Anda di halaman 1dari 11

TUGAS RESUME

PRODUKTIVITAS PERAIRAN

DISUSUN OLEH :

NAMA : NUR ANISA


NIM : 19110015

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SINJAI
TAHUN 2021/2022
Jurnal 1 : ”STUDI PENENTUAN PRODUKTIVITAS DANAU BUATAN DENGAN MEI
(MORPHOEDAPHIC INDEX) ANALYSIS”

Kecerahan/kekeruhan merupakan ukuran transparansi suatu perairan, yang ditentukan


secara visual dengan menggunakan sechi disk.visual dengan menggunakan sechi disk.
Kecerahan/ kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya
cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam badan air.
Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut,
maupun bahan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1976; Davis dan
Cornwell, 1991). Salah satu metode yang efisien untuk menilai produktivitas perairan adalah
dengan menghitung ratio antara padatan terlarut dengan rata-rata kedalaman perairan, yang
nilainya dinyatakan dengan indek MEI. Kisaran indek ini kemudian dibandingkan dengan tabel
indek MEI yang disertai diskripsi tingkatan produktivitas perairan.Dalam jurnal ini, penulis akan
menerapkan metode penentuan produktivitas perairan suatu waduk buatan bekas tambang batu
bara dengan menggunakan indek MEI ini.

Dalam studi ini kami mengadakan survey synoptic dengan perahu tempel untuk
mengambil data secara langsung dari Chlorotech probe (Chlorotec, type AAQ1183, Alec
Electronics) dan pengukuran kecerahan perairan dengan sechi disk serta pengambilan sampel air
untuk menganalisa nilai TDS dan TSS nya. Teknik pengukuran mengunakan probe adalah
dengan cara menurunkan probe secara perlahan dari permukaan air ke badan air hingga
mencapai dasar perairan.

Produktivitas perairan Danau Porodisa lebih tinggi dibanding dengan Danau Surya
ditinjau dari nilai TSS dan analisis MEI. MEI analisis efektif digunakan untuk penentuan status
produktivitas suatu perairan, namun untuk penentuan keperuntukan perairan masih diperlukan
analisis labolatorium lebih lanjut tentang kandungan zat terlarut dan tersuspensi yang terkandung
dalam badan periaran tersebut.

Kelebihan pada jurnal ini dapat mengetahui cara Penentuan Produktivitas Danau Buatan
dengan MEI (Morphoedaphic Index) dan mengetahui hasil penelitian ini dan Kekekurangannya
yaitu banyak kata yang sulit di mengerti dan penjelasanya kurang jelas.
Jurnal 2 : ”PENGARUH DURASI DAN INTENSITAS UPWELLING BERDASARKAN
ANOMALI SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP VARIABILITAS
PRODUKTIVITAS PRIMER DI PERAIRAN INDONESIA”

Adanya proses upwelling disuatu perairan umumnya akan meningkatkan produktivitas


perairan. Namun besar pengaruh dari upwelling ini dapat berbeda berdasrkan tempat dan waktu.
Adanya perbedaan durasi (lama kejadian) dan intensitas (kekuatan) dari upwelling dapat
mempengaruhi variabilitas produktivitas primer wilayah perairan Indonesia. Estimasi
produktivitas primer pada periode Januari 2000 sampai Desember 2007 dilakukan menggunakan
Carbon-based Production Model (CbPM). Data Sea Surface Temperature (SST) Anomaly pada
periode yang sama digunakan sebagai indikator untuk menentukan kondisi upwelling. Tujuan
penelitian ini adalah mengkaji bagaimana intensitas (kekuatan) dan lama kejadian (durasi)
upwelling mempengaruhi tingkat produktivitas primer di beberapa perairan di Indonesia. Durasi
upwelling mengacu pada lama waktu kejadian upwelling di suatu wilayah perairan. Sedangkan
Intensitas upwelling mengacu pada tingkat penurunan temperatur permukaan oleh proses fisis
dan dinamis perairan, yang dapat diperkuat/diperlemah oleh fenomenafenomena seperti El
Niño/La NiñaSouthern Oscillation (ENSO) di Samudera Pasifik dan dipole mode (DM) di
Samudera Hindia.

Lokasi yang dianalisis antara lain perairan barat Sumatera, perairan selatan Jawa Timur
sampai Nusa Tenggara Timur, Laut Banda, Teluk Bone, Laut Maluku, dan Laut Halmahera.
Hasil menunjukkan bahwa selatan Jawa Timur dan Laut Banda yang memiliki durasi lebih
panjang (3–4 bulan) dan intensitas lebih tinggi (anomali SST mencapai >-2 oC di bawah rata-
rata), menghasilkan produktivitas primer yang paling tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Laut
Halmahera memperlihatkan adanya upwelling hanya pada waktu tertentu seperti saat terjadinya
El-Niño, sedangkan Teluk Bone dan Laut Maluku memperlihatkan terjadinya upwelling setiap
musim timur dengan durasi hanya 2–3 bulan dan intensitas upwelling yang bervariasi,
ditunjukkan dengan penurunan temperatur berkisar 0,5–1,8 oC di bawah rata-rata. Adanya
fenomena El-Niño dan dipole mode positif yang terjadi di perairan Indonesia umumnya
menyebabkan durasi upwelling yang lebih lama dan intensitas upwelling meningkat sehingga
menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun normal.
Jurnal 3 : “TINGKAT PRODUKTIVITAS BUDIDAYA RUMPUT LAUT PADA
PERAIRAN PANTAI DI KECAMATAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG”

Pengembangan budidaya rumput laut masih dilaksanakan sendiri-sendiri secara sektoral,


sehingga hasil dari budidaya rumput laut sering dipasarkan secara langsung kepada pedagang
pengepul dengan tingkat harga yang relatif rendah dibandingkan dengan penjualan yang
dilakukan oleh petani secara langsung ke pasar. Di sisi lain petani selalu berusaha untuk
meningkatkan hasil produksi rumput laut dengan harapan untuk menjual produksi rumput laut
pada tingkat harga yang dapat memberikan keuntungan guna dapat meningkatkan kesejahteraan
keluarganya. Saat ini petani rumput laut di Nusa Penida sangat membutuhkan bantuan dari
berbagai pihak yang berhubungan dengan budidaya rumput laut, termasuk pasar baru, karena
selama ini petani sangat terpuruk oleh permainan pengepul yang selalu menekan Untuk mengkaji
permasalahan tersebut maka digunakan teori sebagai berikut: (1) penjelasan mengenai budidaya
rumput laut. ada beberapa metode yang dikembangkan dalam budidaya rumput laut yaitu metode
dasar, metode lepas dasar, metode rakit, metode tali panjang dan metode tali gantung. (2)
penjelasan mengenai perairan pantai. Ada beberapa kondisi parameter perairan pantai yang
digunakan dalam budidaya rumput laut yaitu suhu, arus, salinitas, kedalaman dan kecerahan. (3)
produksi dan produktivitas. Menurut Nursid, (1997) mengemukakan bahwa produksi adalah
kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa atau kegiatan menambah nilai suatu
barang. Syarif (1990), mengartikan produktivitas sebagai perbandingan totalitas pengeluaran
pada waktu-waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tersebut. (4) pendapatan.
Menurut Kartasapoetra (1986), pendapatan merupakan jumlah barang-barang ataupun jasa yang
dapat dihasilkan setiap tahunnya, merupakan hasil produksi bersama-sama dari masyarakat yang
dapat diukur dengan uang dan masih merupakan pendapatan kotor, setelah dikurangi dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan barulah merupakan penghasilan bersih. Untuk menentukan tingkat
produktivitas budidaya rumput laut ditentukan pada parameter perairan yang mendukung
budidaya rumput laut, jumlah produksi dan jumlah pendapatan.

Dalam penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif. Berdasarkan permasalahan yang


telah dikemukakan pendeskripsian dilakukan terkait dengan parameter perairan pantai untuk
budidaya rumput laut serta tingkat produktivitas budidaya rumput laut. Pengumpulan data
menggunakan metoda observasi, pencatatan dokumen dan kuesioner, yang selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptitif kualitatif.

Dari hasil penelitian mengenai parameter perairan pantai untuk budidaya rumput laut
menunjukkan bahwa wilayah tersebut sangat baik untuk budidaya rumput laut. Dilihat dari
parameter perairan untuk budidaya rumput laut ada beberapa parameter yang mendukung
budidaya rumput laut di Kecamatan Nusa Penida yaitu suhu sekitar 26-30o C, arus yang cocok
0,2-0,4 m/detik, salinitas yang baik 28-33 ppt, kedalaman mencapai 0-30 cm, dan kecerahan 2-5
m dan Dari hasil penelitian mengenai tingkat produktivitas budidaya rumput laut terhadap
pendapatan petani di Kecamatan Nusa Penida menunjukkan bahwa ketiga desa yang dijadikan
sampel penelitian memiliki tingkat produktivitas yang berbeda-beda.

Kelemahan dari data yang disajikan kurang lengkap dan kelebihannya yaitu mudah untuk
dipahami isi dari jurnal.
Jurnal 4 : “BIOPROSPEKTIF PERAIRAN BERDASARKAN PRODUKTIVITAS: STUDI
KASUS ESTUARI SUNGAI SERAYU CILACAP, INDONESIA”

Perubahan tata guna Sungai Serayu mengakibatkan peningkatan material sedimentasi ke


badan perairan. Kekeruhannya akan terakumulasi pada daerah muara atau estuari yang akan
berdampak pada biota terutama plankton sebagai produktivitas primer dan produktivitas
sekunder. Penelitian ini bertujuan mengkaji bioprospektif perairan berdasarkan produktivitas
primer dan sekunder dengan menggunakan data kekayaan dan kelimpahan plankton serta
hubungan faktor lingkungan antara produktivitas perairan estuari Sungai Serayu Kabupaten
Cilacap.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey dan purposive sampling.
Estuari Sungai Serayu dibagi menjadi 5 stasiun dimulai dari stasiun terdekat dengan laut (Stasiun
1) dengan salinitas 26 ‰ dan stasiun terjauh dari laut (Stasiun 5) dengan salinitas 8 ‰. Sampel
air dan plankton diambil pada saat pasang tertinggi dan surut terendah pada Agustus hingga
November 2016. Data yang diperoleh yaitu kekayaan dan kelimpahan plankton dianalisis secara
deskriptif dan mengkaji pengaruh faktor lingkungan terhadap produktivitas primer dan sekunder
menggunakan PCA.

Berdasarkan hasil penelitian kelimpahan fitoplankton 4.106-28.875 ind.L-1, produktivitas


primer perairan dalam bentuk karbon 3,31-5,21 mg.C.m-2.d-1 dan kelimpahan zooplankton 259-
1036 ind.L-1, indikator tersebut dinilai kurang prospek untuk perikanan. Faktor lingkungan yang
memiliki hubungan posisitf terhadap produktivitas perairan estuari Sungai Serayu pada saat
pasang tertinggi maupun surut terendah yaitu tingkat kecerahan, kandungan TSS, dan pH.
Perairan estuari Sungai Serayu dinilai kurang prospek untuk perikanan berdasarkan produktivitas
primer dan produktivitas sekunder. Hubungan positif antara faktor lingkungan dengan kekayaan
dan kelimpahan plankton (produktivitas primer dan produktivitas sekunder) pada saat pasang
tertinggi dan surut terendah yaitu tingkat kecerahan, kandungan TSS, dan pH.
Jurnal 5 : “DAMPAK BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG TERHADAP
PRODUKTIVITAS PRIMER DI PERAIRAN WADUK DARMA KABUPATEN
KUNINGAN JAWA BARAT”

Dilihat dari dampak kegiatan budidaya keramba jaring apung tersebut maka diperlukan
penelitian terhadap status kualitas perairan khususnya mengenai produktivitas primer perairan di
Waduk Darma, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
dampak dari kegiatan budidaya ikan keramba jaring apung terhadap produktivitas primer serta
pengaruh dari parameter fisik-kimiawi perairan terhadap produktivitas primer di Waduk Darma.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai status dari produktivitas
primer perairan Waduk Darma serta dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan sebagai dasar bagi pengelolaan dan pemanfaatan perairan Waduk Darma, Kabupaten
Kuningan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan menggunakan
teknik pengambilan sampel purposive sampling, dengan penentuan stasiun pengambilan sampel
berdasarkan faktor masuknya bahan organik.

Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA) di
Waduk Darma berpengaruh terhadap produktivitas primer fitoplankton, hal ini ditunjukkan
dengan nilai rata-rata produktivitas primer pada lokasi penelitian kepadatan KJA tertinggi
sebesar 1161,74 mgC/m3/hari dan pada lokasi dengan kepadatan KJA terendah sebesar 1195,52
mgC/m3/hari. Sedangkan pada inlet waduk memiliki nilai rata-rata 575,24 mgC/m3/hari dan
outlet waduk memiliki nilai rata-rata 851,13 mgC/m3/hari. Namun peningkatan jumlah KJA
tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan produktivitas primer. Kualitas perairan
berada dalam kondisi stabil, dalam arti beberapa parameter yang mempengaruhi produktivitas
primer tersebut masih dalam kisaran optimum dalam mendukung kegiatan budidaya perikanan.
Beberapa parameter tersebut adalah konsentrasi amonia, konsentrasi nitrat, dan konsentrasi
fosfat.
Jurnal 6 : “RODUKTIVITAS ALAT TANGKAP PADA OPERASI PENANGKAPAN
UDANG DI KABUPATEN PANGANDARAN SELAMA TAHUN 2015-2019 “

Besarnya produksi udang di perairan Kabupaten Pangandaran tidak terlepas dari


produktivitas alat tangkap yang digunakan. Nilai produktivitas alat tangkap didapat dari hasil
pembagian antara jumlah bobot hasil tangkapan dengan jumlah upaya penangkapan. Menurut
Dewanti (2013) tujuan utama penangkapan yaitu untuk menghasilkan jumlah produksi yang
tinggi namun dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan agar tercipta perikanan tangkap
yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Riset ini dilakukan untuk mendukung upaya tersebut
serta dapat dijadikan sebagai dasar riset agar terciptanya perikanan yang berkelanjutan dengan
cara melihat kondisi sumberdaya udang dan produktivitas alat tangkap yang digunakan di
Kabupaten Pangandaran. tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui produktivitas alat
tangkap penangkap udang di Kabupaten Pangandaran. Riset dilaksanakan bulan Agustus-
Oktober 2019.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2019 di perairan Kabupaten


Pangandaran, Jawa Barat dengan fokus komoditas udang. Metode riset yang digunakan yaitu
metode studi kasus. Studi Kasus merupakan kegiatan ilmiah untuk mendalami suatu kejadian
secara terinci dan intensif, baik pada tingkat lembaga, kelompok maupun individu. Data yang
telah dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder.

Hasil penelitian menunjukan bahwa produksi udang mengalami fluktuasi kenaikan,


jumlah produksi udang terbesar terjadi pada tahun 2017 yaitu sebesar 965.877,40 kg. Terdapat
beberapa alat penangkapan ikan yang dioperasikan untuk menangkap udang di Kabupaten
Pangandaran yaitu jaring bernong sebanyak 459 unit, trammel net sebanyak 315 unit, pukat
pantai sebanyak 27 unit dan dogol sebanyak 25 unit. Jaring bernong yang dimaksud merupakan
alat tangkap bottom gillnet karena menangkap ikan demersal. Nilai produktivitas alat tangkap
paling tinggi yaitu alat tangkap dogol sebesar 4,4 kg/trip dan pukat pantai 4,4 kg/trip dan nilai
produktivitas terendah yaitu pada alat tangkap trammel net sebesar 1,8 kg/trip dan jaring bernong
sebesar 1,4 kg/trip.
Jurnal 7 : “PENINGKATAN PRODUKTIVITAS BUBU APUNG DENGAN LAMA
PERENDAMAN YANG BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN”

Banyak faktor yang mempengaruhi penangkapan dengan bubu apung, seperti waktu
perendaman, tingkat kejenuhan alat, habitat, desain bubu, dan penggunaan umpan (Isnawati et
al . 2020). Martasuganda (2008), semua jenis perangkap bekerja dengan cara yang hampir sama.
Beberapa perangkap dipasang secara individual (instalasi sistem tunggal) dan lainnya dipasang
dalam rantai (instalasi sistem longline ). Waktu pemasangan ( installation ) dan pengangkatan
(transportasi) adalah pagi, siang dan sore hari. Menurut Noer (2011), perendaman selama tiga
hari, empat hari dan lima hari memiliki efek yang berbeda pada tangkapan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberi dampak yang bermanfaat secara akademik dan praktis yaitu
memberikan penyuluhan berupa seminar kepada nelayan, petani dan pelaku usaha perikanan
tentang kegiatan perikanan tangkap dengan harapan para nelayan dapat menggunakan bubu
apung menjadi alat tangkap alternatif untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal dan
ramah lingkungan, memberi sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan berupa
publikasi jurnal ilmiah terakreditasi SINTA, kebaruan dari penelitian ini adalah pemanfaatan
bubu apung dengan lama perendaman yang berbeda di Teluk Tapian Nauli. Untuk itu dilakukan
penelitian ini yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas bubu apung serta mengetahui
waktu dan lama perendaman bubu yang terbaik.

Survei dilakukan di Teluk Tapian Nouli dari 11 Januari hingga 30 Oktober 2021.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode eksperimen, wawancara, dan studi kepustakaan.
Penelitian ini dilakukan pada pembuatan bubu apung dengan menggunakan atraktor yang
berbeda, dan penelitian selanjutnya memperlakukan bubu dengan tiga jenis waktu perendaman
yang berbeda.

Hasil tangkapan paling banyak pada bubu apung dengan lama perendaman 6 hari yaitu
sebanyak 15 ekor, jenis ikan adalah ikan baronang, ikan tanda, dan ikan jarang gigi.
Jurnal 8 : ”PRODUKTIVITAS BIOMASA MAKROALGA DI PERAIRAN PULAU
AMBALAU, KABUPATEN BURU SELATAN”

Perairan Pulau Ambalau adalah merupakan suatu perairan yang berada di wilayah
Kabupaten Buru Selatan, Propinsi Maluku. Di Perairan ini telah ditemukan berbagai jenis biota
laut satu diantaranya adalah rumput laut. Perubahan garis pantai akibat faktor alamiah, seperti
angin, ombak, dan arus yang sekaligus menjadi faktor pemicu perubahan hábitat, khususnya di
kawasan pesisir. Kondisi ini turut diperburuk dengan lajunya pembangunan di kawasan pesisir,
seperti penambangan pasir, pembangunan dermaga, pariwisata, dan kegiatan transportasi yang
dapat mengakibatkan fungsi ekosistem wilayah pesisir menjadi menurun dan daya dukung
terhadap keberadaan dan kehidupan. potensi sumberdaya laut juga semakin tertekan. Hal ini
lebih banyak dialami di perairan pantai Ulima, Lumoy, dan Kampung Baru yang telah terjadi
perubahan ekosistem pesisir perairan, seperti abrasi pantai, rusaknya ekosistem mangrove
maupun lamun (seagrass). Kondisi ini tentunya turut mempengaruhi kehidupan dan keberadaan
sumberdaya laut yang ada di alam, terutama makro alga Hasil penelitian ini sangat diperlukan
untuk mengetahui status terkini potensi sumberdaya laut dan lingkungan di perairan Pulau
Ambalau, Kabupaten Buru Selatan dan sekitarnya. Data dan informasi ini sangat diperlukan bagi
kepentingan dalam melaksanakan perencanaan pengembangan wilayah ke depan yang terkait
dengan pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya laut di wilayah pesisir. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui: (1) keragaman jenis dan kepadatan makro alga pada setiap stasiun
penelitian, (2) frekuensi kehadiran dan nilai dominasi makro alga pada setiap stasiun penelitian,
dan (3) sebaran parameter kualitas di perairan pantai Pulau Ambalau.

Pengumpulan data dengan metode transek kuadrat dan koleksi dilakukan pada bulan
Oktober-November 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah pantai Masawoy
memiliki keragaman jenis, kepadatan, Frekuensi kehadiran, dan nilai dominasi makro alga
tertinggi dengan 33 jenis dari 20 marga yang terdiri dari 14 jenis makro alga hijau, 10 jenis
makro alga merah, dan 9 jenis makro alga coklat. Marga makro alga yang dominan adalah
Caulerpa, Halimeda, Gracilaria, Acanthophora, Sargassum dan Padina. Tingginya keragaman,
kepadatan, frekuensi, dan dominansi makro alga di pantai Masawoy disebabkan oleh kondisi
habitat di perairan ini masih dalam kondisi yang relatif lebih baik yang terdiri dari pecahan
karang mati, pasir, karang hidup dengan vegetasi tumbuhan lamun yang didominasi oleh jenis
Thalasia hemprizii dan Enhalus acuroides. Sedangkan kondisi habitat pada lokasi lainnya telah
mengalami kerusakan yang cukup parah yang didominasi oleh bongkahan dan pecahan karang
mati. Kondisi lingkungan dalam lokasi penelitian masih berada dalam batas yang layak
mendukung pertumbuhan makro alga.

Anda mungkin juga menyukai