Anda di halaman 1dari 12

Ingat toleransi plagiatrisme minimal 40% !!!

Jadi jangan asal copas yaa, harus diparaprasekan (diganti kata-katanya) dulu.
Semangaaat guise!

MAKALAH
PERLINDUNGAN TERHADAP NASABAH BANK KORBAN
SKIMMING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19
TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK (ITE)

Disusun Oleh
Kelompok 5
Rika Setyowati (1902010134)
Mila Nurmalita (Isi Sendiri)
Abil ()
Isal (1902010096)
Raul (1902010048)
Tasya ()
Waode ()

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SYEKH YUSUF TANGERANG
2021/2022
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kodrat seorang manusia dalam hidupnya tidak dapat terlepas dari
sesamanya. Manusia dalam hidupnya membutuhkan orang lain dalam
berbagai aktivitasnya, kondisi demikian ini mendorong manusia untuk
berinteraksi dengan manusia lain. Seorang filsuf Yunani kuno yaitu
Aritoteles dalam ajarannya mengatakan, bahwa manusia adalah zoon
politicon, artinya bahwa manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya
selalu ingin bergaul dan berkumpul bersama dengan sesama manusia
lainnya.1
Perkembangan teknologi yang sedemikian pesatnya dapat mudah disajikan
dengan kecanggihanya dan sangat mudah diperoleh. Hal ini lah yang
memberi isyarat bahwa era cyber dalam dunia bisnis dimulai. 2 Cybercrime
merupakan satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai
dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat
ini.3
Tindak kejahatan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik
lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi
berbasis sistem komputer. Kejahatan tersebut seperti misalnya manipulasi data
(the trojan horse), spionase, hacking, penipuan kartu kredit online (carding),
merusak sistem (cracking), pengcopyan data dari kartu ATM (skimming ATM)
dan berbagai macam lainnya. Pelaku cybercrime ini memiliki latar belakang
kemampuan yang tinggi dibidangnya sehingga sulit untuk melacak dan
memberantasnya secara tuntas.4

1
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara, Refika Aditama, Bandung, 2005,
hlm 47
2
Naniek Suparni, Cyberspace Problematika dan Aplikasi Pengaturannya, Jakarta: Sinar Grafika,
2009, hlm 1
3
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hlm 1
4
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime):Urgensi Pengaturan dan
Celah Hukumnya, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm 17
Skimming sendiri merupakan modus kejahatan yang berupa penggandaa data
kartu ATM (Anjungan Tunai Mandiri) nasabah yang menggunkan alat yang
ditempatkan pada card reader, dengan cara menempatkan alat yang dibentuk
sedemikian rupa menyerupai sebuah card reader. Kemudian menggunakan modus
ini kemudian ketika nasabah memasukkan kartu ATM kemesin secara otomatis
alat tersebut dapat menggandakan data dan menyalin pin nasabah, dan kemudian
pelaku menggunakan kartu palsu yang sudah disiapkan untuk mengambil uang
nasabah dengan cepat dan pada umumnya para nasabah tidak menyadari bahwa
mereka telah menjadi korban skimming.5 Oleh karena itu, penulis akan
membahas bagaimana perlindungan hukum bagi korban skimming dilihat dari
Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses kejahatan skimming itu bisa terjadi?
2. Bagaimana perlindungan terhadap korban skimming berdasarkan UU
Nomor No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?

C. Tujuan

5
Dista Amalia Arifah, Kasus Cybercrime di Indonesia,Volume 18 No. 2 (Semarang: 2011 Edisi
September).h.188
BAB II
PEMBAHASAN
(Penjelasan dari Rumusan Masalah)
Perlindungan nasabah perbankan merupakan salah satu permasalahan yang
sampai saat ini belum mendapatkan tempat yang baik di dalam sistem perbankan
nasional.6 Seringkali terjadi dalam kenyataan, bahwa nasabah selalu dianggap
lemah atau pada posisi yang kurang diuntungkan apabila terjadi kasus-kasus
perselisihan antara bank dengan nasabahnya, sehingga nasabah dirugikan.
Pelanggaran hak nasabah oleh bank dapat diselesaikan melalui jalur hukum.
Namun ketika kita kembali disadarkan terhadap nilainilai negara hukum yaitu
Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 yang mengedepankan asas
musyawarah, forum mediasi merupakan dimensi yang juga penting. Artinya,
ketika sengketa perbankan masih dapat diselesaikan secara baik dan tetap
menguntungkan kedua bela pihak, maka jalur hukum atau pengadilan dapat
dikesampingkan/dihentikan. Hal ini juga terkait dengan prinsip penyelesaian
sengketa secara murah, sederhana dan cepat. Sesuai dengan penerapan hukum di
Indonesia, seorang konsumen yang dilakukan oleh, pelaku usaha, termasuk
nasabah kepada bank, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian atas
produk dan jasanya tersebut. Kualifikasi gugatan yang lazim adalah wanprestasi
atau perbuatan melawan hukum. Dalam gugatan adalah wanprestasi, maka
terdapat hubungan kontraktual antara konsumen dan pelaku usaha. Kerugian yang
dialami oleh nasabah tidak lain adalah karena tidak dilaksanakan prestasi oleh
bank sebagai pelaku usaha. adalah karena tidak dilaksanakan prestasi oleh bank
sebagai pelaku usaha. UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
dapat dikatakan bahwa tidak memuat secara terperinci ketentuan mengenai
perlindungan hukum bagi nasabah bank. Pada Pasal 29 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 yang sebagaimana diubah oleh UndangUndang Nomor 10
6
4 http://informatika.stei.itb.ac.id/~rinaldi.munir/Kriptografi/2006-2007/Makalah1/Makalah1-
026.pdf. (diakses pada tanggal 07 mei 2020).
5 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 16.
6 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2000, hlm. 188.
Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan: sebagaimana tertuang dalam Pasal 37
B UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998. Rumusan Pasal 37 B ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998:
1. Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank
yang bersangkutan.
2. Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
3. Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berbentuk badan hukum Indonesia.
4. Ketentuan mengenai penjamin dana masyarakat dan Lembaga Penjamin
Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) merupakan badan hukum yang mempunyai
kedudukan sebagai lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Selain itu juga terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi: Pelaku usaha bertanggung
jawab memberikan7 ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
perdagangkan”. Dalam kasus skimming beban pembuktian terhadap ada atau
tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha. Jadi apabila uang nasabah hilang di karenakan di skimming
oleh orang yang tidak bertanggung jawab, maka sesuai pasal 4 huruf (H) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen nasabah berhak
mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas uangnya yang
hilang tersebut.
Tindakan kejahatan perbankan dan berikut ancaman hukumannya tersebut dapat
dijerat dengan UU ITE sehingga aparat kepolisian telah mempunyai landasan
7
Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Kementerian Hukum dan
HAMRI, 2011, hlm. 44.
8 Zainal Asikin, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2016, hlm. 49.
hukum untuk mengambil tindakan penyelidikan dan penyidikan kejahatan kartu
ATM dan transaksi elektronik lainnya.Dasar hukum mengenai kasus skimming
yang sedang marak tejadi ini tidak terlepas dari aturan mengenai perbankan ,kuhp
dan informasi Transaksi Elektronik . Pada Undang – Undang No. 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan yang tercantum di dalam Pasal 1 angka (1) yang berbunyi :
“Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya” Undang – Undang No. 11 Tahun 2008 telah diubah oleh Undang –
Undang No 19 Tahun 2016 informasi dan transaksi elektronik Pasal 46 yang
berbunyi :
1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2. 2 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)
3. 3 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah)

Pada Pasal 30 berbunyi :


1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan
cara apa pun.
2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.

Pada Pasal 32 yang berbunyi :


1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara
apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan,menyembunyikan suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik
sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Lembaga
perbankan merupakan suatu lembaga keuangan yang menjembatani antara pihak
yang berkelebihan dana dan pihak yang memerlukan dana, atau merupakan
lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan masyarakat (financial
intermediary).

D. Yurisdiksi
Yurisdiksi hukum dalam cybercrime. Seperti telah diketahui bersama
bahwa kejahatan yang dilakukan dengan penggunaan media teknologi ini
dapat terjadi dimana saja. Sebagai contoh sebuah kejahatan terjadi di
Indonesia, namun pelaku melakukan kejahatannya dari Negara di benua
Eropa. Sehingga dalam pengusutan kasusnya, dibutuhkanlah yang
namanya yurisdiksi hukum.

Dalam perjalanannya di dalam hukum internasional Yurisdiksi universal


muncul karena perlu adanya penangan bersama mengenai tindak pidana
internasional yang serius. Tetapi pada pelaksanaannya hal ini terbentur
dengan kedaulatan suatu negara. Padahal masyarakat internasional harus
memiliki keinginan bersama untuk menanggulangi tindak pidana yang
efeknya besar
Masyarakat internasional pun dalam menanggapi yurisdiksi universal,
kurang antusias, karena akan memunculkan dominasi negara kuat untuk
serta merta memasuki kedaulatan negara lain.Tonggak awal dari adanya
pengadilan pidana internasional, pada Statuta Roma Tentang Pengadilan
Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) 17 Juli 1998 yang
ditandatangani oleh 120 negara-negara di dunia. Tindakpidana pidana
yang mengacam kehidupan umat manusia lain, dapat dijatuhihukuman di
Pengadilan Pidana Internasional yang saat ini beralamat Maanweg174,
2516 AB The Hague, Belanda.

Akan tetapi statuta tersebut memiliki kekurangan, yaitu tidak adanya


aparatur yang melakukan penangkapan,penahanan, penyidikan, dan
penuntutan.Penerapan yurisdiksi universal terhadap pelaku tindak pidana
tidak mudah dilaksanakan, keterbatasan ini diakui juga oleh para ahli.
Sehubungan dengan yurisdiksi Republik Indonesia di dalam ruang siber,
UU ITE telah mengatur suatu yurisdiksi yang bersifat ekstra teritorial,15
sebagaimana dimuat di dalam Pasal 2 UU ITE memiliki jangkauan
yurisdiksi yang tidak sematamata untuk perbuatan hukum yang berlaku di
Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga
berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia mupun warga negara asing yang memiliki akibat hukum di
Indonesia mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas territorial atau
universal.16 Kemudian mengenai perbuatan yang dilarang yang dapat
menyebabkan seseorang terkena sanksi pidana akibat tindak pidana di
bidang siber, diterangkan dalam Pasal 37 UU ITE, berbunyi : “Setiap
Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar.

Muhamad Djumhana, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008, hlm. 1

Masyarakat internasional pun dalam menanggapi yurisdiksi universal,

kurang antusias, karena akan memunculkan dominasi negara kuat untuk

serta merta memasuki kedaulatan negara lain.Tonggak awal dari adanya

pengadilan pidana internasional, pada Statuta Roma Tentang Pengadilan

Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) 17 Juli 1998 yang

ditandatangani oleh 120 negara-negara di dunia. Tindakpidana pidana

yang mengacam kehidupan umat manusia lain, dapat dijatuhihukuman di

Pengadilan Pidana Internasional yang saat ini beralamat Maanweg174,

2516 AB The Hague, Belanda. Akan tetapi statuta tersebut memiliki

kekurangan, yaitu tidak adanya aparatur yang melakukan

penangkapan,penahanan, penyidikan, dan penuntutan.Penerapan yurisdiksi

universal terhadap pelaku tindak pidana tidak mudah dilaksanakan,

keterbatasan ini diakui juga oleh para ahli.

Sehubungan dengan yurisdiksi Republik Indonesia di dalam ruang siber,

UU ITE telah mengatur suatu yurisdiksi yang bersifat ekstra teritorial,15

sebagaimana dimuat di dalam Pasal 2 UU ITE memiliki jangkauan


yurisdiksi yang tidak sematamata untuk perbuatan hukum yang berlaku di

Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga

berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh warga negara

Indonesia mupun warga negara asing yang memiliki akibat hukum di

Indonesia mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi

Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas territorial atau

universal

15 Danrivanto Budhijanto, Op.Cit, hlm. 136.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai