Anda di halaman 1dari 14

ETIKA DAKWAH DI ERA DIGITAL

‫ﺴِﻢ ﷲِ اﻟﱠﺮْﺣٰﻤِﻦ اﻟﱠﺮِﺣْﯿِﻢ‬


ْ ‫ِﺑ‬
IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) JAWA TIMUR
TAHUN 2022

TENTANG

ETIKA DAKWAH DI ERA DIGITAL

Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Jawa Timur setelah:

MENIMBANG: a. bahwa di platform-platform media sosial yang berkarakter


infosfer (daya jangkau teknologi informasi tak lagi berskala
lokal, tetapi global) dan sosiosfer (pergeseran lingkungan
komunikasi sosial) ditemukan ceramah dari da’i atau muballigh
yang konten ceramahnya menebar kebencian, menyerang
personal atau kelompok lain, mempermasalahkan dan
menghina amaliah kelompok lain yang sifatnya ikhtilafiyah
atau debatable, serta menyerang ideologi negara dan
membahayakan keutuhan NKRI.
b. bahwa oleh karena itu, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-
Jawa Timur perlu menetapkan keputusan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan etika dakwah di era digital untuk
dipedomani oleh para da’i, muballigh, dan masyarakat luas.

MENGINGAT: 1. Ayat-ayat Alqur’an yang menjelaskan tentang etika


komunikasi dan etika dakwah, antara lain:

a) Surat al-Hujurat [49] ayat 11 tentang larangan


merendahkan dan memberi sebutan jelek pada orang
lain:

‫ﺴﻰ أ َْن ﯾَُﻜﻮﻧُـﻮا‬ َ ‫ﯾَﺎ أ َﯾﱡَﮭﺎ اﻟﱠِﺬﯾَﻦ آَﻣﻨُﻮا َﻻ ﯾَْﺴَﺨْﺮ ﻗَْﻮٌم ِﻣْﻦ ﻗَْﻮٍم َﻋ‬
‫ﺴﻰ أ َْن ﯾَ ُﻜـﱠﻦ َﺧﯿْـًﺮا ِﻣـْﻨُﮭﱠﻦ‬ َ ‫ﺴﺎٍء َﻋ‬ َ ‫ﺴﺎٌء ِﻣْﻦ ِﻧ‬َ ‫َﺧْﯿًﺮا ِﻣْﻨُﮭْﻢ َوَﻻ ِﻧ‬
‫ﺲ اِﻻ ْﺳــُﻢ‬َ ْ‫ب ِﺑــﺌ‬ِ ‫ﺴــُﻜْﻢ َوَﻻ ﺗ َﻨَــﺎﺑَُﺰوا ِﺑﺎْﻷ َْﻟﻘَــﺎ‬َ ُ‫َوَﻻ ﺗ َْﻠ ِﻤــُﺰوا أ َْﻧﻔ‬
‫ﻈـﺎِﻟُﻤﻮَن‬‫ﺐ ﻓَﺄ ُوﻟَ ِﺌـَﻚ ُھـُﻢ اﻟ ﱠ‬ ْ ‫ﺴﻮُق ﺑَْﻌﺪَ ا ْ ِﻹﯾَﻤﺎِن َو َﻣـْﻦ ﻟَـْﻢ ﯾَﺘُـ‬ ُ ُ‫اْﻟﻔ‬
[11 :‫]اﻟﺤﺠﺮات‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah


sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan
yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan

1
merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang
direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka
mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah
imandan barang siapa yang tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS. al-
Hujurat [49]: 11)

b) Surat al-Hujurat [49] ayat 12 tentang larangan


berburuk sangka, memata-matai, dan menggunjing
satu sama lain:

‫ﻈِّﻦ‬‫ﺾ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻈِّﻦ ِإﱠن ﺑَْﻌ‬ ‫ﯾَﺎ أ َﯾﱡَﮭﺎ اﻟﱠِﺬﯾَﻦ آَﻣﻨُﻮا اْﺟﺘ َِﻨﺒُﻮا َﻛِﺜﯿًﺮا ِﻣَﻦ اﻟ ﱠ‬
‫ﺐ أ ََﺣﺪُُﻛْﻢ أ َْن‬
‫ﻀﺎ أ َﯾُِﺤ ﱡ‬
ً ‫ﻀُﻜْﻢ ﺑَْﻌ‬
ُ ‫ﺐ ﺑَْﻌ‬ ْ َ ‫ﺴﻮا َوَﻻ ﯾَْﻐﺘ‬ ُ ‫ﺴ‬ ‫ِإﺛٌْﻢ َوَﻻ ﺗ ََﺠ ﱠ‬
‫ب‬ ‫َ ِإﱠن ﱠ‬q
ٌ ‫َ ﺗ َـﱠﻮا‬q ‫ﯾَﺄ ْ ُﻛـَﻞ ﻟَ ْﺤـَﻢ أ َِﺧﯿـِﮫ َﻣْﯿﺘًـﺎ ﻓََﻜِﺮْھﺘ ُ ُﻤـﻮهُ َواﺗ ﱠﻘُـﻮا ﱠ‬
[12 :‫َرِﺣﯿٌﻢ ]اﻟﺤﺠﺮات‬

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan


purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu
sama lain. Adakah seorang Di antara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”(QS.
al-Hujurat [49]: 12)

c) Surat al-Qalam [68] ayat 10-13 tentang larangan


mencela, mengumpat, mengumbar fitnah,
menghalangi perbuatan baik:

‫ َﻣﻨﱠﺎعٍ ِﻟْﻠَﺨﯿْـِﺮ‬.‫ﺸﺎٍء ِﺑﻨَِﻤﯿٍﻢ‬ ٍ ‫َوَﻻ ﺗ ُِﻄْﻊ ُﻛﱠﻞ َﺣﱠﻼ‬


‫ َھﱠﻤﺎٍز َﻣ ﱠ‬.‫ف َﻣِﮭﯿٍﻦ‬
ُ .‫ُﻣْﻌﺘ ٍَﺪ أ َِﺛﯿٍﻢ‬
[13 - 10 :‫ﻋﺘ ٍُّﻞ ﺑَْﻌﺪَ ذَِﻟَﻚ َزِﻧﯿٍﻢ ]اﻟﻘﻠﻢ‬
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak
bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian
ke mari menghambur fitnah, yang banyak
menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas
lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu,
yang terkenal kejahatannya.”(QS. al-Qalam [68]: 10-
13)

d) Surat al-Humazah [104] ayat 1 tentang ancaman bagi

2
pengumpat dan pencela

‫َوْﯾٌﻞ ِﻟُﻜِّﻞ ُھَﻤَﺰٍة ﻟَُﻤَﺰٍة‬


“Celaka bagi setiap pengumpat lagi pencela.”(QS. al-
Humazah [104]: 1)

e) Surat al-Maidah [5] ayat 8 tentang perintah berlaku


adil, termasuk terhadap kelompok lain.

‫ﺷَﮭﺪَاَء ِﺑﺎْﻟِﻘْﺴِﻂ َوَﻻ‬ ِ ‫ﯾَﺎأ َﯾﱡَﮭﺎ اﻟﱠِﺬﯾَﻦ آَﻣﻨُﻮا ُﻛﻮﻧُﻮا ﻗَﱠﻮاِﻣﯿَﻦ ِ ﱠ‬


ُ •
ُ ‫ﺷﻨَﺂُن ﻗَْﻮٍم َﻋﻠَﻰ أ َﱠﻻ ﺗ َْﻌِﺪﻟُﻮا اْﻋِﺪﻟُﻮا ُھَﻮ أ َْﻗَﺮ‬
‫ب‬ َ ‫ﯾَْﺠِﺮَﻣﻨﱠُﻜْﻢ‬
[8 :‫َ َﺧِﺒﯿٌﺮ ِﺑَﻤﺎ ﺗ َْﻌَﻤﻠُﻮَن ]اﻟﻤﺎﺋﺪة‬q ‫ِﻟﻠﺘ ﱠْﻘَﻮى َواﺗ ﱠﻘُﻮا ﱠ‬
‫َ ِإﱠن ﱠ‬q
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. al-Maidah [5]: 8)

f) Surat al-Nahl [16] ayat 125 tentang metode dakwah:

‫ﺴـﻨَِﺔ َو َﺟـﺎِدْﻟُﮭْﻢ‬
َ ‫ﻈِﺔ اْﻟَﺤ‬
َ ‫ﺳِﺒﯿِﻞ َر ِﺑَّﻚ ِﺑﺎْﻟِﺤْﻜَﻤِﺔ َواْﻟَﻤْﻮِﻋ‬ َ ‫ع ِإﻟَﻰ‬
ُ ‫اْد‬
َ ‫ﺿـﱠﻞ َﻋـْﻦ‬
‫ﺳـِﺒﯿِﻠِﮫ‬ َ ‫ﺴُﻦ ِإﱠن َرﺑﱠَﻚ ُھَﻮ أ َْﻋﻠَُﻢ ِﺑ َﻤـْﻦ‬ َ ‫ِﺑﺎﻟﱠِﺘﻲ ِھ‬
َ ‫ﻲ أ َْﺣ‬
[125 :‫َوُھَﻮ أ َْﻋﻠَُﻢ ِﺑﺎْﻟُﻤْﮭﺘ َِﺪﯾَﻦ ]اﻟﻨﺤﻞ‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. Al-Nahl [16]: 125)

g) Surat an-Nisa [4] ayat 83 tentang informasi dan


komunikasi yang menyangkut kepentingan umum,
seperti keamanan negara

‫ﻋﻮا ِﺑِﮫ َوﻟَْﻮ‬ ِ ‫َوِإذَا َﺟﺎَءُھْﻢ أ َْﻣٌﺮ ِﻣَﻦ اْﻷ َْﻣِﻦ أ َِو اْﻟَﺨْﻮ‬
ُ ‫ف أ َذَا‬
‫ﺳﻮِل َوِإﻟَﻰ أ ُوِﻟﻲ اْﻷ َْﻣِﺮ ِﻣْﻨُﮭْﻢ ﻟَﻌَِﻠَﻤﮫُ اﻟﱠِﺬﯾَﻦ‬ ُ ‫َردﱡوهُ ِإﻟَﻰ اﻟﱠﺮ‬
‫ َﻋﻠَْﯿُﻜْﻢ َوَرْﺣَﻤﺘ ُﮫُ َﻻﺗ ﱠﺒَْﻌﺘ ُُﻢ‬q
ِ ‫ﻀُﻞ ﱠ‬ ْ َ‫ﻄﻮﻧَﮫُ ِﻣْﻨُﮭْﻢ َوﻟَْﻮَﻻ ﻓ‬ُ ‫ﯾَْﺴﺘ َْﻨِﺒ‬
[83 :‫ﻄﺎَن ِإﱠﻻ ﻗَِﻠﯿًﻼ ]اﻟﻨﺴﺎء‬ َ ‫ﺸْﯿ‬ ‫اﻟ ﱠ‬
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita

3
tentang keamanan ataupun ketakutan mereka lalu
menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja
(di antaramu).” (QS. An-Nisa [4]: 83)

2. Hadis-hadis tentang etika komunikasi dan etika


dakwah, antara lain:

a) Larangan melecehkan pihak lain


ُ ُ‫ب اْﻟُﻤْﺴِﻠِﻢ ﻓ‬
.‫ﺴﻮٌق‬ ُ ‫ِﺳﺒَﺎ‬
“Penghinaan terhadap orang Islam adalah
kefasikan.” (HR. Bukhari 10/464 dan HR. Muslim
1/181)
.‫ُﻛﱡﻞ اْﻟُﻤْﺴِﻠِﻢ َﻋﻠَﻰ اْﻟُﻤْﺴِﻠِﻢ َﺣَﺮاٌم دَُﻣﮫُ َوَﻣﺎﻟُﮫُ وﻋﺮﺿﮫ‬
“Setiap muslim haram atas muslim lain dalam
darah, harta, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

b) Larangan mencari-cari kekurangan orang lain


َ‫ َوﻻ‬،‫ﺴﻮا‬ُ ‫ﺴ‬
‫ وﻻ ﺗَﺤ ﱠ‬،‫ﺚ‬ ُ ‫ﻈﱠﻦ أﻛﺬ‬
َ ‫ب اﻟﺤِﺪﯾ‬ ‫ ﻓَﺈﱠن اﻟ ﱠ‬،‫ﻈﱠﻦ‬‫إﯾًﺎُﻛْﻢ واﻟ ﱠ‬
‫ﻀﻮا َوﻻَ ﺗ َﺪاﺑُﺮوا وُﻛﻮﻧُﻮا‬ُ ‫ﺸﻮا َوﻻَ ﺗ َﺒﺎَﻏ‬
ُ ‫ﺴﻮا َوﻻَ ﺗﻨﺎﺟ‬ ‫ﺗ َﺠ ﱠ‬
ُ ‫ﺴ‬
.ً ‫ ِإْﺧﻮاﻧﺎ‬q
‫ِﻋﺒﺎدَ ﱠ‬
“Hindarilah olehmu sangkaan, karena sangkaan
adalah praktik berbohong yang paling besar.
Janganlah kamu membuka kekurangan orang,
janganlah kamu memata-matai, janganlah berbuat
munajasyah (penipuan yang dilakukan dengan tujuan
menaikkan harga tawaran, pen), jangan saling
membenci, jangan saling membelakangi. Jadilah
hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR Bukhari
hadits no. 6066 dan Muslim 4/2563)

Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abu


Barzah al-Aslami, Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

َ‫ ﻻ‬،ُ‫ﻗَْﻠﺒَﮫ‬ ‫ﺴﺎِﻧِﮫ َوﻟَْﻢ ﯾَْﺪُﺧِﻞ اِْﻹْﯾَﻤﺎُن‬ َ ‫ﺸَﺮ َﻣْﻦ آَﻣَﻦ ِﺑِﻠ‬ َ ‫ﯾَﺎ َﻣْﻌ‬
‫َﻣِﻦ اﺗ ﱠﺒََﻊ‬ ُ‫ ﻓَﺈِﻧﱠﮫ‬،‫ َوﻻَ ﺗ َﺘ ﱠِﺒﻌُْﻮا َﻋْﻮَراِﺗِﮭْﻢ‬،‫ﺗ َْﻐﺘ َﺎﺑُﻮا اْﻟُﻤْﺴِﻠِﻤْﯿَﻦ‬
ُ‫ﯾَﺘ ﱠِﺒِﻊ ﷲ‬ ‫ َوَﻣْﻦ‬،ُ‫َﻋْﻮَراِﺗِﮭْﻢ ﯾَﺘ ﱠِﺒِﻊ ﷲُ َﻋﱠﺰ َوَﺟﱠﻞ َﻋْﻮَراِﺗﮫ‬
َ ‫َﻋْﻮَرﺗ َﮫُ ﯾَْﻔ‬
‫ﻀْﺤﮫُ ِﻓﻲ ﺑَْﯿِﺘِﮫ‬

4
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan
lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam
hatinya, janganlah kalian mengghibah kaum
muslimin dan jangan mencari-cari/mengintai aurat
mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat
kaum muslimin, Allah akan mencari-cari auratnya.
Siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya
Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya
(walaupun ia tersembunyi dari manusia).” (HR.
Ahmad 4/420, 421,424 dan Abu Dawud no. 4880)

ْ ‫“ َواْﻟﯿَْﻮِم اْﻵِﺧِﺮ ﻓَْﻠﯿَﻘُْﻞ َﺧْﯿًﺮا أ َْو ِﻟﯿ‬


.‫ﺼُﻤﺖ‬ ِ ‫َﻣْﻦ ﻛﺎَن ﯾُْﺆِﻣُﻦ ِﺑﺎ‬
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah mengatakan yang baik atau diam.” ((HR.
Bukhari, lihat: Fath al-Bari, jilid 10, hal 445 dan
Muslim, jilid 1, hal 68)

c) Hukum Mencaci Pemimpin/Pemerintah

‫ﺳﻮِل‬ ُ ‫ب َر‬
ِ ‫ﺻَﺤﺎ‬ ْ َ ‫ ﻧََﮭﺎﻧَﺎ ُﻛﺒََﺮاُؤﻧَﺎ ِﻣْﻦ أ‬:‫ ﻗَﺎَل‬،‫ﻋْﻦ أ َﻧَِﺲ ْﺑِﻦ َﻣﺎِﻟٍﻚ‬ َ
‫ َوَﻻ‬،‫ﺴﺒﱡﻮا أ َُﻣَﺮاَءُﻛْﻢ‬ َُ ‫ »َﻻ ﺗ‬:‫ﺳﻠﱠَﻢ ﻗَﺎَل‬ ‫و‬ ‫ﮫ‬
َ َ ِ َ ُ‫ﯿ‬
ْ َ ‫ﻠ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﷲ‬ ‫ﻰ‬ ‫ﱠ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﺻ‬
َ ِ ‫ﱠ‬
B
‫ﺻﺒُِﺮوا؛ ﻓَﺈ ِﱠن اْﻷ َْﻣَﺮ‬ْ َ َ‫ا‬ ‫و‬ B‫ﱠ‬ ‫ا‬ ‫ﻮ‬ُ ‫ﻘ‬‫ﱠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ا‬ ‫و‬ ، ‫ﻢ‬
َ ْ ُ ُ
‫ھ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻀ‬ َ ‫ﻐ‬ ‫ﺒ‬
ْ َ ‫ﺗ‬ ‫ﻻ‬َ َ ْ ُ ‫ﺸﻮ‬
‫و‬ ، ‫ﻢ‬ ‫ھ‬ ‫ﺗ َﻐ ﱡ‬
(488 /2) ‫ اﻟﺴﻨﺔ ﻻﺑﻦ أﺑﻲ ﻋﺎﺻﻢ‬.‫ﺐ‬ ٌ ‫ﻗَِﺮﯾ‬
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Para pembesar
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kami. Janganlah kalian mencela
pemimpin-pemimpin kalian, jangan kalian culasi,
jangan kalian benci. Bertakwalah kepada Allah dan
bersabarlah, karena keputusan itu dekat.” (Ibnu Abi
Ashim, al-Sunnah, jilid 2, hal. 488)

d) Mencaci Pemimpin yang Dinilai Zhalim

‫ﻧﺎ أ َﺑُﻮ ﺟﻤﺮة ﻗَﺎَل ﻟﻤﺎ ﺑﻠﻐﻨﻲ ﺗﺤﺮﯾﻖ اﻟﺒﯿﺖ ﺧﺮﺟﺖ إﻟﻰ‬
‫ﻣﻜﺔ واﺧﺘﻠﻔﺖ إﻟﻰ اْﺑﻦ َﻋﺒﱠﺎس ﺣﺘﻰ ﻋﺮﻓﻨﻲ واﺳﺘﺄﻧﺲ ﺑﻲ‬
‫ﻓﺴﺒﺒﺖ اﻟﺤﺠﺎج ِﻋْﻨﺪَ اْﺑﻦ َﻋﺒﱠﺎس ﻓﻘَﺎَل ﻻ ﺗﻜﻦ ﻋﻮﻧﺎ‬
(104 /8) ‫ اﻟﺘﺎرﯾﺦ اﻟﻜﺒﯿﺮ ﻟﻠﺒﺨﺎري‬.‫ﻟﻠﺸﯿﻄﺎن‬
“Abu Hamzah meriwayatkan kepada kami, dia
berkata, saat berita pembakaran Kakbah sampai ke
telingaku, aku pergi ke Makkah dan menemui
Abdullah bin Abbas. Beliau mengenaliku dan
menyambutku dengan baik. Aku lalu mencaci al-
Hajjaj di sisi Ibnu Abbas. Namun beliau berkata,
“Jangan menjadi pembantu setan.” (al-Bukhari, al-

5
Tarikh al-Kabir, jilid 8, hal. 104)

e) Bukan laknat, tapi kasih sayang

‫ ﻗﯿﻞ ﯾﺎرﺳﻮل ﷲ ادع ﻋﻠﻰ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ ھﺮﯾﺮة ﻗﺎل‬


.‫ وإﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ رﺣﻤﺔ‬،‫ إﻧﻲ ﻟﻢ أﺑﻌﺚ ﻟﻌﺎﻧﺎ‬:‫ ﻗﺎل‬،‫اﻟﻤﺸﺮﻛﯿﻦ‬
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Dikatakan, ‘Wahai
Rasulullah, doakan keburukan menimpa orang-orang
musyrik.’ Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku tidak
diutus untuk melaknat, tetapi aku diutus hanyalah
dengan membawa rahmat.” (HR. Muslim)

f) Cara Khusus Menasihati Penguasa

َ ‫ﺴْﻠ‬
،ً‫ ﻓََﻼ ﯾُْﺒِﺪ ﻟَﮫُ َﻋَﻼِﻧﯿَﺔ‬،‫ﻄﺎٍن ِﺑﺄ َْﻣٍﺮ‬ َ ‫َﻣْﻦ أ ََرادَ أ َْن ﯾَْﻨ‬
ُ ‫ﺼَﺢ ِﻟ‬
‫ َوِإﱠﻻ‬،‫ ﻓَﺈِْن ﻗَِﺒَﻞ ِﻣْﻨﮫُ ﻓَﺬَاَك‬،‫ ﻓَﯿَْﺨﻠَُﻮ ِﺑِﮫ‬،‫َوﻟَِﻜْﻦ ِﻟﯿَﺄ ُْﺧْﺬ ِﺑﯿَِﺪِه‬
14792 ‫ رواه أﺣَﻤﺪ‬.ُ‫َﻛﺎَن ﻗَْﺪ أ َدﱠى اﻟﱠِﺬي َﻋﻠَْﯿِﮫ ﻟَﮫ‬
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa tentang
suatu urusan maka hendaknya ia tak menampakkan
untuk penguasa itu dengan terang-terangan. Tetapi
pegang tangannya, berduaan dengannya. Bila ia
menerimanya maka itulah yang diharapkan. Bila
tidak, maka sungguh ia telah menunaikan
kewajibannya yang menjadi hak penguasa itu.” (HR
Ahmad, hadits no 14792).

3. Kaidah ushul al-fiqh


ِ ‫ﺿَﺮَر َوَﻻ‬
‫ﺿَﺮاَر‬ َ ‫َﻻ‬
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang
lain.” (Kaidah merujuk dan menggunakan redaksi hadits
riwayat Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, 2341 dan al-
Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, Jilid 3, hal. 77)

4. Kaidah fikih

‫ إﻻ إذا ﻛﺎﻧﺖ‬.‫ أو اﻟﻤﻨﺎﻓﻊ‬- ‫درء اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ أوﻟﻰ ﻣﻦ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ‬


(315 /4) ‫ ﻣﻮﺳﻮﻋﺔ اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ‬.‫اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ أﻋﻈﻢ‬
“Upaya menolak keburukan harus didahulukan dari pada
mengusahakan kebaikan atau kemanfaatan, kecuali jika
maslahatnya lebih besar.” (al-Mausu’ah al-Qawa’id al-
Fiqhiyah, jilid 4, hal. 315)

6
MEMPERHATIKAN: 1. Pendapat para ulama tentang etika komunikasi dan
etika dakwah, antara lain:

(a) Hukum Menghina Orang Islam

...(‫ )و( اﺟﺘﻨﺎب )إﺻﺮار ﻋﻠﻰ ﺻﻐﯿﺮة‬......


‫ وﻛﺬب ﻻ ﺣﺪ ﻓﯿﮫ وﻟﻌﻦ‬...‫واﻟﺼﻐﯿﺮة ﻛﻨﻈﺮ اﻻﺟﻨﺒﯿﺔ‬
‫ وﻟﻌﻦ( ﻋﺪه اﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻲ اﻟﺰواﺟﺮ ﻣﻦ اﻟﻜﺒﺎﺋﺮ‬:‫)ﻗﻮﻟﮫ‬
‫ ﺳﺐ اﻟﻤﺴﻠﻢ واﻻﺳﺘﻄﺎﻟﺔ ﻓﻲ‬:‫ وﻧﺼﮭﺎ‬،‫إن ﻛﺎن ﻟﻤﺴﻠﻢ‬
‫ وﺗﺴﺒﺐ اﻻﻧﺴﺎن ﻓﻲ ﻟﻌﻦ أو ﺷﺘﻢ واﻟﺪﯾﮫ وإن‬،‫ﻋﺮﺿﮫ‬
‫ إﻋﺎﻧﺔ اﻟﻄﺎﻟﺒﯿﻦ‬.‫ وﻟﻌﻨﮫ ﻣﺴﻠﻤﺎ ﻣﻦ اﻟﻜﺒﺎﺋﺮ‬،‫ﻟﻢ ﯾﺴﺒﮭﻤﺎ‬
(323 /4) ‫ﻋﻠﻰ ﺣﻞ أﻟﻔﺎظ ﻓﺘﺢ اﻟﻤﻌﯿﻦ‬
... dan meninggalkan terus menerus melakukan
perbuatan dosa kecil. Dosa kecil misalnya melihat
wanita yang bukan mahramnya ... dst., berdusta pada
seseorang, mencaci.... dll. Mencaci, dinilai oleh Ibnu
Hajar dalam kitab al-Zawajir sebagai dosa besar jika
diarahkan kepada seorang muslim. Beliau
menjelaskan, mencela seorang muslim dan merusak
kehormatannya, serta menyebabkan seseorang
menghina dan mencaci kedua orang tuanya –
meskipun tidak sampai benar-benar mencaci – dan
melaknat seorang muslim termasuk dosa besar.
(I’anah al-Thalibin, jilid 4, hal 323)

(b) Hukum Menghina Pemimpin

َ‫ ﻻ‬:ُ‫ ﻗَﺎل اْﻟَﺤﻨَِﻔﯿﱠﺔ‬.ُ‫ﺳﺒﱠﮫ‬ َ ‫ َوﯾُﻌَﱠﺰُر َﻣْﻦ‬،‫ﻹَﻣﺎِم‬ ْ ‫ﺐ ا‬ ‫ﺳ ﱡ‬


َ ‫ﯾَْﺤُﺮُم‬
‫ﺻﱠﺮَح ﻓُﻘََﮭﺎُء اﻟ ﱠ‬
،‫ﺸﺎِﻓِﻌﯿﱠِﺔ‬ ْ ‫ﯾَْﺴﺘ َْﻮِﻓﻲ ا‬
َ ‫ َو‬.‫ﻹَﻣﺎُم اﻟﺘ ﱠْﻌِﺰﯾَﺮ ِﺑﻨَْﻔِﺴِﮫ‬
‫ اﻟﻤﻮﺳﻮﻋﺔ‬.‫ﺼِﺮﯾِﺢ‬ ْ ‫ﺐ َﻛﺎﻟﺘ ﱠ‬
ِّ ‫ﺴ‬
‫ﺾ ِﺑﺎﻟ ﱠ‬ َ ‫َواْﻟَﺤﻨَﺎِﺑﻠَِﺔ ِﺑﺄ َﱠن اﻟﺘ ﱠْﻌِﺮﯾ‬
،111 / 8 ‫ اﻟﻤﻐﻨﻲ‬:‫ اﻧﻈﺮ‬،140 /24) ‫اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ اﻟﻜﻮﯾﺘﯿﺔ‬
322 / 10 ‫واﻹﻧﺼﺎف‬
Menghina pemimpin atau imam hukumnya haram dan
sanksinya adalah ta’zir. Ulama mazhab Hanafi
menjelaskan, pemimpin tersebut tidak melakukan
sendiri sanksi ta’zir tersebut. Para yuris (fukaha)
mazhab Syafi’i dan Hanbali menjelaskan bahwa
mencela dengan sindirian sama seperti mencela
dengan kata-kata yang jelas. (al-Mausu’ah al-
Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jilid 24, hal. 140, merujuk al-

7
Mughni, jilid 8, hal. 111, al-Inshaf, jilid 10, hal 322)

(c) Ciri Orang Beriman Tidak Mengumpat dan Mencela,


Apalagi kepada Pemimpin

‫ﺛﻢ أن ﻣﺤﻞ ﺣﺮﻣﺔ اﻟﻠﻌﻦ إن ﻛﺎن ﻟﻤﻌﯿﻦ ﻓﻼ ﯾﺠﻮز ﻟﻌﻨﮫ‬


‫وﻟﻮ ﻓﺎﺳﻘﺎ ﻛﯿﺰﯾﺪ ﺑﻦ ﻣﻌﺎوﯾﺔ أو ذﻣﯿﺎ ﺣﯿﺎ أو ﻣﯿﺘﺎ وﻟﻢ ﯾﻌﻠﻢ‬
‫ﻣﻮﺗﮫ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﻔﺮ ﻻﺣﺘﻤﺎل أﻧﮫ ﺧﺘﻢ ﻟﮫ ﺑﺎﻹﺳﻼم ﺑﺨﻼف ﻣﻦ‬
‫ﻋﻠﻢ أﻧﮫ ﺧﺘﻢ ﻟﮫ ﻋﻠﻰ ﻏﯿﺮ اﻹﺳﻼم ﻛﻔﺮﻋﻮن وأﺑﻰ ﺟﮭﻞ‬
‫ وﯾﺠﻮز إﺟﻤﺎﻋﺎ ﻟﻌﻦ ﻏﯿﺮ اﻟﻤﻌﯿﻦ‬-‫إﻟﻰ أن ﻗﺎل‬- ‫وأﺑﻰ ﻟﮭﺐ‬
‫ﺑﺎﻟﺸﺨﺺ ﺑﻞ ﺑﺎﻟﻮﺻﻒ ﻛﻠﻌﻨﺔ ﷲ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺎذﺑﯿﻦ أو‬
‫ وﺑﺎﻟﺠﻤﻠﺔ ﻓﻠﻌﻦ اﻷﺷﺨﺎص ﻓﯿﮫ‬:‫اﻟﻈﺎﻟﻤﯿﻦ ﻗﺎل ﻓﻰ اﻹﺣﯿﺎء‬
‫ﺧﻄﺮ وﻻ ﺧﻄﺮ ﻓﻰ اﻟﺴﻜﻮت ﺣﺘﻰ ﻋﻦ ﻟﻌﻦ إﺑﻠﯿﺲ وﻗﺪ‬
‫ﻛﺜﺮ اﻟﺘﮭﺎون ﺑﺎﻟﻠﻌﻦ ﻋﻠﻰ أﻟﺴﻨﺔ اﻟﻨﺎس ﻣﻊ أﻧﮫ ورد أن‬
‫اﻟﻤﺆﻣﻦ ﻟﯿﺲ ﺑﺎﻟﻠﻌﺎن ﻓﻼ ﯾﻨﺒﻐﻰ أن ﺗﻄﻠﻖ اﻟﻠﺴﺎن ﺑﮫ‬
‫ﻓﺎﻻﺷﺘﻐﺎل ﺑﺬﻛﺮ ﷲ أوﻟﻰ ﻓﺈن ﻟﻢ ﯾﻜﻦ ﻓﻔﻰ اﻟﺴﻜﻮت ﺳﻼﻣﺔ‬
‫وﯾﻘﺮب ﻣﻦ اﻟﻠﻌﻦ اﻟﺪﻋﺎء ﻋﻠﻰ اﻹﻧﺴﺎن ﺑﺎﻟﺸﺮ وﻟﻮ ﻋﻠﻰ‬
.‫ظﺎﻟﻢ ﻛﻼ أﺻﺢ ﷲ ﺟﺴﻤﻚ أو ﻻ ﺳﻠﻤﻚ‬
“Keharaman laknat itu jika tertuju kepada
seseorang secara tertentu, maka tidak boleh dilaknat,
meski dia seorang fasiq seperti Yazid bin
Mu’awiyah, atau kafir dzimmi yang hidup atau sudah
meninggal dunia dan tidak diketahui dia meninggal
dunia dalam keadaan kufur karena ada potensi dia
tutup usia dengan membawa Islam. Berbeda halnya
orang yang diketahui bahwa dia meninggal dunia
tidak dalam keadaan Islam seperti Fir’aun dan Abu
Jahal. Sesuai kesepakatan ulama, boleh hukumnya
melaknat orang yang tidak tertentu dengan
kepribadiannya bukan sifatnya, seperti laknat Allah
terhadap orang-orang pendusta dan zalim. Dalam
Ihya disebutkan, secara umum melaknat orang
mengandung mudarat sedangkan untuk diam tidak
ada mudaratnya, bahkan sampai pada kasus
pelaknatan terhadap Iblis. Saat ini lidah orang mudah
melaknat, padahal seorang mukmin bukanlah orang
yang suka melaknat. Maka tidak sepatutnya lidah
mudah mengeluarkan hinaan. Menyibukkan diri
dengan zikir kepada Allah lebih utama, atau bila
tidak maka dalam diam ada keselamatan. Mendekati
makna laknat itu adalah mendoakan jelek kepada
seseorang meskipun kepada seorang yang zalim,

8
seperti ‘Semoga Allah tidak memberikan kesehatan
pada badanmu’, atau ‘Semoga Allah tidak
menyelamatkanmu’.” (Is’ad al-Rafiq, hal 84)

(d) Penjelasan Ulama bahwa Perbedaan Furu’iyah Telah


Banyak Sebabkan Terjadinya Permusuhan

Di tengah internal umat Islam justru perbedaan jenis


tanawwu’ atau furu’iyah itulah yang banyak
menyebabkan terjadinya permusuhan, perpecahan,
dan kebencian. Shadruddin Ali bin Ali Abu al-‘Izz al-
Hanafi al-Dimasyqi dalam Syarh al-‘Aqidah al-
Thahawiyyah menjelaskan:

‫ ِﻣَﻦ‬- ‫ف اﻟِﺬي ﯾَﺌ ُْﻮُل ِإﻟَﻰ اﻷ َْھَﻮاِء ﺑَْﯿَﻦ اﻷ ُﱠﻣِﺔ‬ ِ َ‫َوأ َْﻛﺜ َُﺮ اِﻻْﺧِﺘﻼ‬
‫ﺳْﻔِﻚ اﻟ ِﺪَّﻣﺎِء َواْﺳِﺘﺒَﺎَﺣِﺔ اﻷ َْﻣَﻮاِل‬
َ ‫ َوَﻛﺬَِﻟَﻚ ِإﻟَﻰ‬،‫اﻟِﻘْﺴِﻢ اﻷ َﱠوِل‬
.‫ﻀﺎِء‬َ ‫َواﻟﻌَﺪَاَوِة َواﻟﺒَْﻐ‬
“Kebanyakan perbedaan yang memancing hawa nafsu
di tengah umat adalah jenis pertama (tanawwu’ atau
furu’iyah). Demikian pula – perbedaan tersebut –
telah memancing pertumpahan darah, penghalalan
harta benda, permusuhan, dan kebencian.”

Ulama dari abad ke-8 itu menjelaskan beberapa


penyebabnya sebagai berikut.

‫ف ِﻟﻸ ُْﺧَﺮى ِﺑَﻤﺎ َﻣﻌََﮭﺎ ِﻣَﻦ‬ ُ ‫ﻄﺎِﺋﻔَﺘ َْﯿِﻦ ﻻَ ﺗ َْﻌﺘ َِﺮ‬ ‫ِﻷ َﱠن ِإْﺣﺪَى اﻟ ﱠ‬
‫ﻖ‬ِ ّ ‫ ﺑَْﻞ ﺗ َِﺰْﯾﺪُ َﻋﻠَﻰ َﻣﺎ َﻣَﻊ ﻧَْﻔِﺴَﮭﺎ ِﻣَﻦ اﻟَﺤ‬،‫ﺼﻔَُﮭﺎ‬ ِ ‫ َوﻻَ ﺗ ُْﻨ‬،‫ﻖ‬ ِ ّ ‫اﻟَﺤ‬
ُ
ُ‫ َوِﻟﺬَِﻟَﻚ َﺟﻌََﻞ ﷲ‬.‫ َواﻷْﺧَﺮى َﻛﺬَِﻟَﻚ‬،‫ت ِﻣَﻦ اﻟﺒَﺎِطِﻞ‬ ٌ ‫ِزﯾَﺎدَا‬
ُ‫ﻒ ِﻓﯿِﮫ ِإﱠﻻ اﻟﱠِﺬﯾَﻦ أ ُوﺗ ُﻮه‬َ َ‫ﻲ ِﻓﻲ ﻗَْﻮِﻟِﮫ }َوَﻣﺎ اْﺧﺘ َﻠ‬ َ ّ‫ﺼﺪََرهُ اﻟﺒَﻐ‬ ْ ‫َﻣ‬
َ‫ ِﻷﱠن‬.[213 :‫ت ﺑَْﻐﯿًﺎ ﺑَْﯿﻨَُﮭْﻢ{ ]اﻟﺒﻘﺮة‬ ْ ْ
ُ ‫ِﻣْﻦ ﺑَْﻌِﺪ َﻣﺎ َﺟﺎَءﺗُﮭُﻢ اﻟﺒَ ِﯿّﻨَﺎ‬
‫ﺿٍﻊ ِﻣَﻦ اﻟﻘُْﺮآِن‬ ِ ‫ َوِذْﻛُﺮ َھﺬَا ِﻓﻲ َﻏْﯿِﺮ َﻣْﻮ‬،ّ‫ﻲ ُﻣَﺠﺎَوَزة ُ اﻟَﺤ ِﺪ‬ َ ‫اﻟﺒَْﻐ‬
ُ
.‫ِﻟﯿَُﻜْﻮَن ِﻋْﺒَﺮة ً ِﻟَﮭِﺬِه اﻷﱠﻣِﺔ‬
“Penyebabnya adalah karena salah satu dari dua
kelompok tidak mengakui kebenaran kelompok lain,
tidak bersikap obyektif, bahkan selain mengklaim
sebagai pihak yang benar, satu kelompok
menambahinya dengan kebatilan-kebatilan.
Kelompok kedua juga bersikap sama. Oleh karena itu,
Allah menyebutkan bahwa penyebabnya adalah
kedengkian. Allah berfirman (yang artinya):
“Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan

9
orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab,
yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-
keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka
sendiri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 213). Kedengkian itu
melampaui batas. Hal ini disebutkan lebih dari satu
kali dalam al-Qur’an, agar menjadi pelajaran bagi
umat ini. (Shadruddin Ali bin Ali Abu al-‘Izz al-
Hanafi al-Dimasyqi, Syarh al-‘Aqidah al-
Thahawiyyah, hal. 782.)

Keterangan al-Dimasyqi itu sangat jelas dalam


menganalisa mengapa perbedaan furu’iyah justru
menyebabkan permusuhan dan perselisihan. Penyebab
pertama adalah sikap tidak obyektif dan tidak
mengakui bahwa kelompok lain juga memiliki
argumentasi untuk amaliah dan pendapatnya. Kedua,
karena kedengkian.

(e) Penjelasan Ulama tentang Perbedaan antara Amar


Ma’ruf Nahi Munkar dengan Ketidaktaatan terhadap
Pemimpin

Imam Syaukani menjelaskan:

‫ب اْﻟُﺨُﺮوجِ َﻋﻠَﻰ اﻟ ﱠ‬
‫ﻈﻠََﻤِﺔ‬ ِ ‫َوﻗَْﺪ اْﺳﺘ َﺪَﱠل اْﻟﻘَﺎِﺋﻠُﻮَن ِﺑُﻮُﺟﻮ‬
‫ت ِﻣْﻦ‬ ٍ ‫ﻒ َوُﻣَﻜﺎﻓََﺤِﺘِﮭْﻢ ِﺑﺎْﻟِﻘﺘ َﺎِل ِﺑﻌُُﻤﻮَﻣﺎ‬ ‫َوُﻣﻨَﺎﺑَﺬَِﺗِﮭْﻢ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﺴْﯿ‬
ِ ‫ف َواﻟﻨﱠْﮭﻲ‬ ِ ‫ب اْﻷ َْﻣِﺮ ِﺑﺎْﻟَﻤْﻌُﺮو‬ ِ ‫ﺴﻨﱠِﺔ ِﻓﻲ ُوُﺟﻮ‬ ِ ‫اْﻟِﻜﺘ َﺎ‬
‫ب َواﻟ ﱡ‬
‫ﺚ اﻟﱠِﺘﻲ‬ َ ‫ﺐ أ َﱠن اْﻷ ََﺣﺎِدﯾ‬َ ‫ﺷﱠﻚ َوَﻻ َرْﯾ‬ َ ‫ َوَﻻ‬،‫َﻋْﻦ اْﻟُﻤْﻨَﻜِﺮ‬
‫ﺺ ِﻣْﻦ‬ ‫ب َوذََﻛْﺮﻧَﺎَھﺎ أ ََﺧ ﱡ‬ ِ ‫ﻒ ِﻓﻲ َھﺬَا اْﻟﺒَﺎ‬ َ ‫ذََﻛَﺮَھﺎ اْﻟُﻤ‬
ُ ّ‫ﺼ ِﻨ‬
(208 /7) ‫ ﻧﯿﻞ اﻷوطﺎر‬.‫ﻄﻠَﻘًﺎ‬ ْ ‫ت ُﻣ‬ ِ ‫ِﺗْﻠَﻚ اْﻟﻌُُﻤﻮَﻣﺎ‬
“Orang-orang yang mengatakan tentang kewajiban
keluar dari pemimpin yang zhalim, mengangkat
senjata dan memerangi mereka dengan perang, ber-
istidlal dengan keumuman dalil dari al-Qur’an dan as-
Sunnah tentang kewajiban amar makruf nahi munkar.
Padahal tak ada keraguan bahwa hadits-hadits yang
telah disebutkan oleh mushannif dalam bab ini dan
yang telah kami sebutkan, itu lebih khusus dari dalil-
dalil yang masih bersifat umum itu secara mutlak.”
(al-Syaukani, Nail al-Authar, 7/208)

Menurut penjelasan tersebut, dalil tentang larangan


keluar dari pemimpin yang sah itu lebih diutamakan
dari pada dalil yang masih bersifat umum tentang

10
amar makruf nahi munkar. Dengan ujaran lain, nahi
munkar kepada penguasa tak dapat diartikan dengan
cara memberontak. Syaikh Ibnu Hajar menjelaskan
tentang hikmahnya:

ِ ّ‫ﻄﺎِن اْﻟُﻤﺘ َﻐَ ِﻠ‬


‫ﺐ‬ َ ‫ﺴْﻠ‬ ِ ‫َوﻗَْﺪ أ َْﺟَﻤَﻊ اْﻟﻔُﻘََﮭﺎُء َﻋﻠَﻰ ُوُﺟﻮ‬
َ ‫ب‬
‫طﺎَﻋِﺔ اﻟ ﱡ‬
‫طﺎَﻋﺘ َﮫُ َﺧْﯿٌﺮ ِﻣَﻦ اْﻟُﺨُﺮوجِ َﻋﻠَْﯿِﮫ ِﻟَﻤﺎ ِﻓﻲ‬َ ‫َواْﻟِﺠَﮭﺎِد َﻣﻌَﮫُ َوأ َﱠن‬
‫ ﻓﺘﺢ اﻟﺒﺎري ﻻﺑﻦ‬.‫ﺴِﻜﯿِﻦ اﻟﺪﱠْھَﻤﺎِء‬ ْ َ ‫ذَِﻟَﻚ ِﻣْﻦ َﺣْﻘِﻦ اﻟ ِﺪَّﻣﺎِء َوﺗ‬
(7 /13) ‫ﺣﺠﺮ‬
“Fukaha sepakat tentang kewajiban taat pada
pemimpin yang menguasai dan berjihad bersamanya,
dan bahwa menaatinya lebih baik dari pada keluar
dari kepemimpinannya, karena dalam hal itu terdapat
jaminan keamanan dan stabilitas.” (Ibnu Hajar, Fath
al-Bari, jilid 13, hal. 7)

(f) Penjelasan para Ulama tentang Cara Menasihati


Penguasa

‫ﺴﻼَِطْﯿِﻦ َوﻧَْﮭِﯿِﮭْﻢ َﻋِﻦ‬ ‫ب اﻟﱠﺮاِﺑُﻊ ِﻓﻲ أ َْﻣِﺮ اﻷ َُﻣَﺮاِء َواﻟ ﱠ‬ ُ ‫اﻟﺒَﺎ‬


ُ‫ف َوأ َﱠن أ َﱠوﻟَﮫ‬ ِ ‫ت اﻷ َْﻣِﺮ ِﺑﺎﻟَﻤْﻌُﺮْو‬
ِ ‫ ﻗَْﺪ ذََﻛْﺮﻧَﺎ دََرَﺟﺎ‬.‫اﻟُﻤْﻨَﻜِﺮ‬
‫ﻆ َوﺛ َﺎِﻟﺜ َﮫُ اﻟﺘ ﱠْﺨِﺸْﯿُﻦ ِﻓﻲ اﻟﻘَْﻮِل‬ ُ ‫ﻒ َوﺛ َﺎِﻧﯿَﮫُ اﻟَﻮْﻋ‬ ُ ‫اﻟﺘ ﱠْﻌِﺮْﯾ‬
‫ب‬
ِ ‫ﻀْﺮ‬ ‫ﻖ ِﺑﺎﻟ ﱠ‬ ِ ّ ‫َوَراِﺑﻌَﮫُ اﻟَﻤْﻨُﻊ ِﺑﺎﻟﻘَْﮭِﺮ ِﻓﻲ اﻟَﺤْﻤِﻞ َﻋﻠَﻰ اﻟَﺤ‬
.‫َواﻟﻌُﻘُْﻮﺑَِﺔ‬
“(Bab Keempat tentang para pemimpin dan sultan,
serta mencegah mereka dari kemungkaran) Telah
kami jelaskan sebelumnya tentang tingkatan amar
ma’ruf dan bahwa yang pertama adalah mengenalkan
(ta’rif), kedua, nasihat, ketiga, kasar dalam ucapan,
keempat, mencegah dengan paksaan untuk membawa
pada kebenaran dengan memukul dan sanksi.”

‫ﺴﻼَِطْﯿِﻦ اﻟﱡﺮﺗْﺒَﺘ َﺎِن‬ ‫َواﻟَﺠﺎِﺋُﺰ ِﻣْﻦ ُﺟْﻤﻠَِﺔ ذَِﻟَﻚ َﻣَﻊ اﻟ ﱠ‬


‫ َوأ َﱠﻣﺎ اﻟَﻤْﻨُﻊ ِﺑﺎﻟﻘَْﮭِﺮ‬.‫ﻆ‬ُ ‫ﻒ َواﻟَﻮْﻋ‬ ُ ‫اﻷ ُْوﻟَﯿَﺎِن َوُھَﻤﺎ اﻟﺘ ﱠْﻌِﺮْﯾ‬
‫ﻄﺎِن ﻓَﺈِﱠن ذَِﻟَﻚ ﯾَُﺤِّﺮُك‬ َ ‫ﺴْﻠ‬
‫ﺲ ذَِﻟَﻚ ِﻵَﺣﺎِد اﻟﱠﺮِﻋﯿﱠِﺔ َﻣَﻊ اﻟ ﱡ‬ َ ‫ﻓَﻠَْﯿ‬
‫ﺸﱠﺮ َوﯾَُﻜْﻮُن َﻣﺎ ﯾُﺘ ََﻮﻟﱠﺪُ ِﻣْﻨﮫُ ِﻣَﻦ اﻟَﻤْﺤﺬُْوِر‬ ‫اﻟِﻔﺘْﻨَﺔَ َوﯾُﮭﯿُﺞ اﻟ ﱠ‬
َ‫ظﺎِﻟُﻢ ﯾَﺎ َﻣْﻦ ﻻ‬ َ ‫أ َْﻛﺜ َﺮ َوأ َﱠﻣﺎ اﻟﺘ ﱠْﺨِﺸْﯿُﻦ ِﻓﻲ اﻟﻘَْﻮِل َﻛﻘَْﻮِﻟِﮫ ﯾَﺎ‬
ً‫ف ﷲَ َوَﻣﺎ ﯾَْﺠِﺮي َﻣْﺠَﺮاهُ ﻓَﺬَِﻟِﻚ ِإْن َﻛﺎَن ﯾَُﺤِّﺮُك ِﻓﺘْﻨَﺔ‬ ُ ‫ﯾََﺨﺎ‬
‫ف ِإﻻﱠ‬ ُ ‫ﺷﱡﺮَھﺎ ِإﻟَﻰ َﻏْﯿِﺮِه ﻟَْﻢ ﯾَُﺠْﺰ َوِإْن َﻛﺎَن ﻻَ ﯾََﺨﺎ‬ َ ‫ﯾَﺘ َﻌَﺪﱠى‬
‫ب ِإﻟَْﯿِﮫ ﻓَﻠَﻘَْﺪ َﻛﺎَن ِﻣْﻦ‬ٌ ‫َﻋﻠَﻰ ﻧَْﻔِﺴِﮫ ﻓَُﮭَﻮ َﺟﺎِﺋٌﺰ ﺑَْﻞ َﻣْﻨﺪُْو‬

11
‫ﺼِﺮﯾَﺢ ِﺑﺎِﻹْﻧَﻜﺎِر‬ َ ‫ض ِﻟﻸ َْﺧ‬
ْ ‫ﻄﺎِر َواﻟﺘ ﱠ‬ ِ َ‫ﺴﻠ‬
َ ‫ﻒ اﻟﺘ ﱠﻌَﱡﺮ‬ ‫َﻋﺎدَِة اﻟ ﱠ‬
َ َ ‫ِﻣْﻦ َﻏْﯿِﺮ ُﻣﺒَﺎﻻٍَة ِﺑَﮭَﻼِك اﻟَﻤْﮭَﺠِﺔ َواﻟﺘ ﱠﻌَﱡﺮ‬
ِ‫ض ِﻷْﻧَﻮاع‬
/2) ‫ إﺣﯿﺎء ﻋﻠﻮم اﻟﺪﯾﻦ‬.ٌ ‫ب ِﻟِﻌْﻠِﻤِﮭْﻢ ِﺑﺄ َﱠن ذَِﻟَﻚ َﺷَﮭﺎدَة‬
ِ ‫اﻟﻌَﺬَا‬
(343
“Dari kesemua itu, yang boleh bersama pemimpin
adalah dua yang pertama, yaitu mengenalkan dan
nasihat. Adapun mencegah dengan paksaan, maka
rakyat tak bisa melakukan hal itu bersama pemimpin,
karena hal tersebut akan memicu fitnah dan
menimbulkan keburukan. Akhirnya dampak
negatifnya lebih besar. Adapun kasar dalam ucapan,
dengan mengatakan ‘Wahai, si zhalim!’, ‘Wahai
orang yang tak takut pada Allah!’, atau yang lainnya,
maka (dirinci): (1) jika dapat menimbulkan fitnah
yang keburukannya berdampak pada orang lain, maka
tidak boleh; (2) jika ia tak mengkhawatirkan dampak
itu kecuali hanya mengenai dirinya maka boleh
bahkan dianjurkan. Sungguh di antara tradisi salaf
adalah siap menanggung resiko menghadapi bahaya
dengan cara mengingkari (kedzaliman), tanpa peduli
pada keselamatan diri dan siap menanggung resiko
sanksi, karena mereka tahu bahwa hal itu adalah
kesyahidan.” (al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, jilid 2, hal.
343)

2. Regulasi, Saran, dan Pendapat

a. UU ITE Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang Pasal


27, Pasal 28, dan Pasal 29 mengenai konten ilegal yang
terdiri dari antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan
atau pencemaran nama baik, menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan, menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan,
pengancaman dan pemerasan.
b. Berbagai saran, pendapat, dan masukan dalam Ijtima’
Ulama Komisi Fatwa MUI se-Jawa Timur pada tanggal
27 Juli 2022.

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN: ETIKA DAKWAH DI ERA DIGITAL

Pertama: Ketentuan Hukum


Dakwah Islam pada dasarnya merupakan menivestasi dari ajaran Rasulullah yang bertujuan
mengajak pada kebaikan, memberikan rahmat kepada seluruh alam, dan menghindari cara-
cara komunikasi yang bertolak belakang dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, para juru

12
dakwah dan muballigh utamanya di era digital ini harus memperhatikan etika dakwah
dengan memperhatikan ketentuan hukum sebagai berikut:

1. Menebar kebencian meskipun dengan alasan dan tujuan tabligh, ceramah, atau amar
ma’ruf nahi munkar hukumnya haram.
2. Menghina personal atau kelompok lain, meskipun dengan alasan dan tujuan tabligh,
ceramah, atau amar ma’ruf nahi munkar hukumnya haram. Adapun menyampaikan
materi dakwah untuk yang menyatakan yang benar itu benar dan menyatakan yang
salah itu salah hukumnya diperbolehkan.
3. Mempermasalahkan amaliah kelompok lain yang sifatnya ikhtilafiyah atau
debatable tidak diperbolehkan selagi tiap pihak memiliki argumentasi dalil dengan
proses pengambilan hukum dari dalil (istidlal) yang muktabar, sementara menghina
amaliah-amaliah tersebut hukumnya haram karena memicu perpecahan di tengah
umat Islam dan merusak persatuan umat Islam (ukhuwah Islamiyah).
4. Menyerang ideologi negara dan membahayakan keutuhan NKRI meskipun dengan
alasan dan tujuan tabligh, ceramah, atau amar ma’ruf nahi munkar hukumnya
haram, karena akan memicu perpecahan bangsa dan menimbulkan mudarat di
tengah bangsa.
5. Dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar tetap harus mengedepankan kondusifitas
dan stabilitas umum. Bahkan sampai pada jenis nasihat dengan tegas pun, harus
dapat dipastikan bahwa hal itu tak sampai menimbulkan dampak negatif kepada
masyarakat secara umum.

Kedua: Rekomendasi
1. Pemerintah supaya:
a. menggunakan kekuasaannya untuk sarana amar ma’ruf nahi munkar dan
melakukan penegakan hukum (law enforcement) UU Informasi dan
Transaksi Elektronik berbasis keadilan;
b. mengeluarkan sertifikasi muballigh dengan melibatkan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang murni bertujuan untuk pemenuhan kompetensi
muballigh, etika komunikasi publik, dan etika dakwah;
2. Para juru dakwah supaya mengajak umat pada kebaikan dengan hikmah, nasihat
yang baik, dan diskusi berbasis ilmu, bukan berdasarkan kepentingan baik pribadi
maupun golongan.
3. Masyarakat supaya lebih selektif dalam mengambil materi informasi dari platform
media sosial dan tidak mudah terprofokasi dengan ujaran-ujaran kebencian baik
kepada pribadi, kelompok, maupun negara, meskipun disampaikan dalam bingkai
ceramah dan tabligh.

Ditetapkan di : Surabaya
Pada tanggal : 28 Dzulhijjah 1443 H
28 Juli 2022 M

13
IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MUI SE-JAWA TIMUR
KOMISI B

Ketua Sekretaris

KH. Zahro Wardi Dr. H. Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.

Anggota:

1. KH. Zainur Rahman


2. KH. Nur Hasyim
3. Dr. KH. Syamsudin
4. Dr. KH. Nawawi Thabrani
5. Dr. KH. Hamid Pujiono
6. KH. Ali Zainal Abidin

14

Anda mungkin juga menyukai