Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Konteks sistem sosial yang lebih luas yang menyangkut relasi kekuatan,
ketidakadilan jender, inklusifisme, pembelaan hak-hak publik, dan kesetaraan
sosial kurang mendapat perhatian. Analisis Kebijakan sosial (AKS) yang
merupakan piranti penting pekerjaan sosial seakan-akan hanya merupakan
‘senjata pusaka’ yang dianggap wajib diajarkan dikelas, namun tidak pernah
dipraktekan dilapangan.

Analasis kebijakan sosial adalah salah satu keahlian yang penting dimiliki
oleh calon pekerja sosial, terutama yang akan bekerja pada setting makro.
Metoda pekerjaan sosial meliputi tiga aras, intervensi mikro (individu dan
keluarga), mezzo (kelompok) dan makro (masyarakat dan sistem sosialIntervensi
makro bukan hanya melibatkan seperangkat keahlian dalam melakukan
‘pengembangan’ dan ‘pemberdayaan’ masyarakat seperti selama ini
dioperasikan. Melainkan, mencakup pula keahlian merumuskan kebijakan sosial
dan menganalisis implikasi-implikasi yang ditimbulkannya dalam konteks sistem
sosial yang holistik. Oleh karena itu, pemahaman dan penguasaan materi analisis
kebijakan sosial akan menjadi sebuah lompatan besar bagi pengembangan
metodan pekerjaan sosial khususnya dan ilmu sosial pada umumnya. Selain
analisis kebijakan sosial merupakan metode pekerjaan sosial yang ‘market
friendly’ (diperlukan oleh LSM dan Badan-badan dunia), penguatan metode ini
akan menjadi semacam ijtihad akademis untuk menghindari kejumudan dan

1
ketaklidan berfikir di kalangan pekerja sosial, khususnya pengembang
masyarakat, yang tanda-tandanya kini membayang di kedekatan.

2. Rumusan Masalah
1. Apa itu kebijakan sosial?
2. Apa itu Analisis Kebijakan Sosial?
3. Bagaimana Pendekatan Analisis Kebijakan Sosial?
4. Bagaimana Teknik untuk menganalisis?
5. Apa saja model analisis kebijakan?
6. Bagaimana kerangka analisis kebijakan?
7. Bagaimana proses perumusan kebijakan?
8. Bagaimana mekanisme kebijakan sosial?
9. Apa saja isu-isu kebijakan sosial?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kebijakan sosial.
2. Untuk mengetahui yang dimasud dengan Analisis Kebijakan Sosial.
3. Untuk mengetahui Pendekatan Analisis Kebijakan Sosial.
4. Untuk mengetahui Teknik untuk menganalisis.
5. Untuk mengetahui model-model analisis kebijakan.
6. Untuk mengetahui kerangka analisis kebijakan.
7. Untuk mengetahui proses perumusan kebijakan.
8. Untuk mengetahui mekanisme kebijakan sosial.
9. Untuk mengetahui isu-isu kebijakan sosial.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kebijakan Sosial

Istilah ‘kebijakan’ yang dimaksud dalam materi ini disepadankan dengan


kata bahasa Inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata ‘wisdom’ yang berarti
‘kebijaksanaan’ atau ‘kearifan’. Kebijakan sosial terdiri dari dua kata yang
memiliki banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’ dan kata ‘sosial’ (social).
Untuk menghindari ambiguitas istilah tersebut, ada baiknya kita diskusikan
terlebih dahulu mengenai pengertian keduanya. 

Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang


berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari
yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu)
(Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai
prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang
mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto,
1997). Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah
(problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan
yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang
dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut
aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang menyangkut bidang
kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan
pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan perundang-undangan

3
tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa
Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial
diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan
bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan
kesejahteraan sosial (Conyers, 1992). 
Beberapa ahli seperti Huttman, Marshall, Rein, dan Magill mengartikan
kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial
(Suharto, 1997). 
1. Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau
rencana-rencana  untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi
kebutuhan sosial (Huttman, 1981). 
2. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan
warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan
keuangan (Marshall,1965). 
3. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya
sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan
bantuan sosial (Rein, 1970). 
4. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public
policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari
pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi,
pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya
(air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan
publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill,
1986).

Kebijakan sosial seringkali menyentuh, berkaitan, atau bahkan, selintas,


bertumpang-tindih (Overlaping) dengan bidang lain yang umumnya
dikategorikan sebagai bidang sosial, semisal kesehatan, pendidikan,

4
peumahan, atau makanan. Lebih dari itu, makna ‘sosial’ tidak jarang diartikan
secara luas sebagai, misalnya, kegiatan kesukarelawanan, hiburan, rekreasi,
sesuatu yang bersifat non-fisik atau non-ekonomi. Spicker (1995 : 5)
membantu mempertegas substansi kebijakan sosial dengan menyajikan tiga
karakteristik atau atas pendefinisi kebijakan sosial.
1. Social Policy is about policy. Kebijakan sosial adalah tentang
‘kebijakan’. Artinya, meskipun kebijakan sosial bersentuhan dengan
bidang makanan, pendidikan dan kesehatan, ia memiliki fokus dan
urusannya sendiri, yakni menyangkut urusan kebijakan. Elemen utama
kebijakan adalah tujuan, proses implementasi dan pencapaian hasil
suatu inisiatif atau keputusan kolektif yang dibuat oleh, misalnya
departemen-departemen pemerintah (pada tingkat makro) atau
lembaga-lembaga pelayanan sosial (pada skala mikro). Karenanya,
meskipun kebijakan sosial tidak jarang berhubungan dengan
‘makanan’, ia tidak mempelajari atau mengurusi soal makanan itu
sendiri; melainkan dengan regulasi dan distribusi makanan tersebut.
Kebijakan sosial tidak secara langsung berhubungan dengan
perkembangan anak (child development), tetapi dengan pendidikan
dan pelayanan sosial untuk membantu mengatasi kesulitan anak-anak
tumbuh dan berkembang. Kebijakan sosial juga tidak mengurusi
persoalan kesehatan fisik karena merupakan domain kedokteran, tetapi
ia sangat berkaitan dengan kebijakan-kebijakan untuk
mempromosikan kesehatan dan pemberian perawatan kesehatan,
khususnya yang menyangkut jaminan sosial kesehatan (di AS disebut
Medicare dan Medicaid)
2. Sosial Policy is concerned with issues that are social. Kebijakan sosial
berurusan dengan isu-isu yang bersifat sosial. Namun, seperti
dijelaskan dimuka, arti sosial disini tidak bersifat luas. Melainakan
merujuk pada beragam respon kolektif yang dibuat guna mengatasi

5
masalah sosial yang dirasakan oleh publik. Istilah sosial menunjuka
kepada “...Some kind of collective social response made to perceived
problem,” demikian kata Spiker.
3. Social policy is about welfere. Secara luas, Welfere dapat diartikan
sebagai ’Well-being’ atau ‘kondisi sejahtera’. Namun, welfere juga
berarti “The provision of social services provided by the state” dan
sebagai “Certain types of benefit, especially means-tested social
security, animed at poor people”.

B. Definisi Analisis Kebijakan Sosial

Mengacu pada Dunn (1991), analisis kebijakan sosial (AKS) adalah ilmu
sosial terapan yang mengguanakan berbagai metode penelitian dan
argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis
masalah-masalah sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannya suatu
kebijakan sosial. Ruang lingkup dan metode analsis kebijakan umumnya
bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat suatu
kebijakan. Analisis Kebijakan Sosial, merujuk Quade (1995), adalah suatu
jenis penelahaan yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat
dijadikan dasr-dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam
memberikan penilaian-penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga
diperoleh alternatif-alternatif perbaikannya. Kegiatan penganalisisan
kebijakan dapat bersifat formal dan hati-hati yang melibatkan penelitian
mendalam terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang berkaitan dengan
evaluasi suatu program yang akan maupun telah dilaksanakan. Namun
demikian, beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat pula bersifat informal
yang melibatkan tidak lebih dari sekedar kegiatan berfikir secara cermat dan

6
hati-hati mengenai dampak-dampak kebijakan terhadap kehidupan
masyarakat.

Analisis kebijakan (policy analysis) dapat dibedakan dengan pembuatan


atau pengembangan kebijakan (policy development). Analisis kebijakan tidak
mencakup pembuatan proposal perumusan kebijakan yang akan datang.
Analisis kebijakan lebih menekankan pada penelaahan kebijakn yang sudah
ada. Sementara itu, pengembangan kebijakan lebih difokuskan pada proses
pembuatan proposal perumusan kebijakan yang baru.

Namun demikian, baik analisis kebijakan maupun pengembangan


kebijakan keduanya memfokuskan pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan.
Analisis kebijakan mengkaji kebijakan yang telah berjalan, sedangkan
pengembangan kebijakan memberikan petunjuk bagi pembuatan atau
perumusan kebijakan yang baru.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan


sosial adalah usaha terencana yang  berkaitan dengan pemberian penjelasan
(explanation) dan preskripsi atau rekomendasi (prescription or
recommendation) terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial yang
telah diterapkan. Penelaahan terhadap kebijakan sosial tersebut didasari oleh
oleh prinsip-prinsip umum yang dibuat berdasarkan pilihan-pilihan tindakan
sebagai berikut:

1. Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin


keilmiahan dari analisis yang dilakukan.
2. Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai
kebijakan sosial tersebut berdasarkan nilai benar dan salah.
3. Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk
menjamin keamanan dan stabilitas.

7
Ketiga alternatif tindakan tersebut kemudian diterapkan untuk menguji
atau menelaah aspek-aspek kebijakan sosial yang meliputi:

1. Pernyataan masalah sosial yang direspon atau ingin dipecahkan oleh


kebijakan sosial.
2. Pernyataan mengenai cara atau metoda dengan mana kebijakan sosial
tersebut diimplementasikan atau diterapkan.
3. Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan
atau akibat-akibat yang mungkin timbul sebagai dampak
diterapkannya suatu kebijakan sosial.

Secara sederhana, maka analisis kebijakan sosial dapat digambarkan


kedalam table berikut ini:

Aspek Kebijakan Penelitian dan Orientasi Nilai Pertimbangan


Sosial Rasionalitas Politik
Pernyataan Masalah   
Sosial
Pernyataan mengenai
Cara atau Metoda   

Penerapan Kebijakan
Konsekuensi-   
Konsekuensi
Kebijakan

8
C. Pendekatan Analisis Kebijakan

Menurut Dunn (1991), analisis kebijakan adalah ilmu sosial terapan yang
menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk
menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis masalah-masalah
sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannnya suatu kebijakan. Ruang
lingkup dan metoda analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan
faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat suatu kebijakan.
Quade (1982) analisis kebijakan adalah suatu jenis penelaahan yang
menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat dijadikan dasar-dasar
pertimbangan para pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian-penilaian
terhadap penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif-alternatif
perbaikannya. Kegiatan penganalisisan kebijakan dapat bersifat formal dan
hati-hati yang melibatkan penelitian mendalam terhadap isu-isu atau masalah-
masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu program yang telah
dilaksanakan. Namun demikian, beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat
pula bersifat informal yang melibatkan tidak lebih dari sekadar kegiatan
berfikir secara cermat dan hati-hati mengenai dampak-dampak diterapkannya
suatu kebijakan.
Analisis kebijakan pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan informasi
dan argumen-argumen rasional mengenai tiga pertanyaan yang berkaitan
dengan
1. Fakta-fakta
2. Nilai-nilai
3. Tindakan-tindakan

Berdasarkan hal tersebut, maka ada tiga model pendekatan dalam analisis
kebijakan social. Pendekatan-pendekatan ini digunakan ketika menganalisis
sebuah kebijakan. Selain itu, pendekatan-pendekatan ini pun digunakan

9
sebagai sudut pandang untuk melihat apakah sebuah kebijakan pantas untuk
diaplikasikan di masyarakat atau tidak. Pendekatan yang dimaksud, yaitu:

1. Pendekatan Empiris. Pendekatan Empirik atau Analitik ini


menjelaskan hubungan sebab akibat dari suatu kebijakan. Sebuah
kebijakan diperkirakan pengaruhnya terhadap segala bidang yang
bersangkutan dengan kebijakan tersebut. Lalu dinilai kelayakannya
apakah akan menyebabkan hal yang mengganggu kepada bidang yang
bersangkutan atau tidak. Dan dari akibat yang diberikan kebijakan
tesebut, harus dipikirkan apakah kebijakan tersebut masih pantas
dijalankan. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain, apakah
faktanya sudah ada?
2. Pendekatan Evaluatif. Pendekatan Evaluatif menilai manfaat (value)
dari suatu kebijakan. Seberapa bernilaikah kebijakan tersebut untuk
diterapkan di kehidupan sosial. Saat menganalisa kebijakan harus
diuraikan atau diperkirakan manfaat-manfaat yang ada jika kebijakan
tersebut diterapkan. Jika kerugian lebih banyak maka lebih baik
kebijakan tersebut dicabut atau dibatalkan pelaksanaannya.
3. Pendekatan Normatif. Pendekatan Normatif memberikan rekomendasi
untuk kebijakan mendatang. Kebijakan seperti apa yang lebih pantas
digunakan untuk masa mendatang yang juga sudah diperkirakan
kebermanfaatannya di masyarakat. Pendekatan ini memperkirakan
situasi-situasi yang akan ada di masa mendatang sehingga terfikirkan
bagaimana kebijakan yang pantas untuk diterapkan.

Tabel dibawah ini menunjukkan bagaimana ketiga pendekatan tersebut


beroperasi dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendasarinya serta
jenis-jenis informasi yang dihasilkannya

10
Pendekatan Pertanyaan Jenis Informasi
Empiris Apakah faktanya ada? Penunjuk
Evaluatif Seberapa bernilaikah Evaluatif
fakta tersebut?
Normatif Apa yang harus Rekomendasi
dilakukan?

Dalam kaitannya dengan tiga model tersebut, terdapat empat prosedur analisis
yang dapat dijadikan patokan dalam melakukan analisis kebijakan sosial:
1. Monitoring yang dapat menghasilkan informasi deskriptif mengenai
sebab-sebab dan akibat-akibat kebijakan.
2. Peramalan yang dapat menghasilkan prediksi atau informasi mengenai
akibat-akibat kebijakan di masa depan.
3. Evaluasi yang dapat menghasilkan informasi mengenai nilai atau harga
dari dampak-dampak kebijakan yang telah lalu maupun di masa datang.
4. Rekomendasi yang dapat memberikan preskripsi atau informasi mengenai
alternatif-alternatif atau kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkan
dari suatu kegiatan.

D. Teknik Analisis
1. Analisis SWOT

11
Dalam menganalisis sebuah kebijakan kita perlu mengetahui kekuatan,
kelemahan yang dimiliki kebijakan tersebut. Selain itu, kita perlu juga
mengetahui peluang apa saja yang dapat diraih dan apa saja tantangan
yang akan dihadapi kebijakan tersebut. Maka analisis SWOT sangat tepat
digunakan untuk menganalisis kebijakan tersebut. Kita harus
memperhitungkan dan memikirkan kemungkinan yang terjadi terhadap
pelaksanaan kebijakan tersebut.

2. Analisis Efektifitas Biaya

Dalam menjalankan sebuah kebijakan kebijakan kita juga perlu


memperhitungkan faktor-faktor yang mendukung sebuah kebijakan
seperti sarana dan prasarana dan profesi yang mendukung. Dalam
mencapai tujuan keberhasilan tersebut maka diperlukan perhitungan biaya
terhadap dua faktor tersebut agar pelaksanaanya dapat berjalan dengan
maksimal. Dan perhitungan biaya dilakukan secara hati-hati supaya tidak
ada biaya yang menyimpang penggunaannya.

3. Analisis Indeks Kepuasan Publik

Ketika sebuah kebijakan sudah dilaksanakan maka akan mendapat


tanggapan dari masyarakat baik mereka puas atau pun kecewa. Maka
seberapa tinggi kepuasan masyarakat terhadap sebuah kebijakan akan
menjadi bahan analisis terhadap kebijakan tersebut, apakah kebijakan
tersebut bermanfaat untuk masyarakat atau malah mengganggu atau
membuat kecewa masyarakat.

E. Model Analisis Kebijakan Sosial

12
Menurut Dunn (1991: 51-54), ada tiga bentuk atau model analisis
kebijakan, yaitu model prospektif, model retrospektif dan model integratif.

IMPLEMENTASI
Sebelum Sesudah
KEBIJAKAN

KONSEKUENSI-KONSEKUENSI KEBIJAKAN

Model Prospektif Model Integratif Model Retrospektif

1. Model Prospektif adalah bentuk analisi kebijakan yang mengarahkan


kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan
diterapkan. Model ini dapat disebut sebagai model prediktif, akrena seringkali
melibatkan teknik-teknik peramalan (Forecasting) untuk memprediksi
kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul dari suatu kebijakan yang akan
diusulkan.

13
2. Model retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat-
akiabt kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini
biasanya disebut sebagai model evaluatif, akrena banyak melibatkan
pendekatan evaluasi terhadap dampak-dampak kebijakan yang sedang atau
telah diterapkan.
3. Model Integratif adalah model perpaduan antara kedua model diatas. Model
ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik, karena
analisis dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang
mungkin timbul, baik “sebelum’ maupun ‘sesudah’ suatu kebijakan
dioperasikan. Model analisis kebijakan ini biasanya melibatkan teknik-teknik
peramalan dan evaluasi secara terintegrasi.

F. Kerangka Analisis

Penelaahan teradap kebijakan sosial, baik menggunakan model prospektif,


retrospektif, maupun integratif, didasi oleh prinsip-prinsip atau patokan-
atokan umum yang membentuk kerangka prinsip analisis. Kerangka analisis
tersebut secara umum berpijak pada dua pedman, yaitu ‘fokus’ dan
‘parameter’ analaisis. Analisis kebijakan dapat difokuskan kedalam berbagai
aras. Namun, tiga fokus utama yang umumnya dipilih dalam analisis
kebijakan sosial meliputi:

1. Definisi masalah sosial. Perumusan atau pernyataan masala sosial yang


akan direspon atau ingin ditanggulangi oleh kebijakan.
2. Implementasi kebijakan sosial. Pernyataan mengenai cara atau metoda
dengan mana kebijakan sosial tersebut diimplementasikan atau diterapkan.
Implementasi kebijakan juga mencakup pengoprasian alternatif yang
dipilih melalui beberapa program atau kegiatan.

14
3. Akibat-akibat kebijakan sosial. Berbagai pertimbangan mengenai
konsekuensi-konsekuensi kebijakan atau akibat-akibat yang mungkin
timbul sebagai dampak diterapkanya suatu kebijak sosial. Konsekuensi
atau dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan bisa bersifat positif
(manfaat), maupun negatif (biaya). Akibat kebijakan bisa diprediksi
sebelum kebijakan diimplementasikan (model perspekstif), sesudah
diimplementasikan (model retrospektif), ataupun sebelum dan sesudah
diimplementasikan (model integratif).

Dalam menganalisis ketiga fokus tersebut diperlukan pendekatan atau


parameter analisis yang dapat dijadikan basis bagi pengambilan keputusan
atas pilihan-pilhan kebijakan.

1. Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin


keilmiahan dari analisis yang dilakukan. Penelitian dan rasionalisasi
merupak 2 aspek yang berbeda, namun saling terkait. Penelitian
menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh melalui observasi dan
eksperimen yang dapat membantu membuat pilihan-pilihan kebijakan.
Rasionalisasi menunjuk pada logika dan konsistensi internal.
Misalnya, apakah berbagai bagian kebijakan berkaitan secara
rasional?, apakah kebijakan susah bersifat konsisten secara logis dan
internal?,
2. Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai
kebijakan tersebut berdasakan nilai baik dan buruk. Nilai-nilai
merupakan keyakinan dan opini masyrakat mengenai baik dan buruk.
Nilai juga merupakan sesuatu yang diharapkan atau kriteria untuk
membuat keputusan mengenai sesuatu yang diharapkan.
3. Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk
menjamin keamanan dan stabilitas. Politik berkenaan dengan suatu
cara bagaimana kebijakan-kebijakan dirumuskan, dikembangkan dan

15
diubah dalam konteks demokrasi. Lebih khusus lagi, politik menunjuk
pada individu-individu dan kelompok-kelompok kepentingan yang
berpartisipasi atau berusaha mempengaruhi proses perumusan dan
pengembangan kebijakan.

Kerangka analisis dari Quade (1995: 172-173) memberikan pedoman


dalam menelisik pendefinisian masalah sosial, implementasi kebijakan soisal
dan akibat-akibat kebijakan dilihat dari 3 parameter: penelitian, nilai, dan
politik.

Fokus Parameter
Penelitian & Nilai-Nilai Politik
Rasionalisasi
DEFINISI  Apakah  Apakah ini  Apakah
KEBIJAKAN definisi merupakan definisi
SOSIAL masalah masalah sosial masalah secara
rasional dan yang penting? politik dapat
 Apa masalah konsisten  Nilai-nilai apa diterima?
sosialnya? dengan yang penting  Individu atau
 Faktor apa penelitian yang dalam kelompok
yang ada? melakukan mana yang
mempengaruhi  Apakah seleksi mendukung
masalah definisi kelompok dan menentang
tersebut? kelompok sasaran? pendefinisian
 Siapa yang sasaran pada Apakah kelompok
terpengaruh tingkat nilainilai sasaran? Apa
secara generalisasi tersebut sudah akibatnya
langsung oleh tertentu sudah sesuai / tepat? terhadap
masalah sesuai dengan  Nilai-nilai apa pendefinisian

16
tersebut? penelitian? yang penting masalah
 Apakah dalam sosial?
kriteria yang menentukan  Apa akibat
digunakan penyebab penentuan
untuk masalah? masalah
menyeleksi Apakah tersebut
kelompok nilainilai terhadap
sasaran tersebut sudah individu atau
didukung oleh tepat? kelompok
rasionalisasi sasaran?
dan penelitian?
 Apakah
penelitian yang
ada
mendukung
penyebab
masalah?
IMPLEMENTASI  Apakah tujuan  Nilai-nilai apa  Seberapa besar
KEBIJAKAN kebijakan yang tingkat
SOSIAL konsisten mempengaru kekuasaan
dengan hi tujuan yang
 Apa tujuan penelitian dan kebijakan?, menentang
kebijakan pendefinisian apakah kebijakan?
sosial? masalah? nilainilai Bagaimana hal
 Program dan  Apakah bentuk tersebut sudah ini mempengar
pelayanan pelayanan tepat? uhi kebijakan?
sosial apa yang sosial yang  Apakah  Adakah
diberikan? diberikan? kebijakan dukungan

17
 Bagaimana Apakah memperlaku yang memadai
kebijakan penelitian kan klien yang dapat
tersebut mendukung secara tepat memungkin
didanai pelayanan sesuai dengan kan kebijakan
sosial yang kesamaan, diterapkan?
dipilih? kesetaraan,  Individu dan
 Apakah kelayakan dan kelompok
struktur penentuan mana yang
organisasi nasib sendiri akan
sudah sesuai klien? diuntungkan
dengan  Apakah oleh kebijakan
kebijakannya? struktur ini? Apakah
 Apakah organisasi dampaknya
pendanaan mendukung bagi
memadai, efektivitas dan implementa si
teramalkan, efesiensi kebijakan?
tersedia sesuai pemberian  Apakah
dengan pelayanannya? pendanaan
penelitian dan  Apakah memadai,
rasionalisasi? pendanaan teramalkan
memadai, dan tersedia
teramalkan sejalan dengan
dan tersedia politik?
sejalan dengan
nilai?
KONSEKUENSI  Apakah  Apakah  Apa
KEBIJAKAN keuntungan keuntungan keuntungan
SOSIAL dan kerugian dan kerugian dan kerugia

18
sejalan dengan sejalan dengan sejalan dengan
 Apakah penelitian dan nilai-nilai? politik?
keuntungan rasionalisasi?  Apa  Bagaimana
dan kerugian  Apa konsekuensi dukungan dan
kebijakan? konsekuensi yang penentangan
 Apakah yang diharapkan terhadap
konsekuensi diharapkan dan dan tidak kebijakan pada
kebijakan bagi tidak diharapkan tingkat
klien, sistem diharapkan dari kebijakan masyarakat
sosial, dan dari kebijakan dalam mempengaruhi
sistem dalam kaitannya pemberian
pelayanan kaitannya dengan nilai? pelayanan?
sosial? dengan
penelitian dan
rasionalisasi?

G. Proses Perumusan Kebijakan Sosial

Proses perumusan kebijakan sosial dapat dikelompokkan dalam 3 tahap,


yaitu tahap Identifikasi, tahap implementasi dan tahap evaluasi. Setiap tahap
terdiri dari beberapa tahapan yang saling terkait: Secara garis besar, tahapan
perumusan kebijakan dapat adalah sebagai berikut (Suharto, 1997):

1. Tahap Identifikasi
a. Identifikasi Masalah dan Kebutuhan: Tahap pertama dalam
perumusan kebijakan sosial adalah mengumpul-kan data mengenai
permasalahan sosial yang dialami masyarakat dan mengidentifikasi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi (unmet
needs).

19
b. Analisis Masalah dan Kebutuhan: Tahap berikutnya adalah
mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan
kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan
ditransformasikan ke dalam laporan yang terorganisasi. Informasi
yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab masalah dan apa
kebutuhan masyarakat? Dampak apa yang mungkin timbul apabila
masalah tidak dipecahkan dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan
kelompok mana yang terkena masalah?
c. Penginformasian Rencana Kebijakan: Berdasarkan laporan hasil
analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini kemudian
disampaikan kepada berbagai sub-sistem masyarakat yang terkait
dengan isu-isu kebijakan sosial untuk memperoleh masukan dan
tanggapan. Rencana ini dapat pula diajukan kepada lembaga-lembaga
perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
d. Perumusan Tujuan Kebijakan: Setelah mendapat berbagai saran dari
masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan untuk
memperoleh alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif
kemudian dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan-tujuan
kebijakan. 
e. Pemilihan Model Kebijakan: Pemilihan model kebijakan dilakukan
terutama untuk menentukan pendekatan, metoda dan strategi yang
paling efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan.
Pemilihan model ini juga dimaksudkan untuk memperoleh basis
ilmiah dan prinsip-prinsip kebijakan sosial yang logis, sistematis dan
dapat dipertanggungjawabkan.
f. Penentuan Indikator Sosial: Agar pencapaian tujuan dan pemilihan
model kebijakan dapat terukur secara objektif, maka perlu
dirumuskan indikator-indikator sosial yang berfungsi sebagai acuan,

20
ukuran atau standar bagi rencana tindak dan hasil-hasil yang akan
dicapai.
g. Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik: Tugas pada tahap ini
adalah menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah
disempurnakan. Selanjutnya melibatkan berbagai pihak yang relevan
dengan kebijakan, melakukan lobi, negosiasi dan koalisi dengan
berbagai kelompok-kelompok masyarakat agar tercapai konsensus
dan kesepakatan mengenai kebijakan sosial yang akan diterapkan.
2. Tahap Implementasi
a. Perumusan Kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah disepakati
bersama dirumuskan kedalam strategi dan pilihan tindakan beserta
pedoman peraturan pelaksanaannya.
b. Perancangan dan Implementasi Program: Kegiatan utama pada tahap
ini adalah mengoperasionalkan kebijakan ke dalam usulan-usulan
program (program proposals) atau proyek sosial untuk dilaksanakan
atau diterapkan kepada sasaran program.
3. Tahap Evaluasi
a. Evaluasi dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap proses
maupun hasil implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses
kebijakan difokuskan pada tahapan perumusan kebijakan, terutama
untuk melihat keterpaduan antar tahapan, serta sejauhmana program
dan pelayanan sosial mengikuti garis kebijakan yang telah ditetapkan.
Penilaian terhadap hasil dilakukan untuk melihat pengaruh atau
dampak kebijakan, sejauh mana kebijakan mampu mengurangi atau
mengatasi masalah. Berdasarkan evaluasi ini, dirumuskanlah
kelebihan dan kekurangan kebijakan yang akan dijadikan masukan
bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau permusan kebijakan
baru.

21
H. Mekanisme Kebijakan Sosial

Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan


suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan tanggungjawab
ini kepada setiap departemen pemerintahan, namun ada pula negara yang
memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial.
Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan
maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah
untuk membuat generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam
masalah ini (Suharto, 1997)
1. Departemen pemerintahan. Sebagian besar negara menyerahkan
tanggungjawab mengenai perumusan kebijakan sosial kepada
kementrian, departemen atau lembaga-lembaga pemerintah yang
berperan. Misalnya Departemen Sosial di Indonesia merupakan salah
satu departemen yang memiliki kewenangan langsung dalam
merumuskan kebijakan kesejahteraan sosial. Di Departemen Sosial,
terdapat satu biro khusus yang memiliki kewenangan penting dalam
kegiatan ini, yaitu Biro Perencanaan.
2. Badan Perencanaan Nasional. Dalam konteks pembangunan yang lebih
luas, perumusan kebijakan sosial juga seringkali menjadi tugas khusus
dari Badan Perencanaan Nasional yang sengaja dibentuk untuk
merumuskan dan sekaligus mengatur mekanisme kebijakan sosial.
Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) merupakan lembaga khusus
yang menangani berbagai perencanaan sosial sekaligus perumusan
kebijakan sosial dalam pembangunan nasional. Kebijakan yang
dihasilkan lembaga ini kemudian menjadi acuan bagi departemen dan
lembaga-lembaga terkait dalam melaksanakan berbagai program
pembangunan.

22
3. Badan legislatif. Badan legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) memiliki kewenangan dalam merumuskan kebijakan sosial.
Lembaga ini biasanya memiliki komisi khusus yang mengurusi
perumusan kebijakan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, di
Indonesia, DPR memiliki komisi khusus yang bertanggungjawab
mengatur urusan ekonomi, hukum, dan kesejahteraan sosial. 
4. Pemerintah Daerah dan Masyarakat Setempat. Di sejumlah negara di
mana administrasi pemerintahannya lebih terdesentralisasi, Pemerintah
Daerah (PEMDA) memiliki peran yang sangat penting dalam
perumusan kebijakan sosial, khususnya yang menyangkut persoalan
dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat di daerahnya. Lebih-lebih lagi di
negara-negara yang telah sangat matang menjalankan konsep
demokrasi, masyarakat setempat memiliki hak dan kewenangan dalam
mengungkapkan aspirasi kebutuhannya yang kelak menjadi bagian
dari tema-tema penting dalam kebijakan sosial. 
5. Lembaga Swadaya Masyarakat. Peranan lembaga-lembaga sosial atau
organisasi-organisasi non pemerintah (ORNOP) adalah berbeda dalam
setiap negara. Namun demikian, kini terdapat kecenderungan bahwa di
negara-negara berkembang, pemerintah semakin memberi peran yang
leluasa kepada sektor-sektor non pemerintahan untuk juga terlibat
dalam perumusan kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini terutama terjadi
sejalan dengan rekomendasi atau bahkan tekanan dari negara-negara
donor yang memberi bantuan dan konsultasi finansial kepada negara
yang bersangkutan. Selain itu, kini semakin disadari bahwa sebesar
apapun pemerintah menguasai sumber-sumber ekonomi dan sosial,
tidaklah mungkin mampu memenuhi kebutuhan segenap lapisan
masyarakat secara memuaskan.

I. Isu-Isu Kebijakan Sosial

23
Kebijakan sosial tidak dapat dilepaskan dari proses dan dimensi
pembangunan secara luas. Karenanya perlu ditelaah secara singkat beberapa
isu kebijakan sosial yang mungkin timbul dan perlu dipertimbangkan dalam
proses dan mekanisme perumusan kebijakan sosial (Suharto, 1997).
1. Peran negara dan masyarakat. Walaupun pemerintah memiliki peran
yang besar dalam perumusan kebijakan sosial, tidaklah berarti bahwa
hanya pemerintah sajalah yang berhak menangani masalah ini. Seperti
dinyatakan dimuka, bahwa pemerintah tidak akan pernah mampu
memenuhi seluruh kebutuhan warganya. Sebesar apapun sumber-
sumber ekonomi-sosial yang dimilikinya dan sehebat apapun
kemampuan para pejabat dan aparatur pemerintah, tetap membutuhkan
peran masyarakat.. Oleh karena itu, perumusan kebijakan sosial
mensyaratkan adanya keseimbangan dan proporsionalitas dalam hal
pembagian peran dan kekuasaan pemerintah dan masyarakat. 
2. Perangkat Hukum dan Penerapannya. Perangkat hukum memiliki
kekuatan memaksa, melalui sangsi dan hukuman yang melekat di
dalamnya. Kebijakan sosial memerlukan perangkat hukum yang dapat
mendukung diterapkannya kebijakan sosial. Kebijakan sosial dapat
berjalan secara efektif apabila dinyatakan secara tegas melalui
perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya. Namun demikian,
adakalanya perangkat hukum yang sudah ada tidak dapat
diimplementasikan secara baik dalam kegiatan-kegiatan operasional,
baik dikarenakan oleh faktor manusianya, maupun kurang lengkapnya
peraturan teknis yang mengatur secara lebih rinci perundang-undangan
tersebut. Oleh karena itu, perlu usaha keras agar terjamin adanya
keselarasan antara perangkat hukum dan implementasinya. Ketidak-
konsistenan  antara ‘dassein’ dan ‘dasollen’ akan menimbulkan
ketidak-percayaan masyarakat dan merosotnya citra lembaga-lembaga

24
pembuat kebijakan, yang pada gilirannya menimbulkan sikap apatis
dan bahkan antipati masyarakat kepada setiap produk kebijakan sosial.
3. Koordinasi antar Lembaga. Seperti sudah dinyatakan di muka,
kebijakan sosial seringkali menjadi urusan berbagai departemen dan
lembaga, baik pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, perlu
adanya koordinasi dan kerjasama antar lembaga tersebut agar
kebijakan sosial tidak bersifat tumpang tindih dan saling bertentangan
satu sama lain.
4. Sumber Daya Manusia. Aspek mengenai SDM ini menyangkut jumlah
dan kualitas para pembuat kebijakan yang akan diserahi tugas dalam
merumuskan kebijakan sosial. Meskipun kebijakan sosial, menyangkut
‘aspek sosial’, tetapi dalam merumuskan kebijakan tersebut diperlukan
sejumlah orang yang memiliki beragam profesi dan latar belakang
akademik tertentu. Oleh karena itu, perumusan kebijakan harus
memperhatikan kualifikasi SDM yang tepat. Selain ahli-ahli sosial,
perumusan kebijakan sosial seringkali membutuhkan pakar-pakar
ekonomi, hukum, dan bahkan ahli statistik. 
5. Pentingnya pelayanan sosial. Pentingnya pelayanan sosial bagi
peningkatan kualitas hidup masyarakat merupakan isu penting lainnya
yang perlu mendapat perhatian dalam kebijakan sosial. Isu ini terutama
muncul karena adanya kecenderungan pemerintah yang semakin
menurunkan anggaran belanjanya untuk kepentingan-kepentingan
pelayanan sosial. Pelayanan sosial pada dasarnya merupakan investasi
sosial yang berkorelasi positif dengan kualitas hidup masyarakat.
Pengalaman penulis berkunjung ke Costa Rica menunjukkan bahwa
berkat kesigapan pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya bagi
pelayanan sosial, kualitas hidup warga masyarakat negara tersebut
sangat memuaskan terutama bila dilihat dari indikator kualitas hidup
(Human Development Index), seperti angka harapan hidup, jumlah

25
kematian bayi per 1000 kelahiran, dan bahkan pendapatan per
kapitanya.
6. Penentuan prioritas pelayanan sosial. Di sebagian besar negara
berkembang keinginan untuk memperbaiki pelayanan sosial sangat
besar, namun demikian sumber dana untuk pengadaan pelayanan
tersebut sangat terbatas (Conyers, 1991). Ini berarti bahwa kebijakan
sosial harus mampu diprioritaskan terhadap pelayanan sosial yang
benar-benar penting dan berdampak luas bagi kesejahteraan
masyarakat. Misalnya, apakah pelayanan sosial akan lebih
diprioritaskan untuk perawatan anak terlantar, para manula, para
penyandang cacat, rehabilitasi permukiman kumuh, atau peningkatan
peran pemuda dan wanita.
7. Penentuan bentuk pelayanan sosial. Isu berikutnya berkaitan dengan
pertanyaan mengenai bentuk-bentuk pelayanan sosial apa yang cocok
untuk negara berkembang. Dewasa ini semakin disadari bahwa bentuk-
bentuk dan standar pelayanan di negara maju tidak dapat sepenuhnya
diterapkan di negara berkembang. Oleh karena itu, perlu diusahakan
suatu bentuk pelayanan sosial yang sesuai dengan kondisi setempat
dan cocok ditinjau dari segi fisik, ekonomi, sosial dan politik negara
yang bersangkutan. Secara luas kita dapat mengusulkan apakah
pelayanan sosial akan berbentuk uang tunai (cash payment), barang
(benefit in kind), atau berupa bantuan konsultasi dan pelatihan-
pelatihan.
8. Distribusi pelayanan sosial. Hampir bisa dipastikan bahwa semua
negara menghadapi masalah yang sama dalam kaitannya dengan
persoalan ‘supply’ dan ‘demand’ pelayanan sosial, dalam arti
kebutuhan akan pelayanan sosial selalu lebih besar dari kemampuan
pemerintah atau lembaga penyelenggara dalam mengusahakan
pelayanan sosial. Keadaan ini tentunya memaksa kita untuk

26
memikirkan secara sungguh-sungguh mengenai distribusi pelayanan
sosial. Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam 
pendistribusian pelayanan ini antara lain menyangkut segi geografis
(desa, kota, daerah khusus), jender (pria, wanita, atau waria), usia
(anak, remaja, manula) atau berdasarkan permasalahan-permasalahan
khusus yang mendesak untuk segera dipecahkan.
9. Penetapan kuantitas atau kualitas pelayanan sosial. Karena sumber
daya manusia dan dana relatif selalu terbatas, maka isu mengenai
pilihan dalam menentukan kuantitas dan kualitas pelayanan harus pula
menjadi bahan pertimbangan yang matang bagi para pembuat
kebijakan sosial. Antara kuantitas dan kualitas pelayanan sering kali
terjadi trade-off, dilema, sehingga perlu ditentukan mana dahulu yang
akan diutamakan. Misalnya, mengingat masih besarnya sasaran
pembangunan kesejahteraan sosial, peningkatan jumlah lembaga
pelayanan kesejahteraan sosial masih dianggap lebih penting daripada
meningkatkan kualitas pelayanan lembaga tersebut. Dengan demikian,
secara terpaksa diadakan pengorbanan dalam hal kualitas pelayanan
sosial.
10. Pembiayaan pelayanan sosial. Isu kebijakan sosial lainnya yang sangat
penting adalah mengenai pendanaan pelayanan sosial yang
menyangkut, sistem, sumber dan metoda pendanaan. Terdapat suatu
sistem di mana pelayanan sosial sepenuhnya atau sebagian besar
dibiayai oleh pemerintah yang dananya diambil dari subsidi sektor-
sektor lain dalam bidang perekonomian negara tersebut. Pelayanan
pendidikan dasar merupakan salah satu contoh sistem ini. Sebaliknya,
ada pula pelayanan sosial yang didasarkan pada segi komersial, baik
yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, seperti asuransi
kesehatan dan asuransi sosial tenaga kerja. Kini terdapat
kecenderungan di mana sistem pendanaan lembaga pelayanan sosial

27
(panti jompo, TPA) yang tadinya disubsidi penuh oleh pemerintah,
kini bersifat komersial. Pada kenyataanya, sebagian besar negara maju
dan berkembang banyak yang memilih jalan tengah di antara kedua
sistem di atas.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

28
DAFTAR PUSTAKA

Conyers, Diana, (1992), Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga (Penterjemah


Susetiawan), Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Dunn, William N. (1981), Public Policy Analysis: An Introduction, New Jersey:
Prentice Hall
Huttman, Elizabeth Dickerson (1982), Introduction to Social Policy, New York:
McGraw-Hill
Kartasasmita, Ginanjar (1996), Kebijakan dan Pembangunan Sosial, Malang:
Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya
Meyr, Robert R (1995), Policy and Program Planning: A Developmnt
Perspective, Englewood Cliff: Prentice-Hall
Moekijat (1995), Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Mandar Maju
Quade, E.S. (1982), Analysis for Public Decisions, New York: Elsevier Science
      Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekrjaan Sosial:
Spektrum Pemikiran, Bandung:   
      Lembaga Studi Pembangunan

http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/KebijakanSosialLembang2006.pdf

29

Anda mungkin juga menyukai