Proses penalaran sebenarnya telah kita lakukan setiap hari. Kita sering menyimpulkan
sesuatu dari melihat tanda-tanda, dari cerita orang lain, dari berita di televisi, dan sebagainya.
Kita pun punya kepercayaan-kepercayaan yang menjadi panduan dalam bertindak. Semua itu
kita lakukan baik disadari maupun tidak disadari. Namun demikian, semuanya merupakan
bagian dari cara kita bernalar. Perhatikan dua alinea di bawah ini.
Contoh 1
Swastika adalah seorang mahasiswa yang tinggal bersama teman-temannya menyewa
sebuah rumah. Dalam keseharian ia sering mengamati perilaku teman-teman satu rumah.
Dewi teman sekamarnya suka memakai handbody merek Sakura karena diiklankan dapat
memutihkan kulit. Peggy sebulan sekali pergi ke salon untuk merawat kulit wajahnya agar
putih berseri. Tania yang berkulit cokelat sejak lahir bercita-cita nanti jika telah sukses
dan punya uang banyak ingin suntik pemutih kulit. Dari kebiasaan dan keinginan teman-
temannya, Swastika beranggapan bahwa kebanyakan perempuan ingin memiliki kulit
putih.
Contoh 2
Denny, seorang mahasiswa jurusan psikologi ingin membuktikan bahwa rutin
membacakan dongeng sebelum tidur dapat membantu anak belajar membaca. Ia
mendatangi taman kanak-kanak Riang Gembira untuk mencari anak dan orangtuanya
yang bersedia dijadikan sebagai sampel penelitian. Ada 7 anak dan orangtua yang
bersedia dijadikan sampel. Penelitian dilakukan dengan selama tiga bulan dengan
prosedur yang telah ditentukan. Setelah dalam jangka waktu tiga bulan, ia memperoleh
data bahwa Grace, Stuart, dan Lilly mengalami peningkatan signifikan dalam
kemampuan membaca; Budi tetap enggan belajar membaca; kemampuan membaca Sarah
meningkat cukup signifikan; Christian dan Thalita lebih bersemangat saat belajar
membaca. Hasil penelitian mengantarkan pemahaman bahwa membacakan dongeng
sebelum tidur dapat membantu anak belajar membaca, tetapi faktor-faktor lain seperti
situasi rumah, pola asuh orangtua, dan kebiasaan anggota keluarga lain juga turut
berpengaruh.
Dua paragraf ilustrasi di atas menggambarkan proses bernalar. Swastika bertolak dari
pengamatan akan kebiasaan teman-temannya. Ia melakukan pengamatan, mengkaitkan antara
satu temuan dan temuan lain lalu mengambil suatu simpulan. Di lain sisi, cara bernalar
Denny dimulai dari keingintahuan tentang suatu pernyataan. Ia ingin melakukan pembuktian
dengan cara mengumpulkan data-data dari temuan-temuan nyata. Dari sejumlah bukti dan
temuan ia akhirnya berkesimpulan.
Proses bernalar yang dilakukan oleh Swastika dikenal sebagai penalaran induktif,
yakni cara berpikir yang berangkat dari hal-hal khusus menuju sesuatu yang umum. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
penalaran induktif, yakni cara berpikir yang berangkat dari hal-hal khusus menuju sesuatu
yang umum.
fakta/temuan 2 fakta/temuan 3
Fakta/temuan 1 fakta/temuan 1
Kesimpulan/
Pengetahuan
Sementara itu, proses bernalar yang dilakukan oleh Denny disebut penalaran deduktif.
Penalaran deduktif adalah suatu proses berpikir yang berpijak dari sesuatu yang umum
menuju hal-hal yang lebih khusus untuk mencapai suatu kesimpulan. Prosesnya dapat dilihat
pada gambar di bawah.
Kesimpulan/
Pengetahuan
fakta/temuan 1 fakta/temuan 4
fakta/temuan 2 fakta/temuan 3
Pada praktiknya, kedua proses penalaran tersebut saling mendukung. Masing-masing proses
memiliki sejumlah corak penalaran yang tercakup di dalamnya.
Penalaran Induktif
Penalaran induktif dapat dilakukan dengan cara generalisasi, analogi, dan hubungan
kausal.
1. Generalisasi
Generalisasi sudah tidak asing lagi dalam cara berpikir sehari-hari. Generalisasi
merupakan proses penalaran dari sejumlah fenomena, fakta, atau gejala yang serupa guna
menarik kesimpulan tentang sebagian atau semua dari fenomena atau peristiwa tersebut.
Misalkan Santi memiliki beberapa teman yang berasal dari daerah Yogyakarta. Teman-
temannya itu bertutur kata halus dan lembut. Maka, Santi menganggap bahwa orang-orang
Yogyakarta bertutur kata halus dan lembut.
Proses generalisasi seringkali mendahului observasi atau penyelidikan terhadap
fenomena atau gejala yang cukup meyakinkan. Sebagaimana contoh Santi, ia hanya berpijak
dari pengalaman berbaur dengan teman-temannya lalu berkesimpulan bahwa orang-orang
Yogyakarta bertutur kata halus dan lembut. Padahal berapakah teman-temannya dan
berapakah jumlah penduduk Yogyakarta? Untuk itu, dalam proses generalisasi perlu
diadakan pengecekan atau pengujian terhadap prosesnya. Proses pengujian dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut (Keraf, 2010: 46-47).
a. Berapa jumlah yang dipakai sebagai dasar generalisasi. Sebenarnya tidak ada jumlah
standar patokan yang pasti sebab akan tergantung dari kasus yang dihadapi. Akan tetapi,
semakin banyak jumlah peristiwa, fenomena, atau gejala yang dipakai tentu menambah
kepastian proses generalisasi. Sebagaimana contoh teman Santi. Apabila hanya berjumlah
lima orang, tentu generalisasi yang dilakukan Santi akan dinilai kurang valid karena
jumlah lima orang terlalu sedikit untuk mewakili populasi penduduk Yogyakarta.
b. Apakah fenomena atau gejala merupakan sampel yang cukup baik, yang dapat mewakili
keseluruhan atau bagian untuk dijadikan sebagai pijakan proses generalisasi? Jika
ternyata dari 10 teman Santi yang dijadikan sampel sebagai orang Yogyakarta yang
bertutur kata halus dan lembut ternyata 5 di antaranya hanya berstatus lahir di
Yogyakarta, tetapi dibesarkan di kota lain tentu sampel ini kurang baik. Lima orang yang
menumpang lahir, tetapi tinggal dan dibesarkan di kota lain kurang tepat untuk mewakili
sampel sebagai orang Yogyakarta.
c. Seberapa banyak perkecualian yang tidak sesuai dengan proses generalisasi? Pada
kenyataannya generalisasi sering dihadapkan pada perkecualian-perkecualian. Apabila
jumlah perkecualian terlalu banyak, generalisasi akan runtuh sehingga tidak sah.
Generalisasi pun tidak dapat dilakukan. Apabila jumlah perkecualian ada sedikit maka
perumusan generalisasi mesti dilakukan dengan sangat hati-hati. Dalam hal ini perlu
diperhatikan benar tentang penggunaan kata-kata, seperti semua, seluruh, setiap, selalu,
biasanya, umumnya, cenderung, sebagian besar, rata-rata, kebanyakan, tidak pernah,
dan lain sebagainya. Salah memilih dan memakai kata-kata akan menimbulkan kesalahan
pada proses generalisasi.
d. Apakah proses generalisasi telah dilakukan sesuai dengan data-data, fenomena, atau
peristiwa yang dijadikan pijakan? Tidak diperbolehkan rumusan data dikumpulkan secara
serampangan sehingga memberi interpretasi yang keliru. Misalkan generalisasi tentang
orang Yogyakarta bertutur kata halus dan lembut yang ternyata berpijak dari data 10
orang, tetapi 5 orang dibesarkan di kota lain. Ini adalah contoh generalisasi yang
serampangan sehingga tidak sah.
2. Analogi
Analogi adalah proses penalaran yang berpijak dari dua hal atau peristiwa khusus
yang memiliki kemiripan satu sama lain, kemudian disimpulkan bahwa apa yang berlaku
untuk suatu hal akan berlaku pula untuk hal yang lain (Keraf, 2010: 48). Analogi biasanya
dipakai untuk menerangkan sesuatu yang abstrak atau rumit dengan pembanding yang lebih
konkret dan lebih mudah dicerna.
Cara berpikir secara analogis sering diterapkan dalam penelitian-penelitian ilmu
pengetahuan. Misalnya cerita tentang seorang ahli zoologi Konrad Lorenz yang melakukan
penelitian terhadap anakan angsa. Ia meneliti perilaku anak angsa yang dierami oleh
induknya dan anak angsa ditetaskan melalui inkubator. Anak angsa yang dierami oleh
induknya akan ikut ke manapun si induk pergi, sedangkan pada anak-anak angsa yang
menetas di inkubator ternyata lebih memilih mengikuti Lorenz, karena Lorenz-lah yang
pertama kali dilihat oleh mereka. Dari sini Lorenz kemudian merumuskan teori tentang
proses belajar yang melibatkan objek bergerak yang pertama kali dilihat. Selanjutnya, ahli
lain menerapkan teori tersebut pada perkembangan manusia, yakni proses belajar anak.
Contoh lain tentang penggunaan hewan-hewan seperti tikus atau kelinci di meja percobaan
untuk berbagai penelitian demi kepentingan ilmu pengetahuan manusia. Asumsinya, ada
kesamaan antara kelinci dengan manusia, misalkan karena sama-sama mamalia.
3. Hubungan kausal
Corak penalaran kausalitas dapat dibedakan menjadi tiga, yakni sebab ke akibat,
akibat ke sebab, dan akibat ke akibat. Ada sebab tentu ada akibat, demikian logika berpikir
dalam keseharian. Logikanya tidak ada gejala, peristiwa, atau sesuatu hal muncul tanpa
penyebab. Contoh paling ketara misalkan ada asap (akibat) maka ada api (sebab). Ada awan
mendung (sebab) maka turun hujan (akibat). Contoh lain, Agung menanam cabe di sawah. Ia
melihat bahwa tanaman cabenya tidak tumbuh dengan baik. Batangnya tidak tumbuh panjang
dan daunnya tidak lebat. Ia kemudian meneliti apa gerangan yang membuat tanaman cabenya
terlambat tumbuh. Ternyata ada hama yang menyerang tanaman cabenya. Kemudian, ia
menyemprot tanamannya dengan menggunakan pestisida. Cara berpikir yang dipraktikkan
oleh Agung merupakan contoh penalaran dalam kategori hubungan kausal.
Penalaran deduktif
Selanjutnya penalaran deduktif sebagaimana dijelaskan sebelumnya bertolak dari
suatu proposisi umum untuk mengidentifikasi fenomena khusus yang berkaitan dengan
proposisi umum tersebut. Cara berpikir deduktif dilakukan dengan menggunakan silogisme
sebagai alat penalarannya. Perhatikan contoh di bawah ini.
Premis mayor : semua manusia bernapas menghirup oksigen
Premis minor : Sasongko seorang manusia
Kesimpulan : Sasono bernapas menghirup oksigen
Cara berpikir sebagaimana di atas merupakan bentuk silogisme. Secara umum,
silogisme adalah proses penalaran yang menghubungkan dua proposisi, yakni premis mayor
dan premis minor untuk menurunkan sebuah kesimpulan yang merupakan proposisi ketiga.
Premis mayor merupakan generalisasi atau proposisi yang dianggap benar bagi semua unsur
atau anggota kelas tertentu, sedangkan premis minor menunjuk pada sebuah kasus atau
peristiwa khusus sebagai anggota dari kelas. Sementara kesimpulan merupakan proposisi
yang menyatakan bahwa apa yang berlaku bagi seluruh kelas maka akan berlaku pula pada
anggota-anggotanya (Keraf, 2010: 59).
Dalam hal ini, patut diperhatikan perbedaan antara kesahihan dan kebenaran. Dalam
bahasa sehari-hari kata kesahihan dan kebenaran sering dipertukarkan atau dianggap sama
(bersinonim). Akan tetapi, pada bentuk penalaran silogisme keduanya dibedakan. Kesahihan
berhubungan dengan validitas atau keabsahan. Validitas dari suatu silogisme bergantung dari
bentuk logisnya. Sementara apa yang disebut benar atau kebenaran tergantung dari fakta-
fakta yang mendukung sebuah pernyataan.
2. Salah Nalar
Salah nalar adalah sebuah kekeliruan dalam proses berpikir yang dapat disebabkan
karena salah menafsirkan atau menarik kesimpulan. Kekeliruan dapat terjadi karena banyak
faktor, di antaranya ketidaktahuan, ketidakhati-hatian, atau faktor emosi. Ada beberapa
bentuk salah nalar yang seringkali sebenarnya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
a. Generalisasi yang serampangan
- Generalisasi sepintas lalu yang terjadi karena orang melakukan proses generalisasi atas
evidensi yang jumlahnya tidak mencukupi. Sebagai contoh “semua orang Madura
berwatak keras.” Benarkah pernyataan itu? Berapakah jumlah orang Madura? Apakah
setiap dari mereka benar-benar berwatak keras? Apakah seluruh orang Madura tanpa
terkecuali semua sama, yakni berwatak keras? Orang Madura atau bahkan orang awam
dapat membantah pernyataan tersebut. Pernyataan tersebut akan lebih benar apabila
diungkapkan dengan pewatas, seperti beberapa sehingga menjadi “beberapa orang
Madura berwatak keras.”
- Generalisasi apriori terjadi ketika generalisasi dilakukan bertolak dari gejala atau
peristiwa yang belum diuji kebenaran dan kesalahannya. Kekeliruan ini acapkali
disebabkan atas dorongan emosi yang memunculkan prasangka-prasangka tertentu
terhadap agama, kelompok, suatu masyarakat, suatu adat budaya, profesi, negara,
ideologi, dan lain sebagainya. Sebagai contoh “Semua kebiasaan dari budaya Barat
adalah buruk.” Benarkah pernyataan tersebut? Apabila ada orang yang mengeluarkan
pernyataan demikian, ia boleh jadi dipengaruhi oleh emosi kebencian atau prasangka
buruk mengenai budaya Barat, lalu ia menganggap bahwa semua “yang datang dari Barat
adalah buruk”. Padahal tidak bisa dinilai dengan seceroboh itu karena makna kebiasaan
itu sangat luas.
b. Analogi yang rancu
Analogi akan tepat dan dapat diterima secara logis apabila dua hal yang
diperbandingkan memiliki kemiripan atau kesamaan secara esensial. Namun manakala dua
hal yang diperbandingkan tidak memiliki kesamaan apa yang terjadi? Penganalogian yang
tidak tepat akan menimbulkan kerancuan.
Kesalahan pada hubungan yang bersifat sebab akibat dapat terjadi karena anggapan
bahwa peristiwa yang terjadi lebih dahulu selalu dianggap sebagai sebab. Sementara
peristiwa yang terjadi sesudahnya dianggap sebagai akibat. Proses semacam ini dapat
menimbulkan kekeliruan. Misalkan matahari terbit setelah ayam berkokok, lalu muncul
pernyataan “matahari terbit karena ayam berkokok”. Pernyataan macam ini tentu salah nalar.
d. Kesalahan relevansi
Relevansi adalah hubungan. Jadi, kesalahan relevansi adalah kesalahan hubungan atau
lebih tepatnya kekeliruan dalam menghubungkan suatu bukti, fakta, peristiwa, fenomena,
atau alasan yang diajukan terhadap kesimpulan yang ditarik. Kesalahan relevansi dapat
terjadi secara disengaja maupun tidak disengaja. Umumnya kesalahan semacam ini
menyangkut permasalahan pengabaian persoalan, penyembunyian persoalan, dan kurang
memahami persoalan.
e. Faktor emosi
Evidensi salah satunya diperoleh melalui pendapat autoritas atau orang yang dianggap
berkompeten dalam bidangnya. Orang yang memiliki autoritas tersebut mengeluarkan
pernyataan atau pendapat yang kemudian mempengaruhi proses berpikir dan kepenulisan
penulis. Banyak penulis yang mengandalkan kutipan dari para ahli untuk membuat naskah
atau karangannya lebih bermutu. Tindakan ini memang dapat dilakukan, tetapi harus hati-hati
dan saksama sebab dapat dipengaruhi oleh faktor emosi pribadi penulis yang pada akhirnya
justru menimbulkan salah nalar.
Misalkan ada seorang penulis bernama Andri yang sangat gandrung dengan salah satu
tokoh ilmuwan, Mahesa Putra. Apa pun yang dikatakan oleh Mahesa Putra dianggap sebagai
kebenaran oleh Andri. Apakah cara berpikir Andri telah bernalar? Manakala Andri selalu
mempercayai perkataan atau pendapat Mahesa Putra tanpa memeriksa kebenaran tentu ini
menjadi salah nalar. Lantaran setiap evidensi atau data selalu harus dicek kebenarannya.
Contoh lain, seorang penulis bernama Imam memiliki sentimen pribadi terhadap
Haryanto. Ketidaksukaan Imam karena Haryanto adalah mantan anggota terorisme yang
pernah dipenjara. Suatu ketika Imam akan menulis artikel bertemakan terorisme. Ia sedang
mengumpulkan data tentang motivasi para teroris. Imam datang untuk mewawancarai
Haryanto. Namun, apa pun pernyataan dan pendapat yang dilontarkan Haryanto, Imam
mengabaikannya. Sikap Imam dalam hal ini tentu salah nalar. Dalam konteks data motivasi
teroris pernyataan Haryanto mungkin dapat dijadikan sebagai data atau evidensi karena ia
memiliki pengalaman sebagai teroris.
Bertolak dari dua contoh di atas, seyogianya penulis mampu mengendalikan diri
terhadap faktor-faktor emosi maupun sentimen pribadi. Salah nalar yang disebabkan faktor
emosi akan merugikan penulis sendiri dan tulisan yang dihasilkan. Padahal, harapan semua
penulis mampu menghasilkan tulisan yang baik dan bermutu.
Sumber:
Ratri, Kusumaning Rose. 2019. Cakap Berbahasa Indonesia: Panduan Lengkap Belajar
Berbahasa Indonesia di Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.