PRODUKTIVITAS PERAIRAN
DISUSUN OLEH :
Dalam studi ini kami mengadakan survey synoptic dengan perahu tempel untuk
mengambil data secara langsung dari Chlorotech probe (Chlorotec, type AAQ1183, Alec
Electronics) dan pengukuran kecerahan perairan dengan sechi disk serta pengambilan sampel air
untuk menganalisa nilai TDS dan TSS nya. Teknik pengukuran mengunakan probe adalah
dengan cara menurunkan probe secara perlahan dari permukaan air ke badan air hingga
mencapai dasar perairan.
Produktivitas perairan Danau Porodisa lebih tinggi dibanding dengan Danau Surya
ditinjau dari nilai TSS dan analisis MEI. MEI analisis efektif digunakan untuk penentuan status
produktivitas suatu perairan, namun untuk penentuan keperuntukan perairan masih diperlukan
analisis labolatorium lebih lanjut tentang kandungan zat terlarut dan tersuspensi yang terkandung
dalam badan periaran tersebut.
Kelebihan pada jurnal ini dapat mengetahui cara Penentuan Produktivitas Danau Buatan
dengan MEI (Morphoedaphic Index) dan mengetahui hasil penelitian ini dan Kekekurangannya
yaitu banyak kata yang sulit di mengerti dan penjelasanya kurang jelas.
Jurnal 2 : ”PENGARUH DURASI DAN INTENSITAS UPWELLING BERDASARKAN
ANOMALI SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP VARIABILITAS
PRODUKTIVITAS PRIMER DI PERAIRAN INDONESIA”
Lokasi yang dianalisis antara lain perairan barat Sumatera, perairan selatan Jawa Timur
sampai Nusa Tenggara Timur, Laut Banda, Teluk Bone, Laut Maluku, dan Laut Halmahera.
Hasil menunjukkan bahwa selatan Jawa Timur dan Laut Banda yang memiliki durasi lebih
panjang (3–4 bulan) dan intensitas lebih tinggi (anomali SST mencapai >-2 oC di bawah rata-
rata), menghasilkan produktivitas primer yang paling tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Laut
Halmahera memperlihatkan adanya upwelling hanya pada waktu tertentu seperti saat terjadinya
El-Niño, sedangkan Teluk Bone dan Laut Maluku memperlihatkan terjadinya upwelling setiap
musim timur dengan durasi hanya 2–3 bulan dan intensitas upwelling yang bervariasi,
ditunjukkan dengan penurunan temperatur berkisar 0,5–1,8 oC di bawah rata-rata. Adanya
fenomena El-Niño dan dipole mode positif yang terjadi di perairan Indonesia umumnya
menyebabkan durasi upwelling yang lebih lama dan intensitas upwelling meningkat sehingga
menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun normal.
Jurnal 3 : “TINGKAT PRODUKTIVITAS BUDIDAYA RUMPUT LAUT PADA
PERAIRAN PANTAI DI KECAMATAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG”
Dari hasil penelitian mengenai parameter perairan pantai untuk budidaya rumput laut
menunjukkan bahwa wilayah tersebut sangat baik untuk budidaya rumput laut. Dilihat dari
parameter perairan untuk budidaya rumput laut ada beberapa parameter yang mendukung
budidaya rumput laut di Kecamatan Nusa Penida yaitu suhu sekitar 26-30o C, arus yang cocok
0,2-0,4 m/detik, salinitas yang baik 28-33 ppt, kedalaman mencapai 0-30 cm, dan kecerahan 2-5
m dan Dari hasil penelitian mengenai tingkat produktivitas budidaya rumput laut terhadap
pendapatan petani di Kecamatan Nusa Penida menunjukkan bahwa ketiga desa yang dijadikan
sampel penelitian memiliki tingkat produktivitas yang berbeda-beda.
Kelemahan dari data yang disajikan kurang lengkap dan kelebihannya yaitu mudah untuk
dipahami isi dari jurnal.
Jurnal 4 : “BIOPROSPEKTIF PERAIRAN BERDASARKAN PRODUKTIVITAS: STUDI
KASUS ESTUARI SUNGAI SERAYU CILACAP, INDONESIA”
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey dan purposive sampling.
Estuari Sungai Serayu dibagi menjadi 5 stasiun dimulai dari stasiun terdekat dengan laut (Stasiun
1) dengan salinitas 26 ‰ dan stasiun terjauh dari laut (Stasiun 5) dengan salinitas 8 ‰. Sampel
air dan plankton diambil pada saat pasang tertinggi dan surut terendah pada Agustus hingga
November 2016. Data yang diperoleh yaitu kekayaan dan kelimpahan plankton dianalisis secara
deskriptif dan mengkaji pengaruh faktor lingkungan terhadap produktivitas primer dan sekunder
menggunakan PCA.
Dilihat dari dampak kegiatan budidaya keramba jaring apung tersebut maka diperlukan
penelitian terhadap status kualitas perairan khususnya mengenai produktivitas primer perairan di
Waduk Darma, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
dampak dari kegiatan budidaya ikan keramba jaring apung terhadap produktivitas primer serta
pengaruh dari parameter fisik-kimiawi perairan terhadap produktivitas primer di Waduk Darma.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai status dari produktivitas
primer perairan Waduk Darma serta dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan sebagai dasar bagi pengelolaan dan pemanfaatan perairan Waduk Darma, Kabupaten
Kuningan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan menggunakan
teknik pengambilan sampel purposive sampling, dengan penentuan stasiun pengambilan sampel
berdasarkan faktor masuknya bahan organik.
Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA) di
Waduk Darma berpengaruh terhadap produktivitas primer fitoplankton, hal ini ditunjukkan
dengan nilai rata-rata produktivitas primer pada lokasi penelitian kepadatan KJA tertinggi
sebesar 1161,74 mgC/m3/hari dan pada lokasi dengan kepadatan KJA terendah sebesar 1195,52
mgC/m3/hari. Sedangkan pada inlet waduk memiliki nilai rata-rata 575,24 mgC/m3/hari dan
outlet waduk memiliki nilai rata-rata 851,13 mgC/m3/hari. Namun peningkatan jumlah KJA
tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan produktivitas primer. Kualitas perairan
berada dalam kondisi stabil, dalam arti beberapa parameter yang mempengaruhi produktivitas
primer tersebut masih dalam kisaran optimum dalam mendukung kegiatan budidaya perikanan.
Beberapa parameter tersebut adalah konsentrasi amonia, konsentrasi nitrat, dan konsentrasi
fosfat.
Jurnal 6 : “RODUKTIVITAS ALAT TANGKAP PADA OPERASI PENANGKAPAN
UDANG DI KABUPATEN PANGANDARAN SELAMA TAHUN 2015-2019 “
Banyak faktor yang mempengaruhi penangkapan dengan bubu apung, seperti waktu
perendaman, tingkat kejenuhan alat, habitat, desain bubu, dan penggunaan umpan (Isnawati et
al . 2020). Martasuganda (2008), semua jenis perangkap bekerja dengan cara yang hampir sama.
Beberapa perangkap dipasang secara individual (instalasi sistem tunggal) dan lainnya dipasang
dalam rantai (instalasi sistem longline ). Waktu pemasangan ( installation ) dan pengangkatan
(transportasi) adalah pagi, siang dan sore hari. Menurut Noer (2011), perendaman selama tiga
hari, empat hari dan lima hari memiliki efek yang berbeda pada tangkapan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberi dampak yang bermanfaat secara akademik dan praktis yaitu
memberikan penyuluhan berupa seminar kepada nelayan, petani dan pelaku usaha perikanan
tentang kegiatan perikanan tangkap dengan harapan para nelayan dapat menggunakan bubu
apung menjadi alat tangkap alternatif untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal dan
ramah lingkungan, memberi sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan berupa
publikasi jurnal ilmiah terakreditasi SINTA, kebaruan dari penelitian ini adalah pemanfaatan
bubu apung dengan lama perendaman yang berbeda di Teluk Tapian Nauli. Untuk itu dilakukan
penelitian ini yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas bubu apung serta mengetahui
waktu dan lama perendaman bubu yang terbaik.
Survei dilakukan di Teluk Tapian Nouli dari 11 Januari hingga 30 Oktober 2021.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode eksperimen, wawancara, dan studi kepustakaan.
Penelitian ini dilakukan pada pembuatan bubu apung dengan menggunakan atraktor yang
berbeda, dan penelitian selanjutnya memperlakukan bubu dengan tiga jenis waktu perendaman
yang berbeda.
Hasil tangkapan paling banyak pada bubu apung dengan lama perendaman 6 hari yaitu
sebanyak 15 ekor, jenis ikan adalah ikan baronang, ikan tanda, dan ikan jarang gigi.
Jurnal 8 : ”PRODUKTIVITAS BIOMASA MAKROALGA DI PERAIRAN PULAU
AMBALAU, KABUPATEN BURU SELATAN”
Perairan Pulau Ambalau adalah merupakan suatu perairan yang berada di wilayah
Kabupaten Buru Selatan, Propinsi Maluku. Di Perairan ini telah ditemukan berbagai jenis biota
laut satu diantaranya adalah rumput laut. Perubahan garis pantai akibat faktor alamiah, seperti
angin, ombak, dan arus yang sekaligus menjadi faktor pemicu perubahan hábitat, khususnya di
kawasan pesisir. Kondisi ini turut diperburuk dengan lajunya pembangunan di kawasan pesisir,
seperti penambangan pasir, pembangunan dermaga, pariwisata, dan kegiatan transportasi yang
dapat mengakibatkan fungsi ekosistem wilayah pesisir menjadi menurun dan daya dukung
terhadap keberadaan dan kehidupan. potensi sumberdaya laut juga semakin tertekan. Hal ini
lebih banyak dialami di perairan pantai Ulima, Lumoy, dan Kampung Baru yang telah terjadi
perubahan ekosistem pesisir perairan, seperti abrasi pantai, rusaknya ekosistem mangrove
maupun lamun (seagrass). Kondisi ini tentunya turut mempengaruhi kehidupan dan keberadaan
sumberdaya laut yang ada di alam, terutama makro alga Hasil penelitian ini sangat diperlukan
untuk mengetahui status terkini potensi sumberdaya laut dan lingkungan di perairan Pulau
Ambalau, Kabupaten Buru Selatan dan sekitarnya. Data dan informasi ini sangat diperlukan bagi
kepentingan dalam melaksanakan perencanaan pengembangan wilayah ke depan yang terkait
dengan pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya laut di wilayah pesisir. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui: (1) keragaman jenis dan kepadatan makro alga pada setiap stasiun
penelitian, (2) frekuensi kehadiran dan nilai dominasi makro alga pada setiap stasiun penelitian,
dan (3) sebaran parameter kualitas di perairan pantai Pulau Ambalau.
Pengumpulan data dengan metode transek kuadrat dan koleksi dilakukan pada bulan
Oktober-November 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah pantai Masawoy
memiliki keragaman jenis, kepadatan, Frekuensi kehadiran, dan nilai dominasi makro alga
tertinggi dengan 33 jenis dari 20 marga yang terdiri dari 14 jenis makro alga hijau, 10 jenis
makro alga merah, dan 9 jenis makro alga coklat. Marga makro alga yang dominan adalah
Caulerpa, Halimeda, Gracilaria, Acanthophora, Sargassum dan Padina. Tingginya keragaman,
kepadatan, frekuensi, dan dominansi makro alga di pantai Masawoy disebabkan oleh kondisi
habitat di perairan ini masih dalam kondisi yang relatif lebih baik yang terdiri dari pecahan
karang mati, pasir, karang hidup dengan vegetasi tumbuhan lamun yang didominasi oleh jenis
Thalasia hemprizii dan Enhalus acuroides. Sedangkan kondisi habitat pada lokasi lainnya telah
mengalami kerusakan yang cukup parah yang didominasi oleh bongkahan dan pecahan karang
mati. Kondisi lingkungan dalam lokasi penelitian masih berada dalam batas yang layak
mendukung pertumbuhan makro alga.