Anda di halaman 1dari 54

TUGAS MANDIRI

MATA KULIAH
PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN
( R E S U M E PERTEMUAN 1 – 5 )

DOSEN PENGAMPU :
BAMBANGN SUPRAPTONO,S.K.M, M.Kes
DI SUSUN OLEH :
SUMARMI
NIM : 20022018

POLTEKKES KEMENKES REPUBLIK INDONESIA


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN PONTIANAK
PRODI ALIH JENJANG D-IV KESEHATAN LINGKUNGAN
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas Berkat dan
Rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan resume mata kuliah Penyakit Berbasis Lingkungan
sebagai syarat penugasan dengan tepat waktu.
Resume ini telah diselesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih kepada segenap
pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini. Diluar itu,
penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan
dalam resume ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu
dengan segala kerendahan hati , saya selaku penyusun menerima segala kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.
Semoga resume yang sederhana ini dapat bermanfaat utk kita semua, terima
kasih.

KETAPANG, Januari 2021

Penulis
Resume Pertemuan 1

SEJARAH EPIDEMIOLOGI

Empedocles (490–430 SM). Empedocles adalah seorang filsuf pra-Socrates, dokter,


sastrawan, dan orator Yunani, yang tinggal di Agrigentum, sebuah kota di Sisilia.
Empedocles adalah penggagas teori Kosmogenik Empat Elemen/ Akar Klasik (Classical
Roots): bumi, api, air, dan udara. Menurut Empedocles, tumbuhan, binatang, termasuk
manusia, diciptakan dari empat elemen itu. Jika dikombinasikan dengan cara yang berbeda,
maka kombinasi itu akan menghasilkan aneka ragam spesies tumbuhan dan binatang di muka
bumi. Campuran keempat elemen itu merupakan basis biologi genetik dan herediter yang
terwujud dalam organ atau bagian tubuh manusia (Stathakou et al., 2007; Wikipedia,
2010emp).

Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles adalah seorang filsuf dan ilmuwan Yunani, berasal
dari Stagira. Dia mengkompilasi dan memperluas karya para filsuf alam Yunani sebelumnya,
dan merumuskan hipotesis bahwa materi mati dapat ditransformasikan secara spontan oleh
alam menjadi binatang hidup, dan proses itu bisa terjadi di mana saja dalam kehidupan
sehari-hari. Teori itu disebut Generasi Spontan (―spontaneous generation‖, ―equivocal
generation‖, abiogenesis), yang bertolak belakang dengan teori ―univocal generation‖ (teori
reproduksi, biogenesis) bahwa kehidupan berasal dari reproduksi benda hidup. Sampai
duaratus tahun yang lampau sebagian ilmuwan klasik percaya kepada vitalisme, suatu
gagasan bahwa materi mati seperti kotoran, rumput mati, daging yang membusuk, memiliki
vitalitas di dalamnya, yang memungkinkan terciptanya kehidupan ―sederhana‖ secara
spontan (Genesis Park, 2001; Wikipedia, 2010aris). Setelah bertahan berabad-abad lamanya,
akhirnya hipotesis generasi spontan digerus oleh bukti empiris baru yang membuktikan
bahwa hipotesis itu salah. Pada abad ke 17 Francisco Redi melakukan eksperimen yang
memeragakan bahwa larva terjadi bukan dari daging, melainkan karena lalat yang meletakkan
telurnya di atas daging. Pada 1858 Rudolf Virchow memperkuat kesimpulan itu dalam
publikasi epigramnya berjudul ―Omnis cellula e cellula‖ ("setiap sel berasal dari sel lainnya
yang serupa‖). Pada 1860 Louis Pasteur melakukan sterilisasi nutrien dan menyimpannya ke
dalam botol bersegel, ternyata tidak terjadi kuman. Temuan itu memeragakan bahwa ―hanya
kehidupan yang bisa menghasilkan kehidupan‖ (omne vivum ex ovo‖), disebut hukum
biogenesis (Genesis Park, 2001; Wikipedia, 2010aris; Wikipedia, 2010rv).
Humoralisme. Humoralisme atau Humorisme adalah teori yang menjelaskan bahwa tubuh
manusia diisi atau dibentuk oleh empat bahan dasar yang disebut humor (cairan). Keempat
humor itu adalah empedu hitam, empedu kuning, flegma (lendir), dan darah. Dewasa ini sains
kedokteran modern memandang doktrin patologi humoral keliru. Meskipun demikian
keberadaan humoralisme dalam sejarah telah memberikan kontribusi dari kedokteran
berdasarkan tahayul menuju kedokteran modern. Sejak timbulnya teori humoral, para
ilmuwan kedokteran mulai mencari kausa biologis penyakit dan memberikan pengobatan
secara biologis ketimbang mencari solusinya pada ranah supernatural

Hippocrates (377-260 SM). Hippocrates adalah seorang filsuf dan dokter Yunani
pascaSocrates, yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern. Pandangan Hippocrates
tentang kausa penyakit dipengaruhi oleh filsafat Empat Elemen dan Humoralisme Yunani
kuno. Hippocrates mengemukakan teori ‗miasma‘, bahwa suatu materi bisa
mengkontaminasi udara dan jika materi itu memasuki tubuh manusia, maka akan terjadi
penyakit. Miasma atau miasmata berasal dari kata Yunani yang berarti something dirty
(sesuatu yang kotor) atau bad air‘ (udara buruk). Kontribusi Hippocrates untuk epidemiologi
tidak hanya berupa pemikiran tentang kausa penyakit tetapi juga riwayat alamiah sejumlah
penyakit. Dia mendeskripsikan perjalanan hepatitis akut pada bukunya About Diseases
ikterus akut dengan cepat menyebar…urine menunjukkan warna agak kemerahan…panas
tinggi, rasa tidak nyaman. Pasien meninggal dalam waktu 4 hingga 10 hari (Bannis &
Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003).

Era Romawi. Temuan sejarah menunjukkan, pada abad ketiga, sekitar 800 tahun pasca
Hippocrates, orang-orang Romawi telah membuat cacah jiwa tentang kehidupan mereka.
Catatan kuantitatif cacah jiwa tersebut dapat dipandang merupakan prekursor tabel hidup (life
table) dalam bentuk yang paling primitif. Tabel hidup dalam arti yang sesungguhnya, yaitu
tabel yang berisi proporsi (probabilitas) orang untuk melangsungkan hidupnya pada tiap-tiap
umur, baru diciptakan 13 abad kemudian oleh John Graunt di Inggris (Rockett, 1999).

The Black Death .Pada abad ke 13-14 terjadi epidemi penyakit dengan mortalitas tinggi di
seluruh dunia, disebut The Black Death (penyakit sampar, pes, Bubonic plague). Penyakit
sampar atau pes disebabkan oleh Yersinia pestis yang menginfeksi rodensia (terutama tikus),
lalu menular ke manusia melalui gigitan kutu (flea). Penyakit sampar menyebabkan demam,
pembengkakan kelenjar limfe, dan bercak-bercak merah di kulit, sehingga wabah sampar
disebut Bubonic Plague bubo‘ artinya inflamasi dan pembengkaan kelenjar limfe. Secara
tradisi The Black Death diyakini disebabkan oleh salah satu dari tiga bentuk Yersinia pestis
(bubonik, pnemonik, dan spetikemik). Tetapi beberapa ilmuwan dewasa ini menduga,
penyakit itu disebabkan suatu virus yang menyerupai Ebola atau antraks. Menurut Profesor
Duncan, gejala The Black Death ditandai oleh demam mendadak, nyeri, perdarahan organ
dalam, dan efusi darah ke kulit yang menimbulkan bercak-bercak di kulit, khususnya sekitar
dada. Karena itu Duncan dan Scott menamai epidemi penyakit sampar ‗wabah hemoragis‘
(haemmorhagic plague), bukan Bubonic Plague yang lebih menonjolkan aspek pembesaran
kelenjar limfe. Hasil riset Scott dan Duncan dipublikasikan dalam buku ‗Biology of Plagues‘,
diterbitkan oleh Cambridge University Press (Connor, 2001; University of Liverpool, 2005).

Pandemi Cacar. Cacar merupakan sebuah penyakit menular yang menyebabkan manifestasi
klinis berat dan sangat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus Variola major atau Variola
minor. Masa inkubasi sekitar 12 hari. Virus cacar menempatkan diri di dalam pembuluh
darah kecil di bawah kulit, mulut dan tenggorokan. Pada kulit penyakit ini menyebabkan
keropeng (ruam) berbentuk makulopapular, kemudian membentuk gelembung kulit berisi
cairan. Penderita cacar mengalami keropeng kulit, sehingga disebut ‗speckled monster‘
(monster bernoda). Setelah keberhasilan kampanye vaksinasi abad ke 19 dan 20, WHO
menyatakan terbasminya cacar pada 1979. Dewasa ini cacar merupakan satusatunya penyakit
infeksi pada manusia yang telah terbasmi penuh dari alam.

Edward Jenner (1749–1823). Edward Jenner adalah penemu metode pencegahan cacar yang
lebih aman, disebut vaksinasi. Prosedur vaksinasi kemudian diterapkan secara luas di Inggris
dan banyak negara lain. Meskipun mendapat pengakuan dan kehormatan di seluruh dunia,
Jenner tidak mencoba memperkaya diri dengan penemuannya. Dia dedikasikan waktunya
untuk meneliti vaksin cacar dan melayani vaksinasi gratis bagi orang miskin yang
dilakukannya pada gubuk ‗Temple of Vaccinia‘ di tempat praktik di kota kelahirannya
Berkeley. Dia meninggal 26 Januari 1823. Berangsur-angsur vaksinasi menggantikan
variolasi di Inggris dan dunia. Di India vaksinasi diperkenalkan pada 1802 oleh seorang
dokter, Jean de Carro, untuk menggantikan variolasi. Variolasi dilarang dilakukan di Inggris
pada 1840 (Riedel, 2005, BBC, 2010; The College of Physicians of Philadelphia, 2010). Pada
akhir abad ke 19 disadari bahwa vaksinasi tidak memberikan imunitas seumur hidup,
sehingga diperlukan revaksinasi.
Pandemi Kolera

Pada 1816-1826 terjadi pandemi pertama kolera di berbagai bagian dunia. Penyakit itu
menyerang korban dengan diare berat, muntah, sering kali berakibat fatal. Pandemi dimulai
di Bengal (India), lalu menyebar melintasi India tahun 1820.

Influenza Besar (1918 - 1919 ). Pada Maret 1918 hingga Juni 1920 terjadi pandemi luar
biasa yang disebut Influenza Besar (Flu Spanyol, The Great Influenza)

Perkembangan Statistik Vital

John Graunt (1620-1674). Graunt mempublikasikan karyanya dalam ―Natural and Political
Observations … Made upon the Bills of Mortality‖ pada 1662. Ahli epidemiologi
menggunakan tabel hidup untuk menghitung harapan hidup waktu lahir (life expectancy at
birth) sebagai salah satu indikator utama status kesehatan populasi. Tabel hidup juga
digunakan untuk menganalisis probabilitas kelangsungan hidup seorang pasien dengan suatu
diagnosis penyakit dengan atau tanpa pengobatan. Karena penemuannya yang signifikan di
bidang statistik vital, maka John Graunt disebut ―Columbus biostatistik‖(Rocket, 1999;
Saracci, 2010; Answers Corporation, 2010; Videojug, 2010).

Epidemiologi Modern

John Snow (1813-1858). Bersama dengan seorang dokter Inggris lainnya, William Farr, dan
seorang dokter Hungaria, Ignaz Semmelweis, John Snow dipandang sebagai pendiri
epidemiologi modern. Ketiga tokoh bersama-sama membawa epidemiologi dari ‗sekedar‘
berfungsi untuk mendeskripsi distribusi penyakit dan kematian pada populasi, menjadi
epidemiologi yang berfungsi untuk menganalisis dan menjelaskan kausa distribusi penyakit
dan kematian pada populasi. Kontribusi epidemiologis ketiga tokoh tersebut mencakup
konsep pengujian hipotesis, suatu metode ilmiah yang diperlukan untuk memajukan sains
apapun (Rockett, 1999; Wikipedia, 2010.

William Farr (1807-1883). Tahun 1839-1880 seorang dokter bernama William Farr
mendapat tugas sebagai Kepala Bagian Statistik pada General Register Office (Kantor
Registrasi Umum) di Inggris dan Wales. William Farr hidup sezaman dengan John Snow. Di
London waktu itu tengah dilanda epidemi kolera. Seperti halnya Snow, Farr melakukan
analisis data epidemi kolera. Dia mengemukakan teori bahwa epidemi disebabkan oleh
―miasma‖ yang artinya ―udara buruk‖. Farr mengemukakan ―hukum epidemi‖ (Farr‘s law
of epidemics) bahwa risiko kolera berhubungan terbalik dengan ketinggian. Penduduk yang
bermukim di tempat rendah (yaitu, tempat yang berkualitas udara lebih buruk) berisiko lebih
besar untuk terkena kolera (dan kematian karena kolera) daripada tempat tinggi (udara lebih
baik). Farr mengumpulkan data. Data menunjukkan terdapat korelasi kuat antara kejadian
kolera yang teramati dan diprediksi berdasarkan tingkat elevasi di atas Sungai Thames.

Teori Kuman (The Germ Theory)

Teori Kuman (The Germ Theory, Pathogenic Theory of Medicine ) adalah teori yang
menyatakan bahwa beberapa penyakit tertentu disebabkan oleh invasi mikroorganisme ke
dalam tubuh. Abad ke 19 merupakan era kejayaan Teori Kuman di mana aneka penyakit yang
mendominasi rakyat berabad-abad lamanya diterangkan dan diperagakan oleh para ilmuwan
sebagai akibat dari mikroba.

Anton van Leeuwenhoek (1632-1723). Figur yang berjasa bagi kemanusiaan karena
menemukan mikroskop adalah Anton van Leeuwenhoek

Louis Pasteur (1822 – 1895). Louis Pasteur adalah ahli kimia dan mikrobiologi dari
Perancis, lahir di Dole. Dia dikenang karena terobosannya monumental di bidang kausa dan
pencegahan penyakit.

Robert Koch (1843-1910). Robert Koch adalah serorang ahli bakteriologi Jerman. Pada
1890 Robert Koch dan Friedrich Loeffler pada 1884 merancang empat kriteria untuk
menentukan hubungan kausal antara suatu mikroba kausal dan penyakit, disebut Postulat
Koch.

Ilya Ilyich Mechnikov (1845 – 1916). Ilya Ilyich Mechnikov adalah seorang ahli biologi,
zoologi, protozoologi, dan fisiologi Rusia, lahir di Ivanovka dekat Kharkoff, Rusia/ Ukraina
(Gambar 15). Mechnikov dikenal sebagai perintis riset sistem imun dan penerima Hadiah
Nobel bidang Kedokteran pada 1908 bersama dengan Paul Ehrlich untuk karyanya dalam
riset imunologi, khususnya penemuan fagositosis.

Era Epidemiologi Penyakit Kronis

Pada pertengahan abad ke 20, morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi mengalami
penurunan signifikan di negara-negara Barat, khususnya di Amerika Serikat (AS) dan
Inggris. Tetapi masalah morbiditas dan mortalitas beralih ke penyakit kardiovaskuler.
epidemiologi penyakit kronis merupakan bidang baru riset pada pertengahan abad ke 20
(Richmond, 2006; Slomski, 2008; Framingham Heart Study, 2010).

Framingham Heart Study. Dengan latar belakang masalah meningkatnya kejadian penyakit
kronis, khususnya penyakit kardiovaskuler, Pemerintah AS cq US Public Health Service
menginstruksikan National Heart, Lung, and Blood Institute (pendahulu National Institute of
Health), untuk memulai suatu projek riset yang disebut Framingham Heart Study (FHS). FHS
merupakan sebuah studi kohor multi-generasi yang terlama dan paling komprehensif di dunia
yang dimulai tahun 1948 pada penduduk sebuah kota kecil dekat Boston, Massachussettes,
bernama Framingham.

Richard Doll (1912- 2004). Richard Doll, lengkapnya Sir William Richard Shaboe Doll,
adalah seorang dokter, ahli fisiologi, dan ahli epidemiologi terkemuka di Inggris. Pada 1981
Doll menerima penghargaan Edward Jenner Medal dari Royal Society of Medicine.
Penghargaan internasional meliputi Presidential Award dari New York Academy of Sciences,
dan United Nations Award dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), atas riset terkemuka
tentang kausa dan pengendalian kanker (Kinlen, 2005; Wikipedia, 2010bds).

Bradford Hill (1897-1991). Bradford Hill, lengkapnya Sir Austin Bradford Hill, adalah
seorang statistikawan kedokteran yang brilian, ahli epidemiologi, dan ahli kesehatan
masyarakat. Pada 1965 Hill mengemukakan ―kriteria Bradford Hill‖, yaitu sekelompok
kondisi untuk menentukan hubungan kausal. Daftar kriteria itu sebagai berikut: (1) Kekuatan
asosiasi; (2) Konsistensi; (3) Spesifisitas; (4) Hubungan temporal; (5) Gradien biologis
(hubungan dosis-respons); (6) Masuk akal secara biologis; (7) Koherensi; (8) Eksperimen;
(9) Analogi (pertimbangan tentang penjelasan alternatif).

Richard Peto (1943-). Richard Peto, lengkapnya Sir Richard Peto, adalah Profesor Statistik
Kedokteran dan Epidemiologi pada Universitas Oxford. Bersama dengan berbagai peneliti
lainnya, Peto mempublikasikan banyak sekali hasil riset tentang merokok dan kanker paru,
aneka kanker lainnya (kanker okupasi, kanker leher rahim, kanker payudara), efek
betakaroten dan radioterapi terhadap kanker, penyakit kardiovaskuler.

Epidemiologi Sosial

"epidemiologi sosial" itu sendiri baru diperkenalkan pertengahan abad ke20 oleh Alfred
Yankauer dalam artikel yang diterbitkan oleh American Sociological Review tahun 1950,
bertajuk "The relationship of fetal and infant mortality to residential segregation: an inquiry
into social epidemiology" (Krieger, 2001). Topik hangat lainnya dari epidemiologi sosial
adalah pengaruh modal sosial (social capital) terhadap kesehatan. Pengaruh modal sosial
terhadap kesehatan individu dapat diterangkan dengan Teori Budaya/ Perilaku maupun Teori
Materialis/ Strukturalis.

Epidemiologi Molekuler

Kata epidemiologi molekuler sesungguhnya telah digunakan untuk pertama kali pada 1973
oleh Kilbourne dalam artikel bertajuk The molecular epidemiology of influenza". Terma itu
kemudian dipopulerkan oleh buku Molecular Epidemiology: Principles and Practice" yang
ditulis Schulte and Perera. Intinya buku itu mengulas pentingnya untuk mengukur dan
mengekploitasi petanda (biomarker) sebagai alat ukur vital dalam upaya untuk memahami
mekanisme terjadinya penyakit pada populasi. Epidemiologi molekul dapat digunakan untuk
mempelajari efek interaksi lingkungan-gen terhadap terjadinya penyakit, karena memiliki
sejumlah kemampuan sebagai berikut (Schulte, dikutip Spitz dan Bondy, 2010): (1)
Mengidentifikasi peristiwa pada awal riwayat alamiah penyakit; (2) Mengidentifikasi dan
merekonstruksi dosis paparan; (3) Mengurangi misklasifikasi variabel; (5) Mengidentifikasi
mekanisme paparan-penyakit.

Life-Course Epidemiology

Life-course epidemiology (epidemiologi sepanjang hayat) adalah ilmu yang mempelajari


efek jangka panjang paparan fisik dan sosial selama gestasi, masa kanak-kanak, remaja,
dewasa muda, dewasa tua, terhadap risiko mengalami penyakit kronis. Epidemiologi
sepanjang hayat mempelajari mekanisme biologis, perilaku, dan psikososial yang beroperasi
lintas perjalanan hidup individu, bahkan lintas generasi, untuk mempengaruhi terjadinya
penyakit kronis di usia dewasa (Ben-Shlomo dan Kuh, 2002; Kuh et al., 2003). Pendekatan
epidemiologi sepanjang hayat bisa digunakan untuk mempelajari efek jangka panjang
paparan agen infeksi dan agen non-infeksi pada berbagai tahap kehidupan terhadap risiko
terjadinya penyakit infeksi di usia dewasa, melalui dua mekanisme: (1) akumulasi risiko, dan
(2) ―pemrograman.
Biostatistik

Tradisi kolaborasi antara para ahli epidemiologi dan ahli statistika makin kental mulai awal
abad ke-20. Statistik merupakan alat penting dalam epidemiologi (Clayton dan Hills, 1998).
Tetapi jika statistik sebagai alat dalam penelitian digunakan secara salah (misuse) atau
disalahgunakan (abuse), maka nilai dan kegunaan penelitian akan rusak.

Epidemiologi klinik

Epidemiologi tidak hanya bermanfaat untuk upaya peningkatan kesehatan masyarakat tetapi
juga berguna dalam praktik individual kedokteran klinis. Penerapan konsep dan metode-
metode yang logis dan kuantitatif dari epidemiologi untuk memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi dalam pelayanan klinis kepada pasien, baik masalah diagnostik, prognostik,
terapetik, maupun preventif, disebut epidemiologi klinik

RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT

Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah deskripsi tentang perjalanan
waktu dan perkembangan penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya paparan dengan
agen kausal hingga terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan atau kematian, tanpa
terinterupsi oleh suatu intervensi preventif maupun terapetik (CDC, 2010c). Riwayat alamiah
penyakit merupakan salah satu elemen utama epidemiologi deskriptif (Bhopal, 2002, dikutip
Wikipedia, 2010).

Periode waktu sejak infeksi hingga terdeteksinya infeksi melalui tes laboratorium/ skrining
disebut “window period”. Waktu yang diperlukan mulai dari paparan agen kausal hingga
timbulnya manifestasi klinis disebut masa inkubasi (penyakit infeksi) atau masa laten
(penyakit kronis). Pada fase ini penyakit belum menampakkan tanda dan gejala klinis, disebut
penyakit subklinis (asimtomatis). Masa inkubasi bisa berlangsung dalam hitungan detik pada
reaksi toksik atau hipersentivitas. Penyakit penyerta yang mempengaruhi fungsi individu,
akibat penyakit, kelangsungan hidup, alias prognosis penyakit, disebut ko-morbiditas
(Mulholland, 2005). Contoh, TB dapat menjadi ko-morbiditas HIV/AIDS yang meningkatkan
risiko kematian karena AIDS pada wanita dengan HIV/AIDS (Lopez-Gatell et al., 2007).
KARAKTERISTIK AGEN

Ukuran yang menunjukkan kemampuan agen penyakit untuk mempengaruhi riwayat alamiah
penyakit sebagai berikut: (1) infektivitas, (2) patogenesitas, dan (3) virulensi.

1. Infektivitas - kemampuan agen penyakit untuk menyebabkan terjadinya infeksi.


Dihitung dari jumlah individu yang terinfeksi dibagi dengan jumlah individu yang
terpapar.
2. Patogenesitas – kemampuan agen penyakit untuk menyebabkan penyakit klinis.
Dihitung dari jumlah kasus klinis dibagi dengan jumlah individu yang terinfeksi.
3. Virulensi – kemampuan penyakit untuk menyebabkan kematian. Indikator ini
menunjukkan kemampuan agen infeksi menyebabkan keparahan (severety) penyakit.
Dihitung dari jumlah kasus yang mati dibagi dengan jumlah kasus klinis.

Pencegahan penyakit adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah, menunda,


mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit dan kecacatan, dengan menerapkan sebuah
atau sejumlah intervensi yang telah dibuktikan efektif.

Pencegahan primer. Pencegahan primer adalah upaya memodifikasi faktor risiko atau
mencegah berkembangnya faktor risiko, sebelum dimulainya perubahan patologis, dilakukan
pada tahap suseptibel dan induksi penyakit, dengan tujuan mencegah atau menunda
terjadinya kasus baru penyakit (AHA Task Force, 1998).

Pencegahan sekunder. Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan pada fase


penyakit asimtomatis, tepatnya pada tahap preklinis, terhadap timbulnya gejala-gejala
penyakit secara klinis melalui deteksi dini (early detection).

Pencegahan tersier. Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan progresi penyakit ke arah
berbagai akibat penyakit yang lebih buruk, dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup pasien.
Resume Pertemuan 2

PENENTUAN PRIORITAS MASALAH KESEHATAN DAN PRIORItAS JENIS


INTERVENSI KEGIATAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN DISUATU
WILAYAH

A. Metoda Penentuan Prioritas Masalah Kesehatan

Beberapa metoda yang dapat digunakan untuk menentukan prioritas masalah kesehatan,
yaitu :

1. Metoda Matematika

Dalam Metoda ini dipergunakan beberapa kriteria untuk menentukan prioritas


masalah kesehatan disuatu wilayah berdasarkan: (a) Luasnya masalah (magnitude) (b)
Beratnya kemgian yang timbul (Severity) (c) Tersedianya sumberdaya untuk mengatasi
masalah kesehatan tersebut ( Vulnerability (d) Kepedulian/dukungan politis dan dukungan
masyarakat (Community andpolitical concern) (e) Ketersediaandata(Affordability))

2. Metoda Delbeque dan Delphi

Metoda Delbeque adalah metoda kualitatif dimana prioritas masalah penyakit ditentukan
secara kualitatif oleh panel expert. Dalam metoda Delphi sejumlah pakar (panel expert)
melakukan diskusi terbuka dan mendalam tentang masalah yang dihadapi dan masing-
masing mengajukan pendapatnya tentang masalah yang perlu diberikan prioritas.

3. Metoda Estimasi
Bebari Kerugian (Disease Burden) MetodaEstimasiBebanKerugian dari segi teknik
perhitungannya lebih canggih dan sulit, karena memerlukan data dan perhitungan hari
produktif yang hilang yang disebabkan oleh masing masing masalah.
4. Metoda Perbandingan antara Target dan Pencapaian Metoda penetapan prioritas
masalah kesehatan berdasarkan pencapaian program tahunan yang dilakukan adalah
dengan membandingkan antara target yang ditetapkan dari setiap program dengan hasil
pencapaian dalam suatu kurun waktu 1 tahun.
B. Metoda Penetapan Prioritas Alternatif/Pilihan Pemecahan Masalah untuk
Intervensi

Metoda yang lazim digunakan dalam penetapan prioritas alternative pemecahan masalah
untuk intervensi ,dalam penetapan pilihan bentuk intevensi yaitu metoda Analisis
Pembiayaan yang lebih dikenal cara efektifitas dan efisiensi dan metoda Hanlon.

1. Metoda Analisis Pembiayaan (Cost Analysis) lebih dikenal Efektifitas Efisiensi.


Penggunaan metoda ini dengan memperhitungkan efektifitas dan efisiensi dalam
penetapan pilihan jenis intervensi yang dilakukan dengan menggunakan rumus
penetapan prioritas.
2. Metoda Hanlon, Penggunaan metoda Hanlon dalam penetapan altematif prioritas jenis
intervensi yang akan diiakukan menggunakan 4 kriteria masing-masing: (1)
Kelompok kriteria 1 yaitu besamya masalah (magnitude) (2) Kelompok kriteria 2
yaitu Tingkat kegawatan masalah (emergency/seriousness (3) Kelompok kriteria 3
yaitu kemudahan penanggulangan masalah (causability) (4) Kelompok kriteria 4 yaitu
dapat atau tidaknya programdilaksanakan menggunakan istilah PEARL faktor.
Langkah-langkah untuk melaksanakan metoda ini dijelaskan sebagai berikut :
1. Menetapkan KriteriaKelompok 1 Besarnya masalah(magnitude)
2. Menetapkan Kriteria kelompokII:Kegawatan (Emergensy/seriousness)
3. Menetapkan Kriteria Kelompok III: Kcmudahan Penanggulangan
4. Menetapkan Kriteria kelompok IV yaitu PEARL faktor.
C. Kesimpulan dan Saran

Metoda yang dapat dipilih dalam penetapan prioritas masalah kesehatan atau penyakit
yang akan ditanggulangi yaitu (1) Metoda matematika (2) metoda Delbeque dan Delphi (3)
metoda Estimasi BebanKerugian (desease burden) (4) metoda perbandingan antara
pencapaian dengan target yang ditetapkan untuk setiap program. Ada 2 metoda yang dapat
dipakai dalam penetapan prioritas alternatif program intervensi yaitu metoda analysis
pambiayaan (efektif dan efisiensi)dan metoda Hanlon.

PENGEMBANGAN SKALA MODEL LIKERT

Skala Likert adalah sebuah tipe skala psikometri yang menggunakan angket dan
menggunakan skala yang lebih luas dalam penelitian survei. Metode rating yang dijumlahkan
(summated rating) popular juga dengan nama penskalaan model Likert. Metode Likert
merupakan metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respons
sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Dalam pendekatan ini tidak diperlukan adanya
kelompok panel penilai (Judging Group) dikarenakan nilai skala setiap pernyataan tidak akan
ditentukan oleh derajat favorabelnya masing-masing, akan tetapi ditentukan oleh distribusi
respons setuju atau tidak setuju dari sekolompok responden yang bertindak sebagai kelompok
uji coba.

Prosedur penskalaan dengan metode Likert didasari oleh dua asumsi yaitu: 1. Setiap
pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai termasuk pernyataan yang
favorable atau pernyataan yang tidak favorable. 2. Untuk pernyatataan positif, jawaban yang
diberikan oleh individu yang memiliki sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih
tinggi dari jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negative.

Biasanya dalam skala Likert terbagi dalam lima kategori yang digunakan, tetapi
banyak pakar psikometri menggunakan tujuh sampai sembilan kategori. Skala Likert adalah
metode skala bipolar, menentukan positif atau negatif respon pada sebuah pernyataan.

Penyusunan skala Likert diawali dengan membuat table spesifikasi sebagai pedoman dalam
merangkai pernyataan-pernyataan.

1. Tabel Spesifikasi (kisi-kisi)


2. Kaidah-kaidah Penulisan Pernyataan

Edward (1957) dalam Azwar telah meramu berbagai saran dan petunjuk para ahli menjadi
semacam pedoman penuisan pernyataan yang diebutnya sebagai criteria informal penulisan
pernyataan., yaitu

a. Jangan menulis pernyataan yang membicarakan mengenai kejadian yang telah lewat
kecuali kalau objek sikapnya bekaiatan dengan masa lalu.
b. Jangan menuliskan pernyataan yang berupa fakta atau dapat ditafsirkan sebgai fakta
c. Jangan menuliskan pernyataan yang dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran.
d. Jangan menulis pernyataan yang tidak relevan dengan objek psikologisnya
e. Jangan menuliskan pernyataan yang sangat besar kemungkinannya akan disetujui oleh
hampir semua orang bahkan hampir tak seorang pun yang akan menyetujuinya.
f. Pilihlah pernyataan-pernyatan yang diperkirakan akan mencangkup keseluruhan
liputan skala afekif yang diinginkan.
g. Usahakan agar setiap pernyataan ditulis dalam bahasa yang sederhana, jelas dan
langsung. Jangan menuliskan pernyataan dengan menggunakan kalimat-kalimat yang
rumit.
h. Setiap pernyataan hendaknya ditulis rinkas dengan meghindari katakata yang tidak
diperlukan dan yang tidak akan mempejelas isi pernyataan.
i. Setiap pernyataan harus berisi hanya satu ide (gagasan yang lengkap).
j. Pernyataan yang berisi unsur universal seperti “tidak pernah”, “semuanya”, “selalu”,
“tak seorangpun” dan semacamnya, seringkali menimbulkan penafsiran yang
berbeda-beda dan karenanya sedapat mungkin hendaklah dihindari.
k. Kata-kata seperti “hanya”, “sekedar”, “semata-mata”, dan semacamnya harus
digunakan seperlunya saja dan dengan hati-hati agar tidk menimbulkan kesalahan
penafsiran isi pernyataan.
l. Jangan menggunakan kata atau istilah yang mungkin tidak dapat dimengerti oleh para
responden.
m. Hindari pernyataan yang berisi kata negative ganda.

Prosedur penyusunan dan pengembangan instrument pengukur afektif dikembangkan antara


lain :
a. Identifikasi tujuan ukur adalah memilih suatu definisi konseptual dan teori yang
mendasari atribut konstruk psikologis yang hendak diukur.
b. Operasi analisis ranah yang hendak diukur berdasarkan konstruk psikologis. Konstruk
dibatasi dengan uraian komponen-komponen atau dimensi yang jelas, sehingga
instrument akan mengukur secara komprehensif dan relevan serta dapat menunjang
validitas konstruk yang hendak diukur dari variable yang bersangkutan. Untuk
mengoperasikan dimensi-dimensi bersangkutan, penulisan butir dirumuskan ke dalam
bentuk indikator-indikator perilaku yang hendak diungkap dari suatu subjek
c. Pemilihan format stimulus yang erat berkaitan dengan metode pembuatan skala. Ada
beberapa cara pemberian skala yang biasanya digunakan dalam instrument afektif.
Biasanya penulisan format lebih banyak tergantung pada manfaat praktis format
bersangkutan.
d. Penulisan butir diawali dengan pembuatan kisi-kisi yang memuat komponen-
komponen atribut dan indikator-indikator perilaku yang hendak diukur. Revisi
biasanya dilakukan oleh peneliti itu sendiri dengan memeriksa ulang setiap butir yang
baru saja ditulis apakah telah sesuai dengan indikator perilaku yang hendak diungkap
dan apakah tidak ke luar dari jalur kisi-kisi yang telah dibuat.
e. Setelah melewati revisi di atas dilakukan uji coba.
f. Analisis butir digunakan sebagai pengujian parameter-parameter butir untuk
mengetahui apakah butir memenuhi persyaratan psikometrik. Untuk lebih lengkapnya
dilakukan pula analisis indeks validitas butir dan reliabilitas serta mungkin juga
analsis faktor.
g. Butir-butir yang tidak memenuhi persyaratan psikometrik dengan beberapa parameter
dibuang atau direvisi
h. Pengujian reliabilitas. Jika diperoleh koefisien yang belum memuaskan maka kembali
ke langkah kompilasi dan merakit ulang instrument dengan lebih mengutamakan
butir-butir yang memiliki daya diskriminasi tinggi, karena dapat meningkatkan
koefisien reliabilitas instrument.
i. Sebagai tambahan proses validasi pada dasarnya merupakan proses yang
berkelanjutan. Dalam skala-skala yang digunakan secara terbatas pada umumnya
dilakukan pengujian validitas berdasar kriteria, sedang validitas konstruk ditentukan
oleh analisis faktor dan validasi silang.
j. Diperoleh format akhir instrument yang sebaiknya dimuat dengan tampilan yang
menarik namun tetap memudahkan responden untuk membaca dan menjawabnya.

Teknik Pengukuran
1. Validitas
Validitas merujuk kepada sejauhmana hasil evaluasi suatu instrument dapat
ditafsirkan terhadap atribut yang diukur, sedangkan validitas konstruk merupakan tipe
validitas yang menunjukkan sejauhmana instrument mengungkap suatu treat atau
konstruk teoritik yang hendak diukurnya
2. Reliabilitas
Reliabilitas adalah konsistensi suatu instrument mengukur suatu yang hendak diukur
3. Model Rasch
politomi Rasch model juga dapat digunakan untuk menguji hipotesis yang
mencerminkan peningkatan pada perilaku (sikap).
4. Bias (prasangka)
Walau sebuah tes itu dinyatakan valid dan dapat dipercaya, namun belum ada jaminan
bahwa tes tersebut lepas dari prasangka atau perlawanan. Sebuah tes dianggap aneh
jika sistematikanya dibawah atau diatas dari nilai yang sebenarnya.

KESIMPULAN

1. Metode Likert merupakan metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan


distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya.
2. Metode rating yang dijumlahkan (summated rating) popular juga dengan nama
penskalaan model Likert.
3. Skala Likert adalah metode skala bipolar yang menentukan positif atau negatif respon
pada sebuah pernyataan.
4. Kelompok uji coba dalam metode Likert hendaknya memiliki karakteristik yang semirip
mungkin dengan karakteristik individu yang hendak diungkap sikapnya oleh skala yang
sedang disusun.
5. Penyusunan skala Likert diawali dengan membuat table spesifikasi serta memperhatikan
kaidah-kaidah dalam penyusunan pernyataan
6. Secara garus besar pengembangan skala Likert melalui langkahlangkah sebagai berikut :
1. Pengembangan spesifikasi
2. Penulisan pernyataan-pernyataan
3. Penelaahan pernyataan-pernyataan
4. Perakitan pernyataa-pernyataan ke dalam perangkat instrument
5. Uji Coba
6. Analisis hasil uji coba
7. Seleksi dan perakitan pernyataan
8. Pencetakan instrument
9. Administrasi instrument
10. Penyusunan skala dan norma
Resume Pertemuan 3

FOOD BORN DEASES

Mencermati perkembangan pola dan frekuensi kejadian keracunan pangan ditengah-


tengah masyarakat, maka sistem deteksi dini dan investigasi KLB keracunan pangan dapat
memberikan sumbangsih besar dalam menjaga keamanan pangan, terutama dalam
mengungkap kelemahan mata rantai produksi pangan, pangan massal, maupun makanan siap
saji yang diadakan pada acara-acara makanan bersama di rumah makan, jajanan, pesta,
katering dan sebagainya.

Investigasi KLB keracunan pangan adalah serangkaian kegiatan untuk mengetahui


“sesuatu” pada KLB keracunan pangan dengan metode epidemiologi. Sesuatu dimaksud
adalah tujuan-tujuan atau maksud tertentu yang diperoleh dengan melaksanakan kegiatan
tersebut.

Pembahasan prinsip-prinsip investigasi KLB keracunan pangan meliputi :

a. perumusan tujuan-tujuan investigasi,


b. cara penetapan adanya KLB keracunan pangan,
c. cara penegakan diagnosis etiologi KLB keracunan pangan,
d. mengukur besar masalah kejadian keracunan pangan,
e. cara identifikasi sumber dan cara terjadinya KLB keracunan pangan serta
f. penerapan surveilans epidemiologi pada suatu kejadian keracunan pangan.

Deteksi dini klb keracunan pangan Pertama kali saat terdeteksinya atau terlaporkannya suatu
KLB keracunan pangan, biasanya berupa laporan adanya sejumlah orang sakit diare atau
gangguan fungsi pencernaan lainnya, yang masih belum jelas karena penyakit menular,
infeksi, keracunan, atau keracunan pangan.

Bentuk-bentuk laporan yang mengindikasikan adanya KLB keracunan pangan :

1. Seseorang yang menderita sakit, datang ke unit pelayanan kesehatan (dokter,


Pukesmas dsb). Kemudian diketahui mempunyai riwayat setelah makan makanan
tertentu. Dokter yang curiga adanya keracunan, akan menanyakan kemungkinan
adanya penderita lain dengan gejala dan riwayat makan makanan yang sama  ini
merupakan indikasi awal KLB keracunan pangan  dokter membuat laporan.
Penderita ini biasanya menunjukkan indikasi keracunan, misal dengan gejala mirip
gejala keracunan pangan (keracunan asam jengkolat, keracunan air raksa, dsb),
gangguan fungsi pencernaan, gangguan syaraf dsb.
2. Seseorang yang menderita sakit, merasa sebagai akibat setelah makan makanan
tertentu, datang ke unit pelayanan kesehatan. Dokter akan menanyakan kemungkinan
adanya penderita lain dengan gejala dan riwayat makan makanan yang sama 
sehingga terpenuhi sebagai indikasi awal KLB keracunan pangan  dokter membuat
laporan
3. Sejumlah orang menderita sakit dengan gejala sama atau hampir sama, datang
bersama-sama atau berurutan, dan mengaku baru saja menghadiri suatu acara makan
bersama  ini menunjukkan indikasi awal KLB keracunan pangan  sehingga dokter
membuat laporan
4. Seseorang (A) menderita sakit dan merasa terjadi akibat makanan tertentu, datang ke
salah satu unit pelayanan kesehatan (klinik A)  ini merupakan laporan kasus diduga
keracunan pangan. Kemudian seseorang lain (B) menderita sakit dan juga merasa
terjadi akibat makanan tertentu yang sama dengan penderita pertama, datang ke unit
pelayanan kesehatan berbeda (klinik B)  juga membuat laporan diduga keracunan
pangan. Unit yang menerima laporan mengidentifikasi kemungkinan adanya KLB
keracunan pangan berdasarkan laporan beberapa unit pelayanan (klinik A dan klinik
B)  ini disebut multistate atau multi daerah
5. Seseorang menderita sakit, datang ke unit pelayanan kesehatan. Pada pemeriksaan
teliti ditemukan agen atau bahan racun pada sampel darah, urin, tinja atau bagian
organ tubuh lainnya  laporan kasus dengan agen/bahan beracun  indikasi KLB
keracunan pangan
6. Laporan unit pelayanan kesehatan atau masyarakat tentang adanya sejumlah penderita
yang diduga disebabkan karena makan makanan tertentu (cluster).
Adanya kejadian keracunan, bisa jadi teridentifikasi berdasarkan banyaknya
penggunaan obat antidotum racun, misalnya banyaknya penggunaan bikarbonat
natrium terhadap kemungkinan keracunan asam jengkolat, banyaknya antidiare
mengidikasinya banyaknya kejadian diare yang dapat diduga kemungkinan kejadian
keracunan pangan, dsb
Tujuan investigasi KLB keracunan pangan, dapat menuntun langkah-langkah
investigasi pada arah dan tahapan investigasi yang lebih fokus, sistematis dan didukung
dengan metode yang bisa dirancang dan disiapkan sebelum investigasi lapangan dilakukan

Pengertian KLB keracunan pangan yang dirumuskan penjelasan PP 28, 2004 adalah adanya 2
orang penderita atau lebih dengan gejala-gejala yang sama dan adanya dugaan pangan
sebagai sumber keracunan yang dibuktikan secara epidemiologis. Berdasarkan ketentuan
peraturan tersebut diatas, maka peristiwa “KLB Keracunan pangan di Puskesmas Sehat”
tersebut diatas, sejak informasi awal jam 13.30, sudah dapat dinyatakan telah terjadi KLB
keracunan pangan, sehingga tindakan penyelidikan dan penanggulangan sudah dimulai
karena :

1. Terdapat 2 orang yang menderita sakit dengan gejala mirip


2. dua orang atau lebih tersebut makan makanan sama
3. Makanan tersebut dimakan sebelum sakit, sehingga sudah terpenuhi azas sebab
mendahului akibat

Penetapan adanya suatu KLB keracunan pangan adalah jika memenuhi 3 persyaratan:

1. Kepastian Adanya Sejumlah Kasus yang Didiagnosis Keracunan


2. Kepastian adanya makanan tertentu yang sama-sama dimakan oleh semua kasus dan
terbukti adanya bahan racun yang sama dengan etiologi kasus keracunan
3. Kepastian adanya kaitan antara timbulnya kasus-kasus tersebut dengan makanan yang
dimakan oleh kasus-kasus secara epidemiologis.

Korban (Kasus) Keracunan Pangan

“Kasus” bisa diartikan sebagai penyakit yang sudah jelas, misalnya Clostridium perfringens,
asam bongkrek, dsb, dan kasus disebut sebagai kasus keracunan pangan Clostridium
perfringens. Langkah-langkah Penetapan KLB

1. Tentukan diagnosis etiologi awal, waktu dan tempat sumber keracunan, buat definisi
operasional kasus (DO), dan daftar pertanyaan (identitas, gejala, lokasi dan waktu
sumber keracunan dicurigai)
2. Rekam kasus-kasus (sesuai DO & daftar pertanyaan)
3. Hitung jumlah orang yang makan sumber keracunan (populasi berisiko, ciri
epidemiologi
4. Buat epidemiologi deskriptif (kurva epidemi, attack rate, map)
5. Evaluasi DO (definsisi operasional kasus)
6. Menentukan sumber keracunan pangan itu sendiri memerlukan metode epidemiologi
analitik untuk memastikan adanya hubungan sebab (makanan) dan adanya akibat
(menderita keracunan), dan kepastian bahan beracun yang ada pada makanan adalah
sama dengan diagnosis etiologi KLB keracunan pangan tersebut
7. Penetapan KLB KP Final

Penegakan Diagnosis Etiologi KLB Keracunan Pangan

Diagnosis etiologi KLB keracunan pangan adalah berdasar adanya sejumlah orang
sebagai satu kesatuan epidemiologis yang menderita keracunan pangan sebagaimana tersebut
diatas dan atau terbukti penderita-penderita tersebut berhubungan secara epidemiologi
terhadap makanan tertentu yang merupakan sumber terjadinya keracunan.

Bahan Racun (Etiologi) Bahan racun pangan terdiri dari jenis kuman bakteri, virus, parasit,
jamur dan jenis kimiawi.

Sumber dan Cara Terjadinya Keracunan Pangan Pangan yang tercemar bahan racun dan
menyebabkan timbulnya korban keracunan disebut sumber keracunan. Cara makan atau
minum makanan tercemar bahan racun disebut cara terjadinya keracunan atau cara keracunan

Distribusi Gejala dan Tanda Penyakit

Jika sekelompok orang yang menderita keracunan pangan yang sama (KLB keracunan
pangan), maka terdapat sejumlah orang menunjukkan gejala lengkap, sejumlah lain hanya
menunjukkan sebagian gejala. Berdasarkan situasi seperti itu, maka pada sekelompok orang
yang mendapat bahan racun yang sama dapat menunjukkan gambaran distribusi gejala dan
tanda. Atau sebaliknya, jika sekelompok orang menderita keracunan pangan, dapat
diidentifikasi etiologinya berdasarkan gambaran distribusi gejala dan tanda yang ada pada
kasus-kasus.

Masa Inkubasi Bahan Racun – Masa Inkubasi & Periode KLB Keracunan Pangan
Pada suatu KLB Keracunan Pangan, masa inkubasi KLB keracunan pangan atau nanti juga
ditulis menjadi masa inkubasi (bahan racun) KLB keracunan pangan adalah waktu antara
makan makanan sebagai sumber keracunan (tercemar bahan beracun) sampai timbulnya
gejala sakit keracunan pada korban KLB keracunan pangan. Rentang waktu antara makan
sampai timbulnya gejala keracunan pertama diantara korban-korban yang terpendek disebut
masa inkubasi KLB keracunan pangan terpendek, dan sebaliknya rentang waktu antara
makan sampai timbulnya gejala keracunan diantara korban yang tepanjang disebut masa
inkubasi KLB keracunan pangan terpanjang.

Penentuan awal dan akhir KLB keracunan pangan ditetapkan berdasarkan tanggal
mulai sakit pada kasus awal dan kasus terakhir KLB, tetapi cara terbaik adalah berdasar pada
awal kurva epidemi dan akhir kurva epidemi

Sumber dan Cara Keracunan Disamping dimanfaatkan untuk melakukan tindakan


penanggulangan dan pencegahan terjadinya keracunan pangan, diketahuinya sumber dan cara
keracunan dapat menjadi salah satu informasi penting dalam penegakan diagnosis etiologi
suatu KLB keracunan pangan

Pemeriksaan Penunjang Dewasa ini, pemeriksaan penunjang mampu mengidentifikasi


jejak DNA/RNA virus, bakteri, parasit dan benda hidup lainnya yang dapat digunakan untuk
memastikan kesamaan virus, bakteri, parasit dan benda hidup lainnya antara yang ada dalam
tubuh korban dan pada makanan sebagai sumber keracunan.

Epidemiologi Disamping distribusi dan frekuensi, dugaan etiologi, dapat juga


diperkirakan berdasarkan pola sebaran menurut katrakteristik spesifik umur, jenis kelamin,
geografi, beratnya sakit, meninggal, jenis obat yang dipakai dan sebagainya.

Daftar Penyakit, Gejala, Masa Inkubasi dan Pemeriksaan Penunjang Untuk


mempercepat penegakan diagnosis, diperlukan beberapa referensi tentang bahan racun,
gejala, tanda, masa inkubasi, bahan makanan yang sering menimbulkan keracunan, dan
tatacara pengambilan dan pengiriman spesimen (terlampir)

Kegiatan dan Langkah-langkah Penetapan Diagnosis Etiologi KLB-KP :

1. Konsultasi ke dokter yang menangani kasus-kasus


2. Wawancara mendalam dan pemeriksaan fisik terhadap kasus-kasus yang dicurigai
(dokter dan 5-9 kasus
3. Wawancara terstruktur terhadap kasus-kasus yang dicurigai (20-25 kasus)
Penentuan Sumber dan Cara Keracunan
Sesudah atau sebelum diagnosis etiologi KLB keracunan pangan dapat ditentukan sumber
keracunan pangan pada suatu KLB keracunan pangan. Secara umum dibagi dalam 2
kegiatan :
1. Menentukan lokasi kejadian KLB keracunan pangan
2. Menentukan makanan sebagai sumber keracunan

Beberapa Teknik Untuk Identifikasi Sumber Keracunan


1. Memanfaatkan diagnosis dan masa inkubasi kasus-kasus KLB
2. Analisis epidemiologi deskriptif
3. Pemeriksaan penunjang
4. Analisis epidemiologi analitik
5. Hubungan khusus antara kasus dan sumber keracunan

Penentuan Besar Masalah KLB-KP


Besar masalah KLB-KP seharusnya dibuat setelah KLB-KP telah berakhir, kasus KLB-KP
sudah tidak mencul lagi, dan makanan sebagai sumber keracunan sudah diamankan. Tetapi
untuk kepentingan operasional penanggulangan, penetapan bear masalah KLB-KP sebaiknya
dibuat beberapa kali. 1. Informasi awal adanya KLB 2. perkembangan KLB-KP 3. akhir
penanggulangan KLB-KP

Pada umumnya besaran masalah KLB-KP :

1. Etiologi KLB-KP, gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium pada kasus. Penetapan
definisi operasional kasus
2. Sumber keracunan umum (lokasi dan waktu kejadian) dan spesifik makanan tertentu
KLB.

3. Kurva Epidemi, periode KLB-KP dan kecenderungan perkembangan kasus


4. Jumlah Kasus KLB-KP, populasi beriko, gambaran epidemiologi kejadian dan attack
rate (total dan spesifik), case fatality rate menurut waktu, tempat dan orang, termasuk
beratnya sakit pada setiap kasus serta perawatan
5. Situasi saat investigasi : KLB-KP berhenti, masih berlangsung dengan
kecenderungan meningkat atau menurun. Status sumber keracunan.

Apabila terjadi KLB-KP, segera dilaksanakan 4 kegiatan surveilans

1. Surveilans kasus berbasis unit pelayanan kesehatan


2. Surveilans kasus berbasis informasi masyarakat
3. Surveilans distribusi pangan dan kelompok berisiko keracunan pangan
4. Surveilans berbasis investigasi KLB-KP
5. Surveilans berbasis diskusi Tim Penanggilangan KLB-KP

Rencana Kerja Investigasi KLB-KP :


A. Persiapan
1. Investigasi Sebelum ke lapangan
2. Menyusun Proposal
3. Persiapan Administrasi
4. Persiapan Lapangan

B. Pelaksanaan Kegiatan
1. Investigasi Penetapan Etiologi dan Sumber Keracunan
2. Investigasi Epidemiologi Deskriptif Unit Pelayanan
3. Investigasi Epidemiologi Deskriptif Komunitas

C. Pembuatan laporan
D. Mengkomunikasikan hasil Investigasi

BEBERAPA MIKROBA PATOGENIK PENYEBAB FOODBORNE DISEASE DAN


UPAYA UNTUK MENURUNKAN PREVALENSI FOODBORNE DISEASE DI
INDONESIA

Foodborne disease oleh virus umumnya disebabkan karena adanya transmisi virus
dari tangan maupun alat masak dan alat makan. Sementara parasit yang umum dijumpai pada
makanan adalah jenis cacing dan protozoa. Bakteri patogen yang sering ditemukan pada
penderita foodborne disease di negara berkembang seperti Indonesia di antaranya E. coli (15-
20%), Shigella sp.(5-15%), Salmonella sp. (15%), Vibrio colerae (5-10%), Campylobacter
jejuni (15-20%). Terdapat juga parasit cacing seperti Fasciola hepatica dan protozoa seperti
Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, serta berbagai virus rota (15-20%)[8].
Campylobacter jejuni adalah bakteri Gram negatif yang sangat produktif tumbuh di
lingkungan dengan suhu 42-45⁰C[1]. Menariknya, bakteri ini merupakan penyebab utama
diare pada anak, melebihi diare akibat Salmonella sp. C. jejuni biasa ditemukan pada daging
sapi dan ayam yang belum matang serta susu yang disimpan terlalu lama. Seseorang yang
terinfeksi C. jejuni akan mengalami demam, malaise, nyeri perut, dan diare yang dapat
disertai darah. Namun seperti bakteri pada umumnya, C. jejuni akan mati pada proses
pemanasan atau pasteurisasi sehingga foodborne akibat C. jejuni dapat ditangani dengan
pemanasan makanan yang cukup atau pasteurisasi. Bakteri penyebab foodborne disease
lainnya yang cukup marak diberitakan adalah E.coli. Bakteri Gram negatif ini sebenarnya
merupakan salah satu mikroflora dalam saluran pencernaan manusia yang tumbuh optimum
pada suhu 37⁰C [1]. Artinya bakteri tersebut memang berkembang secara alami pada usus
manusia. Namun E. coli bersifat patogen oportunistik oleh karena itulah kasus diare yang
disebabkan oleh E.coli hanya terjadi saat pertahanan tubuh seseorang sedang melemah atau
karena jumlah bakteri E. coli pada tubuh melebihi batas normal.

beberapa langkah umum untuk mengurangi risiko terjadinya foodborne disease, diantaranya:

1. Peningkatan sanitasi
2. Pemanasan makanan mentah
3. Kondisi penyimpanan yang tepat
4. Pemberantasan hospes intermediet
5. Penyuluhan dan edukasi terhadap masyarakat

Faktor Risiko Penyebab Foodborne Disease pada Siswa SD

Penambahan es batu ke dalam minuman merupakan salah satu faktor risiko


penyebaran foodborne disease karena es batu dalam proses pengolahannya sering
terkontaminasi oleh feses yang mengandung bakteri. Air yang terkontaminasi dan tidak
dimasak terlebih dahulu berisiko untuk menyebabkan penyakit dan dapat menyebabkan
wabah.Pembuatan es batu sebaiknya menggunakan air yang sudah matang kemudian
dibekukan. Faktor risiko lain yang turut berperan dalam penyebaran foodborne disease adalah
membeli makanan di pinggir jalan karena penanganan makanan sering tidak bersih, seperti
membiarkan makanan yang sudah dimasak dalam keadaan terbuka dalam jangka waktu yang
lama sehingga dapat dihinggapi lalat yang merupakan vektor penyakit.Selain itu, membiarkan
makanan dalam suhu ruang dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan bakteri
membentuk toksin yang kemudian dapat menyebabkan penyakit.

Permasalahan ini penting diperhatikan karena kebiasaan responden membeli makanan


gorengan yang seringkali dibiarkan dihinggapi lalat dan tidak dipanaskan kembali. Selain dari
aspek makanan, aspek kebersihan alat makanpun harus diperhatikan dalam penularan
foodborne disease. Mencuci alat makan dengan menggunakan air mengalir dan sabun dapat
mengurangi kemungkinan bertahannya bakteri pada permukaan alat makan. Hal ini penting
karena sebanyak 86,1% responden membeli mie baso paling sedikit 1 kali dalam seminggu

PENGETAHUAN DAN SIKAP KEAMANAN PANGAN DENGAN PERILAKU


PENJAJA MAKANAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DASAR

Perilaku buruk yang dimiliki penjaja makanan jajanan tentang pemeliharaan kebersihan
lingkungan sarana dan fasilitas, pengendalian hama, sanitasi tempat, dan peralatan
disebabkan oleh pengetahuan penyakit akibat pencemaran makanan penjaja yang kurang.
Penyebabnya disamping pengetahuan kemungkinan masih ada faktor lain yang berpengaruh
lebih kuat seperti kebiasaan dari penjaja makanan yang belum memperhatikan hygiene dalam
mengolah makanan, lingkungan yang tidak mendukung, pengalaman penjaja makanan yang
masih sedikit dalam mengolah makanan.

Dalam penelitian ini, sikap keamanan pangan mempengaruhi perilaku penjaja makanan
jajanan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan pengetahuan
dan sikap keamanan pangan dengan perilaku penjaja makanan jajanan anak sekolah dasar di
Watukumpul Kabupaten Pemalang disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap keamanan
pangan berhubungan dengan perilaku penjaja makanan jajanan anak dalam keamanan
pangan.
Resume Pertemuan 4

WATER BORN DEASES

Dalam memenuhi kebutuhan akan air, manusia selalu memperhatikan aspek kualitas dan
kuantitas. Khusus untuk aspek kualitas bahwa air yang tercemar dapat menimbulkan penyakit
yang dapat menyerang manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyakit yang
ditularkan melalui air disebut dengan waterborne diseases atau water related diseases (Lud
Waluyo,2005). Berdasarkan Permenkes RI Nomor : 416/Menkes/Per/ IX/1990, bahwa yang
dimksud dengan air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan baik fisik, kimia dan bakteriologis dan dapat
diminum apabila telah dimasak (Depkes, 1990)

Salah satu sarana air bersih yang sebagian besar masih dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia adalah air sumur gali, kontruksi sumur gali yang tidak memenhui syarat kesehatan
seperti jarak sumur gali kurang dari 11 meter dari sumber pencemar dapat menyebabkan air
sumur gali terkontaminasi oleh kotoran manusia (tinja) yang mengandung bakteri patogen
yaitu Escherichia coli (E.coli) yang dapat menyebabkan penyakit bawaan air (water borne
diseases)

Upaya Preventif Penyakit Water Borne Disease Pada Masyarakat

METODE PELAKSANAAN

1. Peningkatan pemahaman masyarakat melalui sosialisasi dalam bentuk penyuluhan


dengan judul “Manfaat Air Bersih Bagi Kesehatan”
2. Pemeriksaan kualitas air yang diambil dari sumur peserta pengabdian
3. Focus Group Discussion (FGD) tentang hasil uji kualitas air dan tanggapan atau
persepsi masyarakat

Syarat-syarat Pengawasan Kualitas Air dan Perda Nomor. 9 Tahun1995 Tentang


Pengawasan Kualitas Air :

- Baik : Kadar Coliform Total maks. diperbolehkan 50 MPN/100 ml

- Kurang baik : Kadar Coliform Total 51 – 100 MPN/100 ml

- Tidak baik : Kadar Coliform lebih dari 101 MPN/100 ml

Hubungan Antara Kualitas Bakteriologis Air Sumur dengan Kejadian Waterborne Disease
Tidak ada hubungan antara kualitas bakteriologis air sumur dengan kejadian waterborne
disease, berarti belum tentu air sumur yang kualitas bakteriologisnya tidak memenuhi syarat
air bersih dapat menyebabkan waterborne disease berupa diare, Hal ini dapat disebabkan
karena kebiasaan mereka yang selalu memasak air sampai mendidih sebelum dikonsumsi.

air yang direbus suhu 70°C akan mematikan kuman patogen khususnya Escherichia coli
sehingga tidak mungkin air yang digunakan untuk minum dan memasak tersebut berpengaruh
terhadap terjadinya diare.

Hubungan Antara Perilaku Sehat dengan Kejadian Waterborne Disease

Tidak ada hubungan antara perilaku sehat dengan kejadian waterborne disease.

Resume Pertemuan 5

Air Born Deases

Airborne disease berarti penyakit yang menyebar lewat udara atau ditularkan melalui udara.
Penyakit ini disebabkan oleh patogen yang bisa menyebar melalui udara dari waktu ke waktu
dengan partikel yang berukuran kecil.
Patogen atau penyebab penyakit ini bisa dalam bentuk virus, bakteri, atau jamur. Ada
beberapa kategori penyebaran airborne meliputi airborne aerosol, debu, atau cairan.
Beberapa contoh penyakit yang menular lewat udara antara lain flu, tbc, demam, cacar,
antrax, campak dan lainnya.
Patogen atau alergen yang ditularkan melalui udara sering menyebabkan peradangan di
hidung, tenggorokan, sinus, dan paru-paru. Ini disebabkan oleh inhalasi patogen yang
memengaruhi sistem pernapasan seseorang.

ANALISIS RISIKO PENULARAN TUBERCULOSIS PARU AKIBAT FAKTOR


PERILAKU DAN FAKTOR LINGKUNGAN PADA TENAGA KERJA DI INDUSTRI

Dalam mempelajari faktor risiko penularan TB paru di industri dapat dianalisis dari tiga
aspek, yaitu aspek pekerja itu sendiri selaku host , aspek agent penyakit penyebab TB dan
aspek lingkungan kerja. Ketiga aspek tersebut sesuai dengan konsep epidemiologi.14 Dari
aspek pekerja menitikberatkan pada perilaku yang tidak sehat yaitu perilaku merokok.

MANAJEMEN KESEHATAN DAERAH WISATA

Risiko Kesehatan Yang Terkait Dengan Perjalanan Berdasarkan International Traveland


Health,2003: 1 dinyatakan bahwa risiko yang mungkin akan memapar para pelancong
ialah;daerah tujuan, lamanya perjalanan, tujuan perjalanan, standard akomodasi dan saniatasi
makanan dan perilaku.

Risiko kesehatan Pada Perjalanan Udara

MenurutWHO International Traveland health,2003: 12, dinyatakan bahwa ada beberapa


faktor yang dapat mempengaruhikesehatan penumpang, antara lain;

1. Tekanan udara kabin

2. Kelembaban kabin

3. Dehidrasi.

4. Radiasi sinar kosmis dan ozon

Menurut buku International TravelandHealth ada beberapa model transmisi penyakit


infeksi,antaralain:

a. Penyakit bersumber makanan(foodbornedisease)


b. Penyakitbersumbervektor (vectorborne disease)
c. Penyakitbersumber hewan (zoonoses)
d. Penyakit menular seksual
e. Penyakitbersumber darah (bloodborne disease)
f. Penyakit bersumberudara (airborne disease)

Pendekatan Upaya Manajemen

Untuk menyiasati tindakan pencegahan dan manajemen faktor-faktor risiko yang dapat terjadi
pada daerahwisata,maka kita dapat melakukanpendckatan teori Simpul. Ke-4 simpulyang ada
dapat dijadikan tuntutan dalam mengidentiftkasi populasiyangberisiko. Teori simpul dari
Untar Fahmi Ahmadi, Pada simpul pcrtama dari sumber yang ada misalnya
hewan,tumbuhan,manusia,virus,bakteri,cacing, parasit, dapat dikenali jenis-jenis sumber
yang dapat membahayakan atau berpotensimenjadi sumber penularan
penyakitpadadaerahwisata. Kondisidaerahyangmenjadi tujuan wisata haruslah melcngkapi
diri dengan informasi yangjelas mengenai penyakit endemik, kondisi wabah/ KLB yang
terakhir serta hal-hal penting yang harus diperhatikan parawisatawan atau calon wisatawan
berkenaan dengan pencegahan. Sedangkan pada simpul2 yang merupakan media perantara,
dapat berupa udara, air, tanah, makanan, minuman, serangga, atau vektor. Sehingga penyakit
penyakit yang memakai media penularan tersebut dapat dikontrol melalui media
perantaranya, misalnya kegiatan Inject Control yang secara rutin, inspeksi sanitasi,
monitoring kualitas udara,tanah, dan air. Untuk simpul 3, yang menunjukkan kelompok
orang-orang yang berada padakondisi sehat dan menjadi populasiyang berisiko. Pemeriksaan
prakunjungan atau pasca mengunjungidaerah wisata dengan peringatan akan adanya resiko
suatu penyakit, dengan pemeriksaan bio markerpada darah, urin, tinja, atau tindakan
pencegahan melalui vaksinasi. Adanya nota atau tanda bukti kelengkapan melakukan
vaksinasi yang dilegitimasi melalui peraturan internasional dapat menjadi syarat tertentu,
misalnya : Vaksinasi terhadap Campak, Yellow Fever.
TUGAS MANDIRI

PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

( R E S U M E PERTEMUAN 6 – 15 )

DOSEN PENGAMPU : BAMBANG SUPRAPTONO,S.K.M, M.Kes


DI SUSUN OLEH :
SUMARMI
NIM : 20022018

POLTEKKES KEMENKES REPUBLIK INDONESIA


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN PONTIANAK
PRODI ALIH JENJANG D-IV KESEHATAN LINGKUNGAN
TAHUN 2020/2021
Resume Pertemuan 6

VEKTOR BORN DESEASES

Vektor adalah hewan avertebrata yang bertindak sebagai penular penyebab penyakit
(agen) dari host pejamu yang sakit ke pejamu lain yang rentan. Vector digolongkan menjadi 2
(dua) yaitu vector mekanik dan vector biologic. Vector mekanik yaitu hewan avertebrata
yang menularkan penyakit tanpa agen tersebut mengalami perubahan, sedangkan dalam
vector biologic agen mengalami perkembangiakan atau pertumbuhan dari satu tahap ke tahap
yang lebih lanjut. Sebagai contoh Aedes aegypti bertindak sebagai vector demam berdarah.
Reservoir adalah manusia, hewan, tumbuhan tanah atau zat organic (seperti tinja dan
makanan) yang menjadi tempat tumbuh dan berkembang biak agen.
Walaupun ada berbagai definisi vector dan reservoir menurut para ahli, tetapi ada
definisi yang dapat digunakan sebagai rujukan yakni Internasional Health Regulation (IHR)
menyebutkan definisi vektor adalah serangga atau hewan lain yang biasanya membawa
kuman penyakit yang merupakan suatu resiko bagi kesehatan masyarakat sedangkan reservoir
adalah hewan, rumbuhan atau benda dimana bibit penyakit biasanya hidup Sebagai contoh
penyakit menular yang penularannya terutama oleh vektor adalah nyamuk (mosquito borne
diseases) sebagai contoh penyakit DBD Demam Berdarah Dengue yang di sebabkan oleh
Virus Dengue yang berasal dari nyamuk Aedes Aegypte ataupun Aedes Albopictus. Infeksi
karena dengue menunjukkan gejala seperti flu, nyeri otot dan sendi diikuti mual dan muntah.
Jika tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat berkembang menjadi penyakit perdarahan
yang dapat mengancam kehidupan. Demam berdarah sangat umum ditemui di Indonesia.
Lingkungan alam tropis, sanitasi buruk berpotensial sebagai sarang nyamuk, dan rendahnya
kesadaran masyarakat menjadi alasan utama berkembangnya penyakit ini.
Penyebaran DBD dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, mobilitas dan kepadatan
penduduk, keberadaan container buatan maupun alami di tempat pembuangan akhir sampah
(TPA) ataupun ditempat sampah lainnya, perilaku masyarakat maupun kegiatan
pemberantasan yang dilakukan oleh masyarakat. Intervensi lingkungan yang harus dilakukan
oleh masyarakat adalah Pengendalian Sarang Nyamuk (PSN), kegiatan ini sering dinamakan
gerakan 3M PLUS Menguras,Menutup, Mengubur PLUS membubuhkan larvasida,
memelihara ikan, menggunakan kelambu menyemprot atau Fogging.
Resume Pertemuan 7

PENGARUH LINGKUNGAN PADA FOOD BORN DESEASE


Penularan Peyakit Melalui Makanan atau FoodBorne Desease merupakan suatu istilah
untuk menyebutkan suatu penyakit yang ditularkan melalui makanan. Foodborne disease
disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme patogen yang mengkontaminasi makanan.
Selain itu, zat kimia beracun, atau zat berbahaya lain juga dapat menyebabkan foodborne
disease jika zat-zat tersebut terdapat dalam makanan. Penyakit yang ditularkan melalui
makanan ini pada umumnya bersifat toksik maupun infeksius disebabkan oleh agens penyakit
yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. Penyakit yang
ditularkan melalui makanan mencakup lingkup penyakit yang etiologinya bersifat kimiawi
maupun biologis, termasuk penyakit kolera dan diare, sekaligus beberapa penyakit parasit.

A. Faktor-faktor Pengaruh Pertumbuhan Mikroba pada Makanan


Mikroba yang tumbuh dalam makanan sehingga menjadi patogen dan menyebabkan
penyakit atau gangguan kesehatan pada manusia dan makhluk hidup pertumbuhannya
dipengaruhi oleh beberapafaktor sebagai berikut :
1) Faktor intrinsik, merupakan sifat fisik, kimia dan struktur yang dimiliki oleh bahan
pangan tersebut, seperti kandungan nutrisi dan pH bagi mikroba.
2) Faktor ekstrinsik, yaitu kondisi lingkungan pada penanganan dan penyimpanan bahan
pangan seperti suhu, kelembaban, susunan gas di atmosfer.
3) Faktor implisit, merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh mikroba itu sendiri.
4) Faktor pengolahan, karena perubahan mikroba awal sebagai akibat pengolahan bahan
pangan, misalnya pemanasan, pendinginan, radiasi, dan penambahan pengawet
(Nurmaini, 2004)

B. Jenis Penyakit Ditularkan


1) Diare, adalah penyakit yang membuat penderitanya menjadi sering buang air besar
dengan kondisi tinja yang encer. Gejala diare yang sering dialami oleh penderita pada
umumnya adalah perut terasa mulas, tinja encer atau bahkan berdarah, mengalami
dehidrasi, pusing, lemas, dan kulit kering. Sebagian besar diare disebabkan infeksi
kuman diusus besar.
2) Demam, hadirnya demam ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh hingga lebih dari
380C dari suhu tubuh normal. Pada umumnya demam akan disertai gejala lain seperti
sakit kepala, berkeringat, menggigil, lemas, nyeri otot, muntah dan kehilangan nafsu
makan.
3) Nyeri akut saluran pencernaan. Gangguan pencernaan adalah kondisi dimana tubuh
tidak dapatmencerna makanan dengan baik, kondisi ini dapat menyebabkan
intoleransi makanan. Gangguan pencernaan dapat menimbulkan berbagai macam
gejala seperti perut kembung, sembelit, sulit menelan, mual, muntah.

C. Faktor Timbulnya Penyakit Bawaan Makanan


1) Demografi Masyarakat
Meningkatnya kelompok penderita penyakit menular HIV, penderita penyakit
kronis, dan para manula, akan lebih peka terhadap infeksi bakteri patogen yang
ditularkan melaui makanan.
2) Human Behavior
Peningkatan kebiasaan makan di luar rumah, peningkatan konsumsi buah segar
dan salad yang menggunakan sayuran mentah, dan makanan yang dimasak secara
tidak matang sempurna (hamburger, scrumble eggs, dan lain-lain).
3) Perubahan Insdustri dan Teknologi
Peningkatan industri makanan berskala besar yang tersentralisasi di satu tempat
akan membawa risiko terhadap peningkatan penyebaran penyakit bawaan
makanan. Penyebaran penyakit dapat terjadi mulai dari tempat asal ketika
diproduksi, sampai ke tempat pendistribusian produk
4) Adaptasi Mikrobia
Pengobatan antimikrobia untuk hewan dan manusia secara terus menerus dan
tidak terkontrol akan mengakibatkan timbulnya bakteri-bakteri resisten.

D. Cara Pencegahan Foodborne disease


Dibandingkan dengan pengobatan, suatu pencegahan dinilai lebih efektif untuk
mengatasi masalah foodborne disease ini. Langkah pencegahan yang dapat dilakukan
oleh setiap individu sebagai langkah preventif adalah dengan selalu menjaga kebersihan,
melakukan pemantauan suhu optimum, serta memperhatikan metode atau cara
penyimpanan dan pengolahan makanan yang baik.
a) Kebersihan
Membiasakan dalam menjaga kebersihan baik kebersihan diri maupun kebersihan
lingkungan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan selalu mencuci tangan pakai
sabun setelah melakukan kegiatan dan sebelum makan. Tangan merupakan salah
satu media paling efektif masuknya kuman dan bakteri kedalam tubuh. Dengan
mencuci tangan pakai sabun, akan meminimalisir masuknya kuman dan bakteri ke
dalam tubuh.
b) Pemantauan Suhu
Menyimpan makanan pada suhu yang keliru dapat berakibat membiaknya kuman
yang tumbuh diantara suhu 50C hingga 600C dan menyebabkan racun pada
makanan. Makanan dapat disimpan pada lemari es dengan suhu tidak lebih dari
50C juga dilengkapi dengan aliran udara diseputar makanannya agar pembagian
suhu dapat merata. Makanan mentah tidak dibiarkan terlalu lama dalam suhu
ruang karena akan mempercepat proses pembiakan mikroba dan racun. Agar
kuman dan bakteri yang terdapat pada makanan ini mati, maka makanan
sebaiknya dimasak hingga matang sempurna.
c) Cara Menyimpan
Daging, ikan, unggas, dan sayur mentah adalah bahan makanan yang mengandung
banyak kuman dan rentan mengontaminasi makanan matang disekitarnya.
Perilaku cermat yang dapat dilakukan adalah dengan menyimpan makanan
mentah tersebut secara tertutup sebelum memasukkannya ke dalam lemari es agar
terhindar dari pencemaran
Resume Pertemuan 9

PEMETAAN DAN ANALISIS SPASIAL PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

Analisis spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) sangat mendukung


untuk pengambilan keputusan dalam penanggulangan penyakit berbasis lingkungan. Prinsip
dasar dari konsep ini adalah pemanfaatan SIG untuk mengkonversi data populasi, data
penyakit, data lingkungan, fasilitas kesehatan, dll menjadi bentuk visual seperti peta dan
grafik guna memudahkan interpretasi data penyakit serta mendukung pengambilan keputusan
terkait program penanggulangan penyakit berbasis lingkungan. Fungsi analisis spasial dari
SIG termasuk antara lain klasifikasi, penilaian, tumpang susun, dan fungsi-fungsi lingkungan.
Integrasi SIG dan penginderaan jauh mempermudah analisis spasial karena kenampakan yang
mendekati dunia nyata. Produk luaran yang dihasilkan dari analisis spasial adalah:
identifikasi wilayah berisiko tinggi, persebaran kasus, tren waktu, populasi berisiko,
memantau kegiatan surveilans dan penanggulangan penyakit, penilaian aksesibilitas terhadap
fasilitas kesehatan serta memperkirakan terjadinya kasus di masa datang.
Prinsip dasar analisis spasial penyakit berbasis lingkungan mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Menggunakan data epidemiologi surveilans penyakit
2. Menggunakan indikator seminimal mungkin yang cukup untuk mendukung
pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan surveilans dan penanggulangan
penyakit.
3. Data penyakit dan populasi akan dikumpulkan dan dimasukkan di tingkat desa di
mana data surveilans epidemiologi dikumpulkan secara rutin.
4. Data lingkungan (peta) dan fasilitas surveilans penyakit akan diintegrasikan ke dalam
SIG untuk memudahkan pengguna dalam mempelajari pola penyebaran spasial
penyakit berbasis lingkungan sekaligus memantau kinerja program surveilans.
5. Mengalihkan data menjadi representasi visual seperti peta dan grafik untuk
memfasilitasi interpretasi dan pembandingan data.
6. Membandingkan risiko penyakit menurut tempat dan waktu untuk mengevaluasi
dinamika penularan penyakit.
Menilai aksesibilitas terhadap fasilitas surveilans dan penanggulangan penyakit
berbasis lingkungan. Hal yang terpenting, menggunakan data untuk menentukan wilayah
mana yang paling berisiko sehingga dapat menentukan tindakan apa yang harus diambil
untuk penanggulangan, wilayah mana yang memiliki potensi terjadinya kasus paling tinggi
sehingga dapat dilakukan tindakan antisipasi yang tepat sesegera mungkin.

Pemetaan penyakit berbasis lingkungan telah lama dianggap sebagai salah satu
langkah penting dalam perencanaan program penanggulangan penyakit. Peta sketsa penyakit
sederhana dapat mengungkap wilayah mana yang berisiko penyakit yang tinggi dan di
wilayah mana penularan cenderung terjadi, dan di wilayah mana penularan tidak terjadi.
Pemetaan penyakit berbasis lingkungan mencakup: pemetaan risiko penyakit, pemetaan
berseri dan peta stratifikasi.
Pemetaan risiko penyakit. Peta risiko penyakit ini memuat informasi yang diperlukan
oleh pengguna untuk menemukan kejadian kasus dan populasi berisiko di tingkat desa. Peta
risiko penyakit terbagi dalam dua bentuk, peta titik yang menunjukkan penyebaran kasus
penyakit dan chloropleth map (peta wilayah) yang menunjukkan populasi berisiko penyakit
di desa-desa.
Pemetaan penyakit berseri. Kita dapat mencermati dinamika penularan penyakit di
suatu wilayah dengan cara melakukan pemetaan insiden penyakit dalam kurun waktu tertentu
atau pada bulan-bulan berbeda dalam satu tahun. Analisis ini digunakan untuk menilai
apakah pola penyakit konsisten dari waktu ke waktu di kabupaten yang bersangkutan. Jika
ternyata konsisten, hal ini menunjukkan agar kegiatan penanggulangan penyakit difokuskan
pada wilayah dengan risiko lebih tinggi. Pemetaan ini juga membantu mengidentifikasi fokus
penularan setempat, juga untuk menilai efektifitas program penanggulangan penyakit dengan
cara mengevaluasi variasi intensitas penularan.
Resume Pertemuan 10

PENGARUH LINGKUNGAN PADA WAAATER BORN DESASES

Water-food borne disease mencakup spektrum yang luas dari penyakit dan masalah
kesehatan masyarakat yang berkembang di seluruh dunia. Mereka adalah hasil dari kontak
dengan air dan konsumsi bahan makanan yang terkontaminasi dengan mikroorganisme atau
bahan kimia. Kontaminasi makanan dapat terjadi pada setiap tahap dalam proses dari
produksi pangan untuk konsumsi dan dapat hasil dari pencemaran lingkungan, termasuk
polusi air, tanah atau udara (World Health Organization, 2015).
World Health Organization (2014), mendefinisikan water-food borne disease, atau
penyakit yang ditularkan melalui air dan makanan, adalah penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme patogen yang paling sering ditularkan di air tawar yang terkontaminasi.
Mikroorganisme dapat berupa protozoa, parasit, bakteri, virus, dan alga. Berikut ini akan
digambarkan berbagai penyakit, penyebab, dan manifesitasi kliniknya.
Menurut WHO (2001), masalah kesehatan yang banyak terjadi di dunia adalah
penyakit dan kematian dini yang disebabkan oleh faktor-faktor biologi di lingkungan manusia
seperti di air, makanan, udara, dan tanah Penyebab tersebut dapat mengakibatkan kematian
dini atas jutaan orang khususnya pada bayi dan anak-anak . Pengelolaan air yang aman dan
penyimpanannya ditingkat rumah tangga dapat mengurangi angka kejadian water borne
disease.
Air merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, kontaminasi mudah
terjadi apabila higenitas dan sanitasi kurang diperhatikan. Penggunaan sumber air yang tidak
baik dapat meningkatkan risiko terjadinya diare. Diare merupakan salah satu penyakit
berbasis lingkungan yang menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian. Desa Kampung
Baru berada di sekitar Kali Jagir Surabaya, sebagian besar masyarakat berada pada tingkat
sosial ekonomi menengah ke bawah. Pola hidup sebagian besar masyarakat juga kurang
memperhatikan higenitas dan sanitasi lingkungan sehingga dapat menimbulkan pencemaran
air yang dapat meningkatkan resiko kejadian diare.
Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare dengan menggunakan
air yang bersih dan air yang terlindungi dari kontaminasi mulai dari sumber sampai
penyimpanan. Oleh karena itu, diperlukan adanya peningkatan pengawasan petugas
kesehatan untuk melakukan inspeksi sanitasi sarana air bersih dan penyuluhan kepada
masyarakat untuk memperhatikan sumber air yang digunakan.
Resume Pertemuan 11

PENGARUH LINGKUNGAN PADA AIR BORN DESEASES

Pengaruh lingkungan pada air born deseases yang berdampak terhadap kesehatan
manusia tidak dapat dibantah lagi baik polusi udara yang terjadi di alam bebas (Outdoor air
pollution) ataupun yang terjadi di dalam ruangan (indoor air pollution), polusi yang terjadi
diluar ruangan terjadi karena bahan pencemar yang berasal dari industry transportasi,
sementara polusi yang terjadi di dalam ruangan dapat berasal dari asap rokok dan gangguan
sirkulasi udara.
Pandangan bahwa masalah pencemaran udara semata mata hanya merupakan masalah
urban telah berubah setelah terjadinya hujan asam dan pencemaran regional lainya di
beberapa Negara. Atmosfir sebagai tempat pembuangan bahan sisa sisa aktifitas manusia
bertindak sebagai reactor kimia yang kompleks yang akan merubah zat zat pencemar yang
berinteraksi dengan substansi lain, seperti uap air dan sinar matahari. Pada kondisi tertentu
oksida sulfur dan oksida nitrogen dari hasil pembakaran bahan bakar fosil akan berubah
secara kimiawi di atmosfir, menjadi asam sulfat dan asam nitrat, kedua bentuk asam tersebut
tercuyci dan terlarut dalam hujan, yang berakibat buruknya mutu kualitas air hujan sehingga
dapat terjadinya hujan asam). Dampak hujan asam terhadap lingkungan sangat penting dan
perlu mendpat perhatian serius karena hujan asam berdanpak negatif pada lingkungan seperti
terjadinya kerusakan kerusakan pada bangunan dan benda benda yang terbuat dari logam dan
juga pengasaman danau danau dan sungai.
Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap,
tergantung pada suhu udara, tekanan udara, danlingkungan sekitarnya. Apabila susunan
udaramengalami perubahan dari susunan keadaannormal dan mengganggu kehidupan
manusia,hewan, dan tumbuhan maka berarti udara telah tercemar. Salah satu teknologi yang
menyebabkan pencemaran udara adalah kendaraan bermotor. Sebagian besar polusi udara
disebabkan oleh kegiatan transportasi.
Dari lima kelompok polutan yaitu karbon monoksida, nitrogen dioksida, hidrokarbon,
sulfur oksida, dan partikel, yang tingkat toksisitasnya paling tinggi adalah partikulat atau
debu disusul nitrogen dioksida. Nitrogen dioksida (NO2) termasuk polutan yang diemisikan
dari berbagai sumber di suatu kawasan terutama sektor transportasi.
Hadirnya pencemar udara seperti NO2,SO2 Pb dan logam berat lainya sebagai produk
samping aktivitas manusia ataupun aktifitas alamiah pada tingkat tertentu mempunyai
pengaruh dan dapak yang sangat buruk terhadap lingkungan baik untuk kesehatan manusia
hewan, tumbuhan dan lingkungan alam itu sendiri.
Peningkatan aktivitas industri dan transportasi menjadi pemicu timbulnya potensi
pencemaran udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat, terutama di sekitar wilayah
industri dan kota-kota besar. Pengenalan daerah yang rawan terhadap pemaparan konsentrasi
pencemar udara maksimum perlu dilakukan untuk mengantisipasi dampak terhadap
kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Pengelolaan serta pengendalian pencemaran udara sangat diperlukan agar dampak
pencemaran udara tidak terlalu parah. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan
mengenali daerah-daerah yang rawan terhadap pemaparan konsentrasi pencemar yang
maksimum, terutama di wilayah yang padat industri dan transportasi.

Resume Pertemuan 12

PUBLICH HEALTH EMERGENCY INTERNATIONAL CONCERN (PHEIC)

Publich health emergency international concern (pheic) atau Kegawatdaruratan Kesehatan


Masyarakat yang mengancam wilayah yang sangat luas sampai lintas Negara.. Pengawasan
kedatangan kapal dari luar negeri ditujukan untuk mencegah tangkal semua faktor risiko
PHEIC (Public Health Emergency of International Concern) atau KKMD (Kesehatan
Masyarakat yang mengancam wilayah yang sangat luas sampai lintas Negara.) terutama
kapal yang berasal dari daerah terjangkit. Kapal yang berasal dari daerah terjangkit wajib
berada di zona karantina sampai dinyatakan sehat setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan,
baik terhadap alat angkut, orang maupun barang. kedatangan kapal dalam negeri juga
berisiko menyebarkan penyakit antar daerah. Pengawasan kedatangan kapal dari dalam
negeri harus dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit antar wilayah terutama
kedatangan kapal dari daerah endemis penyakit menular tertentu.
Adapun Jenis-jenis Penyakit yang Menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang
sangat luas :
1. Pes
2. Kolera
3. Meningitis Meningokokus
4. Yellow Fever
5. Hanta Virus
6. SARS
7. Avian Influenza
8. Cacar
9. Ebola
10. Japanese Encephalitis
11. Poliomienlitis Akut
12. Antrax
13. Virus Nipah
14. Influenza A baru H1N1
15. Covid-19
Upaya karantina kesehatan di luar pintu masuk Negara
A. Karantina Rumah
Adalah pembatasan kegiatan dan atau pemisahan penghuni suatu rumah yang di duga
terinfeksi penyakit meski belum menunjukan gejala penyakit, pemisahan barang,
peralatan hewan ataupun yang ada di rumah tersebut yang diduga terkontaminasi dari
orang atau barang lain, sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran
penyakit atau terkontaminasi. Dilakukan penyelidikan surveilans dengan sasaran
keluarga suspek, hewan dan pewalatan/barang yang diduga kontak dengan suspek.
Petugas karantina memberikan informasi penjelasan dan tujuan pengkarantinaan serta
petugas menggunakan APD lengkap saat melakukan pengawasan.
B. Karantina Wilayah
Adalah pembatasan kegiatan atau pemisahan masyarakat dalam suatu wilayah
geografis yang di duga terinfeksi penyakit meski belum menunjukan gejala penyakit,
pemisahan barang peralatan hewan ataupun yang ada di wilayah terebut diduga
terkontaminasi dari orang dan barang lain sedemikian rupa untuk mencegah
kemungkinan penyebaran penyakit atau terkontaminasi.
C. Pembatasan Kegiatan Sosial Berskala Besar
Adalah pembatasan ruang aspek gerak kegiatan dan pemisahan masyarakat barng dan
peralatan dalam suatu wilayah penanggulangan dengan tujuan mengurangi tranmisi
penyakit melalui kontak antar manusia.
Resume Pertemuan 13

EVALUASI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT BERBASIS


LINGKUNGAN

Gambaran kondisi umum, potensi dan permasalahan pencegahan dan pengendalian


penyakit dipaparkan berdasarkan hasil pencapaian program, kondisi lingkungan strategis,
kependudukan, sumber daya, dan perkembangan baru lainnya. Potensi dan permasalahan
pencegahan dan pengendalian penyakit menjadi input dalam menentukan arah kebijakan dan
strategi Kementerian Kesehatan dalam bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
A. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular
Faktor risiko utama PTM adalah faktor metabolik (tekanan darah tinggi, gula darah
tinggi, obesitas, dislipidemia, gangguan fungsi ginjal, malnutrisi pada maternal dan anak),
faktor perilaku (perilaku diet, merokok, risiko kesehatan kerja, kurang aktivitas fisik,
konsumsi alkohol), dan faktor lingkungan (polusi udara, kekerasan, kemiskinan).
Untuk menanggulangi masalah PTM, maka upaya intervensi yang komprehensif dan
holistik harus dilakukan, yakni promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, sebagai
kesatuan continum of care.
Pendekatan strategis untuk menurunkan beban PTM adalah peningkatan upaya
promotif dan preventif melalui pembudayaan GERMAS, pemberdayaan masyarakat
dalam pengendalian faktor risiko PTM, dan peningkatan aksi multisektoral.
B. Penyakit Menular
Tiga penyakit menular yang perlu menjadi perhatian khusus adalah tuberkulosis,
HIV/AIDS dan malaria, selain penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Dalam Rencana Aksi Program P2P 2020 - 2024 tidak ada visi dan misi Direktorat
Jenderal. Rencana Aksi Program Direktorat Jenderal P2P mendukung pelaksanaan
Renstra Kemenkes dalam melaksanakan Visi Presiden Republik Indonesia yaitu
“Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian
Berlandaskan Gotong-royong”. Untuk mewujudkan Visi Presiden tersebut, maka telah
ditetapkan 9 (Sembilan) Misi Presiden 2020 – 2024 yaitu:
1. Peningkatan kualitas manusia Indonesia.
2. Penguatan struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing.
3. Pembangunan yang merata dan berkeadilan.
4. Mencapai lingkungan hidup yang berkecukupan.
5. Kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa.
6. Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
7. Perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga.
8. Pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya.
9. Sinergi Pemerintah Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan.

Target Indikator Kinerja Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun


2020-2024 ditetapkan sebagai berikut :
1. Persentase Orang Dengan HIV-AIDS yang menjalani Terapi ARV (ODHA on ART)
sebesar 60 persen.
2. Persentase angka keberhasilan pengobatan TBC (TBC Succes Rate) sebesar 90
persen.
3. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi malaria sebanyak 405 kab/kota.
4. Jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi kusta sebanayak 514 kab/kota. Jumlah
5. kabupaten/kota endemis sebanyak 190 kab/kota.
6. Jumlah kabupaten/kota yang melakukan pencegahan perokok usia kurang dari 18
tahun sebanyak 350 kab/kota.
7. Jumlah Kab/kota yang melakukan pencegahan dan pengendalian PTM sebanyak 514
kab/kota.
8. Persentase kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap anak usia 0-
11 bulan sebesar 95,0 persen.
9. Jumlah Kab/kota yang melaksanakan deteksi dini masalah kesehatan jiwa dan
penyalahgunaan Napza 514 kab/kota.
10. Persentase kab/kota yang mempunyai kapasitas dalam pencegahan dan pengendalian
KKM sebesar 86 persen.
11. Jumlah kab/kota yang mencapai eliminasi penyakit infeksi tropis terabaikan sebanyak
472 kab/kota.

Prioritas pencegahan dan pengendalian penyakit RENSTRA , PROMOTIF , PREVENTIF


Untuk Meningkatnya Pengelolaan Pengendalian Penyakit dan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat. Pembangunan kesehatan merupakan fondasi terwujudnya sumberdaya manusia
yang berkualitas dan berbudaya saing untuk menjadikan Indonesia unggul, pencegahan dan
pengendalian penyakit menjadi bagian integral dalam pelaksanaan pembangunan nasional
dan pembangunan daerah tentu saja didukung dengan kebijakan operasional pencegahan dan
pengendalian penyakit dengan pendekatan promotif preventif disetiap jenjang pelaksanaan
kegiatan.

Mengingat kegiatan yang sifatnya kecil-kecilan sarat dengan ketersediaan tenaga dan uang
untuk melaksanakannya. Namun langkah-langkah akademis harus tetap dipertahankan. Untuk
itu beberapa metode dalam mengumpulkan informasi dapat dilakukan dengan cara seperti
berikut:
1. Metode Case-Control
Metode Case-control sering dinyatakan dalam literature sebagai metode control-
designed. Prinsip dasar dari metode ini adalah dengan mengumpulkan berbagai set indikator
dari sample yang memperoleh treatment atau memperoleh beneficiary atau manfaat.
Kemudian dengan pemilihan pengamatan, sample ini kemudian dibandingkan indikatornya
dengan pasangan sample yang karakternya adalah relatif sama.
Kekuatan dari metode ini adalah kita dapat membandingkan antara kelompok pengamatan
yang menerima program dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima. Kesulitannya
adalah kalau sebuah program cakupannya luas, maka mereka yang tidak menerima program
adalah sulit dilakukan. Dalam kaitan ini kesulitan dalam memperoleh pasangan sample yang
benar benar sama tidaklah mudah dilakukan, karena banyak pertimbangan yang perlu
dilakukan. Diantaranya adalah kesamaan karakter daerah, kesamaan relative latar belakang
social-ekonomi. Ini dimaksudkan agar perbandingan nantinya memperoleh hasil isolasi faktor
kebijakan semakin pasti dideteksi pengaruhnya.
2. Metode Follow-Up
Metode ke dua lazim juga digunakan oleh mereka yang sering menilai dampak dari suatu
proyek. Metode follow-up lebih kepada metode yang melihat bagaimana perubahan yang
terjadi dari mulai dilakukan proyek dan dibandingkan dengan waktuwaktu sesudah proyek
dilaksanakan.
Metode follow-up nantinya dapat mengungkapkan bagaimana perubahan antar waktu
objek yang memperoleh manfaat dari suatu program. Cara seperti ini sering dilakukan untuk
menemukan berbagai persoalan yang terkait dengan managemen kegiatan, coverage kegiatan,
pemanfaatan kegiatan, biaya kegiatan. Termasuk kajian kajian yang menilai seberapa tepat
dan efektif dari suatu proyek dilaksanakan.
3. Metode Retrospektif (Before-After)
Metode retrospektif lebih kepada mencoba membandingkan aspek-aspek yang digali,
kemudian dibandingkan dengan keadaan sebelum dilaksanakannya kegiatan. Misalnya
melihat dampak dari suatu pelaksanaan proyek sebelum dan sesudah proyek dilaksanakan.
Unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam mendesain dengan metoda ini adalah upayakan
referensi waktu yang akan digunakan tidak jauh dari survey dilaksanakan. Jika semakin jauh,
maka disanksikan responden akan mengingatnya.
4. Metode Prospektif
Metode prospektif berbeda dengan metode retrospektif. Pada metode prospektif unsur-
unsur yang dikaji adalah bagaimana harapan ke depan dari aspek aspek yang ingin kita gali.
Dapat saja kita ingin menggali opini masyarakat jika pemerintah ingin melakukan suatu
kegiatan.jadi unsur yang paling penting untuk digali adalah aspek kualitatif dari penerapan
proyek dan perkiraanperkiraan yang akan diberikan oleh calon responden.
Program kesehatan yang telah dijalankan diharapkan memberi dampak yang positif bagi
kualitas hidup masyarakat terutama kualitas kesehatan. Manajer program kesehatan dapat
mengukur dampak kesehatan dengan menggunakan metode pengukuran epidemiologi atau
metode evaluasi ekonomis.
Pelaksanaan evaluasi program kesehatan merupakan model evaluasi yang berjalan secara
siklus (tidak berhenti di satu titik, tetapi terus berjalan) dan komponen masing-masing tahap
evaluasi tidak berdiri sendiri atau saling bergantung dan saling mempengaruhi.

Resume Pertemuan 14

MEMBANGUN SISTEM KEWASPADAAN DINI PADA PENYAKIT BERBASIS


LINGKUNGAN
Seperti pada definisi wabah, maka upaya pencegahan yang dilakukan selama ini adalah upaya
bagaimana mencegah kondisi wabah agar tidak terjadi. Oleh karena itu upaya yang dilakukan
selama ini adalah bagaimana menangani terjadinya KLB (kondisi sebelum wabah terjadi) di
Indonesia. Bahkan dalam pelaksanaanya upaya pencegahan tersebut dilakukan jauh lebih
awal yaitu mencegah agar KLB tidak terjadi, melalui Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian
Luar Biasa (SKD-KLB). Penyelenggaraan SKDKLB secara jelas telah diatur dalam
PERMENKES No. 949/Menkes/SK/VIII/2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistim
Kewaspadaan Dini KLB. Kegiatan SKD KLB secara umum meliputi:
1. Kajian Epidemiologi Ancaman KLB
Untuk mengetahui adanya ancaman KLB, maka dilakukan kajian secara terus menerus
dan sistematis terhadap berbagai jenis penyakit berpotensi KLB dengan menggunakan
bahan kajian :
a. data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB,
b. kerentanan masyarakat, antara lain status gizi dan imunisasi,
c. kerentanan lingkungan,
d. kerentanan pelayanan kesehatan,
e. ancaman penyebaran penyakit berpotensi KLB dari daerah atau negara lain, serta
f. sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi.
1. Peringatan Kewaspadaan Dini KLB
Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya peningkatan KLBpada daerah tertentu
dibuat untuk jangka pendek (periode 3-6 bulanyang akan datang) dan disampaikan kepada
semua unit terkait di Dina sKesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi,
Departemen Kesehatan, sektor terkait dan anggota masyarakat, sehingga
mendorongpeningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB di UnitPelayanan
Kesehatan dan program terkait serta peningkatankewaspadaan masyarakat perorangan dan
kelompok. Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga dilakukan terhadap penyakit
berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5 tahun yang akan datang), agar terjadi
kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat menjadi acuan perumusan perencanaan strategis
program penanggulangan KLB.
2. Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB
Kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB meliputi peningkatan kegiatan surveilans
untuk deteksi dini kondisi rentan KLB; peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini
KLB; penyelidikan epidemiologi adanya dugaan KLB; kesiapsiagaan menghadapi KLB dan
mendorong segera dilaksanakan tindakan penanggulangan KLB.
Upaya penanggulangan KLB dilaksanakan dengan tujuan untuk memutus rantai penularan
sehingga jumlah kesakitan, kematian maupun luas daerah yang terserang dapat ditekan
seminimal mungkin. Dalam operasionalnya maka kegiatan penanggulangan selalu disertai
kegiatan penyelidikan yang selanjutnya digunakan istilah penyelidikan dan penanggulangan
KLB. Upaya penyelidikan dan penanggulangan secara garis besar meliputi:
a. Persiapan Penyelidikan dan Penanggulangan KLB
Persiapan penyelidikan dan penanggulangan KLB meliputi persiapan administrasi,
tim penyelidikan epidemiologi, bahan logistik dan bahan laboratorium serta rencana
kerja penyelidikan epidemiologi KLB. Pelaksanaan penyelidikan epidemiologi KLB
bekerjasama dengan unit kesehatan terkait setempat, dapat melakukan wawancara,
pemeriksaan medis dan laboratorium terhadap penderita, pemeriksaan orang-orang
yang mendapat serangan penyakit, pemeriksaan sumber-sumber penyebaran penyakit,
pemeriksaan data perawatan penderita di unitunit pelayanan kesehatan, pemeriksaan
data perorangan, sekolah, asrama, dan tempat-tempat lainnya yang berhubungan
dengan penyebaran penyakit dengan memperhatikan etika pemeriksaan medis dan
etika kemasyarakatan setempat.
b. Memastikan adanya KLB
Kepastian adanya suatu KLB berdasarkan pengertian dan kriteria kerja KLB yang
secara formal ditetapkan oleh Bupati/Walikota atas rekomendasi teknis Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, baik bersumber data kesakitan dan atau data kematian
yang ada di masyarakat, maupun bersumber data kesakitan dan atau kematian yang
ada di unit-unit pelayanan penderita serta hasil pemeriksaan laboratorium.
c. Menegakkan Etiologi KLB
Etiologi suatu KLB dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis penderita
perorangan, gambaran klinis kelompok, gambaran epidemiologi dan hasil
pemeriksaan laboratorium atau alat penunjang pemeriksaan lainnya.
d. Identifikasi Gambaran Epidemiologi KLB
Gambaran epidemiologi lain dapat dibuat berdasarkan pengelompokan tertentu sesuai
dengan kebutuhan untuk mengetahui etiologi KLB, besar masalah KLB dan menjadi
dasar membangun hipotesis sumber dan cara penyebaran penyakit.
e. Mengetahui Sumber dan Cara Penyebaran KLB
Cara untuk mengetahui sumber dan cara penyebaran penyakit adalah berdasarkan
metode epidemiologi deskriptip, analitik dan kesesuaianhasil pemeriksaan
laboratorium antara penderita dan sumber penyebaran penyakit yang dicurigai.
f. Menetapkan Cara-Cara Penanggulangan KLB
Cara-cara penanggulangan KLB meliputi upaya-upaya pengobatan yang tepat
terhadap semua penderita yang ada di unit-unit pelayanan kesehatan dan di lapangan,
upaya-upaya pencegahan dengan menghilangkan atau memperkecil peran sumber
penyebaran penyakit atau memutuskan rantai penularan pada KLB penyakit menular.
g. Rekomendasi
Rekomendasi merupakan salah satu tujuan penting dari suatu penyelidikan dan
penanggulangan KLB. Rekomendasi berisi cara-cara penanggulangan KLB yang
sedang berlangsung, usulan penyelidikan dan penanggulangan KLB lebih luas dan
atau lebih teliti, dan upaya penanggulangan KLB dimasa yang akan datang.
Perumusan suatu rekomendasi berdasarkan fakta hasil penyelidikan dan
penanggulangan KLB, merujuk hasil-hasil penelitian dan pembahasan para ahli
terhadap masalah yang sama atau berkaitan, kemampuan upaya penanggulangan KLB
dan kondisi kelompok populasi yang mendapat serangan KLB.

Resume Pertemuan 15

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB DAN SURVEILAN PENYAKIT BERBASIS


LINGKUNGAN
A. TATA CARA PELAKSANAAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN
KLB
Dalam melakukan penyelidikan dan penanggulangan KLB penyakit menular dapat
dilaksanakan dengan beberapa tahapan. Tahapan tersebut dapat dilakukan secara
bersamaan, yang terpenting dalam tahapan kegiatan dipastikan memuat seluruh unsur-
unsur dalam pelaksanaannya. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Menegakkan atau Memastikan Diagnosis
Untuk membuat penghitungan kasus secara teliti guna keperluan analisis di tahapan
berikutnya maka perlu memastikan diagnosis dari kasus-kasus yang dilaporkan
terhadap KLB yang dicurigai.
Diagnosis yang didasarkan atas pemeriksaan klinis saja mudah salah, sering tanda
atau gejala dari banyak penyakit adalah tidak begitu khas untuk dapat menegakkan
suatu diagnosis. Beberapa faktor penyulit lain seperti banyak penderita tidak
memperlihatkan sindroma yang khas bagi penyakit mereka, serta dimungkinkan
banyak serotipe dari spesies penyebab penyakit menular terdapat secara bersamaan di
masyarakat. Oleh karena itu, bila mungkin harus dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan diagnosis. Namun karena beberapa konfirmasi laboratorium
membutuhkan waktu, maka kriteria tanda-tanda dan gejala-gejala suatu penyakit
seperti pada daftar dibawah dapat dipertimbangkan untuk menetapkan diagnosis
lapangan. Selanjutnya dapat ditetapkan orang-orang yang memenuhi kriteria/gejala
berdasarkan diagnos is lapangan dapat dikategorikan sebagai kasus, sebaliknya
orangorang yang tidak memenuhi kriteria/gejala dapat dikeluarkan dari kasus.
b. Memastikan Terjadinya KLB
Dalam membandingkan insiden penyakit berdasarkan waktu harus diingat bahwa
beberapa penyakit dalam keadaan biasa (endemis) dapat bervariasi menurut waktu
pola temporal penyakit)
c. Menghitung jumlah kasus/angka insidens yang tengah berjalan
Apabila dicurigai terjadi suatu KLB, harus dilakukan penghitungan awal dari kasus-
kasus yang tengah berjalan (orang-orang yang infeksinya atau keracunannya terjadi di
dalam periode KLB) untuk memastikan adanya frekuensi kasus baru yang
"berlebihan". Pada saat penghitungan awal itu mungkin tidak terdapat cukup
informasi mengenai setiap kasus untuk memastikan diagnosis. Dalam keadaan ini,
yang paling baik dilakukan adalah memastikan bahwa setiap kasus benar-benar
memenuhi kriteria kasus yg telah ditetapkan.
Konfirmasi hasil pemeriksaan penunjang sering memerlukan waktu yang lama, oleh
karena pada penyelidikan KLB pemastian diagnostik ini sangat diperlukan untuk
keperluan identifikasi kasus dan kelanjutan penyelidikan ini maka pada tahap ini
paling tidak dibuat distribusi frekuensi gejala klinis
d. Menggambarkan karakteristik KLB
Seperti disebutkan di atas, KLB sebaiknya dapat digambarkan menurut variabel
waktu, tempat dan orang. Penggambaran ini harus dibuat sedemikian rupa sehingga
dapat disusun hipotesis mengenai sumber, cara penularan, dan lamanya KLB
berlangsung. Untuk dapat merumuskan hipotesis-hipotesis yang diperlukan, informasi
awal yang dikumpulkan dari kasus-kasus harus diolah sedemikian rupa sehingga
dapat menjawab pertanyaan.
e. Mengidentifikasikan Sumber dari Penyebab Penyakit dan Cara Penularannya
Untuk mengidentifikasikan sumber dan cara penularan dibutuhkan lebih dari satu kali
siklus perumusan dan pengujian hipotesis. Hipotesis adalah adalah suatu pernyataan,
keadaan atau asumsi "dugaan yang terbaik" dari peneliti, dengan menggunakan
informasi yang tersedia, yang menjelaskan terjadinya suatu peristiwa. Dalam
hubungan dengan penyelidikan KLB biasanya hipotesis dirumuskan sekitar penyebab
penyakit yang dicurigai, sumber infeksi, periode paparan, cara penularan, dan
populasi yang telah terpapar atau mempunyai risiko akan terpapar. Tergantung dari
jenis, jumlah dan kualitas informasi yang dapat diperoleh peneliti, hipotesis dapat
berbicara tentang salah satu atau beberapa hal di atas sekaligus. Tujuan hipotesis
adalah untuk memberikan dasar yang logis untuk merencanakan dan melaksanakan
berbagai penyelidikan yang diperlukan untuk mencapai tujuan penyelidikan KLB
(penanggulangan KLB) dapat tercapai. Oleh karena itu, hipotesis harus dirumuskan
demikian rupa sehingga dapat diuji, dan hasil pengujiannya dapat memberikan
jawaban yang jelas tentang benar/tidaknya hipotesis itu.
f. Mengidentifikasikan Populasi yang Mempunyai Peningkatan Risiko Infeksi
Apabila sumber dan cara penularan telah dipastikan, maka orang-orang yang
mempunyai risiko paparan yang meningkat harus ditentukan, dan tindakan-tindakan
penanggulangan serta pencegahan yang sesuai harus dilaksanakan. Siapa yang
sesungguhnya mempunyai risiko paparan meningkat tergantung pada penyebab
penyakit, sifat sumbernya, cara penularannya, dan berbagai ciri-ciri orang- orang
rentan yang meningkatkan kemungkinannya terpapar.
g. Melaksanakan Tindakan Penanggulangan
Apabila ciri-ciri umum dari populasi risiko tinggi telah digambarkan seperti pada
tabel di atas, maka perlu ditentukan tindakan penanggulangan dan pencegahan mana
yang sesuai untuk populasi yang bersangkutan. Tindakan penanggulangan yang
kemudian dilaksanakan mungkin ditujukan kepada salah satu atau semua dari hal-hal
berikut (serta lainnya) : sumber infeksi, sumber penularan, alat/cara penularan, orang-
orang rentan yang mempunyai risiko paparan tinggi.
h. Laporan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa
Tujuan pokok dari laporan penyelidikan ialah untuk meningkatkan kemungkinan agar
pengalaman dan penemuan-penemuan yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebaik-
baiknya untuk mendesain dan menerapkan teknik-teknik surveilans yang lebih baik
serta tindakan pencegahan dan penanggulangan.
B. KEGIATAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB
Penyelidikan KLB adalah kegiatan yang dilaksanakan pada suatu KLB atau adanya
dugaan adanya suatu KLB untuk memastikan adanya KLB, mengetahui penyebab,
gambaran epidemiologi, sumber-sumber penyebaran dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya serta menetapkan cara- cara penanggulangan yang efektip dan efisien.
Pelaksanaan penyelidikan KLB adalah :
a. Pada saat pertama kali mendapat informasi adanya KLB atau adanya dugaan KLB
b. Penyelidikan perkembangan KLB atau penyelidikan KLB lanjutan
c. Penyelidikan KLB untuk mendapatkan data epidemiologi KLB atau penelitian lainnya
yang dilaksanakan sesudah KLB berakhir
Penyelidikan epidemiologi KLB dimanfaatkan untuk melaksanakan upaya-upaya
penanggulangan suatu KLB yang sedang berlangsung, dan atau untuk mendapatkan data
epidemiologi serta gambaran pelaksanaan upaya-upaya penanggulangan KLB yang
dimanfaatkan sebagai bahan referensi dalam penanggulangan KLB di masa yang akan
datang.
Cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan penyelidikan KLB antara lain :
a. Desain penyelidikan KLB. Apabila terdapat beberapa sasaran dan beberapa desain
penyelidikan KLB, maka masing-masing sasaran dan desain penyelidikan perlu
dijelaskan dengan sistematis.
b. Daerah penyelidikan KLB, populasi dan sampel penyelidikan KLB
c. Cara mendapatkan dan mengolah data primer dan data sekunder
d. Cara melakukan analisis
Mendekatkan upaya pelayanan pengobatan sedekat mungkin dengan penderita, Pada saat
terjadi KLB, penyelenggaraan pelayanan pengobatan merupakan kegiatan pertama yang
segera dilakukan oleh petugas terdekat, terutama di Puskesmas dan Rumah Sakit. Kegiatan
pelayanan pengobatan adalah sebagai berikut :
a. Mendekatkan upaya pelayanan pengobatan sedekat mungkin dengan penderita
terutama dengan mendirikan pos kesehatan.
b. Melengkapi pos-pos kesehatan dengan tenaga, obat dan peralatan yang memadai,
termasuk peralatan pengambilan spesimen jika diperlukan
c. Menyediakan saran pencatatan penderita berobat
d. Menggalang peran serta pejabat dan tokoh setempat untuk menjelaskan pada
masyarakat tentang :
e. KLB yang sedang terjadi, gejala penyakit dan tingkat bahayanya
f. Tindakan anggota masyarakat terhadap penderita, termasuk rujukannya
g. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat
h. Upaya penanggulangan yang akan dilakukan oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan,
termasuk distribusi bahan-bahan pertolongan dan penanggulangan KLB yang dapat
dilakukan oleh masyarakat.
Upaya pencegahan perluasan KLB meliputi kegiatan :
a. Pengobatan penderita sebagai sumber penularan penyakit penyebab KLB
b. Perbaikan kondisi lingkungan sebagai sumber penyebaran penyakit
c. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan perbaikan gizi dan imunisasi.
Surveilans ketat pada KLB merupakan kegiatan surveilans dalam kondisi darurat yang
dimanfaatkan untuk mendukung upaya penanggulangan KLB. Surveilans ketat pada KLB
juga dimanfaatkan untuk mendapatkan data perkembangan KLB.
Sumber data surveilans ketat pada KLB adalah :
a. Data kunjungan berobat
b. Data kasus pada register harian rawat jalan dan rawat inap pos-pos kesehatan,
puskesmas dan rumah sakit
c. Data lapangan
Berdasarkan sasaran penyelenggaraan, Surveilans Kesehatan terdiri atas:
a. surveilans penyakit menular;
b. surveilans penyakit tidak menular;
c. surveilans kesehatan lingkungan;
d. surveilans kesehatan matra;dan
e. surveilans masalah kesehatan lainnya.
Surveilans kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada peraturan menteri kesehatan
republic Indonesia nomor 45 tahun 2014 tentang penmyelenggaraan surveilans kesehatan
a. surveilans sarana air bersih;
b. surveilans tempat-tempat umum;
c. surveilans pemukiman dan lingkungan perumahan;
d. surveilans limbah industri, rumah sakit dan kegiatan lainnya;
e. surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit;
f. surveilans kesehatan dan keselamatan kerja; dan
g. surveilans infeksi yang berhubungan dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan merupakan prasyarat program kesehatan dan
bertujuan untuk
a. tersedianya informasi tentang situasi, kecenderungan penyakit, dan faktor risikonya
serta masalah kesehatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai
bahan pengambilan keputusan;
b. terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB/Wabah
dan dampaknya;
c. terselenggaranya investigasi dan penanggulangan KLB/Wabah; dan
d. dasar penyampaian informasi kesehatan kepada para pihak yang berkepentingan
sesuai dengan pertimbangan kesehatan.

Sasaran penyelenggaraan Surveilans Kesehatan meliputi program kesehatan yang


ditetapkan berdasarkan prioritas nasional, spesifik lokal atau daerah, bilateral, regional dan
global, serta program lain yang dapat berdampak terhadap kesehatan.
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan dilakukan melalui pengumpulan data, pengolahan
data, analisis data, dan diseminasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk
menghasilkan informasi yang objektif, terukur, dapat diperbandingkan antar waktu, antar
wilayah, dan antar kelompok masyarakat sebagai bahan pengambilan keputusan harus
mampu memberikan gambaran epidemiologi yang tepat berdasarkan dimensi waktu, tempat
dan orang. Pelaksanaan Surveilans Kesehatan dapat diperkuat dengan uji laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan harus didukung dengan tersedianya: sumber daya
manusia yang memiliki kompetensi di bidang epidemiologi, pendanaan yang memadai; dan
sarana dan prasarana yang diperlukan termasuk pemanfaatan teknologi tepat guna. Standar
kompetensi sumber daya manusia di bidang epidemiologi oleh organisasi profesi ahli
epidemiologi yang diakui pemerintah.
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan harus sesuai dengan indikator kinerja surveilans
Indikator kinerja surveilans meliputi kelengkapan laporan, ketepatan laporan dan indicator
kinerja surveilans
Perkembangan dan akses media yang begitu luas dan cepat sampai ke pelosok desa dan
daerah terpencil memberikan kesempatan terhadap perubahan sistem surveilans kesehatan.
Pendekatan Surveilans Kesehatan berbasis kejadian di masyarakat telah dikembangkan untuk
mendapatkan data dan informasi dari berita yang direkam dan dimuat di media massa, media
sosial dan media online. Hal ini meningkatkan sensivitas Surveilans Kesehatan untuk
menangkap informasi dengan cakupan yang luas dan cepat.
Secara umum Surveilans Kesehatan diperlukan untuk menjamin tersedianya data dan
informasi epidemiologi sebagai dasar pengambilan keputusan dalam manajemen kesehatan.
Dalam pelaksanaan Surveilans Kesehatan diperlukan harmonisasi secara lintas program dan
lintas sektor yang diperkuat dengan jejaring kerja surveilans kesehatan.
Monitoring Surveilans Kesehatan dilaksanakan secara berkala untuk mendapatkan
informasi atau mengukur indikator kinerja kegiatan. Monitoring dilaksanakan sebagai bagian
dalam pelaksanaan surveilans yang sedang berjalan. Disamping itu monitoring akan
mengawal agar tahapan pencapaian tujuan kegiatan sesuai target yang telah ditetapkan. Bila
dalam pelaksanaan monitoring ditemukan hal yang tidak sesuai rencana, maka dapat
dilakukan koreksi dan perbaikan pada waktu yang tepat.
Evaluasi dilaksanakan untuk mengukur hasil dari Surveilans Kesehatan yang telah
dilaksanakan dalam perode waktu tertentu. Disebabkan banyaknya aspek yang berpengaruh
dalam pencapaian suatu hasil, maka evaluasi objektif harus dapat digambarkan dalam menilai
suatu pencapaian program. Peran dan kontribusi Surveilans Kesehatan terhadap suatu
perubahan dan hasil program kesehatan harus dapat dinilai dan digambarkan dalam proses
evaluasi.

Anda mungkin juga menyukai