1. Cemas (anxiety) merupakan antisipasi akan adanya bahaya atau kemalangan yang
mungkin terjadi di masa depan yang ditandai dengan rasa tegang atau gugup (nervous).
2. Takut (fear) merupakan perasaan yang muncul akibat adanya stimulus tertentu yang
biasanya terfokus oleh faktor eksternal.
Cemas dan takut berbeda karena rasa cemas merupakan suatu reaksi psikologi yang
prestimulus atau tanpa stimulus tertentu oleh suatu objek sedangkan takut merupakan reaksi
poststimulus oleh suatu objek misalnya pengalaman buruk di masa lalu.
Objective Fears
Merupakan rasa takut yang diproduksi karena adanya rangsangan secara langsung pada
panca indera dan pada umumnya tidak berasal dari orangtua. Rasa takut objektif terhadap
dokter gigi dapat dibedakan menjadi:
o Dental Fears with Experiences
Ketakutan yang muncul karena pengalama buruk saat dental treatment dan ditangani
dengan kurang baik. akibat pengalaman yang buruk ini, anak lebih sulit untuk dibujuk
ke dokter gigi karena gambaran yang buruk sebelumnya. Ketika anak tersebut berhasil
dibujuk untuk kembali menjalani perawatan gigi, dokter gigi harus menyadari kondisi
emosional dari pasien anak dan melakukan perawatannya lebih hati-hati agar tidak
meniimbulkan trauma kembali.
o Dental Fears with Unrelated Experiences
Dapat terjadi pada anak yang ditangani dengan tidak baik atau merasakan rasa sakit
yang hebat di rumah sakit dengan orang yang berseragam putih.
Subjective Fears
Merupakan rasa takut yang berdasarkan dari perasaaan yang diberikan kepada anak-anak
dari orang lain, sekalipun si anak belum pernah mengalami hal tersebut. Rasa takut yang
dialami anak muncul dari imajinasi anak tersebut.
Selain itu, cara lain untuk membangun lingkungan yang aman bagi anak adalah dengan
mengelilinginya dengan hal-hal yang menarik, misalnya dengan peralatan permainan dan
dekorasi ruangan yang nyaman dan dibuat sedemikian rupa sehingga anak merasa berada di
lingkungan rumahnya sendiri. Hal ini dikarenakan lingkungan psikologis yang aman dapat
mempengaruhi tindakan atau perasaan anak (Finn, 1973).
Pasien yang menunggu perawatan pada umumnya merasa cemas, dan kecemasan dapat
ditingkatkan oleh persepsi pasien tentang ruang praktik sebagai lingkungan yang mengancam,
tentang perawat, cahaya, bunyi, dan bahasa teknis yang asing bagi pasien (Prasetyo, 2005).
Musik yang lembut dapat memberikan efek baik bagi orangtua maupun anak dalam memecah
keheningan di ruang tunggu. Selain itu, dapat pula disediakan buku-buku bacaan atau buku
aktivitas, seperti buku mewarnai (Pertiwi et al., 2005; Prasetyo, 2005).
II.3. Retraining
Retraining dilakukan pada anak yang menunjukkan tingkah laku negatif akibat kunjungan
dental sebelumya atau arahan yang salah dari orang tua atau orang lain sehingga anak sulit untuk
diajak berkomunikasi. Sasarannya adalah untuk membangun asosiasi pikiran yang baru pada
anak.
Dokter gigi perlu mengetahui ketidaksukaannya dan berusaha berempati dengan anak.
Jika anak tidak suka, turuti anak sambil memberikan pilihan kepadanya sehingga ia merasa
bahwa ia dapat mengontrol situasi dan lebih tenang.
2. Mengalihkan perhatian
Mengalihkan perhatian adalah suatu metode yang berguna untuk mengurangi rasa takut,
tidak nyaman, stress dan menghilangkan rasa bosan selama periode perawatan. Semakin banyak
mengetahui tentang anak, semakin banyak taktik yang dapat dilakukan untuk mengalihkan anak
agar prosedur perawatan dapat dilakukan. Bahan pengalih yang terbukti membantu mengurangi
rasa takut anak misalnya radio, program anak di televise, video game, dan lain-lain.
3. Hipnotis
Hipnotis dilakukan dengan mempengaruhi pikiran anak sehingga anjuran-anjuran yang
diberikan akan diterima dengan baik. Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien yang dapat
bekerja sama. Hipnotis sering digunakan dalam kedokteran gigi sebagai suatu metode untuk
membantu pasien yang cemas agar rileks dan meningkatkan kooperatif pasien.
III.1. Desensitisasi
Desentisasi adalah suatu cara untuk mengurangi rasa takut atau cemas seorang anak
dengan memberikan rangsangan yang membuatnya takut atau cemas. Sedikit demi sedikit
rangsangan tersebut diberikan terus, sampai anak tidak takut atau cemas lagi. Prosedur ini
dilandasi oleh prinsip belajar counterconditioning, yaitu respon yang tidak diinginkan digantikan
dengan tingkah laku yang diinginkan sebagai hasil latihan yang berulang-ulang. Teknis
desentisisasi ini sangat efektif untuk menghilangkan rasa takut atau fobia (Tampubolon, 2010).
Terapi ini secara garis besar meliputi 3 tahapan, yaitu:
Melatih pasien untuk rileks
Membangun hirarki stimulus
Memperkenalkan tiap stimulus dalam hirarki untuk membuat rileks pasien,
dimana stimulus ini diberikan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi
hingga rasa takut pada pasien hilang.
Prinsip terapi ini adalah memasukan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan
yaitu relaksasi. Pertama-tama subyek dilatih untuk relaksasi dalam, salah satu caranya misalnya
secara progresif merelaksasi berbagai otot, mulai dari otot kaki, pergelangan kaki, kemudian
keseluruhan tubuh, leher dan wajah. Pada tahap selanjutnya ahli terapi membentuk hirarki situasi
yang menimbulkan kecemasan pada subyek dari situasi yang menghasilkan kecemasan paling
kecil sampai situasi yang paling menakutkan. Setelah itu subyek diminta relaks sambil
mengalami atau membayangkan tiap situasi dalam hirarki yang dimulai dari situasi yang paling
kecil menimbulkan kecemasan (Andlaw & Rock, 1992; Tampubolon, 2010). Pada tahap
desensitisasi ini, pasien dapat diberikan paparan stimulus berupa injeksi anestesi gigi, aplikasi
rubber dam, dan suara serta melihat bor gigi dengan menjelaskan hasilnya (Melamed et al.,
1975).
III.2. Modeling
Metode modeling adalah cara pendekatan yang sangat praktis, mudah dilakukan, serta
efektif memepersingkat waktu dalam perubahan perilaku pasien anak sehingga waktu perawatan
gigi menjadi lebih optimal (Soemartono, 2003). Teori “social learning” memprediksi bahwa pola
respon rasa takut pada anak-anak dapat dihilangkan dengan mengamati model yang
mendapatkan stimulus tanpa mengalami konsekuensi yang negatif (Melamed et al., 1975).
Prinsip psikologis metode modeling yaitu belajar dari pengamatan model. Anak diajak
mengamati anak lain yang ketika dirawat giginya berperilaku kooperatif, baik secara langsung
pada kursi gigi atau melalui film. Setelah metode modeling dikerjakan maka diharapkan anak
berperilaku kooperatif seperti model yang diamati. Pendekatan tersebut efektif karena
memberikan informasi yang jelas pada pasien tentang jenis peralatan dan prosedur yang akan
dihadapi (Masitahapsari et al., 2009).
Metode modeling ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui model di film/ anak
sebaya (filmed/ in vivo modeling) dan melalui model yang ikut berpartisispasi dalam perawatan
secara langsung (participant modeling) dalam memperkenalkan perawatan gigi. Metode ini
efektif pada anak dengan umur 4-9 tahun dan hanya beberapa efektif pada anak yang lebih muda
dari umur 4 tahun (Catherine, 2004).
Modeling adalah modifikasi perilaku untuk pasien anak yang masih usia muda, anak
dapat belajar tentang pengalaman ke dokter gigi dengan melihat anak-anak lain menerima
perawatan. Strategi ini tidak hanya mengajarkan anak yang belum pernah menerima perawatan
tentang apa yang diharapkan darinya, tetapi lebih penting adalah mendemonstrasikan apa yang
diharapkan dari anak (Narwaty, 2008). Strategi ini efektif dalam mengatasi rasa takut selama
kunjungan pertama perawatan gigi pada pasien anak. Metode ini dapat diterapkan dengan mudah
dalam ruang praktik (Melamed et al., 1975).
Indikasi Aversive Conditioning biasanya dilakukan di saat sudah tidak dapat dilakukan
komunikasi lagi antara anak dan dokter gigi dan jika dibiarkan anak dapat menciderai dirinya
sendiri. Metode ini paling tepat diterapkan pada anak usia 3-6 tahun. Tidak dapat digunakan
dengan sedasi karena teknik ini membutuhkan tingkat kesadaran yang penuh.
Kesuksesan teknik ini bergantung pada aplikasi yang tepat. Posisi dokter gigi harus dekat
dengan telinga anak dan arahan harus jelas dan spesifik dengan menggunakan suara halus dan
monoton. Asisten harus tahu perannya yaitu memegang serta kaki pasien agar tidak menendang
atau menjaga tangan pasien yang menggannggu selama perawatan. Tangan pasien tidak boleh
terlalu lama dipegang karena pembatasan ini dapat meningkatkan penolakan. Teknik lain dapat
berupa memegang handuk di antara muka pasien dan tangan operator atau bisa juga dengan
setengah menjepit hidung pasien.
III.5. Sedasi
Sebagian besar anak akan menjadi pasien yang rileks dan kooperatif bila diberi metode-
metode pendekatan psikologis di atas, namun bila pasien anak masih menunjukkan sikap yang
tidak kooperatif dan jika rasa takut tetap berlangsung walaupun telah dilakukan kunjungan
pendahuluan, sedasi mungkin dapat membantu proses perawatan. Perlu ditekankan bahwa sedasi
dimaksudkan untuk menghilangkan kecemasan dan pasien yang telah dilakukan sedasi tetap
memiliki kesadaran dan refleks pelindung yang normal, misalnya batuk. Sebelum memberikan
resep sedatif, dokter gigi harus dipercaya anak. Sedatif harus dijelaskan sebagai sesuatu yang
akan membuatnya merasa tenang sehingga perawatan dapat dilakukan tanpa rasa khawatir.
Kerjasana dari orangtua atau pendamping juga diperlukan. Sedasi dapat diberikan melalui:
Oral, menggunakan obat seperti barbiturate, kloral hidrat, hydroxyzine, neprobamate,
premothazine, dan diazepam (Wright, 1975; Bennet, 1978). Sedasi paling mudah
diberikan oleh orangtua atau pendamping agar anak merasa percaya.
Intramuscular, menggunakan obat seperti promethazine HCl (antihistamin) dan petidine
(analgesik). Dosis injeksi untuk intramuscular adalah petidine 1,5 mg/kg berat badan dan
promethazine 0,75 mg/kg.
Intravena, menggunakan campuran dari pentobarbiurat, pethidine, dan hyoscine,
kemudian baru diazepam atau midazolam
Inhalasi, menggunakan oksida nitrogen dan oksigen. Sedasi yang efektif adalah dengan
kosentrasi tetap 25% oksida nitrogen (Edund and Rosend, 1977). Namun pada dasarnya
konsentrasi yang diberikan pada pasien didasarkan pada observasi respons pasien.
Referensi:
Jurnal: Understading Children’s Dental Anxiety and Psychological Approach to Its
Reduction. Jenny Porritt, Zoe Marshman, Helen D. Rodd. 2011.
Psychological Approaches for Tackling Dental Fears. Dapat diakses pada
http://www.dentalfearcentral.org/help/psychology/ [Cited: April 8th, 2014 21:00]
McDonald and Avery Dentistry for Children and Adolescent, 9th Edition.