahan-kesalahanku dengan air, salju
dan embun.”
4. Membaca surat al-fatihah secara tartil dengan sebelumnya bermohon perlindungan dengan membaca
ta’awudz tanpa dikeraskan, lalu membaca basmalah.
5. Ruku’. Angkat kedua tangan seperti takbiratul-ihram sambil bertakbir Allohu Akbar menuju ke posisi
Ruku’, yang perlu diperhatikan adalah posisi kedua tangan saat ruku’ ada pada kedua lutut dalam
keadaan menggenggam, sehingga sudut ruku’ diperkirakan 90 derajat.
Bacaan saat ruku’:
ٌِٝ َُّ ا ْغفِ ْشُٙ ٌٍَّثِ َس ّْ ِذ َن اَٚ َ َُ َسثَّٕبُٙ ٌٍّع ْج َسبَٔ َه ا
ُ
“Segala puji bagi-Mu, Ya Allah Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu yan Allah ampunilah aku”.
6. I’tidal setelah ruku’ yakni berdiri tegak dengan sempurna dan tenang (thuma’ninah).
Do’a I’tidal :
ِٗ ١ْ ِِّجًب ُِ َجب َس ًوب ف١َ ًشا ط١ْ ٌِس ّْ ُذ َز ّْذًا َوث
َ ٌَهَ ْاَٚ َسثََّٕب
“Ya Tuhan kami, (hanya) untukMu lah (segala) pujian yang banyak, baik, dan diberkahi padanya”.
7. Sujud, bertakbirlah tanpa mengangkat tangan menuju gerakan sujud dengan meletakan kedua lutut
terlebih dahulu lalu kedua tangan, kemudian letakan wajah (dahi dan hidung).
Bacaan saat sujud:
ٌُِٝ َُّ ا ْغفِ ْشٌٍَّٙثِ َس ّْ ِذ َن اَٚ َُ َُّ َسثَّٕبٌٍّٙع ْج َسبَٔ َه ا
ُ
“Segala puji bagi-Mu, Ya Allah Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu yan Allah ampunilah aku”.
Lalu sujudlah untuk kedua kalinya dengan bertakbir dan membaca do’a sujud seperti sebelumnya.
Ketika bangkit dari sujud kedua pada rakaat ganjil dan akan berdiri pada rakaat genap, disunahkan
untuk duduk istirahat sejenak .
9. Tasyahud, pada saat tasyahud, bacalah tahiyyat dengan posisi jari-jari tangan kiri terjulur di atass
lutut, sedangkan jari-jari tangan kanan dalam posisi mengepal kecuali jari telunjuk yang menunjuk
untuk berdo’a.
Do’a Tasyahud:
َّ ٌَ ا.ُُٗثَ َشوبَرَٚ ِ َس ْز َّخُ هللاَٚ ُّٟ ِب َ إٌَّجٙ٠ُّ َ َه أ١ْ ٍَغَلَ َُ َػ
ٍَٝ َػَٚ َ ٕب١ْ ٍَغَلَ َُ َػ َّ ٌَ ا. ُِّجبَد١َّاٌطَٚ ُادَٛ ٍَص َّ ٌاَٚ َِّبدُ ِ َّّلل١اٌَزَّ ِس
ُ َسَٚ ُٖ ُذ أََّْ ُِ َس َّّذًا َػ ْج ُذَٙ ؽ
.ٌُُْٗٛ ع ْ َأَٚ ِ ُذ اَْْ الَاٌََِٗ اِالَّ هللاَٙ ؽ
ْ َأ. َْٓ١صبٌِ ِس
َّ ٌِػجب َ ِدهللاِ ا
“Segala kehormatan, kebahagiaan dan kebagusan adalah kepunyaan Allah, Semoga keselamatan bagi
Engkau, ya Nabi Muhammad, beserta rahmat dan kebahagiaan Allah. Mudah-mudahan keselamatan
juga bagi kita sekalian dan hamba-hamba Allah yang baik-baik. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan utusan-Nya”.
Setelah membaca akhir do’a tasyahud awal, berdirilah untuk rakaat yang ketiga dengan takbir
sambil mengangkat tangan sejajar dengan bahu dan telinga, kemudian bacalah Al-Fatihah saja. Pada
raka’at terakhir setelah membaca tahiyyat akhir dan shalawat, Nabi saw menganjurkan untuk
berlindung kepada Allah dari empat hal dengan membaca do’a:
ِ َٚ َُ ١ْ ِ٘ إِ ْث َشاٍَٝذَ َػ١ْ ٍَّص
ا ِيَٚ ُِ َس َّّ ٍذٍَٝثَب ِسنْ َػَٚ َُ ١ْ ِ٘ اي إِ ْث َشا َ اي ُِ َس َّّ ٍذ َو َّب ِ ٍَٝ َػَٚ ُِ َس َّّ ٍذٍَٝص ًِّ َػ َ َُّ ٌٍَُّٙا
. ٌذ١ْ ٌذ َِ ِد١ْ ِّ إَِّٔ َه َز. َُ ١ْ ِ٘ ا ِي إِ ْث َشاَٚ َُ ١ْ ِ٘ إِ ْث َشاٍَُِٝ َس َّّ ٍذ َو َّب ثَب َس ْوذَ َػ
“Ya Allah, limpahkanlah kemurahan-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Kau telah
limpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana
Kau telah berkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau yang Maha Terpuji dan Maha
Mulia”.
10. Salam. Setelah berdo’a dalam tasyahud akhir, kemudian salamlah dengan berpaling ke kanan dan ke
kiri hingga terlihat pipimu dari belakang dengan membaca:
ِ ُ َس ْز َّخَٚ ُْ ُى١ْ ٍَغَلَ َُ َػ
ُُٗثَ َش َوبرَٚ هللا َّ ٌا
“ Berbahagialah kamu sekalian dengan rahmat dan berkah Allah”
Anggapan masyarakat dalam shalat kusuf berkaitan dengan sebab adanya kematian seseorang, Nabi
memberikan penjelasan di dalam hadisnya.
ُُ ١ْ ِ٘ ٍَ َِبدَ إِ ْث َشاْٛ َ٠ ُُّ ص َّ ُيْٛ ع
ُ ِهللا ُ َذ َسَٙ َػٜبْ ظ َػ ُ ّْ ؾ َّ ٌؾفَ ا َ إِ ْٔ َى:ؽ ْؼجَ ْٗ لَب َي ُ ِٓ َشحُ ا ْث١ْ َػْٓ ُِ ِغ
ِِْٓ ِْ َزَب٠َا ٌْمَ َّ َش أَٚ ظ َ ّْ ؾ
َّ ٌصُ إَِّْ ا ِ َّ ُيْٛ ع
ُ هللا ُ َُ فَمَب َي َس١ْ ِ٘ ِح إِ ْث َشاْٛ َّ ٌِ ظ ُ ّْ ؾ َّ ٌذ اِ َؾف َ إِ ْٔ َى: بطُ ٌَّٕفَمَب َي ا
َؾفِ رَ ْٕ َىَّٝا َززْٛ ٍُّص ّ ُ٘ َّب فَب ْد ُػْٛ ُّ ُز٠ْ ََبرِ ِٗ فَئ ِ َرا َسأ١ َال ٌِ َسَٚ د أَ َز ٍذ
َ َهللاَ فٛ ِ ْٛ َّ ٌِ ِْ ؾفَب ّ د
ِ َ ْٕ َى٠ َهللاِ ال ِ َب٠َأ
)ٗ١ٍ(ِزفك ػ
Artinya: ”Dari Mughirah Ibnu Syu’bah ia berkata: bertepatan dengan adanya gerhana gerhana pada zaman
Rasulullah dihari wafatnya Ibrahim (putra nabi) para manusia berkata: Gerhana matahari matahari
Ini di kerenakan kematia ibrahim. Kemudian Rasulullah saw berkata:”Sesungguhnya matahari dan
rembulan keduanya adalah tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak ada kaitan dengan kematian dan
hidup seseorang maka ketika kamu melihat keduanya (gerhana) maka berdoalah kepada Allah dan
shalatlah sampai ia tertutup.” (muttafaq ‘alaih)
Yang dianjurkan dan dicontohkan oleh nabi berkenaan dengan shalat gerhana adalah:
1. Kaum muslimin berkumpul di Masjid dengan tanpa adzan dan iqamat. Namaun tidak ada salahnya
kaum Muslimin dipanggil dengan panggilan asshalaatu jaami’ah.
2. Disunahkan untuk memanjangkan bacaan dalam setiap gerakan shalat.
َي هللا صُ فمبِٛ ع َ َ صُ ف
ُ َسٍَّٝص ّ ِيْٛ ع
ُ ِهللا ُ ِذ َسْٙ َػٍَٝظ َػ
ُ ّْ ؾ
َّ ٌذ ا َ إِ ْٔ َخ:بط لَب َي
ِ َغف َ ََّػ ِٓ ا ْث ِٓ َػج
)ٍُاٖ ِغَٚل…(س٠ٛػب طٛسحاٌجمشٖ ثُ سوغ سوٛ ِٓ لشائخ عَٛل ٔس٠ٛبِب ط١ل
Artinya: “Ketika terjadi gerhana di zaman Rasulullah maka beliau mengerjakan shalat, lalu berdiri dengan
lama sepadan dengan bacaan surat Al-Baqarah kemudian rukuk dengan dengan rukuk yang
lama…”. (HR. Muslim).
3. Waktu mengerjakan shalat Kusuf dimulai sejak awal terjadi gerhana sampai gerhana selesai (matahari
atau bulan terlihat kembali)
4. Tata cara shalat gerhana
a. Takbiratul ihram.
b. Membaca doa Iftitah, Al-Fatihah dan membaca ayat Al-Qur’an yang panjang.
c. Rukuk, I’tidal (bangun dari rukuk) dan melanjutkan membaca surat al-Fatihah dan ayat dari Al-
Qaur’an yang panjang.
d. Rukuk, I’tidal kemudian sujud.
e. Seusai dari sujud kemudian mengerjakan rakaat kedua sama seperti pada rakaat yang pertama.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa pada shalat Gerhana Nabi selalu membaca ayat yang panjang,
kemudian bertakbir, kemudian rukuk lama sekali, kemudian mengangkat kepalanya sambil berkata
“SamiAllahu liman Hamidah” kemudian berdiri lalu membaca surat panjang namun lebih pendek dari
yang sebelumnya. Kemudian takbir, kemudian rukuk yang lebih cepat dari yang sebelumnya . Kemudian
berkata “Sami’Allahu liman hamidah” kemudian sujud kemudian berbuat seperti itu pada rakaat
berikutnya hingga genap empat rukuk dan tempat sujud. (HR. Muslim)
Yang dianjurkan dan dicontohkan oleh nabi berkenaan dengan shalat gerhana adalah:
1. Kaum muslimin berkumpul di Masjid dengan tanpa adzan dan iqamat. Namaun tidak ada salahnya
kaum Muslimin dipanggil dengan panggilan asshalaatu jaami’ah.
2. Disunahkan untuk memanjangkan bacaan dalam setiap gerakan shalat
بِب١ي هللا صُ فمبَ لٛ سعٍّٝي هللا صُ فصٛذ سعٙ ػٍٝ إٔخغفذ اٌؾّظ ػ:ػٓ اثٓ ػجّبط لبي
ٍُاٖ ِغَٚل…س٠ٛػب طٛسحاٌجمشٖ ثُ سوغ سوٛ ِٓ لشائخ عَٛل ٔس٠ٛط
Artinya: “Ketika terjadi gerhana di zaman Rasulullah maka beliau mengerjakan shalat, lalu berdiri
dengan lama sepadan dengan bacaan surat Al-Baqarah kemudian rukuk dengan dengan
rukuk yang lama…”.(HR. Muslim).
3. Waktu mengerjakan shalat Kusuf dimulai sejak awal terjadi gerhana sampai gerhana selesai
(matahari atau bulan terlihat kembali).
4. Tata cara shalat gerhana
a. Takbiratul ihram.
b. Membaca doa Iftitah, Al-Fatihah dan membaca ayat Al-Qur’an yang panjang.
c. Rukuk, I’tidal (bangun dari rukuk) dan melanjutkan membaca surat al-Fatihah dan ayat dari Al-
Qur’an yang panjang.
d. Rukuk, I’tidal kemudian sujud.
e. Seusai dari sujud kemudian mengerjakan rakaat kedua sama seperti pada rakaat yang pertama.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa pada shalat Gerhana Nabi selalu membaca ayat yang panjang,
kemudian bertakbir, kemudian rukuk lama sekali, kemudian mengangkat kepalanya sambil
berkata “SamiAllahu liman Hamidah” kemudian berdiri lalu membaca surat panjang namun lebih
pendek dari yang sebelumnya. Kemudian takbir, kemudian rukuk yang lebih cepat dari yang
sebelumnya . Kemudian berkata “Sami’Allahu liman hamidah” kemudian sujud kemudian
berbuat seperti itu pada rakaat berikutnya hingga genap empat rukuk dan tempat sujud. (HR.
Muslim)
3. SHALAT JENAZAH
Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah, artinya apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum
muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya namun apabila tidak satupun yang melakukannya
maka seluruhnya berdosa.
Syarat sahnya shalat jenazah sama dengan shalat pada umumnya, yaitu suci badan dari najis dan
hadats, tempat dan pakaian bersih dari najis dan kotoran serta menutup aurat.
Tata Cara Shalat Jenazah:
1. Shalat jenazah dilakukan sebanyak empat kali takbir.
2. Shalat jenazah dapat dilakukan sendiri-sendiri dan lebih utama dilaksanakan secara berjamaah.
3. Adapun tata cara shalat jenazah adalah sebagai berikut :
a. Apabila mayitnya laki-laki Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit.
b. Apabila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya (perut/lambung).
c. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih.
Rasulullah SAW bersabda:
َخ َتْٚ َف فَمَ ْذ أٛ ُ ُ ِٗ ثَ ََلثَخ١ْ ٍَ َػٍَّٝص
ٍ ُ صف َ َِْٓ
“ Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni ”. [HR Tirmidzi]
d. Bacaan yang dibaca antara lain :
1) Setelah Takbir Pertama
a. Membaca Surat Al Fatihah
اَ َّلر ْح ّٰم ِن# ـح ْم ُد لِ ّٰلّ ِه َرب ال ّْٰعلَ ِم ْي َن ِ َّ الرحم ِن
َ ْ اَ ل# الرح ْيم ْ َّ الل ِ بِس ِم# الرِج ْي ِم
ْ َّ ان َّ الل ِم َن
ِ َالش ْيط ِ ِاَ ُعوذُ ب
ْ
ط الَّ ِذيْ َن ِ # ط الْمستَ ِق ْيم
َ ص ّٰر ِ ِ
َ ْ ُ َ ا ْهدنَا الص ّٰر# اك نَ ْستَع ْي ُن
ِ َ َّ إِي# ك يَـ ْوِم الديْ ِن
َ َّاك نَـ ْعبُ ُد َوإِي ِ ِ ّٰمل# الرِح ْي ِم
َّ
ب َعلَْي ِه ْم َوَل ٱلضَّآ ل ْي َن ِ ض ْو
ُ ْت َعلَْي ِه ْم غَْي ِر ال َْمغ
َ أَنْـ َع ْم
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk –Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang – Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam, – Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, – Yang menguasai hari pembalasan.– Hanya
kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan –
Tunjukilah kami jalan yang lurus, – (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat.
Sumber bacaan :
1) Himpunan Putusan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
2) Asep Shalahudin, Tuntunan Ibadah Haji, 2012, Yogyakarta : Suara Muhamamdiyah.
3) Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qohthoni, Perisai Seorang Muslim, 2011, Sukoharjo : Al Ghuraba
Dalil-dalil jumhur ditanggapi sebagai berikut: Ayat ini disebutkan tentang qashar sifat dalam
shalat khauf dan hadits tentang hal ini dipermasalahkan. Sampai-sampai Ibnu Taimiyah berkata: “Ini
merupakan hadits yang didustakan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Akhirnya dapat dikatakan, bahwa sebaiknya musafir tidak meninggalkan qashar, karena
mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai cara untuk keluar dari perbedaan
pendapat dengan orang yang mewajibkannya, dan memang qashar inilah yang lebih baik menurut
mayoritas ulama.
Dikutip dari Ibnu Taimiyah di dalam Al-Ikhtiyarat, tentang kemakruhan menyempurnakannya.
Dia menyebutkan nukilan dari Al-Imam Ahmad, yang tidak mengomentari sahnya shalat orang yang
menyempurnakan shalat dalam perjalanan, Ibnu Taimiyah juga berkata: “Telah diketahui secara
mutawatir, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa shalat dua rakaat dalam
perjalanan, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar dan Umar setelah beliau. Hal ini menunjukkan bahwa
dua rakaat adalah lebih baik. Begitulah pendapat mayoritas ulama.
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini
mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada
kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi
(kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu
Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin
memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena
sakit atau musafir”.
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk
seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena
sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab
yang membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy, Irwa’, III/40).
1. Pelaksanaan Jama’
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa menjama’ shalat merupakan keringanan yang diberikan
Allah swt, baik karena takut, hujan, bepergian atau tidak ada sebab apapun. Hal ini dikuatkan lagi
oleh beberapa hadits berikut:
“Rasulullah SAW menjamak sholat magrib dan isya pada malam yang hujan. Dalil lainnya yaitu salah
satu perbuatan sahabat, dari Nafi’: bahwa Abdullah Ibnu Umar sholat bersama para umara
(pemimpin) apabila para umara tersebut menjamak shalat magrib dan isya pada waktu hujan”.
(HR Bukhori)
“Rasulullah SAW menjamak antara sholat zuhur dan ashar dan antara sholat magrib dan Isya bukan
karena rasa takut dan hujan”. (HR Muslim)
Rasulullah saw pernah meng-qashar shalat selama sembilan belas hari. Dan ini bisa dikadikan dalil
batas waktu maksimal nabi melakukan qashar.
َّ ٍَّٝص
هللاُ َػ ٍ َح َّذثََْا أَ ْض َ٘ ُد َح َّذثََْا َش ِريل َع ِِ ا ْب ِِ ْاْلَصْ بََٖاِّ ِّي ع َِْ ِع ْن ِر ٍَتَ َع ِِ اب ِِْ َعبَّا
َ ُّٟ ِش لَب َي فَز ََسبٌَّٕج
ِٓ ١ْ َ َس ْو َؼزٍِّٟص
َ ُ٠ َؾ َشح َ بَٙ ١ِعٍَّ َُ َِ َّىخَ أَلَب ََ ف
ْ ع ْج َغ َػ َ َٚ ِٗ ١ْ ٌَ
Tatkala Rasulullah saw menakhlukkan kota Makkah, beliau berada disana sembilan belas hari dengan
shalat (qashar) dua raka’at. (HR Ahmad)
Kesimpulannya; tidak ada ketetapan yang meyakinkan mengenai batas jarak dan batas
waktu dibolehkannya qashar bagi seorang musafir. Karena itu, ketika seseorang telah keluar dari
rumahnya pergi ke tempat lain dan tidak bermaksud untuk bermukim di sana, berapapun jarak dan
waktunya, maka dia diberi keringanan untuk mengqashar shalat. Untuk meyakinkan hal itu, dapat
dlihat pada beberapa pernyataan berikut:
ْخ اٌغفش؛ ْل٠ب اٌمصش ال غبِٕٙ ءٜجزذ٠ ٟ أْ اٌّشاد ثٗ اٌّغبفخ اٌزٍٝصر زٍّٗ ػ٠ الٚ :لٍذ
مصش٠فخ أٛ اٌىٌٝخٗ ِٓ اٌجصشح إٚ هللا ػٕٗ ـ أخبة ثٗ ِٓ عأٌٗ ػٓ خشٟأٔظ ثٓ ِبٌه ـ سض
ْذ اٌغفش أ٠ أْ ٌّشٍٝ اٌفزر ػٓ اثٓ إٌّزس إخّبع أً٘ اٌؼٍُ ػٟضب ً فمذ ٔمً ف٠أٚ ،اٌصَلح
. فشاعخٚبي أ١ِص ثَلثخ أٚزدب٠ ٌُ ْإٚ ٟٕؼ٠ ،ٗز٠د لشٛ١غ ث١ّمصش إرا خشج ػٓ خ٠
،ِٕٗ ًذا٠ىٓ رٌه رسذ٠ ٌُٚ مصش اٌصَلح٠ ً ِبٛ٠ ٓ٠ن ػؾشٛعٍُ ثزجٚ ٗ١ٍ هللا ػٍٝ صٟلذ ألبَ إٌجٚ
اْللبِخٍٝؼضَ ػ٠ ٌُ َأْ اٌّغبفش ِبداٚ ،ذ٠ٗ رسذ١ظ ف١ٌ ٗٔسذد رٌه ْلِزٗ ػٍُ أ٠ ٌُ فٍّب
. زمٗ ثبقٟاٌّطٍمخ فئْ زىُ اٌغفش ف
ِٓ سحِٛخزصشح ْلعئٍخ ِزؼذدح اخزشٔب أْ ٔجؼث ٌىُ صٚ طخٛثخ ِجغٛ رٌه أخٟلذ وزجٕب فٚ
.بٕٙفغ ث٠ ْب ٔغأي هللا إِٔٙ عظٛاٌّز
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa seorang musafir yang sudah
menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya
adalah pendapat lemah dan tidak berdasar sama sekali. Dalil bahwa Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika haji Wada’. tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar
shalatnya bukanlah dalil batas waktu Nabi melakukan qashar, apalagi ada dalil lain bahwa dalam
waktu 20 hari Nabi menqashar shalat.
هللاٟغشح ػٓ أٔظ سض١ِ ُٓ ث١٘إثشاٚ بْ ػٓ ِسّذ ثٓ إٌّٕىذس١ُ لبي زذثٕب عف١ ٔؼٛزذثٕب أث
فخ١ٍ اٌسٞاٌؼصش ثزٚ ٕخ أسثؼب٠ عٍُ ثبٌّذٚ ٗ١ٍ هللا ػٍٝ صٟ إٌجٟش ِغ إٌجٙذ اٌظ١ٍػٕٗ لبي ص
ٍُػ أخشخٗ ِغ2824 ] [ ، 2491 ، 1121 ، 1121 ، 1441 ، 1443 – 1441 [ ٓ١سوؼز
فخ١ٍ اٌسٞاٌؼصش ثزٚ ( 190 ُلمصش٘ب سلٚ ٓ٠لصش٘ب ثبة صَلح اٌّغبفشٚ ٓ٠ صَلح اٌّغبفشٟف
ْب١ٕجبذ ثؼذ ِغبدسح اٌج٠ أْ اٌمصشًٍٝ ػ١ٌ دٛ٘ٚ سحٛفخ ِمص١ٍ اٌسٞ اٌؼصش ثزٍٝصٚ ٞ) أ
Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,
(HR: Bukhari Muslim).
Seorang yang menqashar shalatnya karena musafir tidak mesti harus menjama’ shalatnya begitu
juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya, seperti
melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Atau menjama’
shalat tanpa qashar, seperti shalat dhuhur dan ashar masing-masing 4 rekaat baik djama’ taqdim
maupun ta’khir. Atau menjama’ dan menqashar sekaligus. Hanya saja menurut Jumhur Ulama, qashar
bagi musafir adalah lebih afdhal.
Ada pendapat ulama mengenai seorang musafir tetapi dalam keadaan menetap tidak dalam
perjalanan, seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh
mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada
di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir
seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Tabuk. Pada kasus ini,
ketika dia dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena yang demikian lebih
ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ketika telah
menetap di sulewesi lebih afdhal menqashar saja tanpa menjama’nya. Wallahu a’lam.
2. Ketika seorang musafir menjadi Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum
menyempurnakan rakaat shalatnya setelah imammya salam. Berdasarkan hadits berikut:
ِ هللا ع َِْ أَبِي ِٔ أَ َُّ ُع ََ َر ْبَْ ْاى َخطَّا
ب َماَُ إِ َرا ِ َّ ب ع َِْ َضاىِ ٌِ ْب ِِ َع ْب ِذٍ َح َّذثَِْي يَحْ َيى ع َِْ ٍَاىِل ع َِْ اب ِِْ ِشَٖا
ع ْف ٌش َ اُّّٛ َِب أَ ْ٘ ًَ َِ َّىخَ أَر٠ صيَّى بِ ِٖ ٌْ َر ْم َعتَ ْي ِِ ثُ ٌَّ يَقُ٘ ُه
َ ٌَ ْٛ َص ََلرَ ُى ّْفَئَِّٔب ل َ َقَ ِذ ًَ ٍَ َّنت
“Wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah sholatmu, karena sesungguhnya kami adalah sekelompok
musafir” (HR Malik)
Wallahu A’lam….