Anda di halaman 1dari 18

Pertunjukan Tentatif

Penelitian Disertasi
2020/2021

A. Hamid Sarong
Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri
Ar-Raniry

Darussalam-Banda Aceh
2020/2021
PERSIAPAN UNTUK MELAKUKAN PENELITIAN

A. Hamid Sarong

Pendahuluan

Banyak peneliti muda kesulitan dalam memikirkan tema/judul yang akan melakukan
penelitian. Pada hal kalau dikembangkan secara bertahap dan sistematis, akan sangat mudah
menemukan apa saja yang harus dikerjakan. Persiapan utama peneliti adalah mendalami materi
yang akan diteliti. Ketika pendalaman terhadap materi serta perenungannya, maka akan
ditemukan hasrat lain dari apa yang telah dibaca dan direnungkan, tidak mungkin dan setuju
dengan apa yang telah dijelaskan oleh orang lain. Banyak peneliti muda langsung mengambil
polpen dan langsung pula menulis. Cara seperti ini akan melahirkan duplikasi pemikiran dari
penulis-penulis sebelumnya. Cara seperti ini menjadikan pemikirannya tidak berkualitas dan
tidak pula akan menemukan, novelty, kebaruan dalam pemikiran. Atas dasar pemikiran di atas
diharapkan kepada peneliti untuk menyusun strategi yang harus dilakukan untuk menemukan
tema/judul penelitiannya.

Sebagaimana telah dikatakan di muka bahwa kerja penelitian itu sesungguhnya tak lain
dari kerja pencarian; ialah kerja pencarian pengetahuan baru guna menjawab suatu masalah yang
selama ini belum diketahui secara pasti jawabnya. Kerja pencarian seperti itu mestilah dilakukan
secara bertahap, melalui suatu prosedur yang telah dilazimkan dalam tradisi keilmuan. Tahap-
tahap yang umumnya harus dilalui itu pada galibnya terdiri dari sekurang-kurangnya lima
langkah. Pertama-tama ialah tahap untuk menegaskan masalah yang jawabnya hendak dicari dan
ditemukan melalui penelitian itu. Pada tahap kedua langkah akan diayunkan untuk menjawab
pertanyaan itu berdasarkan prakiraan-prakiraan yang cerdas atas dasar teori atau pengetahuan
yang telah diketahui berdasarkan pengalaman yang ada. Pada langkah ketiga dicarilah informasi
dari dunia factual yang nanti, pada langkahnya yang keempat, melalui penalaran atas dasar
kaidah-kaidah logika, informasi-informasi itu akan dapat dipakai untuk menguji atau
membuktikan betul kelirunya jawaban spekulatif yang telah disebutkan sebelumnya.

A. Langkah Pertama: Mengumpul Referensi

Pembacaan referensi merupakan langkah paling utama untuk melakukan penelitian.


Pembacaan referensi adalah menentukan bagian apa saja dari sejumlah referensi yang akan
dipersoalkan dan memerlukan penelitian. Mahasiswa S1 dengan kredit 148 SKS yang digeluti
tentu saja ada bacaan-bacaan dari buku wajib atau anjuran yang memberikan perhatian untuk
didalaminya. Pendalaman dalam buku/kitab itulah yang disebut dengan”mengumpulkan
referensi” diteliti, maka itu dinamakan dengan pembacaan referensi. Lebih bagus lagi apabila
pembacaan itu diikuti dengan membuat kartu beranotasi.
B. Langkah Kedua: Menegaskan Masalahnya

Bila diingat bahwa kerja penelitian itu sesungguhnya merupakan suatu rangkaian usaha
untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang benar untuk menjawab suatu masalah, maka
setiap kerja penelitian tak dapat tidak selalu dibuka dengan menegaskan terlebih dahulu apa
sesungguhnya yang hendak diajukan sebagai masalah. Apa yang diajukan masalah dalam
penelitian ini? Masalah apa yang hendak dicarikan jawabannya lewat penelitian ini? Untuk
menemukan jawaban yang berkualitas, tentu saja melalui jalur yang berkualitas. Penemuan
kebenaran yang berkualitas dan dapat dipertanggung-jawabkan adalah melalui penelitian. 1
Penelitianpun ada peringkatnya. Mulai dari yang sederhana sampai dengan penelitian yang
rumit.

Setiap kajian dalam dunia keilmuan selalu saja dimulai kapan ada seorang merasakan
adanya suatu kerisauan telah terjadinya peristiwa yang amat mengganggu tata tertib kehidupan.
Gangguan terasa dan tertampakkan sebagai menghilangnya suasana ketertiban, digantikan oleh
banyaknya anomaly, ialah datangnya berbagai kekisruhan dan ketidakteraturan. Maraknya
kejahatan, rusaknya lingkungan, pertambahan penduduk yang tak terkendali, kemiskinan yang
bersebab dari terbiarkannya diskriminasi dalam hal memperoleh akses guna mendapatkan
sumberdaya, semua itu adalah sebagian kecil saja dari sekian banyak kenyataan atau peristiwa
yang mengundang kerisauan para pengkaji. Itulah kerisauan atas terjadinya peristiwa yang sudah
selayaknya terkualifikasi sebagai suatu permaslahan akbar, alias suatu issue yang pemecahan
atau kegagalan pemecahannya akan menentukan masa depan kehidupan manusia.

Amat dipujikan apabila suatu kajian penelitian itu mengangkat issue kontemporer yang
tengah ramai dibicarakan orang. Kecuali kontemporer, skala yang diliput issue yang tengah
dipilih itu tentu saja juga harus ikut diperhatikan dan dijadikan pertimbangan. Suatu issue dapat
berskala amat luas, (seperti issue tentang kerusakan bumi yang akan mengancam kelestarian
semua makluk yang menghuni bumi), bisa juga “hanya” berskala nasional, (seperti misalnya
tentang issue demokrasi atau tentang pasang surutnya perkembangan civil society), atau bisa pula
issue itu hanya berskala local saja (seperti misalnya issue tentang terdesaknya suku-suku
pendalaman sehubungan dengan terjadinya perubahan peruntukan lahan hutan untuk keperluan
perluasan perkebunan tanaman produksi). Batas antara mana issue yang global dan mana yang
nasional, dan antara mana yang nasional dan yang local, acapkali tak dapat ditentukan dengan
mudah begitu saja.

Namun apapun juga skalanya, setiap kajian yang memerlukan kerja penelitian sudah
sepatutnya kalau diberangkatkan dari suatu keprihatinan telah terjadinya suatu peristiwayang
dapat dikategorikan sebagai issue. Amat disayangkan apabila tenaga dan yang dipakai untuk
sebuah penelitian hanya alan dipakai untuk melakukan pencarian jawab atas suatu masalah yang
terlalu khusus atau sempit, yang hanya menghasilkan apa yang disebut ‘one shot solution, tanpa
1
Dalam buku metode penelitian ditemukan beberapa metode untuk menemukan kebenaran; (1) coba-
coba; (2, kebetulan; (3). Otoritas tertentu;(4) mimpi, terawang;
memberikan simpulkan teoretik yang secara mendasar akan dapat dipakai untuk menjawabi
masalah yang terjadi dalam skala yang cukup luas dan/atau dalam rentang waktu yang cukup
panjang.

Sepenting apapun issue itu untuk memulakan suatu penelitian, namun karena hanya lebih
merupakan topik (atau tema), maka, suatu issue tak akan begitu juga bisa menggerakkan orang
untuk melakukan penelitian guna mendapatkan pengetahuan yang bisa dipaki untuk menjawab
suatu permasalahan. Untuk maksud itu, tak pelak lagi, pernyataan tentang suatu issue mestilah
diubah bentuk dahulu menjadi sejumlah jabaran pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan dalam
kalimat-kalimat Tanya inilah yang disebut dengan istilah teknis ‘status questions’. Kalimat-
kalimat interogatif ini pada pokoknya berkenaan dengan ihwal issue yang dijadikan objek utama
kajian, antara lain diseputar ihwal apa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana kualitasnya
dan/atau seberapa besar kuantitas’ objek kajian itu.

C. Langkah Ketiga: Menjabarkan ide-ide Pokok Permasalahan ke dalam Kalimat-


Kalimat Interrogatif

Masalah adalah sebuah atau serangkaian pertanyaan yang mengharapkan jawaban. Secara
tersirat dapatlah dikatakan bahwa suatu pertanyaan adalah sesuatu yang terbit dari suatu
ketidaktahuan. Di kalangan orang-orang awam, suatu pertanyaan umumnya memang berawal
dari ketidaktahuan, untuk bergerak mencari tahu. Akan tetapi, di kalangan para ilmuwan, ialah
kaum professional yang berkhidmat dalam kegiatan searching and researching dari hari ke hari,
suatu masalah atau suatu rangkaian pertanyaan umumnya berawal mula dari sesuatu yang
sesungguhnya telah diketahui, namun baru berdasarkan dugaan atau guessing saja itu. Maka
pertanyaan macam ini bukanlah berakibat sebagai suatu ketidaktahuan melainkan suatu
keraguan.

Ilmuwan peneliti memang bekerja berdasarkan quessing yang spekulatif, dan tak pernah
bekerja berdasarkan keyakinan. Spekulasi memang hanya menghasilkan pengetahuan yang
masih perlu diragukan kebenarannya (baik kebenaran dalam artinya yang right maupun dalam
artinya yang true). Keyakinan bukanlah modal kerja para ilmuwan peneliti. Apabila seseorang
sudah meyakini kebenaran sesuatu yang yang telah ia ketahui, maka tidaklah ada perlunya ia itu
masih akan melakukan searching and researching untuk menegaskan benar-salahnya atau betul-
kelirunya keyakinannya itu. Apabila ia itu masih perlu melakukan searching, ialah guna
memverifikasi kebenaran apa yang telah ia yakini, maka yang ia yakini itu sebenarnya belumlah
merupakan keyakinan yang mutlak, melainkan keyakinan yang bagaimanapun juga toh
sesungguhnya masih dilatari keraguan jugalah adanya.

Suatu satatemen yang dirumuskan secara afirmatif, namun yang tidak dimaksudkan sebagai
suatu statemen yang hendak menyatakan suatu keyakinan yang mutlak, (melainkan baru
merupakan suatu keyakinan yang masih dilateri atau masih menyiratkan adanya unsur keraguan),
disebut hipotesis. Statemen seperti itu memang sudah dirumuskan sebagai suatu tesis, namun
baru bernilai sebagai ‘tesis yang masih diragukan kebenarannya, yang oleh sebab itu masih
memerlukan virifikasi lewat penggunaan bahan uiji yang masih harus dicari’. “tesis yang belum
tesis” ini, dalam bahasa dunia ilmu pengetahuan, disebut hipotesis (yang berasal dari kata Latin
hypo yang berarti ‘bawah’ atau ‘bawah permukaan’ dan theses). Proses verifikasi yang disebut
‘uji hipotesis’, apabila berhasil, akan mempromosi hipotesis dari posisinya yang masih di bawah
itu menjadi tesis yang penuh. Dalam dunia ilmu pengetahuan, ‘tesis’ adalah pengetahuan yang
harus diterima sebagai karya rasional manusia yang bernilai benar/betul, sampai ada pembuktian
yang sebaliknya oleh penelitian lain berikutnya.

D. Langkah Ke empat: Mendugakan Jawaban Secara Spekulatif atas Masalah yang


Diajukan

Ilmuwan itu tidak akan serta merta begitu saja mengkualifikasi setiap pernyataan sebagai
pernyataan pengetahuan yang berkeberatan mutlak. Ilmuwan penelitian yang baik selalu
meragukan kebenaran setiap pernyataan yang mengklaim sebagai pengetahuan yang benar,
kecuali apabila pernyataan itu sudah pernah diverifikasi atau diverifikasi ulang. Dalam tradisi
kerja ilmuwan peneliti, setiap pernyataan haruslah selalu diragukan kebenarannya sampai dapat
dibuktikan melalui proses uji bersaranakan metode tes yang rancangan-rancangan analisisnya
dikontruksi berdasarkan logika. Dalam dunia ilmu pengetahuan, setiap kerja penelitian selalu
mengubah terlebih dahulu setiap pernyataan menjadi pertanyaan. Setiap kalimat afirmatif
haruslah diubah dulu ke dalam suatu atau sejumlah kalimat interogatif. Berikut ini adalah
contohnya:

Dalam perbincangan sehari-hari sering didengar ucapan awam dalam bentuk kalimat
afirmatif, seperti misalnya, bahwa “kian berat ancaman pidana, akan kian surut pula niat orang
untuk melanggar ketentuan perundangan-undangan pidana”. Atau, “hukuman mati itu
bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Bagi ilmuwan peneliti, kalimat alfirmatif seperti itu
tidaklah akan diterima begitu saja sampai suatu kebenaran yang tak akan diperbantahkan lagi.
Sejauh-jauhnya kalimat afirmatif tersebut hanya bisa dipertimbangkan untuk diterima sebagai
suatu hipotesis, yang oleh sebab itu masih memerlukan pengujian gunamenetapkan betul-
kelirunya pernyataan itu. Bagi ilmuwan peneliti, pernyataan-pernyataan factual dan normatif
yang terumus dalam bentuk kalimat afirmatif seperti itu tak lain dari jawaban sementara (penuh
keraguan!) atas pertanyaan “betulkah kiat berat ancaman pidana akan menyebabkan kiat
surutnya niat orang untuk melanggar?”; dan “benarkan hukuman mati itu bertentangan dengan
asas moral kemanusiaan?”.

Dalam tradisi keilmuan, di mana orang mesti bekerja dengan lebih bermodalkan keraguan
daripada bermodalkan keyakinan, pernyataan yang diubah dulu ke dalam kalimat interogatif
yang bermula dengan kata ‘betulkah…” atau “benarkah…” adalah suatu tata cara metodologik
yang lazim. Ilmuwan peneliti bekerja dalam kegiatannya sehari-hari untuk mencari pengetahuan
yang lebih berpastian lewat pengujian-pengujian apa yang semula merupakan pengetahuan yang
kebenarannya belum berkepastian, alias masih diragukan. Kalau dikatakan bahwa ilmuwan
penelitian itu selalu bekerja dengan bermodalkan keraguan, ini juga berarti bahwa mereka itu
juga tidak akan bekerja dengan bermodalkan ketidaktahuan. Ilmuan bukanlah “anak kemarin
sore” yang mencari pengetahuan dengan cara bertanya atau bertanya-tanya. Ia itu sesungguhnya
seseorang yang cerdas yang sepanjang kariernya amat tahu untuk selalu mempertanyakan
sembarang kemungkinan jawab, dan tahu bagaimana pula untuk mendugakan jawabnya lewat
cara guessing yang cerdas, imajinatif, dan pula dengan kepekaan teoretik yang tinggi.

Mampu menyusun pertanyaan dengan kalimat interogatif yang sudah diawali dengan kata
Tanya ‘betulkah..’ atau ‘benarkah..’ seperti yang dikatakan di muka itu, sesungguhnya sang
ilmuwan penelitian itu sudah berhipotesis. Dengan menghapuskan kata ‘betulkah’ atau
‘benarkah’ dalam kalimat Tanya itu, serta merta sang penyusun pertanyaan yang berstatus
hipotesis. Pertanyaan yang disusun dalam bentuk pertanyaan terbuka, dengan kata ‘apakah’ atau
‘bagaimanakah’ tidaklah sekali-kali merupakan pertanyaan yang menyiratkan hipotesis.
Bandingkan misalnya, kalimat Tanya “apakah yang menyebabkan tak efektifnya ancaman
pidana?” dengan “betulkah pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan atas dasar dorongan emosi
yang tak terkontrol, ancaman pidana betapapun juga beratnya tidaklah akan efektif?”.

E. Langkah Ke lima: Mencari Bahan Uji, Guna Memverifikasi Kebenaran Argumentasi

Selama belum pernah diuji untuk dibuktikan kebenarannya, betapapun juga rasionalnya suatu
pernyataan hipotetik, selama itu pula pernyataan itu tidak dapat diklaim sebagai suatu tesis, atau
‘pengetahuan yang kebenarannya telah diuji”. Selama itu pula pernyataan itu hanya tetap diakui
sebagai hipotesis dengan kebenaran yang hanya boleh melakukan pengujian dengan mencari
searching for! Bahan-bahan guna mengujinya lewat prosedur tertentu yang harus ia ikuti dengan
penuh disiplin. Prosedur inilah yang disebut ‘metode pencarian (research method)’, yang dalam
pelaksanaanya akan berupa tatacara untuk memperoleh informasi yang akurat, berketarandalan
(reliable), dan “yang memang hendak berbicara tentang apa yang dihipotesiskan” (sahih, valid).
Tiadanya data kurang memenuhi ketika syarat tersebut akan menyebabkan hasil simpulan
penelitian akan kurang sempurna. Kata orang Inggris, ‘garbage in, garbage out’; kalau data
sampah yang dimasukkan, maka hasilnya akan bermutu sampah juga.

Dalam penelitian normatif, informasi akan berupa pertanyaan-pertanyaan evaluative tentang


‘perbuatan apa yang terpuji baik dan perbuatan apa yang tercela buruk menurut tolok moral
tradisi’. Penelitian normatif juga berkenaan dengan informasi yang berupa pernyataan-
pernyataan positif tentang ‘apa yang boleh dan apa yang tak boleh diperbuat menurut ketentuan
peraturan yang ada sebagaimana yang telah dituliskan’. Dalam penelitian di alam factual,
informasi akan lebih berupa apapun yang teramati secara indrawi oleh sang peneliti, atau yang
sekalipun pernah disaksikan berdasarkan pengindraan orang lain namun bisa dikomunikasikan
kepada sang peneliti. Apapun macamnya dan apapun cara yang digunakan untuk
memperolehnya, bahan-bahan uji itu haruslah diupayakan sedapat mungkin agar memenuhi
syarat kecermatan, keterandalan, dan kesahihan.
F. Langkah Ke enam : Penarikan Simpulan

Simpulan ditarik dari bahan uji yang dalam penelitian sains lazim disebut ‘data’ dan dalam
penelitian hukum lazim disebut ‘bahan hukum’ lewat suatu prosedur penalaran sebagaimana
yang dirambu oleh dalil-dalil logika. Bahan hukum sebagai data, tidak termasuk data yang
disebut data primer. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari tangan pertama.
Wawancara atau survey menjadi data penting dalam penelitian ilmu sosial, bukan dalam
penelitian hukum.

Syahdan, semua informasi tersebut, yang informasi normatif maupun yang data, apabila
sudah diperoleh melalui suatu prosedur sebagaimana yang ditradisikan dalam kerja penelitian,
akan digarap lebih lanjut dalam suatu proses yang disebut ‘proses analisis’. Proses analisis
dikerjakan dengan cara mengelompokkan data menurut kategori-kategori yang telah
dipersiapkan, berdasarkan prinsip-prinsip penalaran yang disebut logika. Ada dua model
kontruksi penalaran disebut silogisma yang dikenal dalam logika, ialah silogisma yang deduktif
dan silogisma yang induktif. Penelitian-penelitian yang dimaksudkan untuk mencari jawab atas
masalah yang berada di ranag normatif pada umumnya akan berlangsung dengan mendahulukan
pemakian silogisma logika deduktif. Sementara itu, penelitian-penelitian yang dimaksudkan
untuk mencari jawab atas masalah yang berada di ranah factual, sekalipun tak hendak
mengingkari pentingnya pemakaian silogisma deduksi, pada galibnya akan berlangsung dengan
mendahulukan pentingnya daya guna silogisma yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip
logika induksi.

Mengenai kedua model silogisma ini, berikut fungsinya dalam setiap kerja penelitian, akan
diperbincangkan tersendiri dalam kesempatan berikutnya. Akan tetapi, sebelum itu, baik juga
kalau perbincangannya tentang silogisma didahului oleh perbincangan dahulu tentang hal-ihwal
‘hukum’ dalam posisinya sebagai objek penelitian ilmiah.

G. Langkah ke Tujuh:

Apabila semua itu telah selesai dikerjakan, dan kerja penelitian sudah membuahkan hasil
kesimpulan, maka sebagai langkah penyempurnan, sang peneliti amat diharapkan kalau tanpa
ragu menuliskan hasil penelitiannya itu ke dalam sebuah risalah, untuk kemudian
menerbitkannya agar dapat diketahui umum. Publikasi adalah pertanggung-jawaban seorang
peneliti bahwa penelitiannya yang ia kerjakan itu telah ia lakukan berdasarkan metode yang
benar dan dengan hasil kebenarannya dapat dipertanggung-jawabkan. Dalam publikasinya itu ia
akan memaparkan apa yang tengah ia permudahkan dan pertanyaan prosedur apa yang sedang ia
rancangkan dan laksanakan, temuan-temuan apa saja yang telah ia peroleh, dan hikmah atau
pelajaran apa yang dapat ia peroleh dari penelitiannya itu, serta apa pula dari hasil berikut
hikmahnya itu yang bisa ia sumbangkan demi kemaslahatan kehidupan sesama umat manusia.
TEKNIK MENEMUKAN JUDUL
PENELITIAN HUKUM/FIQH

A. Hamid Sarong

A. Pendahuluan

Selalu terjadi keraguan dan pertanyaan mendasar di kalangan calon peneliti "apa judul yang
cocok atau yang aktual saat ini". Pada hal yang seharusnya siapa saja yang hendak meneliti dan
membayangkan suatu judul harus dengan membaca lebih dahulu. Tanpa bacaan tidak mungkin seseorang
menemukan suatu judul. Membaca saja belum tentu cukup, tentu saja harus merenungkan hasil
bacaannya. Oleh karenanya tidak mungkin suatu judul itu diperoleh dari orang lain. Membaca ada metoda
dan pedomannya. Membuat resensi atau mencatat sejumlah kata kunci. Bacaan seseorang tentu berkaitan
dengan kekinian. Kenyataan situasi yang melingkupi bacaan itulah yang membawa sipembaca
menemukan kesenjangan antara seharusnya dengan kenyataan.

Teks ilmu termasuk ajaran agama bersifat statis, justeru itu diperlukan dinamisasi untuk
menjawab perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Ilmu dan agama dengan teks statisnya harus
aktif membimbing umat yang terus berkembang dan dinamis. Justeru itu umat harus terus menerus
melakukan pemecahan masalah yang dihadapinya. Di sana-sini memang memerlukan bimbingan.

Ilmu pengetahuan merupakan tuntutan manusiawi. Homo intelektualitus makhluk ingin tahu.
Justeru itu membaca referensi adalah merupakan tuntutan kehidupan manusia. Tidak mungkin ada judul
tanpa didahului oleh bacaan. Tidak mungkin makhluk yang berpengetahuan tanpa membaca dan
merenungkan bacaan itu. Ketika seseorang merenungkan bacaannya, di saat itulah muncul ide-ide baru
dengan sejumlah penjelasan-penjelasannya. Penjelasan-penjelasan itulah merupakan penelitian-penelitian.
Penelitian adalah memberi penjelasan terhadap kesenjangan yang ditemukan antara bacaan/referensi
dengan kenyataan kekinian. Renungan-renungannya telah melahirkan gambaran antara bacaan dengan
harapannya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa penelitian sangat penting bagi kelangsungan peradaban umat
manusia. Tanpa “mengetahui dan berbuat” dengan benar maka sumber daya alam dapat segera habis
terpakai, atau justru kerusakan yang luar biasa terjadi di alam semesta tanpa bisa dihindari. Pencapaian
kebahagiaan hidup manusia akan dilakukan tanpa memperhatikan keberlangsungan hidup itu sendiri.
Penelitian mempunyai peran strategis dalam mempertahankan keberadaan manusia dan melahirkan
sumber daya manusia yang berkualitas.

Suatu penelitian selalu berpangkal tolak dari “masalah”. Telah menjadi pendapat umum bahwa
“masalah” adalah kesenjangan (discrepancy) antara dua variabel atau lebih. Penentuan masalah penelitian
berhubungan langsung pada kontribusi hasil penelitian tersebut bagi ilmu pengetahuan, dan pada
gilirannya berguna bagi kehidupan manusia pada umumnya. Sementara itu, representasi atas adanya
“masalah” ini adalah “judul penelitian”. Penentuan “judul penelitian” tidak lain adalah penentuan
“masalah penelitian”. Tulisan ini sejauh mungkin menguraikan “teknik” penentuan judul penelitian.
Dimaksud “teknik” dalam hal ini adalah cara atau metoda melakukannya.

B. Judul dan Masalah Penelitian


Judul itu sebenarnya berasal dari sebuah pertanyaan. Ketika pertanyaan itu dijadikan judul kata
tanyanya dihilangkan. Atas dasar sebuah pertanyaan itu dirumuskanlah sebuah judul. Di dalam kalimat
judul harus problematik ada percanggahan. Itulah sebabnya di dalam rumus judul diharapkan ada minimal
dua buah variabel. Dua buah variabel itulah yang mengandung problematik, variabel yang satu dengan
variabel yang lain. Seharusnya dengan kenyataan. Mazahab A dengan mazhab B. Konsep normatif
dengan kenyataan empiris. Sebetulnya membuang kata tanya saja belum tentu cukup. Anjuran membuang
kata tanya adalah anjuran yang sangat sederhana dalam menemukan judul penelitian. Tehnik yang paling
tepat adalah termuatnya dalam judul itu sebuah problematik.

Judul penelitian harus dapat menggambarkan masalah penelitian yang hendak dikaji. Dengan
demikian, untuk dapat menentukan judul penelitiannya dengan baik, seorang peneliti pertama-tama harus
memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “masalah” itu sendiri. Tradisi penelitian,
“masalah” selalu secara berganti-ganti dengan istilah “pertanyaan” penelitian digunakan untuk
menggambarkan adanya kesenjangan antara dua variabel atau lebih tersebut.

Masalah penelitian merupakan “the experience we have when an unsatisfactory situation is


encountered”, sedangkan pertanyaan penelitian adalah “a statement of what you wish to know about some
unsatisfactory situation” (Ibid: 47). Dengan demikian, masalah disini mencakup pengertian yang lebih
luas daripada pertanyaan penelitian. Masalah penelitian diyakini oleh peneliti bahwa didalamnya memuat
hal-hal yang belum sepenuhnya dapat dipahami dan dengan suatu penelitian diharapkan timbul
pemahaman yang lebih baik. Sedangkan pertanyaan penelitian berhubungan dengan suatu hal yang tidak
diketahui sama sekali atau ingin diketahui lebih jauh dengan suatu penelitian. Judul penelitian merupakan
representasi dari masalah penelitian.

Prakteknya di Indonesia judul penelitian identik dengan masalah penelitian, karena rumusan
masalahnya (pertanyaan penelitian) dibentuk dengan menambahkan kata tanya, seperti “apakah”,
“bagaimana” atau “sejauhmana” dari judul tersebut sebagaimana telah kita sebutkan. Misalnya, judul
penelitiannya adalah "Kekuatan Instrumen Hukum Negara dalam Menegakkan Pencatatan Pernikahan di
Indonesia", maka pertanyaan penelitiannya (rumusan masalahnya) adalah “bagaimana atau sejauhmana
hubungan antara kekuatan hukum dan pencacatan pernikahan di Indonesia. Dilihat dari konstruksi di atas,
“judul penelitian” tersebut identik dengan “masalah penelitiannya”. Padahal judul penelitian adalah
representasi dari masalah penelitian jadi tidak selalu identik. Bahwa setiap judul penelitian harus
menunjukkan adalah “masalah penelitian” benar adanya, tetapi tidak selalu identik antara keduanya.

C. Variabel-variabel dalam Judul Penelitian


Dalam setiap “judul penelitian” harus dapat menggambarkan masalah penelitian yang hendak
dikaji, sehingga pemahaman akan variabel-variabel masalah menjadi penting. Dikatakan bahwa masalah
adalah kesenjangan antara dua variabel atau lebih. Dengan demikian, dalam menentukan judul penelitian,
pertama-tama adalah mengidentifikasi variabel-variabel yang menentukan adanya masalah tersebut.
Untuk mengetahui adanya masalah dalam penelitian itu adalah setelah adanya bacaan. Ilmu pengetahuan
dalam bidang apapun tidak pernah berhenti, terus saja berkembang sesuai menurut kehendak para
pengayom dalam bidang ilmu tersebut. Ilmu eksakpun mengalami perobahan.
Berikut ini adalah sejumlah pertanyaan yang harus terlebih dahulu dijawab oleh seorang peneliti
sebelum menentukan judul penelitiannya, yaitu:
1. Apa yang menjadi variabel bebas (independent variable) dalam penelitian tersebut?, dianggap sebagai
variabel umum.
2. Apa yang menjadi variabel tergantung (dependent variable) dalam penelitian tersebut?, dianggap
sebagai variabel khusus.
3. Apa yang paling menentukan dari norma-norma hukum yang terdapat di dalam judul itu. Peraturan-
peraturan apa saja yang melekat dengan judul tersebut.
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dapat dipastikan tentang variabel-variabel dalam suatu
penelitian. Berhubungan dengan masalah di atas, jawabannya sebagai berikut:

1. Instrumen Hukum Negara sebagai variabel bebas.


2. Pencatatan Nikah sebagai variabel terikat.
3. Faktor yang paling potensial mengaburkan variabel-variabel ini adalah “Instrumen Hukum” dan
“Pencatatan/akta”.
4. Ukuran kenaikan harga adalah “rupiah”, sedangkan ukuran konsumsi adalah “liter”.
5. Kenaikan harga didukung oleh instrumen keputusan pemerintah berupa (Keputusan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral), sedangkan kenaikan konsumsi didukung oleh instrumen Laporan Kepala
Bagian Rumah Tangga tentang “rembers bensin” mobil dinas yang diajukan para sopir.
6. Karakteristik distribusi populasi kenaikan harga BBM adalah “meningkat”, sedangkan karakteristik
distribusi populasi konsumsi BBB adalah “menurun”.
Jawaban pertanyaan No. 1 dan No. 2 dapat memastikan bahwa judul penelitian ini merupakan
representasi dari suatu “masalah”, yaitu masalah sejauhmana kenaikan harga BBM mempengaruhi tingkat
konsumsi BBM itu sendiri. “Kenaikan harga BBM” menjadi variabel bebas karena keberadaan variabel
ini tidak ditentukan oleh faktor empiris. Artinya keberadaannya tidak berhubungan langsung dengan
empirisme yang akan diteliti. Sementara itu, “tingkat konsumsi BBM” menjadi dependent variable,
karena keberadaan variabel ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sifatnya empiris, termasuk tetapi
tidak terbatas independent variable.

Berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan No. 3, menyebabkan penelitian seperti ini harus
dilengkapi dengan mengadakan “definisi operasional” atau membangun “kerangka konseptual” terhadap
apa yang dimaksud dengan “BBM” atau “Kendaraan Dinas”. Kedua hal ini dapat mempengaruhi tingkat
akurasi penelitian jika tidak dibatasi dengan jelas. Misalnya apakah yang dimaksud dengan “BBM” itu
semua jenis BBM yang digunakan oleh kendaraan-kendaraan dinas di Kejaksaan Agung, yaitu
keseluruhan jenis atas BBM tersebut, atau salah satu jenisnya saja yang menonjol. Sedangkan kendaraan
dinas disini, apakah khusus kendaraan operasional ataukah semua kendaraan milik Kejaksaan Agung.

Jawaban pertanyaan No. 4 dan No. 5 menunjukkan bahwa variabel-variabel dalam penelitian ini
adalah masalah yang dapat dengan mudah diukur, baik dalam tataran teknis maupun normatif. Tanpa
dapat dipastikan tentang ukuran terhadap variabel-variabel penelitian ini, boleh jadi suatu judul penelitian
memuat masalah yang “menarik”, tetapi “tidak dapat” dapat diteliti. Syarat mutlak bagi suatu judul
penelitian adalah dapat diteliti.

Sementara itu, karakteristik sebaran populasi sebagaimana tergambar dari jawaban atas
pertanyaan No. 6 dapat menjadi dasar penyusunan “hipotesis” dari penelitian ini. Sekalipun tidak semua
penelitian memerlukan hipotesis, tetapi hipotesis kerja selalu diperlukan, sekalipun terhadap penelitian
hukum yang normatif. Penentuan hipotesis sangat membantu peneliti dalam menentukan arah penelitian
yang dilakukannya

Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas menunjukkan bahwa judul penelitian


mengenai hubungan antara kenaikan BBM dan tingkat konsumsi BBM kendaraan dinas, cukup
manageable, sehingga dapat untuk dilakukan. Pertanyaan penting untuk setiap penelitian apakah hal itu
“dapat” dilakukan.

D. Judul Penelitian dan Kegunaan Hasil Penelitian


Selain suatu penelitian “dapat” dilakukan, maka hal lain yang harus diperhatikan oleh seorang
peneliti ketika menentukan judul penelitian bahwa penelitian tersebut “perlu” untuk dilakukan. Hal ini
berhubungan langsung dengan kegunaan hasil penelitian tersebut. Dengan demikian, suatu judul
penelitian harus menggambarkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan mengenai hal tersebut berguna,
baik ilmu pengetahuan, peradaban umat manusia (masyarakat) maupun bagi peneliti sendiri.

Ada tiga faktor utama yang menentukan apakah suatu penelitian “perlu atau tidak” untuk
dilakukan.

1. Faktor Peneliti
Faktor peneliti memegang peranan penting dalam menentukan apakah suatu penelitian “perlu” untuk
dilakukan. Peneliti harus merupakan orang pertama yang berfikir bahwa penelitian yang dilakukannya
adalah “perlu” dilakukan. Bahkan peneliti berkewajiban menjelaskan kepada komunitas di sekitarnya
bahwa masalah yang hendak diteliti perlu dipecahkan. Menurut Joan Bolker (Joan Bolker, 1998: 11-12)
perlunya berfikir bahwa pokok hal yang akan diteliti tidaklah selalu berarti adanya pemahaman yang
sangat mendalam mengenai hal itu. Pemahaman ini justru mungkin baru terbentuk ketika melakukan
penelitian itu sendiri. Dikatakannya:

“ I’, not recommending that you necessarily try to understand your own pattern before you choose your
thesis topic, or even that you necessarily have one; I’m suggesting you consider that such a pattern may
exist, and allow yourself to go on a fishing expedition. This is how you will find out where your interest
lies, where your curiosity leads you”.

Dengan demikian, suatu judul penelitian harus memuat keyakinan bahwa hal yang akan dikaji sangat
diperlukan.

2. Faktor Kebutuhan Ilmu Pengetahuan


Penelitian yang dibiayai oleh sponsor kerapkali berhubungan dengan kepentingan pemberi
sponsor. Oleh karena itu, jawaban atas perlu tidaknya suatu penelitian ditentukan kerapkali ditentukan
oleh sponsor itu sendiri. Tentunya, judul penelitian yang diajukan tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap dapat disetujuinya usul suatu penelitian tersebut. Hal yang perlu dijaga oleh setiap peneliti,
adalah jangan sampai penelitian yang dilakukan ataupun hasil penelitian yang diperoleh menjadi
“legitimasi belaka” dari kepentingan penyandang dana. Terutama dalam hal tema penelitian berkenaan
dengan kepentingan sponsor.

Berbeda halnya dalam hal penelitian diajukan oleh peneliti kepada sponsor untuk pembiayaannya.
Dalam hal ini judul penelitian memegang peranan penting sehingga, suatu lembaga atau perorangan
tergerak untuk mendananinya. Biasanya hal ini juga dikaitkan dengan kepentingan sponsor. Hal yang
perlu dijaga dalam hal ini adalah, jangan sampai kepentingan peneliti mempengaruhi objektifitas (inter-
subyektifitas) dari peneliti.

3. Faktor Masyarakat
Faktor masyarakat juga menentukan perlu tidaknya suatu penelitian. Seperti dikemukakan di atas,
penelitian sejauh mungkin merupakan upaya memecahkan masalah yang dihadapi manusia. Suatu judul
penelitian dapat “ditolak” jika tidak terkait langsung dengan pemecahan masalah manusia, tetapi semata-
mata pemenuhan “rasa ingin tahu” peneliti. Sejauh mana kepentingan masyarakat dapat dijadikan ukuran
layak tidaknya suatu judul penelitian dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai etis
masyarakat itu sendiri. Apakah penelitian berkenaan dengan cloning manusia dibutuhkan masyarakat,
tergantung pada jawaban apakah hal itu tidak bertentangan dengan etika masyarakat itu sendiri.

E. Tehnik Perumusan Kalimat dalam Judul Penelitian


Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan kalimat dalam judul:

1. Susunan kata-kata;
2. Mudah dipahami;
3. Pemenggalan suku kata
4. Tidak mengandung makna penghinaan
5. Bahasa baku
6. Tidak boleh bahasa bombastis
7. Minimal judul dua variable
8. Tidak terlalu teknis
9. Judul tidak boleh terurai dengan banyak kata penghubung.

F. Simpulan
Judul penelitian adalah berasal dari pertanyaan yang diniatkan peneliti. Pertanyaan ini muncul
setelah peneliti menelusuri referensi yang berhubungan dengan bidang ilmu yang digeluti oleh seseorang.
Seseorang menguasai bidang fiqh setelah menelusuri terus menerus di bidang itu, tentu saja tidak
mungkin orang itu bermaksud meneliti di bidang filsafat. Ini merupakan suatu alasan kenapa seseorang
dalam mengembangkan ilmu yang ada pada dirinya harus liniar. Tidak mungkin seseorang yang berada
pada disiplin ilmu fiqh, tiba-tiba yang bersangkutan meneliti bidang perbandingan agama. Sepanjang
seseorang menggeluti bidang yang diminatinya berdasarkan referensi, dipastikan akan melahirkan banyak
sekali judul atau pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan penelitian.
Bank Pengkreditan Rakyat Syari’ah;
Studi Hukum Perbankan dan Eksitensinya
dalam Sistem Ekonomi Indonesia
Mendesain Seharusnya (das sallen)
Mendesain Kenyataan (das sein)

1. Lembaga keuangan Islam seharusnya mendapat sambutan yang luas;


2. Kehadiran Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah tidak begitu kuat, hanya pengaturannya
bersandar pada peraturan perundang-undangan secara umum.
3. Seharusnya masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim menyambut dengan gembira
kehadiran Bank Islam yang bebas dari bunga/riba.
4. Seharusnya masyarakat muslim mempedoman ayat-ayat al-Qur’an. Al-Qur’an menjadi
pedoman bagi dirinya.
5. Kenyataannya masyarakat Islam kurang serius menyambut kehadiran Bank Islam. Belum
banyak bukti, masyarakat melakukan pembiayaan dengan Bank yang berlabel Islam.
6. Banyak nasabah bank Islam orang sederhana bukan orang kaya. Orang kaya melakukan
pembiayaan sebatas partisipasi saja.
7. Kenyataan istilah-istilah yang digunakan pada bank Islam adalah istilah-istilah yang
dipaksakan. Istilah tidak memasyarakat di kalangan umat Islam.
8. Masyarakat muslim bermitra dengan bank syari’ah, bukan dalam kegiatan bisnis
produktif, tetapi berkisar hanya pada bidang konsumtif.

Tata Cara membuat Latar Belakang Masalah

Sebagaimana telah dirumuskan di atas, bahwa untuk mendesain Latar belakang masalah
adalah dengan cara membuat dan menemukan ide setiap alinea yang akan ditulis. Tulislah
delapan ide pokok yang dapat dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu bagian das Sollen dan
das sein. Masing-masing bagian itu empat ide, sebagaimana yang telah diterakan di atas.

Ide pokok dalam dua kategori di atas diuraikan dalam bentuk alinea, sebagaimana
dibawah ini.

A. Latar Belakang Masalah

Kehadiran Lembaga-lembaga keuangan Islam seharusnya mendapat sambutan yang luas.


Lembaga keuangan Islam yang sekarang digalakkan di tengah-tengah muslim hanya berada pada
lapisan luar saja, di tingkat pembicaraan politik. Lembaga keuangan yang dimunculkan pada saat
ini adalah Bank perkreditan Rakyat, Baitul Qirat dan Baitul Tamwil. Lembaga-lembaga
keuangan Islam ini diharapkan akan menjadi contoh dalam pengurusan dana umat Islam. Dana
umat Islam yang tersimpat pada lembaga keuangan ini akan sangat aman dan amanah. Usaha
yang diperoleh dari lembaga yang dicita-citakan umat Islam tidak akan menjadi pemeras yang
tidak mengenal kompromi. Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah berharap, masyarakat dapat
berkembang dengan cepat, tanpa was-was terhadap resiko, dan juga bank itu dapat survive untuk
mengembangkan usaha dan melanjutkannya. Para nasabah akan bekerja dan mengembangkan
usaha dengan jujur dan gigih. Tidak perlu mencari kiat dan tipu muslihat untuk mengelabui
pemodal. Pemodal juga tidak perlu mencari daya upaya atau kiat untuk curang, karena semua
kegiatan serta keuntungan dikelola dengan terbuka dan transparan. Cara kerja seperti inilah yang
diharapkan terjadi pada lembaga-lembaga keuangan Islam.

Kehadiran Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah dan lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya
adalah berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 Jo PP. No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan
Rakyat jo UU no. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankkan.
Dalam peraturan perundang-undangan tersebut diberi kemungkinan mengembangkan dan
menghidupkan lembaga keuangan yang berlandakan syari’at Islam. Ketentuan keberadaan bank
Islam di Indonesia hanya berlandaskan siratan undang-undang perbankan pada umumnya. Kalau
hanya berdasarkan siratan undang-undang perbankan pada umumnya. Kalau hanya berdasarkan
siratan seperti iti dianggap tidak kuat. Padahal keberadaan Bank Islam ini sangat krusial, karena
tidak saja terjadi perubahan nama dan tata cara kerjanya, tetapi juga faktor budaya. Bank
konvensional berdasarkan budaya kapitalis, sedangkan Bank Islam berdasarkan budaya Islamic,
justru itu landasan hukum keberadaan Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah haruslah lebih buat dan
kokoh mengakar dalam perundang-undang.

Masyarakat Indonesia seharusnyalah menyambut dengan gembira kehadiran Bank Syari’ah


di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia. Bank keuangan dengan bunga yang ada di bank
konvensional sangat kontroversial. Para ulama menolak sistem bunga, karena mengandung riba.
Hukum riba adalah haram. Justru itu sejogyanya kegiatan ekonomi umat Islam Indonesia melalui
bank Islam yang bebas bunga. Kalau sekitarnya transaksi dan transfer uang milik umat Islam,
terutama tokoh-tokohnya, melalui bank syari’ah maka dapat dipastikan kegiatan bank Islam di
Indonesia akan sangat padat. Masyarakat Islam tidak akan menyimpan uang pada hal-hal yang
tidak produktif. Menyimpan uang pada bank konvensional berada pada tingkat syubhat dan ada
yang memastikan hukumnya haram. Oleh sebab itu satu-satunya lembaga keuangan yang tersisa
untuk sekarang ini adalah bank Islam umum atau bank perkreditan rakyat seperti BPRS, Baitul
Qirat dan lain-lain yang sejenis dengannya.

Al-qur’an dalam surat Al Maidah ayat 46, Allah swt menjelaskan bahwa “Barang siapa
yang tidak menetapkan hukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah, mereka itu termasuk
orang-orang yang dhalim”. Ayat ini merupakan peringatan keras Allah swt kepada manusia
mengenai ketentuan pelaksanaan hukum yang diturunkanNya. Dalam hal ini Rasulullah saw
menegaskan betapa penting menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman, dalam rangka
menyelamatkan nilai kemanusiaan. Ketetapan ini terdapat dalam sebuah hadist riwayat Imam
Malik, “Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara (pegangan hidup), dimana kamu tidak akan
tersesat selamanya, apabila berpegang pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.

Baik ayat Al-Qur’an maupun hadist Rasulullah saw, memberikan penekanan yang sangat
keras menyangkut pentingnya mengikuti dan menuruti perintah-perintah yang telah ditetapkan
oleh Allah swt. Bagi umat Islam, hal tersebut merupakan kewajiban yang musti dilaksanakan.
Begitu juga halnya dengan berbagai ketentuan yang telah digariskan, setiap muslim harus
menjalankan syari’at Islam secara kaffah. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
dalam Islam secara sempurna, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan syaithan, karena
syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Nampaknya masyarakat muslim kurang serius
dalam menanggapi ayat al-Qur’an tersebut.

Penetapan ketentuan yang telah digariskan Allah swt, merupakan sutau hal yang mutlak
untuk dipatuhi. Konsekwensinya teraplikasi kepada seluruh aspek kehidupan sehari-hari, baik
dalam bidang politik, sosial budaya maupun ekonomi. Segala tingkah laku, seluk beluk berikut
prinsip-prinsipnya haruslah merupakan suatu implementasi dari nilai-nilai yang terkandung
dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Setiap umat Islam diwajibkan menerapkan nilai-nilai
Islam ke dalam berbagai bidang tingkah laku perekonomian. Untuk memperoleh keuntungan
diperbolehkan menganut prinsip ekonomi konvensional, modal yang sedikit, mendapat laba atau
keuntungan yang besar, tetapi dengan catatan tidak bertentangan dengan konsep-konsep agama
dalam arti tidak mendhalimi.

Kenyataan menunjukkan bahwa sambutan masyarakat Islam, nampaknya kurang serius,


artinya mereka tidak menggunakan lembaga ini secara maksimal. Hanya sekedar untuk
mengatakan dukungan saja. Saham yang ditanam sebesar dukungan untuk menghidupkan
lembaga dimaksud. Sama halnya seperti orang-orang mendirikan koperasi, sekedar seperti
sumbangan sedekah. Bahkan ada yang sangat mengecewakan, Bank Muamalat Indonesia terdiri
dari saham-saham kosong. Saham kosong itu milik tokoh-tokoh yang nyaring suaranya
mendirikan lembaga-lembaga yang bersifat kerakyatan, termasuk di dalamnya bank Islam.
Keadaan demikian telah membawa citra buruk masyarakat muslim Indonesia. Bank Islam hanya
sekedar barang antik yang perlu dipelihara, dianggap seperti bonsai. Disiram dan diberi pupuk
untuk hidupnya saja, tidak untuk dibesarkan.

Pegawai yang bekerja di lembaga keuangan Islam seperti yang telah disebutkan di atas,
nampaknya juga kurang profesional. Ruang yang seadanya dengan pegawai yang berpenampilan
sederhana, memberi isyarat bahwa lembaga itu hanya sekedar mengisi lembaran sejarah. Sudah
tercatat bahwa Indonesia telah didirikan lembaga keuangan Islam. Di samping itu gairah dari
pegawai juga kurang nampak, kecuali satu dua orang saja. Banyak di antara pegawai yang hanya
membicarakan ketidak benaran lembaga keuangan konvensial, dan mengandung riba.
Pendidikannyapun nampaknya kurang memadai. Justeru itu yang sangat menonjol hanya
semangat semata. Semangat yang seperti itu menghasilkan tingkah laku yang emosional.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa keberadaan Bank Perkreditan Rakya Syari’ah


berdasarkan penafsiran dari salah satu pasal yang terdapat dalam peraturan pemerintah No. 72
Tahun 1992. Orang sering menyebut bahwa keberadaan BPRS ini sebagai lembaga keuangan
alternatif. Padahal lembaga keuangan Islam ini adalah lembaga yang diciptakan oleh umat Islam.
Bukan lembaga keuangan ini tempat pelarian setelah lembaga lama gagal dalam mewujudkan
fungsi lembaga keuangan lain dalam masyarakat muslim. Dengan demikian sangat lemah dasar
hukum keberadaan lembaga keuangan Islam. Keadaan ini disebabkan oleh kurangnya partisipasi
umat Islam pada saat undang-undang perbankan diperdebatkan. Kalau sekiranya ahli hukum
ekonomi Islam berpartisipasi memasukkan rumus-rumus hukum ekonomi Islam ke dalam pasal-
pasal yang terdapat dalam Undang-undang Perbankan beserta aturan-aturan pelaksanaannya,
akan didapati keberadaan Bank Syari’ah tidak akan seperti sekarang ini. Pada waktu itu banyak
masyarakat muslim bersikap masa bodoh. Akibatnya sebagaimana dialami sekarang ini.

Nasabah Bank Islam sebagaimana telah disinggung diatas adalah orang-orang miskin.
Kalaupun ada orang kaya yang menjadi nasabah hanya sebatas berpartisipasi saja. Orang kaya
atau cendekiawan tidak berminat untuk menjadikan bank Islam sebagai mitra kerja/usaha.
Keadaan demikian telah menyebabkan perputaran uang pada bank yang dapat mengangkat
martabat agama Islam, sedikit sekali. Keadaan yang demikian telah menyebabkan bank yang
berlabel Islam itu tidak berwibawa, tenaga yang profesionalpun tidak berminat, karena itu tidak
berkembang. Tenaga yang agresifpun tidak berminat, karena tidak ada tantangan. Justeru itu
tetaplah keadaan seperti itu akan berada pada posisi yang tidak menggembirakan .

Hal lain yang menjadi kenyataan dan merupakan komponen yang diteliti adalah istilah-
istilah yang dipakai oleh Bank Islam. Nampaknya pencetus Bank Islam menganggap sangat
penting penggunaan istilah dalam bahasa arab. Walaupun ada kemungkinan istilah itu tidak
dipahami dengan benar oleh masyarakat. Tetapi masyarakat akan langsung mempercayainya
karena istilah itu berasal dari Arab. Dilihat dari konsepsional Al-Qur’an, istilah itu tidak begitu
penting, yang sangat diperhitungkan adalah subtansialnya. Sebagai contoh istilah Al Qardhul
Hasan diterjemahkan dengan “kebijakan”. Istilah ini tentu saja belum memasyarakat dalam
dunia ekonomi. Justeru itu perlu sosialisasi. Padahal ada juga istilah yang lain, langsung dapat
diakomodir saja istilah yang sudah ada dalam dunia ekonomi sekarang ini, misalnya “kredit
lunak” atau “pembiayaan lunak”.

Tentatif Rumusan Masalah

1. Asas-asas Hukum apa saja yang harus dimiliki oleh Bank Syari’ah.
2. Kenapa Bank Syari’ah tidak diminati oleh masyarakat Islam.
3. Apakah dasar hukum keberadaan Bank Islam sudah cukup kuat di Indonesia.
4. Kriteria apa saja yang harus dimiliki oleh Bankir Syari’ah.
5. Apakah sudah cukup dipahami oleh masyarakat tentang makna riba atau Bunga bank?

Muatan Karya Tulis Ilmiah


Filosofi +10%

Teoritis +10%

S1 (Skipsi)
Deskriptis 80%

1/3 Filosofis

S2 (Tesis) 1/3 Teoritis

1/3 Deskriptis

Deskriptif <10%

>20% (teoritis)

S3 (Disertasi) Filosofis + 70%

Anda mungkin juga menyukai