Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ASBABUN NUZUL Q.S. al-BAQOROH: 222, 223 dan 228

Dosen Pengampu: Dr. Zainal Arifin Madzkur, MA.

Disusun Untuk Memenuhi


Mata Kuliah Sabab Nuzul

Oleh : Kelompok III

Ahsanul Mufid

Moh. Adibul Muchtar

Mohammad Jihad Jundulloh

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT PERGURUAN TINGGGI ILMU AL-QUR’AN (PTIQ)
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT. karena berkat rahmat karunianya


Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang mengulas tentang bahasa
dimana ini adalah mata kuliah “SABAB NUZUL” yang berjudul “Asbabun
Nuzul Q.s. Al - Baqarah : 222, 223, & 228”. Adapun makalah kami ini yaitu
yang jauh dari kata sempurna baik dari segi teknik penyajian maupun dari
segi penyusunan.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah abadikan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Nabi akhir zaman pembawa rahmat
bagi seluruh alam.
Tujuan kami menulis materi tersebut adalah memenuhi tugas, dan
agar menjadikan mahasiswa mengerti tentang kehidupan Nabi
MuhammadSAW.
Terima kasih kepada Dosen yang telah memberikan kami kesempatan
untuk berfikir panjang dan dapat membuat makalah ini sesuai harapan.
Materi ini tidak akan tersampai jika tidak ada dorongan dari berbagai pihak.
Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada sahabat-sahabat di
Intsitut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta.

Jakarta, 23 September 2022


Daftar Isi

Contents
Cover.........................................................................................................................1
Daftar Isi....................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
C. Tujuan...........................................................................................................5
BAB II.........................................................................................................................6
A. Asbabun Nuzul Al-Baqarah Ayat 222, 223, 228.............................................6
B. Pendapat Para Mufassir................................................................................9
C. Kontekstualisasi Ayat Pada Masa Kini.........................................................15
BAB III......................................................................................................................16
A. Kesimpulan..................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Surat al-Baqarah ayat 222 menjelaskan bahwa implikasi dari seorang
wanita yang sedang haid berkaitan dengan hubungannya denga suami. Di mana
wanita yang sedang haid tidak diperkenankan untuk berhubungan badan. Surat al-
Baqarah ayat 222 turun bermula dari kisah kaum Yahudi. Di dalam kitab Tafsir
Ibnu Katsir disebutkan, Imam Ahmad bin Hanbal menceritakan asbabun nuzul Surat
al-baqarah ayat 222 dari riwayat Anas.
Diceritakan di dalam hadis tersebut, sudah menjadi tradisi di kalangan
bangsa Yahudi jika seorang perempuan haid, maka sang suami tidak akan memakan
masakan istrinya yang haid dan bahkan dilarang kumpul bersamanya. Melihat
tradisi kalangan Yahudi seperti itu, salah satu sahabat bertanya kepada Rasulullah.
Rasul sempat terdiam sejenak mendengar pertanyaan tadi, hingga turunlah Surat al-
Baqarah ayat 222 sebagai jawaban atas pertanyaan sahabat tersebut. Kemudian
setelah turun ayat itu, nabi pun berkata: "Lakukanlah segala sesuatu (kepada isteri
yang sedang haid) kecuali bersetubuh". Pernyataan nabi ini membuat orang-orang
Yahudi kaget. Pasalnya, perihal haid oleh orang Yahudi dianggap tabu, akan tetapi
Rasulullah justru mengatakan bahwa haid adalah alamiyah dan menyikapinya
berberda dari tradisi Yahudi selama ini.
Turunnya ayat ini berkaitan dengan kebiasaan Penduduk Madinah yang
sering meniru kebiasaan kaum Yahudi yang tidak berhubungan seks dari belakang
meskipun tidak melakukan anal seks. Ketika penduduk Madinah memeluk agama
Islam, terdapat seorang pria Muhajirin yang menikahi wanita Ansar. Tatkala akan
berhubungan intim, suami akan mendatangi istri dari belakang. Tetapi istrinya
menolak karena kebiasaan penduduk Madinah yang menolak berhubungan seks dari
arah belakang karena hal tersebut tidak lazim bagi penduduk Madinah. Lalu
kejadian ini dilaporkan kepada Rasulullah saw, Sehingga turunlah ayat di atas untuk
merespon kasus ini. Adapun penjelasan dari mendatangi istri maksudnya pada satu
lubang saja di bagian depan atau Somamin Wahidin.
Al Baqarah 228 Bahwa orang – orang jahiliyah tidak mempunyai bilangan
talak. Mereka mentalak istrinya dengan sesuka hati.Jika masa iddah wanita itu
sudah hampir habis, dirujuknya. Di zaman Nabi SAW sendiri sudah pernah terjadi
seorang suami yang sengaja hendak mentalak istrinya dengan mengatakan pada
istrinya itu: aku tidak akan tidur bersamamu tetapi aku juga tidak akan membiarkan
kamu lepas. Wanita itu kemudian bertanya? Apa maksudmu? Ia menjawab, engkau
ku talak, tetapi kalau masa iddah hampir habis, engakau kurujuk. Begitulah,
kemudian wanita itu melaporkan kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat setelahnya
surat al-baqarah ayat 229.

B. Rumusan Masalah
1. Apa sebab diturunkan nya ayat tentang haidh? Dan apa aturan -
aturan yang di perintahkan Allah swt dalamnya?
2. Apa yang dimaksud Boleh mendatangi wanita mu dari arah mana saja
yang kamu kehendaki?’
3. Mengapa wanita yang telah di talak, harus menunggu beberapa waktu
sampai ia boleh menikah lagi?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui bagaimana Asbabun Nuzul Al-Baqarah Ayat 222
b. Mengetahui bagaimana Asbabun Nuzul Al-Baqarah Ayat 223
c. Mengetahui bagaimana Asbabun Nuzul Al-Baqarah Ayat 228
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asbabun Nuzul Al-Baqarah Ayat 222, 223, 228


a. Al-Baqarah Ayat 222

‫وه َُّن َحتَّ ٰى‬NNُ‫يض َواَل ت َۡق َرب‬ ۡ ۡ َ‫يض قُ ۡل هُ َو َأ ٗذى ف‬


ْ ُ‫ٱعت َِزل‬ ۡ
ِ ‫ٓا َء فِي ٱل َم ِح‬N ‫وا ٱلنِّ َس‬ ِ ۖ ‫َويَ ۡسألونَكَ َع ِن ٱل َم ِح‬
ُّ‫ َر ُك ُم ٱهَّلل ۚ ُ ِإ َّن ٱهَّلل َ يُ ِحبُّ ٱلتَّ ٰ َّوبِينَ َوي ُِحب‬NNNN‫ث َأ َم‬ ۡ ۡ ‫يَ ۡطه‬
ُ ‫أتُوه َُّن ِم ۡن َح ۡي‬NNNNَ‫ِإ َذا تَطَه َّۡرنَ ف‬NNNNَ‫ر ۖنَ ف‬NNNNُ
َ‫ۡٱل ُمتَطَه ِِّرين‬

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu


adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.

ayat ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan para sahabat tentang
kebiasaan kaum yahudi menjauhi para istri mereka pada saat haid. Mereka
enggan dekat-dekat dengan para istri, bahkan untuk sekedar makan dan
bercengkerama Bersama-bersama.
Anas mengatakan, sudah menjadi kebiasaan kaum Yahudi, jika istri
mereka sedang haid, para suami enggan makn dan bercengkerama dengan
mereka dalam satu rumah. Lantas para sahabat menanyakan hal ini kepada
nabi saw. Lalu Allah swt. Menurunkan firmanya wayas alunaka anil
mahidqul huwa azan fa’tazilun nisa’a fil mahid. Rasulullah bersabda (bila
istri-istri kalian sedang haid), kalian boleh melakukan apa saja dengan
mereka, kecuali berhubungan badan.
Mujahid berkata “ dahulu kaum pria Yahudi menjauhi farji istri-istri
mereka saat haid sehingga mereka pun menggauli para istrinya dengan
melalui dubur. Para sahabat menanyakan hal ini kepada Rasulullah saw.
Sehingga Allah menurunkan firmanya wayasalunaka anil mahidqul huwa
adza fatazilun nisa’a fil mahid wala taqrobuhunna hatta yathurna…,
campurilah mereka melalui farji dan janganlah kalian menyimpang dari
ketentuan ini.1

Para Mufassir sepakat bahwa orang-orang arab jahiliyyah mempunyai


tradisi enggan makan, minum, dan satu rumah Bersama istri-istri mereka
ketika haid. Perbuatan ini seperti budaya umat majusi. Lalu abu dahdah

1
Muchlis M. Hanafi, Asbabun Nuzul. (Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur’an
Gedung Bayt Al-Qur’an Dan Museum Istiqlal, 2015), hlm. 124
bertanya kepada Rasulullah saw. “ ya Rasulullah, apa yang akan kami
perbuat Ketika para istri kami sedang haid?, maka turunlah ayat ini. 2
b. Al-Baqoroh Ayat 223

‫ ِر‬N‫و ۗهُ َوبَ ِّش‬NNُ‫و ْا َأنَّ ُكم ُّم ٰلَق‬N ْ ُ‫وا َأِلنفُ ِس ُكمۡۚ َوٱتَّق‬
ۡ ‫وا ٱهَّلل َ َو‬
ٓ N‫ٱعلَ ُم‬ ْ ُ‫ث لَّ ُكمۡ فَ ۡأت‬ٞ ‫نِ َسٓاُؤ ُكمۡ َح ۡر‬
ْ ‫وا َح ۡرثَ ُكمۡ َأنَّ ٰى ِش ۡئتُمۡۖ َوقَ ِّد ُم‬
Nَ ِ‫ۡٱل ُم ۡؤ ِمن‬
‫ين‬
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Jabir bin Abdullah berkata “kaum Yahudi menyakini bahwa jika
sesorang suami mencampuri istrinya di lubang farjinya dari arah belakang
maka akan lahir anak yang bermata juling. Berkaitan hal itu turunlah ayat
nisa’ukum harsun lakum fa’tu harsakumanna syi’tum.3
Abdurrahman bin Sabith berkata “aku menemui hafshah binti
Abdurrahman. Aku berkata, sesungguhnya aku ingin menanyak sesuatu
padamu, tetapi aku merasa malu.” Ia berkata “ jangan Malu, wahai
keponakanku”. Aku ingin bertanya temtang menggauli istri dari belakang”
ia menjawab, “ aku mendapatkan hadis dari Ummu Salamah bahwa orang-
orang Anshor itu tidak menyukai Wanita . dan orang-orang Yahudi
mengatakan “ sesungguhnya barang siapa menggauli istrinya dari belakang
maka anaknya akan lahir dengan bermata juling.” Ketika orang-orang
Muhajirin tiba di Madinah, mereka menikahi Wanita-wanita anshor, dan
mereka menggaulinya. Ada seseorang wanita yang enggan patuh kepada
suaminya,” anda jangan dulu melakukan hal itu sebelum aku menemui
Rasulullah saw. Lalu ia menemui Ummu Salamah untuk menceritakan hal
itu. Ummu Salamah berkata “tunggulah sampai Rasulullah datang”,
sesampainya nabi dating wanita itu malu dan akhirnya Ummu Salamah
menceritakan hal itu kepada Rasulullah saw. Lalu ayat ini turun dan nabi
pun membacakanya nisa’ukum harsun lakum fa’tu harsakumanna syi’tum. 4
Ibnu Abbas berkata bahwa “Umar datang menghadap Nabi saw. dan
berkata celakah aku, nabi bersabda “apa yang membuatmu celaka?” saya
memindahkan kendaraanku tadi malam dan menggauli istriku dari
belakang. Lalu allah menurunkan ayat nisa’ukum harsun lakum fa’tu

2
Imam Abi Hasan Ali bin Ahmad al-wahidi, Asbabun Nuzul, (kairo: Dar al-Hadis,
2003) hlm. 63.

3
Muchlis M. Hanafi, Asbabun Nuzul….hlm. 125.
4
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, Shahih Asbabun Nuzul, (Jakarta: Akbar
Media Eka Sarana, 2017.) hlm. 32.
harsakumanna syi’tum. Kemudian beliau bersabda “lakukan dari depan atau
belakang tapi hindarilah dubur dan yang sedang haid.5

c. Al-Baqoroh Ayat 228


‫ ا ِم ِه َّن ِإن‬N‫ق ٱهَّلل ُ فِ ٓي َأ ۡر َح‬ َ َ‫َّصنَ بَِأنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ قُر ُٓو ٖۚء َواَل يَ ِحلُّ لَه َُّن َأن يَ ۡكتُمۡ نَ َما َخل‬ۡ ‫ت يَتَ َرب‬ ُ َ‫َو ۡٱل ُمطَلَّ ٰق‬
‫ ُل‬N‫ ٰلَ ٗح ۚا َولَه َُّن ِم ۡث‬N‫ص‬
ۡ ‫كَ ِإ ۡن َأ َراد ُٓو ْا ِإ‬Nِ‫ر ِّد ِه َّن فِي ٰ َذل‬N
َ ِ‫ق ب‬ُّ N‫ولَتُه َُّن َأ َح‬Nُ‫ ۚ ِر َوبُع‬N‫ُك َّن ي ُۡؤ ِم َّن بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ‬
ۗ
ِ ‫ة َوٱهَّلل ُ ع‬ٞ ‫ُوف َولِل ِّر َجا ِل َعلَ ۡي ِه َّن َد َر َج‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ِ ۚ ‫ٱلَّ ِذي َعلَ ۡي ِه َّن بِ ۡٱل َم ۡعر‬
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi
para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Dalam tradisi masyarakat arab pra-islam, seorang istri yang dicerai
oleh suaminya tidak memiliki masa idah. Ayat ini kemudian turun untuk
menjelaskan masa idah bagi istri yang di talak, yakni bila ia masih dapat
haid maka dia beridah selama tiga kali suci.
Asma binti Yazid bin sakan al-Ansariyyah bercerita bahwa ia di
ceraikan oleh suaminya pada masa Rasulullah saw. Ketika itu para wanita
yang di ceraikan tidak memiliki masa idah. Lalu Allah swt. Menurunkan
wahyu mengenai idah Ketika Asma diceraikan. Dengan demikian, ia adalah
wanita pertama yang karenanya di turunkan ayat tentang idah bagi istri-istri
yang di ceraikan.6
Dinyatakan oleh at-Sa’labi dan Hibatullah bin Salamah dalam kitab
Nasikh yang bersumber dari Kalbi dan Muqotil, bahwa Ismail bin Abdillah
al-Ghifari mencerai istrinya Qutailah di zaman Rasulullah saw. dia tidak
tahu bahwa istrinya sedang hamil. Setelah mengetahuinya, ia merujuk
kembali istrinya, setelah istrinya melahirkan, Qutailah pun wafat Bersama
anak yang kandunganya. Maka turunlah ayat ini walmutholaqotu ya
tarobasna bi an fusihina tsalasata quru’. 7

B. Pendapat Para Mufassir


a. Tafsir as-Sya’rowi
5
Jalalludin as-Suyuthi, Lubabun Nuqul fi Asbabun nuzul, (Rembang: Daarul Ihya,
1986.) hlm. 79.
6
Muchlis M. Hanafi, Asbabun Nuzul….hlm. 125.

7
Jalalludin as-Suyuthi, Lubabun Nuqul fi Asbabun nuzul,…hlm. 82.
Haid adalah suatu darah penyakit yang keluar dr suatu tempat dan
mempunyai waktu tertentu. Darah haid terjadi karena terwujud dari sebuah
sel telur yang tidak di buahi dan itu terjadi pada kaum wanita saja. Tentu
pada proses seperti ini para kaum pria(suami) di larang untuk menggauli
istrinya.
Lantas apakah darah penyakit (haid) tersebut hanya berlaku pada wanita
saja? Atau keduanya? Darah penyakit itu ada pada keduanya, walaupun
asalnya ada pada wanita, jikalau sang pria nya( suami) menggauli istrinya
dalam keadaan haid, di takutkan akan menular juga penyakitnya pada si pria
tersebut. Maka dari itu, islam melarang keras berhubungan intim pada saat
wanita sedang dalam masa haid.
Selain itu pada saat wanita (istri) sedang haid, suami tidak boleh memaksa
istrinya untuk melayaninya secara berlebihan. Karena wanita saat haid,
biasanya menggalami rasa payah, letih, dan kurang sehat. Hal ini di sandarkan
pada sebuah dalil yang berbunyi :
‫أن هللا رخص لها أالّ تصوم وأالّ تصلي‬
Sesungguhnya Allah swt. Telah meringankan kewajiban sholat dan
puasa pada wanita yang sedang haid.

 {‫}فاعتزلوا النسآء فِي المحيض َوالَ تَ ْق َربُوه َُّن‬


Maksud dr redaksi diatas ialah di larang berhubungan intim pada saat haid,
dengan batasan tertentu, yakni boleh bermain diatas pusar keatas atau hanya
bersentuhan kulit dan baju. Dan boleh menggaulinya lagi ketika wanita (istri)
itu suci kembali. Hal ini bersandar pada firman Allah swt.

ُ ‫طهُرْ نَ فَْأتُوه َُّن ِم ْن َحي‬


‫ْث َأ َم َر ُك ُم هللا‬ ْ َ‫طهُرْ نَ فَِإ َذا ي‬
ْ َ‫َوالَ تَ ْق َربُوهُنَّحتى ي‬
Pada ayat diatas terdapat kalimat yg unik untuk dibahas, yakni َ‫طهُرْ ن‬ ْ َ‫ ي‬dan
َ‫تَطَهَّرْ ن‬. Lantas apakah perbedaan dr kedua kalimah tersebut? Keduanya terambil
akar kata yang sama yaitu َ‫طهُرْ ن‬ ْ َ‫ ي‬.‫ طهر‬Mempunyai makna berhentinya darah
haid. Sedangkan َ‫ تَطَهَّرْ ن‬mempunyai makna mandi besar ( syarat bersuci dari
hadas besar.8

b. Tafsir Ibnu Katsir

ُ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا َأنَّ ُكم ُّم ٰلَقُو ۗه‬ ْ ُ‫وا َأِلنفُ ِس ُكمۡۚ َوٱتَّق‬
ۡ ‫وا ٱهَّلل َ َو‬ ْ ُ‫ث لَّ ُكمۡ فَ ۡأت‬ٞ ‫نِ َسٓاُؤ ُكمۡ َح ۡر‬
ْ ‫وا َح ۡرثَ ُكمۡ َأنَّ ٰى ِش ۡئتُمۡۖ َوقَ ِّد ُم‬
َ‫َوبَ ِّش ِر ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِين‬

ٌ ْ‫}نِ َساُؤ ُك ْم َحر‬


{‫ث لَ ُك ْم‬
Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok
tanam. (Al-Baqarah: 223)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hars ialah


peranakan (kemaluan). Dalam firman selanjutnya disebutkan:
8
Syeh Mutawalli as-Sya’rowi, Tafsir Sya’rowi jilid 2, kairo: Dar Kutub: 2007.
{‫}فَْأتُوا َحرْ ثَ ُك ْم َأنَّى ِشْئتُ ْم‬
maka datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana
saja kalian kehendaki. (Al-Baqarah: 223)

Yakni bagaimanapun caranya menurut kehendak kalian, baik dari depan


ataupun dari belakang dengan syarat yang didatanginya adalah satu lubang, yaitu
lubang kemaluan, seperti yang telah ditetapkan oleh banyak hadis.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnul Munkadir yang mengatakan
bahwa ia pernah mendengar sahabat Jabir menceritakan hadis berikut: Dahulu
orang-orang Yahudi berkeyakinan bahwa jika seseorang menyetubuhi istrinya
dari arah belakang, maka kelak anaknya bermata juling. Maka turunlah firman-
Nya: Istri-istri kalian adalah (seperti) tanah tempat bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok tanam kalian itu bagaimana saja kalian
kehendaki. (Al-Baqarah: 223)

Ibnu Juraij mengatakan, sehubungan dengan hadis ini disebutkan di dalamnya


bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

ِ ْ‫ك فِي ْالفَر‬


«‫ج‬ َ ِ‫» ُم ْقبِلَةٌ َو ُم ْدبِ َرةٌ ِإ َذا َكانَ َذل‬

Boleh dari depan dan boleh dari belakang jika yang didatanginya adalah farji.

{ ‫}وقَ ِّد ُموا أل ْنفُ ِس ُك ْم‬


َ

Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian. (Al-Baqarah: 223)

Artinya, kerjakanlah amal-amal ketaatan dengan cara menjauhi semua hal yang
dilarang kalian mengerjakannya, yaitu perkara-perkara yang diharamkan. Karena
itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:

{ُ‫}واتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا َأنَّ ُك ْم ُمالقُوه‬


َ

dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian kelak akan
menemui-Nya. (Al-Baqarah: 223)

Maka kelak Allah akan menghisab semua amal perbuatan kalian.

{ َ‫} َوبَ ِّش ِر ْال ُمْؤ ِمنِين‬

Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 223)

Yakni orang-orang yang taat kepada Allah dalam mengerjakan perintah-Nya


dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah
menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Muhammad
ibnu Kasir, dari Abdullah ibnu Waqid, dari Ata yang mengatakan bahwa
menurut dugaanku disebutkan dari Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya:
Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian. (Al-Baqarah: 223)
Maksudnya ialah bila kamu mengucapkan bismillah, yakni membaca tasmiyah
di kala hendak melakukan persetubuhan.
Telah disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:

َّ ‫ب‬
«‫ا‬NN‫ ْيطَانَ َم‬N‫الش‬ ِ ِّ‫ ْيطَانَ َو َجن‬N‫الش‬ ْ ِ‫ب‬ :‫ا َل‬NNَ‫ ق‬،ُ‫ه‬Nَ‫ْأتِ َي َأ ْهل‬Nَ‫لو أن أحدكم ِإ َذا َأ َرا َد َأ ْن ي‬
َّ ‫ا‬NNَ‫ اللَّهُ َّم َجنِّ ْبن‬،ِ ‫ ِم هَّللا‬N‫اس‬
‫ لن يضره الشيطان أبدا‬،‫ فَِإنَّهُ ِإ ْن يُقَدَّرْ بَ ْينَهُ َما َولَ ٌد فِي ذلك‬،‫ » َر َز ْقتَنَا‬.

Seandainya seseorang dari kalian di saat hendak mendatangi istrinya


mengucapkan, "Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah dari kami
setan dan jauhkanlah pula dari setan apa (anak) yang Engkau rezekikan kepada
kami, " maka sesungguhnya jika ditakdirkan bagi keduanya punya anak dalam
hubungannya itu, niscaya setan tidak dapat menimpakan mudarat terhadap si
anak selama-lamanya.9

c. Tafsir munir

‫ ا ِم ِه َّن ِإن ُك َّن‬N‫ق ٱهَّلل ُ فِ ٓي َأ ۡر َح‬ َ َ‫َّصنَ بَِأنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ قُر ُٓو ٖۚء َواَل يَ ِحلُّ لَه َُّن َأن يَ ۡكتُمۡ نَ َما َخل‬ ۡ ‫ت يَتَ َرب‬ ُ َ‫َو ۡٱل ُمطَلَّ ٰق‬
ٰ
‫صلَ ٗح ۚا َولَه َُّن ِم ۡث ُل ٱلَّ ِذي َعلَ ۡي ِه َّن‬ ۡ ‫ك ِإ ۡن َأ َراد ُٓو ْا ِإ‬ ٰ ُّ ‫ي ُۡؤ ِم َّن بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ۚ ِر َوبُعُولَتُه َُّن َأ َح‬
َ ِ‫ق بِ َر ِّد ِه َّن فِي َذل‬
ۗ
ِ ‫ة َوٱهَّلل ُ ع‬ٞ ‫ُوف َولِلرِّ َجا ِل َعلَ ۡي ِه َّن َد َر َج‬
.‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ِ ۚ ‫بِ ۡٱل َم ۡعر‬

Hendaknya wanita-wanita merdeka yang ditalak (yang masih punya kebiasaan


haid) menunggu selama tiga kali haid atau tiga kali suci guna mengetahui
bahwa rahimnya masih kosong dari janin agar tidak teriadi percampuran
nasab. Sebagaimana telah kami jelaskan, ada tiga golongan wanita yang
dikecualikan dari cakupan ayat ini, yaitu: (1) wanita yang ditalak sebelum
digauli (yang seperti ini tidak ada idah baginya), (2) wanita yang masih sangat
muda yang belum mencapai usia haid dan wanita yang sudah tidak haid lagi
karena lanjut usia (yang seperti ini idahnya tiga bulan), dan (3) wanita hamil
(yang ini idahnya adalah sampai melahirkan). Jadi, ayat ini khusus berkenaan
dengan idah wanita yang masih mungkin untuk mengalami haid, sudah di gauli
suaminya dan tidak sedang tidak hamil.

ۡ ‫ت یَتَ َرب‬
Penggunaan ungkapan ( َ‫ن‬N‫َّص‬ َ ‫)و ۡٱل ُم‬
ُ ‫طلَّقَ ٰـ‬ َ mengindikasikan bahwa wanita
harus memaksa dirinya untuk sabar menunggu sampai habisnya masa penantian

9
Al-Hafidz Ibnu Katsir Ad-dimasyqy, Tafsir al-Qur’an al-Adzim li Ibnu Katsir, Juz 1,
Bairut; Darul Kutub Ilmiyah, 2006.
itu, hingga habis masa idah. Ia tidak boleh menuruti hawa nafsunya meskipun
jiwanya mendambakan masa idah berlalu secepatnya supaya ia dapat menikah
lagi dengan pria lain. Ungkapan ini mengandung pernyataan lembut, yang
penuh pengagungan, sebab wanita tidak disuruh menunggu habisnya idah
dengan perintah yang terang (eksplisit).

Pada saat terjadi talak raj'iy, suami lebih berhak untuk merujuk sang istri
selama dalam masa idah. Ini karena syariat Islam berusaha mempertahankan
ikatan pernikahan yang sudah terjalin antara suami istri. Tidak ada perkara halal
yang lebih dibenci Allah ketimbang talak. Si istri pun harus memenuhi
keinginan suami untuk mengadakan rujuk, asalkan tujuan rujuk ini adalah
memperbaiki hubungan antara suami dan istri. Adapun kalau tujuannya adalah
untuk membalas dendam, membuat istri menderita, dan menghalanginya
menikah dengan lelaki lain hingga
ia seperti "janda gantung" (statusnya bukan sebagai istri dalam arti yang
sebenarnya, tapi ia pun tidak dibiarkan menikah dengan pria lain), maka lelaki
seperti ini berdosa di mata Allah karena ia menyengsarakan istrinya dan
menghalanginya menikah dengan laki-laki lain.

Ini menunjukkan bahwa, dalam perspektif keagamaan, rujuk harus


diniatkan untuk mengadakan perbaikan dan pergaulan yang baik. Sehubungan
dengan rujuh Allah mengingatkan pasangan suami istri akan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban mereka, sebab suami punya hak di samping punya
kewajiban terhadap istrinya, begitu pula istri.

Hak dan kewajiban mereka setara karena masing-masing memiliki


kemuliaan sebagai insan dan memiliki ahlfityah'kelayakan, kecakapan' (akal,
pikiran, keinginan, dan perasaan) serta memiliki hak untuk hidup merdeka dan
mulia. Keduanya hanya berbeda dalam derajat qawaamah, yakni menyangkut
pengaturan urusan dan kemaslahatan keluarga, yang mana hal ini dipimpin oleh
pihak laki'laki (suami) karena Allah telah memberinya kelebihan atas wanita
berupa kelapangan akal, keluasan pengetahuan, kebijaksanaan, dan
keseimbangan mental tanpa mudah terpengaruh oleh emosi sesaat. Di samping
itu,lelaki pulalah yang mengeluarkan harta bendanya sejak awal mula
pernikahan (dengan membayar maskawin) sampai akhir pernikahan ini [dengan
selalu mengeluarkan nafkah untuk semua urusan kehidupan mereka: dengan
menyediakan tempat tinggal, pakaian, dan makanan). Allah Ta'ala berfirman:

"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan, karena Allah telah


melebihkan sebagian mereka Aaki-laki) atas sebagian yanglain (perempuan),
dan karena mereka (laki-laki) telah memb erikan nafkah dari hartanya..." (an-
Nisaa' : 34)

Sebaliknya pihak wanita biasanya memikul tanggung iawab yang berat yang
menyempurnakan tugas suami: di dalam rumah. Istrilah yang menjadi ratu,
yang mendidik anak-anak agar memiliki akhlak muli4 dan dialah yang
membantu suami memenuhi berbagai kebutuhan hidup yang primer. Inilah
keputusan yang dibuat Nabi saw. antara Ali dan Fatimah r.a.. Beliau menyuruh
Fatimah berada di rumah dan mengurusnya, serta menyuruh Ali mencari rezeki
di luar rumah dan berjihad di jalan Allah di samping beriihad untuk menghidupi
keluarga.

Tidak ada larangan bagi wanita untuk bekerja di luar rumah ketika hal itu
dibutuhkan, asalkan ia tetap menaati ajaran agama dan moral serta tidak
berduaan dengan lelaki non-muhrim di tempat sepi, dan ia harus mengenakan
pakaian tertutup sesuai aturan syariat karena seluruh tubuh wanita adalah aurat
kecuali wajah dan telapak tangan meski demikian, kedua anggota tubuh ini
tidak boleh dipandangi laki-laki, sama seperti bagian tubuh lainnya dari wanita).
Selain itu, dalam bekerja wanita juga harus bersikap tegas, tidak berbicara
dengan sikap manja, karena Allah berfirman,

"*Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara


sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
ianganlah kamu berhias dan (bertingkoh laku) seperti orang jahiliah dahulu..
(al-Ahzaab: 32-33)10

C. Kontekstualisasi Ayat Pada Masa Kini

Al-Baqarah 222 & 223 Dalam ayat ini diberikan rambu-rambu dalam
berhubungan seksual. Dan ayat ini adalah jawaban singkat yang diberikan Allah,
yaitu bahwa haid itu adalah kotoran atau gangguan, tetapi jawaban pendek ini
memberikan informasi dan gambaran yang lengkap tentang keadaan wanita yang
sedang haid. Kemudian dilanjutkan dengan tuntunan bagaimana seharusnya
menghadapi mereka dalam keadaan seperti itu. Untuk menjelaskan maksud ayat ini
kepada semua penanya dan tentunya juga kepada seluruh umat Islam, Nabi saw
bersabda:)‫َي ٍء ِإالَّ النِّكَا َح (رواه أحمد ومسلم وأصحاب السنن‬
ْ ‫اصْ نَعُوْ ا ُك َّل ش‬
“Lakukanlah segala sesuatu, kecuali nikah (hubungan seks)” (HR Ahmad,
Muslim, dan Ashāb al-Sunān). Selain itu, Abu Dawud, meriwayatkan dari Hizam
bin Hakim dari pamannya, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw:
)‫ لك ما فوق اإلزار أي ما فوق السرة (رواه أبو داود‬: ‫ما يحل لي من امرأتي وهي حائض قال‬
Apa yang dihalalkan bagiku terhadap istriku yang sedang haid? Rasulullah
menjawab: “Bagimu apa yang di atas kain.” Artinya, yang di atas pusar” (Wahbah
az-Zuhaylī, al-Tafsīr al-Munīr, hlm. 669-670). Allah mengawali jawaban dengan
menerangkan alasan dilarang berhubungan seksual ketika wanita (istri) sedang
haid, dengan menyebutkan bahwa haid itu adalah kotoran atau gangguan, yang
dapat mengakibatkan gangguan terhadap wanita, baik secara fisik maupun psikis,
10
Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir (Aqidah, Syari’ah, Manhaj). Juz 1 Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, et.al. Jakarta: Gema Insani. 2016.
dan berbahaya kalau dalam keadaan seperti itu terjadi hubungan seksual.
Bahayanya tidak saja terhadap si wanita tetapi juga terhadap pria yang
berhubungan dengannya. Kemudian Allah menyebutkan hukum perbuatannya.
Dengan cara ini, ketentuan ini lebih mudah untuk diterima, karena dapat dipahami
bahwa aturan syariat ini adalah untuk kemaslahatan manusia, bukan ‘ubudiyyah
semata.
Al Baqarah 228 : "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'." demikianlah firmanNya tertulis. fungsi dari masa
iddah adalah untuk menjaga keturunan. Ketika seorang berpisah dan menjalankan
masa iddah, fungsinya adalah untuk memastikan rahim perempuan itu benar-benar
bersih. Sehingga jika ada laki-laki yang menikahi perempuan itu, maka benar-benar
sudah bersih dan tidak ada lagi campuran air mani dari suami sebelumnya. Jika
sampai terjadi campuran, dikhawatirkan mengakibatkan ketidak jelasan kandungan
itu anak siapa, juga hilangnya keturunan yang jelas.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Baqarah 222 & 223 Dalam ayat ini diberikan rambu-rambu dalam
berhubungan seksual. Dan ayat ini adalah jawaban singkat yang diberikan Allah,
yaitu bahwa haid itu adalah kotoran atau gangguan, tetapi jawaban pendek ini
memberikan informasi dan gambaran yang lengkap tentang keadaan wanita yang
sedang haid. Kemudian dilanjutkan dengan tuntunan bagaimana seharusnya
menghadapi mereka dalam keadaan seperti itu. Untuk menjelaskan maksud ayat ini
kepada semua penanya dan tentunya juga kepada seluruh umat Islam, Nabi saw
bersabda:)‫َي ٍء ِإالَّ النِّكَا َح (رواه أحمد ومسلم وأصحاب السنن‬
ْ ‫اصْ نَعُوْ ا ُك َّل ش‬
“Lakukanlah segala sesuatu, kecuali nikah (hubungan seks)” (HR Ahmad,
Muslim, dan Ashāb al-Sunān). Selain itu, Abu Dawud, meriwayatkan dari Hizam
bin Hakim dari pamannya, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw:
)‫ لك ما فوق اإلزار أي ما فوق السرة (رواه أبو داود‬: ‫ما يحل لي من امرأتي وهي حائض قال‬
Apa yang dihalalkan bagiku terhadap istriku yang sedang haid? Rasulullah
menjawab: “Bagimu apa yang di atas kain.” Artinya, yang di atas pusar” (Wahbah
az-Zuhaylī, al-Tafsīr al-Munīr, hlm. 669-670). Allah mengawali jawaban dengan
menerangkan alasan dilarang berhubungan seksual ketika wanita (istri) sedang
haid, dengan menyebutkan bahwa haid itu adalah kotoran atau gangguan, yang
dapat mengakibatkan gangguan terhadap wanita, baik secara fisik maupun psikis,
dan berbahaya kalau dalam keadaan seperti itu terjadi hubungan seksual.
Bahayanya tidak saja terhadap si wanita tetapi juga terhadap pria yang
berhubungan dengannya. Kemudian Allah menyebutkan hukum perbuatannya.
Dengan cara ini, ketentuan ini lebih mudah untuk diterima, karena dapat dipahami
bahwa aturan syariat ini adalah untuk kemaslahatan manusia, bukan ‘ubudiyyah
semata.
Al Baqarah 228 : "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'." demikianlah firmanNya tertulis. fungsi dari masa
iddah adalah untuk menjaga keturunan. Ketika seorang berpisah dan menjalankan
masa iddah, fungsinya adalah untuk memastikan rahim perempuan itu benar-benar
bersih. Sehingga jika ada laki-laki yang menikahi perempuan itu, maka benar-benar
sudah bersih dan tidak ada lagi campuran air mani dari suami sebelumnya. Jika
sampai terjadi campuran, dikhawatirkan mengakibatkan ketidak jelasan kandungan
itu anak siapa, juga hilangnya keturunan yang jelas.

B. Saran
Pokok bahasan tulisan ini sudah dipaparkan di depan. Besar
harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Karena
keterbatasan pengetahuan dan referensi, penulis mcnyadari bahwa tulisan
ini masih jauh dari sempuma. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan agar tulisan ini dapat disusun menjadi lebih
baik dan sempurna.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Hafidz Ibnu Katsir Ad-dimasyqy, Tafsir al-Qur’an al-Adzim li Ibnu Katsir,
Juz 1, Bairut; Darul Kutub Ilmiyah, 2006.
Ali bin Ahmad al-wahidi, abi Hasan. Asbabun Nuzul, (kairo: Dar al-Hadis,
2003)
as-Suyuthi, Jalalludin, Lubabun Nuqul fi Asbabun nuzul. (Rembang: Daarul
Ihya, 1986.)
as-Sya’rowi, syeh Mutawalli Tafsir Sya’rowi jilid 2, kairo: Dar Kutub: 2007.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, Shahih Asbabun Nuzul, (Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, 2017.)
Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir (Aqidah, Syari’ah, Manhaj). al-
Kattani,Abdul Hayyie et.al. Jakarta: Gema Insani. 2016.
Jalalludin as-Suyuthi, Lubabun Nuqul fi Asbabun nuzul, (Rembang: Daarul
Ihya, 1986.) hlm. 79.
Muchlis, M. Hanafi, Asbabun Nuzul. (Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur’an
Gedung Bayt Al-Qur’an Dan Museum Istiqlal, 2015).

Anda mungkin juga menyukai