Anda di halaman 1dari 11

DEFINISI TAKUT DAN CEMAS

 Kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan


datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai (Freud)
 Kecemasan adalah suatu ketegangan, rasa tidak aman, kekhawatiran, yang timbul karena
dirasakan akan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan (Maramis)
 Kecemasan adalah reaski individu terhadap hal yang akan dihadapi. Kecemasan
merupakan suatu perasaan yang menyakitkan seperti kegelisahan, kebingungan, dan
sebagainya yang berhubungan dengan aspek subyektif emosi ( Lazarus)
 Kecemasan merupakan reaksi terhadap suatu pengalaman yang bagi individu dirasakan
sebagai ancaman (Saranson dan Spielbeger)
 Kecemasan/ anxietas adalah efek atau perasaan yang tidak menyenangkan berupa
ketegangan, rasa tidak aman dan ketakutan yang timbul karena dirasakan akan terjadi
sesuatu yang mengecewakan tetapi sumbernya sebagian besar tidak disadari oleh yang
bersangkutan (Tjakrawedaya)
 Ketekutan adalah suatu tanggapan emosi terhadap ancaman, takut adalah suatu
mekanisme pertahanan hidup dasar yang terjadi sebagai respon terhadap suatu stimulus
tertentu seperti rasa sakit atau ancaman bahaya

Menurut American Psychiatric Association:

1. Cemas (anxiety) merupakan antisipasi akan adanya bahaya atau kemalangan yang
mungkin terjadi di masa depan yang ditandai dengan rasa tegang atau gugup (nervous).
2. Takut (fear) merupakan perasaan yang muncul akibat adanya stimulus tertentu yang
biasanya terfokus oleh faktor eksternal.

Cemas dan takut berbeda karena rasa cemas merupakan suatu reaksi psikologi yang
prestimulus atau tanpa stimulus tertentu oleh suatu objek sedangkan takut merupakan reaksi
poststimulus oleh suatu objek misalnya pengalaman buruk di masa lalu.

Jenis-Jenis Rasa Takut

 Objective Fears
Merupakan rasa takut yang diproduksi karena adanya rangsangan secara langsung pada
panca indera dan pada umumnya tidak berasal dari orangtua. Rasa takut objektif terhadap
dokter gigi dapat dibedakan menjadi:
o Dental Fears with Experiences
Ketakutan yang muncul karena pengalama buruk saat dental treatment dan ditangani
dengan kurang baik. akibat pengalaman yang buruk ini, anak lebih sulit untuk dibujuk
ke dokter gigi karena gambaran yang buruk sebelumnya. Ketika anak tersebut berhasil
dibujuk untuk kembali menjalani perawatan gigi, dokter gigi harus menyadari kondisi
emosional dari pasien anak dan melakukan perawatannya lebih hati-hati agar tidak
meniimbulkan trauma kembali.
o Dental Fears with Unrelated Experiences
Dapat terjadi pada anak yang ditangani dengan tidak baik atau merasakan rasa sakit
yang hebat di rumah sakit dengan orang yang berseragam putih.
 Subjective Fears
Merupakan rasa takut yang berdasarkan dari perasaaan yang diberikan kepada anak-anak
dari orang lain, sekalipun si anak belum pernah mengalami hal tersebut. Rasa takut yang
dialami anak muncul dari imajinasi anak tersebut.

TAKUT DAN CEMAS DALAM BIDANG PSIKOLOGI


Dalam psikologis, pengertian takut dan cemas terbagi atas 3 perspektif. Yaitu perspektif
kognitif, perspektif biological dan perspektif learning. Ada satu perbedaan yang mendasar antara
takut dan kecemasan. Kecemasan adalah tingkat emosi samar yang tidak nyaman karena adanya
ketakutan akan sesuatu yang terjadi, takut akan keadaan yang sukar/berbahaya,dan rasa gelisah/
khawatir. Kecemasan bersifat tidak objektif. Berbeda dengan rasa takut yang memiliki objek
yang spesifik. Ketika tingkat stimulasi optimal meningkat, mengartikan kecemasan. Hal tersebut
bisa menjadi respon adaptif yang sehat atau bahkan melemahkan. Yang dapat melemahkan ini
memungkinkan untuk kehilangan kemampuan dalam berpikir, bertindak dan melakukan sesuatu.
Kecemasan diwujudkan dalam tiga cara : dalam pikiran seseorang (kognitif), dalam tindakan
seseorang (perilaku), dan dalam reaksi fisiologis.
a. Perspektif Biologi
Berdasarkan perspektif biologis, terdapat tiga kondisi dasar yang menimbulkan kecemasan :
overstimulation, ketidaksesuaian kognitif, dan tidak tersedianya respon. Overstimulation
mengacu ketika seseorang dibanjiri dengan informasi. Ketidaksesuaian kognitif adalah ketika
seseorang memiliki kesulitan mendamaikan beberapa peristiwa, seperti contohnya kehilangan
orang yang dicintai. Tidak tersedianya respon mengacu ketika seseorang tidak tahu bagaimana
menangani situasi yang sulit.
Menurut teori biologis, terdapat system GABA yang bertanggungjawab atas motivasi
terhadap ketakutan dan kecemasan. GABA adalah Gamma-Amino Butyric Acid, sebuah
inhibitor pemancar (transmitter inhibitor) alami. Suatu zat di dalam tubuh yang membantu kita
menjaga aliran optimal dari stimulasi atau informasi sehingga mengurangi aliran transmisi saraf.
Terdapat reseptor GABA yang akan mengikat dan menghasilkan efek ketakutan dan kecemasan.
Kemampuan reseptor untuk mengikat ini tidak tetap, tergantung pada kehadiran benzodiapines.
Benzodiapines adalah zat atau obat anti-kecemasan seperti Valium, Librium, dan Alprazolam,
yang membantu mengatur transmisi saraf. Tubuh secara alami menghasilkan zat kimia ini, tapi
belum terisolasi. Ketika benzodiapines terikat ke reseptor, maka meningkatkan kemampuan
GABA untuk mengikat reseptornya sendiri. Reseptor GABA ini kemudian memicu pembukaan
saluran Klorida yang mengarah ke penurunan laju pembakaran kritis (firing rate) neuron di
banyak bagian pada system saraf pusat. Mereka yang merasakan kecemasan yang lebih
dibanding orang lain, gagal menghasilkan atau melepaskan benzodiapines yang diperlukan untuk
jumlah GABA yang diperlukan untuk mengatur transmisi saraf. Selain mengurangi kecemasan,
benzodiapines juga merangsang tidur, merileks otot-otot, dan mengurangi kemungkinan kejang-
kejang.
b. Perspektif Kognitif
Ada tiga alasan untuk motivasi ketakutan dan kecemasan dari perspektif kognitif; hilangnya
kontrol, ketidakmampuan untuk mengatasi respon, dan tingkat kecemasan dibandingkan dengan
sifat kecemasan. Hilangnya kontrol mengacu pada situasi ketika ada peristiwa yang tak terduga
atau tidak terkendali dalam kehidupan seseorang yang menyebabkan kecemasan dan/atau
depresi. Akibatnya, menghasilkan perasaan tidak berdaya. Ketidakpastian yang mungkin terkait
dengan aktivitas yang dapat menyebabkan kecemasan. Ketidakmampuan untuk membuat
respon adaptif dalam menanggapi peristiwa yang mengancam atau fakta atau persepsi bahwa
tidak ada jawaban yang tersedia akan menyebabkan perasaan cemas.
Menurut perspektif kognitif, cara yang paling efektif untuk menangani kecemasan adalah
mengubah kecemasan menjadi takut. Kemudian kita akan tahu persis apa yang menganggu kita.
Lalu dapat merencanakan untuk menangani apa yang dikhawatirkan. Gagasan lain untuk respon
adalah apakah seseorang itu self certain atau tidak. Orang-orang self certain adalah mereka yang
mengetahui kekuatan dan kelemahan mereka sendiri. Orang yang tidak tergolong self certain
hanya mengetahui kekuatan mereka. Dan karena mereka tidak mengetahui kelemahan mereka,
mereka kekurangan pengetahuan, kemudian tidak mampu menciptakan respon yang efektif. Ini
cenderung tidak aman, sedangkan orang-orang self-certain cenderung memiliki rasa percaya diri
lebih baik. Menurut perspektif kognitif, menciptakan respon dengan mengubah kecemasan
menjadi ketakutan, dan mengembangkan rencana akan menciptakan rasa aman.
Tingkat dan sifat kecemasan mengacu pada ciri-ciri kepribadian individu. Tingkat
kecemasan adalah respon emosiaonal yang melibatkan perasaan ketegangan dan ketakutan,
sedangkan sifat kecemasan mengacu kepada karakteristik abadi seseorang yang dapat digunakan
untuk menjelaskan konsistensi perilaku seseorang, dan menentukan kemungkinan orang akan
mengalami kecemasan dalam situasi penuh tekanan. Sebagai contoh, beberapa orang
menghabiskan banyak waktu pada tindakan tertentu, seperti terus menerus memeriksa apakah
pintu telah terkunci.
Orang dapat dibedakan secara umum menjadi dua kelompok; sensitizers dan repressors
(Franken, 2002). Sensitizers cenderung untuk memikirkan konsekuensi potensial dari ancaman
dan dengan demikian mengalami lebih banyak kecemasan, sedangkan repressors menghindari
berpikir tentang konsekuensi dan meungkin mengalami sedikit kecemasan dan stress pada saat
tertentu. Respon tidak dianggap salah satu yang adaptif. Solusi yang disarankan, menurut
perspektif kognitif, adalah untuk mengenali bahwa seseorang memiliki masalah dan memikirkan
cara untuk menangani masalah tersebut.
c. Perpektif Learning
Kecemasan adalah perjalanan terkondisi yang berfungsi untuk memotivasi penghindaran
merespon. Oleh Karena itu, respon penghindaran diasumsikan diperkuat oleh pengurangan
kecemasan. Ketakutan adalah sebuah respon terkondisi untuk rasa sakit. Jika salah satu ekspresi
sakit pada situasi spesifik, rangsangan yang terkait dengan situasi mendapatkan kemampuan
untuk menimbulkan reaksi emosional yang sama dengan sebelumnya.
Menurut paradigma pembelajaran penghindaran, partisipan harus belajar untuk membuat
beberapa respon untuk menghindari stimulus aversif. Ketika respon dibuat di awal, setiap
kecemasan yang terjadi akan segera berkurang. Pengurangan kecemasan berkembang dalam
menguatkan penghindaran respon.
Manusia cenderung untuk menunjukan tidak takut saat ditemui dengan bentuk simbolik dari
stimulus, namun menjadi sangat takut jika diberikan stimulus konkrit. Sebagai contoh, gambar
laba-laba tidak akan menimbulkan ketakutan sebanyak laba-laba yang asli. Ada dua metode
pendinginan yang akan menghilangkan stimulus : desensitization dan flooding. Desensitization
terjadi ketika kehadiran yang berturut-turut dari stimulus yang diberikan (rangsangan ringan
yang disajikan pertama kali). Setelah klien relax, stimulus kuat disajikan. Prosedur ini
dilanjutkan sampai klien benar-benar relax ketika dihadapkan dengan stimulus konkrit.
Sedangkan pada metode flooded, klien disajikan dengan stimulus asli dan reaksi emosional
penuh. Klien harus tetap disana selama proses. Ketika reaksi reda, pengurangan respon
emosional baru dikondisikan untuk stimulus. Selama penghadiran stimulus dilanjutkan dan
diulang, reaksi akan berangsur menghilang.
d. Takut dan Cemas sebagai Respon Adaptif
Teori James-Lange berpendapat bahwa dasar dari pengalaman emosi didasarkan pada sensasi
perifer dan sensasi fisologis seperti detak jantung dan tekanan darah. Takut dan cemas dapat
menjadi respon adaptif ketika seseorang dihadapkan dengan suatu peristiwa yang mengancam
kelangsungan hidup mereka. Manusia mengalami semacam respon melawan atau lari. Secara
keseluruhan, sensory feedback mengendalikan ekspresi emosional. Kecemasan terbagi atas mild,
moderate dan high. Hal ini jelas bahwa tingkat kecemasan dan ketakutan yang tinggi dapat
menyebabkan gangguan fungsi psikologis, kesalahan intelektual, dan mengganggu konsentrasi
dan memori. Namun, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa tingkat kecemasan yang moderate
masih mungkin berfungsi sebagai fungsi adaptif. Sebagai contoh, sebuah studi tingkat
kecemasan pasien yang menjalani bedah minor ditemukan bahwa pasien dengan tingkat
kecemasan moderate memang lebih baik setelah operasi dibanding dengan tingkat kecemasan
yang tinggi.

PRINSIP PENDEKATAN PADA PASIEN ANAK YANG TAKUT DAN CEMAS


Rasa takut dan cemas pada anak merupakan suatu pengalaman dental yang tidak
menyenangkan. Ketakutan dan kecemasan mempengaruhi tingkah laku anak dan lebih jauh lagi
dapat menentukan keberhasilan perawatan gigi. Kecemasan merupakan suatu ciri kepribadian
dan ketakutan terhadap antisipasi bahaya dari sumber yang tidak dikenal, sedangkan takut
merupakan respon emosional terhadap sesuatu yang dikenal berupa ancaman eksternal
(Masitahapsari et al.,  2009). Strategi pengelolaan rasa takut pada anak adalah dasar untuk
memulai perawatan dengan tujuan untuk mengembangkan sikap anak yang mau menjalankan
perawatan sehingga dicapai kesehatan gigi dan mulut tanpa menimbulkan rasa takut. Strategi-
strategi tersebut dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu:

I. Strategi Tahap Primer dalam Menghadapi Rasa Takut


Pada tahap ini, pendekatan bertujuan untuk membangun lingkungan yang aman. Kunci
dalam bekerja dengan anak adalah membiarkan anak merasakan kontrol karena mereka dibantu
untuk memahami pikiran dan penatalaksaan perawatan yang dilakukan dokter gigi sehingga akan
berujung pada hasil yang baik (Karolina, 2008).
Metode TSD (Tell Show Do) yang diperkenalkan oleh Addleston (1959) merupakan
metode persiapan yang dapat diterapkan pada anak yang pertama kali berkunjung ke dokter gigi
atau anak dengan pengalaman buruk sebelumnya. Melalui metode ini, dokter gigi berusaha
menghilangkan rasa ketidaktahuan anak sehingga rasa takut pun juga hilang. Metode TSD
digunakan secara rutin dalam memperkenalkan anak pada perawatan profilaksis, yang selalu
dipilih sebagai prosedur operatif pertama. Pada tahap ini diperlukan reinforcement atau
penguatan berupa senyuman atau puij-pujian karena tingkah laku baik yang dilakukan selama
perawatan. Pujian diberikan atas usaha yang telah dicapai anak, bukan atas atribut
kepribadiannya. (Ginott, 1965).
Hal-hal yang dapat dilakukan diantaranya sebagai berikut:
1. Dokter gigi menjelaskan kepada anak mengenai perawatan atau edukasi secara
singkat menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat usia anak, secara lambat
atau perlahan, serta diulang jika belum mengerti. Dokter gigi juga dapat memberikan
pertanyaan sebelum, selama, dan setelah perawatan. Hal ini dapat membangkitkan
rasa percaya dan memberikan kesempatan kepada anak untuk bekerja sama.
2. Dokter gigi menunjukkan kepada anak dengan tepat apa yang akan ia lakukan lewat
dirinya sendiri atau lewat objek diam untuk meyakinkan pemahaman anak. Dokter
gigi juga dapat memberikan anak kesempatan memegang alat dan menjelaskan fungsi
masing-masing alat. Hal tersebut akan diharapkan rasa takut menjadi hilang dan
meningkatkan perhatian serta memberikan kesan bahwa mereka penting sehingga
dapat bekerja sama sukarela tanpa dipaksakan.
3. Dokter gigi dengan langsung melaksanakan prosedur kerja pada anak namun tidak
boleh menyimpang dari apa yang telah dijelaskan dan ditunjukkan

Selain itu, cara lain untuk membangun lingkungan yang aman bagi anak adalah dengan
mengelilinginya dengan hal-hal yang menarik, misalnya dengan peralatan permainan dan
dekorasi ruangan yang nyaman dan dibuat sedemikian rupa sehingga anak merasa berada di
lingkungan rumahnya sendiri. Hal ini dikarenakan lingkungan psikologis yang aman dapat
mempengaruhi tindakan atau perasaan anak (Finn, 1973).
Pasien yang menunggu perawatan pada umumnya merasa cemas, dan kecemasan dapat
ditingkatkan oleh persepsi pasien tentang ruang praktik sebagai lingkungan yang mengancam,
tentang perawat, cahaya, bunyi, dan bahasa teknis yang asing bagi pasien (Prasetyo, 2005).
Musik yang lembut dapat memberikan efek baik bagi orangtua maupun anak dalam memecah
keheningan di ruang tunggu. Selain itu, dapat pula disediakan buku-buku bacaan atau buku
aktivitas, seperti buku mewarnai (Pertiwi et al., 2005; Prasetyo, 2005).

II. Strategi Tahap Sekunder dalam Menghadapi Rasa Takut


Pada tahap ini, pendekatan bertujuan untuk menghilangkan rasa takut dengan membentuk
pola komunikasi yang baik dengan pasien. Tanda keberhasilan dokter gigi mengelola pasien
anak adalah kesanggupannya berkomunikasi dan memperoleh rasa percaya diri dari anak
sehingga anak dapat bersikap kooperatif. Komunikasi dengan pasien berperan penting dalam
mengurangi rasa takut pasien (Hmud & Walsh, 2009).
II.1. Komunikasi Verbal dan Non Verbal
Komunikasi verbal untuk meyakinkan pasien merupakan strategi yang sering dilakukan.
Selain dengan kata-kata yang dipilih untuk meyakinkan, mengajak bicara pasien juga dapat
mengalihkan perhatian pasien dan memberikan mereka sesuatu untuk difokuskan. Pendekatan ini
harus diadopsi oleh seluruh tim saat berinteraksi dengan pasien (Hmud & Walsh, 2009). Banyak
cara untuk memulai komunikasi secara verbal, misalnya untuk anak kecil dapat ditanyakan
tentang pakaian baru, kakak adik, benda atau binatang kesayangannya, sedangkan untuk anak
besar dapat ditanyakan tentang sekolah, aktifitas, olah raga atau teman sebaya ((Finn, 1973).
Untuk menciptakan kepercayaan pada anak yang berusia 2-6 tahun, dokter gigi sebaiknya
melibatkan anak dalam dialog dan semua diskusi dengan menggunakan kata-kata sederhana.
Banyak anak yang merasa senang dengan dokter karena mereka dapat berkomunikasi
dengannya.. Demikian pula dengan tindakan medis, anak harus diberi penjelasan terlebih dahulu
dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak. Berbicara pada anak harus disesuaikan dengan
tingkat pemahaman sehingga diperlukan “second language” (Budiyanti & Heriandi, 2001; Blisa,
2010).
Beberapa “second language” yang dapat membantu dokter gigi dalam melakukan
perawatan gigi pada anak antara lain.
▪ Melakukan anastesi sebelum pencabutan  gigi dapat digunakan istilah “menidurkan gigi”.
▪ Melakukan pembersihan dengan brush dan pumice dapat digunakan istilah “memandikan
dan mengkeramasi gigi”, kemudian mengeringkan dengan tampon dapat digunakan
istilah “menghanduki gigi”.
▪ Mengebor untuk menghilangkan jaringan karies gigi dapat digunakan istilah
“membersihkan rumah kuman” dan lain-lain.
Untuk menciptakan kepercayaan anak pada usia 7-10 tahun, dokter gigi sebaiknya
menanyakan kegiatannya dan beri komentar yang positif, tanyakan pada anak tentang hal-hal
yang sederhana dan konkret, beri tanggungjawab pada anak terhadap tugas yang kita berikan,
dan jangan lupa untuk menjelaskan tentang pemeriksaan yang dijalani sesuai dengan daya piker
anak. Sedangkan untuk anak yang berusia 11-17 tahun, dokter gigi harus menghargai pendapat,
kebutuhan dan keterbatasan anak sebelum merekomendasikan sesuatu (Tabel 1) (Blisa, 2010).
 Sedangkan untuk komunikasi non verbal, hal-hal yang dapat dilakukan misalnya dengan
menjabat tangan anak, tersenyum dengan penuh kehangatan, menggandeng anak sebelum
mendudukkannya ke kursi gigi dan lain-lain (Budiyanti & Heriandi, 2001).

II.2. Bimbingan Kerjasama


Model komunikasi bimbingan kerjasama antara dokter gigi dan pasien merupakan
strategi yang terbaik. Pada perawatan ini diharapkan pasien dapat mematuhi dokter gigi dan anak
dapat besikap kooperatif selama perawatan.  Perubahan nada dan volume suara dapat digunakan
untuk mengubah perilaku dan mengkomunikasikan perasaan kepada anak (Karolina, 2008).
Dokter gigi sebisa mungkin harus terdengar tenang dan percaya diri setiap saat. Nada suara
dijaga agar tetap rendah sehingga dapat membantu menenangkan pasien.
Contoh komunikasi dengan bimbingan kerjasama yang dapat dilakukan oleh dokter gigi
antara lain:
1)      “buka sedikit lebih lebar mulutnya, anak manis”
2)      “apakah engkau siap untuk dimulai sekarang, maukah manis?”
3)      “sayang, saya suka caramu membuat mulutmu tetap terbuka lebar”

II.3. Retraining
Retraining dilakukan pada anak yang menunjukkan tingkah laku negatif akibat kunjungan
dental sebelumya atau arahan yang salah dari orang tua atau orang lain sehingga anak sulit untuk
diajak berkomunikasi. Sasarannya adalah untuk membangun asosiasi pikiran yang baru pada
anak.
Dokter gigi perlu mengetahui ketidaksukaannya dan berusaha berempati dengan anak.
Jika anak tidak suka, turuti anak sambil memberikan pilihan kepadanya sehingga ia merasa
bahwa ia dapat mengontrol situasi dan lebih tenang.

II.4. Strategi Perilaku Efektif


Selain strategi komunikasi di atas,  komunikasi efektif yang dapat dilakukan oleh dokter
gigi adalah dengan strategi perilaku. Strategi ini dapat digunakan dengan cepat dan mengurangi
rasa takut. Strategi perilaku efektif tersebut antara lain sebagai berikut (Finn, 1973; Karolina,
2008).
1. Waktu dan lamanya perawatan
Dokter gigi harus mengetahui waktu perawatan yang dibutuhkan karena pada beberapa
anak lamanya perawatan akan mempengaruhi tingkah lakunya. Terdapat hubungan yang terbalik
antara kooperatif dengan lamanya waktu perawatan. Menepati janji untuk datang maupun
lamanya perawatan adalah sangat penting (Finn, 1973). Pada saat perawatan, dokter gigi juga
dapat memberikan istirahat sejenak dan memberikan waktu bagi anak untuk merasa rileks
kembali.
Waktu yang paling baik dalam merawat anak adalah di pagi hari saat anak tidak lelah.
Anak sebaiknya tidak dibawa ke dokter gigi setelah mengalami trauma emosi, misalnya ia baru
saja kehilangan boneka kesayangannya, karena penjanjian dengan dokter gigi akan membuat
anak menjadi tidak kooperatif (Finn, 1973; Hmud & Walsh, 2009).

2. Mengalihkan perhatian
Mengalihkan perhatian adalah suatu metode yang berguna untuk mengurangi rasa takut,
tidak nyaman, stress dan menghilangkan rasa bosan selama periode perawatan. Semakin banyak
mengetahui tentang anak, semakin banyak taktik yang dapat dilakukan untuk mengalihkan anak
agar prosedur perawatan dapat dilakukan. Bahan pengalih yang terbukti membantu mengurangi
rasa takut anak misalnya radio, program anak di televise, video game, dan lain-lain.

3. Hipnotis
Hipnotis dilakukan dengan mempengaruhi pikiran anak sehingga anjuran-anjuran yang
diberikan akan diterima dengan baik. Teknik ini hanya dapat dilakukan pada pasien yang dapat
bekerja sama. Hipnotis sering digunakan dalam kedokteran gigi sebagai suatu metode untuk
membantu pasien yang cemas agar rileks dan meningkatkan kooperatif pasien.

4. Modifikasi tingkah laku (penguatan)


Penguatan dapat diartikan sebagai pengukuhan pola tingkah laku yang akan
meningkatkan kemungkinan tingkah laku tersebut terjadi lagi dikemudian hari. Penguatan
(reinforcement) terbukti mengurangi tingkah laku tidak kooperatif pada anak dalam menjalani
perawatan gigi (Finn, 1973; Andlaw & Rock, 1992).
Ahli psikologi yang menganut teori sosial perkembangan anak percaya bahwa tingkah
laku anak merupakan pencerminan respons terhadap penghargaan dan hukuman dari
lingkungannya, Bntuk hadiah merupakan faktor motivasi yang sangat penting untuk perubahan
tingkah laku. Oleh karena itu, tingkah laku yang baik pada perawatan gigi harus diberi
penghargaan. Banyak hal yang dapat menjadi penguat dokter gigi sehingga dapat meningkatkan
hubungan sosial misalnya dengan cara memberikan perhatian, doa, senyum dan pelukan. Benda
penguat yang dapat diberikan misalnya stiker, pensil dan lain-lain. Bentuk penghargaan lain
adalah hadiah dan ini dapat diberikan pada tahap akhir perawatan sebagai penghargaan atas
tingkah laku yang baik (Andlaw & Rock, 1992). Namun, upaya yang terpenting dalam
memperkuat tingkah laku adalah kasih sayang dan perhatian.

5. Kehadiran orang tua di dalam ruangan


Kehadiran orang tua di ruang praktik memepunyai pengaruh positif dalam meningkatkan
keamanan pada anak yang kurang berani. Sedangkan pendapat agar orang tua sebaiknya berada
di luar karena kehadiran orang tua dapat mengganggu prosedur perawatan dan rasa takut yang
dimiliki orang tua akan mempengaruhi anak. Sebaiknya orang tua tidak ikut ke ruang praktik
tanpa diminta oleh dokter gigi (Finn, 1973).

III. Strategi Tahap Tersier dalam Menghadapi Rasa Takut


Pada tahap ini, pendekatan ditujukan kepada anak dengan rasa takut yang berat dengan
maksud menghilangkan rasa takut tersebut dan menyelesaikan perawatan gigi.

III.1. Desensitisasi
Desentisasi adalah suatu cara untuk mengurangi rasa takut atau cemas seorang anak
dengan memberikan rangsangan yang membuatnya takut atau cemas. Sedikit demi sedikit
rangsangan tersebut diberikan terus, sampai anak tidak takut atau cemas lagi. Prosedur ini
dilandasi oleh prinsip belajar counterconditioning, yaitu respon yang tidak diinginkan digantikan
dengan tingkah laku yang diinginkan sebagai hasil latihan yang berulang-ulang. Teknis
desentisisasi ini sangat efektif untuk menghilangkan rasa takut atau fobia (Tampubolon, 2010).
Terapi ini secara garis besar meliputi 3 tahapan, yaitu:
 Melatih pasien untuk rileks
 Membangun hirarki stimulus
 Memperkenalkan tiap stimulus dalam hirarki untuk membuat rileks pasien,
dimana stimulus ini diberikan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi
hingga rasa takut pada pasien hilang.
Prinsip terapi ini adalah memasukan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan
yaitu relaksasi. Pertama-tama subyek dilatih untuk relaksasi dalam, salah satu caranya misalnya
secara progresif merelaksasi berbagai otot, mulai dari otot kaki, pergelangan kaki, kemudian
keseluruhan tubuh, leher dan wajah. Pada tahap selanjutnya ahli terapi membentuk hirarki situasi
yang menimbulkan kecemasan pada subyek dari situasi yang menghasilkan kecemasan paling
kecil sampai situasi yang paling menakutkan. Setelah itu subyek diminta relaks sambil
mengalami atau membayangkan tiap situasi dalam hirarki yang dimulai dari situasi yang paling
kecil menimbulkan kecemasan (Andlaw & Rock, 1992; Tampubolon, 2010). Pada tahap
desensitisasi ini, pasien dapat diberikan paparan stimulus berupa injeksi anestesi gigi, aplikasi
rubber dam, dan suara serta melihat bor gigi dengan menjelaskan hasilnya (Melamed et al.,
1975).

III.2. Modeling
Metode modeling adalah cara pendekatan yang sangat praktis, mudah dilakukan, serta
efektif memepersingkat waktu dalam perubahan perilaku pasien anak sehingga waktu perawatan
gigi menjadi lebih optimal (Soemartono, 2003). Teori “social learning” memprediksi bahwa pola
respon rasa takut pada anak-anak dapat dihilangkan dengan mengamati model yang
mendapatkan stimulus tanpa mengalami konsekuensi yang negatif (Melamed et al., 1975).
Prinsip psikologis metode modeling yaitu belajar dari pengamatan model. Anak diajak
mengamati anak lain yang ketika dirawat giginya berperilaku kooperatif, baik secara langsung
pada kursi gigi atau melalui film. Setelah metode modeling dikerjakan maka diharapkan anak
berperilaku kooperatif seperti model yang diamati. Pendekatan tersebut efektif karena
memberikan informasi yang jelas pada pasien tentang jenis peralatan dan prosedur yang akan
dihadapi (Masitahapsari et al.,  2009).
Metode modeling ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui model di film/ anak
sebaya (filmed/ in vivo modeling) dan melalui model yang ikut berpartisispasi dalam perawatan
secara langsung (participant modeling) dalam memperkenalkan perawatan gigi. Metode ini
efektif pada anak dengan umur 4-9 tahun dan hanya beberapa efektif pada anak yang lebih muda
dari umur 4 tahun (Catherine, 2004).
Modeling adalah modifikasi perilaku untuk pasien anak yang masih usia muda, anak
dapat belajar tentang pengalaman ke dokter gigi dengan melihat anak-anak lain menerima
perawatan. Strategi ini tidak hanya mengajarkan anak yang belum pernah menerima perawatan
tentang apa yang diharapkan darinya, tetapi lebih penting adalah mendemonstrasikan apa yang
diharapkan dari anak (Narwaty, 2008). Strategi ini efektif dalam mengatasi rasa takut selama
kunjungan pertama perawatan gigi pada pasien anak. Metode ini dapat diterapkan dengan mudah
dalam ruang praktik (Melamed et al., 1975).

III.3. Kombinasi Perawatan Perilaku


Kombinasi perawatan perilaku menunjukkan hasil yang jauh lebih baik. Penggunaan
metode dengan menggabungkan beberapa metode pada suatu paket perawatan. Pasien yang takut
diajarkan rileks dan kemudian menunjukkan film model disaat rileks. Modeling dan desensitisasi
dapat diterapkan sekaligus, dengan pengkombinasian dua cara ini akan diperoleh hasil yang
memuaskan. Modeling dan desensitisasi  juga dapat mengurangi rasa cemas orang pada
perawatan gigi anaknya. Merubah perilaku dengan cara modeling dan desensitisasi dapat
diterapkan baik di klinik gigi maupun praktik pribadi (Narwaty, 2008).

III.4. Aversive Conditioning atau Restraint


Pendekatan dengan metode ini berupa :
 Mendorong secara halus tangan anak yang mengganggu perawatan
 Mengangkat dan memaksa anak yang menolak untuk duduk di kursi dental untit
 HOME (Hand Over Mouth Exercise atau aversion atau restraint discipline atau emotional
surprise therapy atau hand-over-mouth) merupakan teknik yang paling keras, yakni
menempatkan tangan ke atas mulut anak untuk menghilangkan respon yang tidak dapat
diterima; merupakan bentuk lain behavior modification; setelah anak tenang, tangan diangkat
dan diberi pujian.

Indikasi Aversive Conditioning biasanya dilakukan di saat sudah tidak dapat dilakukan
komunikasi lagi antara anak dan dokter gigi dan jika dibiarkan anak dapat menciderai dirinya
sendiri. Metode ini paling tepat diterapkan pada anak usia 3-6 tahun. Tidak dapat digunakan
dengan sedasi karena teknik ini membutuhkan tingkat kesadaran yang penuh.
Kesuksesan teknik ini bergantung pada aplikasi yang tepat. Posisi dokter gigi harus dekat
dengan telinga anak dan arahan harus jelas dan spesifik dengan menggunakan suara halus dan
monoton. Asisten harus tahu perannya yaitu memegang serta kaki pasien agar tidak menendang
atau menjaga tangan pasien yang menggannggu selama perawatan. Tangan pasien tidak boleh
terlalu lama dipegang karena pembatasan ini dapat meningkatkan penolakan. Teknik lain dapat
berupa memegang handuk di antara muka pasien dan tangan operator atau bisa juga dengan
setengah menjepit hidung pasien.

III.5. Sedasi
Sebagian besar anak akan menjadi pasien yang rileks dan kooperatif bila diberi metode-
metode pendekatan psikologis di atas, namun bila pasien anak masih menunjukkan sikap yang
tidak kooperatif dan jika rasa takut tetap berlangsung walaupun telah dilakukan kunjungan
pendahuluan, sedasi mungkin dapat membantu proses perawatan. Perlu ditekankan bahwa sedasi
dimaksudkan untuk menghilangkan kecemasan dan pasien yang telah dilakukan sedasi tetap
memiliki kesadaran dan refleks pelindung yang normal, misalnya batuk. Sebelum memberikan
resep sedatif, dokter gigi harus dipercaya anak. Sedatif harus dijelaskan sebagai sesuatu yang
akan membuatnya merasa tenang sehingga perawatan dapat dilakukan tanpa rasa khawatir.
Kerjasana dari orangtua atau pendamping juga diperlukan. Sedasi dapat diberikan melalui:
 Oral, menggunakan obat seperti barbiturate, kloral hidrat, hydroxyzine, neprobamate,
premothazine, dan diazepam (Wright, 1975; Bennet, 1978). Sedasi paling mudah
diberikan oleh orangtua atau pendamping agar anak merasa percaya.
 Intramuscular, menggunakan obat seperti promethazine HCl (antihistamin) dan petidine
(analgesik). Dosis injeksi untuk intramuscular adalah petidine 1,5 mg/kg berat badan dan
promethazine 0,75 mg/kg.
 Intravena, menggunakan campuran dari pentobarbiurat, pethidine, dan hyoscine,
kemudian baru diazepam atau midazolam
 Inhalasi, menggunakan oksida nitrogen dan oksigen. Sedasi yang efektif adalah dengan
kosentrasi tetap 25% oksida nitrogen (Edund and Rosend, 1977). Namun pada dasarnya
konsentrasi yang diberikan pada pasien didasarkan pada observasi respons pasien.

Referensi:
 Jurnal: Understading Children’s Dental Anxiety and Psychological Approach to Its
Reduction. Jenny Porritt, Zoe Marshman, Helen D. Rodd. 2011.
 Psychological Approaches for Tackling Dental Fears. Dapat diakses pada
http://www.dentalfearcentral.org/help/psychology/ [Cited: April 8th, 2014 21:00]
 McDonald and Avery Dentistry for Children and Adolescent, 9th Edition.

Anda mungkin juga menyukai