Anda di halaman 1dari 2

Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair) RA (Wafat 94 H)

Seorang pemimpin masa Khalifah Ali bin Abi Talib dan awal khilafah Bani Umayyah. Dia adalah bayi
pertama yang lahir dikalangan Muhajirin di Madinah. Ayahnya bernama Zubair Awwam dan ibunya,
Asma binti Abu Bakar as-Siddiq. Ia sepupu dan juga kemenakan Nabi Muhammad dari istrinya, Aisyah
binti Abu Bakar. Ia termasuk salah seorang dari “Empat ‘Ibadillah” (empat orang yang bernama Abdullah)
dari 30 orang lebih sahabat Nabi yang dikenal menghafal seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, Tiga orang
‘Ibadillah lainnya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khatab, dan Abdullah bin Amr bin
As.

Ibnu Zubair telah mengenal perang sejak berusia 12 tahun, yaitu ketika bersama ayahnya turut
dalam Perang Yarmuk, dan empat tahun kemudian kembali menyertai ayahnya yang menjadi
anggota pasukan Amr bin As di Mesir. Ibnu Zubair juga mengambil bagian dalam ekspedisi
Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh melawan orang-orang Byzantium di Afrika. Semua peristiwa
tersebut mengundang kekaguman penduduk Madinah kepadanya.

Di masa Khalifah Usman bin Affan, ia duduk sebagai anggota panitia yang bertugas menyusun


Al-Qur’an. Di masa KhalifahAli bin Abi Talib, ia bersama Aisyah mengatur langkah untuk
menantang Khalifah tersebut untuk menuntut penyelesaian kasus
pembunuhan Khalifah Usman. Gerakan ini didukung oleh beberapa tokoh, seperti Ja’la bin
Umayyah dari Yaman, Abdullah bin Amr Basra, Sa’ad bin As, dan Wahid bin Uqbah (pemuka
kalangan Umayyah di Hedzjaz) dan beberapa sahabat senior (Talhah bin Ubaidillah dan
Zubair bin Awwam), dan ayahnya. Perselisihan antara kelompoknya dan kelompok Ali yang
sedang berkuasa diselesaikan dalam Perang Unta (Waqiah al-Jamal). Dalam perang inilah ia
menyaksikan ayahnya gugur. Disebut Perang Unta karena Aisyah mengendarai unta saat
memimpin pasukan itu.

Ibnu Zubair kembali melawan Dinasti Bani Umayyah. Meskipun di masa Mu’awiyah bin Abi


Sufyan bentuk perlawanannya belum bersifat terbuka, ia tampil menantang khilafah
(pemerintahan) Bani Umayyah secara terang-terangan. Ia memprotes Yazid, putra Mu’awiyah,
yang naik menjadi khalifahatas penunjukan ayahnya setelah ayahnya wafat. Yazid
memerintahkan walinya di Madinah untuk memaksa Ibnu Zubair bersama Husein bin Ali (cucu
Nabi) dan Abdullah bin Umar agar menyatakan kesetiaan kepadanya. Ibnu Zubair dan Husein
tetap membangkang. Demi keamanan, keduanya pindah ke Mekah. Ia tetap sebagai
penantang khalifah sekalipun Husein, tak lama sesudah itu, tewas dengan menyedihkan dalam
pertempuran tak seimbang di Karbala.

Pernyataan secara terbuka, bahwa kekuasaan Yazid tidak sah membawa pengaruh luas
dikalangan ansar di Madinah yang akhirnya melahirkan pemberontakan. Setelah menunggu
kesempatan yang baik, Yazid mengerahkan tentara Suriah di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah
dan memadamkan pemberontakan orang-orang Madinah tersebut dalam Perang Harran.
Kematian Muslim bin Uqbah tak menghalangi tentara tersebut untuk bergerak menuju Mekah
dengan sasaran mematahkan perlawanan Ibnu Zubair. Tentara tersebut mengepung dan
menghujani kota Mekah dengan batu dan panah api yang menyebabkan Ka’bah terbakar. Berita
meninggalnya Khalifah Yazid menyebabkan komandan pasukan, Husain bin Numair, mencoba
membujuk Ibnu Zubair agar bersedia bergabung dengan mereka untuk kembali ke Suriah. Ibnu
Zubair menolak bujukan tersebut dengan mengatakan bahwa ia akan tetap di Mekah.
Selanjutnya, ia memproklamasikan dirinya sebagai amirulmukminin. Sekalipun proklamasi itu
tidak lebih dari sekedar nama, namun lawan-lawan dinasti Bani Umayyah di Suriah, Mesir, Arab
Selatan, dan Kufah sempat menghargainya sebagai khalifah.

Setelah Mu’awiyah putra dan pengganti Yazid meninggal dunia, Ibnu Zubair muncul sebagai
kandidat khalifah atas dukungan Bani Qais. Selain itu ada kandidat lainnya yaitu,
Marwan bin Haqam (dukungan Bani Qalb) dan dua kabilah Arab berdomisili di Suriah, juga saling
bersaing mengajukan calon masing-masing. Akan tetapi, Ibnu Zubair terpojok tatkala peta
kekuatan politik mengalami perubahan, akibat pemberontakan di Kufa dan pembelontan di
antara pengikutnya, setelah Yazid wafat. Pengepungan membawa kematiannya terjadi ketika

Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi ditugaskan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan, putra
Marwan bin Hakam, untuk menyelesaikan perlawanan “Sang Penantang Enam Khalifah” –
dari Ali, Mu’awiyah, Yazid, Mu’awiyah, Marwan bin Hakam, sampai Abdul Malik.

Tidak kurang dari tujuh bulan diperlukan untuk menghujani kota suci Mekah dan Ka’bah dengan
bombardir pasukan al-Hajjaj untuk melumpuhkan perlawanan Ibnu Zubair. Ia masih bertahan
tatkala putra-putranya menyerahkan diri kepada al-Hajjaj. Keperkasaannya bangkit kembali
setelah berjumpa sebentar dengan ibunya yang sudah buta, yang mendorongnya dengan
memberikan semangat juang. Padahal sebelumnya, ia sempat menyatakan kepada ibunya rasa
khawatir, bahwa mayatnya akan diperlakukan secara sadis oleh para pembunuhnya kelak.
Ibunya mengatakan bahwa kambing yang sudah disembelih tak sedikit pun akan merasakan
sayatan-sayatan pada dagingnya. Jawaban ini mendorongnya keluar dari rumah tempat ia
bertahan , maju ke tengah-tengah lawannya yang kemudian menyergap dan menghabisinya.
Mayatnya ditempatkan pada tiang gantung yang sama di mana saudaranya, Amr, pernah
mengalami hal serupa. Atas perintah Abdul Malik, mayatnya kemudian diserahkan kepada
ibunya. Tak lama berselang, setelah menguburkan mayat putranya itu, ia pun wafat pada tahun
94 H.

Anda mungkin juga menyukai